• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terdiri dari banyak suku. Menurut data statistik terakhir, jumlah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terdiri dari banyak suku. Menurut data statistik terakhir, jumlah"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia terdiri dari banyak suku. Menurut data statistik terakhir, jumlah suku di Indonesia mencapai 1.128 suku. Setiap suku memiliki sistem kekerabatan masing-masing. Sistem kekerabatan adalah hubungan kekeluargaan melalui perkawinan. Secara garis besar, Indonesia mengenal tiga bentuk sistem kekerabatan, yaitu matrilineal, patrilineal, dan bilateral. Sistem kekerabatan matrilineal menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu), misalnya suku Minangkabau. Sedangkan sistem kekerabatan patrilineal menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah), misalnya suku Batak. Sementara bilateral menarik garis keturunan dari kedua pihak, ayah dan ibu, misalnya suku Jawa (Hadikusuma, 1987; Oemarsalim, 2000).

Salah satu suku yang ada di Indonesia adalah suku Minangkabau. Suku Minangkabau meyakini bahwa sejarah mereka bermula dari sekelompok orang yang bermukim di dataran rendah sebelah selatan Gunung Merapi, sebuah gunung api di Sumatera Barat (Bahar, dalam Murad 1980). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2010), Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 4.845.998 jiwa, dengan komposisi suku Minangkabau (88,35%), Batak (4,42%), Jawa (4,15%), Mentawai (1,28%), dan lain-lain (1,8%).

(2)

Kelompok masyarakat yang dominan menganut ajaran Islam biasanya diprediksi menganut sistem kekerabatan patrilineal. Namun hal ini tidak terjadi pada suku Minangkabau. Sistem kekerabatan merupakan salah satu adat yang telah dimantapkan oleh nenek moyang masyarakat Minangkabau sehingga adat ini tetap dilestarikan. Sistem kekerabatan matrilineal ini berarti keturunan dan harta warisan diturunkan melalui garis keturunan ibu. Setiap individu akan melihat dirinya sebagai keturunan ibu dan neneknya tanpa melihat keturunan bapaknya. Garis keturunan ini memiliki makna dalam hal pewarisan. Harta warisan, khususnya yang berupa barang tetap seperti sawah, ladang, dan rumah akan jatuh kepada anak perempuan. Prinsip matrilineal ini juga menentukan pewarisan gelar pusaka yang disebut sako, yaitu gelar atau jabatan dalam keluarga (Chairiyah, 2008). Seorang anak akan mendapat gelar sesuai dengan suku ibunya.

Selain karena sistem kekerabatannya, suku Minangkabau dinilai unik karena sistem perkawinannya. Perkawinan di Minangkabau bersifat matrilokal (Chairiyah, 2008). Sistem perkawinan ini memiliki arti bahwa suami bertempat tinggal di rumah istrinya setelah perkawinan. Perempuan di dalam rumahnya sendiri akan memegang kekuasaan yang sebenarnya, sedangkan di rumah suaminya ia dihormati. Laki-laki, setelah menikah, tetap terikat pada rumah ibunya. Mereka pulang ke rumah itu setiap hari untuk mengolah sawah dan ladang, memulihkan diri di rumah tersebut kala sakit, serta akhirnya dimakamkan di perkuburan keluarga ibunya (Hadler, 2010).

Suku Minangkabau ini berada hampir di seluruh provinsi Sumatera Barat, yang memang merupakan daerah asalnya. Namun kondisi tersebut tidak menutup

(3)

kemungkinan adanya keragaman suku di sana. Terdapat satu daerah di Sumatera Barat yang dikenal sebagai kawasan multietnis, yaitu Kota Sawahlunto. Kota Sawahlunto terletak 95 km dari Kota Padang. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2010), kota ini memiliki luas daerah 238,61 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 56.812 jiwa yang tersebar di empat kecamatan. Kota Sawahlunto diakui sebagai kota multietnis di Sumatera Barat. Menurut Walikota Sawahlunto saat ini, Kota Sawahlunto merupakan gambaran kecil dari Indonesia karena banyaknya suku yang ada di sana, mencakup Jawa, Sunda, Tionghoa, Bugis, Irian, dan Maluku (http://www.kompas.com/kompas.cetak/03 /04/10/Kel/411327.Htmx).

Penduduk yang mendiami kota ini mayoritas bersuku Minangkabau dan Jawa. Masyarakat Jawa di sini masih mempertahankan kebudayaannya. Pada 11 Desember 2010 lalu, diadakan upacara grebeg suro di kota ini, yaitu upacara memandikan benda keramat yang biasanya hanya dilakukan di daerah Jawa Tengah (http://www.bakinnews.com).

Migrasi yang terjadi di satu daerah memunculkan satu isu baru dalam perkawinan, yaitu perkawinan antarkelompok etnis. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di beberapa negara lain, misalnya Amerika Serikat. Suku bangsa Irish dan Latin di Amerika awalnya hanya melakukan perkawinan sesama sukunya saja, namun karena semakin meningkatnya jumlah kedua suku bangsa ini di Amerika maka perkawinan antara kedua kelompok etnis ini pun terjadi (Egelman, 2004). Perkawinan antarkelompok etnis adalah perkawinan yang terjadi antara pasangan yang berbeda latar belakang kebudayaannya.

(4)

Perbedaan yang terjadi dapat mencakup perbedaan nilai, keyakinan, tradisi, ataupun gaya hidup (Tseng, Dermot, & Maretzki, T.W., 1977). Perkawinan antarkelompok etnis yang terjadi di Minangkabau umumnya terjadi antara suku yang berbeda. Perkawinan antara suku yang berbeda ini bisa terjadi antara suku Minangkabau dengan suku Bugis, suku Minangkabau dengan suku Batak, atau suku Jawa dengan suku Batak.

Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang RI, 1974). Perkawinan akan melahirkan sebuah keluarga. Keluarga merupakan sekelompok orang yang disatukan oleh perkawinan, darah atau adopsi, atau hubungan pengekspresian seksual lainnya. Orang-orang yang terlibat dalam sebuah keluarga (anggota keluarga) saling berkomitmen di dalam sebuah hubungan yang intim. Setiap anggota keluarga juga melihat identitas pribadinya terlekat dalam kelompok tersebut, dan kelompok itu juga memiliki identitasnya sendiri (DeGenova, 2008). Keluarga merupakan representasi terkecil dari kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu bila ingin memahami hubungan, pola, atau proses dalam kehidupan masyarakat, maka harus memahami pula hubungan, pola, atau proses dalam sebuah keluarga. Keluarga merupakan sebuah sistem sosial yang juga memiliki proses sosial antara dua pihak, salah satunya adalah kekuasaan (power).

Kekuasaan dalam hubungan intim didefinisikan sebagai kemampuan salah satu pihak (suami atau istri) untuk mewujudkan keinginannya meskipun

(5)

bertentangan dengan pasangannya (DeGenova, 2008). Kekuasaan di dalam sebuah perkawinan dikenal dengan marital power. Terdapat empat tipe berbeda untuk menggambarkan kekuasaan di dalam sebuah perkawinan, yaitu male-dominant,

female-dominant, egalitarian, dan anarchic. Pada tipe male-dominant, kekuasaan

dalam pengambilan keputusan mayoritas berada di tangan suami. Sementara pada tipe female-dominant, kekuasaan dalam pengambilan keputusan mayoritas berada di tangan istri. Kedua tipe berikutnya, yaitu egalitarian dan anarchic, terlihat sama. Namun, pada tipe egalitarian, suami dan istri bekerja sama dalam membuat setiap keputusan. Sedangkan pada tipe anarchic, suami dan istri memliki kekuasaan untuk memutuskan hal-hal yang berbeda (DeGenova, 2008).

Kekuasaan dalam perkawinan tidak hanya dapat dinilai melalui pengambilan keputusan saja. Pengukuran marital power yang hanya didasarkan pada siapa yang paling banyak membuat keputusan dalam perkawinan tidak dapat menggambarkan apa yang melatarbelakangi perilaku mengambil keputusan itu. Oleh karena itu, Rothschild mengungkapkan tiga komponen yang terdapat dalam

marital power, yaitu authority, decision-making, dan influence. Komponen authority menjelaskan siapa yang berhak mengambil keputusan dalam perkawinan

menurut norma budaya dan sosial yang dianut pasangan suami-istri. Komponen

decision-making mengungkapkan siapa yang paling banyak mengambil keputusan

dalam perkawinan. Sementara komponen influence mengungkapkan siapa yang memiliki derajat kemampuan yang paling tinggi untuk mempengaruhi sudut pandang pasangan dalam menanggapi peristiwa atau membuat keputusan (dalam Scanzoni & Letha, 1988).

(6)

Terbentuknya satu tipe marital power dipengaruhi oleh banyak hal, yaitu norma budaya, norma gender, sumber daya ekonomi, pendidikan dan pengetahuan, perbedaan personal, faktor emosional, kemampuan komunikasi, postur dan kekuatan tubuh, kondisi hidup, serta anak (DeGenova, 2008). Norma budaya secara tidak langsung akan mempengaruhi sumber-sumber marital power lainnya.

Norma budaya menjadi sumber marital power yang penting. Budaya menentukan siapa yang berkuasa di dalam sebuah keluarga. Beberapa budaya menganggap laki-laki sebagai pemegang otoritas dan figur kekuasaan dalam keluarga dan meyakini bahwa perempuan harus tunduk kepada laki-laki (patriarchal). Pada beberapa budaya lain, keluarga menempatkan wanita sebagai kepala keluarganya (matriarchal) dimana perempuan membantu dalam hal pengasuhan anak dan pemenuhan kebutuhan ekonomi sehingga mereka memiliki kekuasaan dan tanggung jawab yang lebih besar daripada laki-laki (Burton, dalam Mabry, Beth, Giarrusso, Bengston 2007). Norma gender dapat menjadi sumber kekuasaan melalui proses sosialisasi. Sosialisasi peran gender yang menekankan kepasifan, kepatuhan, dan ketergantungan perempuan akan menguatkan posisi laki-laki sebagai pemegang otoritas dan figur kekuasaan (DeGenova, 2008).

Sumber daya ekonomi dapat menjadi sumber kekuasaan dalam perkawinan melalui kontrol yang dimiliki suami/istri atas sumber daya ekonomi tersebut.Pihak yang memiliki kontrol terhadap sumber daya bernilai yang dibutuhkan oleh anggota keluarga, khususnya uang dan properti, merupakan pihak yang memiliki kontrol terhadap anggota keluarga itu (deTurck & Miller, 1986 dalam DeGenova,

(7)

2008). Tidak hanya ekonomi, sumber daya lainnya seperti pendidikan dan pengetahuan, juga merupakan sumber kekuasaan yang penting. Pada masyarakat yang menghargai pendidikan, seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki kekuasaan yang lebih tinggi pula dalam perkawinannya (DeGenova, 2008).

Perbedaan personal sebagai sumber kekuasaan dapat dilihat data karakteristik demografis, seperti usia maupun karakteristik kepribadian lainnya. Pasangan yang lebih tua biasanya berkuasa atas pasangan yang lebih muda (DeGenova, 2008). Namun terlepas dari usia, beberapa orang memang memiliki karakteristik dominasi yang lebih besar yang menjadikannya lebih berkuasa atas pasangannya. Dalam sebuah perkawinan, setiap pasangan berbeda pula kondisi emosionalnya. Faktor emosional ini dapat mempengaruhi rasa cinta yang dimiliki pasangan. Pasangan yang memiliki cinta dan kebutuhan emosional yang paling besar akan memiliki kekuasaan yang paling kecil (Warner, Lee & Lee, dalam DeGenova, 2008).

Kemampuan komunikasi yang baik juga dapat membuat salah satu pasangan memiliki kekuasaan yang lebih besar. Pasangan yang memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik mampu mengkomunikasikan ide-ide mereka dengan lebih baik sehingga dapat meyakinkan anggota keluarga lain bahwa ia memiliki kekuasaan melalui kata-katanya. Kekuasaan juga dapat dipengaruhi oleh tampilan fisik seseorang. Postur tubuh yang menunjukkan kekuatan dapat berfungsi sebagai sumber kekuasaan bila pasangan meyakini bahwa postur tubuh demikian dapat memberikan hukuman fisik baginya (DeGenova, 2008).

(8)

Kekuasaan dalam keluarga juga dapat berubah seiring dengan berubahnya kondisi hidup keluarga. Semakin sedikit pilihan hidup yang dimiliki oleh salah satu pasangan, maka semakin kecil kekuasaan yang dimilikinya. Hal terakhir yang yang menjadi sumber kekuasaan dalam perkawinan adalah anak. Anak memiliki kekuasannya sendiri sehingga anak dapat memberikan pengaruh yang penting bagi kedua orangtuanya maupun anggota keluarga lainnya (DeGenova, 2008).

Beberapa penelitian dilakukan untuk mempelajari kekuasaan dalam sebuah perkawinan. Penelitian mengenai marital power yang paling dikenal adalah penelitian yang dilakukan oleh Blood dan Wolfe mengenai pengambilan keputusan dalam perkawinan. Penelitian ini dilakukan pada ratusan istri kulit putih dengan kelas sosial ekonomi menengah di Detroit, Michigan (dalam Ponzetti, 2003). Dari penelitiannya, Blood & Wolfe menemukan bahwa distribusi

marital power bergantung pada sumber daya bernilai yang diberikan oleh istri

atau suami dalam perkawinan tersebut (dalam Yount, 2005). Blood & Wolfe mengkhususkan sumber daya yang bernilai dalam bentuk pendapatan, prestise pekerjaan, dan tingkat pendidikan (dalam Ponzetti, 2003). Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini dilakukan di Amerika Serikat. Penelitian ini menemukan bahwa jika laki-laki memiliki pendapatan yang lebih besar dari istri mereka maka mereka akan memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan bila dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki pendapatan yang sama dengan istri mereka (Blumstein dan Schwartz, dalam Ponzetti, 2003).

(9)

Namun, hasil penelitian lain menemukan bahwa marital power tidak hanya ditentukan oleh sumber daya ekonomi yang dimiliki pasangan. Penelitian yang dilakukan oleh Rodman menemukan bahwa sumber daya individual relatif tidak penting di dalam masyarakat yang mengajarkan dominasi laki-laki di dalam keluarga (dalam Kulik, 1999). Hasil penelitian ini melahirkan teori resource in

cultural context. Teori ini menyatakan bahwa distribusi kekuasaan dalam

perkawinan bukan hanya berasal dari kontribusi sumber daya ekonomi dari suami/istri, tetapi juga dari konteks budaya dimana perkawinan itu berada. Dengan kata lain, jika suatu budaya menempatkan suami sebagai pemegang kekuasaan yang lebih tinggi maka norma ini dapat melebihi pengaruh sumber daya individual di dalam marital power. Tetapi di sisi lain, jika budaya melihat

marital power secara seimbang dimiliki oleh suami dan istri, maka pengaruh

sumber daya individual bisa saja menempatkan suami atau istri sebagai pemegang kekuasaan yang lebih tinggi (dalam Ponzetti, 2003).

Penelitian lainnya mengenai marital power menemukan bahwa komitmen emosional merupakan salah satu variabel penting yang membentuk ikatan perkawinan. Penelitian tersebut menemukan bahwa semakin kuat komitmen emosional yang dimiliki suami kepada istrinya maka suami akan merasa kekuasaannya semakin kecil dalam perkawinannya (Blumberg dan Coleman; Kranichfeld; McDonald, dalam Kulik, 1999). Sementara itu, Oropesa menemukan bahwa istri dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki kekuasaan yang seimbang dengan suaminya, merasakan kepuasan yang lebih tinggi dalam perkawinannya, dan memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk

(10)

menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (dalam Ponzetti, 2003). Berkaitan dengan budaya, dalam suku Fulaini di Afrika Barat yang umumnya beragama Islam, anggota keluarga khususnya perempuan dapat meningkatkan kekuasaan mereka dengan mempraktekan tradisi-tradisi suku Fulani (Johnson dalam Ponzetti, 2003).

Perkawinan biasanya dikatakan sebagai penyatuan dua individu, tetapi kenyataannya merupakan penyatuan dua keluarga (Santrock, 2002). Keluarga masing-masing pasangan memiliki peran dalam kehidupan perkawinan. Latar belakang budaya yang berbeda melahirkan sikap dan sudut pandang yang berbeda, sementara latar belakang budaya yang sama cenderung memiliki sikap dan sudut pandang yang sama. Misalnya saja suku yang memiliki sistem kekerabatan bilateral akan lebih menonjolkan keluarga inti mereka. Namun, pada suku yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal, peran keluarga inti tidak terlalu penting, karena kekuasaan seorang suami di dalam perkawinannya sendiri masih dibatasi oleh kekuasaan saudara laki dari istri. Seorang saudara laki-laki dalam budaya matrilineal bertanggung jawab untuk mengatur perkawinan saudara-saudara perempuannya serta memastikan kesejahteraan seluruh keluarga besarnya, khususnya saudara perempuan beserta anak-anaknya (Sikdar, 2009; Chairiyah, 2008; Mwambene, 2005; Das, 2001) .

Setiap perkawinan membutuhkan penyesuaian. Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam keluarga asal akan dibawa dalam perkawinan dan tentu hal ini perlu disesuaikan. Keputusan dalam segala hal, misalnya pemilihan tempat tinggal, sarana pendidikan anak atau hal keuangan keluarga, tidak bisa dibuat

(11)

secara individual. (Soewondo, dalam Patmonodewo et.al., 2001). Hal ini sesuai dengan pernyataan salah seorang istri dari perkawinan beda suku:

“Ya namanya juga dua kepala dalam satu rumah dek, pasti semuanya

harus dipikirkan berdua, saling ngalah. Kalo nggak ya nanti repot.” (Komunikasi Personal, 6 Februari 2012) Ungkapan yang hampir sama juga dikatakan oleh seorang istri yang juga berlatar belakang suku berbeda dari suaminya:

“Sukunya sama atau beda sama aja sebenernya. Ya mungkin lebih mudah kalau sama suku, tapi ya pada dasarnya sama saja. Kalau ibuk, ya selain adaptasi sama suku suami juga harus adaptasi sama lingkungan, kalau di sini ibuk kan merantau. Tapi di sini lingkungannya mendukung, nggak terlalu terkejut lah, karena banyak juga orang Jawa di sini.”

(Komunikasi Personal, 7 Februari 2012) Keragaman suku di Sumatera Barat akan memunculkan kemungkinan terjadinya perkawinan antarkelompok etnis seperti yang telah disinggung di atas. Nilai budaya matrilineal dan matrilokal hanya akan ditemukan pada masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain ini tergolong ke dalam perkawinan kurang ideal karena dapat merusak struktur adat, khususnya perkawinan antara perempuan Minangkabau dengan laki-laki yang bukan suku Minangkabau (www.bundokanduang.wordpress.com/ 2008/05/05/adat-perkawinan-diminangkabau). Hal ini juga sejalan dengan pendapat beberapa anggota masyarakat, antara lain sebagai berikut:

“Memang nggak dilarang sih, mbak nikah beda suku, tapi karena termasuk perkawinan yang nggak ideal lah jadi ya lebih banyak setelah nikah ya lanjut merantau, keluar dari daerah sini. Si oom kan gitu mbak, istrinya orang Batak, sekarang mereka di Jakarta.”

(12)

Salah satu masalah yang sering terjadi dalam perkawinan antarkelompok etnis adalah perbedaan budaya (Ami, 2006). Perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain ini banyak terjadi di Sawahlunto. Selain suku Minangkabau, suku mayoritas di daerah ini adalah suku Jawa. Keragaman suku sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat Sawahlunto. Komunikasi budaya yang kompleks juga sudah terjalin dalam hal organisasi, olahraga, maupun perkawinan. Jika perkawinan antarkelompok etnis ini terjadi pada suku Minangkabau dengan suku lain maka karakteristik budaya matrilokal dan sistem kekerabatan matrilineal akan mendapat pengaruh budaya lain dari pasangan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil wawancara informal dengan beberapa pasangan perkawinan beda suku di Sawahlunto ini. Gambaran yang pertama berasal dari perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain, dimana istri bersuku Minangkabau dan suami bersuku Jawa.

“Kalau kawin beda suku ya di sini udah biasa, sama saja rasanya. Kami kan ya memang perempuan biasanya punya banyak warisan, tapi yang mengelola seringnya suami juga, karena laki-laki kan. Nanti hasilnya baru diserahin lagi ke keluarga besar. Alhamdulillah keluarga kakak meskipun tradisi-tradisi masih kuat tapi menantu-menantu di keluarga kakak ini udah dianggap anak gitu. Apalagi kan suami kakak memang udah lama merantau di sini jadi ya udah ngerti lah adat Minang itu.”

(Komunikasi Personal, 6 Mei 2012).

Pasangan berikutnya juga mengakui hal yang hampir sama yaitu bahwa setelah berumah tangga, warna budaya Minangkabau tidak lagi terlalu ditonjolkan. Pasnagan kedua ini merupakan pasangan perkawinan antara suku Minangkabau dengan Jawa, dimana istri bersuku Jawa dan suami bersuku Minangkabau.

“Kakak juga sebenrnya udah lumayan lama kerja di sini, merantau lah. Pas dapet orang sisni ya jadinya biasa saja. Ya mungkin juga karena kan

(13)

kan perempuannya. Kalau soal rumah tangga, ya semuanya dijalanin sama-sama, kakak nggak merasa suami kakak itu otoriter atau bagaimana gitu ya. Karena kakak orang Jawa ya, dari dulu diajarin mau apa-apa itu pamit sama suami ya padahal suami kakak juga nggak kaku begitu. Di sini juga kan banyak orang Jawa atau suku lain. Jadi di sini saling menghargai, nggak ada kita harus ikut tradisi Minang gitu nggak ada.”

(Komunikasi Personal, 6 Mei 2012)

Begitu juga dengan pasangan ketiga yang merupakan pasangan perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain, dimana istri bersuku Minangkabau dan suami bersuku Batak.

“Kalau msalah rumah tangga sama saja dengan lainnya saya rasa. Kalau di keluarga istri ya memang masih kuat adatnya. Ya saya ngerti lah namanya juga ini kan masih daerah Minang. Kalau di rumah tangga kami, kebetulan kami tinggal bukan di rumah keluarga istri, karena lokasi kerja kami lebih dekat dari sini. Kalau di rumah, ya bisa dibilang seimbang lah, istri saya nggak ngatur-ngatur begitu, beda lah sama yang selama ini dibilang orang tentang perempuan Minang, hahaha. Tapi ya nggak nurut-nurut saja juga, hahaha. Di sini untungnya banyak suku lain, nggak Minang semua. Jadi ya nggak terlalu Minang lah dibilang. Kalau kamu liat di daerah lain mungkin beda lagi. Satu lagi untungnya, meski saya nikah sama orang Minang karena saya bukan Minang saya nggak perlu ikut pusing ngurusi keluarga kemanakan istri saya, hahaha.”

(Komunikasi Personal, 6 Mei 2012)

Berdasarkan gambaran-gambaran di atas, budaya perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain terlihat sudah mendapat warna dari keragaman budaya yang ada di daerah Sawahlunto sehingga sistem matrilineal dan matrilokal tidak lagi terlihat jelas. Melunturnya sistem budaya matrilineal dan matrilokal pada perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain ini akan mengubah kondisi sumber kekuasaan pada suami dan istri. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk melihat tipe marital power yang cenderung terbentuk pada perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain, baik secara umum

(14)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka terdapat beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini:

1. Bagaimana gambaran tipe marital power pada perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain?

2. Bagaimana gambaran tipe marital power pada perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain berdasarkan kondisi sumber-sumber

marital power, antara lain percampuran suku, usia, pendidikan terakhir,

status pekerjaan, penghasilan perbulan, dan anak?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tipe marital power pada perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain berdasarkan kondisi beberapa sumber marital power, antara lain percampuran suku dalam perkawinan, usia, pendidikan terakhir, status pekerjaan, penghasilan perbulan, serta anak

.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya bidang Psikologi Perkembangan mengenai marital power dalam keberagaman budaya di Indonesia.

(15)

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bagaimana gambaran marital power pada perkawinan beda suku, khususnya antara suku Minangkabau dengan suku lain

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat menambah wawasan bagi masyarakat mengenai

marital power dalam perkawinan

b. Penelitian ini dapat menambah wawasan bagi pemerhati budaya agar dapat lebih memahami kebudayaan Minangkabau dan pengaruhnya dalam kehidupan perkawinan

c. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi peneliti-peneliti lainnya yang ingin melakukan peneliti-penelitian dengan topik yang berkaitan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini adalah

BAB I : Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan teori berisi tinjauan teoritis terkait marital power dan kebudayaan Minangkabau.

BAB III : Metode penelitian berisi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel, populasi dan sampel penelitian, alat ukur penelitian, prosedur penelitian dan metode analisis data.

(16)

BAB IV : Analisa data dan pembahasan berisi uraian singkat mengenai gambaran subjek penelitian, analisis data, hasil penelitian, dan pembahasan.

BAB V : Kesimpulan dan saran berisi rangkuman hasil penelitian serta saran untuk penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan gambaran mengenai alasan-alasan dibalik perusahaan untuk melakukan pergantian auditor, sehingga dapat membantu

Bagi pendidik, penelitian yang telah dilaksanakan pada subtema daur air diharapkan dapat memberikan gambaran untuk pendidik mengenai pengembangan multimedia berbasis

Untuk lebih memperoleh hasil yang maksimal, maka penelitian tersebut nantinya juga diharapkan dapat memberikan suatu gambaran mengenai aplikasi rencana yang dibuat oleh Lembaga

Manfaat untuk institusi yaitu untuk memberikan gambaran dan informasi mengenai karakteristik reservoir Formasi Duri dan Formasi Bekasap, Cekungan Sumatra Tengah meliputi

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan tambahan sumber informasi, literatur, dan melengkapi kepustakaan Institusi Jurusan Gizi mengenai gambaran pola

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kesalahan yang dilakukan siswa kelas VIII dalam menyelesaikan soal cerita matematika pokok bahasan

Hasil kajian mengenai pemrosesan citra ALOS PALSAR untuk tutupan lahan diharapkan dapat memberikan informasi bagi pengguna citra penginderaan jauh mengenai kemampuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai tingkat kecemasan bertanding atlet, khususnya bagi atlet Taekwondo yang tergabung dalam Taekwondo Dojang/Klub