• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI 2.1 Pencahayaan

a. Definisi cahaya

Cahaya menurut Newton (1642-1727) terdiri dari partikel-partilkel ringan berukuran sangat kecil yang dipancarkan oleh sumbernya ke segala arah dengan kecepatan yang sangat tinggi. Cahaya dapat juga didefinisikan sebagai energi radiasi yang dapat dievaluasi secara visual (menurut Illuminating Engineering Society, 1972), atau bagian dari spektrum radiasi elektromagnetik yang dapat dilihat (visible).

Cahaya berada pada daerah panjang gelombang 400 nm s.d. 800 nm (atau 380 nm s.d. 780 nm). Di luar daerah tersebut, mata manusia tidak sensitif. Radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang di bawah 400 nm disebut sinar ultraviolet, sedangkan radiasi elektromagnetik di atas 800 nm disebut sinar inframerah.

Gambar 2.1 Spektrum cahaya tampak

(http://fisbang.tf.itb.ac.id, Dasar-dasar pencahayaan 2002)

2.2 Sumber Cahaya

Pencahayaan alami siang hari, terutama di daerah tropis, dimanfaatkan untuk penerangan dalam ruangan selama siang hari (pukul 08.00 ~ 16.00). Penggunaan pencahayaan alami siang hari dalam bangunan sangat bermanfaat terutama untuk mengurangi konsumsi energi listrik dalam bangunan, serta untuk memberikan kenyamanan secara Fisiologis dan Psikologis bagi penghuni bangunan. (Veitch J. A, 2001).                

(2)

Pencahayaan alami umumnya dibagi dua:

1. Sunlight: yaitu cahaya matahari langsung, umumnya memiliki intensitas yang tinggi dan sudut penyebaran cahaya yang sempit. Cahaya jenis ini harus selalu dijaga agar jumlahnya tetap terkendali, sehingga tidak menimbulkan silau dan radiasi panas yang terlalu tinggi.

2. Daylight: yaitu cahaya matahari tidak langsung yang disebarkan oleh partikel-partikel atmosfer, termasuk awan, umumnya memiliki intensitas yang sedang sampai dengan rendah dan sudut penyebaran cahaya yang lebar (mendekati difus/merata ke segala arah). Cahaya jenis ini umumnya lebih disukai untuk digunakan sebagai pencahayaan alami dalam bangunan, karena tidak terlalu menimbulkan silau dan radiasi panas yang tinggi.

Sumber cahaya dapat digolongkan menjadi sumber cahaya alami (misal matahari, bintang) dan sumber cahaya buatan (non-listrik dan listrik). Sumber cahaya buatan listrik dapat dibagi lagi menjadi:

1. Lampu Incandescent yaitu lampu yang pada prinsipnya menggunakan kawat halus (filamen) yang berpijar untuk menghasilkan cahaya. Terdiri dari lampu pijar dan halogen

2. Lampu pelepasan gas (gas discharge) yaitu lampu yang pada prinsipnya menggunakan atom-atom gas yang dirangsang untuk naik tingkat energinya, sehingga memancarkan cahaya pada saat turun kembali. Terdiri dari lampu fluoresen dan high intensity discharge (merkuri, metal halida, sodium bertekanan tinggi, dan sodium bertekanan rendah).

(http://fisbang.tf.itb.ac.id, Pencahayaan alami siang hari, 2008)

2.2.1 Model Langit

Pencahayaan alami siang hari sangat bergantung dari kondisi langit pada setiap saat. Untuk keperluan perancangan, Commision Internationale L’Eclairage (CIE) telah menentukan beberapa jenis langit perancangan untuk berbagai lokasi dan kondisi, antara lain:

               

(3)

1. Langit cerah (clear sky): langit dengan luminansi yang bervariasi menurut lintang geografis dan ketinggian matahari (azimut). Luminansi tertinggi berada dekat posisi matahari dan terendah berada pada posisi yang berseberangan dengan matahari.

2. Langit menengah (intermediate sky): variasi dari langit cerah yang lebih „gelap‟. Luminansi tertinggi juga berada dekat posisi matahari, tetapi tidak seterang pada langit cerah. Perubahan luminansi yang ada tidak sedrastis pada langit cerah.

3. Langit mendung (overcast sky): langit dengan luminansi yang bervariasi menurut lintang geografis. Luminansi pada titik zenit (tepat di atas kepala) sebesar tiga kali luminansi pada horison (cakrawala). Model langit jenis ini umumnya digunakan untuk pengukuran faktor pencahayaan alami siang hari dalam bangunan.

4. Langit merata (uniform sky): langit dengan luminansi yang sama pada seluruh posisi, tidak tergantung dari lintang geografis dan ketinggian matahari. Untuk Indonesia, dalam SNI 03-2396-2001 ditetapkan langit perancangan berupa langit merata dengan iluminansi pada bidang datar di lapangan terbuka sebesar 10.000 lux.

(http://fisbang.tf.itb.ac.id, Pencahayaan alami siang hari, 2008)

Selain itu dalam segi kesehatan matahari memiliki khasiat yang sangat berguna bagi makhluk hidup. Berikut ini adalah beberapa manfaat cahaya matahari :

1. Membunuh mikroba. Itulah sebabnya kita harus menjemur karpet atau kasur yang susah untuk dicuci. sinar matahari membuat kulit tampak cerah dan meningkatkan elastisitas, juga terbukti dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh.

2. Meningkatkan suasana hati dan mood. Sinar matahari juga membantu menjadi terapi dalam kasus depresi kronis dan akut dengan cara merangsang sintesis endorfin. Itulah sebabnya kita merasa takut dalam suasana gelap.                

(4)

3. Mengurangi insomnia, juga sinar matahari meningkatkan produksi hormon melatonin di malam hari, hormon ini membantu kita tidur lelap.

4. Kulit mensintesa vitamin D dengan bantuan sinar matahari, vitamin D membantu penyerapan kalsium dalam usus yang membuat tulang menjadi kuat. Sinar matahari mencegah rachitis pada anak-anak dan osteoporosis pada lanjut usia

5. Dengan vitamin D dan beberapa senyawa lainnya yang dapat menghambat pengembangan sel kanker, selain itu sinar matahari yang teratur dan terkontrol dapat melawan penyakit kanker usus, payudara, leukemia. 6. Memperkuat sistem kardiovaskuler, meningkatkan sirkulasi darah, denyut

nadi, tekanan arteri dan menormalkan kadar kolesterol

7. Sinar matahari meningkatkan fungsi hati, yang efektif dalam mengobati penyakit kuning.

8. Membantu kerja ginjal, saat matahari panas tubuh mengeluarkan air melalui keringat.

9. Membantu menurunkan berat badan dengan meningkatkan tingkat metabolik melalui stimulasi tiroid.

10. Menolong meringankan radang sendi dalam kasus arthritis. (www.prudentschool.sch.id)

2.2.2 Faktor Pencahayaan Alami Siang Hari

Faktor pencahayaan alami siang hari (FPASH) pada suatu titik dalam ruangan adalah perbandingan antara iluminansi horisontal di bidang kerja dalam ruangan (Ei [lux]) terhadap iluminansi horisontal di lapangan terbuka di luar

ruangan (Eo [lux]) pada saat yang sama.

(2.1) keterangan :

FPASH : Faktor Pencahayaan Alami Siang Hari

Ei : Iluminansi horizontal di bidang kerja dalam ruangan. Eo : Iluminansi horizontal di lapangan terbuka di luar ruangan                

(5)

Pengukuran FPASH minimal dilakukan pada 1 titik ukur utama (TUU) dan 2 titik ukur samping (TUS), seluruhnya pada ketinggian 75 cm dari lantai, serta pada jarak d/3 (d = kedalaman ruangan) dari bidang di mana terdapat lubang cahaya. TUU berada pada tengah-tengah dari kedua dinding samping, sedangkan TUS masing-masing berada pada jarak 0,5 meter dari dinding samping yang terdekat.

Gambar 2.2 Ilustrasi TUU, TUS, dan d

(SNI 03-2396-2001)

Untuk merancang besar faktor pencahayaan alami siang hari pada suatu titik dalam ruangan, perlu dihitung terlebih dahulu besarnya faktor langit, faktor refleksi dalam, dan faktor refleksi luar pada titik itu. Jumlah dari ketiga faktor tersebut menghasilkan faktor pencahayaaan alami siang hari.

2.2.3 Faktor Langit

Faktor langit adalah komponen pencahayaan alami siang hari yang berasal dari langit. Faktor langit, FL (dalam persen), ditentukan dari harga H/D dan L/D, dengan H dan L adalah tinggi dan lebar lubang cahaya efektif, serta D adalah jarak titik ukur ke bidang lubang cahaya efektif.

( √ ( ) √ ( ) ) (2.2) keterangan : FL : Faktor Langit H : Tinggi ruangan.

L : Lebar lubang cahaya efektif.

D : Jarak titik ukur ke bidang lubang cahaya efektif.                

(6)

Pada prakteknya, harga faktor langit sebagai fungsi dari H/D dan L/D ditentukan berdasarkan pada SNI 03-2396-2001. Perlu diketahui bahwa standar tersebut hanya berlaku untuk lubang cahaya efektif seperti pada Gambar 2.4 a. Untuk lubang cahaya efektif yang tidak tepat berhimpit dengan proyeksi titik ukur pada bidang lubang cahaya, seperti pada Gambar 2.3, faktor langit di titik ukur ditentukan dengan cara menambah dan/atau mengurangi faktor langit dari bidang-bidang yang melalui proyeksi titik ukur pada bidang-bidang lubang cahaya.

Gambar 2.3 Contoh posisi lubang cahaya efektif terhadap titik ukur.

(SNI 03-2396-2001)

Pada Gambar 2.4 b, lubang cahaya efektif ABCD dapat dinyatakan sebagai bidang (EGCH – EFDH + EFAI – EGBI). Maka faktor langit di titik ukur U akibat lubang cahaya efektif ABCD adalah :

-

=

FL( ⁄ ) ( ⁄ )

=

9.25% - 4,99% + 1,39% - 2,40% = 3,52%

2.2.4 Faktor Refleksi Dalam

Faktor refleksi dalam adalah komponen pencahayaan alami siang hari yang berasal dari refleksi oleh permukaan-permukaan dalam ruangan. Penghitungan faktor refleksi dalam, FRD (dalam persen), menggunakan rumus : FRD = ( ) (2.3)                

(7)

keterangan :

FRD : Faktor Refleksi Dalam W : Luas jendela [m2]

T : Faktor refleksi kaca jendela (diasumsikan sebesar 85%) A : Luas seluruh bagian dalam ruangan [m2]

R : Faktor refleksi rata-rata seluruh bagian dalam ruangan

C : Faktor bentuk yang dipengaruhi oleh sudut θ antara titik ukur dengan tinggi penghalang luar

R

fw : Faktor refleksi rata-rata dari lantai dan bagian bawah dinding, tidak

termasuk tempat jendela yang sedang dihitung; bagian bawah dihitung dari garis tengah jendela ke bawah

R

cw : Faktor refleksi rata-rata dari langit-langit dan bagian atas dinding, tidak termasuk tempat jendela yang sedang dihitung; bagian atas dihitung dari garis tengah jendela ke atas.

Harga perhitungan FRD dari tiap jendela yang ada dalam ruangan dijumlahkan dan didapat harga FRD untuk setiap titik dalam ruangan tersebut.

Gambar 2.4 Skema sudut penghalang

(SNI 03-2396-2001)                

(8)

Hubungan antara θ dan C dapat ditabulasikan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Hubungan antara θ dan C

(http://fisbang.tf.itb.ac.id, 2008)

2.2.5 Faktor Refleksi Luar

Faktor refleksi dalam adalah komponen pencahayaan alami siang hari yang berasal dari refleksi oleh benda-benda di luar bangunan yang bersangkutan. Faktor refleksi luar, FRL (dalam persen), hanya ada bila terdapat penghalang di depan jendela. Rumus yang digunakan:

FRL = FLP × Lrata-rata (2.4) Keterangan :

FRL : Faktor Refleksi Luar

FLp : Faktor Langit (dalam persen).

Lrata-rata : Perbandingan luminansi penghalang dengan luminansi rata-rata langit, umumnya berharga 0,1.

FLP adalah faktor langit (dalam persen) yang diakibatkan oleh permukaaan

penghalang luar. Untuk menghitungnya digunakan cara yang sama dengan penghitungan faktor langit, dengan perbedaan H adalah tinggi bagian jendela yang terhalang oleh penghalang luar (tinggi jendela dikurangi tinggi lubang cahaya efektif). Lrata-rata adalah perbandingan luminansi penghalang dengan luminansi rata-rata langit, umumnya berharga 0,1.

               

(9)

2.3 Sifat Cahaya

Cahaya merupakan gelombang elektromagnetik transversal dengan panjang gelombang antara 400 nm sampai 600 nm. Sebab merupakan gelombang elektromagnetik, cahaya tidak memerlukan medium sebagai perambatannya. Sifat-sifat cahaya:

1. Merambat lurus

2. Menembus benda bening 3. Dapat dipantulkan.

4. Dapat dibiaskan (bila melalui dua medium yang memiliki dua indeks bias yang berbeda (lensa)).

5. Cahaya monokromatis (cahaya putih) dapat diuraikan menjadi beberapa cahaya berwarna (colour mixing (CP)).

6. Memiliki energi (Lux).

7. Berbentuk gelombang (CP rainbow). 8. Merambat tanpa medium perantara. 9. Dipancarkan dalam bentuk radiasi. 10. Sifat cahaya dapat dipantulkan.                

(10)

2.4 Penglihatan

Retina mata manusia terdiri dari dua jenis fotoreseptor, yaitu sel batang dan kerucut. Sel batang umumnya aktif dalam kondisi minim cahaya disebut penglihatan skotopik. Sel kerucut lebih sensitif dalam membedakan warna dan umumnya aktif dalam kondisi terang disebut penglihatan fotopik. Respon mata manusia terhadap cahaya tidak sama, tergantung panjang gelombang cahaya. Untuk penglihatan fotopik, mata manusia paling sensitif (respon relatifnya sama dengan 1) pada panjang gelombang 555 nm.

Gambar 2.5 Kurva sensitivitas mata manusia

(http://fisbang.tf.itb.ac.id, Dasar-dasar pencahayaan 2002)

Jika dibuat tabel dari data diatas, hubungan antara panjang gelombang (λ) dengan respon relatif mata manusia (V (λ)) secara detail dapat dilihat pada tabel 2.2 mengenai data Fotopik dan Sokotopik. Data mengenai kemampuan mata manusia untuk merespon berdasarkan panjang gelombangnya.

               

(11)

Tabel 2.2 Fotopik dan Skotopik (http://fisbang.tf.itb.ac.id) λ (nm) V (λ) Fotopik Skotopik Efikasi (lm/W) V (λ) Efikasi (lm/W) 380 0,000039 0,027 0,000589 1,001 390 0,00012 0,082 0,002209 3,755 400 0,000396 0,27 0,00929 15,793 410 0,00121 0,826 0,03484 59,228 420 0,004 2,732 0,0966 164,22 430 0,0116 7,923 0,1998 339,66 440 0,023 15,709 0,3281 557,77 450 0,038 25,954 0,455 773,5 460 0,06 40,98 0,567 963,9 470 0,09098 62,139 0,676 1149,2 480 0,13902 94,951 0,793 1348,1 490 0,20802 142,078 0,904 1536,8 500 0,323 220,609 0,982 1669,4 507 0,44431 303,464 1 1700 510 0,503 343,549 0,997 1694,9 520 0,71 484,93 0,935 1589,5 530 0,862 588,746 0,811 1378,7 540 0,954 651,582 0,655 1105 550 0,99495 679,551 0,481 817,7 555 1 683 0,402 683 560 0,995 679,585 0,3288 558,96 570 0,952 650,216 0,2076 352,9 580 0,87 594,21 0,1212 206,4 590 0,757 517,031 0,0655 111,35 600 0,631 430,973 0,03315 56,355 610 0,503 343,549 0,01593 27,081 620 0,381 260,223 0,00737 12,529 630 0,265 180,995 0,003335 5,67 640 0,175 119,525 0,001497 2,545 650 0,107 73,081 0,000677 1,151 660 0,061 41,663 0,000313 0,532 670 0,032 21,856 0,000148 0,252 680 0,017 11,611 0,000072 0,122 690 0,00821 5,607 0,000035 0,06 700 0,004102 2,802 0,000018 0,03 710 0,002091 1,428 0,000009 0,016 720 0,001047 0,715 0,000005 0,008 730 0,00052 0,355 0,000003 0,004 740 0,00249 0,17 0,000001 0,002 750 0,00012 0,082 0,000001 0,001 760 0,00006 0,041 0 0                

(12)

Efikasi adalah konversi antara daya cahaya (dalam satuan lumen) dengan daya radiasi (dalam satuan watt), yang besarnya sama dengan 683 × V(λ) lm/W untuk penglihatan fotopik, atau 1.700 × V(λ) lm/W untuk penglihatan skotopik. Sebagai contoh, sebuah lampu menghasilkan daya radiasi sebesar 1 watt pada panjang gelombang 460 nm. Dengan demikian lampu tersebut menghasilkan daya cahaya sebanyak 683 × 0,06 lm/W × 1 W = 40,98 lumen. Meskipun demikian, daya cahaya dari suatu sumber tidak pernah dinyatakan per panjang gelombang, melainkan jumlah keseluruhan dari seluruh panjang gelombang yang terkandung dalam cahaya sumber tersebut.

2.5 Fotometri

Fotometri adalah ilmu yang mempelajari pengukuran besaran-besaran cahaya, meliputi aspek-aspek psikofisis energi radiasi yang dapat terlihat oleh mata manusia. Besaran-besaran fotometri yang umum antara lain:

1. Fluks luminus

Fluks luminus atau fluks cahaya (Φ atau F) adalah laju aliran energi cahaya, atau energi radiasi yang telah dibebani dengan respon sensitivitas mata manusia per satuan waktu. Fluks luminus memiliki satuan lumen (lm). Pada panjang gelombang 555 nm, 1 watt daya radiasi suatu sumber cahaya setara nilainya dengan fluks luminus sebesar 683 lumen. Fluks luminus umumnya disebut juga keluaran cahaya, yaitu besaran yang menyatakan kuantitas daya cahaya yang dihasilkan oleh suatu sumber cahaya.

2. Intensitas cahaya

Intensitas cahaya atau intensitas luminus (I) adalah fluks luminus per satuan sudut ruang (ω, dalam steradian) dalam arah tertentu. Intensitas cahaya memiliki satuan candela (cd), atau setara dengan lumen/steradian.

I =

(2.5)                

(13)

Sudut ruang (ω, dalam steradian) adalah sudut yang dibentuk oleh suatu bidang pada permukaan bola, ditinjau dari titik pusat bola. Besarnya sudut ruang tergantung dari luas bidang (A) dan radius (r) bola tersebut, yaitu:

=

(2.6)

Gambar 2.6 Sudut ruang

(http://fisbang.tf.itb.ac.id, 2008)

Suatu bola penuh memiliki sudut ruang sebesar 4π (= 4πr2/r2) steradian,

sehingga suatu sumber cahaya berbentuk titik yang memancarkan cahaya secara merata ke segala arah, akan memiliki intensitas cahaya sebesar Φ/(4π) candela, dengan Φ adalah fluks luminus yang dipancarkan sumber cahaya tersebut. Umumnya sumber cahaya memiliki intensitas cahaya yang berbeda jika dilihat dari sudut ruang yang berbeda. Meskipun demikian, intensitas cahaya selalu bernilai tetap untuk sudut ruang yang sama.

3. Iluminansi

Iluminansi atau tingkat pencahayaan (E) adalah fluks luminus yang datang pada suatu permukaan per satuan luas (A, dalam m2) permukaan yang menerima cahaya tersebut. Iluminansi memiliki satuan lux (lx) atau setara dengan lumen/m2.

E =

(2.7)

Iluminansi adalah besaran fotometri yang paling mudah diukur, yaitu dengan menggunakan alat fotometer/luxmeter yang terdiri dari suatu sensor dioda yang                

(14)

peka cahaya, dihubungkan dengan meter pembacaan setelah terlebih dahulu dibobotkan menurut kurva sensitivitas mata manusia.

Gambar 2.7 Hubungan antara iluminansi dan jarak

(http://fisbang.tf.itb.ac.id, 2008)

Dari Gambar 2.8 terlihat bahwa sebuah sumber titik memancarkan cahaya dengan intensitas I cd pada arah sudut ruang ω. Sebuah bidang penerima pada jarak r1 dari sumber tersebut menerima fluks luminus sebesar Φ lumen per satuan luas bidang A1. Demikian juga sebuah bidang penerima pada jarak r2 dari sumber tersebut menerima menerima fluks luminus sebesar Φ lumen per satuan luas bidang A2.

Hubungan matematis antara Iluminansi, Intensitas cahaya, dan Jarak adalah:

=

(2.8)

Keterangan :

E1 : Iluminansi (Lumen/m2 atau setara dengan Lux). Φ : Fluks luminus (Lumen).

A : satuan luas bidang m2.                

(15)

Menurut persamaan 2.6, A = ωr2, sedangkan I = Φ/ω menurut persamaan 2.5 Maka:

=

(2.9)

sehingga, perbandingan antara E1 dan E2 adalah :

(

)

2 (2.10)

Persamaan 2,10 ini dikenal sebagai Hukum Kuadrat Terbalik (Inverse Square Law) untuk cahaya. Hukum Kuadrat Terbalik hanya berlaku untuk sumber cahaya yang berbentuk titik, atau pada jarak minimal 5 kali dimensi terbesar dari suatu sumber cahaya. Pada jarak kurang dari 5 kali dimensi terbesar sumber, pendekatan sumber titik tidak lagi dapat digunakan, dan untuk itu pendekatan sumber garis atau sumber bidang harus digunakan.

Gambar 2.9 Iluminansi pada bidang yang tidak tegak lurus arah datangnya

cahaya

(http://fisbang.tf.itb.ac.id, 2008)

Pada Gambar 2.9, titik P terletak pada suatu bidang yang normalnya (N) membentuk sudut sebesar α terhadap arah datangnya cahaya. Misalkan bidang di mana titik P berada kini diputar sebesar sudut α sehingga menjadi tegak lurus arah datangnya cahaya, maka iluminansi di titik P mula-mula (EP) memiliki hubungan dengan iluminansi di titik P setelah bidangnya diputar (EP1).

               

(16)

(2.11)

Persamaan 2.11 disebut “Hukum Cosinus Lambert”. Tetapi persamaan 2.9 mengisyaratkan bahwa EP‟ = Iθ/r2 , dengan Iθ adalah intensitas cahaya dari

sumber (θ adalah sudut arah datangnya cahaya terhadap normal dari sumber) dan r adalah jarak titik P ke sumber cahaya. Maka:

(2.12)

Persamaan 2.12 adalah gabungan dari Hukum Kuadrat Terbalik untuk cahaya dengan Hukum Cosinus Lambert. Persamaan ini juga hanya berlaku untuk pendekatan sumber titik.

4. Luminansi

Luminansi (L) adalah intensitas cahaya dari suatu permukaan dalam arah tertentu (Iθ, dalam cd) per satuan luas proyeksi permukaan tersebut jika dilihat

dari arah yang dimaksud (Aθ, dalam m2). Luminansi memiliki satuan cd/m2.

L =

(2.13)

Gambar 2.9 Luminansi dari suatu bidang

(http://fisbang.tf.itb.ac.id, 2008)

Misalkan suatu bidang dengan luas penampang A diamati pada sudut θ dari normal bidang. Maka luas proyeksi bidang tersebut ialah Aθ = A cos θ, yaitu

luas permukaan yang tampak oleh mata. Jika permukaan bidang tersebut                

(17)

bersifat difus atau memantulkan cahaya secara merata ke segala arah, maka luminansinya bernilai tetap walaupun diamati dari berbagai arah.

5. Faktor absorbsi

Sebagian dari cahaya yang mengenai sesuatu permukaan akan diserap oleh permukaan itu. Bagian yang diserap ini menimbulkan panas pada permukaan tersebut. Permukaan yang gelap dan buram menyerap banyak cahaya. Bagian fluks cahaya yang diserap oleh suatu permukaan ditentukan oleh faktor absorbsi (a) permukaan itu :

a = (2.14)

6. Faktor refleksi

Jumlah cahaya yang dipantulkan tidak saja ditentukan oleh mengkilatnya suatu permukaan, tetapi juga ditentukan oleh sifat-sifat bahan permukaan tersebut. Permukaan difus kadang-kadang dapat memantulkan lebih banyak cahaya daripada suatu permukaan yang mengkilat. Bagian fluks cahaya yang dipantulkan ditentukan oleh faktor refleksi (r) suatu permukaan :

r = (2.15)

7. Faktor transmisi

Bahan-bahan tembus cahaya, seperti berbagai jenis kaca seluloida dan sebagainya, akan memantulkan atau menyerap sebagian saja dari cahaya yang mengenainya. Sebagian besar dari cahaya tersebut dapat menembus bahan tersebut bagian fluks cahaya yang dapat menembus, ditentukan oleh faktor transmisi (t) suatu bahan :

t = (2.16)                

(18)

Dari persamaan 2.14, 2.15, 2.16 digabungkan dan didapatkan rumus untuk mencari seberapa besar nilai absorsbsi yang di serap, yang dapat dianalisa dengan rumus sebagai berikut :

a + r + t = 1

(2.17)

8. Eksitansi luminus

Eksitansi luminus (M) adalah rasio antara fluks luminus yang dipantulkan (Φρ,

dalam lumen) atau yang ditransmisikan oleh suatu permukaan (Φττ, dalam

lumen) terhadap luas permukaan (A, dalam m2) yang menerima cahaya tersebut. Eksitansi luminus memiliki satuan lumen/m2.

M =

atau

(2.18)

9. Efikasi

Efikasi atau efisiensi luminus adalah rasio antara fluks luminus yang dihasilkan suatu sumber cahaya listrik (Φ atau F dalam lumen) terhadap daya listrik yang digunakan sebagai masukan (P, dalam watt). Efikasi memiliki satuan lumen/watt.

Efikasi =

(

2.19)

2.6 Tingkat pencahayaan

a. Tingkat cahaya rata-rata (E rata-rata).

Tingkat pencahayaan pada suatu ruangan pada umumnya diartikan sebagai tingkat pencahayaan pada bidang kerja. Bidang kerja di sini yaitu bidang horisontal imajiner yang terletak 0,75 meter di atas lantai pada seluruh ruangan. Tingkat pencahayaan rata-rata E rata-rata (lux), dapat dihitung dengan persamaan:

E

rata-rata

=

(lux)

(2.20)                

(19)

Keterangan:

Erata-rata : Iluminasi rata-rata (lux)

Ftotal : Fluks luminous total dari semua lampu yang menerangi bidang kerja (lumen)

A : Luas bidang kerja (meter²) Kp : Koefisien penggunaan

Kd : Koefisien depresiasi (penyusutan) b. Koefiseien penggunaan(Kp)

Sebagian dari cahaya yang dipancarkaan oleh lampu diserap oleh armatur, sebagian sebagian dipancarkan ke arah atas dan sebagian lagi dipancarkan ke arah bawah. Faktor penggunaan didefinisikan sebagai perbandingan antara fluks luminus yang sampai di bidang kerja terhadap keluaran cahaya yang dipancarkan oleh semua lampu.

Besarnya koefisien pengguna dipengaruhi oleh beberapa faktor di bawah ini: 1. Distribusi dari cahaya armatur.

2. Perbandingan antara keluaran cahaya dari armatur dengan keluaran cahaya dari lampu di dalam armatur.

3. Refleksi cahaya dari langit-langit, dinding dan lantai,

4. Pemasangan armatur apakah menempel atau digantung pada langit-langit.

5. Dimensi ruangan.

Besarnya koefisien pengguna untuk sebuah armatur, bisa diberikan dalam bentuk tabel yang dikeluarkan oleh pabrik pembuat armatur yang berdasarkan hasil pengujian dari instansi terkait.

Setiap pabrik atau instansi diharuskan untuk memberikan tabel Kp, karena tanpa adanya tabel, perancangan pencahayaan tidak dapat dilakukan dengan baik.                

(20)

c. Koefisien depresi

Koefisien depresi bisa disebut juga keofisien rugi-rugi cahaya atau koefisien pemeliharaan, disefinisikan sebagai pembandingan antara tingkat pencahyaan setelah jangka waktu tertentu dari instalasi pencahayaan digunakan terhadap tingkat pencahyaan pada waktu instalasi baru.

Besarnya koefisiensi depresiasi dipengaruhi oleh: 1. Kebersihan dari lampu dan armatur.

2. Kebersihan dari permukaan-permukaan ruangan.

3. Penurunan keluaran cahaya lampu selama waktu penggunaan.

4. Penurunan keluaran cahaya lampu karena penurunan tegangan listrik. Besarnya koefisien depresiasi biasanya ditentukan berdasarkan estimasi. Untuk ruangan dan armatur dengan pemeliharaan yang baik pada umumnya koefisien depresiasi diambil sebesar 0,8. Jumlah armatur yang diperluakan untuk mendapatkan tingkat pencahayaan tertentu. Untuk menghitung jumlah armatur, terlebih dahulu dihitung jumlah flux luminus total yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat pencahayaan yang direncanakan dengan menggunakan persamaan :

F

total

=

(lumen) (2.21)

Kemudian untuk menghitung jumlah armatur yaitu:

N

total

=

(2.22)

Keterangan:

F1 : fluks luminous satu buah lampu.

n : jumlah lampu dalam satu buah armatur. d. Iluminasi oleh komponen cahaya langsung.

Iluminasi oleh komponen cahaya langsung pada suatu titik pada bidang kerja dari sebuah sumber cahaya yang dapat dianggap sebagai sumber cahaya titik, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

Ep = (lux) (2.23)                

(21)

Keterangan:

I : intensitas cahaya pada sudut

h : tinggi armatur di atas bidang kerja (meter)

Gambar 2.10 Titik penerima komponen langsung dari sumber cahaya titik

Jika terdapat beberapa armatur, maka tingkat pencahayaan tersebut merupakan penjumlahan dari tingkat pencahayaan yang diakibatkan oleh masing-masing armatur dan dinyatakan sebagai berikut :

Etotal = Ep1 + Ep2 + Ep3 + ………(lux) (2.24) 2.7 Sistem pencahayaan

Di bawah ini merupakan pengelempokan sistem pencahayaan : a. Sistem pencahyaan merata.

Sistem pencahyaan ini merupakan tingkatan pecahayaan yang merata di seluruh ruangan, sistem ini digunakan jika tugas visual dilakukan diseluruh tempat dalam ruangan dan memerlukan tingkat pencahayaan yang sama. Tingkat pencahayaan ini dapat diperoleh dengan memasang armatur secara merata langsung atau diseluruh langit-langit.

b. Sistem pencahayaan setempat

Sistem ini merupakan tingkat pencahayaan yang tidak merata pada tempat yang diperlukan. Jika tugas visual memerlukan tingkat pencahayaan yang lebih tinggi, diberikan cahaya yang lebih banyak dibandingkan dengan                

(22)

sekitarnya. Hal ini dapat diperoleh dengan mengkonsentrasikan penempatan armatur di atas tempat tersebut.

c. Sistem pencahayaan gabungan antara merata dan setempat.

Sistem ini didapatkan dengan menambah sistem pencahayaan setempat pada sistem pencahyaan merata dengan armatur yang dipasang berdekatan dengan tugas visual.

Sistem pencahayan gabungan ini dinjurkan untuk digunakan pada:

1. Tugas visual yang memerlukan tingkat pencahayaan yang tinggi.

2. Memperlihatkan bentuk dan tekstur yang memerlukan cahaya datang dari arah tertentu.

3. Pencahayaan merata terhalang, sehinga tidak sampai pada tempat yang terhalang tersebut.

4. Tingkat pencahayaan yang lebih tinggi diperlukan untuk orang tua atau yang kemampuan penglihatannya sudah berkurang.

2.8 Distribusi luminasi

Distribusi luminansi didalam medan penglihatan harus diperhatikan sebagai pelengkap keberadaan nilai tingkat pencahayaan di dalam ruangan. Hal penting yang harus diperhatikan pada distribusi luminansi adalah sebagai berikut :

a. Rentang luminasi permukaan langit-langit dan dinding. b. Distribusi luminansi bidang kerja.

c. Nilai maksimum luminansi armatur (untuk menghindari kesilauan).

Skala luminansi untuk pencahayaan interior dapat dilihat pada gambar di bawah ini:                

(23)

Gambar 2.11 Skala luminansi untuk pencahayaan interior. (SNI 03-6575-2001)

2.8.1 Luminasi permukaan dinding

Luminansi permukaan dinding tergantung pada luminansi obyek dan tingkat pencahayaan merata di dalam ruangan. Untuk tingkat pencahayaan ruangan antara 500 ~ 2000 lux, maka luminansi dinding yang optimum adalah 100 candela/m2. Ada 2 (dua) cara pendekatan untuk mencapai nilai optimum ini, yaitu :

a. Nilai reflektansi permukaan dinding ditentukan, tingkat pencahayaan vertikal dihitung.

b. Tingkat pencahayaan vertikal diambil sebagai titik awal dan reflektansi yang diperlukan dihitung.

Nilai tipikal reflektansi dinding yang dibutuhkan untuk mencapai luminansi dinding yang optimum adalah antara 0,5 dan 0,8 untuk tingkat pencahayaan rata-rata 500 lux, dan antara 0,4 dan 0,6 untuk 1.000 lux.

2.8.2 Luminasi permukaan langit-langit

Luminansi langit-langit adalah fungsi dari luminansi armatur, seperti yang ditunjukkan pada gambar grafik. Dari grafik ini terlihat jika luminansi armatur kurang dari 120 candela/m2 maka langit-langit harus lebih terang dari pada terang armatur. Nilai untuk luminansi langit-langit tidak dapat dicapai dengan hanya menggunakan armatur yang dipasang masuk ke dalam langit-langit sedemikian hingga langit-langit akan diterangi hampir selalu dari cahaya yang direfleksikan dari lantai.                

(24)

Gambar grafik 2.12 Luminansi langit-langit terhadap Luminansi armatur (SNI 03-6575-2001)

2.9 Distribusi Luminansi Bidang Kerja.

Untuk memperbaiki kinerja penglihatan pada bidang kerja maka luminansi sekeliling sebuah bidang kerja harus lebih rendah dari luminansi bidang kerjanya, tetapi tidak kurang dari sepertiganya. Kinerja penglihatan dapat diperbaiki jika ada tambahan kontras warna.

2.10 Berbagai macam cermin 2.10.1 Cermin datar

Pada permukaan yang datar, sinar yang dipantulkan akan membentuk pola yang teratur. Sinar-sinar sejajar yang datang akan dipantulkan dalam bentuk yang sejajar pula. Lihat gambar berikut :

Gambar 2.13 Pemantulan cermin datar

Sebuah cermin yang permukaannya datar sempurna disebut cermin datar. Hal yang paling penting dalam melukis sebuah cermin adalah :

500 200                

(25)

1. Sinar selalu berasal dari sisi depan cermin dan dipantulkan kembali ke sisi depan.

2. Bayangan nyata terbentuk oleh perpotongan langsung sinar-sinar pantul (dilukis sebagai garis utuh), sedang bayangan maya (tidak nyata) dibentuk oleh perpotongan perpanjangan sinar pantul.

2.10.2 Cermin cekung

a. Pemantulan pada Cermin Cekung

Tidak semua pemukaan cermin berupa bidang datar. Ada juga cermin yang permukaannya melengkung, seperti cermin cekung dan cermin cembung. Cermin cekung merupakan cermin yang permukaannya melengkung ke arah dalam. contoh yang hampir mirip dengan cermin cekung, yaitu pada permukaan sendok. Pada cermin cekung terdapat beberapa titik penting, yaitu titik fokus (F), titik pusat kelengkungan (C), dan titik pusat optik (A). Pada cermin cekung, jarak antara titik pusat optic terhadap titik pusat kelengkungan dinamakan jari-jari kelengkungan (R), dan nilainya positif. Panjang jari-jari kelengkungan cermin cekung adalah 2 kali panjang jarak fokus.

Pembentukan bayangan pada cermin cekung dapat digambarkan oleh tiga sinar istimewa. Yaitu:

1. Sinar 1: Sinar yang datang sejajar dengan sumbu utama cermin dipantulkan melalui titik fokus.

Gambar 2.14 Sinar istimewa

(http://blog.codingwear.com)                

(26)

2. Sinar 2: Sinar yang datang melalui titik titik fokus dipantulkan sejajar dengan sumbu cermin.

Gambar 2.15 Sinar istimewa

(http://blog.codingwear.com)

3. Sinar 3: Sinar yang datang melalui tiitk pusat kelengkungan cermin dipantulkan kembali sepanjang jalan yang sama pada saat datang.

Gambar 2.16 Sinar istimewa

(http://blog.codingwear.com)

2.10.3 Reflektor Parabola

Sebuah reflektor parabola (atau piring atau cermin) adalah perangkat reflektif digunakan untuk mengumpulkan atau memproyeksikan energi seperti cahaya, suara, atau gelombang radio. Bentuknya seperti parabola yang melingkar, yaitu, permukaan yang dihasilkan oleh parabola berputar di sekitar porosnya. Reflektor parabola mengubah gelombang pesawat masuk perjalanan sepanjang sumbu menjadi gelombang berbentuk bola konvergen menuju fokus. Sebaliknya, gelombang berbentuk bola yang dihasilkan oleh sumber titik ditempatkan di fokus berubah menjadi gelombang bidang merambat sebagai proses pengubahan sorot berkas cahaya (sinar) yang berpencar menjadi berkas sejajar sepanjang sumbu.                

(27)

Gambar 2.17 Titik refleksi parabola

(Gregorian telescope, 1663)

Lengkungan parabola yang menunjukkan direktriks (L) dan fokus (F). Jarak dari suatu titik tertentu Pn untuk fokusnya adalah selalu sama dengan jarak dari Pn-Qn ke titik tepat di bawah, di direktriks tersebut.

Gambar 2.18 Titik refleksi pada parabola

(Gregorian telescope, 1663)

Lengkungan parabola yang menunjukkan garis sewenang-wenang (L), fokus (F), dan titik (V). L adalah tegak lurus garis sewenang-wenang terhadap sumbu simetri dan sebaliknya fokus parabola dari titik (yaitu jauh dari V daripada dari F). Panjang dari setiap baris F - Pn - Qn adalah sama. Hal ini mirip dengan mengatakan bahwa parabola adalah elips, tetapi dengan satu titik fokus di tak terhingga. Kita sekarang melihat situasi yang lebih praktis di mana kita mengenal dimensi piring dan kita ingin mencari jarak fokus yang memberikan posisi relatif fokus ke posisi piring sebagai swown pada gambar di bawah.

               

(28)

Gambar 2.19 Penentuan titik fokus pada parabola

(Book Optica Promota, 1663)

D adalah diameter piringan, d adalah kedalaman piring dan f adalah jarak fokus. Poin-poin (D / 2, d) dan (-D / 2, d) berada pada parabola, maka

d = (D / 2) 2 / 4f (2.25)

yang memberikan hubungan antara D diameter, d = kedalaman dan f = jarak fokus piring.

f = D2 / 16d (2.26) Rumus di atas membantu dalam memposisikan feed dari antena parabola karena memberikan f ( jarak fokus). Tentu saja dalam praktek bentuk piringan parabola tidak sempurna dan oleh karena itu penyesuaian kecil diperlukan ketika posisi feed. Reflektor parabola digunakan untuk mengumpulkan energi dari sumber yang jauh (misalnya untuk gelombang suara atau cahaya bintang masuk) dan membawanya ke titik fokus yang umum, sehingga mengoreksi penyimpangan bola ditemukan di reflektor bola sederhana. Karena prinsip-prinsip refleksi adalah reversibel, reflektor parabola juga dapat digunakan untuk memproyeksikan energi dari sumber di luar fokus dalam balok paralel, digunakan pada perangkat seperti lampu sorot dan lampu mobil.

D adalah diameter piringan, d adalah kedalaman piring dan f adalah jarak “fokus”. Fungsi reflektor parabola karena sifat geometris dari bentuk paraboloidal: jika sudut datang ke permukaan dalam dari kolektor sama dengan sudut refleksi, maka setiap sinar masuk yang sejajar dengan sumbu piring akan tercermin ke pusat titik, atau "fokus". Karena banyak jenis energi dapat tercermin                

(29)

dalam cara ini, reflektor parabola dapat digunakan untuk mengumpulkan dan memusatkan energi memasuki reflektor pada sudut tertentu. Demikian pula, energi radiasi dari "fokus" untuk hidangan dapat dikirim ke luar dalam sinar yang sejajar dengan sumbu piring.

Berbeda dengan reflektor bola, yang menderita penyimpangan bola yang menjadi lebih kuat sebagai rasio dari diameter balok dengan jarak fokus menjadi lebih besar, reflektor parabola dapat dibuat untuk menampung sinar lebar apapun. Namun, jika sinar yang masuk membuat sudut bukan nol dengan sumbu (atau jika sumber titik memancarkan tidak ditempatkan di fokus), reflektor parabola menderita kelainan yang disebut koma. Hal ini terutama kepentingan dalam teleskop karena kebanyakan aplikasi lain tidak memerlukan resolusi yang tajam dari sumbu parabola.

Prinsip reflektor parabola telah dikenal sejak jaman dahulu, ketika “Mathematician Diocles” mereka menggambarkan dalam bukunya On Mirror Pembakaran dan mereka membuktikan bahwa fokus sinar sejajar dengan titik. “Archimedes” di abad ketiga SM dipelajari paraboloids sebagai bagian dari studi tentang keseimbangan hidrostatik, dan telah menyatakan bahwa ia menggunakan reflektor untuk mengatur armada Romawi turun selama Pengepungan Syracuse. Hal ini tampaknya tidak mungkin benar, namun, seperti klaim tidak muncul dalam sumber-sumber sebelum abad ke-2, dan Diocles tidak menyebutkan dalam bukunya. Parabolic mirror juga dipelajari oleh” physicistIbnSahl” pada abad 10. “James Gregory” tahun 1663 bukunya OpticaPromota (1663), menunjukkan bahwa teleskop refleksi dengan cermin parabola yang akan mengoreksi aberasi sferis serta chromatic aberration terlihat pada pembiasan teleskop. Desain ia datang dengan menyandang namanya: yang "Gregorian teleskop", tetapi menurut pengakuannya sendiri, “Gregory” tidak memiliki keterampilan praktis dan ia tidak bisa menemukan kacamata yang mampu benar-benar membangun satu. “Isaac Newton” tahu tentang sifat-sifat cermin parabola tapi memilih bentuk bola untuk cermin “Teleskop Newtonian“ untuk menyederhanakan konstruksi. Mercusuar juga biasa digunakan cermin parabolik untuk collimate titik cahaya dari lentera ke balok, sebelum digantikan oleh lensa fresnel lebih efisien dalam abad 19.

               

(30)

Pembiasan

Pembiasan cahaya merupakan pembelokan gelombang cahaya yang disebabkan adanya perubahan kelajuan gelombang cahaya ketika cahaya merambat melalui dua zat yang indeks biasnya berbeda. Dengan demikian, pembiasan cahaya ini sangat ditentukan oleh indeks bias bahannya.

a. Indeks bias medium

Indeks bias suatu zat merupakan perbandingan cepat rambat cahaya pada udara dengan cepat rambat cahaya pada medium lain. Semakin besar indeks bias suatu benda, semakin besar cahaya dibelokan oleh zat tersebut. Dalam spectrum cahaya tampak, panjang gelombang cahaya beragam dari gelombang merah dengan panjang gelombang merah yang terpanjang sampai panjang gelombang ungu yang terpendek.

Tabel 2.3 Indeks bias beberapa zat

(http://e-dukasi.net, 2010)

Nama zat N Nama zat N

Udara

(0°c, 76 cmHg) 1,00029 Gliserin 1,48

Hydrogen

(0°c, 76 cmHg) 1,00013 Balsam kanada 1,53 Karbondioksida 1,00045 Karbondisulfida 1,62

Air 1,33 Kaca kuarsa 1,45

Etanol 1,36 Kaca korona 1,53

Benzene 1,50 Kaca flinta 1,58

b. Hukum pembiasan

Sinar datang dari udara dibiaskan dalam kaca mendekati garis normal. Demikian pula ketika sinar keluar dari kaca menuju udara, sinar dibiaskan kembali. Bila besar sudut datangnya sinar diubah-ubah, maka besar sudut sinar bias pun akan berubah. “Perbandingan proyeksi sinar datang dan sinar bias ternyata merupakan bilangan yang tetap”. Orang pertama yang menemukan bahwa terdapat perbandingan yang tetap antara proyeksi sinar datang dengan proyeksi sinar bias adalah seorang ilmuwan Belanda yang bernama Willebrord Snell. Oleh karena itu,                

(31)

pernyataan tersebut dinamakan hukum Snell, atau lebih dikenal dengan hukum Snellius. Hukum Snellius atau hukum pembiasan menyatakan bahwa:

1. Sinar datang, sinar bias, dan garis normal terletak pada satu bidang datar dan ketiganya berpotongan di satu titik.

2. Apabila sinar melalui dua medium yang berbeda, maka hubungan sinar datang, sinar bias, dan indeks bias medium dinyatakan oleh persamaan. Hukum Snellius I

Adapun bunyi Hukum Snellius I adalah :

“Jika suatu cahaya melalui perbatasan dua jenis zat cair, maka garis semula tersebut adalah garis sesudah sinar itu membias dan garis normal dititik biasnya, ketiga garis tersebut terletak dalam satu bidang datar.”.

Gambar 2.20 Hukum snellius I

(http://www.agilegeoscience.com, 2011)                

(32)

Hukum Snellius II

Adapun bunyi Hukum Snellius II adalah :

“Perbandingan sinus sudut datang dengan sinus sudut bias selalu konstan”. Nilai konstanta dinamakan indeks bias (n).”

Gambar 2.21 Pembelokan pada pembiasan

(http://www.agilegeoscience.com, 2011) =

(

2.27)

v = λ . f

(

2.28) keterangan:

sin i : sudut yang terbentuk oleh sinar datang sin r : sudut yang terbentuk oleh sinar bias n 1 : indeks bias medium 1 ( N )

n 2 : indeks bias medium 2 ( N ) v : cepat rambat (m/s)

λ : panjang gelombang (m) f : frekuensi (Hz)

Frekuensi tidak mengalami perubahan saat melalui 2 medium yang berbeda indeks biasnya.                

(33)

2.11 Konversi Energi pada cermin

Cahaya matahari yang dijadikan sebagai media pembelokan sinar. Mengalami kejadian seperti Absorbsi, Refleksi dan Transmisi. Dari faktor-faktor tersebut menjadi sebuah pertimbangan pemanfaatan fungsi dari cermin. Absorbsi salah satunya, ialah faktor yang menyebabkan munculnya selisih dari setiap pemantulan yang terjadi. Faktor tersebut berpengaruh terhadap penelitian yang dilakukan saat ini, karena terjadi proses penyerapan energi disetiap pemantulan cahaya matahari. Terjadi pula perubahan bentuk energi cahaya matahari menjadi energi panas yang berubah pada cermin yang digunakan sebagai Reflektor. Perubahan energi itu bergantung pada Kalor jenis benda yang digunakan sebagai mediasi. Faktor lain untuk menentukan besarnya panas yang diterima pada suatu zat adalah sebagai berikut.

Keterangan : c : Kalor jenis Q : Kalor (Joule) m : Massa benda (Kg)

ΔT : Perubahan suhu = Suhu akhir (ΔT2) – Suhu awal (ΔT1). (Kelvin) 1 Joule = 0,24 kkal

1 Joule = 1 watt second

Dan diturunkan dalam rumus :

c = (2.29) c =

Sebagai acuan nilai kalor jenis benda telah ditetapkan nilainya dan tertera pada tabel di bawah ini :

               

(34)

Tabel 2.4 Kalor jenis benda ( pada tekanan 1 atm dan suhu20oC )

(http://e-dukasi.net, 2010) Jenis Benda Kalor Jenis (c)

J/KgoC Kkal/kgCo Air 4.180 1,00 Alkohol (Ethyl) 2.400 0,57 Es 2.100 0,50 Kayu 1.700 0,40 Alumunium 900 0,22 Marmer 860 0,20 Kaca 840 0,20 Besi/Baja 450 0,11 Tembaga 390 0,093 Perak 230 0,056 Raksa 140 0,034 Timah Hitam 130 0,031 Emas 126 0,031

2.12 Teori perhitungan Tarif Dasar Listrik 2010

Berdasarkan TDL 2010, perhitungan beban pembayaran yang dibayar oleh pelanggan dapat terhitung dan terurai jelas dengan perhitungan sebagai berikut :

1. TDL = Jumlah Beban x Jam Nyala x Rp.790 (Tarif R1-TR) 2. Pajak = Pajak penerangan 3% kWh pemakaian x Rp 790 (Tarif R1-TR) 3. Pembayaran tagihan perbulan = TDL + pajak (3% dari besar kWh pakai) 4. Pembayaran tagihan listrik dalam setahun = tagihan perbulan x 12 bulan 5. Pembayaran tagihan listrik dalam 10 tahun = Pembayaran listrik dalam

satu tahun x 10 tahun                

Gambar

Gambar 2.1  Spektrum cahaya tampak
Gambar 2.2   Ilustrasi TUU, TUS, dan d  (SNI 03-2396-2001)
Gambar 2.3  Contoh posisi lubang cahaya efektif terhadap titik ukur.
Gambar 2.4  Skema sudut penghalang  (SNI 03-2396-2001)         
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keselarasan yang baik akan menimbulkan kesan gerak gemulai yang menyambung dari bagian satu dengan bagian yang lainnya pada suatu benda atau dari unsur satu ke

Indeks Tendensi Bisnis (ITB) adalah indikator perkembangan ekonomi terkini yang datanya diperoleh dari Survei Tendensi Bisnis (STB) yang dilakukan oleh BPS bekerja sama

menghadirkan Tuhan dalam kehidupan kita, maka kita akan merasa lebih tenang dan damai serta yakin bahwa harapan itu masih ada.. Yakin bahwa suatu saat nanti, segala sesuatu akan

Range harga yang akan Anda keluarkan untuk membeli pasta gigi nafas segar.. Keputusan untuk membeli pasta gigi,

Pemegang Izin/Hak Pengelolaan memiliki rencana penebangan pada areal tebangan yang disahkan oleh pejabat yang

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan hal- hal yang berhubungan dengan ungkapan larangan masa bayi dan kanak-kanak di Kenagarian Batu Bulek Kecamatan

Busur Kepulauan ini sendiri terbentuk akibat adanya proses magmatisme yang disebabkan oleh tumbukan antara lempeng samudra dengan lempeng samudra yang diikuti oleh

Tesis, yang berjudul : PENGGUNAAN MEDIA SLIDE DALAM PEMBELAJARAN SERAJAH UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN PRESTASI BELAJAR (Studi Kasus pada Siswa Kelas VII A MTs