• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. A. Latar Belakang Masalah. belajar terhadap siswa-siswa berinteligensi tinggi semakin meningkat, hal ini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. A. Latar Belakang Masalah. belajar terhadap siswa-siswa berinteligensi tinggi semakin meningkat, hal ini"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

A. Latar Belakang Masalah

Kesadaran dunia pendidikan di Indonesia untuk memberikan layanan belajar terhadap siswa-siswa berinteligensi tinggi semakin meningkat, hal ini ditandai dengan munculnya fenomena penyelenggaraan program percepatan belajar (kelas akselerasi) di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Program akselerasi mulai dikembangkan pada tahun 1998/1999 dengan tujuan memberikan pelayanan pendidikan bagi anak berbakat (Hawadi, 2004).

Program layanan khusus ini menjawab amanat UU no 20 tahun 2003, Pasal 4 dan 5 yaitu: Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapatkan pendidikan khusus . Amanat dari UU tersebut mengandung maksud memberikan kesempatan bagi sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan khusus bagi siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Kepmendikbud Pasal 15 ayat (2) menyatakan bahwa: Pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat melalui jalur pendidikan sekolah dengan menyelenggarakan program percepatan, dengan ketentuan telah mengikuti pendidikan SD kurangnya lima tahun, SMP sekurang-kurangnya 2 tahun dan SMA sekurang-sekurang-kurangnya 2 tahun.

Penyelenggaraan pendidikan khusus atau program percepatan (Kelas Akselerasi) mulai banyak dikembangkan di sekolah-sekolah di Indonesia.

(2)

Menurut Ahmadi (2011) terdapat lebih dari 300 sekolah di Indonesia yang melaksanakan program akselerasi, mulai dari tingkat TK hingga SMA, dengan jumlah siswa lebih dari 13.000 orang. Hambatan yang dialami kedua sekolah tersebut dalam penyelenggaraan kelas akselerasi, yang paling mendasar adalah dalam hal perekrutan siswa. Perekrutan siswa dalam kelas akselerasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk diperhatikan, karena berkaitan dengan kelanjutan studi siswa itu ke depan. Depdiknas (2007) menyatakan bahwa perekrutan siswa dalam kelas akselerasi dilakukan dengan seleksi. Penyeleksian diawali dengan seleksi siswa yang lulus dari Sekolah Dasar (SD). Seleksi tersebut meliputi tes IQ dan tes Psikologi.

Selanjutnya dikatakan bahwa proses mengidentifikasi siswa cerdas istimewa dilakukan dengan menggunakan pendekatan multidimensional. Artinya kriteria yang digunakan lebih dari satu (bukan sekedar intelegensi). Batasan yang digunakan adalah siswa yang memiliki dimensi kemampuan umum pada taraf cerdas ditetapkan skor IQ 130 ke atas, dimensi kreatifitas, dimensi komitmen dan dimensi kepribadian.

Jika mengambil contoh SMA 3 Semarang, program akselerasi yang diberlakukan sejak 2004 masih ada kekurangan terutama berkaitan dengan masalah sosial siswa. Memang secara kognitif para siswa kelas akselerasi bagus, tetapi karena kesibukan yang luar biasa akhirnya porsi kehidupan sosial menjadi berkurang. Berbagai pengalaman sosial sebaya tidak dialami oleh siswa kelas akselerasi, mengingat porsi pembelajaran siswa akselerasi lebih banyak dibandingkan dengan siswa reguler.

(3)

Ahmadi (2011) menjelaskan permasalahan yang berkaitan dengan keputusan masuk akselerasi dapat ditinjau dari keyakinan diri sendiri dan lingkungan. Dalam hal ini dapat dikategorikan faktor intern dapat berasal dari efikasi diri siswa dan faktor eksternnya dapat ditinjau dari peran konselor sekolah dan dukungan sosial. Faktor-faktor tersebut berperan penting dalam pengambilan keputusan masuk kelas akselerasi, karena selain kayakinan diri juga dipengaruhi oleh orang lain yang berhubungan dengan kelangsungan akademik. Selain itu, dari sisi internal kelas akselerasi lebih terlihat eksklusif dan membuat siswanya merasa lebih dibandingkan dengan siswa reguler sehingga membuat kelompok-kelompok dalam sekolah. Hal tersebut dapat diketahui dari observasi dan survei pra penelitian dimana kelas akselerasi mempunyai kelas khusus, antara lain ruang kelas terdapat pendingin udara, LCD, tempat duduk satu siswa satu tempat duduk, persyaratan masuk harus mempunyai laptop serta biaya sekolah yang besarnya tiga kali lipat dari kelas reguler. Selain perihal tersebut dari hasil wawancara dengan sejumlah siswa juga diketahui bahwa siswa masuk kelas akselerasi karena ambisi orang tua bukan karena keinginan anak sehingga proses belajar tidak bisa maksimal dan tentu juga berdampak terhadap hasilnya.

Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut (Ahmadi & Setyono, 2011) menambahkan untuk penyelesaiannya yaitu sekolah akselerasi membuat berbagai program seperti ekstrakurikuler yaitu “live in”, kemah sosial, karya wisata, dan lomba antar kelas. Program tersebut diharapkan membuat siswa akselerasi lebih mengenal dan membaur dengan siswa reguler, bahkan dapat mengembangkan solidaritas sehingga tidak timbul kelompok-kelompok di dalam sekolah. Program

(4)

kelas akselerasi memang masih sedikit peminatnya, mungkin karena memang minat siswa yang kurang atau karena persyaratan yang cukup sulit.

Pada sekolah akselerasi, siswa yang ingin memasuki kelas akselerasi harus lulus tes akademis dan psikologi, nilai rapor kelas VII hingga kelas IX rata-rata harus 8. Hal tersebut terbukti, dari jumlah 435 siswa yang diterima di SMAN 3 Semarang, untuk kuota kelas kelas akselerasi 20 tempat duduk, hanya sekitar 13% siswa yang layak mengikuti tes psikologi untuk memasuki kelas akselerasi.

Menurut Southern&Jones (Colangelo, 2010) dijelaskan bahwa siswa akselerasi memiliki strategi pembelajaran yang canggih, terampil, dan paham sebelum usianya. Ia ditempatkan dikelas yang lebih tinggi dibanding teman-teman sebayanya, maka ia pun memiliki tugas yang lebih banyak dan berfikir lebih tinggi pula dibanding strategi pembelajaran pada kelas reguler.

Sepanjang kehidupan, manusia dihadapkan dengan keputusan-keputusan. Pemilihan sekolah akselerasi merupakan suatu keputusan penting yang dibuat oleh remaja. Remaja mulai mengarahkan diri kepada suatu tahapan baru dalam kehidupan, dengan memandang suatu posisi pekerjaan sebagai karir.

Matlin (Santrock, 2009) mengemukakan, pembuatan keputusan berarti memilih suatu diantara sekian banyak alternatif yang dianggap (minimal 2 alternatif) berdasarkan pertimbangan atau kriteria tertentu yang dianggap paling menguntungkan bagi pengambil keputusan. Pembuatan keputusan harus mengintegrasikan informasi yang luas dari sumber-sumber yang berlainan dan dibuat selama aktivitas berlangsung terus dalam waktu tertentu. Proses pembuatan keputusan membutuhkan dasar pengetahuan yang diandalkan dan penggunaannya

(5)

yang tepat dari kemampuan berpikir untuk menemukan informasi yang relevan, membuat pilihan-pilihan, menguji dan merevisi pengetahuan tentang hasil tindakan.

Selanjutnya Haselmann&Tenner (Germeijs, 2007) mendefinisiskan pengambilan keputusan yaitu bertindak untuk menghasilkan konsekuensi yang terbaik, baik untuk individu atau masyarakat. Analisis dari hasil diperoleh menentukan siapa yang akan diuntungkan dan yang dirugikan.

Keputusan siswa untuk masuk akselerasi merupakan keputusan yang patut dihargai dan didukung dengan maksimal. Hal tersebut selain bermula dari citra positif yang ingin dibangun, tanpa menghabiskan waktu untuk belajar dapat melanjutkan kuliah atau pekerjaan yang berkualitas. Berkaitan dengan ulasan tersebut Dias Tuti (2006) mengemukakan dunia dewasa ini, memasuki apa yang disebut sebagai dunia konsumsi dengan budaya konsumer, yang bahkan dunia pendidikan sekalipun tak bisa lepas darinya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan siswa akselerasi yang menyatakan bahwa “saya memang ingin masuk sekolah akselerasi, dan itu sudah cita-cita saya sejak SMP, dan orang tua saya mendukung, jadi waktu mau tes masuk saya dileskan privat oleh mama saya”. Lebih jauh lagi, perkembangan aspek-aspek sosial dan kebudayaan dalam berbagai bidang dewasa ini, yang berjalin dengan kultur kapitalisme, konsumerisme, komunikasi, informasi, pasar, komoditas, masyarakat konsumer, kebudayaan pop, dunia fantasi, memunculkan apa yang disebut fenomena melampaui realitas (hyperrealitas).

(6)

Keputusan untuk memilih program akselerasi tentu untuk mewujudkan suatu hal yang penting dan positif bagi masa depan pelajar, namun demikian siswa membutuhkan lebih banyak kesempatan untuk melatih dan membahas pengambilan keputusan yang realistis. Keputusan bagi masa depan akan terwujud apabila mereka mampu menyesuaikan diri dengan potensi yang dimiliki dengan kesempatan yang tersedia. Kenyataannya ada sebagian siswa yang tidak mampu membuat keputusan dengan tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan, sehingga siswa dalam perkembangan usianya tidak dapat sejalan dengan psilogis usianya dan dalam kademik pun merasa terbebani dengan pelajaran yang terlalu banyak.

Sebuah pengambilan keputusan bukan hal yang mudah, pengambilan keputusan banyak diwarnai oleh persepsi sosial dimana ada norma-norma sosial yang berdampak pada hasil keputusan yang diambil. Pengambilan keputusan yang berdasar pada hasil pemikiran dan pertimbangan dari diri sendiri maka keputusan itu cenderung mengarah pada keputusan yang logis dan tepat sesuai dengan keyakinan dan harapan yang diinginkan oleh seseorang. Sebaliknya apabila keputusan-keputusan yang diambil tidak berdasar pada pemikiran sendiri dan keyakinan diri, maka hasil keputusan dan tugas yang dikerjakan tidak memberikan hasil yang terbaik (Garret, 2010).

Pemilihan sekolah akselerasi tidak seutuhnya merupakan keputusan yang benar-benar tepat. Southern dan Jones (Hawadi, 2006) menyatakan bahwa program akselerasi mempunyai dampak negatif bagi siswa, di antaranya adalah siswa akselerasi kemungkinan diatur secara sosial, fisik, dan emosional; siswa

(7)

didorong untuk berprestasi dalam bidang akademik sehingga siswa kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebaya; siswa kehilangan aktivitas sosial yang penting dalam usia sebenarnya, hal ini dapat menyebabkan siswa mengalami hambatan dalam bergaul dengan teman sebaya; siswa mudah frustrasi dengan adanya tekanan dan tuntutan berprestasi, serta siswa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan hobi.

Mendukung uraian di atas Widyasari (2008) mengungkapkan problem ketidakterkaitan (mismatch) antara SMA akselerasi dan dunia pendidikan, disebabkan beberapa hal. Pertama, tidak semua SMA akselerasi mencetak lulusan yang adaptif dengan kecerdasan dan keterampilan yang optimal. Kedua, dari aspek tenaga pengajar, banyak guru akselerasi yang hanya megejar kemampuan akademik dan intelegensi dan kurang memperhatikan aspek sosial anak. Akibatnya, banyak pendidikan di akselerasi yang dijalankan secara pabrik yang hanya menghasilkan lulusan dengan akademik bagus tanpa kompetensi memadai. Ketiga, program-program yang ditawarkan program akselerasi saat ini belum efektif dan efisien. Ini dapat dilihat dari kualitas lulusan yang belum mampu mendapatkan posisi yang bagus untuk masuk universitas negeri. Dengan kata lain, belum ada kesesuaian antara program akselarasi dan dunia pendidkan.

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, permasalahan yang berkaitan dengan keputusan masuk akselerasi dapat ditinjau dari faktor lain, diantara yaitu peran konselor sekolah, dukungan sosial, dan efikasi diri.

Kelangsungan proses pembelajaran di sekolah diperkuat oleh tiga komponen guru yang memiliki fungsi berbeda, yakni guru mata pelajaran, guru

(8)

praktek dan konselor sekolah (Laeis, 2009). Untuk mencapai kesuksesan sistem pendidikan di sekolah maka perlu dibutuhkan tiga bidang pemimpin di sekolah. Ketiga pemimpin tersebut adalah pimpinan sekolah, pendidik, dan bimbingan dan konseling. Dari pendapat kedua tokoh diatas terlihat bahwa keberadaan bidang bimbingan dan konseling disekolah mendapatkan peranan yang sangat penting guna mencapai kesuksesan pendidikan (Prayitno, 2001)

Melihat peran guru BK yang sangat penting maka sudah seharusnya unit Bimbingan dan konseling (BK) ada di setiap lembaga pendidikan. Istilah konselor secara resmi digunakan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dengan menyatakan “konselor adalah pendidik” (Himpunan UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional) dimana dijelaskan bahwa fokus kegiatan pendidikan tidak lagi terletak sebatas kegiatan mengajar dengan mengutamakan peranan guru, melainkan dengan sengaja dan terencana melibatkan berbagai profesi pendidik (Winkel & Hastuti, 2006).

Konselor sekolah memiliki tugas untuk melakukan pemantauan dan pembimbingan terhadap siswa berkaitan dengan perkembangan bakat, minat, dan potensi yang dimilikinya. Menurut Laeis (2009) peran guru Bimbingan Konseling (BK) saat ini belum optimal. Hal tersebut disinyalir akibat masih ada pihak yang belum memahami arti penting konselor sekolah dalam proses pembelajaran dan masih ada kepala sekolah yang menganggap peran konselor sekolah itu tidak penting. Menurut Sukadji (2000) masih banyak guru yang sebenarnya kurang memahami asas-asas BK. Latar belakang pendidikan yang tidak sesuai mengakibatkan banyak peran konselor sekolah yang disalahfungsikan

(9)

untuk menghukum anak semata. Menurut Wibowo (Laeis, 2009) pelaksanaan fungsi yang kurang tepat akan mempengaruhi jalannya proses pendidikan, sebab tugas dan fungsi tidak dilakukan oleh mereka yang memiliki kompetensi dan wewenang terhadap bidang tersebut.

Kenyataan yang ada di lapangan khususnya pada guru Bimbingan Konseling penerapan atau aplikasi profesionalisme khusus guru BK belum optimal dimanfaatkan. Hal tersebut terbukti dengan masih adanya penfasiran terhadap guru BK yang dipandang sebelah mata sebagai guru buangan, guru yang suka mencari-cari permasalahan dan tidak punya pekerjaan atau jam mengajar seperti halnya guru-guru lainnya. Kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa masalah penugasan guru pembimbing sesuai dengan bidang garapan menjadi fokus perhatian, baik bagi guru bidang studi non bimbingan dan konseling maupun koordinator bimbingan dan konseling yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab dalam hubungannya dengan pelaksanaan program kerja. Sementara masalah penugasan guru pembimbing yang tidak sesuai dengan tempatnya (bidang garap) akan menimbulkan kesimpangsiuran dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

Banyak guru pembimbing yang bukan dari lulusan yang tepat (non-profesional), ditugasi oleh kepala sekolah menjadi guru pembimbing di sekolah yang bersangkutan. Tugas lain yang diberikan oleh kepala sekolah dengan dukungan SK, dan pada umumnya guru yang diberi tugas tersebut karena guru tersebut kekurangan jam mengajar, sementara itu mereka di sekolah negeri dituntut melaksanakan tugas mengajar minimal 18 jam. Guru yang hanya

(10)

memperoleh pendidikan bimbingan dan konseling dari hasil pelatihan saja, ataupun penataran kilat, kini juga masih banyak ditugasi sebagai guru pembimbing. Hal ini semua juga masih merupakan kendala yang sampai saat ini belum menjadi kenyataan terhadap terealisasikannya kinerja yang dilakukan oleh guru pembimbing untuk menangani rasio 150 siswa/18 jam (Depdikbud, 1994). Berkaitan dengan permasalahan di atas, selain siswa mendapat bimbingan karir dari guru BK, siswa sendiri juga mempunyai keyakinan atau efikasi diri atas kemampuan dan talent yang dimiliki. Efikasi diri mempengaruhi motivasi akademik, belajar, dan prestasi. Efikasi diri didasarkan pada kerangka teoritis yang lebih besar dikenal sebagai sosial kognitif teori, yang mendalilkan bahwa pencapaian manusia bergantung pada interaksi antara perilaku seseorang, faktor pribadi (misalnya pikiran, keyakinan), dan kondisi lingkungan Bandura (Michaelides, 2008). Belajar memperoleh informasi untuk menilai diri mereka yang sebenarnya hasil dari belajar mereka menggantikan pengalaman, persuasi yang mereka terima dari orang lain, dan reaksi fisiologis mereka. Keyakinan diri mempengaruhi dalam pemilihan tugas, usaha, ketekunan, ketahanan, dan prestasi Bandura (Schunk, 2008). Dibandingkan dengan siswa yang meragukan dengan kemampuan belajar mereka yang merasa berhasil melakukan tugas serta lebih mudah bersosialisasi, bekerja lebih keras, bertahan lebih lama ketika mereka menghadapi kesulitan, dan mencapai pada tingkat yang lebih tinggi.

Kenyataan seperti tersebut diatas maka siswa seharusnya memiliki efikasi diri yang tinggi, siswa akselerasi harus memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuan dan keterampilan untuk menghadapi segala situasi yang ada terutama

(11)

ketika berhadapan proses belajar yang padat dan sosial yang kurang. Keyakinan seperti inilah yang sering disebut efikasi diri. Ketika siswa memiliki efikasi diri maka diharapkan mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai siswa dengan baik Bandura (Santrock, 2009).

Efikasi diri merupakan kepercayaan yang dimiliki oleh siswa terhadap kapasitasnya untuk mempengaruhi performa siswa. Larson dan Daniel (dalam Maldonado, 2008) menyatakan bahwa efikasi diri dapat didefinisikan sebagai suatu kepercayaan, keyakinan, kemampuan dan keterampilan siswa untuk menghadapi tugas-tugas yang menjadi tanggung sebagai siswa. Bandura (1997) juga menyatakan bahwa Efikasi diri dapat menjembatani antara pengetahuan yang dimiliki dengan perilaku-perilaku tertentu.

Retnowati (Widanarti dan Indati, 2002) mengatakan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini konflik yang dihadapi oleh remaja disebabkan karena adanya tuntutan-tuntutan dari dalam dirinya maupun luar dirinya. Tuntutan terbesar yang biasanya dihadapi oleh remaja adalah tuntutan dari masalah akademiknya

Ada motivasi dan harapan yang tampak dengan keyakinan yang dimiliki individu, namun juga ada konsekuensi dari tindakan yang dilakukan berkaitan dengan keyakinan diri (Schunk, 2008). Konsep keyakinan diri, kolektif diri seseorang, persepsi yang terbentuk melalui pengalaman, interpretasi dari lingkungan, dan pengaruh bantuan dan evaluasi dari orang lain (Shavelson, 2008).

(12)

Untuk menjadi siswa yang sukses tidak hanya dibidang akademik tetapi juga dibidang yang lain seperti kehidupan disekolah dan masyarakat diperlukan keyakinan diri yang tinggi. Siswa harus merasa yakin dengan apa yang akan dilakukan agar semua yang dikerjakan menjadi berhasil (Wicaksono, 2008).

Remaja yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan lebih aktif, berani, serta giat dalam berusaha dan menetapkan tujuan yang ingin mereka capai. Remaja yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan lebih memiliki keberanian dalam menetapkan tujuan yang ingin dicapai sehingga mempunyai prestasi akademik yang tinggi (Michaelides, 2008).

Setiap kehidupan manusia dihadapkan pada pembuatan keputusan-keputusan termasuk keputusan-keputusan untuk memilih pendidikan. Keputusan siswa masuk program akselerasi selain dipengaruhi oleh konselor sekolah, efikasi diri, juga dapat dipengaruhi oleh dukungan sosial. Individu membutuhkan dukungan sosial untuk berbagai persoalan yang dihadapinya. Dukungan sosial tersebut dapat berupa semangat, kepercayaan, keyakinan, kesempatan untuk bercerita, meminta pertimbangan, bantuan maupun nasehat guna mengatasi permasalahan yang dihadapi. Menurut Fusiler (Hartanti, 2002) dukungan sosial dapat menimbulkan penyesuaian yang baik dalam perkembangan kepribadian individu. Dukungan sosial sebagai informasi atau saran, bantuan nyata atau tindakan yang memiliki efek emosional yang berguna bagi penerimanya. Dukungan yang diterima akan memiliki arti bila dukungan itu bermanfaat dan sesuai dengan situasi yang ada (Armstrong, 2005). Dukungan yang diberikan oleh keluarga, teman dan sahabat

(13)

serta lingkungan sekitar diharapkan akan meningkatkan keyakinan belajar siswa terhadap jurusan yang telah diambil.

Dukungan sosial bisa didapatkan dari berbagai sumber. Menurut Koentjoro (2003) dukungan sosial bersumber antara lain: orangtua, saudara kandung, anak-anak, kerabat, pasangan hidup, sahabat, rekan kerja, atau juga dari tetangga. Dukungan tersebut biasanya diinginkan dari orang-orang yang signifikan seperti keluarga, saudara, guru, dan teman, dimana memiliki derajat keterlibatan yang erat.

Sarason (Hartanti, 2002) mendefinisikan dukungan sosial sebagai suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu, yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, dari interaksi ini individu menjadi tahu bahwa orang lain memperhatikan, menghargai dan mencintai dirinya. Dukungan sosial diharapkan mampu menunjang seseorang melalui tindakan yang bersifat membantu dengan melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan materi dan penilaian positif pada individu atas usaha yang telah dilakukannya. Dukungan sosial inilah nanti yang diharapkan membantu individu memiliki motivasi yang tinggi bagi siswa lebih yakin dengan keputusan masuk sekolah akselerasi yang telah diambil..

Namun demikian, pengembangan percepatan belajar, baik melalui program pemerintah atau perbaikan sistem belajar tidak akan berhasil dengan optimal. Seyogyanya pada jenjang SMP diperlukan program bimbingan karir, agar siswa SMP dan para orang tua memahami tersedianya sekolah pilihan pada jenjang

(14)

SMA yang tidak kalah pentingnya dalam menjalani kehidupan bagi anak yang underchiver.

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena melihat pada kondisi atau kenyataan pada masa sekarang banyak kesenjangan yang terjadi di sekolah SMA akselerasi, dimana siswa akselarasi dinilai sebagai anak elitis, sombong, angkuh, yang mana hal itu muncul karena kurangnya waktu bagi mereka untuk bersosialisasi. Selain itu pada kelas akselerasi tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran sesuai dengan kurikulum, banyak dari mereka yang merasa sangat terbebani dan akhirnya nilai mereka dibawah anak-anak kelas reguler. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu menelaah secara empiris bagaimana keterkaitan variabel-variabel yang mempengaruhi keputusan masuk sekolah akselerasi. Penelitian ini menggunakan variabel peran konselor sekolah, efikasi diri dan dukungan sosial sebagai prediktor untuk memprediksikan keputusan masuk sekolah akselerasi agar dapat dipandang dari sudut atau aspek yang berimbang yaitu aspek internal (efikasi diri) dan eksternal (peran konselor sekolah,dan dukungan sosial).

Berdasarkan rumusan masalah tersebut peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Keputusan siswa masuk kelas akselerasi ditinjau dari peran konselor sekolah, efikasi diri, dan dukungan sosial”.

(15)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti mengajukan rumusan masalah sebagai berikut: “Apakah ada hubungan antara peran konselor sekolah efikasi diri (self efficacy) dan dukungan sosial terhadap keputusan siswa masuk kelas akslerasi?”

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui hubungan antara peran konselor sekolah dengan keputusan siswa masuk kelas akselerasi.

2. Untuk mengetahui hubungan antara efikasi diri dengan keputusan siswa masuk kelas akselerasi.

3. Untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan keputusan siswa masuk kelas akselerasi.

4. Untuk mengetahui sumbangan atau peranan konselor sekolah, efikasi diri dan dukungan sosial terhadap keputusan siswa masuk kelas akslerasi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan dapat memberikan manfaat yang dapat dilihat dari dua segi yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi disiplin ilmu psikologi, terutama psikologi pendidikan mengenai keterkaitan antara peran

(16)

konselor sekolah efikasi diri dan dukungan sosial dengan keputusan masuk sekolah akselerasi serta dapat menjadi bahan perbandingan bagi peneliti yang meneliti tentang peran konselor sekolah, efikasi diri, dukungan sosial maupun keputusan masuk kelas akselerasi .

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

a. Kepala sekolah

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi menggenai peran konselor sekolah, efikasi diri dan dukungan sosial dengan keputusan masuk akselerasi sehingga pimpinan dapat mengambil kebijakan-kebijakan akademis yang tepat sebagai upaya mengembangkan secara optimal potensi anak.

b. Bagi Siswa

Penelitian ini memberikan informasi tentang peran konselor sekolah, efikasi diri dan dukungan sosial dengan keputusan masuk kelas akselerasi , sehingga siswa akan lebih mantap dan yakin dengan pilihan yang diambil dan dapat mengoptimalkan semua kemampuan yang dimiliki dan memanfaatkan fasilitas dan sarana yang disediakan oleh pihak sekolah, sehingga siswa dapat menjalankan kewajibannya dengan keyakinan akan kemampuan dirinya.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian berkaitan dengan konselor sekolah, efikasi diri, dukungan sosial dan keputusan masuk akselerasi, antara lain pernah dilakukan oleh. Barliana (2009) tentang perencanaan passion pada siswa, dinyatakan bahwa

(17)

tidak semua lembaga pendidikan memberikan dan menyiapkan layanan bimbingan dan konseling pada masa pra sekolah (TK) dan sekolah dasar (SD). Padahal, passion siswa sudah dapat dipupuk sejak usia dini, sejak siswa mengenal berbagai aktivitas nyata. Mempertimbangkan mungkin ditemukan beberapa hambatan dalam koordinasi secara periodik tampaknya model sistem yang diajukan akan lebih sesuai bagi lembaga pendidikan yang berkesinambungan dalam satu payung atau yayasan, yaitu lembaga pendidikan yang menyediakan layanan pendidikan mulai usia pra sekolah sampai tingkat sekolah menengah atas. Selanjutnya penelitian tentang efikasi diri yang dilakukan oleh Zukaidah dkk (2007) menyatakan bahwa pengaruh yang signifikan dari Efikasi Diri Pemilihan Karir dan Locus of Control terhadap Kematangan Karir siswa SMA. Secara sendiri sendiri Efikasi Diri Pemilihan Karir tidak memiliki pengaruh yang signifikan, sedangkan Locus of Control memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kematangan Karir. Hal ini dapat dijelaskan, untuk mencapai kematangan karir, keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu memilih karir saja tidak cukup. Karena untuk mencapai kematangan karir, yang meliputi pengetahuan diri, pengetahuan tentang pekerjaan dan kemampuan merencanakan langkah-langkah karir, diperlukan usaha individu mengambil tindakan-tindakan yang tepat, tidak hanya bersifat kognitif, dalam bentuk keyakinan diri. Didukung oleh penelitian Suprawati (2006) yang memaparkan tidak adanya perbedaan prestasi matematika antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memang mengarah pada kesimpulan bahwa pelatihan efikasi diri tidak berpengaruh dalam meningkatkan prestasi matematika. Masih berkaitan dengan efikasi diri Slanger dan Rudestam

(18)

(1997) pada penelitian tentang mencari sensasi dan efikasi diri menyatakan bahwa kecenderungan mencari sensasi dan efikasi diri dapat berpengaruh terhadap pengambilan risiko. Hal ini dapat dipahami bahwa orang yang memiliki efikasi diri tinggi sudah memahami segala risiko yang diambil.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar di atas, akan diteliti faktor yang berasal dari dalam diri (intern) siswa yaitu motivasi

Sumber data sekunder yang dimaksud berupa buku dan laporan ilmiah primer atau asli yang terdapat di dalam artikel atau jurnal (tercetak dan/atau non-cetak)

Kota Dalam Provinsi, Angkutan Kota dan Angkutan Perdesaan. Terminal penumpang tipe B, berfungsi melayani kendaraan umum untuk Angkutan Antar Kota dalam Provinsi, Angkutan Kota

Berdasarkan hal tersebut di atas diperoleh hasil bahwa pada tanah jenis lempung berdebu memiliki zat organik yang lebih rendah dari tanah berliat dan juga karena

atau amatir yang semakin berani untuk menjelajahi fungsi-fungsi lain yang bisa didapatkan dengan sebuah Antenna Yagi yang terkenal dengan gain-nya yang tinggi,

KELOPAK BUNGA ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) DENGAN BASIS MANITOL (Pengaruh Kadar Pengikat HPMC 2910 3 cps Terhadap Mutu Fisik Tablet)” ini, perkenankanlah saya mengucapkan

Tahun 2015” menyatakan bahwa hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) profitabilitas memiliki pengaruh negatif dan signifikan pengaruh terhadap struktur modal, (2)

Presiden Joko Widodo menginginkan kegiatan karnaval Kemerdekaan menjadi agenda tahunan, Hal ini dikatakannya saat menghadiri karnaval dan pesta rakyat yang bertajuk