• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

16 2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini menjelaskan dua hal, yaitu (a) pendapat para ahli tentang tindak tutur mengkritik beserta seluk-beluknya melalui kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya, baik berdasarkan latar belakang budaya Jawa maupun latar belakang budaya lain di dunia, (b) gambaran mengenai posisi penelitian ini dalam kaitannya dengan penelitian terdahulu.

2.1.1 Kajian Tindak Tutur Mengkritik Terdahulu

Sampai penelitian ini dilaksanakan, kajian tentang tindak tutur mengkritik dalam konteks masyarakat Jawa atau etnik-etnik lain di Indonesia (yang berbeda-beda latar belakang budayanya) tampaknya belum banyak dilakukan oleh para ahli. Hal ini terbukti dari tulisan-tulisan mereka yang secara kuantitatif menunjukkan angka yang tidak signifikan. Dari penelusuran pustaka yang dilakukan, pakar yang pernah mengkaji tindak tutur mengkritik dalam konteks masyarakat Jawa ( namun tidak dikhususkan pada subkultur tertentu dan tidak ditekan pada fungsinya sebagai sarana kontrol sosial) adalah Gunarwan (1996). Pakar lain selain Gunarwan tidak ditemukan. Bahkan, kajian tentang tindak tutur mengkritik yang dilakukan terhadap etnik-etnik lain di Indonesia (Madura, Batak, dan lain-lain) juga tidak ditemukan. Yang ditemukan adalah kajian tentang tindak tutur mengkritik dalam masyarakat Vietnam, China, dan lain-lain sebagaimana yang dilakukan oleh Tracy, et.al. (1987), Tracy dan Eissenberg (1990), Wajnryb (1993), Toplak dan Katz (2000), Nguyen (2005), dan Hoang Thi Xuang Hoa (2007). Bagaimana pandangan para pakar tersebut tentang kritik, berikut dipaparkan secara garis besar.

Gunarwan (1996) mengkaji tindak tutur mengkritik dalam bahasa Jawa dalam bentuk makalah. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasannya itu ialah melihat bagaimana tindak tutur mengkritik direalisasikan dalam masyarakat Jawa, strategi-strategi seperti apa yang pada umumnya digunakan, apakah variabel umur, pendidikan, dan dialek memberikan warna terhadap pemilihan strategi kritik. Metode yang digunakan oleh Gunarwan adalah metode kuantitatif dengan mengambil responden dari Jawa Timur dan Jawa Tengan sebanyak 142 responden. Dilihat dari jenis kelaminnya,

(2)

dari 142 responden itu, 63 perempuan dan 79 laki-laki. Dilihat dari usianya, usia 20 ke bawah =14 orang, usia 21-30 48= orang, usia 31-40= 50 0rang, usia 41-50= 14 0rang, dan usia di atas 50= 16 0rang. Dilihat dari segi pendidikan, 35 orang SMA, 34 diploma, 54 orang S1, dan 19 orang master atau doktor. Dilihat dari segi dialek, 31 penutur dari Jawa Timur dan 111 penutur dari Jawa tengah.

Parameter yang digunakan ada tiga hal, yaitu (a) ± power (kekuasaan), (b) ± solidaritas, dan c) ± formalitas. Ketiga parameter ini kemudian dijabarkan menjadi delapan situasi hipotesis, yaitu (1) +P-S+F, (2) +P+S+F, (3) –P-S+F, (4) –P+S+F, (5) +P-S-F, (6) +P+S-S, (7) –P-S-F, (8) –P+S-F. Teori utama yang diacu oleh Gunarwan adalah teori Brown dan Levinson (1987) tentang strategi bertutur.

Berdasarkan kajiannya itu, Gunarwan memperoleh hasil sebagai berikut. Pertama, strategi kritik yang paling tinggi skornya di antara kelima strategi yang ada-- berarti strategi yang paling banyak digunakan di kalangan masyarakat Jawa-- adalah strategi terus terang plus kesantunan negatif. Skor di bawahnya adalah strategi terus terang dengan kesantunan positif. Skor di bawahnya lagi secara berturut-turut adalah strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka, strategi samar-samar, dan yang paling rendah skornya adalah strategi bertutur dalam hati. Skor yang dimaksud adalah skor rata-rata untuk semua situasi. Terhadap gradasi ini, Gunarwan menilai strategi kritik dalam hati, strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka, dan strategi samar-samar mendapat angka yang kecil barangkali karena situasi yang disodorkan adalah situasi hipotesis, bukan situasi yang nyata atau konkret.

Kedua, dari segi usia, ada kecenderungan kelompok usia muda lebih suka menggunakan strategi kritik yang langsung (strategi terus terang, tanpa upaya penyelamatan muka (bald on record) daripada kelompok usia tua. Kecenderungan ini tampak jelas apabila perbedaan usia itu kita lihat dalam rentang waktu kurang lebih satu generasi, misalnya usia 20 tahun ke bawah dan usia 41 tahun ke atas. Kecenderungan ini, menurut Gunarwan, menunjukkan adanya pergeseran nilai sosiokltural (termasuk nilai kesantunan) yang sedang berlangsung dalam masyarakat Jawa.

Ketiga, dari segi pendidikan, ada kecenderungan di kalangan masyarakat Jawa semakin tinggi pendidikan, semakin jarang menggunakan strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka. Hal ini terlihat jelas dari perbandingan kelompok pendidikan SMA dan kelompok pendidikan S2 atau S3. Kelompok pendidikan SMA

(3)

cenderung menggunakan strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka, sedangkan kelompok pendidikan S2/S3 cenderung menghindari strategi tersebut.

Keempat, dari segi dialek, Gunarwan memperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok penutur dari Jawa Timur dan kelompok penutur dari Jawa Tengah dalam hal pemilihan strategi. Perbedaannya hanyalah terletak pada skor penggunaan strategi terus terang dengan kesantunan negatif dan strategi terus terang dengan kesantunan positif, penutur dari Jawa Tengah skornya lebih tinggi daripada penutur dari Jawa Timur. Implikasinya adalah penutur dari Jawa Tengah cenderung lebih santun daripada penutur dari Jawa Timur.

Tracy et.al (1987) mengungkapkan penelitiannya tentang karakteristik kritik yang baik dan yang tidak baik dalam latar belakang budaya yang berbeda-beda. Penelitiannya itu menggunakan kuesioner yang bersifat terbuka. Menurutnya, ada lima hal yang menandai sebuah kritik yang baik. Pertama, kritik yang baik hendaknya dikemukakan dengan bahasa yang positif dan cara yang baik. Kedua, perubahan-perubahan yang disarankan hendaknya cukup spesifik dan pelaku kritik hendaknya menawarkan bantuan untuk membuat perubahan itu menjadi mungkin. Ketiga, Alasan mengapa kritik itu disampaikan harus dapat dibenarkan dan dibuat eksplisit. Keempat, kritik itu hendaknya dikompensasikan dengan pesan positif yang lebih besar. Kelima, kritik yang baik menggunakan strategi yang tepat dan tidak mengganggu hubungan harmonis antara pelaku kritik dan penerima kritik.

Sementara itu, Wajnryb (1993) mengemukakan kritik yang efektif di antara guru guru dan murid. Menurutnya, kritik yang efektif di antara guru-murid di kelas hendaknya dikemukakan secara sederhana, spesifik, berlatarbelakangkan pelajaran, berkaitan dengan strategi perbaikan, dan disampaikan sebagai upaya berbagi pengalaman. Kritik yang efektif juga perlu diperlunak dengan sejumlah strategi. Strategi ini di antaranya adalah „mengukur kata-kata yang digunakan‟ untuk menghindari sesuatu yang terlalu negatif, berpijak pada kata-kata yang lunak (soft-pedaling), misalnya menggunakan modifikasi internal dan eksternal untuk mengurangi ketajaman kritik, menggunakan bahasa yang bernada setuju, seperti pesan yang menyenangkan, menjaga jarak dan bersikap netral (tidak menyebut nama dalam kritik), dan menggunakan bahasa yang negosiatif untuk menghindari paksaan terhadap petutur. Untuk menyelamatkan muka murid, seorang guru hendaknya menyampaikan kritik itu

(4)

secara tidak langsung dan didekati melalui orang ketiga. Menariknya adalah apa yang dikemukakan Wajnryb itu ternyata bertentangan dengan apa yang diharapkan oleh murid. Hal ini diketahui dari studi kasus yang dilakukan Wajnryb sendiri tahun 1995. Murid-murid justru lebih suka kritik itu disampaikan secara langsung dan ekonomis daripada disampaikan secara tidak langsung, berputar-putar, dan menghabiskan waktu.

Tracy & Eissenberg (1990) mengkaji preferensi kejelasan pesan dan kesantunan di dalam memberikan kritik dalam konteks lokasi kerja di antara orang-orang dari ras dan gender yang berbeda. Mereka menemukan bahwa orang-orang yang statusnya superior cenderung memberikan kritik secara lebih jelas daripada orang-orang yang termasuk kategori subordinat. Akan tetapi, preferensinya bervariasi menurut gender dan ras. Misalnya, perempuan pada umumnya lebih memperhatikan muka daripada laki-laki. Dari segi ras, orang-orang kulit putih pada umumnya lebih memperhatikan muka positif (keinginannya disetujui atau diterima oleh yang lain) daripada orang-orang bukan kulit hitam.

Nguyen (2005) melakukan penelitian tentang tindak tutur kritik dan respon terhadap kritik dalam bahasa Inggris sebagai bahasa kedua bagi mahasiswa-mahasiswa Vietnam yang sedang melakukan studi di universitas di Australia. Nguyen ingin memahami apakah pelajar-pelajar Vietnam tersebut melakukan kritik dan memberikan respon terhadap kritik dengan cara-cara yang berbeda bila dibandingkan dengan penutur asli bahasa Inggris di Australia. Karena yang menjadi sasaran kajian adalah mahasiswa, maka latar kajiannya dikhususkan pada latar akademik (academic setting).

Ada empat masalah yang ingin dijawab oleh Nguyen dalam penelitiannya itu, yaitu (a) menyangkut perbedaan dalam hal melakukan kritik dan memberikan respon terhadap kritik antara mahasiswa Vietnam dengan penutur asli bahasa Inggris di Australia, (b) perkembangan pragmatik para mahasiswa dari berbagai level dalam melakukan kritik dan respon terhadap kritik, (c) pragmatik transfer yang terlihat ketika para mahasiswa Vietnam tersebut melakukan kritik dan memberikan respon terhadap kritik, dan (d) faktor-faktor yang memengaruhi para mahasiswa Vietnam memilih strategi kritik dan respon terhadap kritik.

Berdasarkan analisis data yang dilakukan Nguyen, ditemukan bahwa pelajar-pelajar Vietnam di Australia ternyata melakukan kritik dan memberikan respon terhadap kritik dengan cara-cara yang sangat berbeda dengan penutur asli bahasa Inggris di

(5)

Australia. Pelajar-pelajar Vietnam itu cenderung mengemukakan kritik secara tidak langsung, sedangkan penutur asli bahasa Inggris di Australia cenderung mengungkapkan kritik secara langsung dan sedikit sekali yang mengungkapkan scara tidak langsung. Yang menarik adalah kritik yang diungkapkan secara tidak langsung oleh mahasiswa Vietnam itu tidak berarti lebih santun menurut norma budaya Australia. Hal ini disebabkan mahasiswa Vietnam sering menerapkan kritik tidak langsung itu secara ofensif seperti “menuntut”, yang memberikan kesan bahwa penutur mendikte perilaku petutur. Di samping menuntut, kritik yang diungkapkan juga terkesan “menasihati”yang menekankan ruang pribadi.

Dalam hal perkembangan pragmatik, Nguyen menemukan bahwa para mahasiswa Vietnam cenderung memitigasi kritiknya dengan internal modifier untuk memperlunak daya sengat kritik. Penggunaan modifier ini sangat tinggi khususnya oleh mahasiswa dari kelas advance melebihi mahasiswa dari kelas intermediate dan pemula. Akan tetapi, penggunaan modifier ini tidak banyak ditemukan ketika mereka memberikan respon terhadap kritik.

Ketika memberikan respon terhadap kritik, mahasiswa Vietnam lebih sering mengekspresikan ketidaksetujuan dan sedikit sekali yang mengekspresikan persetujuan terhadap kritik yang disampaikan atas dirinya. Hal ini berbeda dengan penutur asli bahasa Inggris di Australia yang lebih sering mengekspresikan persetujuan daripada ketidaksetujuan. Ketika mahasiswa Vietnam itu mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap kritik yang disampaikan, ternyata ketidaksetujuan itu juga diungkapkan dengan cara yang tidak sama dengan penutur asli di Australia. Mahasiswa Vietnam cenderung mengungkapkan secara langsung bahwa kritik yang disampaikan itu tidak benar. Mereka percaya pada pendapatnya sendiri, mengklaim kebebasan berpikir, menentang kritik, dan bahkan mempertanyakan validitas kritik yang disampaikan. Di samping itu, mahasiswa Vietnam tidak banyak menggunakan modifier dan pagar untuk mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap kritik, tidak seperti yang dilakukan oleh penutur asli di Australia.

Dalam hal penggunaan strategi kritik dan formula semantik kritik, ketiga kelompok mahasiswa tersebut tidak memperlihatkan adanya perbedaan. Hanya saja, mahasiswa dari level advance lebih bisa menggunakan alat-alat linguistik yang bervariasi untuk merealisasikan strategi dan formula semantik kritik. Menurut Nguyen,

(6)

betapapun para mahasiswa itu memiliki perkembangan pragmatik yang sangat bagus, tetapi mereka tidak akan bisa memiliki kompetensi pragmatik seperti penutur asli.

Dalam hal pragmatik transfer, Nguyen menemukan bahwa terdapat pengaruh dalam hal strategi untuk merealisasikan kritik dan respon terhadap kritik. Contoh, karena menurut budaya Vietnam, menasihati (advice) atau menuntut (demand) sering digunakan untuk menunjukkan perhatian, ketulusan, dan keramahan, maka para mahasiswa Vietnam itu cenderung menerapkan kedua formula tersebut ketika melakukan kritik. Karena memberikan argumentasi juga sah-sah saja dalam budaya Vietnam, maka para mahasiswa juga cenderung menolak kritik secara penuh tanpa sadar bahwa perilakunya itu menyebabkannya menjadi mitra tutur yang tegas apabila dilihat dari perspektif budaya Barat.

Pengaruh itu juga ditemukan dalam hal penggunaan modifier sintaktis seperti modal dan past tense. Mahasiswa Vietnam jarang menggunakan modifier ini karena dua hal. Pertama, Mereka sangat percaya bahwa argumentasi yang dikemukakan itu lebih meyakinkan daripada pemberian pagar dan karena itu mereka sering tidak memagari pendapat-pendapatnya. Kedua, bahasa Vietnam tidak memiliki modalitas sebagaimana dalam bahasa Inggris. Sebagai akibatnya, modalitas diganti dengan bentuk leksikal yang mirip dengan kata Inggris appealer. Itulah sebabnya, mahasiswa Vietnam cenderung tidak menggunakan modifier sintaktis sebagaimana penutur asli bahasa Inggris.

Hal terakhir yang ditemukan Nguyen dalam penelitiannya adalah mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan strategi kritik dan formula semantiknya. Pertama, pemilihan strategi itu dipengaruhi oleh pengetahuan pragmatik bahasa kedua mereka yang belum lengkap. Mereka beranggapan bahwa melakukan kritik dengan nada menuntut dan menasihati itu secara pragmatik tepat untuk bahasa kedua. Mereka juga beranggapan bahwa sikap tidak setuju yang dikemukakan secara langsung itu cocok untuk bahasa kedua karena penutur asli bahasa Inggris biasanya lebih menyukai sesuatu yang langsung. Padahal, meskipun langsung, penutur asli banyak menggunakan modalitas, sedangkan mahasiswa Vietnam mengabaikan modalitas.

Faktor kedua yang mempengaruhi pemilihan strategi adalah pengaruh kaidah pragmatik bahasa pertama kepada bahasa kedua. Mengapa mahasiswa Vietnam cenderung menggunakan formula menuntut dan menasihati ketika melakukan kritik dan mengapa mereka cenderung menolak kritik secara penuh adalah karena dipengaruhi

(7)

oleh kaidah pragmatik bahasa pertama. Faktor ketiga yang mempengaruhi strategi terjadi dalam komunikasi yang sifatnya spontan. Dalam komunikasi yang spontan seperti itu, mereka lebih berpikir tentang kejelasan pesan. Faktor lain yang juga memengaruhi pemilihan strategi kritik adalah faktor seperti instruksi dosen, percakapan dosen, buku teks, dan berbagai sumber seperti media atau teman sekelas. Semua itu bisa mempengaruhi pemilihan strategi atau realisasi struktur. Mereka sering menyampaikan ungkapan “You should” untuk nasihat, di samping dipengaruhi oleh bahasa pertama, juga diperkuat oleh instruksi dosen. Para dosen sering menggunakan ungkapan ini untuk melakukan kritik atau memberikan umpan balik atau mengoreksi kesalahan teman sekelas mereka. Penggunaan kata must untuk melakukan tuntutan juga dipengaruhi oleh buku teks. Menyatakan tidak setuju secara langsung dipengaruhi oleh teman sekelas mereka.

MIN Chang-chao (2008) mengkaji perbedaan tindak tutur kritik dalam masyarakat Cina dan masyarakat penutur bahasa Inggris. Dalam kajiannya itu dijelaskan bahwa tindak tutur mengkritik dapat mengandung berbagai macam tipe tindakan seperti deklarasi, representatif, dan ekspresif. Hal ini menyiratkan bahwa tindak tutur mengkritik juga dipandang sebagai tindak tutur kompleks. Dia membedakan tindak tutur mengkritik menjadi dua kategori, yaitu kritik langsung dan kritik tidak langsung. Kritik langsung disebutnya sebagai ekspresi langsung tentang evaluasi negatif tanpa reservasi. Penutur langsung menunjukkan kesalahan petutur dan langsung menuntut perbaikan. Kritik langsung bersifat sangat eksplisit, maksud kritik terlihat jelas sehingga tidak menimbulkan salah pengertian. Kritik langsung sangat mencoreng muka positif petutur. Kritik langsung ini disebutnya on record criticism. Sementara itu, kritik tidak langsung berarti daya ilokusi kritik itu diungkapkan melalui performansi tindak tutur yang lain. Maksud kritik yang sebenarnya disembunyikan sehingga muka petutur dapat diselamatkan beberapa derajat. Kritik tidak langsung ini dipandang sebagai kritik yang efektif dan berterima dengan hasil yang positif. Akan tetapi, tidak berarti bahwa kritik tidak lansung daya ilokusinya lebih rendah dibandingkan dengan kritik langsung. Kadang-kadang kritik tidak langsung justru lebih tinggi daya ilokusinya daripada kritik langsung.

Dalam kajiannya itu MIN Chang-chao berpijak pada hasil penelitian yang dilakukan sarjana sebelumnya, yaitu WU Shu-qiong (2004) dan ZHU Xiang-yan (2004).

(8)

WU Shu-qiong menemukan bahwa lebih dari 50% orang Cina menggunakan strategi kritik tidak langsung seperti depersonalisasi, isyarat, subjektiviser, dan strategi kebijaksanaan yang merakyat (folk wisdom strategies). Sementara itu, ZHU Shiang-yan menemukan bahwa lebih dari 57.14% orang asing (barat) menerapkan strategi kritik langsung. Dari hasil penelitian dua orang ini, MIN Chang-chao mengambil kesimpulan bahwa masyarakat Cina cenderung menggunakan strategi kritik tidak langsung, sedangkan orang Barat cenderung menggunakan strategi kritik langsung.

Mulac, et.al. (2000) mengkaji kritik di kalangan para profesional dan manager laki-laki dan perempuan. Kajian ditekankan pada perbedaan penggunaan bahasanya dan efeknya. Dalam kajiannya itu, kritik dikonseptualisasikan sebagai evaluasi negatif tentang berbagai aspek dari seorang individu yang disampaikan oleh pihak lain. Kritik yang diekspresikan sangat bergantung pada beberapa hal, yaitu hubungan antara pelaku kritik dan penerima kritik, konteks, sifat masalah (the nature of the problem), atau topik kritik (topic of the criticism), dan gender dari pelaku kritik. Hasil kajiannya itu menunjukkan bahwa kaum perempuan dari kalangan profesional dan manager menengah pada umumnya menggunakan ciri-ciri bahasa yang mirip dengan ciri-ciri bahasa kaum laki-laki, yaitu lebih langsung. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya (Tracy dan Eisenberg, 1990/1991) bahwa kaum laki-laki pada umumnya melakukan kritik dengan strategi yang lebih langsung daripada kaum perempuan. Akan tetapi, kaum perempuan yang menempati posisi superordinat pada umumnya melakukan kritik dengan strategi yang lebih langsung daripada ketika mereka menempati posisi subordinat.

Hoang Thi Xuang Hoa (2007) mengkaji dan membandingkan perilaku kritik dalam masyarakat Vietnam dan Amerika. Kajian ditekankan pada berbagai faktor sosial yang memengaruhi strategi kritik, topik kritik, dan frekuensi kritik. Berdasarkan kajiannya itu, ditemukan bahwa dalam masyarakat Vietnam, faktor yang sangat penting dan menjadi pertimbangan utama dalam melakukan kritik adalah faktor tujuan kritik. Mereka tidak ragu-ragu melakukan kritik kepada siapa pun. Mereka juga tidak perduli dengan efek buruk yang timbul akibat kritik. Yang penting bagi mereka adalah kritik itu dilakukan dengan tujuan yang baik, yaitu memperbaiki kesalahan. Urutan kedua yang menjadi pertimbangan penting dalam melakukan kritik adalah umur atau usia. Menurut kepercayaan masyarakat tradisional Vietnam, umur diyakini memiliki kaitan dengan

(9)

pengalaman, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Oleh karena itu, umur harus ditempatkan pada derajat kehormatan tertentu. Faktor ketiga yang menjadi pertimbangan penting adalah bobot pelanggaran (severity of offence). Bagaimana orang Vietnam melakukan kritik bergantung pada bobot pelanggarannya. Urutan keempat yang menjadi pertimbangan adalah faktor tempat (setting). Bagi orang Vietnam, faktor tempat ini tampaknya tidak terlalu menjadi pertimbangan penting karena hanya menempati urutan keempat. Orang Vietnam tidak terlalu menaruh perhatian di mana kritik itu dikemukakan. Yang menarik adalah faktor power dan social distance hanya menempati urutan kelima dan keenam. Hal ini berarti bahwa orang Vietnam tidak begitu memiliki beban untuk melakukan kritik kepada orang yang power-nya lebih tinggi atau kepada orang yang tidak dikenal. Faktor terakhir yang menjadi pertimbangan adalah faktor efek kritik. Faktor efek ini menempati urutan terendah sehingga orang Vietnam tidak merasa khawatir akan efek buruk yang timbul akibat kritik.

Sebaliknya, dalam masyarakat Amerika, faktor yang justru menjadi pertimbangan sangat penting ketika melakukan kritik adalah faktor tempat kritik (setting of criticism). Privasi diyakini memiliki nilai yang sangat penting. Oleh karena itu, ketika melakukan kritik, mereka lebih suka menyampaikannya secara pribadi dan tidak di tempat publik. Bagi orang Amerika, mengkritik di tempat publik sangat mengancam muka penerima kritik. Urutan kedua yang menjadi pertimbangan adalah faktor distance. Bagaimana orang Amerika melakukan kritik sangat dipengaruhi oleh social distance antara pelaku kritik dan penerima kritik. Sementara itu, efek kritik dan bobot kritik menempati urutan ketiga dan keempat. Urutan berikutnya yang menjadi pertimbangan adalah umur, di bawahnya lagi adalah status petutur, dan pertimbangan yang paling rendah adalah gender.

Sementara itu, berkenaan dengan topik kritik diperoleh perbandingan sebagai berikut. Dalam masyarakat Vietnam, yang paling sering menjadi topik kritik adalah (a) perilaku di rumah, (b) perilaku di tempat publik, (c) perilaku di tempat kerja, (d) hasil pekerjaan rumah, (e) penampilan, (f) pilihan dalam hidup sehari-hari, (g) sikap hidup, (h) pandangan politik. Dalam pada itu, dalam masyarakat Amerika, yang paling sering menjadi topik kritik adalah (a) perilaku di tempat publik, (b) pilihan dalam hidup sehari-hari, (c) sikap hidup, (d) penampilan, (e) perilaku di tempat kerja, (f) hasil pekerjaan rumah, dan (g) hasil kerja.

(10)

Berkenaan dengan frekuensi kritik, terdapat kesamaan antara orang Vietnam dan orang Amerika. Pertama, dalam kedua kelompok tersebut yang paling sering menjadi sasaran kritik adalah teman dekat dan anggota keluarga, menyangkut berbagai topik yang disebutkan di atas. Sementara itu kenalan, kolega di kantor, bos dan superordinat frekuensinya lebih rendah. Hal ini dapat dipahami, mengkritik orang yang memiliki hubungan yang tidak terlalu dekat resikonya lebih besar, karena itu harus dilakukan dengan hati-hati. Kedua, dalam kedua kelompok masyarakat tersebut, mengkritik orang yang posisinya lebih tinggi relatif jarang dilakukan. Di samping kesamaan, terdapat juga perbedaan. Pertama, perbedaan itu menyangkut frekuensi secara umum. Orang Vietnam secara umum lebih sering melakukan kritik daripada orang Amerika. Kedua, orang Vietnam lebih sering mengkritik istri atau suami daripada mengkritik saudara kandung. Sementara orang Amerika, lebih sering mengkritik saudara kandung daripada mengkritik istri atau suami.

2.1.2 Posisi Penelitian Ini dalam Kaitannya dengan Penelitian Terdahulu

Seksi ini menjelaskan bagaimana posisi penelitian ini dalam kaitannya dengan penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar sebelumnya. Sebagaimana dapat disimak pada seksi 2.1.1 di atas, penelitian tentang tindak tutur mengkritik yang sedang dilaksanakan ini bukanlah penelitian yang pertama kali dilakukan, tetapi sebelumnya tindak tutur ini sudah pernah dikaji oleh sejumlah pakar. Walaupun demikian, penelitian yang sedang dilaksanakan ini tentu tidak dimaksudkan untuk mengulangi penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya karena penelitian ini memiliki sejumlah perbedaan penekanan atau pun perbedaan aspek kajian bila dibandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu. Dalam kaitannya dengan penelitian-penelitian Gunarwan (1996), misalnya, meskipun memiliki kemiripan dalam hal latar belakang budaya masyarakat yang diteliti, yaitu masyarakat Jawa, namun penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian Gunarwan tersebut. Perbedaan itu menyangkut beberapa hal. Pertama, perbedaan itu menyangkut metode penelitian. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sedangkan Gunarwan menggunakan metode kuantitatif. Perbedaan metodologi ini tentu membawa implikasi terhadap proses pelaksanaan penelitian di lapangan. Kedua, penelitian Gunarwan mencakup wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Cakupan ini dipandang terlalu luas dan mengabaikan berbagai macam latar belakang subkultur yang terdapat dalam masyarakat Jawa. Akibatnya adalah hasil penelitian kurang spesifik dan kurang

(11)

mendalam, di samping tidak dapat mencerminkan representasi subkultur yang ada dalam masyarakat Jawa. Berdasarkan hal ini, penelitian ini hanya dikhususkan pada masyarakat Jawa Timur dengan subkultur budaya Arek. Dengan cakupan wilayah yang spesifik ini diharapkan, penelitian ini dapat dilaksanakan dengan hasil yang lebih komprehensif dan mendalam. Ketiga, konteks yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian Gunarwan. Penelitian ini menggunakan konteks yang ditentukan atas dasar parameter ± Power, ± Social Distance, dan ± Public, sedangkan Gunarwan menggunakan parameter ± Kekuasaan, ± Solidaritas, dan ± Formal. Perbedaan konteks ini tentu mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemilihan strategi-strategi kritik. Keempat, perbedaan itu menyangkut penekanan masalah penelitian. Gunarwan menekankan kajian pada apakah realisasi tindak tutur (strategi) kritik ada kaitannya dengan atau dipengaruhi oleh variabel umur, pendidikan, gender, dan dialek (Jawa Timur dan Jawa Tengah). Gunarwan tidak melihat bahwa kritik itu merupakan bentuk kontrol sosial. Padahal, melakukan kritik berarti melakukan kontrol. Oleh karena itu, kritik dalam penelitian ini dilihat atau dikaji sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai sarana kontrol sosial. Di samping itu, penelitian ini juga mencoba memahami aspek lain yang belum disentuh sebelumnya oleh Gunarwan, yaitu bahwa kritik dapat dikaji dari segi formula sematiknya, modifiernya, dan alat-alat kesantunan kritik yang lain.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh pakar lain seperti Tracy, et.al. (1987), Tracy dan Eissenberg (1990), Wajnryb (1993), Toplak dan Katz (2000), Nguyen (2005), dan Hoang Thi Xuang Hoa (2007) jelas berbeda dengan penelitian ini. Perbedaan yang paling penting adalah menyangkut latar belakang sosial dan budayanya. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan latar belakang masyarakat budaya Arek, sedangkan penelitian para ahli tersebut dilaksanakan berdasarkan latar belakang budaya China, Vietnam, Amerika, atau pun masyarakat penutur bahasa Inggris di Australia. Budaya kritik dalam berbagai masyarakat tersebut tentu berbeda dengan budaya kritik dalam masyarakat budaya Arek. Di samping itu, dalam berbagai kajian di atas, tidak terdapat satu pun yang mengkaji kritik dalam fungsinya sebagai sarana kontrol sosial dan tidak ada satu pun yang menekankan kajiannya pada aspek strateginya (berdasarkan parameter ±P, ±D, dan ±Pu), formula semantiknya, modifiernya, alat-alat kesantunan kritik lainnya.

(12)

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa penelitian ini memiliki posisi yang jelas dalam kaitannya dengan penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian ini mengkaji kritik dari perspektif yang berbeda. Kritik dikaji dan ditempatkan sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai sarana kontrol sosial. Di samping itu, penelitian ini juga memiliki sejumlah aspek yang belum terjamah oleh penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian yang sudah ada atau bahkan dalam aspek tertentu memperdalam penelitian yang sudah ada. Namun demikian, harus diakui bahwa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya itu telah memberikan wawasan dan dasar-dasar teoretis yang sangat berharga dalam proses pelaksanaan penelitian ini.

2.2 Landasan Teori

Bagian ini menjelaskan berbagai konsep teoritis penting yang relevan dengan penelitian ini, yaitu (1) Pragmatik, Sosiopragmatik, dan Pragmalinguistik (2) teori tindak tutur, (3) teori tentang kritik, (4) prinsip kerja sama, (5) implikatur percakapan, dan (6) teori kesantunan.

2.2.1 Pragmatik, Pragmalinguistik, dan Sosiopragmatik

Pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji penggunaan bahasa untuk berkomunikasi (Levinson, 1983: 5; Parker, 1986: 11; Leech, 1993: 1; Verschueren, 1999: 1). Kajian tentang bagaimana kritik itu diekspresikan merupakan kajian pemakaian bahasa untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, kajian kritik dalam penelitian ini termasuk dalam wilayah kajian pragmatik.

Pragmatik mempunyai dua sisi, yaitu (a) pragmalinguistik dan (b) sosiopragmatik. Pragmalinguistik merupakan satu sisi pragmatik yang lebih banyak mengkaji aspek-aspek linguistik. Pragmalinguistik mengkaji sumber-sumber linguistik tertentu yang disediakan oleh suatu bahasa untuk menyampaikan ilokusi-ilokusi tertentu. Pragmalinguistik banyak berhubungan dengan tata bahasa dalam bahasa tertentu (Leech, 1993: 15). Sebuah bahasa bisa menyediakan sumber linguistik yang khas yang mungkin agak berbeda dengan sumber-sumber linguistik dalam bahasa lainnya. Dalam bahasa Inggris, misalnya, terdapat modifier sintaktis yang berupa bentuk past tense dengan makna present tense untuk mengekspresikan kesantunan. Dalam bahasa Indonesia atau Jawa, sumber linguistik seperti itu tidak tersedia. Dalam

(13)

masyarakat budaya Arek, sumber linguistik yang digunakan untuk mengekspresikan kritik pada umumnya bersumber atau berasal dari bahasa Jawa Suroboyoan atau bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan tradisi komunikasi mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam bukunya yang mutakhir, Leech (2014) menambahkan bahwa pragmalinguistik berorientasi pada realisasi kesantunan linguistik yang bebas dari konteks (context-free). Pragmalinguistik mengkaji bagaimana kesantunan itu dimanifestasikan secara linguistik. Kesantunan request, misalnya, dalam bahasa Inggris bisa dimanifestasikan atau diekspesikan dengan menggunakan pertanyaan, modal auxiliaries (can/could), dan bentuk past tense (could alih-alih can). Pertanyaan, modal auxiliaries, dan bentuk past tense (could alih-alih can) ini merupakan sumber linguistik yang tersedia dalam bahasa Inggris untuk menyatakan kesantunan request.

Sebaliknya, sosiopragmatik merupakan sisi lain dari pragmatik yang mengkaji aspek-aspek pragmatik yang dikaitkan dengan atau didasarkan pada kebudayaan-kebudayaan tertentu dan masyarakat bahasa tertentu serta kondisi-kondisi sosial tertentu. Sosiopragmatik merupakan titik pertemuan antara sosiologi dan pragmatik (Leech, 1993). Dalam Leech (2014) dijelaskan bahwa sosiopragmatik berorientasi pada kesantunan sosial atau kesantunan kultural yang sensitif terhadap konteks (context-sensitive). Sosiopragmatik mempertimbangkan berbagai skala nilai yang membuat derajat kesantunan tertentu tampak tepat dan normal dalam latar sosial tertentu. Menurut Leech (2014), terdapat tiga skala nilai yang penting, yaitu (a) skala horizontal distance (social distance/solidarity) antara penutur dan petutur, (b) skala vertical distance (power) antara penutur dan petutur, dan (c) weightiness of transaction (rank of imposition). Ketiga skala ini akan memberikan pengaruh terhadap derajat kesantunan. Variasi seperti umur, gender, kelas sosial, dan lokalitas juga berpotensi berpengaruh terhadap kesantunan. Jadi, sosiopragmatik tidak banyak mengkaji sumber-sumber bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan kesantunan, tetapi lebih banyak berbicara mengenai skala nilai yang menyebabkan sebuah budaya menetapkan transaksi tertentu secara sosial lebih penting daripada yang lain.

Penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian yang cenderung bersifat sosiopragmatik karena kajian (kritik) didasarkan pada kondisi sosial tertentu, yaitu masyarakat Jawa dan didasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma budaya tertentu,

(14)

yaitu budaya Arek di Surabaya. Di samping itu, kesantunan dalam penelitian ini lebih berorientasi pada kesantunan sosial atau kesantunan kultural yang sensitif terhadap konteks (context-sensitive). Walaupun demikian, seperti dikatakan Leech (2014) kajian sosiopragmatik tidak terpisahkan dengan kajian pragmalinguistik. Hal ini disebabkan keduanya merupakan aspek dari pragmatik: satu aspek mengenai bahasanya dan satu aspek lainnya mengenai masyarakatnya. Kunci dari kajian mengenai kesantunan adalah menginvestigasi bagaimana kedua aspek pragmatik tersebut berinterkoneksi. Bagaimana sumber-sumber pragmalinguistik suatu bahasa diekspresikan sesuai dengan nilai budaya.

2.2.2 Teori Tindak Tutur

Teori tindak tutur yang penting dikemukakan meliputi (a) konsep tindak tutur, (b) tindak tutur performatif dan konstatif, (c) kondisi kelayakan tuturan performatif, (d) dekomposisi tindak tutur, dan (e) klasifikasi tindak tutur. Berikut dipaparkan satu per satu.

2.2.2.1 Konsep Tindak Tutur

Konsep tindak tutur bermula dari pandangan Austin dalam bukunya How to Do Thing with Words (1969). Dalam bukunya itu, Austin menjelaskan bahwa pada saat orang berbicara, orang tersebut sesungguhnya tidak hanya menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu. To say something is to do something. Untuk membuktikan pendapatnya itu, Austin (1962: 5) mengemukakan contoh seperti (1) berikut.

(1) a. Yes I do.

b. I name the ship the Queen Elizabeth

Tuturan (1a) di atas diucapkan oleh seorang calon pengantin pria dalam suatu upacara perkawinan. Ketika mengucapkan tuturan (1a) itu, pria tersebut tentu tidak sekedar menginformasikan kepada semua hadirin bahwa pada hari itu dirinya menikah, tetapi dengan ucapan itu dia juga melakukan suatu tindakan, yaitu tindakan menikah. Demikian juga halnya pada contoh (1b), penutur tidak sekedar menginformasikan bahwa ia telah memberi nama sebuah kapal, melainkan juga melakukan tindakan, yaitu tindakan memberi nama kapal. Inilah konsep dasar tindak tutur yang dikemukakan Austin bahwa mengatakan sesuatu sesungguhnya adalah juga melakukan sesuatu.

(15)

Sebelum Austin mengemukakan pendapatnya itu, para filosof, yang dipelopori oleh kaum neo-positivist, pada umumnya berpandangan bahwa mengatakan sesuatu hanyalah menginformasikan sesuatu. To say something is simply to state some factual information.

Menurut Searle (1971: 39), tindak tutur, sebagaimana yang dikemukakan Austin di atas, adalah unit minimal dalam komunikasi linguistik (Searle, 1971: 39). Dengan demikian, tindak tutur ini menjadi unit analisis terkecil dalam kajian pragmatik. Perlu ditegaskan bahwa tindak tutur tidak sama dengan kalimat. Tindak tutur bukanlah satuan lingual, sedangkan kalimat merupakan satuan lingual. Tindak tutur bukan merupakan bagian dari sistem bahasa, sedangkan kalimat merupakan bagian dari sistem bahasa. Kalimat dapat dianalisis menurut teori gramatika, sedangkan tindak tutur, menurut Searle (1969: 17), hanya dapat dianalisis berdasarkan teori tindakan. Teori tindak tutur merupakan bagian dari teori tindakan.

2.2.2.2 Tuturan Performatif dan Konstatif

Berkenaan dengan konsep tindak tutur, penting juga dikemukakan apa yang oleh Austin disebut sebagai tuturan performatif dan tuturan konstatif. Tuturan performatif adalah tuturan yang tidak sekedar digunakan untuk menyampaikan informasi faktual, melainkan juga digunakan untuk melakukan suatu tindakan. Karena digunakan untuk melakukan suatu tindakan, tuturan performatif tidak dapat dinilai benar atau salah. Tuturan pada (1a-b) di atas adalah contoh tuturan performatif (performative utterance). Kata kerja yang terkandung dalam tuturan performatif disebut kata kerja performatif. Tuturan performatif oleh Austin dibedakan menjadi dua macam, yaitu performatif eksplisit dan performatif implisit (Austin mengguunakan istilah primary performative untuk performatif implisit). Performatif eksplisit adalah ujaran performatif yang mengandung verba performatif yang menggambarkan jenis tindakan yang dilakukan. Sebaliknya, performatif implisit adalah ujaran performatif yang tidak mengandung verba performatif. Tuturan (2 a-c) berikut merupakan tuturan performatif eksplisit, sedangkan tuturan (3 a-c) merupakan tuturan performatif implisit.

(2) a. I sentence you to ten years in prison.

b. I promise to come to your talk tomorrow afternoon. c. I command you to surrender immediately.

(16)

b. How about going to New York on Saturday. c. Leave me alone, or I ll call the police.

Sementara itu, yang dimaksud tuturan konstatif adalah tuturan yang hanya digunakan untuk membut statemen atau menyampaikan informasi faktual, tidak untuk melakukan suatu tindakan. Tuturan (4a-b) berikut adalah contoh tuturan konstatif (dikutip dari Huang, 2007: 95).

(4) a. My daughter is called Elizabeth.

b. The children are Chasing squirrels in the park. c. Maurice Garin won the first Tour de France in 1903.

Karena tuturan konstatif hanya berisi statemen atau informasi faktual, maka tuturan konstatif harus dapat diverifikasi kebenarannya berdasarkan logika atau bukti empiris. Dalam tuturan (4a), misalnya, kalau saya pada kenyataannya memang mempunyai anak perempuan (daughter) dan anak perempuan saya itu bernama Elizabeth, maka tuturan (4a) di atas adalah tuturan yang benar. Akan tetapi, jika yang terjadi sebaliknya, maka tuturan (4a) di atas tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

Pembedaan tuturan menjadi performatif dan konstatif sebagaimana diuraikan di atas merupakan proses berpikir Austin di dalam upaya mengembangkan teori tindak tutur. Sebagai proses, gagasan Austin tentu tidak berhenti sampai di situ dan belum selesai hingga akhirnya Austin menemukan bukti bahwa ternyata pembedaan tuturan menjadi performatif dan konstatif tidak dapat dipertahankan. Dia menegaskan bahwa setiap tuturan, apa pun maknanya, pada dasarnya menyatakan suatu tindakan melalui daya komunikatif dari sebuah ujaran. Hal ini berarti bahwa semua tuturan pada dasarnya adalah performatif.

2.2.2.3 Kondisi Kelayakan Tuturan Performatif

Karena digunakan untuk melakukan suatu tindakan, tuturan performatif tidak dapat dinilai dengan benar atau salah. Tuturan performatif, menurut Austin (1962: 14-15), hanya dapat dinilai berdasarkan kondisi kelayakan tertentu yang dia sebut falicities conditions. Yang dimaksud falicities conditions adalah kondisi yang memungkinkan kata-kata digunakan dengan selayaknya untuk melakukan tindakan. Dalam kaitan ini, Searle mengemukakan empat kategori dasar untuk menentukan falicities conditions tindak tutur. Keempat kategori dasar tersebut adalah (a) isi proposisi (propositional content), (b) kondisi persiapan (preparatory condition), (c) kondisi ketulusan (sincerity

(17)

condition), dan (c) kondisi esensial (essential condition). Berkenaan dengan empat kategori Searle ini, Huang (2007: 105) menjelaskan sebagai berikut.

The propositional content condition is in essence concerned with what is speech act abaout. That is, it has to do with the specifying the restrictions on the content of what remains as the core of the utterence after the illocutionary act part is removed. Preparatory conditions state the real-world prerequisites for the speech acts. Sincerity conditions must be satisfied if the act is to be performed sincerely. The essensial condition defines the act being performed in the sense that the speaker has the intension that his or her utterence will count as the identifiable act, and that this intension is recognized by the addressee.

(Kondisi isi proposisi pada dasarnya berkenaan dengan tentang apa tindak tutur tersebut. Isi proposisi berhubungan dengan pembatasan yang spesifik mengenai isi yang tersisa sebagai inti ujaran setelah bagian tindak ilokusi dihilangkan. Kondisi preparatori menyatakan prasyarat dunia nyata untuk tindak tutur yang dilakukan. Kondisi ketulusan menyatakan bahwa tindakan itu harus dilakukan secara tulus. Kondisi esensial menentukan bahwa maksud penutur dapat diidentifikasi dan dikenali oleh petutur).

Searle memberikan contoh falicities conditions untuk tindak tutur berjanji (promise) dan memohon (request) seperti berikut.

Tindak tutur berjanji

(a) Isi proposisi : Tindakan yang mengacu pada peristiwa yang akan datang dan peristiwa itu merupakan tanggung jawab penutur.

(b) Preparatori : (a) Petutur lebih suka bila tindakan itu dilaksanakan oleh penutur daripada tidak dilaksanakan, dan penutur mengetahui hal itu, (b) tidak jelas baik bagi penutur sendiri maupun bagi petutur bahwa penutur akan melakukan tindakan yang dijanjikan itu

(c) Ketulusan : Penutur harus memiliki ketulusan dan sungguh-sungguh bermaksud melakukan tindakan A yang dijanjikan.

(d) Esensial : Dengan ucapan berjanji itu, penutur bermaksud menciptakan keharusan untuk melaksanakan sesuatu yang dijanjikan.

Tindak tutur memohon

(a) Isi proposisi : Tindakan yang mengacu pada peristiwa yang akan datang dan peristiwa itu merupakan tanggung jawab petutur.

(b) Preparatori : (a) Penutur percaya bahwa petutur memiliki kemampuan mengerjakan sesuatu yang diminta, (b) tidak jelas bagi penutur

(18)

bahwa petutur akan melakukan tindakan yang diinginkan penutur tanpa diminta.

(c) Ketulusan : Penutur ingin agar petutur melakukan tindakan yang diminta penutur.

(d) Esensial : Dengan ucapan memohon itu, penutur melakukan usaha agar petutur melakukan tindakan yang diminta.

2.2.2.4 Dekomposisi Tindak Tutur

Tindak tutur, menurut Austin, sesungguhnya mengandung tiga jenis tindakan sekaligus yang secara serempak dilakukan oleh penutur ketika mengatakan sesuatu. Ketiga jenis tindakan tersebut adalah (a) tindak lokusionari (lokusi), (b) tindak ilokusionari (ilokusi), dan tindak perlokusionari (perlokusi). Setiap tindak tutur dapat didekomposisi menjadi tiga jenis tindakan tersebut. Menurut Parker (1986: 15), yang dimaksud tindak lokusi adalah tindak mengatakan sesuatu (the act of saying something), tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu (the act of doing something), dan tindak perlokusi adalah tindak mempengaruhi petutur (the act of affecting someone (listener)). Senada dengan Parker, Thomas (1996: 49) menjelaskan bahwa tindak lokusi adalah tindak mengujarkan kata-kata yang aktual (the actual words uttered), tindak ilokusi adalah daya atau maksud yang ada di balik kata-kata (the force or intention behind the words), tindak perlokusi adalah efek dari tindak ilokusi terhadap petutur ( the effect of the illocution on the hearer).

Sementara itu, menurut Huang (2007: 102), tindak lokusionari (lokusi) adalah produksi ekspresi linguistik yang bermakna (the production of meaningful linguistic expression), tindak ilokusionari (ilokusi) adalah tindakan yang dilakukan penutur melalui ekpresi linguistik yang diucapkan berdasarkan daya konvensional ujaran tersebut, baik secara eksplisit maupun implisit, tindak perlokusionari (perlokusi): adalah akibat atau efek yang ditimbulkan oleh ekspresi linguistik yang diujarkan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai pengertian tentang tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi yang dikemukakan oleh para ahli di atas ternyata memiliki inti sari yang sama. Tindak lokusi adalah tindak mengatakan kata-kata yang bermakna. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu melalui ekspresi linguistik yang diungkapkan. Tindak perlokusi adalah akibat atau efek yang ditimbulkan oleh

(19)

ekspresi linguistik yang diujarkan. Di antara ketiga jenis tindakan tersebut, tindakan yang dipandang paling penting dalam kajian pragmatik adalah tindak ilokusi.

2.2.2.5 Klasifikasi Tindak Tutur

Sebagaimana disinggung di atas, tindakan yang dianggap paling penting dalam kajian pragmatik adalah tindak ilokusi. Tindak ilokusi ini merupakan unit terkecil dalam kajian pragmatik. Dalam perkembangannya tindak ilokusi inilah yang sering disebut sebagai speech act atau tindak tutur meskipun pada faktanya ilokusi hanyalah merupakan bagian dari tindak tutur. Dengan kata lain, istilah tindak tutur dalam pengertiannya yang sempit sering digunakan untuk mengacu tindak ilokusi (Thomas, 1995: 51; Yule, 1996: 49; Huang, 2007: 103; Jinsha, 2009: 1).

Tindak tutur (ilokusi) dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Dalam kaitan ini, para ahli membuat klasifikasi yang agak berbeda-beda. Searle, misalnya, membuat klasifikasi yang agak berbeda dengan Austin. Selanjutnya, Ahli lain seperti Fraser (1975), Bach dan Harnish (1979), Kreidler (1999), Allan (2001) masing-masing juga membuat klasifikasi yang tidak sama. Menurut Huang (2007: 106), di antara klasifikasi tindak tutur yang ada, klasifikasi yang dipandang paling berpengaruh setakat ini adalah klasifikasi tindak tutur yang dikemukakan Searle. Dia mengklasifikasikan tindak tutur berdasarkan empat kriteria, yaitu (i) poin ilokusi (illocutionary point), (ii) arah kesesuaian (direction of fit), (iii) keadaan psikologis (psychological state), dan (iv) isi proposisi (propositional content). Berdasarkan keempat kriteria itu, Searle kemudian mengemukakan lima kelompok tindak tutur, yaitu (a) representatif, (b) direktif, (c) komisif, (d) ekspresif, dan (e) deklarasi.

Representatif (atau disebut juga asertif atau konstatif menurut dikotomi Austin) adalah kelompok tindak tutur yang menuntut komitmen penutur atas kebenaran proposisi yang diekspresikan. Tindak tutur representatif ini membawa nilai kebenaran (truth-value). Tindak tutur ini mengekspresikan kepercayaan atau keyakinan penutur. Kata kerja-kata kerja yang tercakup dalam tindak tutur ini adalah asserting, claiming, concluding, reporting, and stating. Di dalam melakukan tindak tutur representatif ini, penutur merepresentasikan dunia sebagaimana yang dia yakini. Oleh karena itu, penutur membuat kata-kata sesuai dengan dunia yang diyakini. Dengan kata lain, agar proposinya benar, kata-kata yang dibuat harus sesuai dengan realitas dunia (direction of fit = words to. world).

(20)

Direktif merupakan tindak tutur yang merepresentasikan upaya penutur agar petutur melakukan suatu tindakan. Tindak tutur ini mengekspresikan keinginan atau kehendak penutur agar petutur melakukan suatu tindakan. Kata-kata kerja yang tercakup dalam tindak tutur ini adalah advice, command, order, questions, and request. Di dalam tindak tutur direktif ini, penutur bermaksud membuat petutur melakukan suatu tindakan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, penutur membuat dunia sesuai dengan kata-kata melalui petutur (direction of fit = world to words).

Komisif merupakan tindak tutur yang menuntut komitmen penutur terhadap pelaksanaan suatu tindakan yang akan datang. Komisif mengekspresikan niat/maksud penutur untuk melakukan suatu tindakan. Kata kerja-kata kerja yang tercakup dalam tindak tutur komisif adalah offers, pledges, promises, refusals, dan threats. Dalam tindak tutur komisif ini, realitas dunia disesuaikan dengan kata-kata melalui penutur sendiri (direction of fit = world to words).

Ekspresif merupakan tindak tutur yang mengekspresikan sikap atau keadaan psikologis penutur seperti kegembiraan, kesedihan, suka/tidak suka. Kata-kata kerja yang tercakup dalam tindak tutur ekspresif ini antara lain apologizing, blaming, congratulating, praising, dan thanking. Dalam tindak tutur ekspresif ini, tidak ada arah kesesuaian antara kata-kata dan dunia (direction of fit = tidak ada).

Deklarasi merupakan tindak tutur yang dapat memberikan efek perubahan segera terhadap suatu keadaan. Karena tindak tutur ini cenderung bersandar pada institusi yang bersifat ekstralinguistis demi keberhasilan performansinya, maka tindak tutur deklarasi ini disebut performatif yang diinstitusionalisasikan. Dalam melakukan tindak tutur ini, penutur membawa perubahan terhadap dunia. Penutur mempengaruhi korespondensi atau kesesuaian antara isi proposisi dengan dunia. Kata kerja-kata kerja yang termasuk dalam tindak tutur ini misalnya bidding in bridge, declaring war, excommunicating, firing from employment, nominating a candidate. Berkenaan dengan arah kesesuaian, deklarasi mempunyai dua arah, yakni kata terhadap dunia atau dunia terhadap kata-kata (words to world or world to words).

Berdasarkan uraian di atas, poin ilokusi, arah kesesuaian, dan keadaan psikologis yang diekspresikan yang merupakan dasar klasifikasi ilokusi Searle dapat disimpulkan sebagai berikut (Huang, 2007: 108).

(21)

Poin Ilokusi Arah Kesesuaian Keadaan Psikologis Representatif Kata terhadap dunia Keyakinan (Penutur) Direktif Dunia terhadap kata Keinginan (Penutur) Komisif Dunia terhadap kata Niat/Maksud (Penutur) Ekspresif Tidak ada arah Variabel (Penutur)

Deklarasi Dua arah Tidak ada (Penutur)

2.2.2.6 Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung

Tindak tutur oleh para ahli sering dibedakan menjadi tindak tutur langsung (direct speech act) dan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act). Akan tetapi, dasar yang digunakan untuk menentukan kedua jenis tindak tutur tersebut tampaknya berbeda-beda di antara para pakar pragmatik. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, perbedaan itu tampaknya dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama, adalah kelompok pakar yang menggunakan dasar bentuk sintaktis (sintactic form) atau tipe kalimat (sentence type) atau modus kalimat untuk menentukan tindak tutur langsung dan tidak langsung. Yang termasuk kelompok yang pertama ini di antaranya adalah pakar seperti Parker (1986: 17); Yule (1995: 54); Wijana (1996: 30); dan Huang (2007: 109). Menurut mereka sebuah tindak tutur dapat dikatakan sebagai tindak tutur langsung apabila terdapat kesesuaian antara bentuk sintaktisnya atau tipe kalimatnya atau modus kalimatnya dengan daya ilokusinya (illocutionary force). Hal ini dapat dijelaskan melalui contoh (5) berikut.

(5) a. Hari ini aku ulang tahun. b. Kamu kemarin dapat arisan ya?

c. Pakailah kendaraan saya selama kamu di Surabaya!

Bentuk sintaktis tuturan (5a) di atas adalah deklaratif, tuturan (5b) interogatif, dan tuturan (5c) imperatif. Sebagaimana dipahami, secara konvensional, kalimat yang berbentuk deklaratif atau berita digunakan untuk memberitakan atau menginformasikan sesuatu, kalimat interogatif atau tanya digunakan untuk menanyatakan sesuatu, dan kalimat imperatif atau perintah digunakan untuk menyuruh, mengajak, atau memohon. Jika penutur bermaksud memberitakan sesuatu (tanpa ada maksud lain) melalui kalimat deklaratif sebagaimana dalam (5a), bertanya tentang sesuatu melalui kalimat tanya sebagaimana dalam (5b) dan menyuruh melakukan sesuatu melalui kalimat imperatif sebagaimana (5c) di atas, maka dapat dikatakan bahwa penutur sedang menggunakan

(22)

tindak tutur langsung. Dikatakan demikian karena bentuk sintaktis tuturan yang digunakan sama atau sesuai dengan maksud penuturnya atau sama dengan daya ilokusinya. Bentuk deklaratif/berita (sintactic form) dimaksudkan untuk menyampaikan berita (illocutionary force), bentuk interogatif/tanya (syntactic form) digunakan untuk menyampaikan pertanyaan (illocutionary force), dan bentuk imperatif/perintah (sintactic form) digunakan untuk menyampaikan perintah (illocutionary force).

Selanjutnya, sebuah tindak tutur juga dapat ditentukan sebagai tindak tutur langsung manakala tindak tutur tersebut mengandung verba performatif yang diungkapkan secara eksplisit dalam klausa matriks pada bentuk kalimat deklaratif. Mengapa demikian, karena verba performatif yang muncul secara eksplisit seperti itu dapat menggambarkan jenis illocutionary force dari tindak tutur yang bersangkutan. Tindak tutur tidak langsung jenis ini dapat disimak pada contoh (6) berikut (diambil dari Cruse (2004).

(6) a. I promise you I wiil leave in five minutes. b. I beg you not to leave so soon.

c. I thank you for staying.

Dalam tuturan (6) itu terdapat verba performatif yang dimunculkan secara eksplisit dalam klausa matriksnya, yaitu promise (6a), beg (6b), dan thank (6c). Munculnya verba performatif secara eksplisit ini otomatis menggambarkan jenis illocutionary force dari masing-masing tuturan. Oleh karena itu, tindak tutur yang mengandung verba performatif seperti itu dapat disebut juga sebagai tindak tutur langsung. Dalam hal ini petutur dapat segera memahami illocutionary force dari tuturan melalui verba performatif yang muncul dalam struktur lahir.

Selanjutnya, menurut kelompok pakar yang pertama ini, sebuah tindak tutur dapat dikatakan sebagai tindak tutur tidak langsung apabila tidak terdapat kesesuaian antara bentuk sintaktisnya (atau tipe kalimatnya atau modus kalimatnya) dengan daya ilokusinya (illocutionary force). Misalnya, penutur bermaksud melakukan perintah kepada petutur, tetapi diungkapkan melalui bentuk kalimat deklaratif, atau diungkapkan melalui bentuk kalimat introgatif. Penutur dalam (5b) di atas, misalnya, dalam konteks tertentu, bisa saja tidak bermaksud bertanya, tetapi bermaksud meminjam uang. Jika demikian halnya, maka terdapat ketidaksesuaian antara bentuk kalimat yang digunakan (kalimat tanya) dengan daya ilokusinya (meminjam uang). Wijana (1996); (cf. Parker,

(23)

2004) menggambarkan modus kalimat dalam kaitannya dengan tindak tutur langsung dan tidak langsung dalam bentuk tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1

Modus Kalimat dan Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung

Modus Tindak Tutur

Langsung Tidak Langsung

Berita Memberitakan Menyuruh

Tanya Bertanya Menyuruh

Perintah Memerintah -

Kelompok pakar berikutnya adalah kelompok yang menggunakan dasar makna untuk menentukan tindak tutur langsung dan tidak langsung. Para pakar yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya adalah Brown dan Levinson (1987); Thomas (1995); dan Searle (1996). Menurut Searle (1996), strategi langsung terjadi manakala maksud penutur (speaker‟s meaning) sama dengan makna linguistik (linguistic meaning) atau makna kalimat (sentence meaning). Sementara itu, Thomas (1995) mengemukakan bahwa tindak tutur langsung terjadi jika makna yang diekspresikan sesuai atau sama dengan makna yang diimplikasikan. Tidak berbeda dengan ini adalah pandangan Brown dan Levinson (1987) yang menyatakan bahwa tindak tutur langsung (on record) adalah tindak tutur yang dikemukakan secara transparan, jelas, terus terang, dan tidak ambigu. Tindak tutur langsung, yang ditentukan atas dasar makna ini, kira-kira dapat dijelaskan melalui contoh (7) berikut.

(7) a. Makalah Anda bagus sekali.

b. Mengapa Anda membuang sampah di sini? c. Habiskan saja kuenya!

Jika disimak dengan baik, makna linguistik dari tuturan (7a) adalah memuji, makna linguistik dari tuturan (7b) adalah bertanya, dan makna linguistik dari tuturan (7c) adalah memerintah. Jika penutur memang betul-betul bermaksud memuji pada (7a), bermaksud menanyakan sesuatu pada (7b), dan bermaksud menyuruh pada (7c), maka hal itu berarti speaker‟s meaning sama dengan linguiastik meaning/ sentence meaning. Atau, menurut Cruce sesuatu yang diekspresikan sama dengan yang diimplikasikan. Maksud memuji dalam (7a) dikemukakan secara jelas melalui makna linguistik, maksud

(24)

bertanya dalam (7b) dikemukakan secara jelas melalui kalimat tanya, dan maksud menyuruh dalam (7c) dikemukakan secara jelas melalui kalimat perintah atau imperatif. Jika demikian halnya, maka menurut pandangan para ahli dalam kelompok kedua di atas, tindak tutur dalam (7a), (7b), dan (7c) di atas dapat ditentukan sebagai tindak tutur langsung.

Lalu, bagaimana pandangan para ahli dalam kelompok kedua ini mengenai tindak tutur tidak langsung. Searle (1996) berpandangan bahwa dalam tindak tutur tidak langsung, penutur tidak menyampaikan maksudnya melalui makna linguistik. Menurut Searle (1987), tindak tutur tidak langsung memiliki dua daya ilokusi, yaitu secondary illocutionary act dan primary illocutionary act. Yang pertama itu bersifat literal dan yang kedua bersifat nonliteral. Penutur mengemukakan primary illocutionary act melalui secondary illocutionary act. Pendapat Searle ini tampaknya selaras dengan pendapat Thomas yang menyatakan bahwa tindak tutur tidak langsung terjadi manakala makna yang diekspresikan tidak sama dengan makna yang diimplikasikan. Jika primary illocutionary act dikemukakan melalui secondary act dan makna yang diekspresikan tidak sesuai dengan makna yang diimplikasikan, maka hal itu berarti bahwa penutur tidak mengemukakan maksudnya secara jelas dan transparan (off record). Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan Brown dan Levinson (1987). Pandangan kelompok pakar yang kedua ini mengenai tindak tutur tidak langsung barangkali dapat diperjelas melalui contoh (8) berikut.

(8) a.Yem, kamu kalau nyapu bersih sekali ya.

( Dengan maksud kamu kalau nyapu masih kotor) b. Din, tolong radionya lebih dikeraskan lagi!

( Dengan maksud radionya jangan keras-keras) c. Mengapa Anda selalu datang terlambat?

( Dengan maksud menyuruh petutur jangan terlambat)

Jika dianalisis menurut pandangan Searle, tuturan (8a-c) di atas memiliki dua daya ilokusi, yaitu secondary illocutionary act (bersifat literal) dan primary illocutionary act (bersifat nonliteral). Dalam (8a-c) di atas tuturan yang terdapat di dalam kurung merupakan primary illocutionary act karena bersifat nonliteral, sedangkan tuturan yang tidak berada di dalam kurung merupakan secondary illocutionary act karena bersifat literal. Penutur mengemukakan primary illocutionary

(25)

act (tuturan yang ada di dalam kurung) melalui secondary illocutionary act (tuturan yang tidak berada di dalam kurung). Selaras dengan pandangan Searle ini, jika tuturan (8a-c) di atas dilihat dari pandangan Thomas, akan diketahui bahwa tuturan yang diekspresikan (yang tidak berada di dalam kurung) tidak sesuai dengan tuturan yang diimplikasikan (tuturan yang ada di dalam kurung). Jika dilihat dari pandangan Brown dan Levinson, penutur mengemukakan maksudnya secara tidak transparan atau ambigu.

Perlu dikemukakan, sebuah tuturan apabila dianalisis menurut pandangan kelompok pertama dan kelompok kedua, hasilnya mugkin sama, mungkin juga berbeda. Tuturan (8c) di atas, misalnya, jika dianalisis baik menurut pandangan kelompok pertama maupun kedua, hasilnya akan tetap sama, yaitu sebagai tuturan tidak langsung. Menurut pandangan kelompok pertama, dalam tuturan (8c) di atas, penutur bermaksud melakukan perintah (yang seharusnya dikemukakan melalui kalimat perintah), tetapi dikemukakan melalui kalimat tanya. Menurut pandangan kelompok kedua, penutur dalam (8c) di atas menyampaikan primary illocutionary act ( menyuruh petutur supaya tidak terlambat) melalui secondary illocutionary act (dengan pertanyaan). Jadi, hasilnya tetap sama, yaitu tuturan tidak langsung meskipun dilihat dari perspektif yang berbeda.

Namun demikian, cukup banyak juga data yang apabila dianalisis dari sudut bentuk akan menghasilkan jenis tindak tutur yang sangat berbeda dengan apabila dianalisis dari sudut pandang makna. Tuturan (8a) dan (8b) di atas, misalnya, apabila dianalisis dari sudut bentuk sintaktisnya (kelompok pertama), akan menghasilkan tindak tutur langsung. Penutur dalam (8a) di atas bermaksud memberitakan sesuatu kepada petutur melalui bentuk kalimat deklaratif atau berita. Demikian juga halnya tuturan (8b). Penutur dalam (8b) bermaksud menyuruh petutur melakukan sesuatu dan maksud menyuruh itu dikemukakan melalui bentuk kalimat imperatif. Jadi, ada kesesuaian antara bentuk sintaktisnya dan daya ilokusinya. Oleh karena itu, hasilnya adalah tuturan langsung. Menurut Wijana (1996) dan Parker (2004), tuturan (8a) dan (8b) di atas akan ditentukan sebagai tindak tutur langsung tidak literal. Dikatakan langsung karena ada kesesuaian antara bentuk sintaktis kalimat dengan daya ilokusinya. Dikatakan tidak literal karena makna kalimatnya tidak sama dengan maksud penuturnya.

Akan tetapi, jika tuturan (8a) dan (8b) di atas dianalisis dari sudut maknanya (pandangan kelompok kedua), maka hasilnya akan sangat berbeda, yaitu menjadi tuturan tidak langsung. Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam tuturan (8a) dan (8b) di

(26)

atas, penutur mengemukakan primary illocutionary act melalui secondary illocutionary act. Dalam (8a) penutur melakukan kritik kepada petutur (nyapu masih kotor) (primary illocutionary act) melalui sebuah pujian (nyapu bersih sekali) (secondary illocutionary act). Demikian juga, dalam tuturan (8b), penutur bermaksud menyuruh mengecilkan suara radio yang terlalu keras (primary illokutionary act) melalui sebuah ironi dengan cara menyuruh lebih mengeraskan lagi (secondary illocutionary act). Berdasarkan analisis seperti inilah, para pakar dari kelompok kedua, menentukan tuturan seperti (8a) dan (8b) sebagai tuturan tidak langsung.

Perlu dikemukakan juga, bahwa para ahli yang menentukan tindak tutur langsung dan tidak langsung berdasarkan makna tampaknya tidak mengenal klasifikasi tindak tutur langsung tidak literal dan tindak tutur tidak langsung literal sebagaimana yang dikemukakan Wijana (1996) dan Parker (2004). Kedua jenis tindak tutur itu dipandang tidak mungkin ada karena semua tindak tutur langsung bersifat literal dan semua tindak tutur tidak langsung bersifat nonliteral. Berkenaan dengan analisis tindak tutur kritik ini, penulis tampaknya lebih cocok dengan pandangan kedua bahwa semua tindak tutur langsung bersifat literal dan semua tindak tutur tidak langsung bersifat nonliteral. Penulis berpandangan, rasanya kurang masuk akal jika kritik yang disampaikan melalui pujian dikatakan sebagai kritik langsung meskipun disampaikan melalui kalimat deklaratif.

2.2.3 Teori Tentang Kritik

Teori tentang kritik yang penting dikemukakan mencakup (a) pengertian kritik, (b) mengkritik vs menghina, (c) bagian-bagian kritik, (d) kritik sebagai tuturan performatif, (e) kondisi kelayakan kritik , (f) kritik sebagai tindak tutur kompleks (complex speech act), (g) kritik dan ancaman terhadap muka, (h) strategi kritik, (i) formula semantik kritik, (j) kritik sebagai kontrol sosial.

2.2.3.1 Pengertian Kritik

Sampai sejauh ini, terdapat beberapa ahli yang mencoba memberikan pengertian tentang kritik. Mulac, et.al.(2000: 390), misalnya, mengemukakan bahwa criticism has been conceptualized as negative evaluation of some aspect of an individual that is communicated by others (kritik dikonseptualisasikan sebagai evaluasi negatif terhadap seorang individu yang dikemukakan oleh orang lain). Pendapat Mulac, et.al ini senada

(27)

dengan pendapat MIN Shang-chao (2008: 75) bahwa kritik berkenaan dengan evaluasi negatif terhadap perilaku petutur.

Sementara itu, Hoang Thi Xuan Hoa (2007: 144) menyatakan bahwa criticizing is sometimes performed to vent the speaker,s negative feeling or attitude to the hearer or the hearer‟s work, choice, behaviour, etc. (kritik diungkapkan untuk menyatakan perasaan negatif atau sikap negatif penutur terhadap petutur atau terhadap kinerja, pilihan, perilaku petutur, dan sebagainya). Menurutnya, kritik mempunyai dua fungsi utama, yaitu menunjukkan perilaku yang dianggap negatif yang dilakukan petutur dan meminta supaya petutur melakukan perbaikan.

Pendapat yang lebih lengkap dikemukakan oleh Nguyen (2005: 110) (yang mengadaptasi dari pendapat Wierzbicka (1987). Dia menjelaskan bahwa kritik dapat didefinisikan sebagai berikut.

A criticsm is defined as an illocutionary act whose illocutionary point is to give negative evaluation on H‟s actions, choice, words, and products for which he or she may be held responsible. This act is performed in hope of influencing H‟s future actions for the better for his or her own benefids as viewed by S or to communicate S‟s dissatisfaction/ discontent with or dislike regarding what H has done but without the implicature that H has done brings undesirable qonsequences to S.

(Kritik dapat didefinisikan sebagai tindak ilokusi yang poin ilokusinya adalah memberikan evaluasi negatif terhadap tindakan, pilihan, kata-kata, dan produk yang menjadi tanggung jawab petutur. Kritik itu dilakukan dengan harapan tindakan petutur menjadi lebih baik pada masa yang akan datang dan bermanfaat bagi petutur sendiri. Kritik bisa juga dilakukan sekedar mengemukakan perasaan tidak puas atau perasaan tidak suka terhadap apa yang dilakukan oleh petutur tanpa memperhatikan bahwa yang dilakukan oleh petutur itu membawa konsekuensi yang tidak menyenangkan bagi penutur).

Berdasarkan pengertian kritik yang dikemukakan para ahli di atas, ada dua hal penting yang dapat dicatat. Pertama, kritik selalu berkenaan dengan evaluasi negatif atau perasaan negatif atau sikap negatif terhadap perbuatan dan perilaku petutur. Kedua, kritik dilakukan dengan harapan perbuatan petutur menjadi lebih baik pada waktu-waktu yang akan datang. Dua hal ini tampaknya merupakan inti sari dari pengertian kritik. Oleh karena itu, kritik dalam disertasi ini didefinisikan sebagai tindak ilokusi yang poin ilokusinya adalah memberikan evaluasi negatif terhadap tindakan, hal, perbuatan, kata-kata, dan sikap petutur. Evaluasi negatif itu dikemukakan dengan

(28)

harapan petutur mawas diri, instropeksi diri, dan kemudian melakukan koreksi diri sehingga perbuatan petutur menjadi lebih baik pada masa-masa yang akan datang.

2.2.3.2 Tindak Tutur Mengkritik VS Tindak Tutur Menghina

Tindak tutur mengkritik dalam penelitian ini dibedakan dengan tindak tutur-tindak tutur lain yang agak mirip seperti tutur-tindak tutur menghina ( termasuk menghujat, memaki, mencaci, dan sejenisnya). Dalam masyarakat kita dewasa ini makna mengkritik sering dirancukan dengan makna menghina atau makna menghina sering dirancukan dengan makna mengkritik. Akibatnya adalah orang sering salah menilai, mengkritik dikatakan menghina atau menghina dikatakan mengkritik. Memang harus diakui kedua tindak tutur tersebut memiliki kesamaan, yaitu sama-sama memberikan penilaian negatif (buruk) terhadap perilaku petutur. Namun demikian, harus digarisbawahi bahwa kedua tindak tutur tersebut juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Menurut hemat penulis, perbedaan tindak tutur mengkritik di satu pihak dan tindak tutur menghina di pihak lain (termasuk menghujat, memaki, mencaci, dan sejenisnya) dapat dijelaskan melalui sejumlah ciri atau fitur seperti tampak pada tabel 2 berikut.

Tabel 2

Perbedaan Fitur Mengkritik dan Menghina/Memaki

Fitur-Fitur Mengkritik Fitur-Fitur Menghina/Memaki

(a) bersifat kompetitif: tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial

(mempunyai tujuan sosial: memberi manfaat bagi penerima kritik atau publik)

(b) Dasar: penyimpangan nilai/norma sosial yang dilakukan oleh petutur.

(c) Mempertimbangkan strategi kesantunan sesuai dengan konteks dan nilai sosiobudaya yang berlaku.

(d) Menghindari penggunaan kata-kata kotor dan umpatan.

(e) Merupakan bentuk kontrol sosial (mendorong penerima kritik untuk introspeksi diri dan koreksi diri) (f) Tidak mempunyai dampak yuridis.

(a) Bersifat konfliktif: tujuan ilokusi

bertentangan dengan tujuan sosial (tidak mempunyai tujuan sosial: tidak memberi manfaat sosial apa pun)

(b) Dasar: rasa tidak suka/ ungkapan kebencian.

(c) Cenderung tidak menghiraukan strategi kesantunan.

(d) Penggunaan kata-kata kotor dan umpatan mungkin bertaburan.

(e) Bukan bentuk kontrol sosial (tidak bertujuan untuk mendorong seseorang agar memperbaiki diri, lebih mengarah pada character assassination)

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat dari hasil penelitian dan pembahasan dalam pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam melalui model pembelajaran Snowball Throwing di UPTD SMP Negeri

Memperoleh informasi yang lengkap mengenai diagnosis, asesmen medis, rencana perawatan, detail kontak yang dapat dihubungi, dan informasi relevan lainnya mengenai rencana

Hasil penelitian tentang Pola Permukiman Masa Lampau di Kawasan Danau di Jawa Timur merupakan alasan dan modal pertama untuk materi buku ini, sedangkan alasan yang kedua

Reksa Dana Pasar Uang (RDPU) didefinisikan sebagai reksa dana yang melakukan investasi 100% pada efek pasar uang. Efek pasar uang sendiri didefinisikan sebagai efek-efek hutang

Oleh karena itu, variabel pengalaman pelanggan (customer experience) dalam penelitian ini sesuai dengan teori (Kim and Choi, 2013) yang menyatakan bahwa pengalaman

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Pemeriksaan data dilakukan dengan cara trianggulasi data dan trianggulasi metode, dengan model evaluasi yang digunakan adalah evaluasi model Context, Input, Process, Product

Namun program kegiatan CSR perlu memperhatikan dinamika stakeholder, yang dalam penelitian ini terdiri dari masyarakat, perusahaan dan pemerintah.. Berdasarkan hasil