• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Suku bangsa yang mendiami wilayah Sumatera Utara, masing-masing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Suku bangsa yang mendiami wilayah Sumatera Utara, masing-masing"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Suku bangsa yang mendiami wilayah Sumatera Utara, masing-masing mempunyai ciri khas budaya sendiri-sendiri, termasuk dalam mengapresiasikan adat perkawinannya. Munculnya keanekaragaman budaya ini, tentu erat kaitannya dengan lokasi wilayah serta aspek kesejarahan pertumbuhan penduduk di tempat mereka berdomisili, sehingga tepatlah bunyi pepatah yang mengatakan: “Lain padang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya”. Manusia adalah mahluk sosial yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lainnya. Setiap manusia yang berlainan jenis kelamin saling membutuhkan untuk dijadikan teman hidupnya, sebagai perwujudan sifat naluri tersebut sesuai dengan norma-norma agama. Perkawinan dalam arti membentuk rumah tangga pada kenyataannya menunjukkan perbedaan di samping ada juga persamaannya antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain, hal ini dapat disebabkan karena adat istiadat yang berbeda atau juga perbedaan agama yang dianut. Dalam melaksanakan perkawinan hendaknya dipenuhi ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat baik itu yang ditentukan oleh undang-undang perkawinan, agama, dan juga yang ditentukan oleh adat-istiadat suatu daerah (suku bangsa).

Berbagai macam upacara adat yang berlaku di berbagai daerah adalah tatanan yang telah dibentuk oleh para tua-tua dan diturunkan kepada generasi

(2)

yang satu ke generasi yang lain karena itu upacara adat perkawinan merupakan serangkaian kegiatan tradisional turun temurun yang mempunyai maksud dan tujuan agar perkawinan akan selamat sejahtera serta mendatangkan kebahagiaan dikemudian hari.1

Perkawinan termasuk salah satu bentuk ibadah. Tujuan perkawinan bukan saja untuk menyalurkan kebutuhan biologis, tetapi juga untuk menyambung keturunan dalam naungan rumah tangga yang penuh kedamaian dan cinta kasih. Setiap remaja setelah memiliki kesiapan lahir batin hendaknya segera menentukan pilihan hidupnya untuk mengakhiri masa lajang. Menurut ajaran agama manapun, menikah adalah menyempurnakan pelaksanaan tata aturan agama. Oleh karena itu, barang siapa yang menuju kepada suatu pernikahan, maka ia telah berusaha menyempurnakan ketentuan agamanya.

Upacara perkawinan merupakan saat yang paling menentukan kesahan perkawinan tersebut, apakah perkawinan tersebut sesuai dengan adat atau tidak bagi masyarakat Simalungun dan juga ditentukan lewat terselenggaranya adat pada sebelum upacara perkawinan, saat upacara perkawinan, dan sesudah upacara perkawinan, karena dengan terlaksananya upacara perkawinan ini maka akan dianggap merupakan perkawinan yang ideal dan memiliki nilai tinggi bagi masyarakat yang melaksanakannya.

Suku bangsa Batak, terdiri atas sejumlah sub-suku: Batak Simalungun, Batak Tapanuli/Toba, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Angkola, Batak Pak-pak/Dairi. Pada tahun 1900 perkawinan adat Simalungun masih kental dengan

(3)

sistem adat yang dipakai sebelum masyarakat Simalungun mengenal agama. Kita bisa melihat bagaimana orangtua atau panatua adat dulu menggagas istilah di dalam perkawianan adat simalungun yaitu Tolu Sahundulan dan Lima saodoran mengandung nilai-nilai yang diakui serta ditaati oleh masyarakat dan mendasari hampir semua perilaku budaya masyarakat Simalungun, termasuk tujuan dan tata cara dalam pelaksanaan upacara perkawinan. Secara etimologis Tolu Sahundulan berarti Tiga teman musyawarah/sekedudukan, sedangkan Lima Saodoran diartikan sebagai Lima teman sebarisan/Serombongan.

Tolu Sahundulan merupakan kesatuan dari tiga kelompok kekerabatan,

yaitu Tondong, Sanina dan Boru sedangkan Lima Saodoran terdiri dari ketiga kelompok kekerabatan tersebut di atas ditambah dengan Tondong Ni Tondong dan

Boru Ni Boru atau Boru Mintori. Kelima kelompok kekerabatan di atas disebut

juga Dalihan Simangadop yang artinya ialah “tungku yang saling berhadapan”.2 Pada tahun 1903 merupakan awal masuk agama di tanah simalungun sehingga masyarakat simalungun dapat pencerahan dari agama kristen tersebut. Pengaruh agama juga membawa dampak positif bagi perkawinan adat Simalungun, sebelum masuknya agama Kristen di Simalungun perkawinan banyak melakukan poligami atau beristri lebih satu. Sesudah masuk agama kristen Perkawianan Batak Simalungun sudah mulai ada perubahan. Dimana tidak diperbolehkan agama dan gereja untuk berpoligami atau mempunyai istri banyak sebab perkawinan itu tidak sah secara hukum adat dan agama kristen yang berlaku. Masuk agama Kristen juga mempunyai banyak pengaruh baik dalam adat

2Japiten Sumbayak, Refleksi Habonaron Do Bona Dalam Adat Budaya Simalungun.

(4)

perkawinan Batak Simalungun atau yang lain. Dimana masyarakat Simalungun yang ingin menikah harus melapor kecatatan sipil dan kepengurus gereja.

Pada tahun 1950 sampai 2000 perkawinan adat simalungun masih dilakukan dengan baik dan benar oleh masyarakat Simalungun di Kabupaten Simalungun. karena pada masa itu masyarakat simalungun apabila melaksanakan pesta perkawianan yang dipakai adalah perkawinan adat Simalungun di perankan secara konsisten, perangkat dan pernik adat yang digunakan seyogianyalah menyesuaikan pula dengan perangkat dan pernik adat yang biasa berlaku dalam adat Simalungun, seperti dekorasi rumah adat, penggunanan Sumpit tempat beras khas Simalungun (balbahul), ulos Simalungun, “dayok binatur” disertai ikan mas diarsik dan lain sebagainya, yang semuanya khas Simalungun. Pada masa itu apabila ada duit dalam amplop pada surat undangan perkawinan adat simalungun. Masyarakat Simalungun harus memberi kain ulos kepada pihak pengantin yang ngundang. Pada masa itu juga masyarakat Simalungun masih memakai ulos atau selendang apabila pergi ke pesta perkawinan, buku tamu belum ada dan tandok (sumpit yang tinggi) yang berisi beras masih berlaku, bahasa dan musik yang dipakai adalah bahasa dan musik Simalungun, masih menggunakan pantun Simalungun.3

Pada tahun 2001 sampai 2010 jika dicermati, sering dijumpai adanya warga Simalungun tidak lagi menggunakan adat perkawinan Batak Simalungun terutama yang berdomisili di perkotaan khususnya di kota-kota besar di

3

MansenPurba. Pangurusian Pasal Adat Perkawinan Simalungun. Medan: Komite Bina Budaya Simalungun.1984), p. 9.

(5)

Kabupaten Simalungun ketika menyelenggarakan upacara perkawinannya. Mereka akan lebih suka untuk meminjam atau mengalihkan bentuk adat perkawinannya menjadi bentuk salah satu adat perkawinan Batak Toba. Baik pengantin pria maupun pengantin wanita adalah sama-sama warga Simalungun, akan tetapi dalam menyelenggarakan adat perkawinannya meminjam atau menggunakan adat perkawinan Batak Toba. Kita bisa melihat perubahan nuansa pesta yang ditampilkan sudah kurang mencerminkan penampilan adat Simalungun, yang tampak hanyalah perangkat maupun pernik adat yang justru biasanya hanya digunakan oleh masyarakat sub etnik tetangga, yaitu masyarakat Batak Toba. Perangkat dan pernik adat pengantin dimaksud antara lain: dekorasi ruangan dan pelaminan, sumpit yang tinggi (tandok-ganjang), kain Batak (ulos) yang dikenakan. Demikian pula dengan kedatangan keluarga si gadis (tondong) yang hanya membawa sajian kehormatan berupa ikan mas arsik, sementara itu menyuguhkan sekapur sirih (manurduk-nurduk) pada setiap babak demi babak pelaksanaan secara adat, sudah tidak diacarakan lagi. Perubahan bisa di lihat apabila ada uang dalam amplop pada surat undangan perkawinan adat simalungun. masyarakat Simalungun tidak harus memberi kain ulos kepada pihak pengantin yang ngundang tetapi bisa hanya memberi uang saja kepada pihak pengantin yang mengundang. Di masa ini buku tamu sudah ada dan ulos atau selendang yang dipakai oleh masyarakat Simalungun untuk menghadiri pesta perkawinan Batak Simalungun tidak dipakai karena ulos atau selendang lebih sering dipakai untuk menghadiri upacara kematian, bahasa dan musik Simalungun sudah diselang-selingi dengan bahasa dan musik dari batak toba dll, pantun

(6)

Simalungun sudah jarang dipergunakan oleh masyarakat Simalungun yang diperantauan.

Pelestarian budaya Adat Simalungun sebagai salah satu sub etnis bangsa, bahkan jika masalah tarik menarik budaya adat ini kurang mendapat perhatian untuk ditanggulangi bukan tidak mungkin adat perkawinan Simalungun secara berangsur-angsur akan mengalami erosi dan kehilangan identitasnya untuk kemudian bergabung dengan adat Batak Toba. Disamping itu timbul kesan bahwa masyarakat Simalungun sebagai salah satu sub etnis yang merupakan bagian dari bangsa, ternyata tidak konsisten.

Berangkat dari uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat masalah sistem pelaksanaan upacara perkawinan Batak Simalungun sebagai fakta sosial budaya pada tingkat penelitian akademik, karena kajian epistemologis mengenai sistem pelaksanaan upacara perkawinan Batak Simalungun berdasarkan pengamatan penulis informasinya masih belum ada. Penelitian ini diharapkan akan mengisi kekosongan hal tersebut. Atas dasar itu maka fokus penelitian ini diarahkan untuk memberikan gambaran mengenai proses atau sistem pelaksanaanUpacara perkawinan pada Suku Batak Simalungun. Sebagai sebuah dinamika sistem upacara perkawinan batak simalungun merupakan budaya nasional

(7)

1.2. Identifikasi Dan Perumusan Masalah.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana pengaruh agama Kristen terhadap perkawinan Batak Simalungun?

2. Mengapa pelaksanaan upacara perkawinan Batak Simalungun cenderung kurang diminati dengan sepenuh hati oleh warganya sendiri?

3. Bagaimana pelaksanaan upacara perkawinan Batak Simalungun?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian.

Pada dasarnya penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai suatu realitas sosial budaya dalam hal ini pelaksanaanupacara perkawinan Batak Simalungun, dimana selama ini suku bangsa Batak Simalungun diidentikkan dengan Batak Toba sedangkan Batak Simalungun tidak begitu terangkat kepermukaan atau tidak begitu dikenal masyarakat pada umumnya.

Berpangkal pada harapan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Memahami pengaruh agama kristen terhadap dinamika perkawinan adat Simalungun;

2. memahami faktor-faktor penyebab warga Simalungun kurang menaruh minat pada upacara perkawinan Batak Simalungun serta membangkitkan kembali minat warga terhadap upacara perkawinan Batak Simalungun; 3. memahami secara jelas dinamika pelaksanaan upacara perkawinan Batak

(8)

1.4 Tinjauan Pustaka

Beberapa pustaka yang mendukung dalam penulisan studi ini antara lain buku M.Hariwijaya dengan judul Perkawinan Adat Jawa. Buku ini membahas tentang aspek-aspek dan nilai-nilai pelaksanaan perkawinan adat jawa yang baik agar tujuan perkawinan itu bias bagus. Kekurangan buku Perkawinan Adat Jawa yaitu perkawinannya tidak melibatkan keluarga besar di dalam musyawarah, Selanjutnya karya Japiten Sumbayak yang berjudul Refleksi Habonaron Do Bona Dalam Adat Budaya Simalungun. Tulisan ini membahas tentang cara pelaksanaan perkawinan adat simalungun yang benar agar tujuan perkawinan terlaksana dengan baik secara hukum adat. Kelemahan buku ini masih kurangnya sumber data yang diolah oleh penulis. Selanjutnya buku Rudolf Purba dengan judul Peradaban Simalungun. Buku ini membahas tentang peradaban suku dan adat Simalungun pada masa jaman dulu. Kelemahan buku ini tidak mencatat sumber dari buku lain Buku Mansen Purba dengan judul Adat Perkawinan Simalungun. Buku ini membahas tentang adat perkawinan Simalungun dengan lengkap dan mudah dipahami. Kekurangan buku ini memakai bahasa Simalungun sehingga kurang dipahami artinya. Mengenai adat perkawinan, ada skripsi Mely Tri Saanty Boru Manalu “Kebertahanan Perkawinan Ideal Menurut Suku Batak Karo di Kelurahan Kwala Berkala Padang Bulan Medan. Membahas tentang perkawinan suku adat Batak Karo yang masih tetap dipertahankan. Tinjauan pustaka dalam penulisan ini digunakan untuk mengetahui segala kekuatan dan kelemahan yang ada pada sumber, sehingga mampu untuk menyajikan penulisan yang objektif

(9)

terhadap pelaksanaan tolu sahundulan dan lima saodoran dalam perkawinan adat simalungun di kabupaten simalungun.

1.5. Metodologi yang Digunakan

Metodologi atau science of methods adalah ilmu yang membicarakan jalan. Metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian sejarah.4 Masalah teori dan metodologi sebagai bagian pokok ilmu sejarah yang bertujuan menjelaskan kejadian itu dengan mengkaji sebab, kondisi lingkungan, konteks sosial kultural dan diperdalam lagi dengan menganalisis tentang faktor-faktor kausal, kondisional, kontekstual, serta unsur-unsur yang merupakan komponen dan eksponen dari proses sejarah yang dikaji.5 Maka dari itu penulis perlu dilengkapi dengan alat-alat analitis, konseptual dan teoritis yang ditemukan dari metodologi yang digunakan sehingga dapat mengamati studinya dengan prespektif teoritis dan mampu untuk mengungkapkan seluruh dimensi-dimensinya. Pengkajian sejarah yang memakai pendekatan itu akan lebih mampu melakukan eksplanasi daripada yang membatasi diri pada pengungkapan bagaimana sesuatu terjadi atau menguraikan kejadian sebagai narasi.6 Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah metodologi sejarah kebudayaan, yaitu metodologi sejarah kebudayaan yang diperkenalkan oleh Jacub Burckhard dan Huizinga dan disosialisasikan oleh Kuntowijoyo. Jacob Burckhardt dalam tulisannya Die

4Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003),

p. 19

5 Sartono Kartodirjo, Pendekatan ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,

(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1993), p. 2

(10)

Culture Der Renaissance In Italien, berusaha mencari struktur dalam sejarah

kebudayaan. Setiap detail yang kecil dan tunggal sebenarnya adalah simbol dan kesuluruhan dan satuan yang lebih besar. Menurutnya kebudayaan adalah sebuah kenyataan campuran. Idealnya penulisan sejarah kebudayaan dibuat seperti lukisan yang komposisinya memberikan gambaran utuh sekaligus gambaran detailnya. Burckhardt berusaha melukiskan kesenian, agama, negara dan bentuk ekspresi kejiwaan lainnya dari kebudayaan ke dalam bagian yang berimbang dari kesatuan yang menyeluruh. Cara yang dipakai ialah dengan pararelisasi fakta-fakta yaitu dengan mencari persamaan dan perbedaan, sehingga antara fakta-fakta ditemukan kaitannya.7

Demikian metodologi sejarah yang digunakan untuk menyajikan proses sejarah dari Dinamika Sistem Upacara Perkawinan Batak Simalungun Di Kabupaten Simalungun,Sumatera Utara Tahun 1950-2010

1.6. Kerangka Teori dan Konsep 1.6.1. Teori Perubahan Sosial

Teori perubahan sosial atau dinamika sosial merupakan hal-hal yang Berubah dari suatu waktu ke waktu yang lain, yang dibahas adalah dinamika sosial dari struktur yang berubah dari waktu ke waktu. Dinamika sosial adalah daya gerak dari sejarah tersebut, yang pada setiap tahapan evolusi manusia mendorong kearah tercapainya keseimbangan baru yang tinggi dari suatu masa ke masa berikutnya. Perubahan sosial ada pada dinamika struktural, yaitu perubahan

7 Kuntowijoyo, op.cit. p.41

(11)

atau issue perubahan sosial yang meliputi bagaimana kecepatannya, arahnya, agennya, bentuknya serta hambatan-hambatannya.

Perubahan yang terjadi pada struktur sosial berarti menyangkut perubahan yang mendasar pada jaringan-jaringan hubungan antara sesama individu sebagai warga masyarakat. Karena itu struktur sosial merupakan alat yang mengatur keseimbangan perubahan yang dilakukan warga masyarakat melalui penempatan budaya.8

Belakangan ini jika dicermati, sering dijumpai adanya warga Simalungun terutama yang berdomisili di perkotaan khususnya di kota–kota besar, ketika menyelenggarakan adat perkawinannya, ternyata tidak lagi menggunakan adat perkawinan Batak Simalungun yang berdasarkan prinsip Tolu Sahundulan Lima

Saodoran. Tampaknya mereka sudah lebih tertarik untuk menggunakan tata cara

yang berlangsung secara nasional, atau kalaupun terpaksa harus menggunakan adat perkawinan batak, mereka akan lebih suka untuk meminjam atau mengalihkan bentuk adat perkawinannya menjadi bentuk salah satu adat perkawinan Batak Toba. Diantaranya bahkan ada yang berkomentar, bahwa istilah Dalihan Na Tolu semua sub etnis Batak menganut pola dan substansi yang sama dalam memerankan adat perkawinan masing-masing.

1.6.2. Teori Fungsionalisme

Teori fungsionalisme adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali

8”Teori Perubahan Sosial” http://sopyanasauri.blogspot.com/2012/11/teori Perubahan

(12)

mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.9

Teori fungsionalisme yang menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu.Demikian pula semua institusi yang ada diperlukan oleh sistem sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun.Masyarakat dilihat dari kondisi dinamika dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya jika tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.

9

Teori fungsionalisme”http://sopyanasauri.blogspot.com/2012/11/teori fungsioanalisme-menurut-emile.html diposting pada tanggal 6 april 2014

(13)

Maka sesuai dengan sifat perkawinan dalam masyarakat yang unilateral di Simalungun, maka perkawinan adalah bersifat exogami marga, yaitu seorang hanya boleh kawin dengan orang luar marganya. Exogam marga itu adalah terbatas, oleh karena itu tidak diperbolehkan untuk melakukan perkawinan secara timbal balik sungguhpun sesama mereka adalah saling exogam marga. Ini dapat dimengerti, karena dalam adat Simalungun seseorang ataupun keluarga hanya diperbolehkan atau berfungsi menjadi pihak pemberi isteri atau pemberi anak dara dan sebagai pengambil isteri.

Di Simalungun perkawinan dengan mengambil boru tulang yaitu mengambil anak gadis dari saudara laki-laki dari ibu, adalah perkawinan yang dianjurkan, yang disebut “mangumban/marpariban”. Ini fungsinya supaya hubungan kekeluargaan antara tondong dengan boru selalu erat dan syarat-syaratnya yang harus dilakukan dan diminta oleh pemberi anak tidak dipaksa karena menganggap bahwa anak gadisnya tetap berada dalam lingkungan keluarganya. Perkawinan yang demikian disebut dalam istilah antropologi

cross-cousin (external) yang dengan kata lain disebut juga mother brother daughter marriage.

1.6.3. Teori Interaksi Simbolik

Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis”. Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keagungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi

(14)

kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik. Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu. Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap.10 Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain: (1) Pikiran

10Teori interaksi

(15)

(mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna

sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain, (2) Diri (self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan (3) Masyarakat (society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.11

1.6.4. Teori Disfungsional

Disfungsional mengandung arti bahwa unsur itu mungkin menghasilkan tekanan dan tegangan yang mengancam keterpiaraan sistem. Merton mengemukakan bahwa: Suatu institusi atau kegiatan budaya dikatakan fungsional manakala memberikan andil bagi adaptasi atau penyesuaian sistem tertentu, dan disfungsional apabila melemahkan adaptasi. Merton mengembangkan teori tentang disfungsi, sebagaimana struktur atau institusi dapat menyumbang pemeliharaan bagian-bagian lain dari sistem sosial, struktur, atau institusi pun dapat menimbulkan akibat negatif terhadap sistem sosial. Merton menghubungkan anomie dengan penyimpangan yang berarti penolakan terhadap adanya

11Teori interaksi

(16)

konsekuensi disfungsional dalam kesenjangan antara kebudayaan dan struktur yang mengarah pada penyimpangan dalam masyarakat. Anomie terjadi bila ada keterputusan hubungan antara norma kultural dan tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural.12

1.6.5. Konsep

Konsep adalah istilah-istilah yang merupakan suatu abstraksi tentang suatu gejala yang dibuat untuk memperoleh pengertian tentang gejala tersebut. Untuk memberikan gambaran sekaligus mempertegas pokok pembahasan dari masalah yang diajukan, dan untuk menghindari kesalahpahaman mengenai topik kajian dalam penelitian ini, maka akan dijelaskan beberapa konsep yang dianggap relevan dalam penelitian ini. konsep tersebut di antaranya: konsep dinamika, perkawinan, Suku Simalungun.

1. Konsep Dinamika

Dinamika kebudayaan adalah Suatu peristiwa atau fenomena kebudayaan sebagai proses yang sedang berjalan atau bergeser. Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena manusia adalah pendukung keberadaan suatu kebudayaan. Kebudayaan pada suatu masyarakat harus senantiasa memiliki fungsi yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan bagi para anggota pendukung kebudayaan. Kebudayaan harus dapat menjamin kelestarian kehidupan biologis, memelihara ketertiban, serta memberikan

12”Teori Difungsinal” http://oelhanifah.blogspot.com/2012/11/teori-difungsional-.html

(17)

motivasi kepada para pendukungnya agar dapat terus bertahan hidup dan melakukan kegiatan-kegiatan untuk kelangsungan hidup. Dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan mengalami perubahan. perubahan sosial lebih menunjuk pada perubahan terhadap struktur dan pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup sistem status, politik dan kekuasaan, persebaran penduduk, dan hubungan-hubungan dalam keluarga.13

2. Konsep Perkawinan

Dalam kehidupan manusia di dunia ini, laki-laki dan perempuan yang berlainan jenis kelaminnya secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk ikatan lahir batin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi. Lembaga perkawinan merupakan bentuk yang nyata untuk mewujudkan cita-cita dan harapan tersebut, adapun perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pengertian tersebut dapat di lihat pada undang-undang perkawinan pasal 1 tahun 1974 yang berbunyi: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan pada masyarakat Simalungun adalah merupakan suatu pranata

13 “Pengertian Dinamika” dalam http://id. Wikipedia. Org/wiki/Dinamika diposting pada

(18)

yang tidak hanya mengikat seorang pria dengan seorang wanita semata-mata. Perkawinan juga mengikat hubungan kekerabatan antara keluarga si pria yang disebut sebagai Paranak, dengan keluarga si wanita yang disebut sebagai

Parboru. Masyarakat Batak Simalungun beranggapan bahwa perkawinan

adalah suatu tahap terpenting dalam lingkaran hidup (life cycle) seseorang karena mengubah statusnya dari seorang remaja ke tingkat berumah tangga. dengan demikian telah dapat berperanan secara aktif dalam adat sebagai subjek, bukan hanya sebagai objek seperti halnya sebelum kawin.14

3. Konsep Batak Simalungun

Batak Simalungun adalah salah sub Suku Bangsa Batak yang berada di provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku ini berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun. Orang Batak menyebut suku ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka.15

14“Pengertian Perkawinan” dalam http://id. Wikipedia. Org/wiki/Perkawinan diposting

pada tanggal 10 Maret 2014.

15 ”konsep Simalungun” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Simalungun

(19)

1.7. Metode Penelitian Dan sumber

Metode penelitian sejarah lazimnya juga disebut metode sejarah. Metode itu sendiri berarti cara, jalan atau petunjuk pelaksanaan. Metode berbeda dengan metodologi, metodologi adalah Sience of methods yakni ilmu yang membicarakan jalan. Metode sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.16

Proses metode sejarah meliputi empat tahapan, pertama Heuristik yaitu kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau.17Heuristik merupakan suatu teknik untuk mencari jejak-jejak sejarah. Heuristik merupakan suatu teknik, suatu seni dan bukan suatu ilmu.18 Tahapan pengumpulan dan menemukan sumber dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dalam rangka mencari untuk menemukan sumber, serta mengumpulkan sumber-sumber tertulis yang mendukung setiap permasalahan diungkapkan. Sumber tertulis di dapatkan dari buku dan arsip-arsip. Penelitian lapangan dimana penulis bisa menggunakan metode wawancara dengan informan-informan yang terlibat langung dengan perkawinan simalungun.

Setelah melewati tahapan heuristik, maka penulis memasuki tahap kedua yaitu verifikasi atau kritik sumber, tujuannya ialah memperoleh keabsahan dari sumber yang didapatkan. Uji keabsahan tentang keaslian sumber dilakukan

16Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah ( Jogjakarta: Ar-Ruzza Media,

2007) p. 53.

17 Ibid. p. 64.

18 G. J. Reiner, Terj. Muin Umar, Metode dan Manfaat Ilmu sejarah, (Yogyakarta:

(20)

melalui kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern ini adalah kritik terhadap penampakan dari luarnya atau kebendaan tersebut. Selanjutnya kritik intern ini adalah meneliti kekredibilitasan sumber yang diperoleh.

Tahap ketiga yaitu Interpretasi atau analisis sejarah. Dalam hal ini ada dua metode yang digunakan yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan, sintesis berarti menyatukan. Analisis sendiri bertujuan melakukan sintesisatas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu dalam suaru interpretasi yang menyeluruh.

Fase terakhir adalah historiografi yaitu cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Penelitian sejarah dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian dari awal sampai akhir. Keseluruhan pemaparan sejarah haruslah argumentatif, artinya merekontruksi masa lampau didasarkan pada bukti-bukti yang terseleksi.

1.8. Lokasi Penelitian.

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Simalungun dan Alasan memilih lokasi ini adalah: Kabupaten Simalungun merupakan daerah yang penduduknya multi etnik dan sub etnik yaitu: Jawa, Melayu, Padang, Banjar, Nias dan Batak (Simalungun, Toba/Tapanuli, Karo, Pak-pak/Dairi, Angkola, Mandailing) komunikasi cukup tinggi, tata aturan adat sebagian masyarakat masih ada yang menjalankannya. Sub suku bangsa Batak Simalungun yang tinggal di Kabupaten Simalungunsebagian masih terdapat ada yang melaksanakan upacara perkawinan, tetapi sebagian lagi sudah tidak menggunakannya lagi, kalaupun melaksanakan upacara perkawinan adat Batak biasanya sudah tidak asli lagi menggunakan adat

(21)

perkawinan Simalungun, dari lokasi ini akan ditemukan alasan kenapa masyarakat suku bangsa Batak Simalungun sudah tidak konsisten menjalankan pelaksanaan upacara perkawinan.

1.9. Sistematika Penulisan

Hasil Penelitian tentang Dinamika Sistem Pelaksanaan Perkawinan Batak Simalungun di Kabupaten Simalungun pada tahun 1950-2010 ini akan dibuat dalam suatu sistematika atau kerangka penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi sejarah yang digunakan, kerangka konseptual dan teori, metode penelitian serta sistematika penulisan, dan lokasi penelitian.

Bab II Gambaran umum. Pada bab ini akan membahas tentang wilayah Simalungun, mengupas tentang budaya Simalungun.

Bab III Pengaruh agama Kristen terhadap perkawinan adat Simalungun. bab ini tentang dampak positif agama kristen di Simalungun

Bab IV Penyebab pelaksanaan upacara perkawinan Batak Simalungun kurang diminati oleh warganya sendiri. Bab ini membahas tentang faktor-faktornya. Bab V Pelaksanaa upacara pekawinan Batak Simalungun. Bab ini akan menguraikan tahap-tahap pelaksanaan atau prosesupacara perkawinan Batak Simalungun.

Bab VI Kesimpulan. Bab ini penulis akan menyimpulkan upacara perkawinan Batak Simalungun.

Referensi

Dokumen terkait

• Aerasi & agitasi merupakan hal yg penting dlm memproduksi sel-sel khamir dan bakteri. • u/ pertumbuhan secara aerobik, suplai oksigen merupakan faktor terpenting

Sedangkan pada tahap identifikasi, dilakukan pembandingan kemiripan sketsa wajah yang didapat dari proses rekonstruksi, dengan seluruh citra buronan yang ada di

Hasil penelitian ini adalah: (1) produk yang berupa media pembelajaran buku digital interaktif, (2) tingkat kelayakan media pembelajaran buku digital interaktif dari ahli

tuk spora. Mikroorganisme yang ada di udara akan cepat mati karena kelaparan dan radiasi UV. Bakteri yang mampu hidup di lingkungan udara bersifat gram positif

PURBA PENGAWAL TAHANAN/ NARAPIDANA JUMAT/ 16 NOV

Diharapkan dapat dijadikan bahan informasi dan pengetahuan tentang persepsi kedisiplinan dalam berlalu lintas sehingga subjek dalam mengendarai motor dapat hati-hati dan

masih hidup selama 830 tahun. Sepanjang hidupnya, Mahalalel menjadi bapak dari beberapa anak laki-laki * 5:3 anak laki-lakinya Dalam bahasa Ibrani sudah jelas dari kisah