• Tidak ada hasil yang ditemukan

S K R I P S I. Oleh: MUHAMMAD AMMAR RIZQ DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "S K R I P S I. Oleh: MUHAMMAD AMMAR RIZQ DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

KAITAN JUAL BELI BENDA WARIS

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MUHAMMAD AMMAR RIZQ 140200329

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

ABSTRAK

Muhammad Ammar Rizq*) Tan Kamello**) Marianne Magda***)

Notaris merupakan pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik. Adapun permasalahan dalam penelitian ini tanggung jawab terhadap akta autentik yang di buat oleh notaris. Pewarisan dinilai berdasarkan hukum perdata. Akibat hukum akta jual beli notaris terhadap benda waris yang tidak sesuai keterangan ahli waris.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif, penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan sebagai bahan penelitian ini data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara Studi kepustakaan (library research), data dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa tanggung jawab terhadap akta autentik yang di buat oleh notaris menurut UUJN adalah ketika notaris dalam menjalankan jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris bertanggung jawab sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya baik tanggung jawab dari segi hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana yaitu sesuai ketentuan sanksi yang tercantum dalam UUJN , kode etik dan KUHP.

Pewarisan dinilai berdasarkan hukum perdata, dalam hukum waris perdata, berlaku suatu asas, yaitu apabila seseorang meninggal dunia (pewaris), maka demi hukum dan seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya, sepanjang hak dan kewajiban tersebut termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau dengan kata lain hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Akibat hukum akta jual beli notaris terhadap benda waris yang tidak sesuai keterangan ahli waris. Jika jual beli tersebut telah terjadi dan tanpa tanda tangan para ahli warisnya sebagai pemiliknya (karena tidak ada persetujuan dari para ahli waris), maka tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak untuk menjualnya. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 1471 KUHPerdata di atas, jual beli tersebut batal. Dengan batalnya jual beli tersebut, maka jual beli tersebut dianggap tidak pernah ada, dan masing-masing pihak dikembalikan ke keadaannya semula sebelum terjadi peristiwa “jual beli” tersebut, yang mana hak milik atas tanah tetap berada pada ahli waris.

Kata Kunci : Tanggung Jawab, Notaris, Pewaris, Jual Beli, Benda Waris.1

*)Mahasiswa Fakultas Hukum USU, Departemen Keperdataan

**) Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

***) Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

(4)

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dengan kemampuan yang ada menyelesaikan tugas menyusun skipsi ini. Sudah merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa bahwa dalam menyelesaikan studi untuk mencapai gelar kesarjanaan menyusun skripsi dalam hal ini penulis memilih judul “Tanggung Jawab Notaris Atas Keterangan Pewaris Yang Tidak Memasukan Semua Ahli Waris Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Kaitan Jual Beli Benda Waris”. Penulis menyadari bahwasanya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk mendekati kesempurnaan didalam skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun yang tidak langsung telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama penulis menempuh perkuliahan, khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

5. Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Fakultas Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara..

7. Syamsul Rizal, S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Prof. Dr. Tan Kamello M. Husni, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya membimbing penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Dr.Marianne Magda, SH, M.Kn, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan arahan dan masukan, sehingga terselesaikannya skripsi ini.

10. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 11. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan pelayanan administrasi yang baik selama proses akademik penulis.

12. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis ayahanda Arson Libra Putra dan ibunda Dian Awalsari Batubara, yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil dan kasih sayang kepada penulis yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

13. Buat adik saya yang selalu memberi hiburan dan semangat serta yang menjadikan motivasi penulis untuk menjadi panutan bagi mereka.

(6)

perkembangan skripsi penulis.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak dan semoga kritik dan saran yang telah diberikan mendapatkan balasan kebaikan berlipat dari Tuhan Yang Maha Esa dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, April 2019 Penulis,

Muhammad Ammar Rizq

(7)

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Kepustakaan ... 7

E. Metode Penelitian ... 10

F. Keaslian Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA AUTENTIK YANG DI BUAT OLEH NOTARIS A. Sejarah dan Pengertian Tinjauan Umum Tentang Notaris ... 15

B. Surat Keterangan Waris ... 28

C. Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta Autentik yang di buat oleh Notaris ... 34

BAB III PEWARISAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Hukum Waris, Ahli Waris, dan Harta Waris Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ... 48

(8)

C. Pewarisan Di Indonesia Dinilai Berdasarkan Hukum

Perdata ... 66

BAB IV AKIBAT HUKUM AKTA JUAL BELI NOTARIS TERHADAP BENDA WARIS YANG TIDAK SESUAI KETERANGAN AHLI WARIS ... 76

A. Wasiat dan Surat Keterangan Ahli Waris dalam Pembuatan Akta Notaris ... 76

B. Akibat Hukum Jual Beli Benda Waris ... 79

C. Akibat Hukum Pembuatan Akta Notaris yang Tidak Sesuai dengan surat Keterangan Ahli Waris ... 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(9)

A. Latar Belakang

Notaris merupakan pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, Salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.2 Jabatan notaris tidak boleh di rangkap dengan jabatan-jabatan Gubernur kepala daerah, hakim, Balai harta peninggal, advokat pokrol (Notaris Reglement Pasal 10). Notaris tidak boleh meninggalkan wilayahnya lebih dari 3 kali 24 jam dan juga notaris tidak boleh membuat akta yang penghadapannya tidak dikenal. Notaris juga tidak boleh membuat akta yang salah satu pihaknya, ia sendiri, istrinya, saudara-saudaranya sedarah atau karena perkawinan, sampai derajat ketiga. Notaris harus dapat membeda-bedakan hubungan keluarga dan hubungan tugas dan harus menunjukan sifat-sifatnya yang objektif, tidak memihak, tidak mementingkan materi (mengenai honorarium notaris), dan mampu menyimpan rahasia.

Berbicara mengenai notaris, berarti kita berbicara mengenai autentisitas dokumen. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan orang berkunjung ke notaris.

Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkanya (konstatir) adalah benar, ia adalah

2 G.H.S.Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983, hlm.31

(10)

pembuatn dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.3 Pengakuan akan sifat autentisitas dokumen tersebut tidak datang secara serta merta, tetapi pengakuan baru muncul pada abad ke-13, sekian ratus tahun setelah kemunculan jabatan notaris. Beberapa ratus tahun kemudian barulah muncul peraturan yang disebut ventosewet. Venstosewet membawa praktik kenotariatan pada posisi berbeda karena mengatur praktik kenotariatan secara khusus.Ventosewet menjadi inspirasi bagi lahirnya peraturan sejenis di berbagai negara di dunia. Sejak itulah pratik kenotariatan berkembang hingga saat ini.

Menyadarai hal tersebut bahwa manusia tidak dapat hidup seorang diri, tetapi selalu membutuhkan orang lain dan berusaha menjalin hubungan dengan sesame. Kehidupan manusia di tengah-tengah sesamanya selalu membawa hak dan kewajiban masing-masing. Hak dan kewajiban itu melekat seiring kelahiran manusia ke dunia dan akan benar berakhir dengan adanya peristiwa kematian.

Akan tetapi, peristiwa kematian seseorang dapat melahirkan hak-hak yang baru bagi orang lain yang menjadi ahli warisnya.

Kenyataan ini tentu saja melahirkan permasalahan tersendiri. Hal itu karena hak dan kewajiban masing-masing individu yang hidup di tengah masyarakat rawan untuk saling bergesekan. Gesekan-gesekan tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan kepentingan tiap individu dan ketidakjelasan identitas yang akhirnya berujung pada konflik antar individu.4

3 Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, Cetakan Kedua, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2011, hlm.444

4 Ira Koesoemawati, dan Yunirman Rijan, Ke Notaris Raih Asa Sukses, Jakarta, 2009, hlm. 6.

(11)

Pasal 1867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) disebutkan ada istilah akta autentik, dan Pasal 1868 KUHPerdata memberikan batasan secara unsur dengan akta autentik yaitu :5

1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstain) seorang pejabat umum.

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

3. Pegawai Umum (Pejabat Umum) oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

Autentik (authentiek) dapat diartikan bersifat umum, bersifat jabatan, memberi pembuktian yang sempurna (dari surat-surat) khususnya dalam kata : authentieke akte. Para notaris istimewa ditunjuk untuk membuat akta otentuk baik atas permintaan atau atas perintah; akan tetapi juga beberapa pejabat negeri yang berhak membuatnya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tugas pekerjaannya.

Satu syarat lagi yang harus ditambahkan yaitu akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, karena di dalam akta autentik tersebut didalamnya telah termasuk semua unsur bukti :

1. Tulisan;

2. Saksi-saksi;

3. Persangkaan-persangkaan;

4. Pengakuan;

5. Sumpah;

5Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Rafika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 5

(12)

Arti akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat pula ditentukan bahwa siapa pun terikat dengan akta tersebut, sepanjang tidak bisa dibuktikan bukti sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Bahwa akta autentik merupakan sebutan yang diberikan kepada pejabat tertentu yang dikualifikasikan sebagai pejabat umum, seperti akta autentik tidak saja dapat dibuat oleh notaris, misalnya juga oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT). Pejabat lelang dan pegawai kantor catatan sipil. 6

Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan autentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan. Tulisan-tulisan autentik berupa akta autentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang- undang, dibuat di hadapan pejabat-pejabat (pejabat umum) yang diberi wewenang dan di tempat dimana akta tersebut dibuat. Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta di bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa perantara atau tidak di hadapan pejabat umum yang berwenang. Baik akta autentik maupun di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Dalam kenyataan ada tuisan yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti, jika hak seperti ini terjadi agar mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan atau diduking dengan alat bukti lainnya.

Perbedaan yang penting antara kedua jenis akta tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta autentik mempunyai pembuktian yang sempurna.

Kesempurnaan akta notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta

6 Ibid., hlm. 6.

(13)

tersebut. Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak, jika para pihak mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai akta autentik, juka ada salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim.7 Baik alat bukti akta di bawah tangan maupun akta autentik keduanya harus memenuhi rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, dan secara materiil mengikat para pihak yang membuatnya Pasal 1338 KUHPerdata sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (pacta sunt servanda).8

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hak hak dan kewajiban kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/harta benda saja yang dapat diwaris. Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak dan hak seorang anak dan hak seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak sah dari bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan), dinyatakan oleh undang-undang diwarisi oleh warisnya. Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan, pewarisan hanya berlangsung karena kematian.

Jadi, harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka. Dalam hal ini, ada ketentuan khusus dalam Pasal 2 KUHPerdata, yaitu anak yang ada dalam

7 Ibid., hlm. 7.

8 Ibid., hlm. 8.

(14)

kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan dianggap ia tidak pernah ada.9 Jelasnya seorang anak yang lahir saat ayahnya telah meninggal, berhak mendapat warisan. Hal ini diatur dalam Pasal 836 KUHPerdata, “Dengan mengingat akan ketentuan dalam pasal 2 kitab ini, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada pada saat warisan jatuh meluang”.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dilakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Atas Keterangan Pewaris Yang Tidak Memasukan Semua Ahli Waris Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Kaitan Jual Beli Benda Waris”

B. Permasalahan

Untuk mendapatkan gambaran secara lebih jelas dalam pembahasan yang terlalu luas, maka dalam hal ini penulis perlu membatasi rumusan masalah yang dibahas pada hal-hal sebagai berikut :

1. Bagaimana tanggung jawab terhadap akta autentik yang di buat oleh notaris ? 2. Bagaimana pewarisan dinilai berdasarkan hukum perdata ?

3. Bagaimana akibat hukum akta jual beli notaris terhadap benda waris yang tidak sesuai keterangan ahli waris ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :

9 Effendi Perangin, Hukum Waris, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014 ,hlm. 3

(15)

1. Untuk mengetahui tanggung jawab terhadap akta autentik yang di buat oleh notaris.

2. Untuk mengetahui pewarisan dinilai berdasarkan hukum perdata.

3. Untuk mengetahui akibat hukum akta jual beli notaris terhadap benda waris yang tidak sesuai keterangan ahli waris.

Penelitian ini juga mempunyai manfaat dari segi kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu :

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka mengembangkan dan memperkaya teori hukum yang sudah ada, khususnya dalam bidang ilmu hukum perdata.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini ditujukan untuk kegunaan praktis baik dari segi masyarakat maupun pemerintah sebagai acuan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial terkait dengan tanggung jawab notaris terhadap ahli waris yang tidak memasukan semua pewaris dalam akta jual beli benda waris.

D. Tinjauan Kepustakaan 1. Tanggung jawab notaris

Sebagai pejabat umum notaris berwenang membuat akta autentik.

Sehubungan dengan kewenangannya tersebut notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya/pekerjaannya dalam membuat akta autentik.10 Notaris dalam menjalankan jabatannya harus memperhatikan dan tunduk pada Undang-

10 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm 35

(16)

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah mengalami perubahan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris yang merupakan peraturan yang berlaku bagi pedoman moral profesi notaris.11

Pertanggungjawaban notaris sebagai pejabat umum meliputi bidang hukum privat, hukum pajak dan hukum pidana. Bentuk tanggung jawab hukum Notaris adalah tanggung jawab hukum perdata bilamana Notaris melakukan kesalahan karena ingkar janji sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata atau perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata

2. Hukum waris dalam KUHPerdata

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia serta akibatnya bagi para ahli waris.12 Apabila merujuk pada Pasal 830 KUHPerdata banyak kalangan menyebutkan bahwa pewaris yaitu setiap orang yang sudah meninggal dunia, karena hukum waris tidak akan dipersoalkan kalau orang yang telah meninggal dunia tidak meninggalkan harta benda, maka unsur-unsur yang mutlak harus dipenuhi untuk layak disebut pewaris. Pewaris adalah orang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.13

11 Putu Mas Maya Ramanti, Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Minuta yang dibuat berdasarkan keterangan Palsu, Jurnal ilmiah Prodi Magister Kenotariatan,2015-2016, hlm 113

12 Effendi Perangin, Op.Cit., hlm 8

13 Anasitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata, BW Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm 6

(17)

Ahli waris adalah semua orang yang berhak menerima warisan. Dalam KUHPerdata yang dimaksud dengan ahli waris adalah para anggota keluarga sedarah yang sah maupun diluar perkawinan serta suami dan istri yang hidup diluar perkawinan serta suami dan istri yang hidup terlama (Pasal 832 KUHPerdata).14 Berdasarkan Pasal 835 dan Pasal 899 KUHPerdata, asas pokok untuk menentukan apakah seseorang dapat bertindak sebagai ahli waris adalah bahwa ia harus ada (sudah lahir) dan hidup pada saat terbukanya warisan.

3. Jual beli harta benda

Jual-beli secara etimologis artinya mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis, Ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan “saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu”, atau “tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”. Jual-beli merupakan salah satu bentuk bisnis (perdagangan/tijarah) yang bertujuan untuk mencari keuntungan. 15Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang agama Islam karena barangnya tidak tentu atau masih gelap, sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.

Pada jual beli tanah sebaiknya dilakukan para pihak dihadapan PPAT, karena untuk menjamin kepastian hukum kepemilikan tanah tersebut. Adapun

14 Ibid., hlm 6

15 Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Intergrasi Perundangan Nasional Dengan Syariah, UI Malang Press, Malang, 2009, hlm. 170

(18)

akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum.16

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Guna membahas permasalahan skripsi ini penulis menggunakan penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan pendekatan masalah dengan melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang- undangan, pandangan, doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan dengan objek penelitian.17

2. Sifat Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis peraturan hukum.18 Dengan menggunakan sifat deskriptif ini, maka peraturan hukum dalam penelitian ini dapat dengan cepat digambarkan dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian ini. Pendekatan masalah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (statue approach).19

3. Sumber Data

16 0Boedi Harsono, Agraria: Sejarah Pembentukan, Isi, dan Pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta, 1997, hlm. 235

17 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 112

18 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009,hlm. 72.

19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Premada Lemcama, Jakarta, 2005,hlm. 96

(19)

Sumber data yang digunakan sebagai bahan penelitian ini data sekunder.

Data sekunder merupakan data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini, antara lain:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Perkawinan d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan e. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

h. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara Studi kepustakaan (library research) yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematika buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal, artikel dan sumber lainnya yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Notaris Atas Keterangan Pewaris Yang Tidak Memasukan Semua Ahli Waris Berdasasrkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Kaitan Jual Beli Benda Waris.

(20)

5. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang sangat penting dan menentukan dalam setiap penelitian. Tahap ini penulis harus melakukan pemilahan data-data yang telah diperoleh. Penganalisisan data pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.20

Data pada skripsi ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah proses kegiatan yang meliputi, mencatat, mengorganisasikan, mengelompokkan dan mensintesiskan data selanjutnya memaknai setiap kategori data, mencari dan menemukan pola, hubungan-hubungan, dan memaparkan temuan-temuan dalam bentuk deskripsi naratif yang dapat dimengerti dan dipahami oleh orang lain.

Analisis data kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan suatu data yang mengandung makna dan dilakukan pada objek yang alamiah.21 Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di kepustakaan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis.

Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistimatis.

F. Keaslian Penelitian

Untuk mengetahui keaslian penulisan, penulis sebelumnya melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada katalog skripsi departemen hukum perdata Fakultas Hukum USU dan tidak menemukan judul

20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2008, hlm. 251- 252.

21 Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung,2009, hlm. 123.

(21)

yang sama ataupun permasalahan yang diangkat oleh penulis yaitu “Tanggung Jawab Notaris Atas Keterangan Pewaris Yang Tidak Memasukan Semua Ahli Waris Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Kaitan Jual Beli Benda Waris”. Tulisan ini merupakan karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.

Skripsi ini merupakan karya asli yang berasal dari pemikiran murni penulis dan tidak meniru kepunyaan orang lain. Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat oleh Departemen Hukum Perdata, maka hal itu dapat diminta pertanggungjawabannya.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis merincinya menjadi 5 (lima) bab, dimana bab yang satu dengan bab selanjutnya erat kaitannya, adapun kelima bab tersebut merupakan satu kesatuan dan berurutan-urutan terhadap pembahasan skripsi ini, maka sistematikanya adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan awal penulisan skripsi yang berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan keaslian penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II TANGGUNG JAWAB TERHADAP AKTA AUTENTIK YANG DI BUAT OLEH NOTARIS

Pada bab ini akan membahas notaris secara umum, serta membahas tentang surat keterangan waris yang meliputi pengertian surat

(22)

keterangan waris, syarat pembuatan keterangan waris, pengaturan surat keterangan waris berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia, dan Tanggung jawab notaris terhadap akta autentik yang di buat oleh notaris.

BAB III PEWARISAN DINILAI BERDASARKAN KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PERDATA

Pada bab ini akan membahas tentang pengertian waris, ahli waris, benda waris, penggolongan waris, serta mengenai pewarisan di Indonesia yang dinilai berdasarkan hukum perdata.

BAB IV AKIBAT HUKUM AKTA JUAL BELI OLEH NOTARIS TERHADAP BENDA WARIS YANG TIDAK SESUAI DENGAN KETERANGAN AHLI WARIS

Bab ini akan membahas wasiat dan surat keterangan ahli waris dalam pembuatan akta notaris. Akibat hukum jual beli benda waris dan akibat hukum pembuatan akta notaris yang tidak sesuai dengan surat keterangan ahli waris.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir dari isi skripsi ini. Pada bagian ini, dikemukakan kesimpulan dan saran yang didapat sewaktu mengerjakan skripsi ini mulai dari awal hingga pada akhirnya.

(23)

A. Sejarah dan Pengertian Notaris

Awal lahirnya profesi jabatan Notaris adalah profesi kaum terpelajar dan kaum yang dekat dengan sumber kekuasaan. 22 Para notaris ketika itu mendokumentasikan sejarah dan titah raja. Para Notaris juga menjadi orang dekat Paus yang memberikan bantuan dalam hubungan keperdataan. Bahkan pada abad kegelapan (Dark Age 500 – 1000 setelah Masehi) dimana penguasa tidak bisa memberikan jaminan kepastian hukum, para Notaris menjadi rujukan bagi masyarakat yang bersengketa untuk meminta kepastian hukum atas sebuah kasus.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak awal lahirnya profesi jabatan Notaris, termasuk jabatan yang prestisius, mulia, bernilai keluhuran dan bermartabat tinggi.23

Lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004 yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2004, sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 yang terdiri dari 13 Bab dan 92 Pasal tersebut semakin mempertegas posisi penting Notaris sebagai pejabat umum yang memberikan kepastian hukum melalui akta autentik yang dibuatnya.24 Landasan filosofis lahirnya Undang- Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 adalah terwujudnya jaminan

22 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI), Editor : Anke Dwi Saputro, Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang, dan Dimasa Mendatang, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2009, hlm. 32.

23 Ibid, hlm. 33.

24 Sutrisno, Komentar Atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Diktat Kuliah Magister Kenotariatan USU, Medan, 2007, hlm. 57.

(24)

kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran, dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris.25 Akta autentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta Notaris serta memberikan akses terhadap informasi termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta Notaris dalam menjalankan jabatannya berperan secara tidak memihak dan bebas (unpartiality and Independency).26 Notaris merupakan pejabatan umum yang berwenang untuk membuat akta autentik sejauh pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta yang dibuat dihadapan Notaris merupakan bukti autentik, bukti paling sempurna, dengan segala akibatnya.27

Jabatan Notaris adalah jabatan umum atau publik karena notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, Notaris menjalankan tugas negara, dan akta yang dibuat, yaitu minuta (asli akta) adalah merupakan dokumen negara. Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaan umum

25Salim HS dan Abdullah, Perancangan Kontrak dan MOU, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 101-102.

26 Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 22.

27 A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 64.

(25)

(pemerintah) dan diberi wewenang serta kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu, karena itu ia ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah.28

Dasar Hukum mengenai jabatan Notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan tanggal 6 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 yang kemudian diperbarui kedalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan tanggal 15 januari 2014.

Dasar dikeluarkannya Undang-undang Jabatan Notaris terdapat pada pasal 20 dan Pasal 21 dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Kemudian mengkaji terhadap segala hal yang berkaitan dengan Jabatan Notaris yang telah diatur sebelumnya dalam ketentuan Reglement op Notaris Ambt in Indonesie; (Stbl. 1860:3).

Peraturan yang mengatur tentang Jabatan Notaris sudah tidak sesuai lagi.

beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan dengan Undang-undang baru dimana undang undang tentang jabatan notaris telah di perbarui dari Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjadi Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan kembali pada tanggal 15 Januari 2014.

Dengan diundangkan kembali Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014, menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum bagi masyarakat. salah satunya dengan diwujudnya bukti tertulis yang dibuat oleh

28 R. Soesanto, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 75.

(26)

Notaris sebagai bukti autentik. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara.

Notaris merupakan salah satu pejabat negara yang kedudukannya sangat dibutuhkan di masa sekarang ini. Di masa modern ini, masyarakat tidak lagi mengenal perjanjian yang berdasarkan atas kepercayaan satu sama lain seperti yang mereka kenal dulu. Setiap perjanjian yang dilakukan oleh masyarakat pasti akan mengarah kepada notaris sebagai sarana keabsahan perjanjian yang mereka lakukan. Karena itulah, kedudukan notaris menjadi semakin penting di masa seperti sekarang ini.

Seperti pejabat negara yang lain, notaris juga memiliki kewenangan tersendiri yang tidak dimiliki oleh pejabat negara yang lainnya. Selain kewenangannya, para notaris juga memiliki kewajiban dan larangan yang wajib mereka patuhi dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Dengan berdasar pada Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, para notaris di Indonesia wajib untuk memahami apa yang menjadi wewenang dan kewajiban mereka serta larangan yang tidak boleh dilakukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya.

Dalam pelaksanaan wewenang, jika misalnya ada seorang pejabat yang melakukan suatu tindakan diluar atau melebihi kewenangannya, maka perbuatannya itu akan dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum. Demikian pula dengan notaris, para notaris wajib untuk mengetahui sampai di mana batas kewenangannya. Selain wewenang yang mereka miliki, notaris juga memilki

(27)

kewajiban yang harus mereka penuhi dalam pelaksanaan tugas jabatannya serta larangan yang tidak boleh dilakukan yang apabila ketiga hal ini dilanggar maka notaris yang bersangkutan akan memperoleh sanksi sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam UUJN.

Kewenangan notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN, yang dapat dibagi menjadi :29

1. Kewenangan Umum Notaris

Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris yaitu membuat akta secara umum. Hal ini dapat disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris dengan batasan sepanjang tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Menyangkut akta yang harus dibuat adalah akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum untuk dibuat atau dikehendaki oleh yang bersangkutan. Mengenai kepentingan subjek hukumnya yaitu harus jelas untuk kepentingan siapa suatu akta itu dibuat.

Namun, ada juga beberapa akta autentik yang merupakan wewenang notaris dan juga menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu :30

a) Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW),

b) Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal 1227 BW),

c) Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi (Pasal 1405, 1406 BW),

d) Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK),

29Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap Undang-undang No.

30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Rafika Aditama, Bandung, 2008 hlm 78.

30 Ibid., hlm. 79

(28)

e) Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan (Pasal 15 ayat (1) UU No.4 Tahun 1996),

f) Membuat akta risalah lelang.

Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2 hal yang dapat kita pahami, yaitu :

a) Notaris dalam tugas jabatannya memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta autentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.

b) Akta notaris sebagai akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti yang lainnya. Jika misalnya ada pihak yang menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka pihak yang menyatakan tidak benar inilah yang wajib membuktikan pernyataannya sesuai dengan hukum yang berlaku.

2. Kewenangan Khusus Notaris

Kewenangan notaris ini dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN yang mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti :

a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya di dalam suatu buku khusus ; b) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya

dalam suatu buku khusus ;

(29)

c) Membuat salinan (copy) asli dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan ;

d) Melakukan pengesahan kecocokan antara fotokopi dengan surat aslinya ; e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta ; f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau

g) Membuat akta risalah lelang

Khusus mengenai nomor 6 (membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan) banyak mendapat sorotan dari kalangan ahli hukum Indonesia dan para notaris itu sendiri. Karena itulah akan sedikit dibahas mengenai masalah ini.

Pasal 15 ayat (2) huruf j UUJN memberikan kewenangan kepada notaris untuk membuat akta di bidang pertanahan. Ada tiga penafsiran dari pasal tersebut yaitu:31

a) Notaris telah mengambil alih semua wewenang PPAT menjadi wewenang notaris atau telah menambah wewenang notaris.

b) Bidang pertanahan juga ikut menjadi wewenang notaris.

c) Tidak ada pengambil alihan wewenang dari PPAT ataupun dari notaris, karena baik PPAT maupun notaris telah mempunyai wewenang sendiri- sendiri.

Jika dilihat dari sejarah diadakannya notaris dan PPAT itu sendiri maka akan nampak bahwa memang notaris tidak berwenang untuk membuat akta di bidang pertanahan. PPAT telah dikenal sejak sebelum kedatangan bangsa penjajah di negeri Indonesia ini, dengan berdasar pada hukum adat murni yang masih

31 Ibid., hlm. 84

(30)

belum diintervensi oleh hukum-hukum asing. Pada masa itu dikenal adanya (sejenis) pejabat yang bertugas untuk mengalihkan hak atas tanah di mana inilah yang merupakan cikal bakal dari keberadaan PPAT di Indonesia. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa lembaga PPAT yang kemudian lahir hanya merupakan kristalisasi dari pejabat yang mengalihkan hak atas tanah dalam hukum adat. Adapun mengenai keberadaan notaris di Indonesia yang dimulai pada saat zaman penjajahan Belanda ternyata sejak awal memang hanya memiliki kewenangan yang terbatas dan sama sekali tidak disebutkan mengenai kewenangan notaris untuk membuat akta di bidang pertanahan.

Namun, hal ini akan menjadi riskan jika kita melihat hierarki peraturan yang mengatur mengenai keberadaan dan wewenang kedua pejabat negara ini.

Keberadaan notaris ditegaskan dalam suatu undang-undang yang di dalamnya menyebutkan bahwa seorang notaris memiliki kewenangan untuk membuat akta di bidang pertanahan. Sedangkan keberadaan PPAT diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang secara hierarki tingkatannya lebih rendah jika dibandingkan dengan UU (No.30 Tahun 2004) yang mengatur keberadaan dan wewenang notaris.

Sampai sekarang pun hal ini masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan baik pakar hukum maupun notaris dan/atau PPAT itu sendiri. Jalan tengah yang dapat diambil adalah bahwa notaris juga dapat memiliki wewenang di bidang pertanahan sepanjang bukan wewenang yang telah ada pada PPAT.

Yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN dengan kewenangan yang akan ditentukan kemudian adalah wewenang yang berdasarkan aturan hukum lain

(31)

yang akan datang kemudian (ius constituendum)32. Wewenang notaris yang akan ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang akan ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Batasan mengenai apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 UU no. 5 Tahun 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara33, bahwa “Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat Bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, yang juga mengikat secara umum.”

Berdasarkan uraian di atas, bahwa kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga negara (Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat) atau Pejabat Negara yang berwenang dan mengikat secara umum.

Dengan batasan seperti ini, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dalam bentuk undang-undang dan bukan di bawah undang-undang.

Pada dasarnya notaris adalah pejabat yang harus memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan bukti autentik. Namun dalam keadaan tertentu, notaris dapat menolak untuk memberikan pelayanan dengan alasan-alasan tertentu (Pasal 16 ayat [1] huruf d UUJN). Dalam penjelasan pasal ini, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “alasan untuk menolaknya”

adalah alasan yang mengakibatkan notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan notaris sendiri atau dengan suami/istrinya,

32 Ibid., hlm. 82

33 Ibid., hlm. 83

(32)

salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang.

Di dalam praktiknya sendiri, ditemukan alasan-alasan lain sehingga notaris menolak untuk memberikan jasanya, antara lain :34

a) Apabila notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi berhalangan secara fisik.

b) Apabila notaris tidak ada di tempat karena sedang dalam masa cuti.

c) Apabila notaris karena kesibukan pekerjannya tidak dapat melayani orang lain.

d) Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat suatu akta tidak diserahkan kepada notaris.

e) Apabila penghadap atau saksi yang diajukan oleh penghadap tidak dikenal oleh notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya.

f) Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar biaya bea materai yang diwajibkan.

g) Apabila karena pemberian jasa tersebut, notaris melanggar sumpahnya atau melakukan perbuatan melanggar hukum.

h) Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa notaris membuat akta dalam bahasa yang tidak dikuasai oleh notaris yang bersangkutan, atau apabila orang-orang yang menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga notaris tidak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh mereka.

34 Ibid., hlm. 87

(33)

Dengan demikian, jika memang notaris ingin menolak untuk memberikan jasanya kepada pihak yang membutuhkannya, maka penolakan tersebut harus merupakan penolakan dalam arti hukum, dalam artian ada alasan atau argumentasi hukum yang jelas dan tegas sehingga pihak yang bersangkutan dapat memahaminya.

Khusus untuk notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf I dan k UUJN, di samping dapat dijatuhi sanksi yang terdapat di dalam Pasal 85 UUJN, juga dapat dikenakan sanksi berupa akta yang dibuat di hadapan notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum (Pasal 84 UUJN). Maka apabila kemudian merugikan para pihak yang bersangkutan, maka pihak tersebut dapat menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris. Sedangkan untuk pasal 16 ayat (1) huruf l dan m UUJN, meskipun termasuk dalam kewajiban notaris, tapi jika notaris tidak melakukannya maka tidak akan dikenakan sanksi apapun.

Menurut ketentuan Pasal 16 ayat (7) UUJN, pembacaan akta tidak wajib dilakukan jika dikehendaki oleh penghadap agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan/atau memahami isi akta tersebut, dengan ketentuan hal tersebut dicantumkan pada akhir akta. Sebaliknya, jika penghadap tidak berkehendak seperti itu, maka notaris wajib untuk membacakannya, yang kemudian ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi dan notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 ayat (1) UUJN35 dan apabila pasal 44 UUJN ini dilanggar oleh notaris, maka akan dikenakan sanksi sebagaimana yang tersebut dalam pasal 84 UUJN.

35 Ibid., hlm. 83

(34)

Ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN jika tidak dilaksanakan oleh notaris dalam arti notaris tidak mau menerima magang, maka kepada notaris yang bersangkutan tidak dikenai sanksi apapun. Namun demikian meskipun tanpa sanksi, perlu diingat oleh semua notaris bahwa sebelum menjalankan tugas jabatannya sebagai notaris, yang bersangkutan pasti pernah melakukan magang sehingga alangkah baiknya jika notaris yang bersangkutan mau menerima magang sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap kelangsungan dunia notaris di Indonesia.

Selain kewajiban untuk melakukan hal-hal yang telah diatur dalam UU, notaris masih memiliki suatu kewajiban lain. Hal ini berhubungan dengan sumpah/janji notaris yang berisi bahwa notaris akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan notaris. Secara umum, notaris wajib merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta notaris, kecuali diperintahkan oleh undang-undang bahwa notaris tidak wajib merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan yang berkaitan dengan akta tersebut. Dengan demikian, hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan notaris untuk membuka rahasia isi akta dan keterangan/pernyataan yang diketahui oleh notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud.

Hal ini dikenal dengan “kewajiban ingkar” notaris36. Instrumen untuk ingkar bagi notaris ditegaskan sebagai salah satu kewajiban notaris yang disebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, sehingga kewajiban ingkar untuk notaris melekat pada tugas jabatan notaris. Kewajiban ingkar ini mutlak harus dilakukan

36 Ibid., hlm. 89

(35)

dan dijalankan oleh notaris, kecuali ada undang-undang yang memerintahkan untuk menggugurkan kewajiban ingkar tersebut. Kewajiban untuk ingkar ini dapat dilakukan dengan batasan sepanjang notaris diperiksa oleh instansi mana saja yang berupaya untuk meminta pernyataan atau keterangan dari notaris yang berkaitan dengan akta yang telah atau pernah dibuat oleh atau di hadapan notaris yang bersangkutan.

Praktiknya, jika ternyata notaris sebagai saksi atau tersangka, tergugat, ataupun dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan/ pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan, sedangkan undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut notaris yang bersangkutan. Dalam hal ini, dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan (2) KUHP, yaitu membongkar rahasia, yang padahal sebenarnya notaris wajib menyimpannya. Bahkan sehubungan dengan perkara perdata, yaitu apabila notaris berada dalam kedudukannya sebagai saksi, maka notaris dapat meminta untuk dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya.37

Larangan notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang untuk dilakukan oleh notaris. Jika larangan ini dilanggar oleh notaris, maka kepada notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN.

Dalam hal ini, ada suatu tindakan yang perlu ditegaskan mengenai substansi Pasal 17 huruf b, yaitu meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari

37 Ibid., hlm. 90

(36)

tujuh hari berturut-turut tanpa alasan yang sah. Bahwa notaris mempunyai wilayah jabatan satu provinsi (Pasal 18 ayat [2] UUJN) dan mempunyai tempat kedudukan pada satu kota atau kabupaten pada propinsi tersebut (Pasal 18 ayat [1] UUJN).

Yang sebenarnya dilarang adalah meninggalkan wilayah jabatannya (provinsi) lebih dari tujuh hari kerja.38 Dengan demikian, maka dapat ditafsirkan bahwa notaris tidak dilarang untuk meninggalkan wilayah kedudukan notaris (kota/kabupaten) lebih dari tujuh hari kerja.

B. Surat Keterangan Waris

Pengertian surat keterangan waris menurut R. Soegondo Notodisoerjo adalah surat keterangan yang dibuat oleh Notaris yang memuat ketentuan siapa yang menurut hukum merupakan ahli waris yang sah dari seseorang yang meninggal dunia.39

Dengan maksud yang sama, beberapa penulis menyebut “surat keterangan waris” dengan Surat Keterangan Hak Waris” dan istilah Verklaring van Erfpacht dengan “Certificaat van Erfpacht”. Berdasarkan rumusan tersebut, maka pembicaraan mengenai Surat Keterangan Waris menyangkut masalah : orang yang meninggal dunia (pewaris) dan ahli waris.

Kata “hak” berarti kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-undang ataupun peraturan-peraturan, kewenangan ataupun dapat juga berarti milik, kepunyaan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia hak didefinisikan sebagai berikut :

1) (yang) benar, (yang) sungguh ada kebenaran;

2) Kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu;

38 Ibid., hlm. 91

39 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia – Suatu Penjelasan, (Jakarta, Rajawali Pers), 1982, hlmaman 57.

(37)

3) Kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh aturan, undang-undang);

4) Kewenangan;

5) Milik, kepunyaan.40

Dengan demikian keterangan hak waris adalah dapat diartikan sebagai

“suatu surat yang diterbitkan oleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang, atau dibuat sendiri oleh segenap ahli waris yang kemudian dibenarkan oleh Kepala Desa Lurah atau Camat, yang dijadikan alat bukti yang kuat tentang adanya suatu peralihan hak atas suatu harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris”.41

Keterangan hak waris dibuat dengan tujuan untuk membuktikan siapa siapa yang merupakan ahli waris atas harta peninggalan yang telah terbuka menurut hukum dari berapa porsi atau bagian masing-masing ahli waris terhadap harta peninggalan yang telah terbuka tersebut.

Keterangan hak waris disebut juga surat keterangan hak mewaris atau surat keterangan ahli waris. “Surat keterangan hak waris merupakan surat bukti waris, yaitu surat yang membuktikan bahwa yang disebutkan diatas adalah ahli waris dan pewaris tertentu”.42

40 WJ.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka,. Jakarta, 1986, hlm. 339

41 I Gede Purwaka, Keterangan Hak Waris yang dibuat oleh Notaris Berdasarkan Ketentuan KUH Perdata, Program Spesialis Notaris dan Pertanahan Fakultas Hukum UI, UI Pers, Jakarta, 1999, hlm. 5

42 Satrio J, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 227

(38)

Menurut Gede Purwaka keterangan hak waris untuk melakukan balik nama atas barang hasil peninggalan yang diterima, dan atas nama pewaris menjadi atas nama seluruh ahli waris.43

Tindakan kepemilikan yang dimaksudkan misalnya adalah :

1. Khusus untuk barang-barang harta peninggalan berupa tanah, maka dapat mengajukan permohonan ke kantor pertanahan setempat, yaitu :

a) Melakukan pendaftaran hak (balik nama) untuk tanah yang sudah terdaftar (bersertifikat) ; dan

b) Melakukan permohonan hak baru (sertifikat) atas tanah yang belum terdaftar seperti misalnya tanah girik, tanah bekas hak barat, tanah negara.

2. Menggadaikan atau dengan cara menjaminkan barang-barang harta peninggalan tersebut kepada pihak lain atau kreditor, apabila ahli waris hendak meminjam uang atau meminta kredit.

3. Mengalikan barang-barang harta peninggalan tersebut pada pihak lain, misalnya menjual, menghibahkan, melepaskan hak dan lain-lainnya yang sifatnya berupa suatu peralihan hak.

4. Merubah status kepemilikan bersama atas barang harta peninggalan menjadi milik dari masing-masing ahli waris dengan cara melakukan membuat akta pembagian dan pemisahan harta peninggalan dihadapan Notaris.

Menurut I Gede Purwaka, selain dan semua yang telah disebutkan di atas, surat keterangan hak waris juga dapat berfungsi sebagai alat bukti bagi ahli waris

43 I Gede Purwaka. Op. Cit., hlm 5.

(39)

untuk dapat mengambil atau menarik uang dari pewaris yang ada pada suatu bank atau asuransi, sekalipun bagi setiap bank atau lembaga asuransi berbeda dalam menetapkan bentuk surat keterangan hak waris yang bagaimana yang dapat diterimanya.

Di dalam surat keterangan waris memuat tentang nama-nama dan para ahli waris dan nama pewaris (almarhumah), bagi orang Islam dibuat oleh para ahli waris itu sendiri disaksikan oleh kepala desa lurah dan dikuatkan oleh camat.

Penentuan porsi masing-masing ahli waris tergantung pada hukum mana yang berlaku bagi para ahli waris artinya adalah apabila ahli waris golongan bumi putra membagi warisannya dengan hukum Faroidh maka akan dibagi sesuai dengan porsi masing-masing, sedangkan untuk golongan yang tunduk pada hukum adat maka akan dibagi sesuai dengan hukum adatnya. Bagi golongan yang tunduk pada hukum yang bersifat matrinial maka porsi anak perempuan akan lebih banyak atau lebih diutamakan sedangkan untuk golongan yang tunduk pada hukum yang bersifat Patrilineal maka porsi anak laki-laki akan lebih diutamakan.

Pewaris menurut hukum Faraidh atau menurut hukum Islam membolehkan pewaris mewasiatkan 1/3 (sepertiga) dari warisannya asalkan tidak sampai merugikan para ahli warisnya yang lain. Untuk memperoleh surat keterangan ahli waris dari kelurahan harus dilengkapi dengan persyaratan administrasi yaitu surat keterangan kematian dari kelurahan, surat nikah orang tua ahli waris, kartu keluarga, foto copy KTP semua ahli waris, untuk selanjutnya pihak kelurahan memeriksa berkas-berkas tersebut. Apabila persyaratan administrasi belum terpenuhi maka berkas dikembalikan untuk dilengkapi apabila persyaratan

(40)

administrasi sudah lengkap maka dilakukan pemrosesan pada seksi pemerintahan dan diproses serta ditanda tangani oleh lurah dan camat.

Menurut Pasal 111 ayat (1) huruf c angka 4, Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan bagi Warga Negara Indonesia Penduduk asli, surat keterangan ahli waris yang dibuat dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Des/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia.

Adapun bentuk dan proses pembuatan surat keterangan ahli waris tersebut adalah sebgai berikut :

1. Tahap Pertama

Para ahli waris membuat surat keterangan warisan dalam bentuk surat di bawah tangan. Surat keterangan warisan tersebut kemudian ditandatangani oleh orang tua yang hidup terlama dan seluruh ahli waris.

2. Tahap Kedua

Kemudian surat keterangan ahli waris tersebut dibawa kekantor Kelurahan/Kepala Desa setempat untuk memohon ditanda tangani oleh Pejabat Lurah/Kepala Desa. Surat Keterangan itu diberi nomor, tanggal dan cap, dengan kata-kata yang berbunyi “Disaksikan dan Dibenarkan oleh kami, Lurah/Kepala Desa. “

3. Tahap ketiga

Selanjutnya surat keterangan ahli waris tersebut dibawa ke kantor kecamatan setempat untuk memohon tanda tangan Pejabat Camat Surat

(41)

Keterangan warisan tersebut kemudian diberi nomor, tanggal dan cap dengan kata-kata yang berbunyi “Dikuatkan oleh Kami Camat”

Secara khusus tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keterangan hak waris dan siapa saja pejabat yang berwenang dalam menerbitkan surat keterangan hak waris.44

Menurut Syahril Sofyan satu-satunya ketentuan tertulis yang mengatur tentang wewenang pembuatan surat keterangan hak waris yang dikenal dalam praktek sehari-hari diatur dalam Intruksi bagi para Pejabat Pendaftaran Tanah di Indonesia dan mereka bertindak sedemikian yang diatur dalam pasal 14 staats blad 1916 Nomor 517, yang mulai berlaku pada tanggal 1 November 1916, yang memberikan kewenangan untuk membuat surat keterangan hak waris itu kepada Balai Harta Peninggalan setempat. Oleh karena tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai keterangan hak waris dan pejabat yang berwenang menerbitkannya, maka untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan suratnya tanggal 8 Mei 1991 Nomor MA/Kumdil/171/V/K/1991 yang ditujukan kepada ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi Agama, Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia berhubungan dengan suat Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 25 Maret 1991 Nomor KMA/041/III/1991, telah menunjuk Surat Edaran tanggal 20 Desember 1969 Nomor Dpt/12/63/12/69 yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadester) di Jakarta, yang menyatakan bahwa guna keseragaman dan berpokok pangkal dari penggolongan penduduk yang pernah dikenal sejak sebelum

44 Tan Thong Kie, Op.Cit, hlm 290

(42)

kemerdekaan, hendaknya keterangan hak waris untuk warga negara Indonesia juga diterbitkan berdasarkan penggolongan penduduk tersebut.

Adapun pejabat yang berwenang mengeluarkan keterangan hak waris bagi golongan penduduk Indonesia asli (Bumiputera), surat keterangan ahli waris dibuat oleh para ahli waris yang kemudian dibenarkan dan dikuatkan oleh Lurah dan Camat penduduk Indonesia asli, terutama yang tinggal di pedalaman daerah terpencil jauh dari kota, pada awalnya banyak mengalami masalah dalam bidang pembuktian yang berkenaan dengan kewarisan. Terutama bagi para ahli waris yang menerima barang warisan berupa tanah. Kesulitan pembuktian kewarisan tersebut, akhirnya dapat diatasi dan dipecahkan dengan terbitnya surat edaran yang ditanda tangani oleh Badan Pembinaan Hukum Direktorat Jendral Agraria, Departeman Dalam Negeri, tertanggal 20 Desember 1969, Nomor : 44 Dp/J12/63/12/69, tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan.

Dalam surat edaran tersebut diatur mengenai kewenangan pejabat lurah/Kepala Desa dan Camat untuk menyaksikan, membenarkan dan mengautkan surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh ahli waris. Surat keterangan ahli waris tersebut demi hukum diakui sebagai alat bukti autentik oleh instansi pejabat kantor pertanahan (agrarian) untuk mengurus barang warisan berupa tanah dalam melakukan pendaftaran hak (balik nama) atau permohonan hak baru (sertifikat).

C. Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta Autentik yang dibuat oleh Notaris

Notaris telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUJN yang dinyatakan bahwa Notaris ialah pejabat umum yang memiliki wewenang untuk membuat akta

(43)

autentik dan memiliki kewenangan lain sebagaimana yang dimaksud dalam UUJN atau berdasar undang-undang yang lain. Jabatan Notaris hadir dalam masyarakat dengan kehendak aturan hukum yang berbentuk Negara sebagai implementasi dari Negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan tujuan untuk membantu masyarakat dalam rangka meberikan bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai keadaan, peristiwa maupun perbuatan hukum dan suatu alat bukti autentik yang diakui oleh Negara. Dalam rangka menegakkan hukum, notaris mengemban amanat yang menyangkut kepentingan masyarakat secara umum, oleh karena itu wajib bagi seorang notaris untuk memiliki tanggung jawab secara professional terhadap amanat yang diembannya.

Tanggung jawab dan etika profesi sangat berkaitan erat dengan integritas dan moral, apabila tidak memiliki integritas dan moral yang baik maka seorang notaris tidak dapat diharapkan memiliki tanggung jawab serta etika profesi yang baik pula. Profesi muncul sebagai hasil dari interaksi di antara sesame anggota masyarakat, yang lahir, dikembangkan maupun diciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Secara teoritis dan teknis profesi notaris harus memiliki etika serta tanggung jawab profesi, oleh karena itu seorang notaris harus bertanggung jawab terhadap akta yang telah dibuat olehnya, sekalipun notaris tersebut telah berakhir masa jabatannya.

Tanggung jawab lahir akibat dari adanya kewenangan yang dimiliki oleh masyarakat. Wewenang merupakan suatu tidakan hukum yang diatur dan diberikan pada suatu jabatan berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan.45 Setiap wewenang memiliki

45 Habibb Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Op.Cit., hlm 77.

(44)

batasan, sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang yang dimiliki oleh suatu jabatan dalam hukum administrasi biasanya diperoleh secara atribusi, delegasi, maupun mandat.

Wewenang yang dimiliki notaris merupakan wewenang atribusi, yaitu wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Wewenang yang dimiliki notaris merupakan akibat dari jabatan yang diembannya.

Notaris sebagai suatu jabatan, dan setiap jabatan di Negara ini memiliki wewenangnya masing-masing. Setiap wewenang harus memiliki dasar hukum yang jelas. Apabila seorang pejabat melakukan tindakan diluar wewenangnya, maka disebut sebagai perbuatan melanggar hukum. Suatu wewengan tidak muncul begitu saja, tetapi suatu wewenang harus dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Larangan bagi notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang dilakukan oleh notaris, dan apabila hal ini dilanggar maka kepada notaris yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi. Notaris memiliki wilayah jabaran satu propinsi dan mempunyai tempat kedudukan pada suatu kota atau satu kabupaten wilayah tersebut. Notaris dilarang meninggalkan tempat kedudukan notaris lebih dari 7 (tujuh) hari kerja, serta notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan diluar tempat kedudukannya.

Tanggung jawab merupakan sebuah konsekuensi yang timbul akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh individu. Kemampuan bertanggung jawab secara teoritis harus memenuhi unsur yang terdiri atas :46

46 Sjaifurrachman, Aspek Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung , 2011, hlm 33.

Referensi

Dokumen terkait

Beliau mengatakan bahwa, dalam membentuk budaya sholat dhuha, membaca asmaul husna, dan membaca surat pendek al Qur’an, guru pendidikan agama Islam pada awalnya ikut

Perlindungan konsumen merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah- kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang

Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda yaitu assurantie sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan assurance. Dalam bahasa Belanda selain istilah

Maka agar yang dipotret persis dengan potretnya, alat potret itu harus memakai film negatif yang belum terpakai (belum ada gambarnya), yang masih bersih.. Begitu pula

penelitianmenggunakantahapreduksi, display, sertaverifikasi data.Pengujiankeabsahan data menggunakantrianggulasisumberdanteknik.Hasilpenelitianmenunjukkanbahwa dampak

Pemberian kualifikasi Notaris sebagai pejabat umum berkaitan dengan wewenang Notaris sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, bahwa Notaris berwenang

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna

Adapun pengertian notaris berdasarkan bunyi Pasal 1 butir 1 jo Pasal 15 ayat 1 UUJN menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan