• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pola Aliran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III LANDASAN TEORI. A. Pola Aliran"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB III LANDASAN TEORI

A. Pola Aliran

Kondisi aliran dalam saluran terbuka berdasarkan pada kedudukam permukaan bebas cenderung berubah menurut ruang dan waktu, disamping itu ada hubungan ketergantungan antara lain kedalaman aliran, debit air, kemiringan dasar saluran dan permukaan bebas. Kondisi fisik saluran terbuka jauh lebih bervariasi dibandingkan dengan saluran tertutup. Berikut beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pola aliran :

1. Debit Aliran

Debit aliran merupakan hubungan perkalian antara kecepatan aliran dengan luas tampang basah saluran. Ven Te Chow (1989), dalam Sudiyono dkk (2014).

Q = U . A ... (3.1) Dimana : Q = Debit aliran, m3/det

U = Kecepatan aliran rata-rata, m/det A = Luas penampang aliran,m2 2. Kecepatan Aliran Rata-rata

Menurut Ven Te Chow (1989), sudiyono dkk (2014) kecepatan aliran rata-rata merupakan perbandingan antara debit aliran yang melewati saluran (Q) dengan luas tampang basah saluran (A) seperti persamaan dibawah ini :

= =

. ... (3.2)

Dimana : U = Kecepatan aliran rata-rata, (m/det) Yo = Kedalaman aliran, (m)

B = Lebar saluran,(m) Q = Debit, (m3/det)

(2)

A = Luas penampang aliran, (m2)

Kecepatan rata-rata menurut Chezy dirumuskan sebagai berikut (Sudiyono,2014) : = ... (3.3) = 18 log ... (3.4)

= , ... (3.5) Dimana : C = Koefisien Chezy

Sr = Kemiringan garis energi Y0 = Kedalaman aliran R = Jari-jari hidrolik

K = Diameter kekasaran dasar

Δ = Batas daerah transisi laminar dan torbulen Y = Viskositas

3. Bilangan Reynolds

Tipe aliran dapat dibedakan menggunakan bilangan Renolds. Menurut Reynolds tipe aliran dibedakan sebagai berikut (Mukti,2016) :

a. Aliran laminer adalah suatu tipe aliran yang ditunjukan oleh gerak partikel-partikel menurut garis-garis arusnya yang halus dan sejajar. Dengan nilai Reynolds lebih kecil lima ratus (Re<500)

b. Aliran turbulen mempunyai nilai bilangan Reynolds lebih besar dari seribu (Re>1000), aliran ini tidak mempunyai garis-garis arus yang halus dan sejajar sama sekali.

c. Aliran transisi biasanya paling sulit diamati dan nilai bilangan Reynolds antara lima ratus sampai seribu (500≤Re≤1000).

Persamaan untuk menghitung bilangan Reynolds yaitu :

(3)

Dimana : Re = Bilangan Reynolds U = Kecepatan aliran (m/det) l = Panjang karakteristik (meter) v = Viskositas kinematik (m2/dtk)

4. Bilangan Froude

Menurut Chow (1959) dalam buku Open Channel Hydraulics dalam Mulyandari (2010) dijelaskan bahwa akibat gaya tarik bumi terhadap aliran dinyatakan dengan rasio inersia dengan gaya tarik bumi (g). Rasio ini diterapkan sebagai bilangan Froude (Fr). Bilangan Froude untuk saluran terbuka dinyatakan sebagai berikut (Mukti,2016)

a. Aliran kritis, jika bilangan Froude sama dengan satu (Fr = 1) dan gangguan permukaan misal, akibat riak yang terjadi akibat batu yang dilempar ke dalam sungai tidak akan bergerak menyebar melawan arus.

b. Aliran subkritis, jika bilangan Froude lebih kecil dari satu (Fr < 1). Untuk aliran subkritis, kedalaman biasanya lebih besar dan kecepatan aliran rendah (semua riak yang timbul dapat bergerak melawan arus).

c. A;iran superkritis, jika bilangan Froude lebih besar dari satu (Fr > 1). Untuk aliran superkritis, kedalaman aliran relatif lebih kecil dan kecepatan relatif tinggi (segala riak yang ditimbulkan dari suatu gangguan adalah mengikuti arah arus).

Persamaan untuk menghitung bilangan Froude, yaitu : Fr =

. ... (3.7)

Dimana : Fr = Bilangan Froude

U = Kecepatan aliran (m/dtk) g = Percepatan gravitasi (m/dtk2) h = Kedalaman aliran (m)

(4)

U = ... (3.8) Dimana : Q = Debit Aliran (m3/dtk)

A = Luas Saluran (m2) Nilai luas saluran (A) diperoleh dengan rumus :

A = b. H ... (3.9) Dimana : h = Tinggi aliran (m)

b = Lebar saluran (m) 5. Koefisien Kekasaran Manning

Menurut Chow (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi kekasaran Manning adalah sebagai berikut :

a. Kekasaran permukaan, yang ditandai dengan ukuran dan bentuk butiran bahan yang membentuk luas basah dan menimbulkan efek hambatan terhadap aliran. Secara umum dikatakan bahwa butiran halus menyebabkan nilai n yang relatif rendah dan butiran kasar memiliki nilai n yang tinggi. b. Tetumbuhan yang juga memperkecil kapasitas saluran dan menghambat

aliran.

c. Ketidakteraturan saluran, yang mencangkup pula ketidakteraturan keliling basah dan variasi penampang, ukuran dan teratur dari penampang 62 ukuran bentuk tidak terlalu mempengaruhi nilai n, tetapi perubahan tiba-tiba atau peralihan dari penampang kecil ke besar memerlukan penggunaan nilai n yang besar.

d. Trase saluran, dimana kelengkungan yang landai dengan garis tengah yang besar akan mengakibatkan nilai n yang relatif rendah, sedangkan kelengkungan yang tajam dengan belokan-belokan yang patah akan memperbesar nilai n.

e. Pengendapan dan penggerusan. Secara umum pengendapan dapat mengubah saluran yang sangat tidak beraturan menjadi cukup beraturan dan memperkecil n, sedangkan penggerusan dapat berakibat sebaliknya dan

(5)

memperbesar n. Namun efek utama dari pengendapan akan tergantung dari sifat alamiah bahan yang diendapkan.

f. Hambatan, berupa balok sekat, pilar jembatan dan sejenisnya yang cendrung memperbesar nilai n.

Besarnya koefisien dasar saluran dapat dihitung menurut Chow, (1989) dalam Koyari dkk (2012) dengan rumus :

= ... (3.10) Dimana : n = Koefisien kekasaran manning

V = Kecepatan aliran (m/dtk) R = Jari-jari hidrolik (m) I = Kemiringan saluran

Nilai jari-jari hidraulik (R) diperoleh dengan rumus :

R = ... (3.11) Dimana : P = Keliling tampang basah (m)

A = Luas saluran (m2)

Nilai kemiringan saluran (I) diperoleh dengan rumus :

I = ... (3.12) Dimana : Δh = Beda tinggi saluran hulu dan hilir (m)

(6)

Tabel 3.1 Koefisien kekasaran Manning

Bahan n

Besi Tulang Lapis 0.014

Kaca 0.010

Saluran Beton 0.013

Bata Dilapis Mortar 0.015

Pasangan Batu Disemen 0.025

Saluran Tanah Bersih 0.022

Saluran Tanah 0.030

Saluran Dengan Dasar Batu Dan Tebing Rumput

0.040

Saluran Pada Galian Batu Padas 0.040

Sumber: Triatmodjo, 2008.

B. Gerusan

Gerusan adalah fenomena alam yang terjadi karena erosi terhadap aliran air pada dasar dan tebing saluran alluvial atau proses menurunnya atau semakin dalamnya dasar sungai di bawah elevasi permukaan alami (datum) karena interaksi antara aliran dengan material dasar sungai (Hoffmans dan Verheij,1997).

Gerusan merupakan proses alam yang mengakibatkan kerusakan pada struktur bangunan didaerah aliran air. Penambahan gerusan akan terjadi dimana ada perubahan setempat dari geometri sungai seperti karakteristik tanah dasar setempat dan adanya halangan pada alir sungai berupa bangunan sungai. Adanya halangan tersebut akan menyebabkan perubahan pola aliran yang mengakibatkan terjadinya gerusan lokal disekitar bangunan tersebut. perubahan pola aliran terjadi karena adanya halangan pada aliran sungai tersebut berupa bangunan sungai seperti pilar dan abutmen jembatan, krib sungai, pintu air dan sebagainya. Bangunan semacam

(7)

ini dipandang dapat merubah geometri alur dan pola aliran yang selanjutnya diikuti gerusan lokal disekitar bangunan (Legono, 1990 dalam Sucipto, 2004)

1. Jenis Gerusan

Menurut Legono (1990), gerusan dibedakan menjadi :

a. Gerusan umum di alur sungai, gerusan ini tidak berkaitan sama sekali dengan terdapat atau tidaknya bangunan sungai. Gerusan ini disebabkan oleh energi dari aliran sungai.

b. Gerusan terlokalisir di alur sungai, terjadi karena penyempitan alur sungai, sehingga aliran menjadi lebih terpusat.

c. Gerusan lokal disekitar bangunan, terjadi karena pola aliran lokal disekitar bangunan sungai akibat peningkatan energi dan turbulensi aliran karena gangguan bangunan atau gangguan alami.

Gerusan dari jenis b dan c selanjutnya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : a. Kondisi tidak ada angkutan sedimen (clear water scour)

Yaitu berkaitan dengan suatu keadaan dimana dasar sungai di sebelah hulu bangunan dalam keadaan diam (tidak ada material yang terangkut) atau secara teoritik (τ0 < τc), dimana tegangan geser yang terjadi (τ0) lebih kecil dari pada tegangan geser kritik dari butiran dasar sungai (τc), yang dapat di bedakan menjadi :

a.1 untuk ≤ 0,5

yaitu, kondisi gerusan lokal tidak terjadi dan proses transportasi sedimen tidak terjadi pada daerah sekitar pilar.

a.2 Untuk 0,5 < ≤ 1,0

Yaitu, penyebab utama terjadinya proses gerusan adalah clear water scour dan ini akan terjadi kondisi gerusan lokal terjadi menerus dan proses transportasi aliran sangat dominan dan menurut Shen (1972) dan Graff (1995) dalam Wibowi (2007) : kekuatan horsehoe vortex dan angka Reynold pada pilar adalah :

(8)

= 0.00022 ( ) . ... (3.13)

b. Kondisi ada angkutan sedinen (live bed scour)

Dimana gerusan yang disertai dengan angkutan sedimen dari meterial dasar saluran akibat aliran dalam saluran yang menyebabkan material dasar bergerak (τ0> τc) akan tetapi tidak menimbulkan dampak sampai tergerusnya dasar di sekitar pilar berarti pada daerah tersebut terjadi kesetimbangan antara pengendapan dan erosinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa tegangan geser yang terjadi (τ0) pada dasar saluran lebih besar dari pada tegangan geser kritik dari butiran dasar sungai (τc), jika :

> 1,0 ... (3.14) Dimana : U = Kecepatan aliran rata-rata (m/dtk)

Ucr = Kecepatan aliran kritis (m/dtk)

Keseimbangan kedalaman gerusan tercapai jika jumlah material yang terangkat dari lubang gerusan sama dengan material yang disuplai ke lubang gerusan. Perbedaan prinsipil antara gerusan oleh air bersih dibandingkan dengan air bersedimen adalah mengikuti skema seperti disajikan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Hubungan kedalaman gerusan dengan waktu. (Sumber : Istiarto,2002 dalam Ariyanto, 2010)

(9)

Menurut Grad dan Altinakar (1998) dalam Rustiati (2007) juga menyebutkan bahwa aliran air pada sungai dengan dasar bergerak (movable bed) memiliki kemungkinan terhadap lajunya angkutan sedimen. Gerak sedimen yang dapat berupa erosi, deposisi dan angkutan sedimen tidak saja akan merubah aliran tetapi juga merubah dasar sungai/saluran yakni tinggi elevasi dasar, kemiringan dasar dan kekasaran butiran penyusun dasar sungai/saluran.

2. Mekanisme Gerusan

Karena adanya perubahan aliran, timbul gaya-gaya yang bekerja pada material butiran sedimen. Gaya-gaya ini mempunyai tendensi untuk menggerakkan material sedimen. Untuk material kasar (pasir dan batuan) gaya yang melawan gaya-gaya aliran tergantung dari berat material sedimen. Sedangkan untuk material halus (lanau dan lempung) gaya yang melawan aliran lebih disebabkan oleh kohesi dari pada berat material.

Menurut Istiarto, (2002) dalam Ariyanto, (2010) proses erosi dan deposisi di sungai pada umumnya terjadi karena adanya perubahan pola aliran, terutama pada sungai allubial. Perubahan pola aliran dapat terjadi karena adanya rintangan atau halangan pada aliran sungai tersebut yaitu berupa bangunan sungai misal : pangkal jembatan, krib sungai, revetment, dan sebagainya. Bangunan semacam ini dipandang dapat merubah geometri alur serta pola aliran, yang selanjutnya diikuti dengan timbulnya gerusan lokal di sekitar bangunan.

Pola aliran disekitar pilar pada aliran saluran terbuka cukup kompleks. Bertambahnya complexity disertai semakin luasnya lubang gerusan. Suatu sail studi mengenai bentuk/pola aliran yang telah dilanjutkan oleh Melville dalam Wibowo, (2007) agar lebih mengerti mekanisme dan peran penting pola aliran hingga terbentuknya lubang gerusan. Pola aliran dibedakan dalam beberapa komponen :

a. Arus bawah didepan pilar.

b. Pusaran sepatu kuda (horse shoes vortex).

c. Pusaran yang terangkat (Cast off vortices) dan menjalar (wake). d. Punggung gelombang (bow wave).

(10)

Proses gerusan dimulai pada saat partikel yang terbawa bergerak mengikuti pola aliran bagian hulu kebagian hilir saluran. Pada kecepatan yang lebih tinggi maka partikel yang terbawa akan semakin banyak dan lubang gerusan akan semakin besar, baik ukuran maupun kedalamannya bahkan kedalaman gerusan maksimum akan dicapai pada saat kecepatan aliran mencapai kecepatan kritik. Lebih jauh lagi ditegaskan bahwa kecepatan gerusan relatif tetap meskipun terjadi peningkatan kecepatan yang berhubungan dengan transpor sedimen baik yang masuk maupun yang keluar lubang gerusan, jadi kedalaman rata-rata terjadi pada kondisi equilibrium scour depth (Charbert dan Engal Dinger, 1956 dalam Breuser dan Raudkiv, 1991)

Menurut Miller, (2003) dalam Mukti, (2016), jika struktur ditempatkan pada suatu arus air, aliran air disekitar struktur tersebut akan bertambah, dan gradient kecepatan vertikal (vertical velocity gradient) dari aliran akan berubah menjadi gradient tekanan (pressure gradient) ini merupakan hasil dari aliran bawah yang membentur bed. Pada dasar struktur, aliran bawah ini membentuk pusaran yang akhirnya menyapu sekeliling dan bagian bawah struktur dengan memenuhi seluruh aliran. Hal ini dinamakan pusaran tapal kuda (horse shoes vortex), karena dilihat dari atas bentuk pusaran ini mirip tapal kuda.

Pada permukaan air, interkasi aliran dan struktur membentuk busur ombak (bow wave) yang disebut sebagai gulungan permukaan (surface roller). Pada saat terjadi pemisahan aliran pada struktur bagian dalam mengalami wake vortices.

Gambar 3.2 Mekanisme gerusan akibat pola aliran air di sekitar pilar (Sucipto, 2011)

(11)

Chabert dan Engeldiner, (1956) dalam Breuser dan Raudkivi, (1991:61) menyatakan lubang gerusan yang terjadi pada alur sungai umumnya merupakan kolerasi antara kedalaman gerusan dengan kecepatan aliran sehingga lubang gerusan tersebut merupakan fungsi waktu (Gambar3.3). Sedangkan Breusers dan Raudkivi, (1991:61) menyatakan bahwa kedalaman gerusan maksimum merupakan fungsi kecepatan geser (Gambar 3.4).

Gambar 3.3 Hubungan kedalaman gerusan dengan waktu (Breusers dan Raudkivi, 1991)

Gambar 3.4 Hubungan kedalaman gerusan dengan kecepatan geser (Breusers dan Raudkivi, 1991)

(12)

Melville, (1975) dalam Wibowo, (2007) menjelaskan tahap-tahap gerusan yang terjadi antara lain sebagai berikut :

a. Peningkatan aliran yang terjadi pada saat perubahan garis aliran di sekeliling pilar.

b. Pemisahan aliran dan peningkatan pusaran tapal kuda yang lebih intensif sehingga menyebabkan pembesaran lubang gerusan.

c. Longsor/turunnya material disekitar lubang gerusan pada saat lubang cukup besar setelah terkena pusaran tapal kuda.

Melville menemukan bahwa sudut kemiringan sisi lubang adalah sudut yang menyebabkan pemindahan sedimen. Sudut ini tidak berubah selama membesarnya lubang gerusan.

Nakagawa dan Suzuki (1975) dalam Wibowo (2007) membedakan gerusan dalam empat tahap:

a. Gerusan di sisi (kanan dan kiri) pilar yang disebabkan kekuatan tarikan dari arus utama (main flow).

b. Gerusan di depan pilar yang diakibatkan horseshoe vortex (pusaran tapal kuda).

c. Pembesaran gerusan oleh pusaran stabil yang mengalir melewati pilar. d. Periode reduksi gerusan selama penurunan kapasitas transpor di lubang

gerusan.

3. Persamaan Kedalaman Gerusan

Dalam Yunar (2006) menyebutkan bahwa persamaan untuk menghitung kedalaman gerusan di presentasikan Laursen dan Toch (1956), berdasar pada data hasil studi kasus angkutan sedimen. Berbagai faktor yang mempengaruhi kedalaman gerusan lokal maksimum seperti, bentuk pilar, gradasi sedimen dan faktor sudut datang juga di perhitungkan. Johnson (1992) memperhitungkan kedalaman equilibrium gerusan lokal dengan menggunakan persamaan:

, = 2.02 . . ℎ . . . . . ( ) . ... (3.15)

Dimana : Fr = Bilangan Froude

(13)

Nilai Ki adalah faktor pengaruh dari berbagai factor yang mempengaruhi

kedalaman gerusan lokal (Hoffmans, G.J.C.M. dan Verheij, H.J., 1997). Sehingga persamaannya menjadi :

Ki = Ks Kω Kg Kgr ... (3.16)

Dimana : Ks = Koefisien faktor bentuk pilar

Kω = Koefisien faktor sudut dating

Kg = Koefisien faktor gradasi butiran dasar

Kgr = Koefisien faktor grup pilar

Berdasarkan data penelitian Laursen dan Toch (1956), Breusers (1977) mendapatkan Persamaan untuk mendapatkan kedalaman equilibrium gerusan lokal:

, = 1.35 . . . tanh ... (3.17)

Dimana: Ym,e = Kedalaman equilibrium gerusan lokal maksimum di

sekitar pilar (m)

Ki = Faktor yang mempengaruhi kedalaman gerusan lokal

b = Lebar pilar (m) h0 = Kedalaman aliran (m)

Dalam penelitian ini digunakan bentuk pilar silinder mempunyai koefisen faktor bentuk pilar 1 dan pilar Segi Empat Ujung Bulat mempunyai koefisien faktor bentuk pilar 0,92 .

Kedalaman gerusan tergantung dari beberapa variabel (lihat Breuser dan Raudkivi, 1991 dalam Syarvina) yaitu karakteristik zat cair, material dasar, aliran dalam saluran dan bentuk pilar jembatan. Penggerusan pada dasar sungai di bawah pilar akibat adanya aliran sungai yang mengikis lapisan tanah dasar dapat dihitiung kedalamannya. Kondisi clear-water untuk dalamnya penggerusan dapat dihitung melalui persamaanpersamaan Raudkivi (1991) yaitu sebagai berikut :

yse = 2.3 Kσ . Ks . Kα . Kdt . Kd ... (3.18)

Dimana : yse = Kedalaman gerusan seimbang Kd = Faktor ketinggian aliran

Ks = Faktor bentuk pilar

(14)

Kα = Faktor posisi pilar

Kσ = Fungsi dari standar deviasi geometrik distribusi ukuran

partikel

α = Sudut datang alir

Dalam Melville dan Satherland (1988) dalam Syarvina telah dijelaskan, bahwa kedalaman gerusan dari gerusan lokal, yse, dapat ditulis :

yse = KI . Kσ . Ks . Kα . Kdt . Kd ... (3.19)

Dimana : yse = Kedalaman gerusan seimbang Kd = Faktor ketinggian aliran

KI = Faktor intesitas aliran

Ks = Faktor bentuk pilar

Kα = Faktor posisi pilar [0,78( ) 0,225]

Kdt = Faktor ukuran pilar

Kσ = Fungsi dari standar deviasi geometrik distribusi ukuran

partikel Dimana :

KI = 2,4(U/Uc) jika (U/Uc) < 1 KI = 2,4 jika (U/Uc) > 1

4. Faktor yang Mempengaruhi Kedalaman Gerusan

Kedalaman gerusan yang terjadi disekitar bangunan air, jembatan dan penyempitan air dipengaruhi beberapa faktor yang antara lain adalah :

a. Kecepatan aliran pada alur sungai

Kedalaman gerusan lokal maksimum rata-rata di sekitar pilar sangat tergantung pada nilai relatif kecepatan alur sungai (perbandingan antara kecepatan rerata aliran dan kecepatan geser), nilai diameter butiran (butiran seragam/ tidak seragam) dan lebar pilar. Dengan demikian maka gerusan lokal maksimum rerata tersebut merupakan gerusan lokal maksimum dalam kondisi setimbang.

(15)

Kedalaman gerusan lokal maksimum rerata di sekitar pilar sangat tergantung nilai relatif kecepatan alur sungai (perbandingan antara kecepatan rerata aliran dan kecepatan geser), nilai diameter butiran (butiran seragam/ tidak seragam) dan lebar pilar. Dengan demikian maka gerusan lokal maksimum rerata tersebut merupakan gerusan lokal maksimum dalam kondisi setimbang. Pengaruh kecepatan relative pada gerusan dapat ditunjukan pada (v/vc) pada kedalaman gerusan tak berdimensi (ys/b).

b. Gradasi sedimen

Gradasi sedimen dari sedimen transpor merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kedalaman gerusan pada kondisi air bersih (clear water scour). Dari Gambar 3.5, kedalaman gerusan (ys/b) tak berdimensi sebagai fungsi dari karakteristik gradasi sedimen material dasar (σ/d50). Dimana σ

adalah standar deviasi untuk ukuran butiran dan d50 adalah ukuran partikel butiran rerata.

Nilai kritikal dari σ/d50 untuk melindunginya hanya dapat dicapai

dengan bidang dasar, tetapi tidak dengan lubang gerusan dimana kekuatan lokal pada butirannya tinggi yang disebabkan meningkatnya pusaran air.

Gambar 3.5 Kedalaman gerusan setimbang di sekitar pilar fungsi ukuran butir relative untuk kondisi aliran air bersih (Breusers dan Raudkivi, 1991)

Dengan demikian nilai koefisien simpangan baku geometrik (σg) dari distribusi gradasi sedimen akan berpengaruh pada kedalaman gerusan air bersih dan dapat ditentukan dari nilai grafik Gambar 3.6.

(16)

Gambar 3.6 Koefisien simpangan baku (K ) fungsi standar deviasi geometri ukuran butir (Breusers dan Raudkivi, 1991)

Estimasi kedalaman gerusan dikarenakan adanya pengaruh distribusi material dasar mempunyai nilai maksimum dalam kondisi setimbang pada aliran air bersih (clear water) menurut Breuser dan Raudviki (1991) adalah sebagai berikut :

( )/ = . / ………(3.20)

c. Ukuran Pilar dan Ukuran Butir Material Dasar

Kedalaman gerusan maksimum pada media alir clear water scour sangat dipengaruhi adanya ukuran butiran material dasar relatif b/d50 pada

sungai alami maupun buatan. Untuk sungai alami umumnya koefisien ukuran butir relatif b/d50 pada kecepatan relatif U/Uc = 0,90 pada kondisi

clear water dan umumnya kedalaman gerusan relatif ys/b tidak dipengaruhi oleh besarnya butiran dasar sungai selama b/d50 > 25.

Ukuran pilar mempengaruhi waktu yang diperlukan bagi gerusan lokal pada kondisi clear-water sampai kedalaman terakhir, tidak dengan jarak relatif (ys/b), jika pengaruh dari kedalaman relatif (y0/b) dan butiran relatif (b/d50) pada kedalaman gerusan ditiadakan, maka nilai aktual dari

(ys/b) juga tergantung pada peningkatan dari bed material. Pada kasus gerusan yang mengangkut sedimen (live bed), waktu diberikan untuk mencapai keseimbangan gerusan dan tergantung pada rasio dari tekanan dasar ke tekanan kritikal.

(Breuser 1971, Akkerman 1976, Konter 1976, 1982, Nakagawa dan Suzuki 1976) Para peneliti melakukan percobaan-percobaan untuk mempraktekkan pendekatan yang sama terhadap proses gerusan di sekitar

(17)

pilar jembatan. Hasil dari percobaanpercobaan tersebut diantaranya pada kolom dengan ukuran kecil dimana (b/h0 < 1) kedalaman maksimum

gerusan dapat digambarkan dengan persamaan berikut yang berlaku pada seluruh fase dari proses gerusan asalkan ym,e > b :

,

= 1 −

, ………(3.21)

Dengan : b = lebar pilar jembatan (m)

h0 = kedalaman aliran mula-mula (m)

t = waktu (s)

t1 = waktu ketika ym= b (s)

ym = kedalaman maksimum gerusan pada saat t (m)

ym,e = kedalaman gerusan maksimum pada saat setimbang (m)

γ = koefisien (-), dimana γ = 0.2 - 0.4

Pada fase perluasan (development phase), untuk t < t1, persamaan di atas menjadi:

,

=

………(3.22)

Menurut Nakagawa dan Suzuki (1976) dalam Miller (2003) nilai γ= 0.22-0.23 dan t1 bisa ditulis sebagai berikut :

= 29,2 ∆ , ………...(3.23)

Dengan : b = lebar pilar jembatan (m) d50 = diameter rata-rata partikel (m)

Uc = kecepatan kritis rata-rata (m/s)

U0 = kecepatan rata-rata (m/s), dengan

Uo = Q/A

Q = debit (m3/s)

A = luas penampang (m2) = berat jenis relative (-)

(18)

Berdasarkan data Laursen dan Toch (1956) dalam Breuser dan Raudkivi (1971) menemukan persamaan untuk pilar bulat jembatan yaitu :

, = 1,35 , ℎ ………....(3.24)

Dengan : b = lebar pilar jembatan (m) Ho = kedalaman aliran (m)

Ki = factor koreksi (untuk pilar bulat Ki = 1.0)

,

=

kedalaman gerusan saat setimbang

Volume lubang gerusan dibentuk untuk mengelilingi pilar dan berbanding diameter kubik dari pilar itu sendiri, berarti semakin lebar pilar semakin banyak gerusan dan semakin banyak pula waktu yang diperlukan untuk melakukan penggerusan. Koefisien pengaruh ukuran pilar dan ukuran butir material dasar (Kdt) ini menurut Ettema (1980) dalam Breuser (1991)

dapat pula untuk live bed scour.

Dari uraian diatas lebih jelas dapat di lihat pada Gambar 3.7 dan Gambar 3.8 yang memperlihatkan korelasi antara nilai kedalaman gerusan relative dengan ukuran butir relatif U/Uc dengan ukuran butir relatif.

Gambar 3.7 Hubungan kedalaman gerusan seimbang (yse) dengan ukuran butir

relatif (b/d50) untuk kondisi aliran air bersih dan bersedimen

(19)

Gambar 3.8 Hubungan koefisien reduksi ukuran butir relative K(b/d50) dengan

ukuran butir relatif (b/d50) untuk kondisi aliran air bersih dan bersedimen

(Breuser dan Raudkivi, 1991) d. Bentuk Pilar

Bentuk pilar akan berpengaruh pada kedalaman gerusan lokal, pilar jembatan yang tidak bulat akan memberikan sudut yang lebih tajam terhadap aliran dating yang diharapkan dapat mengurangi gaya pusaran tapal kuda sehingga dapat mengurangi besarnya kedalaman gerusan. Hal ini juga tergantung pada panjang dan lebar (l/b) masing-masing bentuk mempunyai koefisien faktor bentuk Ks menurut Dietz (1971) dalam Breuser dan Raudkivi (1991) di tujukan dalam tabel berikut :

Tabel 3.2 Koefisien faktor bentuk pilar

Bentuk Pilar ′ ′ Ks Gambar Bentuk Pilar Silinder 1.0 Persegi (Rectangular) 1 : 1 1:5 1.22 0.99 Persegi dengan ujung

(20)

(rectangular with semi circular nose)

Ujung setengah lingkaran dengan bentuk belakang lancip (semi circular nose with wedge shape tail)

1 : 5 0.86

Persegi dengan sisi depan miring (rectangular with wedge shape nose)

1 : 3 1 : 2 1 : 4 0.76 0.65 Elips (Elliptic) 1 : 2 1 : 3 1 : 5 0.83 0.80 0.61 Lenticular 1 : 2 1 : 3 0.80 0.70 Aerofoil 1 : 3.5 0.80

(Sumber : Breuser dan Raudkivi, 1991)

e. Posisi Pilar (sudut kemiringan pilar)

Kedalaman gerusan lokal tergantung pada kedudukan / posisi pilar terhadap arah aliran yang terjadi serta panjang dan lebarnya pilar. Karena kedalaman gerusan merupakan rasio dari panjang dan lebar serta sudut dari tinjauan terhadap arah aliran.

Koefisien sudut datang aliran karena posisi pilar digunakan pada beberapa bentuk tertentu. Hanya bentuk silinder yang tidak menggunakan koefisien sudut datang (Laursen dan toch (1956) dalam Breuser (2004:7). Koefisien sudut datang arah aliran seperti Gambar 3.9.

Menurut, Dietz (1972) dan Neil (1973) dalam Syarvina (2013) terhadap pengaruh bentuk pilar tampak horisontal croos section, mereka menegaskan dan merekomendasikan nilai faktor bentuk pilar ( Ks). Laursen dan Touch (1956), mempelajari ini pada pilar rectangular horizontal croos

(21)

section dengan memberikan sudut kemiringan terhadap aliran. Bila sudut terjang aliran terhadap pilar 0o maka Kα = 1.

Nagasaki dan suzuki (1976) dalam Syarvina (2013) menyajikan beberapa pengujian gerusan disekitar pilar rectingular horizontal croos section dengan Lb/b berkisar 1,75 dengan variasi sudut 0o– 45o. Dari penelitian tersebut gerusan yang terjadi untuksudut 30o hampir sama dengan 45o, namun itu lebih besar dari 0o yang mana

Kα = 1,3 – 1,8

Kα = (cos + / sin ) , ………(3.25)

Dimana : Kα = Faktor orientasi pilar terhadap aliran B = Sisi lebar bentuk pilar

Lp = Sisi panjang bentuk pilar

α = Sudut dating aliran terhadap pilar

Gambar 3.9 Koefisien arah sudut aliran (Kα) pada pilar (Breuser dan Raudkivi, 1991)

C. iRIC Nays2DH 1.0

Morpho2D adalah metode penganalisa permasalahan perubahan dasar sungai/saluran pada aliran unsteady (aliran tidak tetap) perhitungan dua dimensi dalam arah horizontal. Program / metode perhitungan ini dikembangkan oleh Hiroshi Takebayashi dari Kyoto University. Persamaan yang mengatur/digunakan dalam metode tersebut telah ditulis sesuai dengan batas sistem koordinat secara

(22)

umum. Di tahun 2009, metode perhitungan ini digunakan pada RIC-Nays Versi 1.0 yang merupakan program software yang dikembangkan oleh RIC. Beberapa fungsi baru ditambahkan untuk pengembangan dari versi sebelumnya yang kemudian menghasilkan program iRIC Versi 2.0 pada Maret 2011 dan kemudian sekarang berkembang menjadi iRIC Nays2DH 1.0.

IRIC Nays2DH 1.0 dapat menganalisa aliran tidak seragam dan menghasilkan luaran berupa sebaran material dasar sungai secara horizontal. Sebagai tambahan,generasi, proses perkembangan dan migrasi/perpindahan pada ambang sungai dapat ditiru/dimodelkan. IRIC Nays2DH 1.0 biasanya diaplikasikan/digunakan untuk simulasi sungai-sungai alami. Efek dari vegetasi/tanaman pada perubahan dasar sungai dan proses transportasi sedimen pada dasar sungai yang kasar (contoh: bebatuan) dapat disimulasikan atau dimodelkan (Takebayashi,2014)

1. Karakteristik Model Aliran

a. Sistem koordinat yang digunakan adalah sistem koordinat secara umum.

Bentuk (batas) sungai yang kompleks dapat

diperhitungkan/dipertimbangkan pada permodelan.

b. Skema TVD-MacCormack (orde ketelitian tingkat 2) biasa digunakan untuk jangka konfeksi pada persamaan momentum sebagai perbedaan metode yang digunakan.

c. Model persamaan 0 biasa digunakan untuk perhitungan pada difusi/persebaran aliran turbulen.

d. Kondisi batas spasial meliputi kedalaman air bagian hilir akhir dan debit air pada bagian hulu akhir.

e. Kedalaman normal rata-rata secara longitudinal/memanjang digunakan sebagai kedalaman air awal. Kemiringan dasar sungai rata-rata secara longitudinal digunakan untuk menghitung kedalaman normal. Ketika elevasi air mula-mula di dalam grid numerik lebih rendah dari elevasi air mula-mula pada bagian hilir, elevasi air mula-mula pada bagian hilir akan digunakan untuk kondisi awal kedalaman air dalam grid numerik.

(23)

f. Hukum Manning digunakan untuk memperkirakan tegangan geser pada dasar sungai. Angka koefisien Manning dapat didistribusikan secara horizontal.

g. Hambatan dalam suatu domain/daerah perhitungan dapat dipertimbangkan berdasarkan data ketinggian area yang tidak tererosi. Dengan menggunakan data tersebut, pilar pada jembatan dan bangunan lainnya dapat dipertimbangkan dalam perhitungan.

h. Tanaman vegetasi dapat diperhitungkan/dianggap sebagai gaya tarik atau gaya penahan yang bekerja pada arus aliran. Tingkat/jumlah lapisan yang tertutupi oleh tanaman dan tinggi tanaman dapat digunakan untuk estimasi besarnya gaya tarik atau gaya penahan yang bekerja.

2. Karakteristik Pemodelan Transportasi Sedimen dan Perubahan Dasar Sungai

a. Pengguna dapat memilih untuk simulasi/perhitungan aliran air atau simulasi/perhitungan untuk analisa perubahan dasar sungai.

b. Pengguna dapat memilih untuk menggunakan simulasi/perhitungan bed load atau bed load + suspended load.

c. Aliran sedimen seragam (uniform sediment) dan tidak seragam (non-uniform sediment) dapat disimulasikan. Ketika menggunakan simulasi sediment tidak seragam (non-uniform sediment), ukuran gradasi butiran / ukuran distribusi sedimen dapat diperhitungkan (dijadikan data input untuk analisa perhitungan simulasi).

d. Erosi pada bagian tepi/sisi sungai dapat diperhitungkan dengan mempertimbangkan sudut sedimentasi yang terbentuk. Ketika kemiringan dasar sungai lokal (di suatu bagian tertentu) lebih besar dari sudut sedimentasi yang terbentuk, sedimen pada grid numerik yang lebih tinggi akan berpindah ke grid numerik yang lebih rendah untuk menjaga nilai kemiringan dasar sungai lokal lebih kecil dari pada nilai sudut sedimentasi yang terbentuk.

(24)

3. Lain-lain

Fungsi simulasi berkelanjutan dapat digunakan. Simulasi / perhitungan yang baru dapat dimulai dengan menggunakan kondisi akhir dari simulasi sebelumnya.

4. Persamaan dalam Aliran

a. Persamaan dalam Koordinat Kartesius (Cartesian Coordinate)

Pertama, persamaan dalam koordinat Kartesius (x, y) akan ditransformasikan/dirubah ke sistem koordinat umum.

[Persamaan Continuum (Rangkaian Kesatuan)]

Λ + ( ℎ) + ( ℎ) + ℎ + ℎ = 0 ………(3.25) [Persamaan Momentum] (ℎ ) + (ℎ ) + (ℎ ) = − ℎ (ℎ + ) − + (ℎ ) + ℎ − ………(3.26) (ℎ ) + (ℎ ) + (ℎ ) = − ℎ (ℎ + ) − + ℎ + ℎ − ………(3.27) dimana, = , = , = ………(3.28) = 2 , = 2 , = + ………..(3.29) = √ , = √ , = ( + )ℎ ……….(3.30)

(25)

Dimana, t adalah waktu, x adalah koordinat di sepanjang arah memanjang dan y untuk arah melintang. u mewakili/mempresentasikan kecapatan aliran pada kedalamanan rerata di dasar sungai sepanjang aliran arah memanjang dan v untuk arah melintang. Kedalaman rerata- untuk rembesan air dari kecepatan aliran sepanjang koordinat x dan y pada sistem koordinat Kartesius ditunjukkan sebagai ug dan vg secara berturut-turut. z

adalah elevasi muka air, zb adalah elevasi dasar sungai. Kedalaman aliran

dari permukaan air ditunjukkan sebagai h dan kedalaman rembesan aliran ditunjukkan dengan hg. g adalah nilai untuk gravitasi, ρ adalah kerapatan

(massa jenis) air. τx adalah tegangan geser sepanjang arah memanjang dan

τy untuk arah melintang. τb adalah tegangan geser di dasar sungai. ɛ adalah

nilai koefisien viskositas eddy. u* adalah nilai kecepatan gesekan, ub and vb

menunjukkan kecepatan di dekat permukaan dasar sungai pada arah memanjang dan melintang secara berurutan. Fvx dan Fvy adalah gaya geser

sebagai akibat dari vegetasi sepanjang arah memanjang dan melintang. Cdv

(≒1.0) adalah nilai koefisien dari bentuk gesekan, λv adalah kerapatan

(massa jenis) vegetasi. hv adalah kedalaman air pada daerah/bidang yang

ditumbuhi vegetasi. Ketika tinggi tanaman vegetasi lebih besar/tinggi daripada kedalaman air, hv bernilai sama dengan kedalaman air. Ketika

tinggi tanaman vegetasi lebih rendah dari kedalaman air, hv bernilai sama

dengan tinggi tanaman vegetasi. Ʌ adalah parameter yang terkait dengan porositas dalam tanah, dimana Ʌ = 1 jika z ≥ zb dan Ʌ = λ jika z < zb, dimana

zb adalah level/elevasi dasar sungai dan λ adalah porositas dalam tanah.

Rembesan aliran diasumsikan sebagai kejenuhan air/aliran dalam dua dimensi arah horizontal.

b. Perubahan ke Sistem Koordinat Umum

Selanjutnya, persamaan yang mengatur dari aliran dua dimensi arah horizontal dalam sistem koordinat Kartesius dirubah kedalam bentuk sistem koordinat umum (ξ , ղ). Dengan menggunakan sistem- koordinat umum, maka grid numerik yang kompleks dapat digunakan. Hubungan antara

(26)

sistem koordinat Kartesisus dengan sistem koordinat umum adalah berdasarkan: = + ………(3.31) = + ………(3.32) atau, = ………..……(3.33) dimana, = , = , , .……….(3.34) sejalan dengan, = + ………(3.35) = + ………(3.36) atau = ………...………(3.37) dimana = , = , = ………..……(3.38) karenanya, = − = ………..…(3.39)

dimana, dengan menggunakan hubungan J = ξxղy – ξyղx

− = ……….…(3.40)

(27)

= , = − , = − = − , , ……….(3.41) atau, = , = − , = − , = ……….….(3.42) = − = − ……….……..(3.43) karena itu, = ……….……...(3.44)

(ξ , ղ) komponen dari kecepatan dinyatakan sebagai ( u ξ , u ղ ),

= + ……….…....(3.45) = + ……….……...(3.46) atau, = ……….……(3.47) = − − ………(3.48)

c. Persamaan dalam Sistem Koordinat Umum

Persamaan dalam Sistem Koordinat Umum yang dirubah dari sistem koordiat Kartesius (x, y) adalah sebagai berikut:

[Persamaan Continuum (Rangkaian Kesatuan)]

Λ + + + + = 0 …………(3.49)

[Persamaan Momentum]

+ + ( )

− + − ( + )

(28)

+ (ℎ ) + (ℎ ) + ℎ + ℎ ………(3.50) + + ( ) − + − ( + ) − ℎ + + − − + (ℎ ) + (ℎ ) + ℎ + ℎ + ℎ + ℎ + + ℎ + ℎ ……….(3.51) dimana, U dan V menunjukkan kecepatan aliran pada kedalaman rerata

contravariant di dasar sungai sepanjang koordinat ξ dan ղ, berurutan. Kecepatan tersebut didefinisikan sebagai

= + , = + ………..…(3.52)

Ug dan Vg menunjukkan kecepatan aliran rembesan kedalaman rerata contravariant sepanjang koordinat ξ dan ղ, berurutan. Kecepatan ini didefinisikan sebagai

= + , = + ………(3.53)

τbξ dan τbղ menunjukkan contravariant tegangan geser sepanjang ξ dan ղ,

berurutan. Tegangan geser tersebut didefinisikan sebagai

(29)

Hukum Manning digunakan untuk memperhitungkan kecepatan gesekan (u*) berdasarkan,

∗ = ( + )……….(3.55)

dimana, nm adalah koefisien kekasaran Manning, R adalah radius hidraulika,

ks adalah tinggi kekasaran, ub dan vb menunjukkan kecepatan di dekat

permukaan dasar sungai sepanjang sumbu x dan y secara berurutan. Fv ξ dan

Fv ղ menunjukkan contravariant gaya geser sebagai akibat dari tanaman

vegetasi sepanjang ξ dan ղ, secara berurutan. Gaya geser/seret tersebut didefinisikan sebagai

= + , = + ……….……(3.56)

Persamaan momentum dari rembesan aliran air adalah berdasarkan,

= − + , = − + ………..(3.57)

dimana, kgx dan kgy secara berturut-turut adalah koefisien permeabilitas

sepanjang arah longitudinal/memanjang dan melintang.

d. Metode Perhitungan pada Aliran Turbulen

Model persamaan 0 digunakan untuk perhitungan tekanan turbulen di dalam Morpho2D. Secara umum, koefisian viskositas eddy (ɛ) dapat dianggap sebagai hasil dari representasi kecepatan vt dan panjang l

berdasarkan persamaan

= ……….(3.58)

Dalam bidang/daerah aliran yang mana kedalaman air dan kekasaran pada dasar sungai secara bertahap berubah dalam arah melintang, urutan koefisien viskositas eddy dalam arah horizontal dan vertikal diasumsikan sama dan koefisien viskositas eddy ɛ yang diasumsikan bergantung pada kecepatan gesekan dan kedalaman air.

= ℎ ………..(3.59)

(30)

Percobaan yang telah dilakukan oleh Fisher dan Webel *

Schatzmann mengindikasikan bahwa nilai a konstan karena terkait dengan perpindahan/transportasi momentum vertikal sebesar 0.07. Karena itu, koefisien viskositas eddy ɛ dapat ditunjukkan dengan menggunakan nilai konstan dari Karman, К , (0.4) berdasarkan persamaan

= ℎ ………..(3.60)

Persamaan pergerakan/perpindahan (transpor) aliran turbulen secara nilai statistik tidak digunakan pada permodelan ini. Karena itu, permodelan disebut dengan persamaan model 0.

e. Persamaan Tegangan Geser pada Dasar Sungai

Tegangan geser pada dasar sungai dirumuskan berdasarkan Hukum Manning dalam Morpho2D. Koefisien kekasaran Manning dapat didistribusikan secara spasial.

Tegangan geser dasar τx, τy diperhitungkan berdasarkan kecepatan

gesekan u* . Hubungan antara kecepatan gesekan u* dan kekasaran Manning

nm adalah berdasarkan persamaan berikut,

∗ = ( + ) ……….(3.61)

f. Persamaan Gaya Geser/Penahan dari Tanaman Vegetasi

Gaya geser (penahan) yang diakibatkan oleh tanaman vegetasi dapat diperhitungkan dengan menggunakan nilai koefisien gaya geser Cdv , rapat

massa tanaman vegetasi λv dan area proyeksi (tinggi) hv dalam Morpho2D.

Rapat massa vegetasi λv dapat diperhitungkan dengan menggunakan tingkat

pelapisan/permukaan yang ditutupi dari tanaman vegetasi pada sel perhitungan cav dan rapat massa maksimum vegetasi λvb berdasarkan

persamaan sebagai berikut,

= ……….(3.62)

Distribusi spasial dari vegetasi dapat dipertimbangkan berdasarkan perubahan secara horizontal tingkat pelapisan/permukaan yang tertutupi tanaman cav . Sebagai tambahan, dengan menggunakan data tinggi tanaman

(31)

g. Persamaan Transportasi Sedimen

Sebagai salah satu permodelan transpor sedimen, Morpho2D dapat menggunakan simulasi [hanya bed load] dan [bed load + suspended load]. Sebagai tambahan, jenis material dasar dapat dipilih dari [sedimen seragam (uniform sediment)] dan [sedimen tidak seragam (non-uniform sediment)]. h. Tegangan Geser Non-Dimensional (Besarnya Tanpa Batas)

Tegangan geser non-dimensional digunakan untuk memperhitungkan tingkat transpor sedimen. Ketika nilai tegangan geser non-dimensional ini besar, maka tingkat transpor sedimen juga besar. Begitu pula ketika nilai tegangan geser non-dimensional bernilai kecil, maka tingkat transpor sedimen juga kecil. Tegangan geser non-dimensional menggunakan diameter rata-rata dari material dasar sungai dalam perpindahan/pertukaran lapisan material dengan berdasarkan persamaan,

∗ = ∗ ………...(3.63)

dimana, dm adalah diameter sedimen rata-rata dari pertukaran lapisan, s

adalah nilai berat spesifik dari sedimen dalam air.

i. Bed load

Debit aliran dengan input bed load dalam arah bed load qbk

diperhitungkan oleh Ashida Michiue dengan persamaan sebagai berikut :

= 17 ∗ ( ) (1 − ∗ ∗ )(1 − ∗ ∗ ) ………(3.64)

dimana, ρs adalah kerapatan/rapat massa sedimen, dan u*c adalah

kecepatan gesekan efektif yang besarnya adalah berdasarkan persamaan

∗ =

( . (

∗ ))

………..(3.65)

Kecepatan gesekan kritis dari kelas ukuran sedimen k berdasarkan persamaa

(32)

∗ = 0.85 ∗ / ≤ 0.4 ………..(3.67)

Kecepatan gesekan kritis dari diameter rata-rata sedimen dihitung dengan menggunakan persamaan dari Iwagaki sebagai berikut :

∗ = 80.9 ≥ 0.303 ……….(3.68)

∗ = 134. 6 0.118 ≤ < 0.303 ……….(3.69) ∗ = 55.0 0.0565 ≤ < 0.118 ……….(3.70) ∗ = 8. 41 0.0065 ≤ < 0.0565 ………...(3.71)

∗ = 226 < 0.0065( : )………..(3.72)

rb adalah fungsi dari ketebalan pertukaran lapisan berdasarkan

= 1 ≥ ………..(3.73)

= ≤ ……….(3.74)

Kc adalah fungsi modifikasi dari pengaruh kemiringan dasar sungai

lokal pada transpor sedimen ditunjukkan dengan persamaan,

= 1 + [ + 1 . + . ] ………...(3.75)

dimana α adalah sudut deviasi didekat/sekitar aliran dasar sungai dari arah sumbu x yang ditunjukkan dengan persamaan

= arctan( ) ………(3.76) μs adalah koefisian gesek statis, ϴx dan ϴy secara berurutan adalah

kecenderungan dasar sungai pada arah x dan y. Kecenderungan ini dievaluasi berdasarkan persamaan

= arctan + , = arctan ( +

)………...(3.77) qbξk dan qbղk secara berurutan adalah bed load dari ukuran kelas k

(33)

= + , = + ……….(3.78) qbxk dan qbyk secara berurutan adalah bed load dari ukuran kelas k

pada arah x dan y yang dihitung berdasarkan persamaan

= , = ………...(3.79)

Kemiringan dasar sungai lokal sepanjang arah bed load dengan diameter rerata sedimen (ϴ) didapatkan berdasarkan persamaan

= + ………(3.80)

dimana βm adalah sudut deviasi/penyimpangan dari bed load dengan

diameter rerata untuk arah sumbu x. Sudut deviasi dari bed load dengan kelas ukuran k untuk arah x (βk), yang bergantung pada aliran di sekitar dasar

sungai dan kecenderungan/condong ke dasar, dihitung dengan

= ( ∗ ∗ ) ( ∗ ∗ ) ………(3.81) = + 1 ………...(3.82) Θy = , Θy= Θy + ………(3.83)

dimana, KId (≒0.85) adalah rasio gaya angkat untuk gaya gesek/seret.

ii. Perhitungan Kecepatan di sekitar Dasar Sungai

Kecepatan aliran di sekitar dasar sungai dievaluasi menggunakan radius/jari-jari lengkung dari garis/batas sungai berdasarkan persamaan ub = ubs cos αs - vbs sin αs , vb = ubs sin αs + vbs cos α ………...(3.84) ubs = 8.5u* ,Vbs = - ………...(3.85)

dimana, ub dan vb secara berurutan menunjukkan kecepatan di dekat

permukaan dasar sungai sepanjang koordinat x dan y. αs = arctan (v/u), NФ

sebesar 7.07) dan r jari-jari lengkung dari garis/batas sungai yang didapatkan dari kedalaman digabungkan dengan bidang aliran.

(34)

Jari-jari lengkung dari garis/batas sungai r dihitung dengan menggunakan hubungan persamaan sebagai berikut

=

( ) / − + − ………(3.86)

iv. Suspended Load / Beban Sedimen yang Tersuspensi

Pengguna dapat memilih persamaan dari Lane & Kalinske9) atau persamaan dari Itakura dan Kishi10) . Konsentrasi keseimbangan dari suspended load pada ketinggian referansi (csbek) dari persamaan Lane &

Kalinske9) menggunakan persamaan

csbek = 5.55 −

.

rb (Unit;ppm)………(3.87)

Ketika konsentrasi dari distribusi arah vertikal pada sedimen tersuspensi diasumsikan sebagai distribusi eksponen (uraian distribusi), hubungan antara konsentrasi suspensi pada kedalaman rerata (csk) dan

konsentrasi tersuspensi dari sedimen dengan kelas ukuran k pada tingkat referansi (csbk) dihitung dengan persamaan

csk = 1 − ( ) ……….…(3.88)

= ……….(3.89)

dimana, Dh adalah koefisien penyebaran/dispersi pada arah vertikal. Untuk

penyederhanaan, ɛ digunakan sebagai Dh . Kecepatan pengendapan dari

sedimen yang tersuspensi (wfk) diestimasi dengan menggunakan persamaan

Wfk = + − ………(3.90)

Keseimbangan konsentrasi dari suspended load pada tinggi referansi (csbck)

dari persamaan Itakura dan Kishi10) dihitung sebagai berikut qsu = ∗K . √ ∗Ω − ………..(3.91) Ω= ∗ ∗. ∫ ℰ √ ℰ ℰ ∫ ℰ √ [ ℰ ] ℰ + ∗ ∗ − 1 ………...(3.92) α’= ∗ ∗− , = 0.5, ∗ = 0.14 , K=0.008 ………...(3.93)

(35)

dimana, qsu adalah beban sedimen tersuspensi dari dasar sungai per unit

area, wf adalah kecepatan pengendapan dari suspended load yang

menggunakan persamaan dari Rubey12). B* adalah koefisien konversi

dengan nilai yang biasa digunakan sebesar B* = 0.143.

v. Persamaan Transportasi Sedimen Tersuspensi

Kedalaman rerata konsentrasi tersuspensi pada ukuran kelas k dievaluasi dengan rangkaian persamaan dari sedimen tersuspensi sebagai berikut : ℎ + + = ( − ) + + + + ………..(3.94) dimana, Dx dan Dy secara berurutan adalah koefisien dispersi/penyebaran

dalam arah x dan y. (untuk penyederhanaan disini maka, Dx = Dy = ɛ).

vi. Persamaan Continuum (Rangkaian) Sedimen

Persamaan continuum (kesatuan rangkaian) sedimen untuk bidang dua dimensi arah horizontal dalam sistem koordinat Kartesius adalah sebagai berikut

( ) + (1 − ) + ∑ +

∑ ∑ ( − ) = 0 …...(3.95)

Sedangkan persamaan continuum (kesatuan rangkaian) sedimen untuk bidang dua dimensi arah horizontal dalam sistem koordinat umum menggunakan persamaan berikut :

(36)

+ (1 − ) + ∑ + ∑ +

∑ ( − ) = 0

≥ ………..……(3.96)

= 0 ≥ ………(3.97)

vii. Permodelan Aliran Sedimen Tidak Seragam (Non-uniform Sediment)

Untuk menghasilkan perhitungan analisa numerik yang melibatkan ukuran distribusi sedimen, maka ukuran distribusi sedimen di bagi kedalam n ukuran kelas sedimen. Ukuran kelas sedimen menunjukkan ukuran sedimen yang direpresentasikan/digunakan dk dan konsentrasi dari k sebagai

ukuran kelas sedimen fbk. Ukuran diameter rata-rata dm ditunjukkan

berdasarkan persamaan berikut

= ∑ ………...(3.98)

dimana, dk menunjukkan ukuran sedimen dari kelas ukuran sedimen k.

Persamaan kekekalan/konservasi massa (mass conservation equation) dari setiap ukuran kelas sedimen dalam lapisan pertukaran dan lapisan deposisi/pengendapan adalah berdasarkan persamaan berikut

∂ ∂t C E f J + (1 − λ)F ∂ ∂t Z J + ∂ ∂ξ q J + ∂ ∂η q J + 1 Jw (c − c ) = 0 , ≤ 0, ≥ , ≤ 0, ≤ 1 − , ≥ 0 ……….(3.99) − = 0

(37)

, ≤ 0

, ≥ 0 ………(3.100)

dimana, fbk adalah konsentrasi dari bed load pada kelas ukuran k

dalam lapisan bed load, fc adalah konsentrasi sedimen pada kelas ukuran k

dalam lapisan sedimen kohesif, fdmk adalah konsentrasi sediment pada kelas

ukuran k dalam lapisan dasar mth, cb adalah konsentrasi kedalaman rerata

dari bed load. Ebc adalah keseimbangan/kesetimbangan (equilibrium) dari

ketebalan lapisan bed load; yang dihitung berdasarkan persamaan =

( ) ∗ ………(101)

dimana, dm adalah diameter rerata dari bed load, Ф adalah sudut

peletakan (pengendapan) dan τФm adalah tegangan geser non-dimensional

(besarnya tanpa batas) dari diameter rerata. Esd adalah ketebalan lapisan

sedimen pada dasar sedimen kohesif. Eb adalah ketebalan lapisan bed load

yang dihitung dengan persamaan

= ≥ ……….(3.102)

Gambar

Tabel 3.1 Koefisien kekasaran Manning
Gambar 3.1 Hubungan kedalaman gerusan dengan waktu.
Gambar 3.2 Mekanisme gerusan akibat pola aliran air di sekitar pilar  (Sucipto, 2011)
Gambar 3.4 Hubungan kedalaman gerusan dengan kecepatan geser  (Breusers dan Raudkivi, 1991)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Kontur anomali regional hasil kontinuasi digunakan untuk pemodelan bawah permukaan yang mencakupi zona dalam, sedangkan anomali residual yang diperoleh digunakan

Maka sukalah saya menyarankan kepimpinan BKSU untuk turut memberi komitmen berterusan terhadap inisiatif sokongan seperti acara pada petang ini yang menyumbang

menjadi sumberdaya potensial untuk menyediakan bahan pangan yang bergizi dan bernilai ekonomi tinggi. Kediri merupakan salah satu sasaran tempat pengembangan KRPL

Dengan melihat fenomena-fenomena tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian secara kualitatif tentang bagaimana perilaku berisiko seksual remaja pengamen jalanan di kota

Peningkatan aspek positif atau reaching out adalah mampu memelihara sikap positif, percaya diri untuk menerima tanggung jawab, tidak malu unutk memulai percakapan

seperti yang dikutip oleh Taylor (1991) menemukan kemungkinan variasi dari kedua strategi coping tersebut, sehingga memunculkan adanya delapan strategi coping,

Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan latar belakang masalah tersebut, yang menggambarkan bahwa pengeluaran orang tua untuk biaya sekolah anaknya masih terbilang