• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bencana alam dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Bencana alam diakui

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bencana alam dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Bencana alam diakui"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL

Bencana alam dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Bencana alam diakui dapat mengakibatkan dampak yang luar biasa tidak hanya kerusakan, gangguan dan korban yang besar terhadap komunitas-komunitas rentan, tetapi juga membuat kehidupan komunitas yang terkena dampak tidak bisa berjalan dengan normal. Oleh karena itu setiap negara memerlukan kebijakan mengenai pengurangan risiko bencana guna mengantisipasi agar dampak dari bencana alam sampai seminimal mungkin.

Program pengurangan risiko bencana sangat diperlukan secara langsung bermanfaat untuk mengurangi dampak negatif bencana terhadap komunitas. Secara tidak langsung juga akan mendukung keberhasilan pembangunan.

Beberapa tahun belakangan ini provinsi Yogyakarta sering dilanda bencana

alam yang besar, seperti gempa bumi, gunung meletus, angin puting beliung, dan

banjir. Berdasarkan laporan dari Sarkorlak DIY yang ditulis oleh Joko Martono,

Sabtu 27 Mei 2006 pukul 05.53 WIB gempa bumi tektonik berkekuatan 5,9 SR telah

meluluhlantahkan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Daerah yang

paling parah akibat gempa tektonik adalah Kabupaten Bantul, karena berdekatan

dengan episentrum (pusat gempa) yang berada di Samudra Indonesia. Berdasarkan

sumber Pemprov dan Satkorlak DIY (29/5), korban tewas berasal dari Bantul

sebanyak 3.082 orang, Sleman 184 orang, Kota Yogyakarta 151 orang, Gunungkidul

▸ Baca selengkapnya: suara alam apa saja

(2)

2 58 orang, Kulonprogo 15 orang, sedangkan sebanyak 1.672 orang berasal dari berbagai kota di Jawa Tengah. Kerugian paling besar akibat gempa tektonik adalah di Kabupaten Bantul. Berdasarkan laporan dari Satkorlak DIY (29/5) tercatat sebanyak 33.616 rumah penduduk yang rusak parah, sebanyak 19.593 ada di DIY, sedangkan sisanya yaitu 14.023 berada di wilayah sebagian Jawa Tengah.

Kabupaten Bantul merupakan salah satu kawasan yang memiliki tingkat kerawanan bencana alam gempa bumi yang tinggi. Gempa bumi tektonik 2006 lalu mengakibatkan kerugian banyak dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan. Selain itu bencana gempa bumi juga berdampak secara psikologis. Hal ini ditunjukkan dari kebanyakan masyarakat Kabupaten Bantul yang masih trauma terhadap bencana gempa bumi. Salah satu strategi untuk mengantisipasi trauma bencana alam adalah melalui pendidikan berwawasan bencana yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat. Kegiatan seperti ini daharapkan dapat menumbuhkan kesadaran akan kondisi lingkungan yang rawan akan bencana, sehingga masyarakat mampu siap dan waspada ketika menghadapi bencana yang serupa di masa yang akan datang. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bantul sejalan dengan strategi ini adalah program Sekolah Siaga Bencana (SSB). Sekolah Siaga Bencana adalah sebuah progam yang diharapkan mampu membangun kesiapsiagaan masyarakat sekolah terhadap bencana, khususnya dalam meningkatkan kesadaran seluruh unsur-unsur sekolah, baik secara individu maupun kolektif, dalam mempersiapkan, menghadapi dan mengatasi terjadinya bencana.

Terkait dengan kebijakan pemerintah yang telah dituangkan dalam Undang-

Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, SMP N 2 Imogiri

(3)

3 di Kabupaten Bantul menjadi salah satu sekolah yang telah mengimplementasikan program Sekolah Siaga Bencana (SSB). Namun, pendidikan penanggulangan bencana masih bersifat baru dan belum menjadi bagian dari kurikulum secara nasional.

Program yang baru berjalan selama beberapa tahun ini perlu diperhatikan terutama oleh Pemerintah agar implementasi program ini tetap dapat berkelanjutan dan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Merujuk dari mata kuliah Kebijakan Pembangunan yang telah ditempuh peneliti pada waktu kuliah di fakultas Ilmu Sosial dan Politik, jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, peneliti ingin melihat proses implementasi program Sekolah Siaga Bencana di SMP N 2 Imogiri.

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini diberi judul, “Implementasi Program Sekolah Siaga Bencana (Studi di SMP Negri 2 Imogiri, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul)”.

B. LATAR BELAKANG

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa, bencana merupakan sebuah peristiwa atau

rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan

masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun

faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat

dikategorikan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: bencana alam, bencana non alam dan

bencana sosial. Bencana alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa

atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa

(4)

4 bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, angin topan dan tanah longsor. Bencana non alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror.

Sejak akhir dekade 1990-an banyak kalangan kian menyadari bahwa perlu adanya pengurangan risiko bencana ke dalam pembangunan, yakni dengan memasukkan pertimbangan-pertimbangan risiko bencana alam ke dalam kerangka strategis jangka menengah dan struktur-struktur kelembagaan ke dalam kebijakan dan strategi negara dan sektoral serta ke dalam proyek di negara-negara rawan bahaya.

Upaya-upaya ini harus mencakup analisis bagaimana potensi bahaya dapat mempengaruhi kinerja kebijakan program dan proyek, dan analisis bagaimana kebijakan program dan proyek tersebut berdampak terhadap kerentanan bahaya alam.

Analisis ini perlu ditindaklanjuti dengan menempatkan pengurangan risiko bencana sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari proses pembangunan.

Dengan adanya perubahan mind set yang telah mengakar bahwa bencana

adalah sesuatu yang tidak dapat dapat diprediksi dan harus ditindak lanjuti oleh

individu yang mengusai tentang kebencanaan dan para ahli tanggap darurat, sedikit

banyak hal tersebut telah menandakan bahwa pemahaman tentang bencana

merupakan masalah yang masih harus diatasi. Begitu juga sebaliknya, program

pembangunan tanpa disadari juga sering menimbulkan bentuk-bentuk kerentanan

baru atau juga dapat memperburuk kerentanan yang telah ada. Peningkatan

(5)

5 pemahaman ini berjalan seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya penanggulangan kemiskinan. Salah satu dimensi kemiskinan yang mendasar adalah keterpaparan terhadap risiko dan kemungkinan hilangnya pendapatan, termasuk juga diakibatkan oleh bencana alam. Pemahaman tersebut telah mendorong adanya perhatian yang lebih besar pada analisis bentuk-bentuk dan penyebab mendasar kerentanan dan kegiatan-kegiatan terkait yang dapat memperkuat ketangguhan dalam menghadapi bencana.

Besarnya perhatian terhadap pengurangan risiko bencana juga dipengaruhi oleh meningkatnya kerugian yang ditimbulkan oleh bencana, yang terutama diakibatkan oleh meningkatnya kerentanan aset ekonomi dan sosial serta kesejahteraan dan penghidupan masyarakat terhadap bencana alam. Dalam kurun waktu tahun 1950 hingga 1990-an, kerugian nyata yang diakibatkan oleh bencana secara global dilaporkan telah meningkat 15 kali lipat, sementara jumlah orang yang terkena dampak bencana naik drastis dari 1,6 milyar dalam kurun waktu antara 1984- 1993 menjadi hampir 2,6 milyar orang dalam dasawarsa berikutnya. Selama beberapa tahun belakangan ini bencana-bencana besar terjadi susul-menyusul dan menimbulkan korban jiwa manusia dan kerugian ekonomi yang begitu besar, termasuk juga bencana tsunami di Samudra Hinda yang terjadi pada tahun 2004.

Walaupun kerugian ekonomi absolut yang terbesar terjadi di negara-negara maju,

kerugian yang menimpa negara-negara berkembang relatif jauh lebih besar. Menurut

Bank Dunia, kerugian akibat bencana yang diderita negara-negara berkembang,

apabila dihitung sebagai peresentase dari product domestic bruto, dapat mencapai 20

kali lebih besar daripada kerugian yang dialami oleh negara-negara industri,

(6)

6 sementara lebih dari 95 persen kematian yang diakibatkan oleh bencana terjadi di negara-negara berkembang. Semakin kita sadari bahwa bencana memang merupakan ancaman yang serius bagi pembangunan berkelanjutan, upaya penanggulangan kemiskinan dan pencapaian sejumlah tujuan dari Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs).

Oleh karenanya, perlu ditemukan penyelesaian yang sama-sama menguntungkan (win-win solution) untuk mempertahankan pembangunan berkelanjutan, menanggulangi kemiskinan dan memperkuat ketangguhan terhadap bencana, terutama karena perubahan iklim tampaknya akan semakin meningkatkan kejadian kemarau panjang, banjir, dan badai besar. Untuk dapat menyelesaikan persoalan ini adalah dengan cara memadukan strategi dan program-program pengurangan risiko bencana sebagai bagian terpadu dari proses pembangunan dan bukan untuk tujuan itu sendiri. Seperti dikatakan dalam laporan (World Bank, 2006 hal 67),

“… patut diingat bahwa tidak ada saat dimana kita dapat mengabaikan atau mengesampingkan risiko bencana, terutama bagi kelompok negara-negara yang sangat rawan terhadap bencana”.

Disamping itu juga yang menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan pembanguan nasional dan sektoral adalah mengenai bencana alam, hal itu berguna untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana. Biaya untuk membuat struktur-struktur bangunan yang tahan bencana belum tentu mahal.

Walau angka yang tercatat berbeda-beda, Badan Manajemen Tanggap Darurat

Federal Amerika Serikat (The United States Federal Emergency Management

(7)

7 Agency/FEMA), memperkirakan bahwa langkah-langkah untuk mengurangi risiko

bencana hanya meningkatkan biaya pembangunan fasilitas baru sebanyak satu hingga lima persen, sementara keuntungan potensial yang akan diperoleh akan sangat jauh lebih tinggi. Dengan demikian, perhatian yang besar terhadap risiko bencana adalah sebuah cerminan dari salah satu aspek penting upaya internasional untuk meningkatkan efektifitas bantuan.

Meningkatnya kesadaran akan perlunya mengarusutamakan pengurangan risiko bencana ke dalam pembangunan diformalisasikan pada tahun 2005, ketika Konferensi Dunia untuk Pengurangan Risiko Bencana (World Conference on Disaster Reduction) yang diselenggarakan di Kobe, Jepang. Dari konferensi lintas

negara ini disusun dan disepakati kerangka kerja aksi bersama untuk pengurangan risiko bencana hingga tahun 2015. Kesepakatan tentang misi membangun ketahanan negara dan masyarakat terhadap bencana tersebut dikenal sebagai Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana dengan Kerangka Kerja Hyogo 2005-2015 (Hyogo Framework for Action/HFA 2005-2015).

Kerangka aksi itu merekomendasikan 5 (lima) prioritas tindakan untuk dilakukan oleh suatu negara yakni: (1) Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana (PRB) ditempatkan sebagai prioritas nasional dan lokal dengan dasar institusional yang kuat dalam pelaksanaannya; (2) Mengidentifikasi, mengevaluasi, dan memonitor risiko-risiko bencana dan meningkatkan pemanfaatan peringatan dini;

(3) Menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun suatu

budaya aman dan ketahanan pada semua tingkatan; (4) Mengurangi faktor-faktor

risiko dasar; dan (5) Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana dengan respon

(8)

8 yang efektif pada semua tingkatan. Memperkuat kapasitas-kapasitas pada tingkat komunitas untuk mengurangi risiko bencana pada tingkat lokal, dimana individu dan komunitas memobilisir sumberdaya lokal untuk upaya mengurangi kerentanan terhadap bahaya.

Menurut Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (United Nations International Stategy for Disaster Reduction/UNISDR), Indonesia merupakan negara yang paling rawan terhadap bencana alam di dunia.

Berbagai bencana mulai dari gempa bumi, gunung meletus, tsunami, tanah longsor, angin topan, banjir, dan kebakaran hutan sering kali terjadi di Indonesia, bahkan tidak sedikit yang telah menelan korban jiwa. Bahkan UNISDR (United Nations International Stategy for Disaster Reduction) telah merangking beberapa bencana di

Indonesia yang memiliki tingkat korban yang tertinggi di dunia pada tahun 2006- 2007. Berikut ini data yang dihimpun oleh UNISDR (United Nations International Stategy for Disaster Reduction). Bencana alam tsunami, dari 265 negara Indonesia

menjadi negara peringkat pertama dengan jumlah 5.402.239 orang terkena

dampaknya, lebih banyak dari bencana yang terjadi di Jepang (4.497.645 korban),

Bangladesh (1.598.546 korban), India (1.114.388 korban) dan Filipina (894.848

korban). Bencana alam tanah longsor, dari 162 negara Indonesia yang paling banyak

terkena dampaknya, yaitu sebanyak 197.372 orang korban, lebih banyak dari bencana

tanah longsor yang terjadi di India (180.254 korban), China (121.488 korban),

Filipina (110.704 korban) dan Ethiopia (64.470 korban). Bencana alam gempa bumi,

dari 153 negara Indonesia meraih peringkat ketiga dengan 11.056.806 orang terkena

dampaknya setelah Jepang (13.404.870 korban) dan Filipina (12.182.454 korban).

(9)

9 Bencana alam banjir, dari 162 negara Indonesia berada diurutan ke-6 dengan 1.101.507 orang yang terkena dampaknya, setelah Bangladesh (19,279,960 korban), India (15.859.640 korban), China (3.972.502 korban), Vietnam (3.403.041 korban), dan Kamboja (1.765.674 korban).

Melihat data diatas, Indonesia merupakan salah satu wilayah yang memiliki intensitas bencana yang tinggi. Pengalaman yang telah terjadi seperti Tsunami di Aceh dan Sumatra Utara, gempa bumi di Nias, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah, banjir di Jakarta, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimanatan, letusan Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Gunung Bromo dan Gunung Kelud, serta angin badai yang sering melanda di berbagai kawasan di Indonesia merupakan daftar panjang yang menyadarkan kita bahwa tanah air Indonesia merupakan kawasan yang telah rawan terhadap bencana alam.

Seiring dengan meningkatnya intensitas bencana alam yang kerap melanda di Indonesia, Pemerintah terus berupaya mencari solusi dalam menanggapi permasalahan penanggulangan bencana. Berbagai upaya pun terus dicari untuk di implementasikan melalui kebijakan pemerintah yang kemudian ditetapkan melalui penentapan undang-undang penanggulangan bencana. Hal tersebut ditandai dengan terbitnya sebuah Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana pada bulan Januari 2007 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penaggulangan Bencana pada bulan April 2007. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 dikemukakan bahwa,

“Negara Kesatuan Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk

(10)

10 memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila”.

Hal ini yang menjadikan Indonesia menjadi negara yang cukup progresif dalam menghadapi masalah penanggulangan bencana ke depannya. Terbitnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut menandai babak baru dalam perubahan cara pandang dan pengelolaan penanggulangan bencana, yakni dari reaktif jika terjadi bencana menjadi aktif, siaga dan tanggap terhadap risiko bencana, sehingga sebagai konsekuensinya upaya penanggulangan bencana merupakan bagian dari kerja-kerja pembanguan.

Salah satu cara yang tepat dan berpengaruh dalam kinerja Pemerintah dalam mengatasi permasalahan penanggulangan bencana adalah melalui sektor pendidikan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan bahwa provinsi-provinsi rawan bencana harus memberikan pendidikan kebencanaan lebih keras dalam menyelamatkan masyarakat serta anak sekolah. Melalui jenjang pendidikan, salah satu usaha pengurangan risiko bencana dapat dilaksanakan dengan memberikan pelatihan pelatihan kepada para pendidik maupun siswanya untuk menuju Sekolah Siaga Bencana (SSB).

Khususnya di Yogyakarta, bencana gempa bumi yang terjadi pada 27 Mei

2006 yang lalu menjadi peringatan akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi

bencana. Dampak yang terparah terasa di Kabupaten Bantul, karena wilayah ini

merupakan pusat terjadinya gempa, termasuk di lingkungan SMP N 2 Imogiri.

(11)

11 Berawal dari pengalaman itulah, pada tahun 2010, SMP N 2 Imogiri yang terletak di Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul ditunjuk sebagai salah satu sekolah yang mengimplementasikan progam Sekolah Siaga Bencana sebagai pengembangan dari program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Sekolah.

Program Sekolah Siaga Bencana sendiri diharapkan memberikan kontribusi kepada masyarakat sekolah agar mampu memahami tentang gejala bencana, cara menanggulanginya, dan memberikan wawasan mengenai tanda-tanda bencana alam.

Disamping itu salah satu tujuan dari program ini adalah terwujudnya sekolah yang memiliki program dan rencana aksi sekolah yang diintregasikan dengan pengurangan risiko bencna. Program yang didukung dengan unsur advokasi dan landasan perundangan ini diharapkan mampu menjamin keberlangsungan usaha pengurangan risiko terhadap bencana alam.

C. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa program Sekolah Siaga

adalah bentuk dari usaha Pemerintah dalam upaya Pengurangan Risiko Bencana

Berbasis Sekolah yang diharapkan bisa membudayakan kesiapsiagaan masyarakat

sekolah dalam menghadapi bencana. Namun, masih ada sejumlah masalah yang

terkait dengan implementasi program Sekolah Siaga Bencana yang mungkin belum

teridentifikasi dengan baik, mengingat ini adalah program baru. Masalah tersebut

utamanya menyangkut pada persiapan dan pelaksanaan program Sekolah Siaga

Bencana di SMP N 2 Imogiri.

(12)

12 Menimbang bahwa masalah itu sangat esensial untuk diketahui, maka penelitian ini difokuskan pada implementasi program Sekolah Siaga Bencana, maka ditemukan pertanyaan utama dalam penelitian ini sebagai berikut.

“Bagaimana implementasi program Sekolah Siaga Bencana (SSB) di SMP N 2 Imogiri, Yogyakarta?”

Pertanyaan operasional dalam penelitian ini disusun sebagai upaya untuk memfokuskan pengambilan data dan analisisnya, serta untuk membatasi ruang lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian perlu dibatasi karena adanya keterbatasan waktu, dana dan tenaga peneliti. Pertanyaan operasional dalam penelitian ini disusun berdasarkan 4 (empat) parameter keterlaksanaan program SSB yang dikembangkan oleh Konsorsium Pendidikan Bencana (2009) yaitu sikap dan tindakan, kebijakan sekolah, perencanaan kesiapsiagaan, mobilisasi sumberdaya (dibahas di tinjauan pustaka), sehingga rumusan pertanyaannya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sikap dan tindakan guru dan siswa SMP N 2 Imogiri dalam program Sekolah Siaga Bencana (SSB)?

2. Apa saja kebijakan SMP N 2 Imogiri dalam program Sekolah Siaga Bencana (SSB)?

3. Bagaimana perencanaan kesiapsiagaan SMP N 2 Imogiri dalam program

Sekolah Siaga Bencana (SSB)?

(13)

13 4. Bagaimana mobilisasi sumberdaya SMP N 2 Imogiri dalam program Sekolah

Siaga Bencana (SSB)?

5. Bagamaimana hasil program Sekolah Siaga Bencana (SSB) di SMP N 2 Imogiri?

D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Ada dua kategori tujuan penelitian ini.

a. Tujuan Operasional

Tujuan operasional dari penelitian ini, adalah:

1. Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi Skripsi Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada tahun ajaran 2012/2013.

2. Untuk memberikan kontribusi bagi Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan kedepan terkait dengan mata kuliah Kebijakan Pembangunan.

3. Sebagai sumbangan pemikiran dan referensi untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.

b. Tujuan Substansial

Tujuan substansial merupakan tujuan yang berupa satu objek

dimana orang langsung akan melakukan usaha-usaha kooperatif (Kartono,

(14)

14 1980:69). Tujuan substansial dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan penelitian, secara khusus yaitu:

1. Untuk mengetahui sikap dan tindakan guru dan siswa di SMP N 2 Imogiri dalam program Sekolah Siaga Bencana (SSB).

2. Untuk mengetahui kebijakan sekolah SMP N 2 Imogiri dalam program Sekolah Siaga Bencana (SSB).

3. Untuk mengetahui perencanaan kesiapsiagaan SMP N 2 Imogiri dalam program Sekolah Siaga Bencana (SSB).

4. Untuk mengetahui mobilisasi sumberdaya SMP N 2 Imogiri dalam program Sekolah Siaga Bencana (SSB).

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan sebagai berikut:

1. Sebagai bahan masukan kepada Kepala Sekolah dan juga Pemerintah daerah selaku pembuat kebijakan terkait dengan implementasi program Sekolah Siaga Bencana di SMP N 2 Imogiri.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai implementasi

program Sekolah Siaga Bencana (SSB).

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dilakukan untuk meminimalisir manipulasi data. Dengan adanya pembaruan ini, rombongan belajar yang sudah terisi pembelajarannya tidak dapat diubah tingkat

Setelah dilaksanakan penelitian yang diawali dari pengambilan data hingga pengolahan data yang akhirnya dijadikan patokan sebagai pembahasan hasil penelitian

kromatogra8 kolom dan kromatogra8 lapis tipis. Pemisahan kromatogra8 adsorbsi biasan$a menggunakan "ase normal dengan menggunakan "ase diam silika gel dan alumina,

Setelah adanya kesepakatan diantara kedua negara tersebut, untuk penyelesaian permasalahan yang sering dihadapi oleh PMI di Taiwan kini dapat dilakukan dengan 3

pembuatan materi ujian dan koreksi hasil ujian. Pengelolaan kepegawaian dilaksanakan dengan mengacu pada pola merit dan pola karier. Sistem ini dilakukan untuk mengantisipasi

Berdasarkan kajian di atas, dapatlah di simpulkan bahwa strategi pembelajaran kolaboratif berbasis masalah mempunyai karakteristik: (1) Pembelajaran dipandu oleh masalah

Petak teras bangku, tumpuan batuan dan bambu untuk membentuk dan memperkuat tanah, saluran irigasi (sumber air), saluran pembuangan, bangunan pengawas dengan etika eco-design,

B1C407 Manajemen Keuangan & Perbankan Syariah 2 Irawan Febianto, S.IP.,M.Mgt. B1C428 Sistem Informasi Manajemen SDM