• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEMATIKA PEMAHAMAN MAKNA BAHASA INDONESIA PADA MAHASISWA ASAL MALAYSIA DI UIN SUNAN AMPEL SURABAYA PENELITI:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROBLEMATIKA PEMAHAMAN MAKNA BAHASA INDONESIA PADA MAHASISWA ASAL MALAYSIA DI UIN SUNAN AMPEL SURABAYA PENELITI:"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

PROBLEMATIKA PEMAHAMAN MAKNA BAHASA INDONESIA PADA MAHASISWA ASAL MALAYSIA

DI UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

PENELITI:

Dr. Lukman Fahmi S.Ag, M.Pd NIP: 197311212005011002

Dra. Faizah Nur Laila, M.Si NIP: 196012111992032001

Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

(2)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN INDIVIDUAL

Menyetujui,

Kepala Pusat Penelitian dan Penerbitan

Surabaya, Peneliti

Dr. Phil. Khoirun Ni’am NIP. 197007251996031004

Dr. Lukman Fahmi, S.Ag, M.Pd NIP. 197311212005011002

Mengesahkan,

Ketua LP2M UIN Sunan Ampel

Prof. Dr. H. Sahid HM, M.Ag., M.H NIP. 196803091996031002

1. Judul Penelitian : Problematika Pemahaman Makna Bahasa Indonesia pada Mahasiswa Asal Malaysia di Uin Sunan Ampel Surabaya a. Nama Lengkap/NIP : Dr. Lukman Fahmi, S.Ag., M.Pd. / 197311212005011002 b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Pangkat/Golongan : Lektor Kepala/III-d

d. Fakultas/Prodi : Fakultas Dakwah dan Komunikasi/Bimbingan dan Konseling Islam

2. Bidang Ilmu yang

Diteliti : Bahasa Indonesia 3. Lama Penelitian : 8 bulan

4. Bantuan Dana Penelitian

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Penulis bersyukut kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian individual yang berjudul Problematika Pemahaman Makna Bahasa Indonesia pada Mahasiswa Asal Malaysia di UIN Sunan Ampel Surabaya. Peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap pihak yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan penelitian ini, sehingga peneliti dapat memenuhi salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni penelitian. Harapannya, penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan rujukan sehingga menambah khazanah keilmuan Bahasa Indonesia serta dapat dijadikan sebagai landasan penentuan strategi pemecahan masalah terhadap kasus yang serupa.

Terakhir, kata pepatah “Tiada gading yang tak retak” seperti menggambarkan penelitian ini, bahwasanya laporan penelitian ini juga tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu, peneliti berharap kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan karya-karya lain di masa mendatang.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surabaya,

Peneliti

(4)

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Penegasan Istilah ... 6

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ... 7

2.1 Penelitian Terdahulu ... 7

2.2 Kerangka Konseptual ... 9

2.3 Kerangka Teoritis ... 10

2.4 Bahasa ... 11

2.4.1 Ragam Bahasa... 13

2.4.1.1 Ragam Bahasa Tulis ... 13

2.4.1.2 Ragam Bahasa Lisan ... 14

2.4.2 Tata Bahasa ... 16

2.5 Sosiolinguistik ... 20

2. 6 Bilingualisme ... 24

(5)

v

BAB III : METODE PENELITIAN ... 42

3.1 Jenis Penelitian ... 42

3.2 Lokasi Penelitian ... 43

3.3 Subjek Penelitian ... 44

3.4 Fokus Penelitian ... 48

3.5 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ... 49

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

4. 1 Setting Penelitian ... 61

4. 2 Hasil Penelitian ... 67

4. 3 Faktor Penyebab Kesulitan Pemahaman Bahasa ... 93

BAB V : PENUTUP... 105

5.1 Kesimpulan ... 105

5.2 Rekomendasi ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 111

LAMPIRAN ... 114

(6)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel Rincian Kegiatan Penelitian ... 63 Jadwal wawancara dengan informan ... 66

(7)

vii

Abstrak

Bahasa merupakan salah satu bentuk komunikasi yang digunakan dalam semua aspek kehidupan, tidak terkecuali pendidikan. Adanya pengaruh globaliasi menuntut sektor pendidikan beradaptasi menuju ruang global. Salah satu implementasi dari fenomena ini adalah digagasnya program-program kerjasama bilateral dan multilateral pendidikan seperti pertukaran mahasiswa (student exchange). Kegiatan seperti ini tak dipungkiri memberikan manfaat berupa perolehan pengetahuan baru dan pengembangan kemampuan mahasiswa yang bersangkutan, lebih-lebih jika kerjasama dilakukan dengan negara bonafit. Namun di sisi lain, kegiatan pertukaran mahasiswa memberikan tantangan tersendiri khususnya dalam hal kultur, seperti contoh bahasa yang digunakan di negara tujuan.

Kata kunci: Bahasa, Mahasiswa Asing, BIPA.

(8)

viii

Abstract

Language is a form of communication used in all aspects of life, education is no exception. The influence of globalization requires the education sector to adapt to global space. One implementation of this phenomenon is the initiation of bilateral and multilateral educational cooperation programs such as student exchanges.

Activities like this undeniably provide benefits in the form of the acquisition of new knowledge and the development of the abilities of the students concerned, especially if the collaboration is carried out with a bona fide state. But on the other hand, student exchange activities present their own challenges, especially in terms of culture, such as the example of the language used in the destination country.

Keywords: Language, Foreign Students, BIPA.

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan salah satu bentuk komunikasi yang digunakan dalam semua aspek kehidupan, tidak terkecuali pendidikan. Adanya pengaruh globalisasi menuntut sektor pendidikan beradaptasi menuju ruang global. Salah satu implementasi dari fenomena ini adalah digagasnya program-program kerjasama bilateral dan multilateral pendidikan seperti pertukaran mahasiswa (student exchange). Pertukaran mahasiswa sudah sering dilakukan oleh Indonesia dengan negara-negara lain. Dalam lingkup regional ASEAN, kerja sama pendidikan dilakukan antara negara Indonesia dan Malaysia khususnya menyangkut pendidikan agama Islam.

Perkembangan (kualitas) perguruan tinggi di Indonesia yang semakin lama semakin bersaing dengan perguruaan tinggi di dunia menyebabkan negara tetangga Malaysia menaruh harapan kepada Indonesia untuk memberi beasiswa kepada penduduknya memperdalam Ilmu di Indonesia. Karakter pendidikan yang memadukan antara ilmu umum dan agama membuat pemerintah negara Malaysia tertarik untuk menyekolahkan putra-putri bangsanya ke Indonesia. Salah satunya adalah di Universitas Sunan Ampel Surabaya (UINSA), yang merupakan salah satu PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) di bawah naungan Kementerian Agama.

Kegiatan seperti ini tak dipungkiri memberikan manfaat berupa perolehan pengetahuan baru dan pengembangan kemampuan mahasiswa yang

(10)

2

bersangkutan, lebih-lebih jika kerjasama dilakukan dengan negara bonafit.

Namun di sisi lain, kegiatan pertukaran mahasiswa memberikan tantangan tersendiri khususnya dalam hal kultur, seperti contoh bahasa yang digunakan di negara tujuan. Karena bahasa sebagai salah satu bagian dari budaya yang memiliki beberapa fungsi, salah satunya fungsi interpersonal. Maka, melalui fungsi interpersonal yang dimiliki oleh bahasa ini, seseorang dapat berinteraksi dan mewujudkan hubungan-hubungan sosial dengan orang lain sehingga segala kebutuhannya dapat dipenuhi. Kesulitan dalam berbahasa dikarenakan faktor-faktor seperti perbedaan bahasa akan menyebabkan komunikasi terhambat, sehingga pemenuhan kebutuhan tidak dapat berjalan dengan lancar.

Tantangan dalam kemampuan berbahasa terlihat sangat jelas dan merupakan permasalahan yang dapat langsung diprediksi oleh pihak-pihak yang terkait dalam program kerjasama. Mengingat kemampuan menguasai bahasa kedua cenderung lebih sulit dan kurang maksimal dari pada bahasa ibu, maka negara yang terkait dalam perjanjian mengisyaratkan kelas pelatihan bahasa sebelum memulai kelas pembelajaran regular. Jika dimasukkan dalam konteks Indonesia, pelatihan ini dirupakan Bahasa Indonesia Penutur Asing (BIPA).

Permasalahan dalam pemahaman bahasa kedua juga dialami oleh mahasiswa asal Malaysia yang menempuh pendidikan jenjang S1 di Universitas Negeri Islam Sunan Ampel Surabaya. Sebagai perguruan tinggi yang berlokasi di Indonesia, merupakan sebuah kewajiban bagi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya menggunakan Bahasa Indonesia utamanya dalam lingkup akademik. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang

(11)

3

Nomor 24 tahun 2009 pasal 29 ayat 1 yang berbunyi, “Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional”. Terdapat pengecualian ketentuan di atas untuk satuan pendidikan asing dan satuan pendidikan khusus yang mendidik warga negara asing. Tetapi, dalam konteks mahasiswa asing yang terlibat dalam program kerjasama pendidikan antar- negara tentu terlepas dari kedua pengecualian di atas.

Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji masalah penutur Bahasa Melayu sebagai bahasa ibu. Mereka adalah mahasiswa asal Malaysia di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang mengalami kendala dalam pemahaman Bahasa Indonesia baku, terlebih lagi ketika mereka dituntut untuk menunjukkan keterampilan berbahasanya dalam lingkungan akademik perkuliahan. Problematika bahasa yang dialami umumnya disebabkan karena perolehan pengetahuan tentang Bahasa Indonesia yang terlambat dari fase emas perkembangan kemampuan bahasa. Sehingga pemahaman tentang bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua kurang komprehensif. Faktor lain problematika ini juga berasal dari kesamaan asal-usul bahasa Malaysia dan bahasa Indonesia yang berinduk pada bahasa Melayu. Persamaan ini menyebabkan rawannya penutur bahasa Malaysia melakukan kesalahan- kesalahan kebahasaan seperti kesalahan ejaan, kosa kata, makna, awalan dan akhiran

Contoh permasalahan yang sering dihadapi oleh mahasiswa asal Malaysia adalah ketika mengerjakan tugas tertulis atau skripsi. Banyak mahasiswa yang penataan penulisannya tidak sesuai dengan bahasa Indoensia.

Hal tersebut karena kurang pahamnya para mahasiswa terhadap bagaimana

(12)

4

cara penulisan yang sesuai dengan bahasa Indonesia. misalnya kata

“Berpusing-pusing” jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah

“Berputar-putar” akan tetapi kata “Pusing” sendiri dalam bahasa Indonesia mempunyai makna “sakit kepala”. Selain permasalahan tersebut mahasiswa asal Malaysia juga mengalami kesulitan memahami atau menangkap materi yang disampaikan oleh dosen dikarenakan banyak dosen pengampu mata kuliah sering menggunakan bahasa Jawa atau bahasa daerah. Sehingga menghambat atau memperlambat penyelesaian tugas akhir berupa skripsi, dimana skripsi itu sendiri menjadi syarat mutlak untuk mendapat gelar sarjana.

Masalah di atas idealnya dapat diatasi dengan pemberian pelatihan Bahasa Indonesia Penutur Asing (BIPA) sebelum masa perkuliahan dimulai.

Namun pemberian pelatihan BIPA yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pembinaan Bahasa Indonesia untuk warga negara asing memunculkan permasalahan baru yang akhirnya mengurangi bahkan menghilangkan peranan pelatihan BIPA dalam memberikan pengantar Bahasa Indonesia. Atas dasar permasalahan yang muncul di lingkungan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tersebut, peneliti melakukan kajian mengenai “Problematika Pemahaman Makna Bahasa pada Mahasiswa Asal Malaysia di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja problematika pemahaman makna bahasa yang dialami oleh mahasiswa asal Malaysia di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya?

(13)

5

2. Apa saja yang menjadi faktor utama penyebab munculnya problematika pemahaman makna Bahasa Indonesia pada mahasiswa asal Malaysia di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk menggali dan menganalisis problematika pemahaman makna Bahasa Indonesia yang dihadapi oleh mahasiswa asal Malaysia di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

2. Untuk mengidentifikasi dan memaparkan faktor utama yang menjadi penyebab munculnya problematika pemahaman makna Bahasa Indonesia pada mahasiswa asal Malaysia di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

1.4 Manfaat Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menggali, menganalisis dan memaparkan problematika yang dihadapi oleh mahasiswa asal Malaysia di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya terkait pemahaman Bahasa Indonesia utamanya dalam penggunaan di lingkungan akademik perkuliahan serta faktor penyebabnya. Beriringan dengan tujuan tersebut, manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai bahan evaluasi dan masukan kepada pihak penyelenggara program kerjasama dalam hal keberhasilan program dinilai dari pemenuhan syarat utama yang berupa penguasaan bahasa negara yang dituju / dilibatkan (dalam konteks ini Bahasa Indonesia),

(14)

6

sehingga pihak-pihak terkait dapat melakukan perbaikan dan pengembangan lebih lanjut.

1.5 Penegasan Istilah

a. Mahasiswa Asing : Mahasiswa asal luar Negara Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Indonesia

b. BIPA : Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing.

c. Sosiolinguistik : Cabang ilmu yang mempelajari bahasa yang ada di masyarakat.

(15)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian ini merupakan hasil pikiran otentik peneliti yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Akan tetapi, dalam menyusun penelitian ini, peneliti mengkaji beberapa penelitian terdahulu dengan tema sejenis sebagai bahan perbandingan dan referensi. Beberapa penelitian yang dimaksud antara lain:

1. Penelitian oleh Sy-ying Lee (2005)

Penelitian selanjutnya ditulis oleh Sy-ying Lee berjudul

“Facilitating and Inhibiting Factors in English as a Foreign Language Writing Performance: A Model Testing With Structural Equation Modeling”. Penelitian ini mengkaji tentang (1) Korelasi antara writer’s block (WB) dan writing anxiety (WA) sebagai faktor penghambat performansi menulis mahasiswa dalam English as Foreign Language (EFL);

(2) Korelasi antara faktor kesempatan membaca, praktik menulis di luar sekolah dan anggapan mahasiswa tentang pelajaran membaca dan menulis formal sebagai faktor pendukung performansi menulis mahasiswa dalam EFL; (3) Kombinasi efek yang dihasilkan oleh faktor-faktor tersebut dalam performansi menulis mahasiswa. Penelitian ini diujikan kepada 433 mahasiswa jurusan Bahasa Inggris di 4 universitas di Taiwan yang mengikuti kelas menulis dan berbicara dalam Bahasa Inggris. Instrumen yang digunakan untuk menghimpun data berupa kuisioner yang dimodifikasi sesuai dengan konteks penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau asing dengan menggunakan skala A Likert-type berisi 5

(16)

8

range jawaban dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju).

Kesimpulan dari penelitian ini adalah writer’s block dan writing anxiety tidak menunjukkan banyak pengaruh terhadap performansi menulis mahasiswa yang diduga karena tingkat kesulitan tes menulis saat penelitian rendah dan subjek dapat mengendalikan kecemasannya.

2. Penelitian oleh Darsita S. (2014)

Penelitian yang dilakukan oleh Darsita S. mengangkat judul

“Penggunaan Kalimat Bahasa Indonesia oleh Mahasiswa Penutur Bahasa Asing”. Fokus permasalahan dalam penelitian ini terletak pada kesalahan yang kerap terjadi pada penggunaan Bahasa Indonesia ragam tulis oleh mahasiswa penutur bahasa asing serta analisis faktor penyebabnya.

Penelitian yang bersifat kualitatif deskriptif ini mengambil subjek mahasiswa penutur bahasa asing di Pusat Pengembangan Bahasa UIN Jakarta yang terdiri dari mahasiswa asal Thailand, Turki, Myanmar, Kanada dan Somalia. Sumber data didapat dari pengumpulan dokumen karya tulis mahasiswa penutur bahasa asing untuk selanjutnya dianalisis menggunakan kerangka analisis etnografik. Hasil dari penelitian ini adalah kesalahan- kesalahan yang kerap dilakukan mahasiswa penutur bahasa asing dalam ragam Bahasa Indonesia tulis terletak pada aspek penggunaan ejaan, pembentukan kata, tata urutan atau struktur kata dan pemahaman tentang makna sebuah kata dalam konteks tertentu.

(17)

9

2.2 Kerangka Konseptual

Mengacu pada rumusan masalah sebelumnya, konsep yang dikaji dalam penelitian ini adalah kemampuan pemahaman makna bahasa, spesifiknya bahasa kedua (second language). Pemahaman makna bahasa dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengenali, mengartikan dan menafsirkan unsur-unsur bahasa untuk menghasilkan makna tertentu sesuai dengan konteks penggunaan bahasa saat itu. Kemampuan pemahaman makna bahasa seseorang erat kaitannya dengan perkembangan linguistik yang terjadi menurut fase hidupnya dan juga bahasa yang menjadi bahasa ibu.

Pada anak-anak dengan pertumbuhan dan perkembangan normal, kemampuan pemahaman bahasa mencapai titik optimalnya pada masa emas (golden age) yaitu usia 0-6 tahun. Pendapat lain juga menyatakan bahwa perkembangan kemampuan pemahaman bahasa berlanjut dari usia 6-15 tahun (sebelum pubertas), yang mana usia ini dikategorikan sebagai critical age. Pada masa-masa ini, seseorang cenderung lebih banyak belajar tentang bahasa ibunya sehingga pemahaman makna yang didapatkan terkait bahasa ibu lebih dalam dibanding bahasa setelahnya. Sedangkan pemahaman makna terhadap bahasa kedua, menjadi lebih sulit diperoleh ketika seseorang baru mempelajarinya saat memasuki usia pubertas atau pasca-pubertas.

Kemampuan pemahaman makna bahasa berkaitan erat dengan keterampilan bahasa seseorang. Keterampilan bahasa yang dimaksud meliputi (1) Keterampilan menyimak, (2) Keterampilan berbicara, (3) Keterampilan membaca, (4) Keterampilan menulis dan (5) Keterampilan bersastra. Ketika seseorang telah mampu menangkap makna dari kalimat yang didengar, maka

(18)

10

ia juga akan mampu menghasilkan performasi bahasa berupa ujaran.

Terjadinya gangguan dalam proses pemahaman makna bahasa mengakibatkan kekurang mampuan berbahasa sehingga seseorang akan kesulitan atau menjadi kurang mampu dalam menampilkan performasi bahasa berupa keterampilan bahasa. Adapun dalam penelitian ini, keterampilan bahasa yang diteliti berfokus pada keterampilan berbicara dan menulis.

2.3 Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis merupakan identifikasi teori-teori yang dijadikan landasan berfikir dalam sebuah penelitian guna mendeskripsikan kerangka referensi atau terori yang digunakan untuk mengakaji permasalahan.

Pemahaman tersebut sejalan dengan pernyataan Sumantri yang mengatakan bahwa pada hakekatnya memecahkan masalah yaitu dengan menggunakan pengetahuan ilmiah sebagai dasar argumen dalam mengkaji persoalan agar kita mendapatkan jawaban yang dapat diandalkan. Dalam hal ini peneliti mempergunakan teori-teori ilmiah sebagai alat bantu peneliti dalam memecahkan permasalahan.1 Sehingga cukup jelas bahwa kerangka teori merupakan hal mutlak dalam sebuah penelitian maupun pemecahan masalah.

Pendapat pentingnya kerangka teori dalam sebuah penelitian juga dikemukakan oleh Ahimsa-Putra, bahwa kerangka teori dalam penelitian adalah karena sifat dan cakupannya yang lebih luas dari pada ‘teori’ sehingga kerangka teori dipandang memilki sudut pandang yang lebih mampu melihat persoalan yang ingin dikaji, terutama dalam ilmu sosial-budaya. Sehingga alat

1 Jujun S. Soeryasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1978, h. 316

(19)

11

analisa yang digunakan bukan lagi ‘teori’ namun ‘kerangka’ teori yang berisikan tata-urut kerangka kerja dalam mengkaji sesuatu. Dengan demikian, dapat diambil penjelasan bahwa kerangka teori berisikan seperangkat atau beberapa teori yang digunakan bersama untuk menganalisis sesuatu, sebab seringkali persoalan-persoalan yang ada tidak mampu dibedah secara mendalam dan mendetail hanya dengan sebuah teori.

Kerangka teori yang digunakan pada penelitian kali ini berfokus pada Bahasa, Sosiolinguistik, BIPA, dan Student exchange. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengungkap masalah penggunaan Bahasa Indonesia dikalangan Mahasiswa asal Malaysia yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya serta memberikan saran sebagai perbaikan sistem pada pemberian bantuan bahasa terhadap mahasiswa asal Malaysia. Sehingga memudahkan mahasiswa- mahasiswa tersebut dalam memahami materi yang diberikan maupun tugas- tugas yang diberikan.

2.4 Bahasa

Bahasa merupakan suatu ungkapan yang mengandung maksud untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Sesuatu yang dimaksudkan oleh pembicara bisa dipahami dan dimengerti oleh pendengar atau lawan bicara melalui bahasa yang diungkapkan. Secara historis Bahasa berasal dari bahasa Sanskerta bhāṣā. Chaer dan Agustina (1995:14) fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Hal ini sejalan dengan pendapat I.G.N Oka dan Soeparno (1994:3) yang menyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi oral yang arbiter yang digunakan oleh seklompok manusia (masyrakat)

(20)

12

sebagai alat komunikasi. 2 Bahasa merupakan suatu ungkapan yang mengandung maksud untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Dengan bahasa informasi dapat disebarluaskan atau dibagikan. Sehingga jika bertanya soal Bahasa merupakan suatu kepentingan yang harus ada dalam kehidupan sosial seperti; kerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.3

Bahasa merupakan alat komunikasi yang ada sejak peradaban manusia dimulai. Sekalipun pada awal kemunculannya tidak diketahui pasti seperti apa wujudnya, tetapi yang jelas bahasa itu benar-benar ada dan mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari awal kemunculannya. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor manusia yang mengalami evolusi, dimana ada beberapa bagian tubuh mengalami perubahan dan memiliki fungsi yang lebih baik. Organ yang paling memberikan pengaruh terhadap perkembangan bahasa adalah Otak. Otak merupakan organ utama pada manusia, dimana pada organ tersebut berisi kumpulan informasi yang berkaitan dengan tindakan manusia.

Kemungkinan perkembangan yang terjadi pada awalnya manusia hanya mampu mengucapkan “gugu, gaga” atau bahasa non verbal lainnya untuk berkomunikasi dan hidup bergantung pada hasil buruan atau tanaman yang ada, lambat laun manusia mampu mengucapkan tidak hanya “gugu, gaga” tetapi lebih dari itu serta tidak lagi bergantung pada hasil buruan tetapi kerajinan hingga mampu memunculkan huruf dan mampu hidup dengan cara masing- masing seperti saat ini. Semua peristiwa tersebut dipengaruhi oleh perkembangan otak dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan zaman.

2 I.G.N Oka dan Suparno, Linguistik umum, Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan DIkti, hal. 3

3 Harimurti K.,Kamus Linguistik,Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 2001, hal. 21

(21)

13

2.4.1 Ragam Bahasa

Ragam bahasa dapat diartikan sebagai variasi bahasa. Menurut Bachman (1990), ragam bahasa bervariasi menurut topik yang dibicarakan, hubungan antar pembicara dengan lawan bicara dan media yang digunakan dalam berkomunikasi4. Diantara berbagai ragam bahasa, ada ragam bahasa yang disebabkan oleh faktor media. Ragam tersebut merupakan ragam bahasa tulis dan ragam bahasa lisan.

2.4.1.1 Ragam Bahasa Tulis

Ragam bahasa tulis merupakan ragam bahasa yang dihasilkan sebagai pemanfaatan media tulis. Unsur utama dalam ragam bahasa ini adalah huruf atau tulisan. Di samping itu, dalam penggunaan ragam bahasa tulis perlu diperhatikan mengenai aturan-aturan tata bahasa seperti pemilihan kosa kata, penggunaan afiks dan prefiks, struktur kalimat, serta penggunaan ejaan dan tanda baca. Berbeda dengan tata bahasa lisan yang memerlukan kehadiran orang lain secara langsung (tatap muka), penggunaan ragam bahasa tulis tidak bergantung pada aspek kehadiran tersebut. Selain itu, bahasa tulis juga lebih fleksibel secara ruang dan waktu. Maksudnya, pesan yang disampaikan menurut ragam bahasa tulis tidak semerta-merta hilang hanya karena pembicara dan penerima pesan berada di zona waktu yang berbeda. Hal ini tentu saja disebabkan karena

4 Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.

(22)

14

kemampuan media bahasa ragam tulis yang dapat

“mengawetkan” pesan meskipun dalam jangka waktu yang lama. Ciri lain dari ragam bahasa tulis adalah krusialnya penggunaan tanda baca atau ejaan yang dapat menentukan keberhasilan penyampaian tujuan pembicara kepada lawan bicara. Adanya kesalahan penggunaan tata bahasa dapat menimbulkan ambiguitas yang berakhir pada gagalnya penyampaian maksud pembicara. Kesalahan gramatikal dalam penggunaan ragam bahasa tulis ini sering dialami oleh kalangan penutur asing Bahasa Indonesia dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap aturan ketatabahasaan Bahasa Indonesia. Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa penyusunan bahasa tulis menuntut kesempurnaan dan kesesuaian grammatikal yang lebih tinggi daripada bahasa lisan.

2.4.1.2 Ragam Bahasa Lisan

Ragam bahasa lisan adalah ragam bahasa yang dihasilkan dari alat ucap (organ of speech) yang tidak bergantung pada penggunaan media seperti ragam bahasa tulis. Meskipun begitu, dalam penggunaan ragam bahasa lisan kita tetap harus memperhatikan aturan grammatikal seperti pemilihan kosa kata, penyusunan struktur kalimat, pelafalan serta intonasi yang diperlukan untuk menyampaikan pesan agar lebih bermakna, lebih-lebih jika

(23)

15

pembicara dihadapkan pada konteks formal. Hal lain yang harus diperhatikan ketika menggunakan bahasa lisan adalah ekspresi serta ragam komunikasi non-verbal lain yang dapat digunakan untuk menekankan maksud pembicara.

Meskipun dalam konteks percakapan santai kesalahan bahasa ragam tulis lisan dapat diatasi dengan penggunaan berbagai jenis komunikasi non-verbal, nyatanya hal-hal seperti minimnya pengetahuan akan kosa kata Bahasa Indonesia serta kesalahan penyusunan struktur kalimat dapat membuat informasi yang diucapkan menjadi kurang bermakna. Yang sering dijumpai, ada pada kasus penutur asing Bahasa Indonesia yang sering menggunakan struktur kalimat bahasa pertama mereka dalam percakapan menggunakan Bahasa Indonesia. Contohnya, penutur Bahasa Inggris (L1) akan cenderung mengucapkan kata kepemilikan terlebih dahulu sebelum objek yang dimiliki dalam Bahasa Indonesia (contohnya: saya rumah, Toni topi, anda sepatu) sebagai akibat dari pengaruh struktur kalimat yang digunakan pada bahasa aslinya (L1) (contohnya: my house, Toni’s hat, your shoes).

Sekalipun sudah ada sejak dahulu, bahasa baik dalam bentuk lisan maupun tulisan tidak bisa asal dituturkan. Bahasa sendiri sejatinya kumpulan kata yang tesusun secara sistematis. Ada aturan dan susunan yang sistematis agar bahasa yang disampaikan dapat dipahami oleh

(24)

16

pembaca dan pendengarnya. Baik saat berbicara maupun menulis, setiap kata yang akan kita ucapkan dan tulis haruslah mengikuti aturan yang ada, semestinya aturan-aturan itu terbentuk di lingkungan di mana bahasa tersebut berkembang. Dalam menyampaikan informasi, perasaan, gagasan atau ide tentunya diperlukan kata-kata yang tepat. Seperangkat aturan yang mendasari pemakaian bahasa inilah yang disebut dengan tata bahasa.

2.4.2 Tata Bahasa

Tata bahasa merupakan ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang mengatur penggunaan bahasa yang juga merupakan bagian dari bidang ilmu yang mempelajari bahasa yang dikenal sebagai Linguistik.

Nama lain dari tata bahasa adalah paramasastra. Semua bahasa memiliki aturanya masing-masing, begitu pula dengan bahasa Indonesia. Tata bahasa Indonesia telah diatur dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI). 5 Umumnya tata bahasa bersifat normatif atau umum, dimana tata bahasa disusun berdasarkan gejala-gejala bahasa yang umum dipakai dalam llingkungan masyarakat. 6 Tata bahasa memiliki ciri yaitu pertama, pembentukan kata dilihat dari afikasi (pengimbuhan) dan reduplikasi (pengulangan). Kedua, sarana-sarana dari tingkat leksikal maupun di tingkat gramatikal dapat digunakan untuk menyatakan arti. Ketiga, satuan sintaksis bersifat senyawa. Dan yang

5 S. Takdir A. Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia, Jakart: Dian Rakyat 1978.

6 Ibid

(25)

17

terakhir, memiliki salinan tingkat gramatikal dan leksikal yang perlu diperhatikan.

Pada bidang ilmu linguistik, tata bahasa termasuk ke dalam kajian sistem bahasa, dikarenakan bahasa sendiri memiliki sistem internal yang disusun secara sistematis mengikuti aturan atau pola tertentu yang disebut tataran bahasa. Terdapat berbagai konsep yang berusaha menjelaskan hirarki antar subsistem dalam tata bahasa. Diantaranya adalah konsep bahwa dalam kajian tata bahasa, berbagai subsistem yang ada membentuk satuan yang lebih besar. Subsistem paling kecil adalah morfem yang merupakan satuan terkecil pembentuk kata dalam tata bahasa. Kata pada akhirnya akan membentuk frasa, klausa, kalimat, monolog atau percakapan. Sehingga, tata bahasa merupakan struktur hirarkis yang dibentuk atas kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana7. Gabungan tataran morfologi dan tataran sintaksis disebut dengan tataran tata bahasa atau tataran gramatika.

Konsep lain mencantumkan morfem yang merupakan unsur paling kecil pembentuk kata ke dalam hirarki tata bahasa. Pola sistem dalam konsep ini mengikuti struktur hirarkis berjenjang yang tersusun atas fonologi, morfologi dan sintaksis. Tataran fonologi menduduki tataran terendah dalam hirarki tata bahasa, di dalamnya terdapat subsistem fon dan fonem. Lebih tinggi dari fonologi, terdapat morfologi yang mencakup subsistem morfem dan kata. Pada hirarki tertinggi, terdapat

7 Pike, Kenneth L dan Pike, Evelyn G. 1982. Grammatical Analysis. Summer Institute of Linguistics. Publication in Linguistics. Number 53

(26)

18

sintaksis yang terdiri dari kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana. Serupa tapi tak sama, konsep lain mendefinisikan tata bahasa atas morfologi (subsentensial), sintaksis (sentensial) dan wacana (suprasentensial)8. Tataran subsentensial mengatur tentang pembentukan sebuah kata dan bagaimana kata tersebut difungsikan, seperti bagaimana pengelompokan kata ke dalam Nomina, Verba, Ajektiva, Adverbia, kata kerja bantu, preposisi, pronomina, konjungsi dan partikel serta bagaimana fungsi dari berbagai kelompok kata tersebut. Dalam hirarki lebih tinggi, tataran sentensial mengatur bagaimana kedudukan kata dan pola penggunaannya dalam kalimat. Hal ini termasuk pada: (i) Bentuk kalimat, yaitu kalimat sederhana, kalimat tunggal dan kalimat majemuk; (ii) Macam kalimat, yang meliputi kalimat deklaratif, interogatif dan imperative; serta (iii) Tema-rema kalimat, seperti fungsi Subjek-Predikat dalam kalimat.

Adapun tataran suprasentensial mengkaji tentang bagaimana menampilkan bentuk kata dalam sebuah wacana yang sesuai. Kajian yang dimaksud berkaitan dengan kohesi, register, genre dan given/new.

Berbagai perbedaan konsep mengenai tata bahasa tersebut memiliki satu kesamaan dimana tata bahasa tersusun atas sistem hirarkis dimana subsistem terkecil membangun subsistem lain yang lebih besar.

Dalam tata bahasa, terkandung tiga dimensi linguistik yaitu morfosintaksis (bentuk), semantik (makna) dan pragmatik (penggunaan).

Sebenarnya, dimensi bentuk dalam tata bahasa juga dapat diwakilkan

8Murcia, Marianne Celce, Freeman, & Diane Larsen. 2000. The Grammar Book (second edition). USA: Heinley & Heinley Publisher.

(27)

19

oleh fonologi dikarenakan maksud bentuk di sini tidak terbatas pada bentuk kata atau kalimat, namun juga bagaimana ketepatan pelafalan bunyi kata atau kalimat tersebut9. Hal ini menimbulkan pemahaman bahwa dimensi tata bahasa membentuk sebuah kesatuan atas bagaimana sebuah kata atau kalimat disusun berdasarkan bentuk tertentu, diucapkan berdasarkan pelafalan yang tepat. Selain itu, dimensi tata bahasa juga menekankan pada bagaimana bagian bahasa tersebut digunakan, sehingga terjalin hubungan antara struktur, fungsi dan proses kebahasaan.

Tata bahasa memiliki berbagai variasi model yang menentukan apa saja aspek yang dikaji dalam ketatabahasaannya serta bagaimana kedudukan dan pengaruhnya antara satu dengan yang lain. Diantara berbagai macam model tersebut ada tata bahasa tradisional, struktural, transformasional dan pedagogik. Tata bahasa pedagogik merupakan modal tata bahasa yang umum diperuntukan bagi maksud-maksud pedagogis. Yang mengacu pada isi tata bahasa yang diajarkan kepada seseorang yang sedang belajar bahasa selain bahasa pertamanya.

Tujuannya adalah untuk meningkatkan kefasihan dalam berbicara, dan memberikan pengetahuan yang teoritis. Hal ini diharapkan dapat membantu para penutur non-asli untuk mencapai kefasihan dalam belajar bahasa yang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam tata bahasa. Seorang pembelajar dapat mempelajari dengan baik tata bahasa

9 Widiatmoko, Wisnu. 2015. “Analisis Kohesi dan Koherensi Wacana Berita Rubrik Nasional Di Majalah Online Detik.” Jurnal Sastra Indonesia 4(1): 2252-6315.

(28)

20

pertama dan kedua secara baik dan tepat. Dalam proses pembelajaran bahasa kedua tersebut, dilakukan secara sadar dalam pembelajaran bahasa lain selain bahasa pertama berlangsung. Secara otomatis, mereka terlibat dalam bilingualism.

Dari penjabaran tentang tata bahasa di atas, maka jelas bahwa setiap bahasa baik di Indonesia maupun diseluruh dunia memiliki tata bahasanya masing-masing yang diatur dalam tatanan bahasa masing- masing pula. Tata bahasa sendiri berfungsi sebagai peraturan dalam penggunaan kata-kata yang kemudian disusun kedalam kalimat sehingga bahasa yang digunakan memiliki makna yang semsetinya dan memudahkan dalam berkomunikasi.

Pada kesempatan ini peneliti akan mengkaji problematika makna bahasa pada mahasiswa asal Malaysia yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Surabaya. Peneliti merasa permasalahan yang dihadapi mahasiswa-mahasiswa tersebut berkaitan erat dengan tata bahasa yang kemudian berakibat pada tugas kuliah dan nilai pada akhirnya. Selain itu peneliti juga merasa ini penelitian ini perlu dilakukan dengan harapan penelitian ini bisa dijadikan bahan kritik konstruktif untuk lembaga yang bertujuan untuk meberikan pelatihan bahasa Indonesia terhadap mahasiswa asing lainnya.

2.5 Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan gabungan antara kata “Sosiologi” dan

“Linguistik. Aslinda (2002: 12) mengatakan bahwa sosiologi merupakan ilmu

(29)

21

yang mempelajari hubungan manusia dengan individu, ataupun sebagai keolmpok masyarakat. Objek kajian sosiologi adalah proses hubungan antar manusia dengan masyarakat. Sosiologi sangat erat kaitannya dengan segala bentuk unsur yang membentuk lingkungan masyarakat. Sosiologi mempelajari antara lain struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan antar anggota masyarakat, dan tingkah laku masyarakat yang berinteraksi menggunakan bahasa (dalam masyarakat ada berbagai lapisan: pengusaha, pejabat, rakyat jelata) tentulah bahasa yang digunakan bervariasi.10 Dalam masyarakat dengan segala bentuk interaksi tentunya memiliki bahasa yang berbeda-beda. Tidak hanya soal budaya yang berbeda, dalam kelompok masyrakat itu sendiri terdapat kelas sosial yang mana sangat menentukan penggunaan bahasa.

Contoh kecil, masyarakat dari kalangan kelas bawah akan menggunakan bahasa yang halus dan sopan saat berbicara dengan masyarakat kelas atas, namun sebaliknya masyarakat kelas atas akan seenaknya menggunakan bahasa saat berbicara dengan masyarakat kelas bawah. Bagaimana bahasa di masyarakat bisa bermacam-macam dapat dipelajari melalui lingusitik.

Lingusitik meruapakan ilmu yang mempelajari bahasa, yang mencangkup sosiolinguistik.

Sosiolinguistik mempelajari hubungan anatra bahasa dan masyarakat, menjelaskan mengapa kita berbicara dengan berbeda di dalam kontek sosial yang berbeda-beda, mengidentifikasi fungsi sosial bahasa dan cara bahasa digunakan untuk menyampaikan makna sosial.11 Dengan adanya variasi

10 Sumarsono dan Paina P., Sosiolinguistik, Yogyakarta: Sabda dab Pustaka Pelajar 2002, hal. 6

11 Janet Holmes, An Introduction to Sociolinguistics, New York: Routledge 2013, hal. 1

(30)

22

kontek sosial inilah yang kemudian sangat berpengaruh pada setiap bahasa yang digunakan. Beda kontek sosial beda pula bahasa yang digunakan. Tidak memungkiri mungkin sama tetapi memiliki arti dan makna yang berbeda.

Ambil contoh kecil bahasa melayu, yang digunakan di Indonesia dan Malaysia, kata-kata dan bahasanya memang sama, tetapi arti dan maknanya berbeda jauh, misal kata “pusing” di Indonesia artinya “sakit kepala karena disebab karena sesuatu” tetapi berbeda dengan Malaysia yang artinya “berputar-putar”. Kata

“pusing” baik dibahasa Indonesia maupun Malaysia ada, tetapi memiliki beda makna. Nababan dalam bukunya Sosiolinguistik: suatu pengantar (1993: 2) mengartikan sosiolinguistik sebagai ilmu yang digunakan untuk membahas aspek-aspek kemasyarakatan, khususnya variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan atau sosial.

Sementara studi sosiolinguistik sangatlah luas, ada beberapa konsep dasar di mana banyak pertanyaan sosiolinguistik bergantung:

a.) Komunitas tutur

Komunitas tutur adalah sebuah konsep dalam sosiolinguistik yang menggambarkan kelompok tertentu yang terdiri dari orang-orang yang menggunakan bahasa dengan cara yang unik dan saling diterima di antara mereka. Agar diterima menjadi bagian dari suatu komunitas tutur, seseorang harus memiliki kompetensi komunikatif.

Artinya, penutur memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa

(31)

23

dengan cara yang tepat dalam situasi tertentu. Seorang bahasawan bisa menjadi kompeten dalam lebih dari satu bahasa. 12

b.) Varietas prestise yang tinggi dan prestise yang rendah

Penting untuk analisis sosiolinguistik adalah konsep prestise;

kebiasaan tutur tertentu bisa dinilai positif atau negatif, yang kemudian diterapkan pada penutur. Implikasi penting dari teori sosiolinguistik adalah bahwa penutur 'memilih' suatu varietas saat melakukan tindak tutur, baik secara sadar ataupun tidak sadar.

c.) Jejaring sosial

Untuk memahami bahasa dalam masyarakat berarti kita juga harus memahami jejaring sosial di mana bahasa tersebut tertanam.

Istilah "jaringan sosial" adalah cara lain untuk menggambarkan masyarakat tutur tertentu dalam hal hubungan antar anggota individu dalam masyarakat. Sebuah jaringan bisa longgar atau ketat, tergantung pada bagaimana anggota berinteraksi satu sama lain.

Sebagai contoh, kantor atau pabrik dapat dianggap sebagai komunitas ketat karena semua anggota berinteraksi satu sama lain.

Sebuah kursus besar dengan 100 lebih siswa akan menjadi komunitas longgar karena siswa hanya dapat berinteraksi dengan instruktur dan mungkin 1-2 siswa lainnya. Sebuah komunitas multipleks adalah salah satu di mana anggota memiliki beberapa hubungan dengan satu sama lain.13

12 Deckert, Sharon K., dan Caroline H., An introduction to sociolinguistics: Society and Identity, London: Bloomsbury 2011, hal. 59

13 Ronald Wardhaugh, An Introduction to Sociolinguistics, New York: Wiley - Blackwell Publishing 2006, hal. -

(32)

24

2. 6 Bilingualisme

Sosiolinguistik meliputi pemakai dan pemakaian bahasa, tempat pemakaian bahasa, tata tingkat bahasa, berbagai akibar dari adanya kontak dua bahasa atau lebih, atau disebut dengan bilingual atau multilingual. Bilingual atau kedwibahasaan adalah kemampuan menggunakan dua bahasa dengan baik. Secara terminologis, dapat terlihat bahwa bilingualisme berkenaan dengan kemampuan memahami atau mengaplikasikan dua bahasa. Lebih lanjut Mackey menggarisbawahi salah satu ciri bilingualisme yaitu kedua bahasa tersebut digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain secara bergantian.14 Untuk dapat memiliki kemampuan bilingualisme, seseorang perlu menguasai bahasa ibu atau bahasa pertamanya serta bahasa kedua selain bahasa ibu. Namun demikian, tidak terdapat batasan yang jelas mengenai tingkat bilingualitas seseorang. 15 Seseorang mungkin dapat menuturkan sebuah bahasa asing seperti penutur aslinya atau mungkin hanya dapat mengerti ucapan-ucapan dalam bahasa tersebut hingga taraf tertentu.

Fenomena yang terakhir diistilahkan oleh Romaine (1989) sebagai bilingualisme pasif atau reseptif.16

Pada dasarnya, garis besar bilingualisme terletak pada kemampuan dua bahasa. Mengenai apakah kemampuan tersebut terletak dalam segi penggunaan maupun pengetahuannya, Lyon (1996) tidak memberikan batasan yang jelas.

Seseorang dapat disebut bilingual apabila memiliki kemampuan memahami

14 Mackey, W. F. (2000). The description of bilingualism. In L. Wei (Ed.), The bilingualism reader (pp. 26–57). London: Routledge.

15 Bloomfield, L. (1933). Language. New York: Holt, Rinehart and Winston.

16 Romaine, S. (1989/1985). Bilingualism (2d ed.). Oxford: Blackwell.

(33)

25

bahasa lain tanpa harus bisa menggunakannya secara sering. Akan tetapi, terdapat perbedaan pandangan antara konsep kedwibahasaan yang dipaparkan oleh Lyon dan Beardsmore (1982) yang menyatakan bahwa bilingualisme tidak hanya sebatas pada pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai dua bahasa, tetapi juga bagaimana seseorang dapat menggunakan dua bahasa dengan baik.17 Adapun dalam penggunaanya, seorang bilingual tidak harus dapat menggunakan bahasa asing secara setara. Karena bagaimanapun kemampuan bahasa asing seseorang cenderung tidak sebaik penutur asli bahasa tersebut.

Dalam fenomena kedwibahasaan atau bilingualisme, terdapat fenomena code mixing dimana seseorang yang menguasai lebih dari satu bahasa cenderung mencampurkan beberapa kode bahasa dalam berkomunikasi.

Fenomena ini tidak mutlak terjadi dikarenakan beberapa orang yang juga bilingual tidak melakukan code mixing dalam komunikasinya. Fenomena code mixing dapat berupa penyisipan frasa atau unsur bahasa lain ke dalam sebuah bahasa. Menurut Thaelander, penyisipan frasa atau klausa tersebut pada akhirnya bukan sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri. Melainkan sudah menjadi kesatuan kalimat dalam berkomunikasi yang membentuk makna tertentu.18 Code mixing sendirinya dapat terjadi tanpa adanya faktor pendorong khusus.

Meskipun begitu, satu hal yang dapat dipastikan adalah code mixing kerap terjadi pada komunikasi dalam konteks situasi informal.19

17 Beardsmore, Hugo Bacten. (1982). Bilingualism. Basic Principles. Brussel: Vrije Universite Brussel.

18 Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:

Rineka Cipta.

19 Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

(34)

26

Penyisipan frasa bukanlah satu-satunya bentuk code mixing. Jika merujuk pada Muysken (2000), code mixing terbagi menjadi 3 bentuk yaitu (1) Penyisipan kata atau frasa asing; (2) Pergiliran klausa; dan (3) Pengaruh dialek dalam penggunaan bahasa. 20 Selain itu, code mixing juga dibagikan berdasarkan unsur serapannya menjadi 3. Yang pertama adalah Inner code mixing dimana seseorang melakukan code mixing dengan menyerap unsur dari bahasa lain dengan bahasa asli yang sekerabat. Yang kedua adalah Outer code mixing, dimana seseorang melakukan code mixing dengan menyerap unsur dari bahasa asing. Dan yang terakhir adalah hybrid code mixing, yaitu campuran dari inner code mixing dan outer code mixing dimana penutur bahasa menyerap unsur bahasa dari bahasa asli maupun bahasa asing dalam waktu yang bersamaan.21 Pengklasifikasian code mixing juga dapat dibedakan berdasarkan unsur-unsur kebahasaan seperti kata, frasa dan klausa. Lebih lanjut, code mixing dalam tataran kata dapat dibedakan lagi menjadi code mixing pada tataran kata dasar, kata imbuhan, kata ulang dan kata majemuk.

Fenomena code mixing bukannya terjadi tanpa sebab. Terdapat beberapa faktor yang menentukan terjadinya code mixing, seperti faktor penutur dan faktor kebahasaan. Penutur dalam melakukan komunikasi bilingual tidak terlepas dari latar belakang bahasa aslinya sehingga ia melakukan code mixing.

Kemampuan penutur dan motivasi intrinsik penutur juga memegang peran dalam menentukan terjadinya code mixing dalam komunikasi seorang bilingual. Dapat dikatakan dalam faktor penutur, situasi dan konteks

20Muysken, P. (2000). Bilingual Speech: A Typology of Code-Mixing. United Kingdom:

Cambridge University Press.

21 Suandi, Nengah. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

(35)

27

memegang peran besar dalam mempengaruhi penutur untuk melakukan code mixing.

Selain penutur, faktor lain yang menentukan terjadinya code mixing adalah faktor kebahasaan. Hal-hal kebahasaan seperti keterbatasan lingkup kode dalam sebuah bahasa, munculnya istilah-istilah popular, penggunaan ragam bahasa yang dipengaruhi oleh lawan bicara penutur, serta maksud pembicaraan merupakan sederet faktor-faktor kebahasaan yang memunculkan urgensi penggunaan code mixing oleh seorang bilingual. Dalam hal ini, seseorang akan sangat mungkin melakukan code mixing untuk mempercepat penyampaian pesan kepada lawan bicaranya. Pencampuran kode juga sejatinya terjadi karena adanya situasi-situasi yang mendukung, seperti misalnya penutur dihadapkan dengan lawan bicara yang memiliki latar belakang kebahasaan yang sama (sesama bilingual). Bisa juga, penutur berada di dalam konteks situasi informal sehingga pencampuran kode dalam komunikasi dapat dimaklumi.

2. 7 BIPA ( Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing)

BIPA adalah program pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia (berbicara, menulis, membaca, dan mendengarkan) bagi penutur asing. BIPA diselenggarakan dalam upaya untuk mendukung usaha peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional yang sedang digalang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Sejak diikrarkan sebagai bahasa nasional dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dan ditetapkan sebagai bahasa negara dalam Pasal 36 UUD 1945, bahasa Indonesia

(36)

28

hingga saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Perkembangan itu telah mengantarkan bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bangsa dan sebagai alat pemersatu berbagai suku bangsa yang berbeda- beda latar belakang sosial, budaya, agama, dan bahasa daerahnya. Di samping itu, bahasa Indonesia juga telah mampu mengemban fungsinya sebagai sarana komunikasi yang modern dalam penyelenggaraan pemerintahan, pendidikan, dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi dan seni.

Seiring dengan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia di tengah era global sekarang ini, peran Indonesia dalam pergaulan antar bangsa juga telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang dipandang penting di dunia. Hal itu juga ditunjang oleh posisi Indonesia dalam percaturan dunia yang semakin hari semakin penting, terutama melalui peranannya, baik dalam turut serta menyelesaikan konflik-konflik politik di berbagai kawasan maupun karena posisi geografis Indonesia yang terletak dalam lintas laut yang sangat strategis. Kenyataan seperti itu telah menyebabkan banyak orang asing yang tertarik dan berminat untuk mempelajari bahasa Indonesia sebagai alat untuk mencapai berbagai tujuan, baik tujuan politik, perdagangan, seni-budaya, maupun wisata.

Terkait dengan hal tersebut, bahasa Indonesia hingga saat ini telah diajarkan kepada orang asing di berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri saat ini tercatat tidak kurang dari 45 lembaga yang telah mengajarkan bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA), baik di perguruan tinggi maupun di lembaga-lembaga kursus. Sementara itu, di luar negeri, Pengajaran BIPA telah dilakukan oleh sekitar 36 negara di dunia

(37)

29

dengan jumlah lembaga tidak kurang dari 130 buah, yang terdiri atas perguruan tinggi, pusat-pusat kebudayaan asing, KBRI, dan lembaga-lembaga kursus.

Selama ini Pengajaran BIPA di lembaga-lembaga tersebut, baik di dalam maupun di luar negeri, dikelola dan dikembangkan oleh lembaga masing- masing tanpa ada lembaga induk yang memayungi lembaga-lembaga pengajar BIPA tersebut. Atas dasar itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang bertugas menangani masalah kebahasaan di Indonesia—merasa terpanggil dan bertanggung jawab untuk membina, mengembangkan, dan sekaligus memfasilitasi lembaga-lembaga tersebut agar masing-masing dapat hidup dan berkembang sesuai dengan karakteristiknya sendiri. Hal itu dimaksudkan agar pengajaran BIPA, baik di dalam maupun di luar negeri, terus tumbuh dan berkembang sehingga pada akhirnya bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa pergaulan antarbangsa.

2.7.1 Visi dan Misi

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menyadari bahwa Pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing atau Pengajaran BIPA mempunyai peran yang amat penting dan strategis dalam memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat internasional. Hal itu karena Pengajaran BIPA di samping merupakan media untuk menyebarluaskan bahasa Indonesia, juga merupakan media untuk menyampaikan berbagai informasi tentang Indonesia, termasuk memperkenalkan masyarakat dan budaya Indonesia. Dengan demikian,

(38)

30

orang asing yang mempelajari bahasa Indonesia akan semakin memahami masyarakat dan budaya Indonesia secara lebih komprehensif.

Pemahaman itu pada gilirannya dapat meningkatkan rasa saling pengertian dan saling menghargai sehingga makin meningkatkan pula persahabatan dan kerja sama antarbangsa.

Sejalan dengan hal tersebut, dengan makin meningkatnya persahabatan dan kerja sama antarbangsa, pengajaran BIPA dapat pula berperan sebagai penunjang keberhasilan diplomasi budaya Indonesia di dunia internasional. Oleh karena itu, Pengajaran BIPA sebenarnya layak dipandang sebagai bagian dari strategi diplomasi kebudayaan. Strategi diplomasi budaya melalui pengajaran bahasa kepada penutur asing seperti itu sebenarnya juga telah diterapkan pula oleh beberapa negara lain, seperti Prancis, Inggris, Jerman, dan Jepang. Dalam konteks tersebut, program Pengajaran BIPA layak ditempatkan sebagai bagian dari suatu sistem penanganan masalah kebahasaan secara makro, baik dari dimensi dalam negeri maupun luar negeri. Berdasarkan hal tersebut, visi dan misi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam pengembangan BIPA dirumuskan sebagai berikut.

a. Visi

“Terlaksananya Pengajaran BIPA yang mampu meningkatkan citra Indonesia yang positif di dunia internasional dalam rangka menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa perhubungan luas pada tingkat antarbangsa”.

b. Misi

(39)

31

1. Memperkenalkan masyarakat dan budaya Indonesia di dunia internasional dalam rangka meningkatkan citra Indonesia di luar negeri.

2. Meningkatkan kerja sama yang lebih erat dan memperluas jaringan kerja dengan lembaga-lembaga penyelenggara pengajaran BIPA, baik di dalam maupun di luar negeri.

3. Memberikan dukungan dan fasilitasi terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pengajaran BIPA, baik di dalam maupun di luar negeri.

4. Meningkatkan mutu pengajaran BIPA, baik di dalam maupun di luar negeri.

5. Meningkatkan mutu sumber daya penyelenggara pengajaran BIPA di dalam dan di luar negeri.

2.7.2 Kewenangan

Dalam penanganan program pengembangan BIPA, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa saat ini telah mendapat persetujuan dan dukungan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan DPR RI, bahkan BIPA juga menjadi salah satu program unggulan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

2.7.3 Karakteristik

Berbeda dengan lembaga penyelenggara program pengajaran BIPA lain—yang umumnya untuk kepentingan lembaga masing- masing—Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengelola dan mengembangkan BIPA untuk kepentingan bersama seluruh bangsa. Oleh

(40)

32

karena itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa berkeinginan agar seluruh lembaga penyelenggara pengajaran BIPA, baik di dalam maupun di luar negeri, maju dan berkembang demi terwujudnya bahasa Indonesia sebagai bahasa perhubungan antarbangsa.

Terkait dengan hal tersebut, secara umum, program BIPA yang dikembangkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tidak hanya menangani masalah pengajaran bahasa, tetapi juga menangani penelitian ke-BIPA-an dan pengembangan bidang studi umum dalam bingkai kajian Indonesia (Indonesia studies). Secara khusus, BIPA Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa merupakan program yang menangani penyelenggaraan kegiatan ke-BIPA-an dalam bentuk perencanaan, pengelolaan, penelitian, pemantauan, pengembangan, dan pelayanan pengajaran BIPA.

2.7.4 Program

Untuk mencapai visi dan misi sebagaiman yang telah disebutkan di atas, program BIPA Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dirancang dalam rencana kerja sebagai berikut.

a) Perumusan Kebijakan di Bidang Pengajaran BIPA

Perumusan kebijakan di bidang pengajaran BIPA perlu dilakukan untuk memberikan arah dan strategi dalam penyelenggaraan pengajaran BIPA, baik di dalam maupun di luar negeri. Perumusan kebijakan itu menjadi penting, lebih-lebih dengan adanya sejumlah lembaga penyelenggara BIPA yang mengharapkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menjadi pusat

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pendapat tersebut, yang dimaksud kualitas tes buatan guru (quality ofteacher tes making) dalam penelitian ini adalah kualitas tes yang dibuat sendiri

Od ostalih obilježja brenda statistički je značajan utjecaj promoviranja od strane poznatih osoba te namjena koji pozitivno utječu na odluku pri kupnji sportske obuće dok cijena

Hasil penelitian sebagai berikut (1) penilaian peserta mengenai kualitas pelayanan penyelenggaraan diklat adalah (a) kinerja yang diberikan pihak penyelenggara belum sesuai

Penentuan potensi antibakteri fraksi kloroform p.a : etanol p.a (95:5), fraksi kloroform p.a : etanol p.a : asam asetat p.a (90:8:2), dan fraksi kloroform p.a : etanol p.a :

[r]

Penggunaan ekstrak minyak atsiri jeruk ( Citrus sp) juga telah terbukti dapat menekan penghambatan pertumbuhan jamur Colletotrichum sp pada buah pisang ( Musa

yang menggunakan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman minimarket, usaha ini berkembang dengan baik dan mengalami peningkatan volume penjualan yang dapat dilihat dari omset

Apa yang harus dilakukan agar mutu suara