• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN WARGA BINAAN PEREMPUAN DI LEMBAGA PERMASYARAKATAN TANJUNG GUSTA MEDAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN WARGA BINAAN PEREMPUAN DI LEMBAGA PERMASYARAKATAN TANJUNG GUSTA MEDAN SKRIPSI"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN WARGA BINAAN PEREMPUAN DI LEMBAGA

PERMASYARAKATAN TANJUNG GUSTA MEDAN

SKRIPSI

Oleh :

Nanda Rizkita br Milala 121301025

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN WARGA BINAAN PEREMPUAN DI LEMBAGA

PERMASYARAKATAN TANJUNG GUSTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

Nanda Rizkita br Milala 121301025

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

(3)
(4)
(5)

Hubungan Dukungan Sosial Dengan Optimisme Masa Depan Warga Binaan Perempuan di Lembaga Permasyarakatan

Tanjung Gusta Medan

Nanda Rizkita br Milala

1

dan Hasnida, Ph.D, Psikolog

2

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan positif dukungan sosial dengan optimisme masa depan warga binaan perempuan di Lembaga Permasyarakatan Tanjung Gusta Medan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan menggunakan 102 subjek warga binaan perempuan di Lembaga Permasyarakatan Tanjung Gusta Medan. Alat ukur yang digunakan adalah skala dukungan sosial dan skala optimisme yang disusun oleh peneliti. Analisa data menggunakan Rank Spearman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan optimisme pada warga binaan perempuan di Lembaga Permasyarakatan Tanjung Gusta Medan. Hasil menunjukkan sebagian besar warga binaan perempuan memiliki dukungan sosial tinggi. Dukungan yang banyak dirasakan oleh warga binaan adalah companionship support dan informational support di bandingkan bentuk dukungan lainnya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan sebagian besar warga binaan perempuan berada pada katagori sangat pesimis. Banyaknya dukungan sosial yang diterima tidak mampu untuk meningkatkan optimisme masa depan pada warga binaan perempuan dalam penelitian ini. Untuk itu perlu penelitian lanjutan terkait religiusitas warga binaan perempuan atau penelitian mantan warga binaan perempuan yang optimis dengan masa depan mereka.

Kata Kunci: Dukungan Sosial, Optimisme, Warga Binaan Perempuan

1

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

2

Dosen Departemen Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

(6)

Relationship Between Social Support and Future Optimism of Women Inmate at Tanjung Gusta Medan

Nanda Rizkita br Milala

3

dan Hasnida, Ph.D, Psikolog

4

ABSTRACT

This research aims to see the positive relationship between social support and Future Optimism of Women inmate at Tanjung Gusta Correctional Facility in Medan. The research used quantitative method with total 102 subjects of women inmate. The measurement was conducted using the scale of social support and optimism which are compiled by the researcher and data was analyzed using Rank Spearman. The results of this research indicating that there was no positive correlation between social support and optimism in subjects. The results showed that the majority of subjects have high social support and the supports they received the most is companionship support and informational support than the other forms of support. The results also showed that the majority of subjects are very pessimistic category. The amount of social support received was not able to increase future optimism of subjects in this study. Therefore, further research related to the religiosity of women inmate or ex-residents of inmate who are optimistic with their future is needed.

Keywords: Social Support, Optimism, Women Inmate

3

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

4

Dosen Departemen Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari gelapnya zaman kebodohan hingga ke zaman Islam yang bercahaya penuh dengan ilmu pengetahuan.

Skripsi ini berjudul “Hubungan Dukungan Sosial dengan Optimisme Masa Depan Warga Binaan Perempuan di Lembaga Permasyarakatan Tanjung Gusta Medan” yang diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Penyusunan skripsi ini membutuhkan usaha yang keras dan kegigihan, namun karya tulis ilmiah ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dari orang-orang terkasih yang selalu mendukung, membantu dan mendoakan penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada keluarga penulis; ayahanda Mufti Milala dan ibunda Agustina br Bangun S.Pd, yang selalu memberikan dukungan, doa dan ada dalam setiap perjalanan hidup penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Zulkarnain, Ph.D selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara, Bapak Eka Danta Jaya Ginting, M.A., Psikolog selaku

Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi USU, Bapak Ferry Novliadi,

(8)

M.Si selaku Pembantu Dekan II Fakultas Psikologi USU dan Ibu Rika Eliana, M.Psi., Psikolog selaku Pembantu Dekan III Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Hasnida, Ph.D, Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi yang penuh kesabaran dalam membimbing penulis, meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk memberikan bimbingan dan arahan selama proses penyusunan skripsi. Hanya Allah yang mampu membalas setiap kebaikan ibu, semoga Allah membalas dengan pahala yang melimpah, Amin.

3. Ibu Elvi Andriani, M.Si, Psikolog selaku dosen pembimbing akademik.

Terima kasih atas arahan dan bimbingan yang diberikan selama penulis kuliah di Fakultas Psikologi USU.

4. Terima kasih kepada Ibu Dina Nazriani, MA dosen dept. Umum dan Eksperimen karena telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing proses pembuatan skala psikologi.

5. Terima kasih kepada dosen penguji Ibu Raras Sutatminingsih, Ph.D, Psikolog dan Ibu Dina Nazriani, MA karena telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan bimbingan serta arahan dalam memperbaiki skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar Fakultas Psikologi USU. Terima

kasih atas segala ilmu yang telah diberikan. Semoga penulis dapat

memanfaatkan ilmu tersebut dengan sebaik-baiknya. Seluruh staf

pegawai Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan banyak bantuan

kepada penulis.

(9)

7. Muhamad Rahman, ST, Vivi anggreni, S.S, Triana Hamidah S.Psi, Nur Hasanah S.Psi, Lely Febrina Rosa, Fika Novika S.Psi dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas doa, semangat, dan kebersamaan kita yang menjadi bagian dalam masa perkuliahan dalam susah maupun senang.

8. Terima kasih juga penulis ucapkan pada angkatan 2011, 2012, serta 2013 telah menjadi bagian dari perjalanan hidup penulis, telah memberikan banyak pelajaran sepanjang perkuliahan ini.

9. Terimakasih temen seperjuangan di dapertemen klinis anak-anak bimbingan ibu Hasnida Ph.D, Psikolog, Nur Ainun S.Psi, Linka, Dwi Clara, Putri Fatimah yang telah banyak membantu penulis ketika kesulitan, dan selalu memberikan semangat dalam mengerjakan tugas akhir ini.

10. Terima kasih juga kepada pihak Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia yang telah membantu dan bersedia memberikan surat pengantar untuk melakukan penelitian di Lembaga Permasyarakatan Tanjung Gusta. Kepada pegawai Lembaga Permasyarakatan Tanjung Gusta yang sudah banyak membantu penulis dalam proses pengambilan data.

11. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mulai dari proses persiapan hingga akhirnya selesai yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis mohon maaf atas kekurangan dalam skripsi ini, penulis

menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan

(10)

saran yang sifatnya membangun penulis sangat harapkan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu psikologi ke depannya dan bagi pihak- pihak yang terkait.

Medan, 12 Desember 2017

Nanda Rizkita br Milala

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 11

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Manfaat Penelitian ... 11

1.4.1. Manfaat Teoritis ... 11

1.4.2. Manfaat Praktis ... 12

1.5. Sistematika Penulisan... 12

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Dukungan Sosial ... 14

2.1.1. Definisi Dukungan Sosial ... 14

2.1.2. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial ... 16

2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial... 17

2.2. Optimisme ... 18

2.2.1. Definisi Optimisme ... 18

2.2.2. Aspek-Aspek Optimisme ... 20

2.2.3. Faktor-Faktor Optimisme ... 21

2.3. Warga Binaan ... 22

2.3.1. Pengertian Warga Binaan... 22

2.3.2. Dampak Psikologis pada Warga Binaan ... 24

2.3.3. Faktor yang Menyebabkan Seseorang Masuk Penjara ... 26

2.4. Kerangka Konsep ... 27

2.5. Hipotesa Penelitian... 28

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 29

3.2. Identifikasi Variabel ... 29

3.3. Definisi Operasional... 29

3.3.1. Dukungan Sosial ... 29

3.3.2. Optimisme ... 32

3.3.3. Warga Bnaan ... 34

3.4. Subjek Penelitian ... 35

3.4.1. Populasi ... 35

3.4.2. Sampel ... 35

(12)

3.4.3. Lokasi Penelitian ... 36

3.5.Instrumen/Alat Ukur Penelitian ... 36

3.5.1. Dukungan Sosial ... 37

3.5.2. Optimisme ... 39

3.6. Uji Coba Alat Ukur ... 40

3.6.1. Uji Validitas Alat Ukur ... 40

3.6.2. Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 40

3.6.3. Uji Daya Beda Aitem ... 41

3.7. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 41

3.7.1. Persiapan Penelitian ... 41

3.7.2. Pelaksanaan Penelitian ... 42

3.7.3. Pengolahan Data Penelitian ... 43

3.8. Metode Analisa Data ... 43

3.9. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 44

3.9.1. Dukungan Sosial ... 44

3.9.2. Optimisme ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 46

4.1.1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 46

4.1.2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lamanya menjalani masa Hukuman ... 47

4.1.3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Kasus Tindak Pidana ... 48

4.1.4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pendidikan Terakhir ... 48

4.2. Hasil Uji Asumsi ... 49

4.2.1. Hasil Uji Normalitas... 49

4.2.2. Hasil Uji Linearitas ... 50

4.3. Hasil Utama Penelitian ... 51

4.3.1. Hubungan Bentuk Dukungan Sosial dengan Optimisme .. 52

4.4. Hasil Tambahan Penelitian ... 54

4.4.1. Deskripsi Data Penelitian ... 54

4.4.2. Kategorisasi Hasil Penelitian ... 55

4.4.3. Perbandingan Mean Dukungan Sosial Berdasarkan Kekuatan Hubungan ... 57

4.5. Pembahasan ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 64

5.2. Saran ... 65

5.2.1. Saran Metodologis... 65

5.2.2.Saran Praktis ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN ... 72

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1.1 Jumlah Warga Binaan di Lapas Wilayah Provinsi

Sumatera Utara ... 5

3.1 Blue Print Skala Dukungan Sosial Sebelum Uji Coba ... 5

3.2 Blue Print Skala Optimisme Sebelum Uji Coba ... 8

2.4 Blue Print Skala Dukungan Sosial Setelah Uji Coba ... 16

2.5 Blue Print Skala Optimisme Setelah Uji Coba ... 17

2.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 5

2.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lamanya Menjalani Masa Hukuman ... 5

2.3 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Kasus Tindak Pidana ... 8

2.4 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 16

2.5 Hasil Uji Normalitas Bentuk Dukungan Sosial dan Optimisme ... 17

2.5 Hasil Uji Linearitas Bentuk Dukungan Sosial dan Optimisme ... 17

2.5 Hubungan Bentuk Dukungan Sosial dengan Optimisme ... 17

2.5 Nilai Hipotetik dan Empirik Bentuk Dukungan Sosial ... 17

2.5 Kategorisasi Bentuk Dukungan Sosial ... 17

2.5 Kategorisasi Optimisme ... 17

2.5 Perbandingan Mean Dukungan Sosial Berdasarkan

Kekuatan Hubungan ... 17

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

1.1 Grafik Jumlah Rata-rata Warga Binaan Perempuan ... 2

2.1 Kerangka Konsep ... 27

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pengolahan Data Dan Hasil

Lampiran 2 Data Mentah Penelitian

Lampiran 3 Alat Ukur Penelitian

(16)

L P Total L P Total L P Total L P Total L P Total 1 Januari 8.883 397 9.280 10.409 457 10.866 10.006 509 10.515 11.691 579 12.270 12.153 637 12.790 2 Februari 9.139 412 9.551 10.407 471 10.878 10.044 510 10.554 11.778 583 12.361 12.436 650 13.086 3 Maret 9.362 440 9.802 10.556 469 11.025 10.738 520 11.258 12.385 633 13.018 12.963 697 13.660 4 April 9.647 452 10.099 10.809 489 11.298 10.499 512 11.011 12.135 614 12.749 13.169 701 13.870 5 Mei 9.811 460 10.271 10.778 506 11.284 10.459 508 10.967 12.656 610 13.266 13.526 706 14.232 6 Juni 9.972 469 10.441 10.881 516 11.397 10.620 517 11.137 12.420 646 13.066 14.226 732 14.958 7 Juli 10.122 480 10.602 10.657 517 11.174 10.759 516 11.275 12.337 609 12.946 14.423 727 15.150 8 Agustus 9.718 451 10.169 10.258 477 10.735 10.474 505 10.979 12.599 601 13.200 14.641 728 15.369 9 September 9.748 454 10.202 10.285 479 10.764 10.346 512 10.858 12.410 602 13.012 14.973 752 15.725 10 Oktober 10.126 423 10.549 9.943 486 10.429 10.784 506 11.290 12.293 630 12.923 14.920 757 15.677 11 November 10.238 457 10.695 9.932 505 10.437 11.393 536 11.929 12.187 638 12.825 15.067 777 15.844 12 Desember 10.356 452 10.808 10.308 520 10.828 11.428 551 11.979 12.529 647 13.176 15.197 701 15.898

9.760

446 10.206 10.435 491 10.926 10.629 517 11.146 12.285 616 12.901 13.975 714 14.688 Bulan

No.

Rata-Rata

2012

Tahun

2013 2014 2015 2016

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Kriminalitas di Sumatera Utara dari tahun 2012 hingga tahun 2016 mengalami peningkatan sebesar 1992 Kasus (BPS, 2016). Tahun 2012 jumlah kriminalitas sebesar 33250 kasus meningkat menjadi 35248 kasus pada tahun 2015 (BPS, 2016). Sejalan dengan data tersebut dapat dikatakan terjadi peningkatan jumlah warga binaan yang ditahan di lembaga pemasyarakatan (BPS, 2016). Peningkatan jumlah warga binaan yang berada di lembaga permasyarakatan dapat di lihat pada tabel 1.1 di bawah ini (Ditjen PAS, 2017).

Tabel 1.1 Jumlah warga binaan di Lapas wilayah Provinsi Sumatera Utara (Ditjen PAS, 2017)

Ket : L= Laki-laki; P= Perempuan

Dari tabel 1.1 di atas dapat dilihat peningkatan jumlah warga binaan setiap

bulannya di Sumatera Utara dari tahun 2012 sampai tahun 2016. Pada tahun 2012,

jumlah rata-rata warga binaan sebanyak 10206 orang yang kemudian terus

(17)

meningkat hingga tahun 2016 menjadi rata-rata 14688 orang. Jumlah ini diambil dari statistik Ditjenpas untuk warga binaan dewasa laki-laki dan dewasa perempuan (Ditjen PAS, 2017).

Peningkatan jumlah rata-rata warga binaan di Sumatera Utara tidak hanya terjadi pada warga binaan laki-laki, namun juga terjadi pada warga binaan perempuan. Pada tabel 1.1 terlihat jumlah rata-rata warga binaan perempuan sebesar 446 orang. Angka ini terus meningkat hingga tahun 2016 menjadi sebesar 714 orang (Ditjen PAS, 2017). Untuk lebih jelasnya, peningkatan tersebut di sajikan pada gambar berikut.

Gambar 1.1 Jumlah rata-rata warga binaan perempuan pertahun (Ditjen PAS, 2017)

Mclvor (2004) mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi

penyebab tindak kriminal, diantaranya kesempatan untuk melakukan tindak

kriminal, watak dari seseorang, tingkat integritas sosial seseorang, antisosial,

(18)

3

Hasil kajian di negara-negara barat menyatakan bahwa tindak kriminal perempuan lebih sedikit daripada laki-laki. Perempuan memulai tindak kriminal pada usia lebih lanjut dan umumnya berhenti lebih cepat dibandingakan laki-laki (Mclvor, 2004). Selain itu laporan dan statistik bahwa perempuan yang melakukan tindak kriminal cenderung melakukan tindak keserakahan seperti pencurian, penipuan, daripada tindak kekerasan Jamieson dalam (Mclvor, 2004).

Penelitian (Lestari & Budimansyah, 2016) menyatakan para warga binaan

maupun mantan warga binaan tidak terlepas dari perhatian masyarakat, seperti

dikucilkan oleh masyarakat, dibenci oleh masyarakat, serta dijauhi oleh

masyarakat. Hal ini menciptakan stigma negatif yang membuat para warga binaan

menjadi pesimis terhadap masa depannya (Lestari & Budimansyah, 2016). Selain

itu penelitian yang di lakukan oleh (Fransiska & Hasnida, 2007) mengatakan

bahwa warga binaan yang sedang menjalani masa hukuman mengalami perasaan

kesepian. Perasaan yang paling menonjol pada narapidana laki-laki dan

perempuan adalah perasaan depresi, kemudian diikuti dengan perasaan self-

deprecation, impatientboredom, dan terakhir desperation (Fransiska & Hasnida,

2007). Hasil penelitian dari (Lebel, 2011), mengatakan bahwa ratusan tahanan

yang telah selesai menjalani masa tahanan menemukan bahwa mereka

didiskriminasi seperti tidak dipercaya, dibenci, serta masyarakat juga memiliki

sikap permusuhan terhadap mereka. Sikap pesimis inilah yang memunculkan

ketidakpercayaan mantan warga binaan untuk kembali menjalani kehidupan di

masyarakat, sehingga memungkinkan mantan warga binaan kembali melakukan

tindak kejahatan dikarenakan mereka merasa ditolak oleh masyarakat (Lebel,

2011).

(19)

Stigma di atas sudah menjadi paradigma di kehidupan sehari-hari, tidak terkecuali masalah yang dialami oleh warga binaan perempuan, warga binaan perempuan juga memperoleh stigma negatif dari lingkungan. Hasil penelitian dari (Viktoria, 2007), mengatakan bahwa warga binaan perempuan juga diberi stigma bahkan lebih buruk dibandingkan warga binaan laki-laki, dikarenakan perempuan sebagai pelaku kejahatan dianggap telah melanggar norma ganda bagi masyarakat, yaitu norma hukum dan norma konvensional tentang bagaimana seharusnya perempuan berperilaku maupun bersikap. Selanjutnya di beberapa negara, perempuan didiskriminasikan dan tidak dapat kembali ke komunitasnya setelah bebas dari Lapas (United Nations Office on Drugs and Crime, 2008). Selain itu, pengalaman penjara sering digambarkan sebagai hal yang menyakitkan bagi perempuan daripada laki-laki, perempuan yang berada di penjara merasa lebih menderita karena terisolasi secara sosial (Bell, 1976). Selain itu perempuan yang berada dalam penjara merasa terputusnya hubungan mereka dengan keluarga dan orang-orang yang dicintainya terutama anak-anaknya (Jiang & Winfree, 2006).

Penelitian (Jiang & Winfree, 2006) juga mengatakan bahwa lebih baik laki-laki yang di penjara daripada perempuan, karena jika seorang perempuan yang di penjara maka keluarga bisa hancur karena tidak ada sosok ibu.

Warga binaan perempuan yang sedang menjalani masa tahanan menghadapi

berbagai masalah psikologis maupun masalah dalam kehidupan sehari-harinya

seperti diabaikan oleh keluarga, kehilangan dukungan, kehilangan kebebasan

karena sedang menjalani masa tahanan, kehilangan hak untuk menentukan

sesuatu sendiri, serta kehilangan rasa aman (Meliana, 2013). Selain itu tembok

lapas juga merenggut kebebasan untuk akses keluar dengan bebas. Sel lapas yang

(20)

5

penuh dan sesak mengharuskan warga binaan perempuan harus berbagi tempat dengan warga binaan lainnya yang membuatnya menjadi tidak nyaman (Meliana, 2013). Oleh karena itu seorang warga binaan akan memaksakan diri untuk tetap dapat bertahan hidup dengan berusaha beradaptasi terhadap lingkungan barunya dan mencari cara untuk memenuhi setiap kebutuhan dasarnya seperti tempat tidur yang harus berbagi dengan tahanan lainnya, makan dan minum dengan seadanya, serta pakaian yang disediakan pun tidak dapat ia pilih karena keterbatasan dalam jumlah pakaian yang mereka miliki (Meliana, 2013).

Warga binaan perempuan juga harus menghadapi masalah yang bersumber dari luar LAPAS misalnya, suami yang berniat menceraikan, orang tua yang sedang sakit, kebingungan siapa yang akan merawat anak selama dia berada di LAPAS, atau bahkan ada warga binaan perempuan yang terpaksa meninggalkan bayinya yang masih perlu diberi ASI. Masalah-masalah ini pada akhirnya yang menyebabkan warga binaan perempuan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan yang ada di LAPAS. Keadaan yang telah di katakan diatas dapat menjadi stress pada warga binaan (Siswati & Abdurrohim, 2009). Yang membedakan seseorang dalam menghadapi stress adalah bagaimana cara seseorang memandang dan menghadapi keadaan terburuk tersebut.

Cara pandang seseorang dipengaruhi oleh tingkat optimisme yang ada dalam diri individu tersebut (Ekasari & Dhelia, 2009). Hasil penelitian (Siswati &

Abdurrohim, 2009) dikatakan respon yang muncul dari kondisi stress pada warga

binaan di antaranya warga binaan merasa cemas, gelisah, mudah marah, mudah

tersinggung, menjadi pemurung atau menutup diri dan lain sebagainya. Seseorang

akan merasakan kecemasan manakala orang tersebut tidak mampu mengatasi

(21)

stresor psikososial yang sedang dihadapinya (Novianto, 2008). Kecemasan yang dirasakan oleh warga binaan meliputi kekhawatiran akan pandangan masyarakat terhadap seorang warga binaan maupun mantan warga binaan, selain itu juga kekhawatiran akan penerimaan anak-anak terhadap ibu mereka yang warga binaan atau mantan warga binaan.

Selain itu menurut Bartol (dalam Handayani, 2010) bahwa secara umum dampak kehidupan di penjara merusak kondisi psikologis seseorang. Studi ini mengambarkan gejala-gejala psikologis yang diakibatkan oleh pemenjaraan terhadap seseorang. Gejala-gejala psikologis yang muncul seperti depresi berat, kecemasan dan lainnya. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Bureau Of Justice Statistics (dalam Ula, 2014) yang menemukan fakta bahwa pada tahun 1998 sebanyak 23.6% warga binaan perempuan teridentifikasi mengalami gangguan kesehatan mental dibanding laki-laki yang hanya 15.8%

bahkan setiap 1 dari 4 perempuan di dalam LP teridentifikasi mengalami gangguan kesehatan mental.

Menurut Ruby (2015) masa depan memberikan dua pilihan untuk

menghadapi berbagai macam tantangan kehidupan yang muncul di kemudian hari,

yaitu pasrah terhadap keadaan dan nasib (pesimis) atau mempersiapkan diri sebaik

mungkin dalam menghadapi tantangan kehidupan (optimis). Apabila solusi untuk

pembentukan perilaku yang positif tidak segera ditemukan terlebih lagi ketika

warga binaan sudah merasa pesimis dan putus asa terhadap masa depan,

dikhawatirkan nantinya dikemudian hari akan muncul tindak kejahatan yang

serupa dan berkembang kejahatan lainnya (Ruby, 2015). Menurut Frankle (2008)

optimisme adalah saat manusia dihadapkan pada suatu tragedi yang dipandang

(22)

7

melalui potensinya yang memungkinkan manusia untuk: (1) mengubah penderitaan menjadi keberhasilan dan sukses, (2) mengubah rasa bersalah menjadi kesempatan untuk mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik, (3) mengubah suatu kelalaian dalam hidup menjadi dorongan untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab. Tidak jauh berbeda dengan pandangan di atas, Goleman (dalam Ghufron & Risnawita, 2010) melihat optimisme melalui titik pandang kecerdasan emosional, yakni suatu pertahanan diri pada seseorang agar jangan sampai terjatuh ke dalam masa kebodohan, putus asa dan depresi bila mendapat kesulitan.

Menurut Ekasari & Dhelia (2009) seorang warga binaan yang memiliki optimisme dalam dirinya akan dapat segera bangkit dari keterpurukannya, tidak larut dalam masalahnya, tidak mudah putus asa dalam menghadapi masalahnya dan dapat menerima kekecewaan dengan respon aktif sehingga dapat memperbaiki kegagalannya. Dapat dikatakan bahwa, seorang warga binaan yang memiliki optimisme dalam dirinya akan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, sehingga warga binaan tersebut dapat mempertanggung jawabkan segala tindakannya dengan baik dan terhindar dari stress saat menjalani masa tahanannya (Ekasari & Dhelia, 2009).

Fitriani (2012) mengatakan mantan warga binaan sulit mencari pekerjaan

karena perusahaan selalu melihat catatan kelakuan baik seseorang, perbuatan

seorang mantan warga binaan yang jelas-jelas pernah melanggar hukum, jarang

perusahaan yang mau menerima mantan warga binaan. Menurut Fitriani (2012)

pada umumnya masyarakat masih banyak yang mempunyai pandangan negatif

terhadap sosok mantan warga binaan, oleh karena itu mantan warga binaan juga

merasa kesulitan untuk terbuka dengan masyarakat karena statusnya sebagai

(23)

mantan warga binaan, karena beberapa masyarakat memiliki pandangan buruk terhadap mantan warga binaan. Kartini (1981) menyatakan bahwa jenis pekerjaan yang diperoleh oleh bekas warga binaan pada umumnya sangat menurun dibandingkan dengan pekerjaannya terdahulu dengan penghasilan sangat rendah, bahkan sering lebih rendah. Pada umumnya mantan warga binaan dapat memperoleh pekerjaan berdasarkan pertolongan keluarga, teman maupun usaha sendiri yang pada umumnya tidak memerlukan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (Hanun, 2013)

Menurut Seligman dalam (Aisyah, Yuwono & Zuhri, 2015) optimisme adalah

keyakinan dari diri individu terhadap peristiwa buruk atau kegagalan yang terjadi

hanya bersifat sementara, tidak mempengaruhi semua aktivitas, dan bukan mutlak

disebabkan oleh diri sendiri tetapi bisa karena situasi. Hasil penelitian kualitatif

Shofia (2009) mengenai optimisme masa depan warga binaan di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Sragen menunjukkan bahwa warga binaan laki-laki dan

perempuan dalam penelitian ini tidak hanya bersikap optimis dalam menghadapi

masa depan namun juga bersikap pesimis. Hasil penelitian Shofia (2009)

menunjukkan warga binaan yang bersikap optimis dalam menjalani kehidupan

yang akan datang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Selain itu ada juga warga

binaan yang optimis dalam mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi keluarga, di

sisi lain warga binaan juga ada yang bersikap pesimis terhadap respon masyarakat

yang akan melakukan penolakan kepada mereka. Penolakan tersebut

menyebabkan warga binaan yang pesimis menjadi sulit untuk mendapatkan

pekerjaan atau kehidupan yang lebih baik karena status mantan warga binaan yang

dipandang negatif (Shofia, 2009). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

(24)

9

tinggi rendahnya optimisme masa depan seseorang adalah self-esteem (Aisyah, Yuwono, & Zuhri, 2015). Hasil Penelitian yang di lakukan (Geryn & Hasnida, 2008) mengatakan bahwa semakin positif harga diri yang dimiliki narapidana, maka makna hidupnya semakin positif, dan sebaliknya semakin negatif harga diri yang dimiliki narapidana, maka makna hidupnya semakin negatif.

Studi yang dilakukan oleh (Heigel, Stuewig, & Tangney, 2010) ini mengidentifikasi hubungan antara kesehatan mental warga binaan dan optimisme.

Hasil menunjukkan optimisme berhubungan secara negatif dengan kesehatan

mental saat masuk penjara dan sebelum dilepaskan, atau dipindahkan (Heigel,

Stuewig, & Tangney, 2010). Penelitian yang dilakukan (Visher & O’Connell,

2012) studi ini mengindikasikan bahwa dukungan keluarga, memiliki anak, serta

pengobatan selama di penjara terhadap penyalahgunaan obat-obatan dapat

meningkatkan optimisme warga binaan, sementara pengaruh negatif keluarga

(penggunaan obat-obatan di keluarga), masa penahanan yang panjang dan riwayat

penggunaan obat-obatan yang serius dapat mengurangi optimisme tentang

kehidupan setelah masa penahanan. Selain itu pada penelitian (Ekasari & Dhelia,

2009) ada beberapa warga binaan yang mengatakan bahwa mereka sebenarnya

memiliki optimisme dan penyesuaian diri yang baik, namun di karenakan oleh

paradigma negatif tentang lapas, kondisi di dalam lapas, orang-orang yang akan

ditemui disana, dan ditambah dengan saat mereka baru ditangkap menjadi tahanan

kepolisian hal tersebut membuat narapidana menjadi tertekan. Tidak sedikit dari

pihak polisi tersebut menakut-nakuti dengan cerita yang menyeramkan tentang

keadaan di dalam lapas. Keadaan tersebut seperti buruknya perlakuan teman-

teman di dalam lapas dan buruknya perlakuan petugas yang ada di Lapas tersebut

(25)

(Ekasari & Dhelia, 2009). Dalam kondisi yang demikian, warga binaan membutuhkan dukungan sosial (Shofia 2009).

Dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi optimisme masa depan. Hal ini sesuai dengan teori Seligman dalam (Aisyah, Yuwono &

Zuhri, 2015) yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi optimisme masa depan adalah: religiusitas, akumulasi pengalaman sukses orang lain, dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan hubungan sosial yang mengacu pada kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh keluarga, teman, dan orang-orang yang berkaitan dengan individu tersebut seperti pasangan, rekan kerja, petugas penjara (Balogun, 2014). Hasil penelitian Ruby (2015) yang dilakukan pada warga binaan perempuan dan laki-laki, mengatakan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan optimisme masa depan. Artinya semakin tinggi dukungan sosial keluarga maka akan semakin tinggi optimisme masa depan. Sebaliknya semakin rendah dukungan sosial keluarga maka akan semakin rendah optimisme masa depan (Ruby, 2015). Lebih lanjut hasil penelitian Ruby (2015) menunjukkan hasil bahwa dukungan sosial keluarga mempunyai pengaruh terhadap optimisme masa depan warga binaan.

Dukungan sosial diperlukan warga binaan dalam menjalani hukuman. Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian Ruby (2015) ialah jika penelitian Rubi (2015)

hanya berfokus melihat dukungan sosial dari keluarga. Pada penelitian ini peneliti

ingin melihat dukungan sosial itu dari orang-orang yang berada di sekitar warga

binaan tidak hanya keluarga, namun petugas lapas dan warga binaan lainnya yang

lebih sering berinteraksi dengan warga binaan.

(26)

11

Dukungan sosial yang diterima dapat membantu warga binaan merasa tenang, diperhatikan, dicintai, dan menimbulkan rasa percaya diri sehingga warga binaan dapat lebih optimis dengan masa depannya kelak (Nur & Shanti, 2010). Selain itu (Jiang & Winfree, 2006) mengatakan pada penelitian kualitatif yang di lakukan di penjara perempuan menunjukkan bahwa perempuan memiliki kebutuhan dukungan sosial lebih besar saat berada di penjara. Namun hal berbeda pada penelitian (Shelby, Crespin, Wells, Lamdan, Siegel, Taylor, 2008) perempuan dengan tingkat dukungan sosial yang tinggi mengalami penyesuaian yang lebih baik walaupun ketika optimismenya rendah. Dalam penelitian Sarason (1983) menyebutkan bahwa definisi dari dukungan sosial itu sendiri adalah ada atau tersedianya seseorang yang dapat kita percaya, seseorang yang menghargai, mencintai, dan peduli kepada kita. Seperti hasil dalam penelitiannya yang melaporkan bahwa pasien penderita asma dengan dukungan sosial yang baik memerlukan penurunan level pengobatan untuk kemajuan hasil klinis daripada penderita asma dengan dukungan sosial yang buruk.

Berdasarkan uraian diatas dapat kita katakan bahwa pentingnya sebuah dukungan sosial untuk orang-orang yang sedang memiliki masalah dalam hidupnya, seperti warga binaan dukungan dapat berupa nasehat, arahan, penerimaan, dan motivasi yang didapatkan dari orang-orang sekitarnya dapat membantu mereka lebih optimis menjalani kehidupannya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang sebelumnya, maka perumusan

masalah penelitian ini adalah

(27)

Apakah ada hubungan positif dukungan sosial dengan optimisme masa depan pada warga binaan perempuan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan positif antara dukungan sosial dengan tingkat optimisme masa depan pada warga binaan perempuan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta?

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

a) Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi ilmu psikologi terutama pada bidang psikologi klinis, mengenai dukungan sosial dan optimisme masa depan warga binaan perempuan.

b) Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur dan menambah daftar temuan penelitian yang berkaitan dalam optimisme masa depan warga binaan perempuan.

1.4.2 Manfaat Praktis

a) Menggambarkan bagi pembaca bagaimana pentingnya dukungan sosial dengan optimisme masa depan warga binaan perempuan yang sedang menjalani masa hukumannya.

b) Dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat bahwa mendiskriminasi

warga binaan dapat mempengaruhi ke optimisan masa depan dari warga

binaan.

(28)

13

1.5 SistematikaPenulisan

Proposal penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan

Dalam bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Dalam bab ini berisi uraian tentang landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dukungan sosial yang terdiri dari pengertian dukungan sosial, bentuk-bentuk dukungan sosial, dan faktor yang mempengaruhi dukungan sosial. Selain itu menggunakan teori optimisme, terdiri dari pengertian, dan faktor-faktor yang mempengaruhi dan menggunakan teori warga binaan yang terdiri dari pengertian warga binaan itu sendiri, dampak psikologis pada warga binaan, dan faktor yang menyebabkan seseorang menjadi warga binaan.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengabilan sampel, alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian dan metode analisa data yang digunakan untuk mengelola hasil data penelitian.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi penjelasan bagaimana gambaran hubungan antar dua variabel yaitu dukungan sosial dengan optimisme menggunakan analisis statistik.

Pada bab ini juga akan dibahas mengenai interpretasi data yang diuraikan

(29)

dalam pembahasan

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan dari peneliti berdasarkan

hasil penelitian dan saran bagi pihak lain berdasarkan hasil yang diperoleh.

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan landasan teori Optimisme dari (Seligman, 2006) dan dukungan sosial dari (Sarafino, 2006) Berikut akan dijelaskan lebih detail tentang teori tersebut.

2.1 Dukungan Sosial

2.1.1 Definisi Dukungan Sosial

Dukungan sosial menurut yaitu (Sarafino, 2006), adalah suatu hal yang mengacu pada kenyamanan yang diterima, diperhatikan, dan perasaan dihargai untuk membantu seseorang untuk menerimanya dari sebuah kelompok-kelompok yang ada didalam masyarakat.

Mattson & Hall (2011) mendefinisikan dukungan sosial sebagai komunikasi verbal dan non verbal antara penerima dukungan dan pemberi dukungan yang akan mengurangi keraguan mengenai suatu situasi, atau suatu hubungan, dan berfungsi untuk meningkatkan persepsi tentang kontrol personal dalam pengalaman hidup seseorang. Berdasarkan definisi ini dukungan sosial adalah berbagai jenis komunikasi yang membantu individu merasa lebih yakin mengenai suatu situasi dan kemudian merasa dapat mengontrol situasi tersebut (Mattson &

Hall, 2011).

Menurut (Ozbay, Douglas, Eleni, Morgan, Charney, & Southwick, 2007)

dukungan sosial di deskripsikan sebagai dukungan yang dapat diterima bagi

seseorang melalui ikatan sosial terhadap orang, kelompok lain, dan komunitas

yang lebih besar.

(31)

Dukungan sosial merupakan hubungan sosial yang mengacu pada kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh keluarga, teman, dan orang- orang yang berkaitan dengan individu tersebut seperti pasangan, rekan kerja, petugas penjara (Balogun, 2014). Menurut Wills dalam (Balogun, 2014) dukungan sosial adalah sejauh mana seorang individu merasakan sejumlah hubungan sosial yang tersedia bagi mereka. Hal ini mengacu pada kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman-teman, keluarga, orang-orang penting lainnya seperti pasangan, dan lain-lain. Dukungan sosial yang dirasakan adalah suatu persepsi dimana seseorang dicintai dan dipedulikan, dihargai dan bernilai, sebagai bentuk hubungan sosial (Balogun, 2014).

Young (2006) mengklasifikasikan dukungan sosial ke dalam dua bentuk,

yaitu dukungan sosial yang diterima (received social support) dan dukungan

sosial yang dipersepsikan (perceived social support). Dalam received social

support, pengukuran dukungan sosial dilakukan berdasarkan bentuk atau jumlah

dukungan sosial yang sebenarnya diberikan oleh orang lain (Young, 2006). Dalam

perceived social support, pengukuran dukungan sosial dilakukan dengan

menanyakan sejauh mana seseorang mempersepsikan atau percaya bahwa dirinya

akan ditolong oleh orang lain (Young, 2006). Sarafino & Timothy (2014)

menyatakan bahwa dukungan sosial bukan hanya mengacu kepada perilaku yang

secara nyata dilakukan oleh seseorang, atau disebut received support, namun juga

merujuk pada persepsi seseorang bahwa kenyamanan, perhatian, dan bantuan

selalu tersedia jika dibutuhkan atau disebut dengan perceived support. Barrera

(1981) mendefinisikan perceived social support sebagai keyakinan seseorang

bahwa terdapat beberapa dukungan sosial yang tersedia ketika mereka

(32)

17

membutuhkannya. Menurut (Hobfoll & Vaux, 1993) menjelaskan bahwa Perceived social support mengacu pada persepsi seseorang tentang ketersediaan dukungan dari teman , keluarga , dan lain-lain.

Menurut (Wills & Shinar, 2000) perceived support adalah fungsi dukungan yang dipersepsikan selalu tersedia jika dibutuhkan. (Cobb, 1987) menyatakan bahwa fungsi dukungan dapat membantu seseorang mengatasi permasalahan dan perubahan. Selain itu ia juga menyatakan bahwa efek dari dukungan tersebut timbul dari informasi yang membuat seseorang percaya bahwa ia diperhatikan, dicintai, dihargai, dinilai dan dianggap sebagai bagian dari sebuah jaringan komunikasi. Jenis dukungan seperti ini dianggap mampu membantu seseorang dalam menghadapi stres, dan memungkinkan seseorang untuk menghadapi permasalahan hidup lainnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah bantuan yang diberikan kepada seseorang dalam bentuk verbal maupun non- verbal seperti perhatian, penghargaan, menolong yang berasal dari orang-orang di sekitar individu yang akan menerima dukungan sosial tersebut. Pada penelitian ini digunakan kedua bentuk pengukuran dukungan sosial perceived social support dan received social support.

2.1.2 Bentuk Dukungan Sosial

Bentuk dukungan sosial menurut (Sarafino, 2006) yaitu:

a. Emotional or esteem support

Dukungan emosional dapat berupa ungkapan empati, perhatian, maupun

kepedulian terhadap individu yang bersangkutan.

(33)

b. Tangible or instrumental support

Dukungan ini dapat berupa bantuan jasa atau uang bisa juga berupa bantuan dalam pekerjaan sehari-hari.

c. Informational support

Dukungan berupa nasihat, pengarahan, umpan balik atau nasihat mengenai apa yang dilakukan individu yang bersangkutan.

d. Companionship support

Dukungan yang berupa adanya kebersamaan, kesediaan dan aktivitas sosial yang dilakukan orang lain bersama individu.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa bentuk dari dukungan sosial, seperti dukungan emosional atau penghargaan seperti ungkapan rasa empati, memberi perhatian., dukungan secara nyata seperti uang maupun jasa, dukungan informasi seperti nasihat, dan dukungan pertemanan seperti kesediaan memberikan waktu, dan mendampingi saat dalam keadaan sulit.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial

Menurut Sarafino dalam (Ni'mah, 2014) tidak semua individu mendapatkan dukungan sosial yang mereka butuhkan, banyak faktor yang menentukan seseorang menerima dukungan. Berikut ini adalah faktor yang mempengaruhi dukungan sosial yaitu:

1. Penerima Dukungan (Recipients). Seseorang tidak mungkin menerima

dukungan sosial jika mereka tidak ramah, tidak pernah menolong orang lain, dan

tidak membiarkan orang mengetahui bahwa dia membutuhkan bantuan. Beberapa

orang tidak terlalu assertive untuk meminta bantuan pada orang lain atau adanya

perasaan bahwa mereka harus mandiri tidak membebani orang lain atau perasaan

(34)

19

tidak nyaman menceritakan pada orang lain atau tidak tahu akan bertanya kepada siapa.

2. Penyedia Dukungan (Providers). Seseorang yang harusnya menjadi penyedia dukungan mungkin saja tidak mempunyai sesuatu yang dibutuhkan orang lain atau mungkin mengalami stress sehingga tidak memikirkan orang lain atau bisa saja tidak sadar akan kebutuhan orang lain.

3. Faktor komposisi dan Struktur Jaringan Sosial. Hubungan yang dimiliki individu dengan orang-orang dalam keluarga dan lingkungan. Hubungan ini dapat bervariasi dalam ukuran (jumlah orang yang berhubungan dengan individu).

Frekuensi hubungan (seberapa sering individu bertemu dengan orang-orang tersebut, komposisi (apakah orang-orang tersebut keluarga, teman, rekan kerja) dan intimasi (kedekatan hubungan individu dan kepercayaan satu sama lain) . 2.2. Optimism

2.2.1. Definisi of Optimism

Seligman (2006) menyatakan bahwa optimisme berhubungan dengan pola

pikir dan keyakinan diri tentang suatu kejadian yang menimpa seseorang,

khususnya kejadian buruk. Orang yang optimis berpikir tentang kejadian buruk

yang menimpa mereka dengan cara yang berbeda. Mereka cenderung percaya

bahwa kekalahan hanya bersifat sementara dan penyebabnya terbatas hanya pada

kejadian ini. Carver & Scheier (2002) orang-orang optimis adalah mereka yang

mengekspektasikan hal-hal yang baik terjadi pada mereka. Orang-orang yang

optimis umumnya berpendapat bahwa kesulitan dapat ditangani dengan baik,

dengan satu atau berbagai cara. Orang-orang yang optimis adalah mereka yang

berekspektasi akan hasil yang positif, walaupun dalam keadaan yang sulit (Carver

(35)

& Scheier, 2002). Sedangkan menurut (Primardi & Hadjam, 2010) optimisme merupakan kemampuan seseorang untuk menginterpretasi secara positif segala kejadian dan pengalaman dalam kehidupannya, dimulai dari pikiran seseorang kemudian diwujudkan dalam perilaku.

Optimisme menunjukkan kecenderungan untuk mempertahankan ekspektasi positif untuk kedepannya. Hal ini terlihat sebagai harapan dalam bentuk yang lebih kuat (Bennett, 2015).

Goleman (dalam Shofia, 2009) mengatakan bahwa optimisme masa depan adalah harapan kuat terhadap segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan akan mampu teratasi dengan baik, walaupun ditimpa banyak masalah dan frustasi.

Optimisme merupakan sikap yang menopang individu agar jangan sampai terjatuh dalam keputusasaan ataupun mengalami depresi ketika individu dihadapkan pada kesulitan.

Optimisme berkaitan dengan gambaran tentang masa depan yang ingin diraih.

Individu yang memiliki optimisme masa depan cenderung memiliki gambaran tentang tujuan-tujuan bisa berupa sebuah target yang dapat diraih sehingga menyebabkan individu tersebut melakukan usaha nyata dalam meraih tujuan yang diinginkan (Valentino, 2007).

Optimisme merupakan sikap selalu memiliki harapan baik dalam segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menyenangkan. Dengan kata lain optimisme adalah cara berpikir atau paradigma berpikir positif (Carver &

Scheier, 2002). Orang yang optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang

baik pada masa depan dalam kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan

harapan-harapan yang baik dan positif mencakup seluruh aspek kehidupannya

(36)

21

(Snyder, 2002)

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa optmisme adalah suatu harapan atau keyakinan dalam diri individu terhadap suatu kejadian yang menimpahnya. Orang yang optimis adalah orang yang berpikir positif untuk masa depan dalam kehidupannya.

2.2.2 Aspek-aspek Optimisme

Menurut Seligman (2006), terdapat beberapa aspek dalam individu memandang suatu peristiwa/masalah, yaitu:

1. Permanence

Gaya penjelasan peristiwa ini menggambarkan bagaimana individu melihat peristiwa berdasarkan sifat ketetapan, yaitu bersifat sementara (temporary) dan menetap (permanence). Orang-orang yang mudah menyerah (pesimis) percaya bahwa penyebab kejadian-kejadian buruk yang menimpa mereka bersifat permanen selalu hadir mempengaruhi hidup mereka. Orang- orang yang melawan ketidakberdayaan (optimis) percaya bahwa penyebab kejadian buruk itu bersifat sementara.

2. Pervasif (Universal- Spesific)

Gaya penjelasan peristiwa ini berkaitan dengan ruang lingkup peristiwa

tersebut, meliputi universal (menyeluruh), spesifik (khusus). Orang yang

optimis bila di hadapkan dengan kejadian yang buruk akan membuat

penjelasan yang spesifik dari kejadian tersebut, bahwa hal buruk yang sedang

terjadi disebabkan oleh sebab-sebab khusus dan tidak akan mempengaruhi

kepada hal-hal lain.

(37)

3. Personalisasi

Personalisasi adalah bagaimana individu melihat asal masalah atau penyebab dari kejadian tersebut, dari dalam dirinya (internal) atau luar dirinya (eksternal). Saat hal buruk terjadi, seseorang bisa menyalahkan dirinya sendiri (internal) atau menyalahkan orang lain/keadaan (eksternal).

Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ke tiga aspek-aspek dari optimisme tersebut menggambarkan tanda-tanda apakah seseorang dapat dikatakan optimis, bagaimana cara seseorang dalam menjelaskan peristiwa buruk, cara seseorang memandang suatu kebiasaan serta pikiran bahwa seseorang dapat diterima dan dihargai atau tidak diterima dan tidak dihargai oleh orang lain.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Optimisme

Menurut Seligman dalam (Cahyasari & Sakti, 2014) faktor-faktor yang mempengaruhi optimisme adalah :

1) Dukungan sosial

Adanya dukungan, motivasi dan perhatian dari keluarga yang berupa nasehat- nasehat agar individu berpikir dengan tenang dan mengubah pola pikir yang semula pesimis menjadi optimis menyebabkan perlahan-lahan menghilangnya pesimisme yang dimiliki.

2) Pengalaman orang lain

Tumbuhnya optimisme juga dipengaruhi oleh pengalaman bersosialisasi

dengan orang-orang di sekitar individu. Ketika individu melihat pengalaman

orang lain memiliki optimisme dan mampu melalui hal buruk yang saat ini

sedang dialami individu akan membuat individu tersebut bangkit dan

(38)

23

memiliki sikap optimisme.

3) Religiusitas

Religiusitas juga memiliki pengaruh pada individu dalam pengembangan optimisme. Individu yang memiliki optimisme berpandangan dan berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Tuhan sehingga mereka akan mendapat pertolongan.

Pemaparan diatas menjelaskan mengenai apa-apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi optimisme itu sendiri. Jadi terdapat 3 faktor yaitu, dukungan sosial, pengalaman orang lain, dan religiusitas. Semua faktor tersebut sangatlah penting dalam mempengaruhi optimisme masa depan seseorang.

2.3. Warga binaan

2.3.1 Pengertian Warga binaan

Menurut Harsono (1995) menyebutkan bahwa warga binaan adalah orang yang tengah menjalankan pidana, tidak peduli apakah itu pidana penjara, pidana denda atau pidana percobaan.

Sedangkan menurut Poernomo dalam (Siswati & Abdurrahim, 2009) warga binaan adalah individu yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan kemudian oleh pengadilan dijatuhi hukuman atau pidana. Pengadilan mengirimkan warga binaan tersebut ke Rumah Tahanan atau lembaga permasyarakatan untuk menjalani hukuman sampai habis masa pidananya.

Sudirohusodo dalam (Siswati & Abdurrahim, 2009) mendefinisikan warga

binaan merupakan anggota dari masyarakat umum yang memiliki hak dan

kewajiban sebagaimana warga negara lainnya, dikarenakan perlakuan dalam

kehidupan sehari-hari telah melakukan kesalahan yaitu melanggar hukum yang

(39)

berlaku, maka untuk sementara waktu dimasukkan ke dalam Lembaga Permasyarakatan dan akan kehilangan kemerdekaannya dalam waktu tertentu.

Dalam pasal 1 ayat 6 UU No. 12 tahun 1995, tentang permasyarakatan menyatakan bahwa terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Maka dapat disimpulkan bahwa warga binaan adalah seseorang yang sedang menjalani masa hukuman disuatu Lembaga Permasyarakatan atas apa yang telah dilakukannya atau dengan kata lain orang tersebut telah melakukan tindak pidana sehingga menyebabkan orang lain mengalami kerugian.

Warga Binaan Permasyarakatan dalam keputusan Menteri Kehakiman RI No.

M 02-PK 04. 10 tahun 1990, tentang Pola Pembinaan Warga binaan/Tahanan meliputi :

1) Warga binaan adalah terpidana yang menjalani pidana yang kemerdekaannya dan ditempatkannya di Lembaga Permasyarakatan.

2) Anak Negara adalah anak yang sedang menjalani putusan pengadilan dan di tempatkan di Lapas Anak.

3) Klien Permasyarakatan ialah orang yang sedang dibina oleh Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (Balai Bispa) yang berada di luar Lapas.

4) Tahanan Rutan untuk selanjutnya disebut tahanan, ialah tersangka atau terdakwa yang di tempatkan didalam rutan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Sesuai dengan UU No. 12 Tahun 1995 tentang permasyarakatan Pasal 1 ayat

7, warga binaan diartikan sebagai terpidana yang menjalani pidana hilang

(40)

25

kemerdekaannya di Lapas. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Walaupun disebutkan bahwa ketika seseorang menjadi warga binaan kehilangan kemerdekaan, namun warga binaan tetap mendapatkan hak-hak yang tetap dilindungi oleh sistem permasyarakatan Indonesia. Hak-hak tersebut terantum dalam undang-undang No 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan Pasal 14.

2.3.2 Dampak Psikologis pada Warga binaan

Menurut Harsono, 1995, pidana merupakan beban yang berat bagi warga binaan yang akan berdampak pada psikologis warga binaan itu sendiri. Berikut dampak psikologis bagi warga binaan sebagai berikut :

a) Lose of personality. Seorang warga binaan selama dipidana akan kehilangan kepribadian diri, identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Permasyarakatan.

b) Lose of security. Seseorang yang secara terus menerus diawasi, akan merasakan kurang aman, merasa selalu dicurigai dan merasa selalu tidak dapat berbuat sesuatu atau bertindak, karena takut tindakannya merupakan suatu kesalahan.

c) Lose of liberty. Warga binaan juga kehilangan kemerdekaannya, seperti

kemerdekaan dalam berpendapat, kemerdekaan membaca surat kabar secara

bebas, melakukan hobby, menonton televisi. Secara psikologis keadaan yang

sedemikian menyebabkan warga binaan menjadi tertekan jiwanya, pemurung,

malas, mudah marah, dan tidak bergairah dalam program pembinaan bagi diri

mereka sendiri.

(41)

d) Lose of personal communication. Warga binaan yang sedang menjalani masa tahanan mereka akan terbatasi dalam komunikasi terhadap siapa pun. Warga binaan tidak bisa bebas untuk komunikasi dengan relasinya, dikarenakan keterbatasan waktu yang sangat terbatas, dan kadangkala pembicaraan mereka didengar oleh petugas yang mengawasinya.

e) Lose of good and service. Warga binaan juga merasakan kehilangan akan pelayanan. Dalam lembaga permasyarakatan warga binaan harus mampu mengurus dirinya sendiri, seperti mereka harus mencuci pakaian, menyapu ruangan, mengatur tempat tidur sendiri dan lain sebagainya.

f) Lose of heterosexual. Selama menjalani masa hukuman, warga binaan ditempatkan dalam blok-blok sesuai dengan jenis kelaminnya. Penempatan ini menyebabkan warga binaan juga merasakan terampasnya naluri seks mereka, kasih sayang, rasa aman bersama keluarga.

g) Lose of prestige. Warga binaan juga kehilangan harga dirinya. Bentuk-bentuk perlakuan dari petugas terhadap warga binaan telah membuat warga binaan menjadi terampas harga dirinya. Misalnya, penyediaan tempat mandi yang terbuka untuk mandi bersama-sama, WC yang terbuka, kamar tidur (sel) yang hanya berpintu terali besi dan sebagainya.

h) Lose of belief. Warga binaan juga menjadi kehilangan akan rasa percaya diri

sendiri. Ketidakpercayaan akan diri sendriri, disebabkan tidak ada rasa aman,

tidak dapat membuat keputusan. Ketidakpercayaan terhadap diri sendiri akan

mengganggu program pembinaan.

(42)

27

i) Lose of creativity. Selama menjalani pidana, warga binaan juga terampas kreatifitasnya, ide-idenya, gagasan-gagasannya, imajinasinya, bahkan juga impian dan cita-citanya.

Dari pemaparan di atas, dapat kita lihat bebagai macam dampak negatif dari pidana penjara, yang menyebabkan warga binaan menjadi kehilangan hak-haknya pada saat berada di dalam penjara, yang menyebabkan warga binaan menjadi tertekan dalam menjalani masa tahanannya.

2.3.3 Faktor Yang Menyebabkan Seseorang Masuk Penjara

Menurut Mclvor (2004), ada beberapa alasan seseorang masuk dalam penjara, seperti ketergantungan obat-obatan, pelecehan, kemiskinan, dan pengangguran.

Berikut penjelasan lebih lanjutnya : 1) Obat-obatan

Obat-obatan adalah faktor yang paling umum bagi warga binaan di banyak negara dalam masuk penjara. Dan sebagian warga binaan juga banyak menggunakan berbagai obat-obatan di penjara, penggunanaan obat-obatan ini umumnya dimulai pada saat remaja.

2) Pengangguran /kondisi ekonomi

Pengangguran merupakan salah satu faktor umum penyebab seseorang dapat masuk penjara. Di negara barat sebagian besar wanita yang dipenjara adalah mereka yang pengangguran. Banyak laporan yang mengatakan tindak kriminal yang mereka lakukan berhubungan dengan kebutuhan sosial mereka.

3) Pelecehan

Banyak riset yang mengatakan faktanya para wanita dipenjara merupakan

korban dan juga pelaku tindak kriminal. Para wanita telah menjadi korban

(43)

pelecehan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pelecehan fisik, seksual atau emosional. Umumnya pelecehan ini berasal dari kekerasan dalam keluarga/pasangan.

Dari pemaparan diatas dapat kita ketahui terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang itu dapat masuk dalam penjara, umumnya terjadi dikarenakan penyalahgunaan obat-obatan, pengangguran/kondisi ekonomi dari seseorang, serta pelecehan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan dalam gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Pada gambar 2.1 menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara dukungan sosial dengan optimisme warga binaan. Hal ini sesuai dengan teori Seligman dalam (Aisyah, 2015), yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi optimisme masa depan adalah dukungan sosial. Selanjutnya studi menunjukkan hubungan yang positif pada dukungan sosial yang dirasakan, seperti tersedianya orang-orang yang membantu, juga menerima dukungan sosial seperti sejumlah interaksi yang membantu individu tersebut (Aspinwall & Taylor, 1992).

Penelitian mengenai dukungan yang dirasakan menyatakan bahwa perceived support dipengaruhi oleh variabel kepribadian dan salah satunya adalah optimisme.

DUKUNGAN SOSIAL

OPTIMISME

WARGA BINAAN

(44)

29

2.5 Hipotesis

Hipotesis yang peneliti ajukan pada penelitian ini sebagai berikut :

HA : Ada hubungan postif antara dukungan sosial dengan optimisme masa

depan warga binaan wanita di Lembaga Permasyarakatan Tanjung

Gusta Medan.

(45)

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memilih menggunakan metode penelitian kuantitatif, berikut akan di jelaskan tentang apa saja metode-metode dalam penelitian kuantitatif.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian korelasional bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen (Sugiyono, 2012). Penelitian kuantitatif menurut Azwar (2012), menekankan analisisnya dalam data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika, penelitian kuantitaif ini bertujuan dalam pengujian hipotesis. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk menyelidiki sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain (Azwar, 2012).

3.2. Identifikasi Variabel

Variabel-variabel yang terlibat di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel bebas (independent variable) : Dukungan Sosial 2. Variabel terikat (dependent variable) : Optimisme 3.3 Definisi Operasional

3.3.1 Dukungan Sosial

Dukungan sosial adalah kepuasan terhadap kenyamanan, perhatian,

penghargaan, atau bantuan yang diperoleh maupun yang dirasakan oleh warga

binaan perempuandari interaksinya dengan orang yang sedang berkunjung

maupun orang sekitar penjara, baik secara verbal maupun non verbal. Pengukuran

(46)

31

pada dukungan sosial ini didasarkan pada kualitas dukungan sosial yang diterima, sebagaimana yang dipersepsikan individu penerima dukungan tersebut. Dukungan sosial diukur dari keseluruhan aspek dukungan sosial yang terdiri dari emotional or esteem support, tangible/instrumental support, informational support, companionship support berdasarkan teori dari Sarafino (2006).

a. Emotional or esteem support

Dukungan emosional dapat berupa ungkapan empati, perhatian, maupun kepedulian terhadap individu yang bersangkutan. Yang diwakili oleh butir- butir soal unfavorable 1,3,5,7,9,11,13,15, dan favorabel 2,4,6,8,10,12,14,16.

Pada penelitian ini hasil skor yang tinggi pada aspek ini menunjukkan bahwa warga binaan tersebut banyak merasakan bentuk dukungan tersebut.

Sedangkan pada skor yang rendah menunjukkan bahwa warga binaan tersebut sedikit merasakan bentuk dukungan tersebut.

b. Tangible or instrumental support

Dukungan ini dapat berupa bantuan jasa atau uang bisa juga berupa bantuan dalam pekerjaan sehari-hari. Yang diwakili oleh butir-butir soal unfavorable 17,19,21,23,25,27,29,31,33,35 dan favorable 18,20,22,24,26,28,30,32,34.

Pada penelitian ini hasil skor yang tinggi pada aspek ini menunjukkan bahwa warga binaan tersebut banyak merasakan bentuk dukungan tersebut.

Sedangkan pada skor yang rendah menunjukkan bahwa narapida tersebut sedikit merasakan bentuk dukungan tersebut.

c. Informational support

Dukungan berupa nasihat, pengarahan, umpan balik atau nasihat mengenai

apa yang dilakukan individu yang bersangkutan. Yang diwakili oleh butir-

(47)

butir soal unfavorable 37,39,41,43,45,47,49 dan favorable 36,38,40,42,44,46,48. Pada penelitian ini hasil skor yang tinggi pada aspek ini menunjukkan bahwa warga binaan tersebut banyak merasakan bentuk dukungan tersebut. Sedangkan pada skor yang rendah menunjukkan bahwa narapida tersebut sedikit merasakan bentuk dukungan tersebut.

d. Companionship support

Dukungan yang berupa adanya kebersamaan, kesediaan dan aktivitas sosial yang dilakukan orang lain bersama individu. Yang diwakili oleh butir-butir soal unfavorable 51,53,55,57,59,61 dan favorable 50,52,54,56,58,60,62. Pada penelitian ini hasil skor yang tinggi pada aspek ini menunjukkan bahwa warga binaan tersebut banyak merasakan bentuk dukungan tersebut.

Sedangkan pada skor yang rendah menunjukkan bahwa narapida tersebut sedikit merasakan bentuk dukungan tersebut.

Untuk mengukur dukungan sosial ini peneliti melakukan pembuatan skala

dukungan sosial berdasarkan teori Sarafino (2006). Pada penelitian ini peneliti

tidak melihat tinggi rendahnya dukungan sosial yang mereka dapatkan, namun

ingin melihat dukungan mana dari keempat bentuk dukungan sosial yang paling

banyak dirasakan oleh warga binaan wanita. Diharapkan hasil dari penelitian ini

kita akan mengetahui bentuk dukungan yang paling banyak dirasakan oleh warga

binaan perempuanpada saat mereka berada di dalam penjara. Skor yang tinggi dari

salah satu maupun beberapa bentuk dari keempat bentuk dukungan sosial tersebut

menunjukkan bahwa mereka banyak merasakan dukungan pada bentuk tersebut,

dan skor rendah pada salah atau atau lebih pada keempat bentuk dukungan sosial

tersebut menunjukkan bahwa warga binaan merasakan sedikit mendapat

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang diperoleh dari analisis data bahwa terdapat pengaruh program penguatan keluarga terhadap kesejahteraan sosial warga binaan Yayasan SOS Desa Taruna Medan yang ada

Dukungan sosial mempengaruhi hampir sebagian besar warga binaan pemasyarakatan yang mengalami kecemasan daripada dukungan keluarga, saran bagi institusi Lembaga

Menurut Ryff (dalam , psychological well ‐ being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi