• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

Kepuasan pernikahan adalah perasaan yang bersifat sujektif dari pasangan suami istri mengenai perasaan bahagia, puas, dan menyenangkan terhadap pernikahannya secara menyeluruh. Salah satu faktor yang memengaruhi kepuasan adalah masa perkenalan. Masyarakat saat ini umumnya mencari calon teman hidupnya melalui proses pacaran. Proses lain yang juga dapat dilakukan adalah melalui ta’aruf. Umumnya, proses ta’aruf dilakukan oleh para pemeluk agama Islam. Ta’aruf merupakan komunikasi timbal balik antara laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal dan saling memperkenalkan diri yang berkaitan dengan masalah pernikahan. Perbedaaan yang mendasar antara pacaran dan ta’aruf dalam mencari pasangan hidup adalah proses pertemuannya. Fenomena mengenai pernikahan yang melalui proses ta’aruf khususnya terkait dengan kepuasan pernikahan masih jarang diteliti. Bab ini akan dipaparkan latar belakang yang menjelaskan mengenai kepuasan pernikahan dan ta’aruf, disertai rumusan masalah penelitian dan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti serta manfaat yang akan diperoleh melalui penelitian ini.

A. Latar Belakang

Dalam kehidupannya manusia tidak akan terlepas perannya sebagai mahluk sosial yang selalu melakukan interaksi dengan manusia lainnya dan membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai mahluk sosial, manusia terdorong untuk melakukan berbagai bentuk interaksi sosial dan menjalin hubungan-hubungan dengan manusia lainnya.

(2)

Hubungan-hubungan yang terjalin dengan orang lain tersebut dapat berbentuk seperti hubungan pertemanan, persahabatan, dan hubungan pernikahan. Dariyo (2003) mengatakan bahwa masa transisi peran sosial menuntut individu untuk segera menikah, agar dapat membentuk dan memelihara kehidupan rumah tangga yang baru yakni terpisah dari kedua orang tuanya. Hal ini sejalan dengan tugas perkembangan masa dewasa awal menurut Havighurst (dalam Dariyo,2003) yaitu mencari dan menemukan calon pasangan hidup serta menikah dan membina kehidupan rumah tangga.

Hubungan pernikahan merupakan salah satu bentuk dari intimate relationships. Menurut Erikson (dalam Papalia, 2009) membangun intimate relationships ini merupakan tugas perkembangan yang krusial dan penting bagi individu dalam tahap perkembangan dewasa muda, karena pada dasarnya dalam diri individu terdapat kebutuhan untuk membentuk suatu hubungan yang bersifat kuat, stabil, dekat, dan bersifat merawat.

Pernikahan adalah komitmen emosional dan legal dari dua orang untuk berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi tugas, dan sumber ekonomi (Olson & DeFrain, 2006). Dalam UU RI No. 1 Thn 1974 (dalam Walgito, 2004) disebut bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Perkawinan itu sendiri harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan dan tujuan

(3)

perkawinan itu sendiri. Perkawinan ataupun pernikahan pada dasarnya memiliki makna yang sama. Suryani (2007) mengatakan pengertian perkawinan lebih ditafsirkan telah melakukan hubungan seksual, sedangkan pernikahan erat hubungannya dengan melakukan upacara agama, adat atau aturan tertentu.

Terdapat beberapa alasan orang menikah, sebagian memutuskan menikah karena didorong oleh kebutuhan akan pertemanan (companionship), ingin berbagi, membutuhkan cinta dan kedekatan, mendapatkan dukungan dari orang lain, memiliki pasangan untuk berhubungan seksual, dan untuk memiliki anak (Olson & DeFrain, 2006). Suatu pernikahan yang berhasil tentulah yang diharapkan setiap pasangan. Studi yang dilakukan oleh Tittle (dalam Duval & Miller, 1985) mengatakan bahwa seorang pria yang akan memasuki dunia pernikahan menginginkan pernikahan yang akan memberikan mereka kehidupan rumah tangga yang normal, rumah milik sendiri, dan perasaan memimpin rumah tangga. Wanita dari sampel yang sama mengharapkan akan mendapatkan keamanan finansial, dukungan emosional, dan status atau kedudukan.

Akan tetapi, banyak orang tertarik untuk menikah tanpa benar- benar menyadari konsekuensinya. Kepekaan mereka akan realitas terganggu oleh khayalan, fantasi, dan ilusi romantik yang sangat emosional ini dapat menetralkan pertumbuhan positif dari pernikahan mereka. Pengharapan dan fantasi yang tak realitis menciptakan jurang antara keduanya dan akibatnya, banyak pasangan yang terkejut dan kecewa setelah menikah (Wright, 2008). Ada beberapa kriteria yang dicetuskan para ahli dalam

(4)

mengukur keberhasilan pernikahan. Kriteria itu antara lain: awetnya suatu pernikahan, kebahagiaan suami istri, kepuasan pernikahan, penyesuaian seksual, dan kesatuan pasangan (Burgess dan Locke dalam Ardhinita, 2005). Disini kepuasan pernikahan menjadi salah satu faktor yang penting dalam keberhasilan suatu pernikahan.

Bahr, Chapell, dan Leigh (dalam Burpee dan Langer 2005) mengatakan bahwa kepuasan pernikahan adalah suatu hal yang dihasilkan dari penyesuaian antara yang terjadi dengan yang diharapkan, atau dibandingkan dari hubungan yang aktual dengan pilihan jika hubungan yang dijalani akan berakhir. Kepuasan dalam pernikahan dipengaruhi oleh harapan pasangan itu sendiri terhadap pernikahannya, yaitu harapan terhadap nilai-nilai pernikahan, harapan yang tidak jelas, tidak adanya harapan yang cukup. dan harapan yang berbeda. Sejalan dengan Teori pertukaran sosial dari Thibout dan Kelley (dalam West dan Turner, 2005) menjelaskan bahwa seseorang dalam melakukan hubungan interpersonal akan selalu mempertimbangkan cost dan benefit yang didapatkannya. Bila individu merasa hubungan itu memberi lebih banyak benefit daripada cost maka ia akan menilai hubungan tersebut memuaskan sehingga akan meneruskan hubungan. Sebaliknya jika individu merasa hubungan itu memberi lebih banyak cost daripada benefit maka ia akan menilai hubungan tersebut tidak memuaskan hingga pada umumnya individu tidak meneruskan hubungan tersebut. Olson dan Defrain (2006) mengatakan bahwa kepuasan pernikahan adalah perasaan yang bersifat subjektif dari pasangan suami istri

(5)

mengenai perasaan bahagia, puas, dan menyenangkan terhadap pernikahanya secara menyeluruh.

Menurut Dariyo (2003) kebahagiaan lahir batin dalam membina kehidupan rumah tangga dapat diraih dengan berupaya mencari calon teman hidup yang cocok untuk dijadikan pasangan dalam pernikahan. Hal yang sama diungkapkan oleh Duvall dan Miller (1985) bawa faktor latar belakang yaitu masa perkenalan dapat memengaruhi kepuasan pernikahan. Masyarakat saat ini umumnya mencari calon teman hidupnya melalui proses pacaran. Menurut DeGenova dan Rice (2005) pacaran adalah menjalankan suatu hubungan diantara dua orang yang dapat bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama agar saling mengenal satu sama lain. Berpacaran bisa didefinisikan sebagai kegiatan berkasih-kasihan antara dua muda-mudi yang sedang jatuh cinta (Surbakti, 2008). Pacaran ditandai dengan adanya kedekatan emosional dan daya tarik seksual terhadap lawan jenis serta perasaan cocok yang dirasakan oleh kedua individu (laki-laki dan perempuan lajang).

Hurlock (1999) menyatakan banyak pemuda yang mencoba mendekati beberapa wanita untuk menemukan apakah mereka itu merupakan wanita yang bisa menjadi seorang istri yang akan mendampinginya seumur hidup. Demikian juga dengan wanita, mereka berpacaran sering dengan lebih dari satu orang pria sebelum menentukan pasangan hidup yang dirasanya cocok baginya.

(6)

Gambar 1

Berpacaran sebagai instrumen seleksi

Sumber : Surbakti. Sudah siapkah menikah? : Paduan bagi siapa saja yang sedang dalam proses menentukan hal penting dalam hidup. penerbit Gramedia.

Gambar diatas memberikan gambaran mengenai tujuan seseorang berpacaran. Masa pacaran adalah kesempatan paling baik untuk mengenal calon pasangan secara menyeluruh. Saling menjajaki antara kedua belah pihak tentang berbagai kemungkinan, baik sisi positif maupun sisi negatif pasangan. Hal ini menunjukan bahwa apabila dalam proses pacaran tersebut, merasa tidak ada kecocokan maka hubungan tersebut dapat berakhir sebelum sampai ke pernikahan.

Pacaran bukanlah satu-satunya cara untuk mendapatkan pasangan hidup yang tepat. Dalam Islam pacaran sendiri tidak perbolehkan karena pacaran adalah salah satu jalan mendekati zina.

PACARAN

ALAT

SELEKSI

TUJUAN

(7)

Allah SWT melarang hamba-hambaNya untuk mendekati zina sesuai dengan firmannya :

“Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S Al-Isra ayat 32).

Islam telah menawarkan konsep yang syar’i untuk menuju sebuah pernikahan yaitu melalui proses ta’aruf. Ta’aruf berasal dari bahasa Arab yang artinya saling mengenal. Berkenalan bisa dengan siapa saja, laki-laki atau perempuan. Namun, makna ta’aruf menjadi lebih spesifik ketika ditujukan untuk seseorang yang sedang mencari jodoh. Ta’aruf pada asasnya, adalah proses yang dijalani seseorang yang telah mantap hati dan memastikan diri sehingga siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan (Takariawan, 2006)

Alasan orang memilih pacaran atau ta’aruf dalam proses pencarian pasangan hidupnya berbeda-beda. Menurut Dion dan Dion (dalam Newman, 2006), masyarakat Amerika dan masyarakat lain yang menganut budaya individualis mempercayai bahwa cinta yang romantis (romantic love) merupakan alasan utama bagi seseorang dalam memilih pasangan hidupnya. Menurut masyarakat yang berorientasi kolektif, cinta bukanlah faktor yang relevan dalam memilih pasangan hidup. Pemilihan pasangan hidup dalam masyarakat berorientasi kolektif dapat dilakukan oleh anggota keluarga, berdasarkan religious (hal yang bersangkutan dengan agama), finansial, atau latar belakang keluarga calon pasangan yang akan dipilih. Beberapa faktor pertimbangan dipercayai memiliki kontribusi yang tepat atas pilihan yang

(8)

diambil, tidak hanya untuk individu yang akan menikah tetapi juga bagi sistem keluarga yang lebih luas.

Pacaran ataupun ta’aruf pada intinya merupakan proses untuk mendapatkan pasangan hidup yang cocok. Hal paling mendasar yang membedakan proses pacaran dan ta’aruf adalah pada proses pertemuannya. Pacaran menurut Chudori (1997) membutuhkan waktu yang lebih lama, bahkan ada yang sampai bertahun-tahun. Waktu yang lebih ini memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk berusaha saling mengenal karakter, sifat, watak, kebiasaan, kelebihan dan kekurangan dari orang yang dicintainya untuk saling menyesuaikan diri sebelum memasuki pernikahan. Hal ini berbeda dengan yang dialami pada proses ta’aruf. Waktu yang dibutuhkan dalam proses ta’aruf hingga sampai ke tahap pernikahan hanya berkisar satu hingga tiga bulan saja, namun tidak menutup kemungkinan proses ini bisa berlangsung lebih lama bila terjadi beberapa kendala dalam prosesnya.

Proses perkenalan dan pertemuan pria dan wanita dalam proses ta’aruf dilakukan dengan didampingi mediator. Menurut Ajaran Islam, hal ini sesuai dengan Hadist Rasulullah Saw yang berbunyi:

“Janganlah seorang laki-laki bertemu sendirian (bersepi-sepian)dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya, karena yang ketiganya adalah setan.”(HR Imam Ahmad dari Amir bin Robi’ah ra).

Rasulullah telah memperingatkan agar pria dan wanita yang bukan muhrim untuk tidak bertemu berduaan tanpa ada yang

(9)

mendampingi. Hal inilah yang menjadi pedoman utama dalam

ta’aruf. Setiap pertemuan dalam ta’aruf, pria dan wanita tidak

bertemu berdua saja melainkan harus selalu didampingi mediator. Mediator dalam proses ta’aruf adalah orang yang paling dekat dan mengenal kepribadian calon pasangan yang akan melakukan

ta’aruf, bisa orang tua, guru ngaji atau sahabat karib yang

dipercayai, sehingga diharapkan mereka dapat memberikan informasi yang benar, akurat serta menyeluruh mengenai diri calon tersebut (Imtichanah, 2012).

Berbeda dengan pasangan yang berpacaran, mereka dapat bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama berdua saja tanpa didampingi mediator. Berkembang dan matangnya organ-organ biologis pada masa dewasa membuat kecenderungan untuk berdekatan secara fisik dengan lawan jenis sulit dihindarkan, apalagi ketika dua orang berlawanan jenis bertemu hanya berdua saja tanpa ada yang mendampingi. Hal inilah yang bisa membelokkan tujuan awal pacaran, dari ingin mengenal pasangan lebih baik menjadi cenderung mengarah pada perbuatan-perbuatan amoral yang bertentangan dengan norma dan agama. Hasil penelitian Setyawan (2008) menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara pacaran dengan perilaku seksual pranikah. Dilihat dari hasil penelitian didapat bahwa perilaku seksual subyek yang ditunjukan dari tingkatan saling memandang dengan mesra hingga menyentuh jari atau tangan pasangan (17,26%), tingkatan saling berpegangan tangan hingga memeluk/dipeluk pada bagian pinggang oleh pasangan (22,36%), tingkatan mencium/dicium pada bagian kening oleh pasangan hingga berciuman bibir dengan

(10)

pasangan (22,84%), tingkatan berciuman disertai dengan menyentuh wajah dan rambut pasangan hingga berciuman disertai dengan menyentuh alat kelamin melalui pakaian (21,83%) dan tingkatan mencumbu bagian dada tanpa pembatas hingga bersanggama dengan pasangan (15,74%). Melakukan seks pranikah dianggap sesuatu yang wajar dalam kehidupan modern. Tidak sedikit orang yang berpacaran melakukan seks dalam masa pacaran untuk menunjukan besarnya kadar cinta (Surbakti, 2008).

Pernikahan dapat langgeng selamanya atau dapat pula bercerai di tengah perjalanannya. Pada kenyataan, tidak sedikit pernikahan harus diakhiri dengan perceraian karena kesalahan ketika memilih pasangan. Pasangan yang menikah melalui ta’aruf dengan waktu perkenalan yang singkat membuat individu kurang mengenali pasangannya dengan baik, sehingga di awal-awal pernikahan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dengan pasangan yang berdampak pula pada kepuasan pernikahan. Hurlock (1999) mengatakan bahwa salah satu kondisi yang menyumbang terhadap kesulitan dalam penyesuaian perkawinan adalah persiapan yang terbatas untuk perkawinan dan pacaran yang dipersingkat.

Akan tetapi, pada masa pacaran biasanya semua terlihat indah, karena masing-masing menampilkan perilaku-perilaku ideal dan terbaik kepada pasangan agar bisa selalu bersama. Sehingga memunculkan persepsi dan penilaian diri pribadi terhadap pasangan, yang akhirnya dapat memengaruhi standar penilaian individu terhadap diri pasangannya (Adhim, 2004). Namun setelah menikah dan saling memiliki, mereka merasa tidak ada lagi yang harus ditutup-tutupi dan masing-masing akan memperlihatkan sifat

(11)

aslinya. Menurut Adhim (2004) perbedaan pada masa pacaran dengan kenyataan yang dialami setelah pernikahan inilah yang seringkali dapat menimbulkan ketidakpuasan dalam pernikahan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Linda (bukan nama sebenarnya) yang menikah setelah melalui masa pacaran selama 4 tahun, berikut ini :

“... Pekawinan saya menginjak tahun ketiga, namun sekarang banyak diwarnai konflik dan ketegangan yang semakin melelahkan. Saya merasa kecewa karena suami saya sudah berubah, dan tidak seperti yang saya harapkan…”

(Sumber: Subiyanto. Pernak-Pernik Perkawinan (Tanya Jawab). Penerbit : Yayasan Pustaka Nusantara).

Pernikahan dengan melalui proses pacaran ataupun ta’aruf pastinya mempunyai sisi positif dan sisi negatifnya. Sepanjang kehidupan pernikahan, semua pasangan akan menghadapi tekanan- tekanan baru. Tekanan-tekanan tersebut mungkin berasal dari luar pernikahan, mungkin juga dari dalam pernikahan itu sendiri.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Gupta & Singh (dalam Gamal, 2007) membandingkan cinta romantis antara orang-orang yang menikah karena cinta, dijodohkan, dan hidup bersama tanpa nikah, selang mereka hidup bersama selama sepuluh tahun. Menurut studi tersebut, cinta romantis yang biasanya terjadi pada pasangan yang berpacaran sebelum menikah akan berkurang setelah pasangan tersebut menikah. Beberapa hal yang menyebabkan hal ini adalah masing-masing pasangan pada saat berpacaran mengagumi pasangannya dan meminimalisasi hal-hal yang kurang pada diri pasangan. Akan tetapi setelah menikah, mereka baru mengalami realita kehidupan, fantasi hilang, tidak ada

(12)

lagi atau menurun perasaan cinta romantis. Selanjutnya adalah hal baru, pengalaman baru dalam menjalin cinta menimbulkan semangat dalam cinta romantis. Jika hal-hal baru ini sudah tidak ada, maka cinta romantis akan berkurang. Terakhir adalah adanya penurunan arousal, yang mengakibatkan menurunnya frekuensi berhubungan seks. Dari studi tersebut, dapat ditarik bahwa terbukti pacaran hanya akan mengurangi kepuasan menikah pada saat pasangan tersebut menjalani kehidupan bersama. Hal-hal seperti fantasi, hal-hal baru dan arousal hanya akan terdapat pada pasangan yang menikah dengan berpacaran. Alasan ini semakin memperkuat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pacaran memang tidak diperlukan, bahkan cenderung merugikan pernikahan itu sendiri. Bahkan "cinta" yang menyebabkan pasangan menikah seringkali beda dengan "cinta" yang membuat pasangan tetap saling mencintai.

Berkebalikan dengan studi tersebut, studi tentang manajemen konflik rumah tangga yang dilakukan Blood (dalam Gamal, 2007) menyatakan bahwa pacaran itu dibutuhkan sebelum pernikahan. Blood mengatakan "courtship is the entire process that leads up to marriage". Dalam hal ini, Blood mengatakan bahwa ada suatu proses untuk menuju suatu pernikahan dan itu dinamakan sebagai proses courtship. Masa courtship ini sangat penting untuk dioptimalkan dengan baik. Menurut studi ini, fenomena cerai sebagian besar disebabkan oleh kegagalan dalam masa courtship (pacaran). Kebanyakan pasangan yang pada akhirnya memutuskan untuk bercerai disebabkan pengalaman courtship yang tidak dimanfaatkan secara baik. Dengan kata lain, bahwa seseorang yang

(13)

tidak mengoptimalkan masa courtship atau bahkan tidak sama sekali mengalami masa courtship (menikah tanpa pacaran) dikatakan akan mengalami banyak konflik. Akhir dari manajemen konflik yang kurang baik dalam rumah tangga adalah perceraian. Dengan masa perkenalan yang semakin lama maka penyesuaian antar pasangan akan lebih baik. Seorang akan lebih mengerti kebiasaan-kebiasaan, perilaku ataupun kepribadian pasangannya. Dengan demikian, ketika mereka akan melanjutkan ke jenjang pernikahan tidak akan ada keterkejutan-keterkejutan karena menemui kebiasaan dan kepribadian yang berbeda yang mungkin akan menganggu kebahagiaan dan kepuasan dalam pernikahan.

Studi Blood yang menyatakan bahwa perceraian disebabkan karena menikah tanpa pacaran, dibantah oleh temuan Musaddad (dalam Gamal, 2007). Musaddad meneliti tentang gambaran konflik dan manajemen konflik pada pasangan yang menikah tanpa pacaran. Hasil studi Musaddad menunjukkan bahwa walaupun partisipan menikah tanpa pacaran, mereka tetap bisa melakukan manajemen konflik dengan cukup baik. Studi tersebut menyatakan bahwa partisipan mempunyai komitmen untuk mempertahankan pernikahan yang tinggi, sehingga mereka mampu mempertahankan pernikahan mereka sampai melewati masa krisis perceraian dalam suatu pernikahan. Komitmen partisipannya tersebut terbangun atas dasar pemahaman agama yang dipahami oleh pasangan itu.

Dari tinjauan pustaka di atas tampak bahwa proses sebelum pernikahan menjadi topik pembahasan yang masih diperdebatkan. Dengan demikian, model menikah melalui proses ta’aruf merupakan fenomena yang menarik. Maka dari itu peneliti

(14)

mengambil judul “Kepuasan Pernikahan Pada Wanita yang Menikah Melalui Proses Ta’aruf”. Penelitian ini akan menggali bagaimana kepuasan pernikahan pada wanita yang menikah melalui proses ta’aruf.

Ruang lingkup penelitian ini adalah pada wanita yang menikah melalui proses ta’aruf, yang berada pada usia tergolong dalam rentang usia antara 20 sampai 40 tahun. Menurut Holahan dan Levenson (dalam Lemme, 1995) wanita lebih sulit merasakan kepuasan pada pernikahannya dan pada umumnya wanita lebih sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan pernikahannya. Disamping itu Hurlock (1999) menyatakan rentang usia tersebut tergolong masa dewasa muda. Adapun pemilihan usia tersebut karena penulis berasumsi pernikahan dengan usia pernikahan yang cukup untuk penelitian umumnya berada pada rentang usia tersebut. Jika pernikahan dilakukan sebelum atau setelah masa ini, maka penyesuaian serta konflik yang terjadi dapat berbeda. Kepuasan pernikahan sebagai seorang dewasa lanjut misalnya, dipengaruhi pula oleh kemampuan masing-masing pasangan untuk menghadapi konflik-konflik personal, termasuk penuaan, sakit dan tentunya kematian (Duvall & Miller dalam Santrock, 2012).

B. Rumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Untuk itu, peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut yaitu bagaimana

(15)

dinamika kepuasan pernikahan pada wanita yang menikah melalui proses ta’aruf, yang mencakup :

1. Bagaimana gambaran kepuasan pernikahan pada wanita yang menikah melalui proses ta’a’ruf?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepuasan pada wanita yang menikah melalui proses ta’aruf?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepuasan pernikahan pada wanita yang menikah melalui proses ta’aruf, serta faktor-faktor yang menyebabkannya.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah diharapkan agar hasil penelitian ini dapat memberikan informasi di bidang psikologi pada umumnya dan pada bidang psikologi perkembangan khususnya, terutama yang berkaitan dengan kepuasan pernikahan pada wanita yang menikah melalui ta’aruf.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada masyarakat, khususnya bagi individu yang belum menikah, mengenai gambaran kepuasan pernikahan pada wanita yang menikah melalui proses ta’aruf, sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan proses apa yang akan jalani dalam pemilihan pasangan hidup kelak.

(16)

b. Memberikan informasi pada masyarakat tentang hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan pada wanita yang menikah melalui proses ta’aruf.

c. Diharapkan agar penelitian ini dapat memberi pengetahuan pada pasangan yang menikah dengan pacaran maupun ta’aruf, terkait dengan faktor-faktor apa saja yang dapat memengaruhi kepuasan pernikahan.

Referensi

Dokumen terkait

Bagi peserta yang karena sesuatu hal tidak dapat mengikuti jalannya rapat dan harus meninggalkan ruang rapat, maka sebelum dan sesudahnya harus memberi tahukan kepada pimpinan

The application layer requests sensor data transmission, and the coordination layer sends the sensor data via the network layer to the application layer in the form of a

Jadi metode pengolahan limbah dari penelitian adalah variabel asam sulfat dan natrium bikarbonat dengan hasil analisa 29 mg/l total padatan, 15 mg/l padatan tersuspensi, 9

Proses pembuatan bioetanol biasanya melalui proses hidrolisa sebagai pemecah unsur pati menjadi gula sederhana, proses fermentasi untuk menghasilkan bioetanol dan proses

waktu yang ditentukan oleh Panitia, maka perusahaan saudara dinyatakan tidak

Jumlah Saham yang ditawarkan 26.000.000.000 Saham Biasa Atas Nama dengan Nilai

Penelitian ini hendak menelusuri bagaimana aktivitas Filantropi Islam di Kalangan Jama’ah Tabligh Halqah Sipispis Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara, bentuk-bentuk

Dengan mendampingi peserta didik dalam shalat, maka secara tidak langsung guru telah menerapkan metode keteladanan pada murid, sehingga dengan begitu siswa serta merta