BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam era globalisasi ini, tuntutan pasar terhadap perusahaan baik profit maupun non-profit semakin meningkat (Sari, 2009). Hal ini secara tidak langsung juga menuntut perusahaan untuk memberikan produktifitas yang lebih baik agar dapat bersaing dengan perusahaan lain. Setiap perusahaan pasti mengharapkan karyawannya memberikan kinerja yang baik demi menunjang keberhasilan perusahaan tersebut (Amirullah, 2008)
Perusahaan atau organisasi melakukan banyak cara untuk meningkatkan produktifitas karyawan guna mengembangkan organisasi menjadi lebih baik, salah satu caranya adalah dengan mengembangkan sumber daya manusia (Noermijati &
Ristri, 2010). Manusia dalam suatu perusahaan bukan hanya menjadi objek dalam pencapaian tujuan perusahaan atau organisasi, tapi manusia disini juga berperan sebagai subjek dan pelaku dalam pencapaian tujuan perusahaan atau organisasi.
Manusia dalam organisasi melakukan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian dalam setiap usaha untuk mencapai tujuan perusahaan. Manusia sebagai makhluk hidup pastinya memiliki perasaan, tujuan-tujuan dan kebutuhan- kebutuhan yang harus dipenuhi (Dewi, 2012). Ia menambahkan bahwa kerja adalah salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pribadi.
Manusia dalam bekerja mendambakan suatu kepuasan kerja baik itu segi materil maupun dalam segi moril (Salani, 2009)
Robbins (1997) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap seseorang secara umum terhadap suatu pekerjaan, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Blum dan Naylor (1987, dalam Wijono, 2010) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah hasil dari berbagai sikap yang ditunjukkan karyawan.
Berdasarkan pandangan tersebut, sebenarnya sikap berhubungan erat dengan pekerjaan individu yang meliputi faktor-faktor gaji, supervisi, situasi, peluang untuk maju, penghargaan, kemampuan dan penilaian yang adil dari atasan (Wijono, 2010). Gordon (1975, dalam Wijono, 2010) mendapati bahwa pegawai yang memberi penilaian positif terhadap pengawasan dari pemimpinnya akan merasa puas.
Salah satu faktor kepuasan kerja adalah supervisi atau pengawasan dari atasan (Ghiselli & Brown dalam As’ad, 1995). Hal ini diperkuat juga oleh Smith, Kendall & Hulin (dalam Luthans, 2006) yang menjelaskan lima faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja dan salah satunya adalah supervisi atau pengawasan. Penelitian membuktikan bahwa karyawan yang merasa senang bekerja dengan atasannya atau pengawasnya akan lebih puas dengan pekerjaannya (Mossholder, Setton & Henagan, dalam Aamodt, 2007).
Kepuasan terhadap supervisi/pengawasan atasan merupakan hal yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh terhadap kepuasan karyawan secara
keseluruhan (Mardanov, dkk., 2007). Penelitian telah menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap atasan langsung adalah prediktor kuat dari upaya serikat pekerja serta karyawan meninggalkan sebuah organisasi. Dalam pengaturan serikat, hubungan karyawan-atasan yang positif ditemukan menjadi kondisi yang diperlukan untuk hubungan serikat-manajemen yang efektif (Lynch, 2010)
Spector (1997) menjelaskan ada dua komponen yang mempengaruhi kepuasan karyawan terhadap supervisi yaitu hubungan personal, yaitu bagaimana kemampuan atasan dalam menjalin hubungan interpersonal dan kemampuan teknis, yaitu bagaimana kemampuan atau keahlian atasan menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan. Gordon (1975 dalam Wijono, 2010) mendapati bahwa pegawai yang member penilaian positif terhadap pengawasan dari atasannya akan merasa puas.
Kepemimpinan menurut Hersey (1990) didefinisikan sebagai suatu proses untuk mempengaruhi aktivitas seseorang atau sekelompok orang agar mencapai tujuan sumberdaya manusia, yang harus dikelola sedemikian rupa agar mereka bekerja secara efisien dan efektif guna mencapai prestasi kerja yang diinginkan perusahaan. Yukl dan Van Fleet (dalam Burn, 2004) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan sebuah proses yang mempengaruhi objektifitas tugas dan strategi-strategi suatu kelompok atau organisasi, mempengaruhi orang-orang yang merupakan anggota organisasi maupun yang berada di dalam organisasi untuk mengimplementasikan strategi dan mencapai tujuan, mempengaruhi pemeliharaan dan identifikasi kelompok, serta mempengaruhi budaya organisasi
Judge dan Locke (1993) menegaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor penentu kepuasan kerja. Jenkins (dalam Manajemen, 1990), mengungkapkan bahwa keluarnya karyawan lebih banyak disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap kondisi kerja karena karyawan merasa pimpinan tidak memberi kepercayaan kepada karyawan, tidak memberi kesempatan bagi karyawan untuk terlibat dalam pembuatan keputusan, pemimpin berlaku tidak objektif dan tidak jujur pada karyawan. Pendapat ini didukung oleh Nanus (1992) yang mengemukakan bahwa alasan utama karyawan meninggalkan organisasi disebabkan karena pemimpin gagal memahami karyawan dan pemimpin tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan karyawan.
Tren pemimpin wanita ini dimulai sejak awal abad ke-20 dimana isu hak asasi manusia dan persamaan gender secara lantang disuarakan oleh aktivis feminisme. Hal ini erat kaitannya dengan emansipasi perempuan. Dengan adanya emansipasi perempuan dan perkembangan jaman perempuan ingin memperoleh hak yang sama dengan laki-laki (Pasya, 2008). Salah satu tujuan gerakan emansipasi ini adalah semakin banyaknya pemimpin perempuan, karena dengan begitu semakin terbuka kesempatan bagi perempuan untuk mengambil bagian dalam pengambilan keputusan (Murniati, 2004). Namun, masih banyak pendapat yang menyatakan bahwa perempuan tidak dapat menjalankan tugas sebagai pemimpin dikarenakan kodrat perempuan yang dianggap berkemampuan lebih rendah daripada pria. Pemikiran seperti ini sesuai dengan pemikiran tradisional yang percaya bahwa perempuan tidak layak berperan sebagai pemimpin. Pendapat ini tampaknya masih tertanam kuat di masyarakat dan hal ini cenderung
menghambat keinginan perempuan untuk mencapai posisi yang lebih tinggi (Tukiran, 2007).
Secara umum kepemimpinan perempuan tidak jauh berbeda dengan kepemimpinan pada umumnya, yang membedakan hanya gaya kepemimpinannya (Paramita, 2008). Penelitian-penelitian yang membahas tentang gaya kepemimpinan laki-laki dan perempuan yang menunjukkan adanya perbedaan antara kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Dari penelitian “Gaya Kepemimpinan Perempuan” yang dilakukan oleh Nuri Zulida Situmorang (2011), perempuan cenderung memiliki gaya kepemimpinan demokratis, feminis dan transformasional, sedangkan laki-laki cenderung memiliki gaya kepemimpinan otoriter, maskulin dan transaksional.
Robbins (dalam Sudarmo, 2010), sehubungan dengan isu gender dan kepemimpinan menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, penyamaan antara laki- laki dan perempuan cenderung mengabaikan perbedaan diantara keduanya.
Kedua, bahwa apa yang menjadi perbedaan antara perempuan dan laki-laki adalah
bahwa perempuan memiliki gaya kepemimpinan yang lebih democratic, sedangkan laki-laki merasa lebih nyaman dengan gaya yang bersifat directive (menekankan pada cara-cara yang bersifat perintah).
Dalam studi “Kepemimpinan dalam Birokrasi Pemerintahan Daerah” yang dilakukan oleh Local Governance Innovations for Community in Aceh (2011) menyatakan bahwa jumlah PNS wanita di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya, bahkan peningkatannya lebih besar dibanding peningkatan PNS
perempuan ini ternyata masih belum diiringi dengan peningkatan dari segi kualitas, yakni peran serta mereka dalam proses pengambilan keputusan ditingkat struktural. Artinya, jumlah PNS perempuan yang menduduki jabatan-jabatan penting di birokrasi, seperti eselon I dan II, Sekda, Asisten Sekda, serta Kepala Dinas/Badan/Kantor, masih sangat sedikit jumlahnya.
Dalam studi diatas disebutkan ada tiga aspek mendasar yang mempengaruhi perkembangan karir PNS perempuan dalam birokrasi, yaitu:
pertama, masih adanya penerapan nilai budaya feodalisme di lingkungan
birokrasi; kedua, adanya stereotype yakni pemikiran yang seolah-olah memberikan alasan pembenaran bahwa PNS perempuan tidak memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin, ketiga, peran domestik kaum perempuan.
PNS perempuan dianggap memiliki kendala bila menjadi pemimpin karena adanya tugas-tugas perempuan sebagai istri dan ibu rumah tangga, sehingga curahan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan di kantor menjadi berkurang
Dari penjelasan diatas timbul pertanyaan apakah ada perbedaan yang signifikan antara pemimpin laki-laki dan perempuan. Apakah kepemimpinan perempuan dapat efektif bagi karyawan yang dipimpinnya. Apakah pemimpin perempuan dapat memberi kepuasan bagi karyawan sama seperti pemimpin laki- laki, apakah sebuah organisasi atau divisi/bagian yang dipimpin oleh perempuan akan memiliki kompetensi karyawan yang tinggi, atau justru sebaliknya.
Berdasarkan hasil penelitian “Perbedaan kepuasan Kerja pada guru Ditinjau dari Jenis Kelamin Kepala Sekolah” yang dilakukan oleh Susi Endang Era Wati, Suparno dan Rosana Dewi Yunita (2007), menyatakan bahwa ada
perbedaan yang signifikan kepuasan kerja antara kepemimpinan laki-laki dan kepemimpinan perempuan. Dimana kepuasan pada kepemimpinan laki-laki lebih tinggi daripada kepemimpinan perempuan
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti membuat rumusan masalah
“apakah ada perbedaan tingkat kepuasan terhadap supervisi jika ditinjau dari jenis kelamin pemimpin?”. Dari rumusan masalah tersebut , peneliti malakukan pengujian lebih lanjut melalui penelitian yang berjudul “Perbedaan Tingkat kepuasan terhadap Supervisi Ditinjau dari Gender Pemimpin”
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Apakah ada perbedaan tingkat kepuasan terhadap supervisi pada karyawan jika ditinjau dari Jenis Kelamin pemimpin?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk melihat perbedaan tingkat kepuasan terhadap supervisi jika ditinjau dari gender pemimpin.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan penelitian ini mempunyi manfaat yang bersifat pengembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Industri dan Organisasi. Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan tentang Psikologi Industri dan organisasi mengenai kepuasan
kerja, khususnya kepuasan terhadap supervisi dan kepemimpinan dalam perusahaan.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dengan adanya penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan mendapat gambaran perbedaan kepuasan yang dirasakan karyawan terhadap supervisi jika mereka memiliki pemimpin laki-laki atau perempuan dan dapat menyesuaikan gender pemimpin dengan kebutuhan dan tuntutan organisasi.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori mengenai teori kepuasan terhadap supervisi, gender dan kepemimpinan. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian yang menjelaskan tentang perbedaan tingkat kepuasan terhadap supervisi ditinjau dari gender pemimpin.
Bab III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda item dan reliabilitas alat ukur serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan gambaran subjek penelitian dan pembahasan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini dibahas mengenai kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang diungkapkan berdasarkan hasil penelitian. Diskusi mengenai kesesuaian maupun ketidaksesuaian antara data penelitian yang diperoleh dengan teori yang ada dan saran penelitian yang meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.