• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERMASALAHAN PENGAKUAN TERHADAP KELOMPOK- KELOMPOK BELLIGERENT DARI SEGI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERMASALAHAN PENGAKUAN TERHADAP KELOMPOK- KELOMPOK BELLIGERENT DARI SEGI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL SKRIPSI"

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

PERMASALAHAN PENGAKUAN TERHADAP KELOMPOK- KELOMPOK BELLIGERENT DARI SEGI HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

MARCEL GABRIEL PAILALAH NIM : 130200352

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

PERMASALAHAN PENGAKUAN TERHADAP KELOMPOK- KELOMPOK BELLIGERENT DARI SEGI HUKUM HUMANITER

INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas - Tugas Dalam Memenuhi Syarat - Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

MARCEL GABRIEL PAILALAH

NIM : 130200352

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui/Diketahui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Abdul Rahman, S.H., M.H.

NIP. 195710301984031002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Sulaiman, SH Dr. Chairul Bariah, SH., M.Hum NIP. 194712281979031001 NIP. 195612101986012001

(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Marcel Gabriel Pailalah

NIM : 130200352

Adalah mahasiswa pada Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis dengan judul : “PERMASALAHAN PENGAKUAN TERHADAP KELOMPOK-KELOMPOK BELLIGERENT DARI SEGI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”.

Adalah hasil penulisan saya sendiri, saya bersedia menanggung segala akibat yang ditimbulkan jika skripsi ini sebagian atau seluruhnya adalah hasil karya orang lain.

Hormat saya,

Marcel Gabriel Pailalah NIM. 130200352

Materai 6000

(4)

ABSTRAK

Prof. Sulaiman, S.H.)

Dr. Chairun Bariah, S.H., M.Hum.) Marcel Gabriel Pailalah)

Peperangan dan konflik selalu menjadi kebiasaan manusia sepanjang peradaban, mulai dari awal terciptanya manusia di Bumi, peperangan selalu menjadi faktor penentu keberlangsungan hidup manusia dan terutama berdiri atau hancurnya peradaban-peradaban yang ada di dunia. Dari sekian banyak konflik yang ada, konflik berupa pemberontakan-lah yang menarik perhatian, karena berupa konflik antara pemerintah yang berkuasa melawan pihak-pihak bersenjata yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah terkait. Dari sinilah muncul istilah

“belligerent”, yang berarti para pihak yang bersengketa atau pemberontak.

Pada awalnya, belligerent tercipta dari ketidakpuasan elemen-elemen rakyat terhadap pemerintahan di suatu negara. Pemerintah yang berkuasa tidak mampu mengakomodasi kemauan dan kepentingan elemen-elemen rakyat yang tidak puas tersebut, sehingga mereka lantas memberontak demi mewujudkan aspirasi mereka yang terabaikan. Pemberontakan yang mulanya bersifat terbatas ini lambat laun mulai meluas ke setiap wilayah negeri, dan para pemberontak mampu menguasai berbagai wilayah dan mendirikan pemerintahan versi mereka sendiri. Keadaan ini pun lantas mendapat perhatian dari dunia, dan atas beberapa pertimbangan masyarakat internasional, para pemberontak pun diakui sebagai entitas terpisah yang mewakili aspirasi elemen-elemen rakyat yang tidak puas terhadap rezim yang berkuasa di suatu negara.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan melakukan penelitian studi kepustakaan untuk memperoleh data-data sekunder yang dibutuhkan dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif dan dengan gambar-gambar terkait bahan yang dibahas guna memperoleh penjelasan dari permasalahan yang ada.

Penelitian dalam skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengertian sengketa bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional, belligerent dan sejarahnya, syarat-manfaat-masalah pengakuan serta pandangan dunia terhadap kelompok belligerent, dan kelompok-kelompok belligerent yang diakui oleh dunia internasional termasuk juga pengalaman Indonesia dalam menghadapi persoalan kelompok belligerent di kancah nasional dan global.

Kata Kunci : Peperangan dan konflik, pemberontakan, sengketa bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional, belligerent.

Dosen Pembimbing 1

 Dosen Pembimbing 2

 Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan anugerah yang diberikan oleh-Nya saya mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul PERMASALAHAN PENGAKUAN TERHADAP

KELOMPOK-KELOMPOK BELLIGERENT DARI SEGI HUKUM

HUMANITER INTERNASIONAL ini.

Penulisan skripsi bukanlah semata-mata sebagai syarat kelulusan akademik saja, namun saya selaku penulis ingin mengkaji materi yang dibahas lewat skripsi ini sebagai sumbangsih dalam hal pengetahuan dan informasi lebih lanjut mengenai kelompok-kelompok belligerent yang tersebar dan diakui keberadaannya di seluruh penjuru dunia walau saya menyadari penulisan skripsi ini tidaklah lepas dari yang namanya kekurangan, ketidaksempurnaan dan keterbatasan.

Dalam proses penyusunan skripsi ini dan selama menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, saya juga mendapatkan dukungan secara moril dan materil dari berbagai pihak. Dengan penuh rasa hormat, sebagai bentuk penghargaan dan ucapan terima kasih yang mendalam atas semua dukungan serta bantuan yang telah diberikan, saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Keluarga besar Pailalah, terutama kepada kedua orangtua dan saudara saya, Martin Joseph Pailalah, Elizabeth Chandra, Marco L. Pailalah, yang

(6)

selalu menyemangati, mendukung, mendoakan, dan terus memberikan motivasi yang amat tidak ternilai harganya sehingga saya mampu menyelesaikan program S1 ini, dan juga kepada Oma Christina Asli, Oma Nancy Gho, Om Boy Pailalah, Tante Anny Endrawaty, sepupu saya Billy J. Pailalah, Joshua Pailalah, Laura L. Pailalah, Vivien Pailalah, yang senantiasa mendoakan keberhasilan saya selama saya berkuliah di Fakultas Hukum ini;

2. Keluarga besar lingkungan gereja Santo Fransiskus Xaverius, terutama kepada Om Armand, Tante Juliana dan anak-anaknya Hans Sebastian, Ivan Favian, Juan Felix beserta segenap keluarga besarnya, yang senantiasa mendoakan kesuksesan saya. Tuhan memberkati kita semua;

3. Keluarga besar Gereja Annai Velangkanni, terutama kepada Pastor James Bharataputra SJ, kepada Bang Febrian Sembiring dan Kak Lauren Siallagan beserta anak-anaknya yang lucu dan menggemaskan, kepada Kak Evi beserta segenap keluarganya, Maria Sophia dan adik-adiknya Elizabeth, Veronica beserta segenap keluarganya, Yessi Rayna beserta segenap keluarganya, dan teman-teman gereja lain beserta teman-teman diluar lingkup fakultas yang senantiasa mendukung dan mendoakan kelancaran serta kemudahan penyelesaian skripsi saya;

4. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Abdul Rahman S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(7)

6. Bapak Prof. Sulaiman, S.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam upaya penyelesaian penyusunan skripsi ini;

7. Ibu Dr. Chairun Bariah, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah sangat membantu saya lewat bimbingan dan perhatiannya dalam proses penyusunan skripsi ini;

8. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Dosen Pembimbing Akademik;

9. Dosen-dosen Fakultas Hukum USU yang telah menyumbangkan ilmu yang tidak ternilai bagi saya selaku penulis;

10. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum USU, jajaran staf administrasi dan seluruh pegawai lainnya;

11. Keluarga besar KMK Santo Fidelis, teman-teman dan adik-adik junior beserta abang-kakak senior yang tercinta dan dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus;

12. Keluarga besar Departemen Hukum Internasional (ILSA) Angkatan 2013 beserta segenap jajaran kepengurusannya yang saya banggakan, dimana saya memperoleh banyak pengalaman dan kesenangan selama setahun bergabung di dalamnya;

13. Rekan-rekan seperjuangan Angkatan 2013 yang saya hormati dan hargai, terutama Galuh Ridho Pradana, Suhendri, Rey Kesuma, Lili Suryani, Junas Yogi Handoko, rekan-rekan Grup F dan rekan-rekan Praktik Peradilan Semu Klinis Hukum Acara Pidana-Perdata-TUN;

(8)

14. Seluruh penulis buku, jurnal, artikel, esai dan sebagainya yang saya gunakan dalam proses penyelesaian skripsi ini;

Akhir kata, semoga Tuhan YME memberkati kita semua dan membalas segala kebaikan dan jasa dari para pihak yang telah membantu saya. Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Medan, April 2017

Hormat Penulis,

Marcel Gabriel Pailalah NIM : 130200352

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...16

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...16

D. Keaslian Penulisan...17

E. Tinjauan Kepustakaan...18

F. Metode Penelitian...18

G. Sistematika Penulisan...20

BAB II : SENGKETA BERSENJATA DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Pengertian Sengketa Bersenjata Dalam Hukum Humaniter Internasional...23

B. Pengertian Belligerent dan Definisinya...45

C. Sejarah Terbentuknya Belligerent...50

BAB III : PENGAKUAN TERHADAP KELOMPOK-KELOMPOK BELLIGERENT DITINJAU DARI SEGI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Masalah Pengakuan Terhadap Kelompok-kelompok Belligerent di Dunia Dari Segi Hukum Humaniter Internasional...59

(10)

B. Syarat dan Manfaat Pengakuan Sebagai Kelompok Belligerent di Mata Dunia Internasional...66 BAB IV : KELOMPOK-KELOMPOK BELLIGERENT YANG DIAKUI OLEH DUNIA INTERNASIONAL

1. Gerakan kemerdekaan Republik Indonesia...72 2. Kelompok separatis MILF (Moro Islamic Liberation Front/Front

Pembebasan Islam Moro)...89 3. Kelompok separatis Macan Tamil...95 4. Kelompok separatis PIRA (Provisional Irish Republican Army/Tentara

Republik Irlandia Sementara)...104 5. Kelompok pemberontak Taliban...113 6. Kelompok pemberontak Houthi...123 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan...132 B. Saran...134 DAFTAR PUSTAKA...135

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagaimana Anda membayangkan tentang situasi perang? Mungkin jawabannya bisa Anda temukan dalam film produksi Hollywood pada tahun 1986 berjudul Platoon yang dibintangi oleh Charlie Sheen, yang disebut-sebut sebagai salah satu film perang terbaik sepanjang masa, sebagai film perang yang sangat tidak romantis, namun mampu menggambarkan kengerian perang dalam segala aspek. Film yang berkisah tentang seorang remaja yang harus menjalani wajib militer dan pergi ke medan perang Vietnam, menghadapi konflik dengan sesama rekan prajurit dalam unit yang sama, pembunuhan-pembunuhan brutal yang terus dilakukan terhadap penduduk sipil dan kombatan Vietnam, namun tanpa tujuan yang jelas. Bahkan, ketika dirinya berhasil selamat dan pulang ke Amerika, dia tidak sepenuhnya mengerti tentang situasi yang baru saja dilaluinya.1

Dalam sejarah kehidupan manusia, peristiwa yang paling banyak dicatat adalah peristiwa disaat perang dan damai. Peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema utama dalam literatur-literatur politik dan juga hubungan-hubungan internasional berkisar antara kedua macam interaksi tersebut. Ungkapan bahwa

“damai semata-mata hanyalah jeda sementara diantara peperangan” menunjukkan, situasi perang dan damai terus terjadi silih berganti dalam interaksi manusia. Hasil penelitian Zeev Maoz yang dikutip oleh Holsti menunjukkan bahwa sejak Kongres Wina 1815 hingga tahun 1976, telah terjadi 827 macam konflik, dimana 210 konflik diantaranya terjadi pada abad ke-19 dan sisanya sebanyak 617 konflik

1 John T. Rourke, International Politics on The World Stage, 2nd Ed., Connecticut; The Dushkin Publishing Groups Inc., 1989, hlm. 241.

(12)

terjadi pada abad ke-20.2 Dalam buku edisi sebelumnya, Holsti mengutip data dari Quincy Wright yang mengidentifikasi peperangan diantara negara-negara Barat sejak tahun 1480 hingga 1940 sebanyak 278 peristiwa.3 Dari kedua data ini, baik Wright maupun Maoz memiliki kesimpulan yang sama, yaitu bahwa periode paling damai terjadi pada masa setelah Perang Napoleon sampai dengan Perang Dunia 1. Lebih lanjut lagi, Maoz menyimpulkan bahwa periode dengan tingkat konflik paling tinggi terjadi setelah masa Perang Dunia 2.4

Secara definitif, perang adalah suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik antar-manusia. Dalam studi Hubungan Internasional, perang secara tradisional adalah penggunaan kekerasan yang terorganisasi oleh unit-unit politik dalam sistem internasional. Perang akan terjadi jika negara-negara yang terlibat konflik dan saling bertentangan merasa bahwa tujuan-tujuan eksklusif mereka tidak bisa tercapai, kecuali dengan cara-cara kekerasan. 5 Dalam artian luas, perang menyangkut konsep-konsep seperti krisis, ancaman, penggunaan kekerasan, aksi gerilya, penaklukkan, pendudukan, bahkan teror. Rentangan definisi tersebut meliputi 5 tahap dalam konflik, yaitu :

1. Situasi stabil dan damai yang didefinisikan sebagai stabilitas politik tingkat tinggi dan legitimasi dari rezim yang terarah;

2 K.J. Holsti, International Politics; A Framework For Analysis, 6th Ed., New Jersey;

Prentice Hall Inc., 1992, hlm. 351.

3 K.J. Holsti, Politik Internasional : Kerangka Analisa, Terjemahan, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1987, hlm. 590.

4 Ibid., hlm. 351.

5 Graham Evans and Jeffrey Newnham, The Penguin Dictionary of International Relations, London : Penguin Books, 1998, hlm. 565.

(13)

2. Situasi ketegangan politik yang didefinisikan sebagai meningkatnya tahap ketegangan sistemik dan semakin terbelahnya faksi-faksi sosial dan politik;

3. Tahap konflik politik dengan kekerasan yang mengarah pada krisis politik seiring merosotnya legitimasi politik dan semakin diterimanya politik faksional dengan kekerasan;

4. Konflik dengan intensitas rendah, yaitu perseteruan terbuka dan konflik bersenjata antar-faksi, tekanan-tekanan dari rezim penguasa, dan pemberontakan-pemberontakan.

5. Konflik dengan intensitas tinggi, yaitu perang terbuka antar-kelompok dan/atau penghancuran massal serta pengungsian penduduk sipil dimana jumlah korban konflik mencapai >1.000 orang terbunuh.6

Dari penjelasan-penjelasan yang sudah dipaparkan diatas, maka timbullah pertanyaan, jika memang perang telah terjadi sepanjang sejarah manusia, apakah perilaku perang itu sendiri seirama dalam hubungan antar-manusia? Dan apakah dengan demikian, perang menjadi peristiwa yang tak terelakkan dalam kehidupan sosial manusia? Beberapa studi menyebutkan, di dalam diri setiap manusia, terdapat suatu naluri untuk melukai atau menyerang. Bahkan, perang dianggap sebagai takdir manusia. Gagasan tentang hal ini sudah muncul sejak lama. Dalam naskah Hindu kuno disebutkan bahwa takdir seorang ksatria adalah berperang.

Hal itu tercermin dalam nasihat Krisna kepada Arjuna ketika Arjuna “mogok berperang” :

6 Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Contemporary Conflict Resolution, Cambridge : Polity Press, 1999, hlm. 23.

(14)

“...pusatkan pikiranmu padaku, serahkan semua perbuatanmu kepadaku...

Engkau akan berperang, sifatmu akan memaksamu untuk berperang. Karmamu akan membuat engkau berjuang, engkau akan berperang meskipun engkau tidak menghendakinya.”7

Selain naskah Hindu kuno, penjabaran tentang perang juga disebutkan oleh seorang penguasa Tiongkok kuno dari Dinasti Shang yang bernama Shang Tzu demikian :

“...kumpulkan rakyat untuk berperang, maka mereka akan berani, biarkanlah mereka peduli pada hal-hal lain, niscaya mereka akan menjadi pengecut... Pada umumnya, peperangan adalah sesuatu yang dibenci. Penguasa yang bisa membuat orang menjadi senang berperang adalah rajanya raja. Di dalam sebuah negara yang kuat, seorang ayah akan mengirimkan anaknya, kakak mengirim adiknya, istri mengirim suaminya (untuk berperang) seraya berkata : ‘Taklukkan! atau aku tidak pernah melihat engkau lagi!... Jika gerbang untuk kaya dan terhormat adalah melalui medan peperangan, dan jika orang mendengar bahwa di dalam perang mereka bisa saling mengucapkan selamat di rumah, di jalan-jalan, disaat makan dan minum, maka semua lagu yang mereka nyanyikan adalah tentang perang...”8

Jika perang sudah menjadi takdir manusia, maka beberapa ilmuwan mencoba untuk mencari penjelasan logis atas situasi ini yang dihubungkan dengan sifat- sifat bawaan manusia sejak lahir. Salah satu studi yang dilakukan oleh pakar psikososial bernama Sigmund Freud menyebutkan, sifat menyerang atau sifat

7 P. Lal, Mahabarata : Parwa Keenam, Terjemahan, Jakarta : Pustaka Jaya, 1981, hlm.

268.

8 Dikutip dari Evan Luard, Basic Texts in International Relations : The Evolution of Ideas About International Society, London : Houndmills, 1992, hlm. 7.

(15)

agresif manusia merupakan suatu insting, yaitu dorongan yang muncul dari dalam diri manusia. Freud menyebut bahwa agresi, dalam konteks thanatos, sebagai dorongan untuk mati. Thanatos ini digunakan oleh Freud untuk menjelaskan mengapa ribuan orang mau berbondong-bondong pergi ke medan perang untuk menghadapi kematiannya sendiri dalam Perang Dunia 1 antara tahun 1914-1918.

Selanjutnya, menurut Freud, semua insting ditujukan untuk mengurangi atau meredakan ketegangan, perangsangan, dan gairah. Dorongan untuk mati ini dihubungkan dengan motivasi untuk mencapai keadaan damai dan tenang, semacam pikiran surgawi atau kehampaan dan hilangnya semua keinginan.9

Studi lain yang mengungkapkan tentang insting agresif manusia dilakukan oleh Konrad Lorenz, seorang ahli ethologi pada Institut Fisiologi Sifat Max Planck. Lorenz melakukan penelitian terhadap spesies tertentu, seperti ikan, burung, anjing, tikus, rusa, dan binatang-binatang ternak lainnya. Spesies penelitian Lorenz dibedakan menjadi 2, yaitu spesies yang memiliki naluri agresif seperti anjing, singa, dsb. Sementara spesies yang tidak memiliki sifat agresif adalah rusa, kelinci, dan burung. Menurutnya, agresi merupakan akibat-akibat yang sering disamakan dengan keinginan untuk mati, yaitu suatu dorongan seperti apapun dalam kondisi alamiah yang membantu menjamin kelangsungan hidup individu atau spesies. Agresi hanya terjadi dalam satu spesies yang sama dan bukan antar-spesies. Pandangan ini melihat agresi sebagai suatu fungsi untuk mempertahankan kelangsungan suatu spesies dalam konteks Darwinisme.

9 William Bloom, Personal Identity, National Identity and International Relations, Cambridge University Press, 1990, hlm. 8.

(16)

Artinya, di dalam suatu habitat, keberadaan anggota populasi yang semakin besar berdampak pada ketersediaan sumber-sumber makanan.10

Selanjutnya, dalam penelitian Lorenz, spesies-spesies agresif akan meningkat tingkat agresivitasnya seiring dengan semakin menguatnya ikatan-ikatan cinta kasih, misalnya kepada anaknya yang baru lahir, kepada para betinanya (pasangannya), atau pada saat pengasuhan. Lorenz menyimpulkan bahwa proses ini merupakan analog dengan kehidupan spesies yang lebih besar dan spesies manusia. Dalam klasifikasi Lorenz, manusia merupakan spesies yang mewakili tahap tertinggi dari evolusi, sehingga secara esensial dianggap lebih maju dan lebih kompleks dibandingkan primata-primata lainnya. Meskipun manusia tidak bisa mengembangkan mekanisme penghalang agresi seperti pada hewan-hewan liar, namun manusia bisa menggabungkan perhitungan rasional akibat perang nuklir, pola-pola perilaku kultural yang dikultuskan, kekuatan mengontrol diri sendiri sebagai tanggung jawab politik dan moral sehingga manusia mampu mengontrol perilaku agresi dalam struktur sosial politik secara singkat, tidak memerlukan evolusi selama ratusan tahun.11

Pendekatan individu oleh Freud dan Lorenz yang menempatkan manusia sebagai variabel utama dari pemicu agresi tidak sepenuhnya bisa diterima dalam studi sosial dan politik. Tendensi untuk menggunakan kekerasan sebagai sifat alamiah manusia masih diperdebatkan oleh para antropolog. Beberapa pendapat antropolog dan sosiolog yang dikutip oleh Couloumbis dan Wolfe menyebutkan

10 James E. Dougherty and Robert I. Pfaltzgraff, Jr., Contending Theories of International Relations : A Comprehensive Survey, hlm. 260.

11 James E. Dougherty and Robert I. Pfaltzgraff, Jr., Contending Theories of International Relations : A Comprehensive Survey, hlm. 264.

(17)

bahwa manusia memuaskan berbagai kebutuhannya dalam hal identitas, keamanan, dan melepaskan diri dari kebosanan dengan cara melibatkan diri dalam perang. Hal ini memicu perdebatan karena pendapat tersebut didasarkan pada studi-studi tentang perilaku binatang, dan dengan demikian tidak bisa begitu saja diterima dalam logika hubungan internasional.12 Namun demikian, hasil penelitian kedua ilmuwan tersebut bisa dianggap sebagai pengungkapan misteri dari mengapa manusia cenderung berperang.

Jika perang dalam arti yang sempit dianggap sebagai kontak bersenjata yang melibatkan 2 negara atau lebih, maka terdapat beberapa kecenderungan tentang perang yang terjadi setelah Perang Dunia 2, antara lain :

1. Keengganan negara-negara untuk menyatakan perang secara terbuka terhadap pihak yang dianggap musuh. Akibatnya, negara-negara lebih memilih terlibat secara diam-diam dalam suatu peperangan/konflik yang semakin meningkat jumlahnya semasa Perang Dingin. Amerika Serikat- Uni Soviet terbukti melakukan operasi terselubung dalam konflik-konflik yang sarat dengan kepentingan ideologis-politik di Nikaragua, Afghanistan, Vietnam, Korea, konflik Israel-Palestina, dll.13

2. Berkembangnya senjata-senjata pemusnah massal. Nuklir adalah salah satu senjata pemusnah massal yang telah menjadi bagian dari strategi perang, baik secara ofensif maupun secara defensif, dan hal ini telah mengubah makna perang secara menyeluruh. Dalam konteks senjata

12 T.A. Couloumbis and James H. Wolf, Introduction to International Relations : Power and Justice, Prentice Hall International Inc., 1992, hlm. 188.

13 Daniel S. Papp, Contemporary International Relations : Frameworks for Understanding, New York : Macmillan Publishing Company, 1988, hlm. 502.

(18)

nuklir, maka kemungkinan untuk terjadinya perang terbatas adalah sangat kecil karena efek penghancuran massal dari nuklir tidak hanya pada negara-negara yang terlibat peperangan. Dalam konteks inilah, maka aliansi-aliansi militer antar-negara menjadi sangat penting, dimana negara- negara “non-adidaya” mengandalkan sistem pertahanannya pada negara- negara “adidaya” yang memiliki senjata nuklir. Selain nuklir, jenis senjata pemusnah massal lainnya adalah yang dikenal dengan istilah senjata ABC (Atomic, Biological, and Chemical/Atom, Biologi, dan Kimia). Jenis yang terakhir ini belum dikategorikan sebagai “senjata pemusnah massal yang utama” dalam strategi peperangan seperti nuklir. Namun, bukti-bukti penggunaannya telah banyak diungkap ke hadapan publik.

3. Semakin banyaknya “aktor non-negara” yang muncul dan terlibat dalam peperangan domestik yang berimbas secara internasional. Kelompok- kelompok pemberontak yang tumbuh dan berkembang di medan perang yang membentang mulai dari benua Asia-Amerika-Afrika-Eropa memicu keterlibatan banyak negara, termasuk negara adidaya seperti Amerika Serikat, dalam rangka melindungi kepentingan politiknya di kawasan.

Ditambah lagi dengan gerakan-gerakan pembebasan yang memperjuangkan identitas kelompoknya, mulai dari identitas kesukuan hingga ideologi, dimana gerakan-gerakan pembebasan macam ini memiliki akses persenjataan dan kekuatan militer selayaknya sebuah negara yang berdaulat resmi.

4. Situasi peperangan menjadi sangat berbeda dengan berkembangnya teknologi informasi-komunikasi dan transportasi massal. Ketika situasi

(19)

peperangan bisa disiarkan ke seluruh dunia melalui satelit dan ditayangkan ke seluruh dunia, opini masyarakat internasional menjadi bagian yang penting dalam strategi peperangan. Tayangan televisi yang berulang-ulang tentang tragedi kemanusiaan dalam Perang Vietnam, Perang Irak, Perang Balkan, Perang Saudara Rwanda, Konflik Darfur dan konflik di Palestina telah menimbulkan simpati dan empati di seluruh dunia. Terbentuknya opini-opini semacam ini telah menjadi bagian dari strategi negara-negara di dunia dalam situasi peperangan.

Karena itulah, perang dan konflik seakan sudah menjadi sifat alami manusia dalam berbagai sejarah perkembangan dunia, dan peperangan tersebut didasari oleh banyak faktor seperti perebutan atau perluasan wilayah dan sumber daya alam, pemberontakan atas ketidakpuasan pemerintahan dari suatu negara, perbedaan agama dan budaya yang saling bertentangan di dalam suatu wilayah, dan masalah etnis. Pihak yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan militer terhadap pihak yang hendak ditaklukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa suatu ofensif luas yang dinamakan invasi/penyerbuan, juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini mencerminkan terjadinya konflik bersenjata, dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki.

Konflik atau sengketa bersenjata umumnya terjadi antar-negara, namun konflik bersenjata juga dapat terjadi di dalam suatu negara sebagai usaha yang dilakukan oleh suatu daerah untuk memisahkan diri dari kekuasaan pemerintah pusat, yang juga disebut sebagai gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata. Istilah konflik atau sengketa bersenjata merupakan suatu

(20)

konfrontasi bersenjata yang terjadi antara 2 atau lebih pihak yang lebih populer dengan istilah “perang”.

Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von Clausewitz, seorang ahli militer dan filsuf dari Jerman mengatakan bahwa perang adalah kelanjutan dari upaya politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut dia melihat bahwa hakikat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini dia mengidentikkan antara politik dengan perjuangan tersebut. Sengketa bersenjata atau perang ini bisa berupa konflik antarnegara, konflik internasional, atau konflik dalam suatu negeri.

Secara berbeda, Hugh Miall menunjukkan kecenderungan menurunnya konflik dan peperangan yang melibatkan antar-negara, namun lebih kepada konflik yang terjadi di dalam negeri dari suatu negara berupa pemberontakan dari pihak-pihak penentang pemerintah yang resmi yang jumlahnya justru semakin meningkat. Miall mengutip istilah yang dikemukakan oleh Wallensteen dan Axel bahwa semasa dan setelah era Perang Dingin, peperangan dan konflik yang terjadi cenderung berpola “ancaman terhadap eksistensi kedaulatan negara”, bukan lagi perang terbuka yang melibatkan ribuan personel angkatan bersenjata yang saling mengalahkan dan menghancurkan. Dari peperangan atau konflik tersebut muncullah istilah “belligerent”, yang sejatinya bermakna “para pihak yang bersengketa”, namun seringkali istilah ini lebih mengacu pada pihak pemberontak melawan pemerintahan resmi dari suatu negara yang berdaulat. Konflik yang terjadi sedemikian rupa akhirnya memaksa para pihak yang berkonflik untuk mencari suatu cara agar keinginan atau aspirasi mereka bisa tersalurkan dengan

(21)

baik tanpa harus melanjutkan peperangan lagi, artinya dengan keputusan “win- win solution” alias semua pihak merasa puas dengan keputusan yang dihasilkan.

Awal mulanya belligerent tercipta karena ketidakpuasan antara satu pihak (masyarakat) dengan pemerintahan di wilayahnya (negara). Masalah-masalah ketidakpuasan tersebut, ada yang berkembang secara sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika yang terjadi di dalam suatu negara, tetapi juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh dari negara lain, yang sering diistilahkan sebagai intervensi asing. Meskipun masalah-masalah itu tidak dan belum termasuk dalam kategori perang, dampaknya bagi negara dan para pihak yang mengalaminya bisa sama atau mungkin lebih. Konflik semakin meruncing ketika masing-masing pihak berkeras dengan keinginannya dan tidak mau mengalah, berujung pada pecahnya konfrontasi bersenjata antara pihak pro-pemerintah yang berdaulat melawan pihak kontra-pemerintah. Pihak kontra-pemerintah ini selanjutnya disebut sebagai kelompok pemberontak atau “belligerent”. Dewasa ini, pada masa damai, seringkali terjadi konflik di dalam suatu negara yang dipandang akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu negara, bahkan bagi suatu kawasan. Kesalahan tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi keutuhan dan persatuan sebuah negara.

Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan negara- negara bagiannya, misalnya, menyadarkan banyak negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan konflik agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang gagal mengantisipasi konflik yang bakal terjadi, menyebabkan negara raksasa tersebut runtuh menjadi

(22)

serpihan-serpihan negara kecil, yang ternyata telah menyadarkan banyak negara akan dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitupun dengan penanganan konflik yang terjadi di negara-negara Afrika pada dekade 1990-an, (bekas) Yugoslavia, Pakistan, India, Afghanistan, Suriah dan Libya serta Irak, yang pada mulanya dipicu oleh masalah ketimpangan sosial, kemiskinan, dan korupsi yang merajalela, berubah menjadi konflik yang disamarkan dengan identitas etnis dan agama sebagai penyebab konflik, yang belum kunjung selesai hingga sekarang sehingga masing-masing pihak yang bertikai membentuk identitas tersendiri sejak awal konflik. Hal ini sedikit-banyak mendorong setiap negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan wilayah negaranya.

Menurut hukum perang, pemberontak dapat memiliki kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam kondisi tertentu, dimana hal ini bertujuan agar pihak pemberontak merasa diakui kedudukannya sebagai salah satu perwakilan dalam menyalurkan aspirasi berupa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah terkait. Karena masalah ini terjadi akibat ketidakpuasan suatu kelompok di dalam suatu negara, maka penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat diluar kemanusiaan, bahkan sampai meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya,

(23)

kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional.

Hal ini terbukti, tentu saja, antara lain :

1. gerakan kemerdekaan Indonesia pimpinan Sukarno-Hatta diakui oleh dunia sebagai perwakilan rakyat Indonesia melawan pemerintah kolonial Belanda yang mencoba menguasai kembali wilayah Indonesia semasa Perang Kemerdekaan Indonesia,

2. kelompok separatis MILF (Moro Islamic Liberation Front/Front Pembebasan Islam Moro) sebagai perwakilan rakyat Filipina yang didominasi oleh etnis Moro dan beragama Islam melawan pemerintah pusat Filipina yang sah, 3. kelompok separatis Macan Tamil sebagai perwakilan dari masyarakat

minoritas etnis Tamil melawan pemerintah Sri Lanka yang sah yang didominasi oleh etnis Sinhala semasa Perang Saudara Sri Lanka,

4. kelompok separatis PIRA (Provisional Irish Republican Army/Tentara Republik Irlandia Sementara) sebagai perwakilan masyarakat Irlandia melawan pemerintah pendudukan Inggris di Irlandia dan Irlandia Utara,

5. kelompok pemberontak Taliban (bermakna “pelajar” dalam bahasa lokal Pashtun) sebagai perwakilan masyarakat Afghanistan melawan pemerintah pusat Afghanistan yang sah semasa Perang Saudara Afghanistan,

6. kelompok pemberontak Houthi sebagai perwakilan rakyat Yaman melawan pemerintah pusat Yaman yang sah semasa Perang Saudara Yaman,

Juga yang tidak kalah pentingnya, menurut catatan sejarah, ketika Prancis mengakui kedudukan pihak bersenjata Kolonial Amerika pimpinan Jenderal

(24)

George Washington yang sedang berjuang untuk memerdekakan diri dari kekuasaan Inggris pada tahun 1776-1783 selama periode Perang Kemerdekaan Amerika, pengakuan sebagai belligerent oleh Prancis dan Inggris terhadap berbagai gerakan kemerdekaan di Amerika Selatan melawan kekuasaan kolonial Spanyol, dan pengakuan belligerency dari Prancis dan Inggris terhadap pihak Selatan/Konfederasi ketika berperang melawan pemerintahan Amerika yang sah, yang disebut sebagai pihak Utara/Serikat, selama Perang Sipil Amerika pada tahun 1861-1865, yang disebut-sebut sebagai perang paling berdarah dalam sejarah Amerika Serikat.

Namun sejatinya, apakah yang sebenarnya dimaksud dengan belligerent itu?

Begitu banyak definisi yang beredar mengenai belligerent, namun pengertian umumnya adalah “pihak yang bersengketa” dalam suatu konflik bersenjata, khususnya melawan pemerintah negaranya sendiri. Dalam hal ini pihak yang bersengketa bisa siapa saja termasuk pemberontak (rebels). Pemberontak merupakan sekelompok orang yang melakukan pemberontakan (rebellion), diakui ada dan memperoleh kedudukan hukum, dan karena adanya pengakuan tersebut, maka kemudian diberikan pengakuan sebagai “insurgent” (recignation of insurgency), yang menyebabkan serta melakukan peperangan internal dengan pihak pemerintah berkuasa menjadi sesuatu yang sah di mata dunia. Pengakuan tersebut diperoleh ketika pemberontak tersebut dalam menjalankan kegiatan pemberontakannya memiliki wilayah serta organisasi pemerintah yang teratur sebagai bentuk tandingan terhadap pemerintahan yang sah dan kemudian mendapatkan pengakuan (secara de jure) dari negara lain (negara netral), maka pengakuan tersebut dinamakan sebagai “recognition of belligerency”. Dengan

(25)

adanya kedudukan hukum tersebut, maka belligerent dapat tampil sebagai subjek hukum internasional dan pihak kombatan yang sah. Dasar hukum yang menyatakan pemberontak/pihak yang bersengketa sebagai subjek hukum internasional ialah :

1. Hak untuk menentukan nasib sendiri.

2. Hak untuk memilih sistem ekonomi, sosial dan budaya sendiri.

3. Hak untuk menguasai sumber daya alam.

Pengertian umum pemberontak sebenarnya adalah penolakan terhadap otoritas/kekuasaan yang sah. Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari pembangkangan sipil hingga kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada. Istilah ini sering pula digunakan untuk merujuk pada perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang berkuasa, tapi dapat pula merujuk pada gerakan perlawanan tanpa kekerasan. Orang-orang yang terlibat dalam suatu pemberontakan disebut sebagai "pemberontak". Ada 3 istilah pemberontakan :

1. Revolusi, bertujuan untuk merombak secara radikal suatu tatanan politis atau sosial yang sudah mapan di seluruh wilayah negara.

2. Rebellion (rebelli), perjuangan sebagian wilayah negara untuk menggulingkan kekuasaan di wilayah negara lainnya.

3. Insurrection (pemberontakan), kegiatan pemberontakan yang luas namun tujuannya lebih sempit daripada kedua pengertian yang di atas.

(26)

Pengakuan sebagai belligerent memiliki kemiripan dengan pengakuan sebagai pemberontak. Namun, sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak saja. Pengakuan ini diberikan bilamana pihak pemberontak dan kegiatan pemberontakan itu telah berkembang sedemikian kuatnya sehingga seolah-olah ada 2 pemerintahan yang sedang bertarung. Konsekuensi dari pemberian pengakuan ini, antara lain, belligerent dapat memasuki pelabuhan dari negara yang mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dan syarat-syarat lain yang selanjutnya akan dibahas lebih lanjut dalam skripsi ini. Oleh karena itu, sesuai dengan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya diatas, maka penulis mengangkat skripsi dengan judul “Permasalahan Pengakuan Terhadap Kelompok- kelompok Belligerent Ditinjau Dari Segi Hukum Humaniter Internasional”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan judul dan latar belakang di atas, adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah pengertian dari sengketa bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional?

2. Bagaimanakah pengakuan terhadap kelompok-kelompok belligerent ditinjau dari segi hukum humaniter internasional?

3. Bagaimanakah kelompok-kelompok belligerent yang diakui oleh dunia internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

(27)

1) Untuk mengetahui pengertian dari sengketa bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional.

2) Untuk mengetahui bentuk pengakuan terhadap kelompok- kelompok belligerent ditinjau dari segi hukum humaniter internasional.

3) Untuk mengetahui beberapa kelompok belligerent yang diakui oleh dunia internasional.

2. Manfaat Penulisan

Secara praktis, manfaat penulisan ini dijadikan sebagai bentuk persembahan kepada masyarakat luas terutama kepada para mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara agar lebih memahami informasi mengenai pengertian dan sejarah terbentuknya belligerent, untuk mengetahui bentuk pengakuan terhadap kelompok-kelompok belligerent dari segi hukum humaniter internasional, dan untuk mengetahui beberapa kelompok belligerent yang diakui oleh dunia internasional.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan ini adalah asli, sebab ide dan gagasan pemikiran dalam penelitian ini bukan merupakan hasil karya ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Demikian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama, demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU

(28)

tertanggal 15 Juni 2016. Dalam hal mendukung penulisan ini, digunakan sumber- sumber yang berasal dari buku dan situs internet yang terkait dengan penulisan ini. Semua sumber tersebut telah dikutip maupun dirujuk dengan benar.

E. Tinjauan Kepustakaan

Penulisan ini memperoleh bahan tulisannya dari berbagai sumber yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan berupa buku-buku, laporan-laporan, dan informasi dari internet. Maka diberikan penegasan dan pengertian dari judul penulisan, yang diambil dari sumber-sumber yang memberikan pengertian terhadap judul penulisan ini, yang ditinjau dari segi etimologi dan pengertian- pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun dari fakta yang terjadi di lapangan, sehingga memiliki arti yang jelas.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Seperti penulisan dalam penyusunan dan penulisan karya tulis ilmiah yang harus berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang benar dan layak dipercaya, demikian halnya dalam menyusun dan menyelesaikan penulisan ini sebagai sebuah karya tulis ilmiah juga memakai pengumpulan data secara ilmiah (metodologi), guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunannya sesuai dengan perencanaan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya. Metode penulisan yang digunakan merupakan penulisan secara hukum normatif (yuridis normatif) yang dilakukan dan ditujukan kepada norma-norma hukum yang berlaku. Metode ini merupakan metode/cara yang

(29)

digunakan dalam penulisan karya ilmiah di bidang hukum dengan cara memperoleh informasi dari bahan pustaka yang ada.

2. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah penulisan, yakni berupa Undang-undang, Perjanjian Internasional, dsb.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan tulisan- tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, tesis, disertasi, jurnal, makalah, surat kabar, majalah, internet, dll yang terkait dengan masalah penulisan.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dll.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipakai pada penulisan ini adalah dengan memakai metode Penelitian Kepustakaan dengan alat pengumpul data berupa studi dokumen atau bahan pustaka, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan ini, dengan tujuan agar penulisan ini bisa lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan.

(30)

Adapun data sekunder yang dipakai dalam penulisan ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, makalah, jurnal, serta artikel yang diambil dari media cetak maupun media elektronik.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penulisan.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penulisan.

2. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara perspektif dengan memakai metode analisis kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam, dan, suatu data yang mengandung makna dan dilakukan pada obyek yang alamiah. Metode ini memakai data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung, dengan kata lain, berupa kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

G. Sistematika Penulisan

Secara sistematis, penelitian ini dibagi dalam beberapa bab dan setiap bab dibagi atas sub-bab yang dapat dirinci sbb :

(31)

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, yaitu pengertian dari suatu sengketa bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional yang diatur dalam beberapa perjanjian internasional, salah satunya adalah Konvensi Jenewa 1949,penjelasan mengenai awal mula terciptanya kelompok belligerent, keinginan pihak belligerent untuk diakui oleh dunia internasional sebagai penyambung aspirasi rakyat yang diperjuangkannya, definisi singkat mengenai arti belligerent dan pemberontak, serta nama-nama kelompok belligerent yang berjuang demi memenuhi hak-haknya. Lalu juga membahas mengenai perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematikan penulisan.

BAB II : SENGKETA BERSENJATA DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Bab ini menjelaskan mengenai pengertian sengketa bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional, pengertian dari belligerent beserta definisinya, dan sejarah terbentuknya belligerent.

BAB III : PENGAKUAN TERHADAP KELOMPOK-KELOMPOK BELLIGERENT DITINJAU DARI SEGI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Bab ini menjelaskan mengenai permasalahan pengakuan terhadap kelompok-kelompok belligerent yang ada di dunia dari segi

(32)

Hukum Humaniter Internasional, syarat-syarat dan manfaat pengakuan sebagai kelompok belligerent di mata dunia internasional, dan pandangan dunia terhadap kelompok-kelompok belligerent.

BAB IV : KELOMPOK-KELOMPOK BELLIGERENT YANG DIAKUI OLEH DUNIA INTERNASIONAL

Bab ini menjelaskan mengenai nama-nama dari kelompok- kelompok belligerent yang ada di dunia dan diakui oleh dunia internasional beserta sejarah perjuangan mereka untuk mewakili aspirasi rakyat di negara dan wilayah negara masing-masing.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran dari skripsi ini.

(33)

BAB II

SENGKETA BERSENJATA DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

A. Pengertian Sengketa Bersenjata Dalam Hukum Humaniter Internasional

Di dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI), ada 2 macam konflik atau sengketa bersenjata, yaitu sengketa bersenjata internasional dan sengketa bersenjata non-internasional. Perbedaan antara sengketa bersenjata internasional dengan sengketa bersenjata non-internasional menurut HHI terletak pada sifat dan jumlah negara yang menjadi pihak dalam sengketa bersenjata tersebut. Sengketa bersenjata internasional digambarkan sebagai perang antara 2 negara atau lebih, sedangkan sengketa bersenjata non-internasional adalah pertempuran atau peperangan yang melibatkan negara melawan kelompok pemberontak/bersenjata non-negara (belligerent) di dalam wilayah kedaulatannya sendiri. Dengan demikian, apabila negara bertempur melawan kelompok pemberontak, situasi tersebut tetap dianggap sebagai sengketa bersenjata non-internasional meskipun pertempuran atau peperangan tersebut sampai menjalar ke wilayah kedaulatan dari negara lain atau diluar kedaulatan negara yang terlibat konflik tersebut.

Sementara itu, berbeda dengan apa yang dimaksud oleh HHI, masyarakat umum sering menafsirkan sengketa yang melibatkan antara pihak pemberontak dengan angkatan bersenjata resmi dari suatu negara di dalam wilayah kedaulatannya sebagai perang internasional. Contohnya adalah ketika angkatan bersenjata Israel terlibat konflik melawan kelompok bersenjata Hizbullah (Laskar

(34)

Tuhan) dari Lebanon sewaktu tentara Israel bergerak memasuki wilayah Lebanon selatan semasa Perang Saudara Lebanon, masyarakat umum terkadang mengategorikan kejadian tersebut sebagai perang internasional. Padahal, menurut HHI, pertempuran tersebut barulah bisa dikategorikan sebagai perang internasional jika pihak-pihak yang berkonflik adalah angkatan bersenjata resmi negara Lebanon melawan angkatan bersenjata resmi negara Israel juga. Adapun konflik bersenjata yang melibatkan tentara Israel melawan laskar Hizbullah tidak bisa serta-merta dikategorikan sebagai perang internasional, kecuali jika Hizbullah merupakan bagian dari angkatan bersenjata resmi negara Lebanon atau dari negara lain melawan Israel.

Perbedaan penafsiran dan penilaian tersebut terkadang muncul disaat para pihak yang berkonflik di dalam wilayah suatu negara (misalnya antara pihak kontra-pemerintah/pemberontak/belligerent melawan pasukan pemerintah) melakukan perjanjian atau kesepakatan untuk menerapkan gencatan senjata demi melindungi rakyat sipil dengan melibatkan pihak asing, dalam hal ini negara lain atau organisasi internasional. Sebagaimana diketahui, kesepakatan antara pihak pemberontak/belligerent dengan pasukan pemerintah yang melibatkan negara lain atau organisasi internasional beberapa kali dilakukan, contohnya seperti di Yugoslavia, di Aceh, dan di Sudan.

Masyarakat umum terkadang menyimpulkan bahwa perjanjian atau kesepakatan tersebut langsung menjadikan konflik atau peperangan yang terjadi sebagai perang internasional, sedangkan aturan di dalam HHI tidak ada memuat klausula bahwa perhatian masyarakat dunia bisa langsung merubah status dari para pihak yang bersengketa. Dengan kata lain, perjanjian atau kesepakatan

(35)

mengenai masalah gencatan senjata dan urusan perlindungan kemanusiaan lain antara pihak kontra-pemerintah/pemberontak dengan pasukan pemerintah bukanlah merupakan bentuk pengakuan mengenai perolehan status negara dari pihak asing, dalam hal ini negara lain atau organisasi internasional, kepada pihak yang melawan negara/kontra-pemerintah/pemberontak.

Dari contoh-contoh sengketa bersenjata yang disebut diatas, ternyata tidak sedikit konflik/sengketa bersenjata non-internasional yang dipandang seperti konflik/sengketa bersenjata internasional oleh masyarakat dunia. Namun, dapat pula dijumpai dalam situasi tertentu yang pada awalnya terlihat seperti konflik/sengketa bersenjata non-internasional, lalu dianggap sebagai sengketa bersenjata internasional, yaitu sengketa bersenjata antara pihak kontra- pemerintah/pemberontak melawan pasukan pemerintah yang disokong oleh kelompok-kelompok bersenjata/milisi pro-pemerintah yang tidak termasuk dalam angkatan bersenjata resmi negara tersebut.

Contohnya adalah sengketa bersenjata yang terjadi di wilayah Bosnia- Herzegovina semasa Perang Saudara Yugoslavia antara pihak pemberontak yang mengklaim dirinya sebagai pasukan Republik Bosnia-Herzegovina melawan pasukan pemerintah Republik Federal Yugoslavia yang disebut sebagai JNA (Jugoslavenska narodna armija/Tentara Rakyat Yugoslavia). Dalam hal ini, Republik Federal Yugoslavia mengizinkan JNA untuk bekerjasama dengan

(36)

kelompok-kelompok bersenjata/milisi-milisi pro-pemerintah untuk melawan pihak pemberontak Republik Bosnia Herzegovina.14

Selain itu, terdapat juga situasi yang mirip seperti sengketa bersenjata non- internasional namun menurut HHI harus diterapkan hukum perang yang sebenarnya berlaku untuk taraf perang internasional. Contohnya adalah penegasan dari Majelis Umum PBB dalam Resolusi ES/10-14 dan pernyataan dari Mahkamah Kriminal Internasional dalam Opini Saran/Nasehat (Advisory Opinion) pada 9 Juli 2004 terkait dengan pemberlakuan HHI yang termuat di dalam seluruh ketentuan Konvensi Jenewa IV/1949 di wilayah pendudukan Israel atas tanah Palestina.15 Pemberlakuan seluruh isi ketentuan dari konvensi tersebut bisa diartikan bahwa operasi-operasi militer yang dilakukan oleh angkatan bersenjata resmi negara Israel terhadap wilayah Palestina sebagai bentuk perang internasional menurut pandangan HHI. Padahal, ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap kelompok-kelompok bersenjata kontra-Israel adalah bentuk konflik/sengketa non- internasional, karena tindakan tersebut tergolong sebagai urusan dalam negeri Israel.

Adapun menurut HHI, sebagaimana diindikasikan dalam Opini Saran Mahkamah Kriminal Internasional PBB, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Israel melalui operasi militernya terhadap wilayah Palestina harus mengacu dan berpedoman pada HHI yang berlaku untuk konflik/sengketa internasional

14 Keputusan Appeal Chamber (2 Oktober 1995) ICTY pada kasus The Prosecutor vs Tadic, dalam Marco Sassoli dan Antoine A. Bouvier, How Does Law Protect in War?, Geneva : ICRC, 2006, hlm. 1837.

15 Lihat : ICJ Advisory Opinion 9 Juli 2004 sebagaimana termuat dalam Marco Sassoli, Geneva, 2006, hlm. 1152 dan 1162.

(37)

mengenai situasi pendudukan oleh suatu negara terhadap wilayah kedaulatan negara lain. Dalam hal ini, Mahkamah Kriminal Internasional mengemukakan salah satu faktor penentu yang mendasari opini mengenai tanah Palestina merupakan wilayah pendudukan Israel adalah fakta bahwa tanah Palestina berada diluar kekuasaan atau kedaulatan Israel sebelum terjadi konflik antara tentara Israel melawan kelompok bersenjata kontra-Israel. Oleh karena itu, mengingat aturan yang menetapkan bahwa HHI yang berlaku sewaktu masa pendudukan sama dengan aturan HHI yang berlaku sewaktu terjadi sengketa bersenjata internasional, maka tindakan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap kelompok bersenjata kontra-Israel merupakan tindakan perang internasional.

Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya diatas, pengertian mengenai sengketa bersenjata internasional dinyatakan dalam ketentuan yang bersamaan dari Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 sebagai sengketa bersenjata yang melibatkan 2 negara atau lebih, baik sebagai perang yang diumumkan maupun jika pernyataan perang tersebut tidak diakui oleh salah satu dari para pihak yang bertikai. Penggunaan istilah sengketa bersenjata, dalam ketentuan tersebut, berguna untuk mengurangi kemungkinan argumentasi bagi negara yang berkeinginan menolak pemberlakuan HHI dengan alasan tindakan yang dilakukannya belum termasuk dalam tindakan berperang. Sebab, rumusan dalam Pasal 2 konvensi tersebut menunjukkan bahwa setiap perbedaan yang muncul antara 2 negara dan menyebabkan sampai terjadinya intervensi angkatan bersenjata resmi dari salah satu negara merupakan konflik atau sengketa bersenjata, sekalipun salah satu pihak tidak mengakui adanya situasi peperangan yang terjadi. Aturan HHI untuk sengketa bersenjata internasional juga berlaku di

(38)

wilayah yang diduduki secara sebagian atau keseluruhan oleh pasukan dari negara asing. Aturan HHI tersebut tetap berlaku walaupun pasukan pendudukan tidak menghadapi perlawanan dari penduduk setempat.16

Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik atau sengketa bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu :

1. sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional (international armed conflict),

2. sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional (non-international armed conflict).

Ada beberapa ahli yang menjabarkan bentuk sengketa atau konflik bersenjata ini menurut versinya masing-masing. Haryomataram, salah satunya, membagi dan menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :

1. Konflik bersenjata yang bersifat internasional

Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan nasional (War Of National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).

Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu”

adalah konflik bersenjata antara negara di satu pihak dengan pihak bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk

16 Pasal 2 paragraf 2 Konvensi-konvensi Jenewa 1949.

(39)

kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.

Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict atau konflik bersenjata non-internasional, kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ketiga/negara berkembang, berubah menjadi non-international armed conflict atau konflik bersenjata non-internasional yang diinternasionalisir.

Mengenai apa yang dimaksudkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan

“non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.

Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar-negara (misalnya negara A berperang melawan negara B).

Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 Artikel Umum Konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.

2. Konflik bersenjata yang bersifat non-internasional

Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai

“perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war, misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C

(40)

antara pasukan pemberontak melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 Artikel Umum Konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977. Pasal 3 Konvensi Jenewa menggunakan istilah “sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional”

(armed conflict not of an international character) untuk setiap jenis konflik yang BUKAN merupakan konflik bersenjata internasional.

Namun sayangnya, Pasal 3 Konvensi Jenewa sendiri tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan “sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional” tersebut, sehingga hal ini menimbulkan penafsiran yang sangat luas. Oleh karena tidak terdapat suatu definisi baku secara yuridis, maka sebagai pedoman agar penafsiran terhadap maksud dari frasa tersebut tidak terlalu jauh menyimpang, maka haruslah dilihat apa yang dimaksud dengan “konflik yang tidak bersifat internasional” ini pada Commentary atau komentar Konvensi Jenewa. Komentar ini merupakan hasil rangkuman dari hasil-hasil persidangan dan pendapat para ahli yang terjadi pada saat pembentukan Konferensi Diplomatik yang menghasilkan Konvensi Jenewa 1949.

Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menentukan aturan-aturan HHI dan kewajiban para pihak yang berkonflik untuk melindungi korban perang dalam perang yang tidak bersifat internasional. Namun pasal tersebut tidak memberikan kriteria atau definisi mengenai sengketa bersenjata non-internasional. Kriteria tentang sengketa bersenjata non-internasional dimuat dalam Protokol Tambahan II tahun 1977 tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Non-Internasional. Disebutkan,

(41)

sengketa bersenjata non-internasional yang dimaksud dalam protokol tersebut adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam wilayah kedaulatan suatu negara antara angkatan bersenjata resmi negara tersebut (atau lazim disebut sebagai pasukan pemerintah) melawan kelompok-kelompok bersenjata/pemberontak yang terorganisasi dibawah komando atau hirarki kepemimpinan yang bertanggungjawab, yang mengendalikan sedemikian rupa atas sebagian atau keseluruhan dari suatu wilayah kekuasaannya sehingga memungkinkan kelompok tersebut melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan serta menerapkan aturan-aturan HHI yang termuat dalam Protokol Tambahan II tahun 1977.

Dari perjanjian yang disebut diatas, aturan HHI yang termuat di dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa dapat langsung diberlakukan terhadap setiap sengketa bersenjata non-internasional. Adapun aturan dalam Protokol Tambahan II tahun 1977 baru disebut mengikat terhadap suatu negara jika pihak pemberontak telah memenuhi beberapa kriteria tertentu. Dengan kata lain, untuk menentukan pemberlakuan terhadap aturan protokol tersebut, perlu dilihat bahwa yang dihadapi oleh angkatan bersenjata resmi negara tersebut adalah kelompok pemberontak yang memiliki unsur atau kriteria sbb :

1) Merupakan kelompok bersenjata yang terorganisasi;

2) Berada dibawah komando yang bertanggungjawab;

3) Mengendalikan sedemikian rupa atas sebagian atau keseluruhan dari suatu wilayah kekuasaannya;

4) Mampu melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan;

(42)

5) Mampu menerapkan aturan-aturan HHI yang termuat di dalam Protokol Tambahan II tahun 1977.

Komentar Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa : “Disepakati oleh para peserta Konferensi bahwa keinginan untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan ‘sengketa bersenjata’ (armed conflict), dibatalkan. Sebaliknya disetujui adanya usulan yang berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi agar Konvensi Jenewa dapat diterapkan dalam suatu konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional. Walaupun usul ini tidak diterima secara resmi (karenanya tidak dirumuskan dalam pasal tersendiri di dalam Konvensi Jenewa), namun kiranya bermanfaat untuk diperkirakan dalam keadaan bagaimana Konvensi Jenewa akan berlaku.” Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bahwa pihak pemberontak memiliki kekuatan militer yang terorganisir, dipimpin oleh seorang komandan yang bertanggung jawab terhadap anggotanya, melakukan aksi di dalam wilayah tertentu dan memiliki sarana untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi Jenewa.

2. bahwa pemerintah yang sah dipaksa untuk menggerakkan pasukan reguler (angkatan bersenjata yang resmi) untuk menghadapi pemberontak yang terorganisir secara militer dan yang telah menguasai sebagian wilayah nasional;

3. Adapun pemerintah de jure tempat dimana pemberontak tersebut berada :

1) telah mengakui pemberontak sebagai belligerent;

2) telah mengklaim hak bagi dirinya sebagai belligerent;

(43)

3) telah mengakui pemberontak sebagai belligerent hanya untuk keperluan Konvensi Jenewa ini saja; dan

4) bahwa pertikaian tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan atau Majelis Umum PBB sebagai ancaman terhadap perdamaian internasional, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi;

4. Adapun pihak pemberontak telah terorganisir sedemikian rupa dan memiliki :

1. suatu organisasi yang mempunyai sifat sebagai sebuah “negara”;

2. penguasa sipil (civil authority) dari pemberontak tersebut dapat melaksanakan kekuasaannya terhadap orang-orang di dalam wilayah tertentu;

3. bahwa pasukan pemberontak tersebut melakukan operasi-operasi militernya dibawah kekuasaan penguasa sipil yang terorganisir tersebut;

4. bahwa penguasa sipil dari pihak pemberontak setuju untuk terikat pada ketentuan Konvensi ini.

Dalam perkembangannya, khususnya dalam kesepakatan yang termuat di dalam Statuta Roma tahun 1998, pemberlakuan aturan HHI untuk sengketa bersenjata non-internasional tidak lagi memerlukan syarat bahwa kelompok pemberontak tersebut telah mengendalikan sedemikian rupa atas sebagian atau keseluruhan dari suatu wilayah kekuasaannya dan berada dibawah komando yang bertanggungjawab. Asalkan konflik atau sengketa terjadi secara berkelanjutan dan kelompok pemberontak yang dihadapi memang merupakan kelompok yang

(44)

terorganisasi, maka negara dan pihak pemberontak terikat untuk mematuhi aturan- aturan yang termuat di dalam HHI.

Atas adanya usul yang memuat syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas, maka menurut Jean Pictet, usulan tersebut bermanfaat sebagai suatu sarana untuk membedakan suatu sengketa bersenjata dalam pengertian yang sebenarnya, dengan tindakan kekerasan bersenjata lainnya seperti tindakan para penjahat (banditry), atau pemberontakan yang tidak terorganisir dan tidak berlangsung lama (unorganized and shortlived insurrection).

J.G. Starke juga membagi jenis-jenis konflik bersenjata sbb :

1. War proper between States (Perang yang memang terjadi antara 2 negara atau lebih, yang berarti bahwa “war proper” adalah “declared war”, yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration of war” atau pernyataan perang resmi), dan

2. Armed conflict which are not of the character of war (Konflik bersenjata yang bukan merupakan ciri dari perang, yang berarti pemberontakan atau insurgensi di dalam wilayah suatu negara antara pihak pemerintah melawan pihak kontra- pemerintah). Mengenai “armed conflict”, yang menjadi pihak dalam konflik ini bukanlah negara, namun pihak bukan negara dalam konflik tersebut.

Shigeki Miyazaki juga menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :

1. Konflik bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977.

2. Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin

(45)

kampanye pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol.

3. Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun Protokol.

4. Konflik bersenjata antara dua bukan pihak peserta (non-contracting parties).

5. Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional (pemberontakan).

6. Konflik bersenjata yang lain.

Dieter Fleck : Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku/sah dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anggotanya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara.

Pietro Verri : Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak. Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat- syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

1) Menyelenggarakan pelaksanaan dan penilaian kegiatan Klinik Sanitasi di dalam maupun di luar gedung Puskesmas. 2) Melakukan pengumpulan pengolahan dan analisis data tentang

H0 = menunjukkan bahwa variabel bebas (produksi garam domestik, nilai kurs, harga garam impor, jumlah industri pengguna garam dan pertumbuhan GDP Indonesia per kapita) secara

Penelitian menemukan bahwa tanpa melewati fase word of mouth dan brand awareness terlebih dahulu maka internet marketing yang dilakukan oleh perusahaan tidak akan dapat

Google Apps merupakan salah satu aplikasi dalam jaringan (online) yang memungkinkan mengelola media komunikasi dalam media sosial yang memungkinkan aplikasi-aplikasi

Kehadiran masyarakat muslim dayak ngaju dalam pelaksanan upacara tewah, yaitu Upacara Tiwah adalah upacara terbesar yang hanya dilakukan oleh masyarakat

DAFTAR

Berdasarkan hasil tindakan pada siklus I menunjukkan bahwa hasil belajar yang didapat belum mencapai indikator yang ditentukan untuk hasil belajar (≥50% dari