REVISI
MURABAHAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini lembaga keuangan yang berlabel syari’ah berkembang dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam. Namun Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah syariah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syariat Islam ataukah hanya rekayasa semata. Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam makalah ini penulis akan membahas salah satu produk tersebut dalam konsep perbankan syariah. Salah satu dari produk tersebut adalah Murabahah.
Di antara begitu banyaknya akad Murabahah adalah salah satu dari bentuk akad jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Karena keuntungan yang menjanjikan itulah Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan syariah menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka.
Di samping itu Bank Syariah yang merupakan salah satu aplikasi dari sistem ekonomi syariah Islam dalam mewujudkan nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur bidang perekonomian umat yang tidak terpisahkan dari aspek-aspek ajaran Islam yang komprehensif dan universal. Komprehensif berarti ajaran Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual maupun sosial kemasyarakatan termasuk bidang ekonomi, universal bermakna bahwa syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat tanpa memandang perbedaan ras, suku, golongan, dan agama sesuai prinsip Islam sebagai “rahmatan lil alamin”. Bank Syariah yaitu bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Adapun pengertian dari prinsip syariah sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 13 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan sebagai berikut: Prinsip Syariah adalah aturan Hukum Islam antara Bank dengan Pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan dengan syariah, antara lain Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
Perbankan Syariah di samping melakukan penghimpunan dana dari masyarakat, perbankan syariah juga melakukan kegiatan usaha penyaluran dana kepada masyarakat berdasarkan prinsip syariah baik Bank umum Syariah maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dapat melakukan kegiatan usaha penyaluran dana perbankan kepada masyarakat berdasarkan prinsip syariah.
Penyaluran dana kepada masyarakat tersebut dilakukan berupa pembiayaan dengan mempergunakan prinsip jual beli, bagi hasil, sewa menyewa dan pinjam meminjam. Dengan demikian, produk pembiayaan syariah tersebut sesuai dengan penggunaannya menurut undang-undang Perbankan Syariah UU No.21/2008 pasal 1 ayat 25 dinyatakan:
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang di persamakan dengan itu berupa :
1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk Mudharabah dan Musyarakah.
2. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk Ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah Muntahiya bittamlik.
3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang Murabahah, Salam, dan Istishna.
4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang Qardh dan Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk Ijarah untuk transaksi Multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan atau Unit-Unit Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan Ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil.
B. DEFINISI MURABAHAH
Murabahah adalah suatu jenis penjualan dengan pembayaran tunda dengan suatau transaksi perdagangn murni. Penjualan model ini diangap sah oleh para ulama walaupun tidak didukung oleh Al Qur'an dan Hadis. Bank-bank syari'ah menggunakan kontrak murabahah dalam aktifitas pembiayaan mereka. Pembiayaan semacam ini sekarang telah mencapai lebih dari tujuh lima persen dari total pembiayaan yang dilakukan oleh bank-bank syari'ah.
Menurut Ibnu Rusyd, sebagaimana dikutip oleh Syafi’i Antonio, mengatakan bahwa murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam jual beli jenis ini, penjual harus memberitahu harga barang yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Sedangkan menurut Zuhaili, transaksi murabahah adalah jual beli dengan harga awal di tambah dengan keuntungan tertentu.1
Dengan memperhatikan dari pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat dipahami bahwa murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai margin (keuntungan). Aplikasi pembiayaan murabahah pada bank syari'ah dapat digunakan untuk pembelian barang konsumsi maupun barang dagangan (pembiayaan tambah modal) yang pembayarannya dapat dilakukan secara tangguh (jatuh tempo/angsuran). membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase. Jika seseorang melakukan penjualan komoditi/barang dengan harga lump sum (cicilan) tanpa memberi tahu berapa nilai pokoknya, maka bukan
1
termasuk murabahah, walaupun ia juga mengambil keuntungan dari penjualan tersebut. Penjualan ini disebut musawamah.2
Murabahah merupakan masdar dari kata rabaha yurabihu murabahatan.secara termologi,dalam kitab taufah al fuqaha disebutkian bahwa: “Jual beli murabhah adalah kepemilikan objek jual beli dengan jual beli seraya memberikan pengganti sejumlah dengan harga awal dan tambahan keuntungan atau laba.3
C. IMPLEMENTASI MURABAHAH DALAM LKS
Murabahah pada awalnya tidak memiliki keterkaitan dengan pembiayaan karena murabahah dalam wacana Islam klasik adalah bentuk jual beli di mana penjual menawarkan suatu barang kepada pembeli dengan memberitahukan harga perolehan dan keuntungan yang diinginkannya. Dalam komunitas bank syariah, murabahah muncul sebagai alternatif pembiayaan non ribawi dalam bentuk jual beli. Murabahah yang dipraktikkan oleh bank syariah termasuk istimewa karena merupakan bentuk murabahah berdasarkan permintaan pembeli. Yang dimaksud murabahah berdasarkan permintaan pembeli adalah murabahah yang dilakukan atas pengajuan dari nasabah kepada bank untuk mengadakan suatu barang dengan spesifikasi tertentu dan menjualnya kepada nasabah dengan keuntungan yang disepakati bersama. Biasanya, dalam mengajukan permintaan kepada bank, nasabah berjanji membeli barang tersebut secara murabahah dengan pembayaran angsur. Pembiayaan seperti ini dibenarkan dan dipraktikkan oleh bank syari’ah di Indonesia berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang membolehkan murabahah sebagai salah satu produk/ kegiatan usaha bank syariah. DSN-MUI memberikan batasan-batasan umum yang harus dipatuhi oleh bank syariah terkait murabahah, yaitu:
1. Pelaksanaan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah. 3. Bank membeli barang secara sah dan bebas riba.
2
Akhmad Faozan,”Murabahah dalam Hukum Islam dan Praktik Perbankan Syariah,” dalam jurnal Asy-Syirah Vol.43 No.1,Maret 2009,(1-3),h.26.
3
4. Bank menyampaikan segala hal terkait pembelian pertama.
5. Apabila bank mewakilkan pembelian barang kepada nasabah, maka akad jual beli murabahah antara bank dengan nasabah harus dilakukan setelah barang yang diperjualbelikan secara prinsip telah menjadi milik bank. dapat dipahami bahwa murabahah dapat dilaksanakan oleh bank syariah sebagai salah satu bentuk pembiayaan selama tidak melanggar ketentuan syariah. Dalam mengimplementasikan konsep dan prinsip pembiayaan murabahah, maka bank syariah mengacu kepada aturan yang tertuang dalam fatwa DSN-MUI tentang murabahah, di mana rukun yang harus terpenuhi antara lain,
a. Pelaku akad. Yaitu bank sebagai penjual barang dan nasabah sebagai pembeli.
b. Obyek akad. Yaitu barang dagangan/ aset dan harga sebagai alat tukar.
c. Shighah. Yaitu ijab dan kabul sebagai bentuk kesepakatan antara keduanya. 4
Adapun mekanisme pembiayaan murabahah bank syariah adalah sebagai berikut.
1. Nasabah mengajukan permohonan pembelian barang kepada bank. 2. Bank mempelajari permohonan nasabah. Apabila diterima, maka bank
membeli barang/ aset sesuai spesifikasi pesanan nasabah secara sah dari penjual pertama.
3. Bank menawarkan barang dengan spesifikasi yang diminta dan nasabah harus membelinya sesuai perjanjian yang telah disepakati.
4. Bank dan nasabah melakukan transaksi jual beli murabahah meliputi negosiasi harga, sistem dan jangka waktu pembayaran, ijab dan kabul, serah terima barang.
5. Nasabah membayar kewajibannya kepada bank, baik secara angsur atau sekaligus dalam jangka waktu yang telah disepakati bersama.
4
Lely Shofa Imama,”Konsep dan Implementasi Murabahah pada Produk Pembiayaan Bank Syariah”, dalam jurnal Iqtishadia Vol.1 No.2, Desember 2014 (11-19),h.232.
Berikut ini pembahasan beberapa hal yang menjadi perhatian bank syariah terkait dengan murabahah, yaitu: obyek murabahah, harga dan keuntungan, uang muka, pembelian dan penyerahan barang, serta pembayaran tangguh.
1. Obyek Murabahah Sebelum menjadi penjual, bank adalah pembeli. Selaku pembeli barang, bank terikat dengan aturan-aturan yang berlaku atas pembeli. Salah satunya adalah bahwa pembeli tidak boleh melakukan tindakan terhadap barang sebelum beralih kepemilikannya secara sah dari penjual, termasuk menjualnya kepada pihak lain. Terkait kepemilikan barang, biasanya bank tidak memiliki stok barang karena bank bukanlah perusahaan dagang. Dalam mendapatkan barang yang diinginkan pembeli, untuk menghindari kesalahan pemesanan, maka spesifikasi dan kualifikasi barang sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerugian di pihak bank karena apabila barang yang dijual tidak sesuai dengan spesifikasi yang diminta, maka nasabah berhak membatalkan perjanjian. Sebagai antisipasi kesalahan pengadaan barang, tidak jarang bank syariah mewakilkan pembelian barang kepada nasabah. Apabila hal ini terjadi, maka sesuai dengan fatwa DSN-MUI, barang yang diwakilkan pembeliannya tidak dapat dialihkan kepemilikannya secara langsung kepada nasabah, akan tetapi harus menjadi milik bank secara sah untuk kemudian dijual kepada nasabah secara murabahah. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa, dalam masa kepemilikan bank atas barang, yaitu sejak bank membeli barang sampai terjadi akad murabahah antara bank dan nasabah, segala hal terkait dengan barang berada dalam tanggung jawab bank, termasuk resiko kerusakan barang.
2. Harga dan Keuntungan Dalam murabahah, harga merupakan topik penting yang harus diperhatikan baik oleh penjual maupun pembeli. Hal ini dikarenakan murabahah adalah salah satu bentuk jual beli amanah di mana penjual berkewajiban memberitahukan secara jujur kepada pembeli biaya perolehan dari barang berikut laba yang diinginkannya. Dalam menentukan jumlah harga, biaya yang boleh dihitung dan dimasukkan ke dalam modal adalah biaya yang dikeluarkan untuk pihak ketiga di luar upah penjual karena upah penjual dan kompensasi resiko sudah
termasuk dalam laba yang diambil oleh penjual. Harga pokok merupakan harga beli barang yang diperoleh bank dari pemasok, sedangkan biaya terkait meliputi pajak, ongkos kirim, akta notaris, dan biaya lain di luar tanggungan wajar bank. Adapun gaji pegawai dan biaya operasional bank tidak termasuk biaya pengadaan barang. Selanjutnya, apabila dalam pengadaan barang bank memperoleh diskon dari pemasok, maka harga yang berlaku adalah harga setelah diskon. Dan apabila diskon diberikan setelah akad terlaksana, maka pembagiannya dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan atau perjanjian. Berkenaan dengan keuntungan, selain laba murni yang diinginkan oleh penjual, kemungkinan resiko yang ditanggung oleh bank sebagai penjual selama proses maupun akibat dari jual beli dapat dijadikan pertimbangan penetapan jumlah keuntungan. Kemungkinan resiko yang dimaksud antara lain berkaitan dengan nilai barang, tingkat kesulitan dalam pengadaannya, serta sistem pembayarannya.
3. Uang Muka dan Jaminan Dalam murabahah, bank syariah memberlakukan penggunaan uang muka sebagai bukti keseriusan nasabah dalam mengajukan permohonannya dan mengantisipasi kerugian bank apabila nasabah membatalkan perjanjian. Dalam penggunaan uang muka, DSN-MUI memberikan ketentuan berikut:
a. Bank diperbolehkan meminta uang muka kepada nasabah pada saat menandatangani kesepakatan awal.
b. Jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.
c. Jika nasabah menyetujui untuk membeli barang yang dipesannya, maka uang muka termasuk bagian dari jumlah harga barang tersebut. d. Jika kemudian nasabah menolak atau membatalkan pembelian
barang yang telah dipesan, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
e. Jika nilai kerugian yang ditanggung bank lebih besar dari uang muka, maka bank boleh meminta sisa kerugiannya kepada nasabah.
f. Jika nilai kerugian yang ditanggung bank lebih kecil dari uang muka, maka bank berkewajiban mengembalikan sisa uang muka kepada nasabah.
Dari ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa uang muka dilakukan hanya sebagai bukti keseriusan dan antisipasi kerugian serta tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap jual beli beli murabahah, termasuk dalam penentuan harga. Sehingga, harga tidak dihitung berdasarkan besaran uang muka yang diberikan, akan tetapi harga ditentukan sesuai kesepakatan berdasarkan harga perolehan barang dan laba yang diinginkan oleh penjual dengan kesepakatan pembeli. Dalam praktiknya, penggunaan jaminan tidak mutlak dilakukan karena beberapa bank syariah saat ini memberikan layanan pembiayaan tanpa agunan/ jaminan. Dalam pemberiannya, biasanya bank syariah mengadakan perjanjian kerja sama dengan bagian keuangan tempat nasabah bekerja untuk menghindari keraguan dan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan pembiayaan.
4. Pembelian dan Penyerahan Barang Dalam murabahah berdasarkan permintaan nasabah, pembelian barang dilakukan oleh bank syariah setelah mempelajari dan menyetujui permohonan nasabah. Dalam prosesnya, bank biasanya telah memiliki kerjasama dengan suplier dalam hal pengadaan barang. Akan tetapi dalam beberapa kasus di mana bank tidak memiliki kerjasama dengan penyedia barang yang diinginkan nasabah, bank tidak berhubungan langsung dengan suplier, akan tetapi mewakilkan pembeliannya kepada nasabah. Dengan demikian, bank tidak melakukan tindakan apapun kecuali menjadi pemilik dana. Bentuk perwalian semacam ini diperbolehkan sesuai dengan fatwa DSN-MUI dengan syarat bahwa akad murabahah baru dilaksanakan setelah barang dibeli dan secara sah telah menjadi milik bank. Keabsahan kepemilikan dan penguasaan bank atas barang harus dapat dibuktikan dan tidak memiliki cacat secara akad.
5. Murabahah Secara Tangguh Sebagai lembaga keuangan, murabahah yang dilakukan oleh bank syariah tidak terlepas dari fungsi pembiayaan karena mayoritas nasabah yang menggunakan jasa bank syariah memiliki tujuan agar dapat memperoleh barang yang diinginkannya dengan cara mengangsur. Bentuk jual beli murabahah dengan pembayaran secara angsur menjadikannya beralih dari jual beli kontan menjadi jual beli tangguh, di mana jual beli tangguh mengakibatkan hutang di pihak nasabah kepada bank. Berkenaan dengan hutang yang timbul sebagai akibat dari jual beli murabahah secara angsur, DSN-MUI
memperbolehkan bank meminta jaminan kepada nasabah sebagai bukti keseriusannya, memberikan diskon pelunasan sebelum waktunya dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad, dan mengenakan sanksi bagi nasabah mampu yang lalai dengan syarat untuk dialihkan ke dana sosial.5 Apabila sebelum hutangnya lunas, nasabah menjual barang yang dibelinya secara murabahah kepada pihak lain, maka penjualan tersebut sah karena barang tersebut telah menjadi milik nasabah. Akan tetapi, nasabah tetap diwajibkan untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank, peralihan hak tersebut tidak serta merta menggugurkan hutang nasabah. Akad Pembiayaan murabahah di LKS merupakan suatu bentuk pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu produk dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebutseluruhnya pada waktu jatuh tempo,plus keuntungan yang disepakati.Artinya LKS membelikan suatu barang yang diperlukan oleh nasabh, diman pembayarannya dilakukan kemudian baik secara tunai atau cicilan.6
Namun dalam peaksanaanya, seringkali juga lembaga memberikan kuasa kepada nasabah utuk membeli barang yang diperlakukannya atas nama LKS. Selanjutnya pada saat yang bersamaan LKS menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga asal ditambah dengan sejumlah keuntungan yang disepakati dan dibayarkan oleh nasabah pada jangka waktu tertentu, sesuai kesepakatan keduanya.biasanya pembiayaan murabahah diberikan kepada nasabah untuk membuka letter of credit dan membelikan barang yang diperlukannya.dalam pembelian ini nasabah tidak harus menyediakan dana karena pembiayaan seluruhnya bisa ditanggung oleh LKS.
D. PEMBIAYAAN MURABAHAH BERDASARKAN PERSPEKTIF FIQH
Berbicara tentang murabahah,maka tidak akan dilepaskan dengan jual beli yang dalam fiqh bias disebut al-bai’. Ditinjau dari segi ahrga, al-bai’ dapat dikatagorikan menjadi beberapa bagian, diantaranya adalah murabahah jual beli
5 Tri Setiady,”Pembiayaan Murabahah dalam Perspektif Fiqh Islam,Hukum Positif dan Hukum Syariah,” dalam jurnal Fiat Justisia Vol.8 No.3,Juli-September 2014 (5-9),h.520-525.
6
dalam termologi fiqh disebut dengan al-bai’yang secara termologis dapat diartikan denagan (tukar menukar) atau (menukar sesuatu denagn suatu pengganti). Lafadz al-bai’ dalam bahasa arab terkadang digunakan untuki pengertian lawannya,yaitu kata asy-syira (beli). Dnagan demikian al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.
Secara termologis,murabahah berasal dari masdhar yang berarti “keuntungan, laba, faedah”. Wahbah az-Zuhaili memberikan definisi murabahah adalah jual beli dengan harga awal ditambah keuntuagan. Jual beli murabahah hanya dibahas dalam kitab-kitab fiqh. Imam Malik dan Imam Syafii mengatakan bahwa jual beli murabahah itu sah menurut hokum walaupun Abdullah saeed mengatakan bahwa pernyataan ini tidak menyebutkan referensi yang jelas dari hadis menurut al-kaff,seorang kritikus konteporer tentang murabahah, bahwa para fuqoha terkemuka mulai menyatakan pendapat mereka mengenai murabahah pada awal abad ke 2 hijriah. Karena tidak ada acuan langsung kepadanya dalam al-quran atau dalam hadis yang diterima umum, maka para ahli hokum harus membenarkan murabahah berdasarkan landasan lain. Malik mendukung faliditasnya dengan acuan pada praktek orang orang madinah. Iya berkata “oenduduk madianh telah berkonsensus akan legitimasi orang yang membeli pakaiain disebuah toko dan membawanya kekota lain untuk dijual dengan adanya tambahan keuntungan yang telah disepakati. Imam Syafii menyatakan pendapatnya bahwa jika seseorang menunjukkan sebuah komoditi kepada seseorang dan berkata “belikan sesuatu untukku dan aku akan memberimu keuntungan sekian dan orang itu membelikan sesuatu untuknya. Wahab az-Zuhaili mengatakan bahwa dalam jual beli murabahah itu disyaratkan beberapa hal, yaitu:
1. Mengetahui harga pokok
Dalam jual beli murabahah disyaratkan agar mengetahui harga pokok atau harga asal,karena mengetahui harga merupakn syarat sah jual beli. Syarat ini juga diperuntukan bagi jual beli at-tauliyyah dan al-wadhiah
Hendaknya margin juga diketahui oleh pembeli,karena margin keuntungan tersebut termasuk bagian dari harga.sedangkan mengetahui harga merupakan syarat sah jual beli.
3. Harga pokok merupakan suatu barang yang dapat diukur, dihitung dan ditimbang, baik pada waktu terjadi jual beli dengan penjual dengan penjual yang pertama atau setelahnya
E. PEMBIAYAAN MURABAHAH BERDASARKAN HUKUM POSITIF
Murabahah merupakan salah suatu produk atau skim yang paling populer dalam praktek pembiayaan pada perbankan syariah. Selain mudah perhitungannya, baik bagi nasabah, maupun manajemen bank, produk ini memiliki beberapa kesamaan (yang bukan prinsipil) dengan sistem kredit pada perbankan konvensional. Meskipun demikian, secara prinsip murabahah sangat jauh berbeda dengan suku bunga dengan perbankan konvensional .
Dapat diartikan bahwa murabahah itu sebagai suatu perjanjian antara bank dan nasabah dalam bentuk pembiayaan pembelian atas suatu barang yang dibutuhkan nasabah. Kata murabahah ini dari kata rhibu (keuntungan), bank bertindak sebagai penjual sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin).
Yang dimaksud dengan akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
Jadi, pembiayaan murabahah ini secara prinsip merupakan saluran penyalur dana bank syariah denga cepat dan mudah, dimana bank syariah mendapat profit, yaitu dengan margin dari pembiayaan serta mendapatkan fee based in come (administrasi, komisi asuransi,dan komisi notaris).sementara bagi nasabah, pembiayaan murabahah ini merupakan alternatif pendanaan yang memberikan keuntungan kepada nasabah, pembiayaan murabahah itu merupakan alternatif pendanaan yang memberikan keuntungan kepada nasabah dalam bentuk membiayai kebutuhan nasabah dalam hal pengadaan barang, seperti pembelian dan renovasi bangunan, pembelian kendaraan, pembelian barang produktif seperti mesin produksi dan lain-lain.disini nasabah akan mendapat peluang
mengangsur pembayarannya denagn jumlah angsuran tidak akan merubah selama masa perjanjian.
Adapun resiko utama dari produk pembiayaan murabahah ini adalah resiko pembiayaan (credit risk) yang terjadi ika debitur wanprestasi atau default. Selain itu, resiko pasar juga dapat terjadi jika pembiayaan murabahah diberiakn valuta asing, yaitu resiko dari pergerakan nilai tukar.7
F. APLIKASI MURABAHAH DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Murabahah dalam lembaga keuangan syariah adalah akad jual beli antara Lembaga Keuangan Syariah dengan nasabah atas suatu jenis barang tertentu dengan harga yang telah disepakati bersama.
Jual beli murabahah dalam lembaga keuangan sayriah biasanya disertai dengan akad wakalah.wakalah dimana setelah nasabah menjadi wakil dari lembaga keuangan untuk mencari dan membeli barang yag sesuai dengan spesifikasi yang diajukan oleh nasabah.
Murabahah dalam praktik lembaga keuangan syariah prinsipnya didasarkan pada dua elemen pokok harga beli serta biaya yang terkait dalam kesepakatan atas laba yang diperoleh oleh lembaga.ciri dasar akad murabahah daalam lembaga keuangan syariah sebagai berikut:
1. Pembeli harus mengetahui tentang biaya-biaya terkait dengan harga asli barang;batas laba harus ditetapkan dalam bentuk presentase dari total harga ditambah biaya-biayanya.
2. Apa yang dijual adalah barang yang dibayar dengan uang.
3. Barang yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh penjual, dan penjual harus mampu menyerahkan menyerahkan barang tersebut kepada pembeli.8
7
Shobirin,”Jual Beli dalam Pandangan Islam”,dalam Jurnal Bisnis Vol.3, No.2,Desember 2015,h.15 8
PENUTUP
Penerapan konsep murabahah pada Bank Syariah dihubungkan dengan
pandangan ulama mengalami beberapa modifikasi. Murabahah yang
dipraktikkan pada LKS dikenal dengan murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’ , yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas/barang tersebut secaramurabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara installment (cicilan berkala) sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki. Mengenai kedudukan hukum praktik murâbahah li al-âmir bi al-Syira’ ulama kontemporer berbeda pendapat. Ada yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang atau mengharamkan. Penerapan murabahah dalam praktik bank syariah terbagi kedalam beberapa tipe yang kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu tipe konsisten terhadap fiqih muamalah, Tipe Kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung darisupplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan bank, dan Tipe Ketiga ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank syariah. Bank melakukan perjajian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya.