• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAYA ARSITEKTUR BANGUNAN INDIS DI BOYOLALI. A. Perkembangan Arsitektur Indis di Boyolali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III GAYA ARSITEKTUR BANGUNAN INDIS DI BOYOLALI. A. Perkembangan Arsitektur Indis di Boyolali"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

38

BAB III

GAYA ARSITEKTUR BANGUNAN INDIS DI BOYOLALI

A. Perkembangan Arsitektur Indis di Boyolali

Arsitektur merupakan unsur vital yang mendukung perkembangan sebuah kota. Gaya arsitektur Eropa yang masuk ke Indonesia, tidak dapat berdiri tanpa didukung adanya kolonialisasi bangsa Eropa ke sebuah negara jajahan. Hadirnya gaya arsitektur Eropa yang menojol dipadukan dengan arsitektur tradisional baik Jawa maupun Cina, merupakan sebuah pembaharuan terutama dalam hal gaya hidup. Kedatangan bangsa Eropa yang didominasi Belanda di Indonesia, memberikan kontribusi besar terhadap segala aspek kehidupan.

Penyebutan terhadap gaya arsitektur kolonial yang sesuai dengan kondisi setempat berbeda – beda menurut pakar, Berlage menyebutnya Europe Bouwkunts dan Van de Wall menyebut sebagai Indische Huizen1. Kolonial Belanda dalam mendirikan tempat tingal awalnya menerapkan gaya arsitektur Eropa, akan tetapi gaya arsitektur yang dibawa Belanda ternyata tidak cocok untuk mengatasi kondisi iklim Indonesia yang berbeda dengan negara Eropa. Belanda harus mengaplikasikan gaya arsitektur Eropa dengan arsitektur Jawa yang hingga akhirnya disebut dengan arsitektur Indis.

1

Berlage (1856 - 193) merupakan pelopor kebangkitan arsitektur modern Belanda ( niuewe kunts atau art nouvea ). Beliau dikenal sebagai bapak arsitektur modern Belanda dan salah satu karya fenomenalnya yakni Gedung burs Efek Jakarta atau Amsterdam Exchange tahun 1897 – 1903. Lihat : Yulianto Sumalyo., Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1997), hlm 91 - 93.

(2)

Wajah kota-kota pedalam di Indonesia yang mayoritas tradisional, berubah semenjak koloni Belanda membangun tempat tinggal berarsitektur Eropa pada awal abad ke-19. Awal mula perkembangan kota pedalaman Indonesia, diawali dengan kedatangan masyarakat Cina dan Arab yang lebih dahulu mendirikan koloni dan menyatu dengan masyarakat pribumi. Perkembangan arsitektur Indis di Boyolali disesuaikan dengan perkembangan arsitektur di Surakarta dan kota di Hindia Belanda secara keseluruhan, adapun pembagian periode tersebut yakni2 :

1. Abad 16 hingga 1800 awal. 2. Tahun 1800 hingga 1902. 3. Tahun 1903 hingga 1920 dan 4. Tahun 1920 hingga 1940.

Pembagian periode tersebut sekaligus memberikan gambaran tentang proses perubahan, yang didasarkan atas pengaruh arsitektur kolonial di Indonesia. Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya geografis, sosial, ekonomi, budaya, politik dan teknologi. Selain itu komunikasi antar golongan masyarakat juga memberikan dampak yang cukup besar terhadap arsitektur bangunan tempat tinggal dan pemerintahan.

Setiap periode perkembangan arsitektur Indis di Hindia Belanda tidak hanya menghasilkan gaya arsitektur tempat tinggal dan pemerintahan saja, akan tetapi juga memberikan kontribusi yang besar terhadap arsitektur sendiri dengan

2

Diana Pusparini, dkk., Penerapan Aristektur Tropis pada Bangunan Perkotaan Kolonial Belanda di Semarang tahun 1920 – 1940 : Seminar Tugas Akhir, (Semarang : Fakultas Teknik Arsitektur dan Perencanaan Wilayah Kota, Universitas Diponegoro, 2006), hlm 11 – 29

(3)

bukti lahirnya arsitek-arsitek kelahiran Hindia Belanda yang bersekolah di Belanda dan memberikan kontribusinya terhadap negara. Selain arsitek juga muncul Departemen BOW (Burgerlijke Openbare Werken) dan juga biro arsitek seperti AIA Bureau.

Gaya arsitektur yang berkembang di Hindia Belanda sudah ada sejak abad ke-18, adapun gaya arsitektur yang berkembang yakni: Belanda tradisional, Landhiuzen, indische empire style atau Neo-klasik, amsterdam school, art noveau, de stjil dan Indo-Eropa. Gaya arsitektur bangunan di Kabupaten Boyolali meliputi Indische Empire Style merupakan gaya arsitektur yang diperkenalkan pada tahun 1808-1811 oleh Gubernur Jenderal Daendels di Hindia Belanda. Ciri paling menonjol adalah penggunaan kolom ionic dan dorik yang merupakan adaptasi dari gaya Yunani, selain itu memiliki halaman luas seperti halnya gedung pemerintahan di Yunani.

Arsitektur Transisi merupakan gaya arsitektur yang berkembang pada tahun 1910-1920. Gaya ini merupakan pembeda dengan gaya sebelumnya, dengan ciri khas penggunaan dormer, makelaar, tympanum, windwijzer, stainledglass dan lainya. Gaya arsitektur lainya adalah art noveau yang dipelopori oleh H.P Berlage dan gaya baru yakni amsterdam school dan de stijle yang disebabkan oleh kemajuan industri di Eropa yang mempengaruhi gaya arsitektur3.

3

Huib Akihary., Architectuur & Stedebouw in Indonesie 1870 – 1970, (Zutphen : De Walburg Press, 1988), hlm. 18.

(4)

1. Arsitektur Indis Tahun 1870-1909 di Boyolali, Indische Empire

Style.

Periode 1900 merupakan awal kebijakan politik liberal akibat dari penghapusan sistem culturslelsel dan diganti dengan undang-undang agraria, yang mengakibatkan proses industrialisasi dapat dikembangkan oleh pihak swasta. Dengan adanya proses industrialisasi ini perkembangan kota-kota pedalaman Jawa berkembang dengan baik. Seiring berkembangnya sektor industri perkebunan dan perusahaan swasta, juga mulai berkembangnya sarana dan prasarana untuk proses mobilisai masyarakat Eropa di Boyolali.

Kedatangan masyarakat Eropa untuk mengisi sektor-sektor industri sesuai dengan keahlian mereka di Boyolali, mengharuskan mereka membangun tempat tinggal sesuai dengan kebudayaan masyarakat Eropa. Periode ini merupakan awal mula berkembangnya kota kolonial dan berkembanngya budaya Eropa di kota – kota di Jawa4. Hingga akhir Abad ke-19 seiring dengan ekspansi kolonial Belanda ke Jawa, munculah gaya arsitektur Indis yang pertama yakni Indische Empire

Style atau Dutch Kolonial Vila 5.

Gaya arsitektur Indishe Empire Stye yang berkembang pada masa pemerintahan Daendels di Jawa merupakan intepretasi gaya arsitektur Eropa pada

4

Nas, Peter J.M., Kota - Kota di Indonesia Bunga Rampai, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2000), hlm. 305.

5

Hadinoto., Indische Empire Style, Gaya Arsitektur Tempo Doeloe yang Sekarang sudah mulai punah, (Dimensi Arsitektur 20/Ars Desember 1994), hlm 8.

(5)

pertengahan abad 186, dengan tujuan menggantikan tempat tinggal bergaya landhuizen dengan corak Neo-Klasik. Gaya arsitektur tersebut seiring berjalanya waktu disesuaikan dengan kondisi iklim dan geografis daerah setempat. Ciri utama bangunan berasitektur Indische Empire ini adalah, adanya penggunaan beranda bagian depan dan beranda belakang dengan halaman yang cukup luas.

Arsitektur Indis mulai berkembang setelah proses kolonialisasi mulai memasuki pedalaman Jawa, mereka mulai mendirikan bangunan tempat tinggal bergaya empire bercorak neo klasik yang disebut dengan landhuizen. Perkembangan arsitektur terjadi pada periode 1900 dengan dimulainya pengerjaan beberapa proyek pemerintah diserahkan kepada anemmer atau pengawas bangunan, arsitek, dinas peraiaran dan para tukang bangunan. Bangunan bergaya arsitektur Indische Empire Style di Boyolali dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar. 3.

Gedung Landraad

Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

6

Hadinoto., Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870 – 1940, ( Surabaya : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen PETRA dan Yogyakarta : Andy Press), hlm. 131

(6)

Bangunan bergaya Indische Empire di Boyolali diterapkan pada bangunan pemerintahan salah satunya adalah Landraadgebouw atau gedung pengadilan. Gaya arsitektur bangunan bergaya Indische Empire yakni :

1. Memiliki garis simetris dengan langit-langit tinggi dan terbuka. 2. Memiliki langit – langit / plafond tinggi dan beratap perisai.

3. Terdapat barisan kolom berkepala model ionic dan doric pada beranda depan dan belakang.

4. Ruang utama diapit dengan kamar bagian kanan dan kiri dengan tembok tebal.

5. Penggunaan tegel marmer dan bangunan pendukung seperti galerij7.

Keunikan gedung pengadilan ini berada pada adanya ruang-ruang samping kanan dan kiri, ruang utama berada di tegah dan serambi yang berada di depan rumah. Tidak nampaknya serambi bagian belakang dikarenakan kegiatan sosial masyarakat Eropa berupa pesta dan jamuan makan malam berpindah ke gedung societeiet. Sementara itu bangunan lainnya yang didirikan tahun 1800 terlihat pada Gapura Pesanggrahan Pratjimohardjo dan Gapura Makam Belanda.

2. Arsitektur Transisi tahun 1910-1915 di Boyolali.

Awal abad ke-20 di Hindia Belanda banyak sekali mengalami perubahan di dalam masyarakat hal tersebut terjadi karena, berkembanganya teknologi dan

7

Hadinoto dan Paulus H. Soehargo., Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonal Belanda di Malang, (Surabaya : LPPM Universitas Kristen Petra dan Yogyakarta : Andi Press, 1996), hlm. 143.

(7)

perubahan sosial akibat dari kebijakan politik pemerintahan kolonial Belanda8. Kebijakan tersebut juga memberikan dampak kepada arsitektur pembentuk morfologi kota. Kebijakan pemerintah kolonial di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 adalah penerapan politik etis, yang bertujuan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat pribumi dan Belanda sendiri. Kebijakan tersebut yakni :

1. Edukasi, dengan cara mengirimkan anak raja dan priyayi lain bersekolah di Eropa yakni Belanda.

2. Imigrasi, dengan menetapnya Belanda di Hindia Belanda diharapkan masyarakat pribumi dapat bersahabat dengan mereka.

3. Irigasi, dengan cara pembuatan saluran air dan parit-parit kecil untuk memperlancar arus air karena Belanda menggunakan air sebagai saran dan prasarana yang wajib ada.

Seiring berkembangnya kebijakan modernisasi dampak dari politik etis, jumlah masyarakat Eropa yang menuju kota-kota di Hindia Belanda meningkat cukup pesat. Hal tersebut terjadi karena sarana dan prasarana di daerah setempat sudah cukup terpenuhi. Kedatangan masyarakat Belanda dengan gaya hidup yang cenderung berorientasi ke barat, menjadikan sebuah kota turut berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat tersebut.

Kondisi pusat kota yang terus mengalami pertumbuhan penduduk secara signifikan, maka pemerintah mengeluarkan undang-undang desentralisasi pada

8

Kebijakan pemerintah akan sistem cultur stelsel 1830-1870 dan digantikan Undang-Undang Agraria pada masa politik liberal 1870, tahun 1901-1905 ditetapkanya politik etis dan berlakunya undang-undang desentralisasi.

(8)

tahun 1903. Dampak dari undang-undang desentralisasi terhadap kota-kota di Indonesi yakni dibentuknya kotamadya atau gemeente Surakarta. Dengan adanya pemerintah tradisional Kasunanan di Surakarta, tidak membuat pembangunan sarana dan prasarana kota tidak berbeda dengan kota lain.

Kasunanan Surakarta merupakan Ibukota administratif desa-desa yang masuk dalam wilayah karesidenan Surakarta, seperti halnya Boyolali dan desa-desa lainya. Kabupaten Boyolali meskipun berada di bawah pemerintahan Kasunanan Surakarta, dalam pembangunan fasilitas kota sejajar dengan kota lainya. Didukung dengan keberadaan pusat pemerintahan tradisional di Surakarta, membuat Boyolali berbeda dengan kota-kota lain. Kotamadya Surakarta merupakan tipe kota pemerintahan kolonial yang ditandai dengan dominasi masyarakat pribumi dan Kraton Kasunanan Surakarta sebagai pucuk pimpinan9.

Gaya arsitektur Indis yang berkembang di Kraton Kasunanan, juga berkembang di desa-desa wilayah Karesidenan Surakarta diantaranya Boyolali. Terlihat pada bangunan tempat tinggal Asisten Residen dan bangunan–bangunan lain di Kabupaten Boyolali. Kabupaten Boyolali sebagai bagian wilayah Karesidenan Surakarta berkembang setelah pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta sejajar dengan kota-kota lain seperti Semarang dan Yogyakarta.

9

Tipe kota kolonial ada tiga macam, yakni : kota kolonial dengan dominasi masyarakat tradisional, kota kolonial dengan dominasi masyarakat pedagang Cina dan kota kolonial dengan dominasi masyarakat Eropa. Ketiga unsur tersebut merupakan pembentuk kota kolonial. Buku : Nas, Peter JM., Op. Cit, hlm. 305.

(9)

Berkembangnya Boyolali ditandai dengan peningkatan dan pembangunan kota demi kesejahteraan rakyat.

Peningkatan tersebut ditandai dengan didirikanya bangunan pemerintahan dan tempat tinggal dengan campuran gaya arsitektur Barat dengan arsitektur tradisional Jawa. Hal tersebut terlihat pada gedung sekolah, gedung pemerintahan, societeiet, gedung bioskop, rumah dinas, rumah pribadi, rumah sakit, landraad dan lain sebagainya. Proyek pembangunan gedung-gedung di wilayah Karesidenan Surakarta diserahkan kepada kantor pemerintahan Bale Kretatra dari Kasunanan Surakarta. Sementara pembangunan untuk Gubernemen diserahkan kepada Departement Pekerjaan Umum B.O.W (Burgelijke Openbare Werken) atau jasa arsitek profesional lain10.

Gaya arsitektur bangunan Indis pada masa kolonial juga banyak yang digunakan sebagai simbol status sosial dari masyarakat pribumi. Simbol – simbol status sosial tersebut terlihat pada penggunaan :

1. Tiang Penyangga.

Bangunan tempat tinggal dan pemerintahan baik Asisten Residen, Kepatihan, Kantoor Regent dan kontrolir selalu menggunakan tiang penyangga. Tiang Penyangga tersebut bergaya Doria, Ionic dan lainnya,

10

Merujuk kepada Laporan Keuangan tanggal 1923 dari Residen kepada Kasunanan Surakarta tentang Kantor Asisten Residen di Boyolali. De Cruz menyatakan sebagai Architeek B.O.W Solo, Berkas Mengenai Biaya Pembangunan Kantor Residen di Boyolali Tahun 1923 . Koleksi BARPUS Prov. Jawa Tengah. No. 500.

(10)

dan terdiri dari susunan capital, kolom dan pedestal11. Tiang penyangga memiliki arti kekuatan kekuasaan Belanda terhadap penduduk Hindia Belanda sangat kuat dan besar. Salah satu contoh tiang penyangga yang menyimbolkan ststus sosial dalam masyarakat dapat dilihat pada Gedung Tangsi Militer di Boyolali pada gambar 4. Gedung tangsi ini awalnya didirikan untuk perwira militer sekaligus sebagai penjara.

Gambar. 4.

Gedung Tangsi Militer

Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

2. Hiasan Atap, Makelaar, Timpanon dan Fasial Board

Hiasan atap dan kemuncak pada setiap bangunan di Boyolali memiliki maksud dan tujuan tertentu sesuai dengan pemilik gedung. Mereka yang memiliki gedung yang terdapat hiasan atap dan kemunak, adalah pejabat tinggi dan masyarakat golongan kelas atas. Setiap bangunan tempat tinggal dan pemerintahan berbeda satu sama lain, akan tetapi dalam hal gaya arsitekturalnya mewakili jaman Eropa kuno. Berikut adalah

11

(11)

beberapa hiasan yang dimiliki beberapa rumah Indis di Boyolali dan Hindia Belanda secara keseluruhan :

a. Mata angin (Windwijzer)

Penunjuk mata angin ini biasa berada di atap bangunan dengan bentuk beraneka ragam sesuai dengan produksi waktu itu. Beberapa kota di Jawa masih terdapat banyak bagunan yang menggunakan penunjuk mata angin meskipun sekarang hanya digunakan sebagai hiasan sekaligus simbol kemewahan waktu itu. Bangunan Indis di Boyolali sangat jarang ditemukan penggunaan windwijzer ini.

b. Makelaar

Makelaar merupakan papan kayu dengan panjang satu meter, dan ditempelkan secara vertikal pada fasad depan bangunan. Hiasan ini berada di depan rumah yang berbentuk segitiga bagian dari serambi depan. Hiasan makelaar ini di Boyolali cukup banyak penggunaanya di bangunan tempat tinggal dan pemerintahan. dengan hiasan fasade berupa makelaar dan berhias bulan dengan bertancapkan kemuncak. Salah satu contoh penggunaan makelaar pada pemerintahan dapat dilihat pada bekas Gedung Kebudayaan Boyolali pada gambar 5. Gedung kebudayaan ini dahulunya adalah salah satu rumah sakit di Boyolali.

(12)

Gambar. 5.

Gedung eks Dinas Kebudayaan Boyolali Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah. c. Timpanon

Timpanon merupakan hiasan fasade depan tempat tinggal, yang hingga saat ini masih banyak sekali digunakan pada bangunan tempat tinggal dan pemerintahan. Timpanon merupakan istilah lain dari gable yakni kuda-kuda berbentuk segitiga yang biasa digunakan sebagai serambi. Salah satu contoh penggunaan timpanon pada tempat tinggal dapat dilihat pada gambar 6. Bangunan tempat tinggal ini awalnya milik Pastur Belanda di Gereja Santa Maria Boyolali.

(13)

Gambar. 6.

Gedung Tempat Tinggal Sriwijaya Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

d. Facial Board

Facial Board merupakan papan kayu berukir dengan panjang kurang lebih dua meter dan dipasangkan menyesuaikan dengan bentuk fisik dari tempat tinggal. Hiasan facial board ini berada di bagian depan rumah dan berada di ketinggian sama dengan tinggi tembok. Facial board ini biasanya berukiran lingkaran diapit dua segitiga kecil terbalik. Salah satu contoh penggunaan kemuncak lengkap dengan timpanon dan gable sejak pertama kali berdiri dapat dilihat pada gambar 7.

(14)

Gambar. 7.

Gedung apotik Baya Husada Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

e. Hiasan Kaca Patri / Glass in load

Hiasan kaca patri ini awalnya hanya diperuntukan gereja-gereja klasik Eropa, dengan tujuan memberikan kesan mewah dengan adanya pantulan sinar matahari yang dibiaskan kaca patri berwarna-warni ke dalam ruangan gereja. Perkembangan hiasan kaca patri ini diawali oleh masyarakat Hindia Belanda di Batavia, menggunakannya sebagai penghias rumah mereka. Lambat laun pada awal abad ke-20 masyarakat Eropa menggunakan hiasan kaca patri ini untuk tempat tinggal pejabat di Jawa dan diantaranya Boyolali. Salah satu contoh penggunaan Glass In Load dapat dilihat pada gambar 8. Gedung ini awalnya Villa yang berada di pusat kota Boyolali sebagai salah satu sarana rekreasi orang Belanda.

(15)

Gambar 8.

Bekas gedung Villa Merapi Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

B. Pemetaan Kawasan Bangunan Indis di Boyolali

Arsitektur Indis berkembang pesat seiring dengan kedatangan kolonial Belanda ke Hindi Belanda pada akhir abad XIX hingga abad XX, sekaligus periode puncak lahirnya arsitek-arsitek kelahiran Hindia Belanda yang bersekolah di negara Belanda12. Arsitektur Indis berkembang tidak dapat dilepaskan dari arsitek yang berjasa merancang dan mendirikan gedung saja, akan tetapi juga merupakan hasil dari percampuran budaya anatara budaya Jawa dan budaya Eropa atau budaya Indis.

Budaya Indis menghasilkan budaya baru terhadap kepulauan Hindia Belanda dalam bentuk tujuh budaya universal, dan memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan kota dalam bentuk arsitektur Indis. Arsitektur Indis

12

Hadinoto., Perkembangan Kota Malang pada Jaman Kolonial 1914 - 1940, (Dimensi 22 / September 1996), hlm. 13.

(16)

di Indonesia awalnya berpusat di Batavia dikarenakan pusat pemerintah pertama kali di Batavia. Belanda pertama kali mendaratkan pasukan untuk membuat koloni pertama di Hindia Belanda berpusat di Batavia atau sekarang disebut dengan Museum Fatahilah sebagai kantor Gubernemen pada abad ke-20. Seiring berjalanya waktu dan harapan perluasan koloni ke pedalaman Jawa, membuat Belanda melakukan ekspansi ke beberapa daerah pedalaman Jawa diantaranya Surakarta.

Konsep kota kolonial cenderung menggunakan konsep kota radial atau memusat pada satu titik yakni alun–alun atau pusat keramaian masyarakat, konsep ini dikenal ketika koloni Belanda mendirikan kota di pedalaman Jawa dengan mengabungkan konsep kota tradisional13.

“Architecture is a very social art, bound by many links to material, to industry, to working methods, ... the colonial condition brings into sharp focus the problems of continuity and change within a society. Those problem are illustrated especially well in architecture and twon planning”14

Arsitektur Indis berkembang di pedalaman Jawa dikarenakan iklim dan suhu wilayah setempat yang akan diduduki berbeda dengan kondisi di negara Eropa. Belanda dalam mendirikan tempat tinggal bagi koloni mereka harus menyesuaikan diri dengan kondisi setempat, dengan cara mengadopsi unsur lokal

13

Hadi Sabari Yunus., Struktur Tata Ruang Kota, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 26.

14

(17)

terhadap model dan gaya arsitektur tempat tinggal mereka yang akhirnya melahirkan gaya arsitektur landhuizen15.

Pemukiman koloni Belanda tersebut tidak hanya berpusat di Batavia, melainkan juga menuju pedalaman Jawa yang dirasa cocok untuk dihuni diantaranya yakni Surakarta16. Surakarta yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur dirasa cocok untuk dihuni oleh Belanda, didukung dengan adanya Keraton Kasunanan menjadikan Belanda dapat mencampuri urusan keraton dengan desa-desa di sekitarnya termasuk Boyolali.

Pembangunan beberapa gedung pemerintahan dan tempat tinggal di desa - desa wilayah Surakarta diserahkan kepada jawatan Departement Pekerjaan Umum atau B.O.W yang menangani pemeliharaan, perawatan terhadap gedung. Jawatan B.O.W ini atas prakarsa SISKS Pakubuwana dan Mangkunegoro selaku pemangku wilayah Surakarta dan Mangkunegaran. Jawatan B.O.W ini selain pemeliharaan dan perawatan juga bertanggung jawab dalam pengorganisasian, pembangunan jembatan dan jalan raya17.

15

Yulianto Sumalyo., Op Cit, hlm 3.

16 Johanner R, Olivier., Kota di Djawa Tempo Doeloe, (Yogyakarta : Galang Pustaka, 2013), hlm 50.

17

Agus Achri., Budaya Visual Indonesia, (Jakarta : Erlangga, 2007), hlm.142.

(18)

1. Peta Wilayah Pusat Pemerintahan Kabupaten Boyolali

Bojolali

Herzien door den Topografischen dients in 1932

Sumber : maps.library.leiden.

Res (Afd). Klaten

1. Klaten Bojolali. a. District Bojolali. b. Id Ampel. c. Id Banjudono. 2. Regentschap Klaten. District Jatinom.

Adapun bangunan pemerintahan dan sekolah yang didirikan Belanda di Boyolali, yang nantinya akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya yakni :

1. Chineesche Kamp. 8. Hullpostkantoor.

2. Hotel. 9. Holland Inl School.

3. Hospital. 10. Landraad.

4. Gevangenis. 11. Gouvt. Pandhuis. 5. Fort (V). 12. Opiumverkoplast. 6. Telefoonkantor. 13. Zoutpakhuis 7. Europe School 14. S. Bojolali.

(19)

Kemajuan kota-kota Indis di Hindia Belanda termasuk Surakarta sebelum Kemerdekaan Indonesia, merupakan percampuran tiga kebudayaan utama yakni : Eropa, pribumi dan Timur Asing. Ketiga budaya tersebut berkembang masing-masing di bawah pengarahan pemerintah kolonial dengan cara pengaturan tata letak kota18.

Sebelum menguasai kota/kabupaten, Belanda mendirikan benteng sebagai tempat penyimpanan hasil bumi sebelum ke pelabuhan, begitu juga di Kabupaten Boyolali. Boyolali awalnya adalah sebuah desa yang lambat laun berkembang menjadi kota pemerintahan dan militer sekaligus, hal ini terlihat pada didirikanya tangsi militer lengkap dengan benteng yang berdiri tahun 1883 dengan nama Benteng Renovatum19. Benteng ini berdiri tepat di jalur pos yakni jalan utama Semarang – Surakarta. Benteng ini difungsikam sebagai kamp militer, latihan militer sekaligus untuk menghalau perlawan gerilya Diponegoro. Benteng Renovatum merupakan salah satu benteng yang berada di wilayah Karesidenan Surakarta yang juga merupakan benteng stellsel.

Benteng Renovatum ini juga berfungsi sebagai tempat peristirahatan sementara di jalur pos tundhan sebelum masuk Surakarta maupun sebaliknya. Benteng ini berada tepat di jalur pos (jalan Pandanaran), karena pada awalnya nama jalan di Kabupaten Boyolali tidak diberikan baik oleh Belanda maupun

18

B N Marbun., Kota Masa Depan : Prospek dan Permasalahan (Jakarta : Erlangga, 1979), hlm. 9.

19

Lampiran mengenai renovasi pada bangunan benteng di Boyolali dengan nama Fort Vrendenburg tahun 1932, renovasi dilakukan pada pintu depan dengan penambahan tralis besi yang dilakukan oleh jawatan BOW.

(20)

Kasunanan Surakarta. Petinggi militer yang menjaga benteng tidak berada satu kesatuan dengan kompleks benteng, akan tetapi didirikan tempat tinggal khusus bagi perwira tinggi yang dahulu dikenal dengan Tangsi Militer.

2. Gedung pemerintahan di pusat kota Boyolali

Pusat pemerintahan dan tempat tinggal masyarakat Eropa di Boyolali berada di sepanjang Jalan Raya Pos atau sekarang dikenal dengan Jalan Pandanaran, dengan gedung sosieteiet menghadap jalan utama. Boyolali sebelum di bawah kontrol oleh Belanda sudah memiliki akses menuju tiga jurusan yakni : Surakarta, Semarang dan Magelang. Ketiga askses tersebut memusat ke satu titik yakni pusat kota Boyolali. Banyaknya masyarakat Eropa yang tinggal maka penataan kota dilakukan mengikuti pola radial di Eropa atau memusat di alun-alun kota20. Boyolali merupakan salah satu dari enam desa di bawah wilayah Keraton Kasunanan Surakarta, sehingga dalam perkembanganya berada di bawah kontrol Patih selaku wakil keraton dan Asisten Residen wakil pemerintah Belanda. Dengan demikian Bupati memiliki dua atasan yakni Patih dan Asisten Residen, dalam menyelesaikan urusan masyarakat yang tidak bisa diselesaikan sendiri maka Patih dan Asisten Residen yang bertanggung jawab mengurusi permasalahan dalam masyarakat.

Selain menetapkan pejabat Asisten Residen di Boyolali pihak kolonial juga menetapkan kebijakan tentang penempatan Pengadilan Pradhata di setiap

20

Anthony J Catanse., Pengantar Perencana Kota, (Jakarta : Erlangga, 1988), hlm. 35.

(21)

desa, untuk membatu penyelesaian masalah yang timbul dalam masyarakat. Pengadilan Pradhata ini merupakan pengadilan pertama dan satu-satunya di Boyolali pada masa kolonial Belanda di Surakarta, sekaligus pembaharuan terhadap pengadilan yang terdahulu yakni Pengadilan Surambi21.

a. Gedung Pengadilan Pradhata.

Gambar. 9.

Bekas Gedung Pengadilan Pradhata Sumber : Dokumentasi pribadi.

Pengadilan Pradhata dipimpin oleh Bupati Gunung dibantu dengan Kliwon, empat orang Panekar, empat orang Mantri dan sepuluh orang Oppaseer22. Dikarenakan tugas dan kewajiban Bupati Gunung yang berat, maka di Kabupaten Gunung Pulisi Boyolali diberikan Abdi Dalem Kaliwon Gandhek. Masa pemerintahan Pengadilan Pradhata ini setiap daerah Kabupaten Pulisi dibentuk

21

Staatsblad van Nedherlandsch-Indie 1874 No 209.

22

Oppasser setara dengan petugas ketertiban dan keamanan, sehingga golongan ini bertugas menjaga ketertiban dan keamanan di Boyolali pada waktu itu, atau pengontrol wilayah. Lihat : Hadinoto., Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, (Surabaya : Universitas Kristen Petra, 1996), hlm. 15.

(22)

distrik-distrik beserta afdelingnya23. Dengan didirikanya Pengadilan Pradhata Kabupaten maka Belanda menempatkan juga Asisten Residen di Boyolali, untuk mengawasi jalanya pengadilan dan melaporkan segala kegiatan pengadilan.

b. Gedung Asisten Residen

Asisten Residen merupakan wakil Residen sekaligus pemerintah Belanda di Hindia Belanda untuk mengontrol jalanya pemerintahan. Keberadaan jabatan ini sangat menguntungkan bagi Belanda di tanah jajahan. Rumah Asisten Residen di Kabupaten Boyolali berdiri sekitar tahun 1900, dan dekat dengan kantor Bupati Boyolali. Hal ini dilakukan untuk pengawasan terhadap jalanya pemerintahan, meskipun belum diberikan hak untuk mengurus permasalahn kabupaten sendiri.

Posisi yang strategis dekat dengan kantor Bupati, juga gedung Asisten Residen dekat dengan keberadan benteng dan jalur Surakarta-Semarang. Asisten Residen oleh Belanda disebarkan ke desa-desa di wilayah Karesidenan Surakarta untuk membantu pemerintahan Kasunanan dan pengawasan oleh Belanda.

23

Afdeling dalam Bahasa Indonesia memiliki arti wilayah atau bagian daerah, afdeling disini adalah daerah bawahan dari distrik-distrik.

(23)

Gambar. 10.

Gedung Asisten Residen Belanda di Boyolali Sumber : Colonialarchitecture.eu

Jabatan Asisten Residen di Boyolali membawahi Regent yang menjabat kepala pemerintahan desa pembantu pemerintahan Surakarta24. Regent bertanggung jawab terhadap Patih sekaligus Asisten Residen. Tujuan ditempatkanya pejabat Asisten Residen di empat daerah-daerah yakni Klaten, Boyolali, Sragen dan Karangpandan yakni membantu kelancaran jalanya pemerintahan daerah. Asisten Residen beserta staf disebut dengan Abdi Dalem Gunung dan Abdi Dalem Pangreh Praja.

c. Gedung Kantor Bupati / Regent

Bupati atau Regent pada masa pemerintahan kolonial Belanda di daerah Karesidenan Surakarta berada di bawah Patih dan Asisten Residen, dan jabatan Bupati awalnya merupakan Bupati Gunung. Bupati Gunung pertama Boyolali

24

Regent merupakan sebutan bagi jabatan Bupati yang dipercaya oleh sunan. Selama menjabat di desa-desa para regent diwajibkan tinggal di sekitar tempat kerja karena untuk koordinasi dengan para pejabat onderdistrik.

(24)

yakni RT Sutonagoro. Bupati Gunung selama bertugas memiliki Abdi Dalem yang disebut dengan Priyayi Gunung25, dan memiliki tugas melaksanakan kegiatan kepolisian dan tugas pemerintahan di Kasunanan.

Gambar. 11.

Pendapa kantor Bupati Gunung Pulisi Boyolali tahun 1847. Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

Perkembangan Kota Boyolali tidak dapat dilepaskan dengan tata kota yang direncanakan oleh Belanda, yakni pola pemusatan tempat tinggal dan pemerintahan di sepanjang jalan raya utama Semarang-Surakarta. Jalan tersebut dianggap penting oleh Belanda, karena pergerakan mobilitas barang dan jasa dari Semarang ke Surakarta maupun sebaliknya melalui kota Boyolali. Sehingga Boyolali dijadikan sebagai pos tundhan yang berdiri di jalan raya pos.

Secara umum pola kota kolonial sangat sempurna, dimana kawasan elit Eropa berada di pusat kota, dekat dengan alun-alun dengan sarana dan prasarana

25

Priyayi Gunung yakni Abdi Dalem Polisi yang diangkat sebagai pembantu Bupati Gunung dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan. Lihat : Panitia Penyusun., Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Boyolali, (Surakarta / Boyolali, 1982), hlm. 15.

(25)

yang lengkap. Tempat tinggal Asisten Residen berada di pusat kota dengan pohon besar dan halaman yang luas, dan dekat dengan kantor Bupati. Masyarakat pribumi berada di pinggir kota dengan sarana dan prasarana yang sederhana dibandingkan dengan masyarakat Eropa. Dengan adanya tata ruang kota seperti itu, munculah masalah yang dialami oleh pribumi yakni : kualitas tempat tinggal, pertumbuhan penghasilan masyarakat, lingkungan dan diskriminasi sosial26.

d. Gedung Villa Merapi

Pusat kota Boyolali tidak hanya didominasi oleh gedung pemerintahan saja akan tetapi, juga terdapat Villa Merapi, yang dahulu dipergunakan oleh golongan Eropa dan priyayi. Seiring berjalanya waktu Villa Merapi tersebut beralih fungsi menjadi Markas Corps Polisi Militer. Fasade depan Villa tersebut ketika beralih fungsi menjadi markas CPM tidak banyak berubah hal tersebut dapat dilihat pada gambar 12.

Gambar. 12.

Eks Gedung Villa Merapi Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

26

Anthoni. J. Catanese., Perencanaan Kota, (Jakarta : PT Gramedia, 1988), hlm 390.

(26)

Villa Merapi berdiri di pusat kota Boyolali dan tidak berada di ketinggian layaknya bangunan Villa pada umumnya. Keberadaan Villa ini tidak terlepas dari gaya hidup masyarakat Eropa terhapad pribumi. Di samping gedung Villa Merapi ini terdapat gedung Govt. Pandhuis atau biasa disebut dengan kantor Pegadaian, yang berhadapan dengan Opiumferkooplast atau tempat penjualan opium / candu di Boyolali.

Kegiatan perekonomian masyarakat desa dekat dengan menggadaikan barang dengan tujuan mendapat uang, dan nantinya dikembalikan untuk mendapatkan barangnya kembali. Kegiatan tersebut juga terjadi di Boyolali sehingga didirikanlah Govt. Pandhuis untuk mengatasi masalah ekonomi masyarakat27.

Pada tanggal 20 Agustus 1776 ketika Kongsi Dagang Belanda atau VOC mendirikan Bank Van Leening di Batavia, dimulailah bisnis pegadaian modern di Indonesia. Lembaga keuangan tersebut memberikan pinjaman terhadap masyarakat dengan cara gadai akan tetapi, sistem gadai ini dibubarkan seiring dengan pengambilalihan kekuasaan dari Belanda kepada Inggris dan mengganti dengan sistem pacht. Sistem pacht ini banyak dilakukan oleh masyarakat Cina di Jawa.

Penerapan sistem pacht ini memberikan dampak yang cukup besar terhadap masyarakat, sehingga pemerintah Belanda memutuskan semua rumah

27

Govt. Pandhuis merupakan Gedung Pegadaian di Boyolali pada masa pendudukan Belanda di Kota Boyolali berdiri sekitar tahun 1910.

(27)

gadai diambil alih oleh pemerintah dan dikuasai oleh Pemerintah Hindia – Belanda pada tanggal 12 Maret 190228. Selanjutnya pemerintah Belanda banyak mendirikan pandhuis di daerah pedalaman Jawa dengan tujuan melindungi masyarakat dari praktek lintah darat. Pegadaian milik pemerintah memiliki daftar harga resmi, sehingga masyarakat lebih aman dalam bertransaksi. Barang-barang yang digadaiakan masyarakat diantaranya kain batik, keris, perhiasan, barang pecah belah, hewan ternak dan sepeda29.

Semenjak peningkatan nilai ekspor pada dekade pertama abad ke-20 pada tahun 1920, Hindia Belanda semakin terpusat sementara kegiatan terus berjalan. Selain mendirikan pelayanan kredit rakyat, rumah gadai pemerintahan juga mendirikan Opiumverkooplast, peningkatan kesehatan, pengobatan rakyat, pelayanan pos, telegram, telepon, kereta api dan sekolah pemerintah30. Tempat penjualan opium / candu di Boyolali berada di pinggir sungai mengingat peredaran candu di monopoli oleh Belanda, membuat penyelundup mengirimkanya melalui sungai.

Boyolali yang awalnya merupakan desa di wilayah Keraton Kasunanan Surakarta, tidak jarang adanya tindakan kriminal yang terjadi di dalam

28

Mengacu pada Staatsblad van Nedherlandsch-Indie No. 131, Tanggal 12 Maret 1902.

29

Johanner R, Olivier., Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe, (Yogyakarta : Galang Pustaka, 2013), hlm 53.

30

Opiumverkooplast yakni tempat penjualan candu, penjualan candu diatur oleh Opiumregie atau monompoli candu oleh negara. Lihat : Takashi Shiraisi., Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912 – 1926, (Jakarta : Grafiti, 1900), hlm 36.

(28)

masyarakat. Seiring kedatangan Belanda di Boyolali dan diikuti masyarakat Cina dan Arab yang membuat koloni masing – masing golongan, membuat pemerintah Belanda mendirikan Landraadgebouw dengan tujuan mengamankan kondisi masyarakat.

e. Landraadgebouw Boyolali

Sistem peradilan di Boyolali diserahkan kepada Bupati Pulisi sebagai sebagai presiden dibantu dengan Kaliwon, Panewu dan Rangga, dengan pembagian tugas masing-masing jabatan. Landraadgebouw ini tidak hanya mengurusi pemerintahan kuthagara saja tetapi juga mengurusi masalah perkawinan dan keagamaan dan urusan rumah tangga. Landraad ini bediri di jalur utama Surakarta-Semarang dan berada pada lingkup pemerintahan yakni pusat kota. Gedung ini memiliki colomn berbentuk bulat dengan puncak berupa segi empat bertumpuk, sesuai dengan gaya indishe empire yang dapat dilihat pada gambar 13.

Gambar. 13.

Eks Landraadgebouw

(29)

Kotamadya Surakarta tidak hanya didominasi oleh masyarakat pribumi, Cina dan Arab saja, akan tetapi kolonial Belanda juga terlibat dalam kegiatan sosial di masyarakat. Bentuk campur tangan Belanda terhadap Keraton Surakarta tidak hanya dalam bidang pemerintahan saja, akan tetapi juga penempatan perwira dan prajurit militer di beberapa desa di sekitar Surakarta. Dalam penempatan prajurit militer dan petinggi Eropa di desa salah satunya Boyolali dan diberikan sarana dan prasarana yang cukup lengkap dan istimewa. Beberapa sarana dan prasarana diantara lain : tangsi militer, benteng dan rumah sakit khusus militer.

f. Gedung Tangsi Militer 1913 dan 1914

Tujuan penempatannya yakni mengamankan jalur utama antara Semarang–Surakarta maupun sebaliknya. Boyolali merupakan salah satu desa yang memiliki sarana dan prasaran seperti yang sudah dijelaskan diatas, lokasinya saat ini berada di pusat kota. Gedung ini merupakan salah satu contoh penggunaan dormer pada bagian atas genting yang difungsikan sebagai pengatur udara yang dapat dilihat pada gambar 14, dan kemuncak yang dapat dilihat pada gambar 15. Gedung Tangsi Militer awalnya digunakan sebagai mess perwira sekaligus penjara.

(30)

Gambar. 14.

Eks gedung Tangsi Militer yang berdiri tahun 1913. Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

Gambar. 15.

Ruang kiri gedung Tangsi Militer Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

(31)

Gambar . 16.

Eks Gedung Tangsi Militer yang didirikan tahun 1914 Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

Gambar. 17.

Ruang Belakang Gedung Tangsi Militer Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

(32)

g. Gedung Tangsi Militer

Gambar. 18.

Eks Gedung Tangsi Militer Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

Untuk menjaga kesehatan para prajurit serta perwira militer yang bertugas di Boyolali, pemerintah Belanda juga mendirikan rumah sakit khusus militer atau Het Militaire Geneskunding Dients. Gedung rumah sakit ini berada tidak jauh dari kompleks benteng dan tangsi militer31.

h. Gedung Militaire Geneeskundig Dients

Gedung Het Militaire Geneeskunding Dients ini berdiri tahun 1914 sesaat setelah gedung tangsi militer selesai berdiri. Selain diperuntukan prajurit militer, rumah sakit ini juga untuk satuan polisi waktu itu32. Gedung ini masih memiliki

31

Awalnya benteng di Boyolali bernama Fort Renovatum yang berdiri tahun 1831, dan tahun 1923 benteng diperbaiki bagian pintu utama dengan penambahan tralis besi. Lihat : Panitia Penyusun., Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Boyolali, (Surakarta : UNS, 1982), hlm 11 tentang Benteng Renovatum.

32

Lihat : Java – Bode : Nieuws, handels – en advertentieblad voor Nedherlandsch-Indie, tanggal 04 Desember 1869. Perihal De Militaire Geneseskundige Dients te Boyolali.

(33)

hubungan dengan keberadaan benteng renovatum, dan dijadikan sebagai rumah sakit militer pertama di Kabupaten Boyolali.

Gambar. 19.

Eks Gedung Het Militaire Geneeskundig Dients berdiri tahun 1914 Sumber : Dokumentasi Pribadi.

Pada bulan Juli tahun 1808 keluarlah sebuah peraturan yang membentuk sebuah institusi pertama yang khusus menangani masalah kesehatan di Hindia Belanda. Bangunan Rumah Sakit Militer ini sekarang dimanfaatkan sebagai Dinas Kesehatan Boyolali dan Rumah Sakit di Kabupaten Boyolali menempati gedung lainya yang sudah dikosongkan oleh Belanda. Rumah Sakit di Kabupaten Boyolali didirikan oleh SISKS Pakubuwana X yang awalnya adalah sebuah klinik.

i. Gedung Polisi Sektor Boyolali

Sistem pengontrol kegiatan masyarakat baik pribumi maupun Eropa dan Cina di Boyolali, diserahkan kepada para pulisi yang di tempatkan di sekitaran pusat kota Boyolali. Keberadaan pulisi dan perwira militer di Boyolali

(34)

menandakan kota yang awalnya sebuah desa tidak aman dalam berbagai tindak kriminal. Kantor pejabat gunung pulisi di Boyolali saat ini terkenal dengan Polisi Sektor Boyolali dapat dilihat gambar 20.

Gambar. 20.

Kantor Abdi Dalem Gunung Pulisi berdiri sekitar tahun 1910 Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

j. Gedung Soos / Societeiet

Munculnya pemukiman masyarakat golongan Eropa di suatu daerah tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan gedung societeiet atau kamar bola. Gedung societeit merupakan tempat berkumpulnya masyarakat Belanda. Gedung ini selain dijadikan sebagai tempat untuk rapat dan pertemuan publik juga dipakai sebagai areal berlibur, sandiwara, pesta, permainan judi, minum-minuman keras dan lain sebagainya33. Gedung societeit di Boyolali sekarang dipergunakan sebagai gedung perpustakaan Kabupaten Boyolali. Gedung ini berdiri menghadap arah Timur

33

Sartono Kartodirdjo, dkk., Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1987), hlm. 108.

(35)

berhadapan langsung dengan benteng sekaligus jalan raya pos (Grotepostweg)34, dengan maksud mempermudah pengawasan terhadap transportasi barang dan jasa. Gedung societeiet merupakan contoh penggunaan kayu lisplank dan halaman yang cukup luas dapat dilihat pada gambar 21.

Gambar. 21.

Eks gedung Societeiet te Boyolali. Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

k. Hulppostkantoor

Selama penempatan militer dan pekerja dari Belanda maupun Keraton Surakarta di Boyolali, kebutuhan dalam hal surat menyurat sangat penting demi lancarnya urusan pemerintahan. Kantor pos pertama yang didirikan di Boyolali berada di depan kantor Kepatihan yang berlokasi di jalan merapi saat ini, dan beralih fungsi menjadi ruko. Gedung ini merupakan contoh penggunaan kalimat cetak timbul sebagai identitas jamannya, hal tersebut dapat dilihat pada gambar

34

Hadinoto., Perkembangan Kota di Jawa Abad XVIII Sampai Pertengahan Abad XX, (Yogyakarta : Ombak, 2000), hlm. 114.

(36)

22. Hulppostkantoor dahulu merupakan kantor pengiriman surat menyurat pemerintahan.

Gambar. 22.

Eks Gedung Hulppostkantoor Sumber : Dokumentasi Pribadi.

l. Kepatihan

Boyolali selama di bawah Patih perwakilan pemerintahan Kasunanan Surakarta, tidak dapat dilepaskan dengan didirikanya gedung kepatihan sebagai kantor pemerintahan daerah. Kantor Kepatihan berdiri pada tahun 1918 dengan dipimpin oleh Wedana, dan dibantu dengan Asisten Wedan35. Kantor Kepatihan saat ini sudah beralih fungsi menjadi Bank Guna Daya Boyolali, dan kantor Asisten Wedana beralih fungsi menjadi Rumah sakit Natalia. Sudah banyak perubahan yang terjadi dari kedua gedung pemerintahan tersebut.

35

(37)

m. Districthoofdt

Districthoofdt atau lebih dikenal dengan rumah distrik, merupakan areal tempat tinggal para priyayi, yang bekerja di pemerintahan Kabupaten Pangreh Praja dan pemerintah kolonial Belanda. Rumah distrik memiliki keunikan dibandingkan dengan rumah para pejabat rendahan, yakni perpaduan antara Joglo, Limasan dan Eropa dengan penggunaan pintu dan jendela besar dan konstruksi tembok yang cukup tebal. Komplek districthoofdt ini merupakan contoh karakteristik bangunan Indis dengan contoh perpaduan Joglo dengan kolonial, hal ini dapat dilihat pada gambar 23.

Gambar. 23.

Salah satu bekas gedung di districthoofdt Sumber : Dokumentasi Pribadi.

n. Hospitaal

Wabah pes yang melanda Surakarta tahun 1912 mengakibatkan beberapa desa wilayah Karesidenan Surakarta didirikan sarana kesehatan bagi masyarakat pribumi diantaranya Boyolali. Penanganan wabah di klinik ini diserahkan kepada

(38)

dokter spesialis waktu itu36. Pemberantasan penyakit tersebut waktu itu dikenal dengan perbaikan rumah dan pengawasan rumah, untuk mengantisipasi penyebaran virus dibuat barak khusus keluarga. Sunan Paku Buwono X selaku penanggung jawab desa Karesidenan Surakarta mendirikan beberapa klinik, diantaranya poliklinik dan apotik. Klinik khusus wabah pes di Boyolali diberi nama Klinikt Mardi Nirmala37 dapat dilihat pada gambar 24.

Gambar. 24.

Eks gedung Klinik Mardi Nirmala. Sumber : Dokumentasi Pribadi.

o. Gedung Sonosudoro Theatar

Sarana dan prasarana yang didirikan oleh Belanda di Boyolali tidak hanya gedung pemerintahan, gedung militer, gedung tempat tinggal dan rumah sakit yang masih dapat disaksikan hingga saat ini. Belanda juga mendirikan beberapa

36

Purwadi, dkk., Sri Susuhunan Paku Buwono X : Perjuangan, Jasa & Pengabdiannya untuk Nusa dan Bangsa, (Jakarta : Bangun Perkasa, 2009), hlm. 68.

37

(39)

gedung theater yang dapat digunakan masyarakat pribumi, lokasi gedung theater tersebut berada tidak jauh dari pusat pmerintahan. Diantara beberapa gedung theater diantaranya yakni Sonosudoro Theater. Gedung Sono Sudoro Theater dapat dilihat pada gambar 25 dengan atap berbentuk limasan.

Gambar. 25.

Eks Gedung Sono Sudoro Theater Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

p. Hotel Bojolali

Hotel Bojolali merupakan salah satu hotel yang berada di Boyolali, disamping hotel di daerah Selo. Hotel Bojolali berdiri tidak jauh dengan pusat pemerintahan dan pusat publik di Boyolali. Hotel Bojolali menyediakan kebutuhan penginapan bagi para elit Eropa dan priyayi yang sedang melakukan perjalanan jarak jauh. Gedung hotel ini berbeda dengan gedung Villa Merapi, meskipun sama – sama dikunjungi bangsa Eropa karena lokasinya yang cukup strategis dan nyaman. Gedung Hotel Bojolali dapat dilihat pada gambar 26.

(40)

Gambar. 26.

Hotel Bojolali

Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

Jalur pos tundhan (Jalan Pandanaran) saat ini merupakan salah satu jalur vital antara Semarang-Solo. Sehingga Belanda menganggap sangat penting apabila jalur tersebut digunakan sebagai pos pengamanan jalur, dengan militer Eropa dijadikan sebagai pengontrol daerah. Selain penempatan militer juga ditempatkan beberapa pejabat pulisi yang diangkat oleh Sunan, dan ditempatkan di Boyolali dengan sarana dan prasarana yang berbeda.

Pejabat pulisi berada di utara pusat kota Boyolali dan berada di kompleks Kantor Satuan Lalu Lintas saat ini, dengan sarana berupa tempat tinggal dan gedung pertemuan. Status pejabat pulisi bertugas sebagai pengontrol pengiriman barang dan jasa, dikarenakan lokasinya yang strategis tepat di pintu masuk Kabupaten Boyolali dari arah Semarang-Surakarta. Pegawainya adalah militer Eropa dibantu dengan priyayi gunung pulisi. Gedung ini merupakan contoh penggunaan kuncung pada bagian fasade depan yang dapat dilihat pada gambar

(41)

27. Gedung ini awalnya balai pertemuan para pulisi yang kemudian berubah menjadi gedung pertemuan istri polisi.

Gambar. 27.

Gedung Balai Pertemuan Bhayangkari Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

Gambar. 28.

Salah satu gedung rumah dinas Polisi Satuan Lalu Lintas Sumber : Dokumentasi Pribadi.

2. Beberapa bangunan sekolah di Boyolali

Pendidikan salah satu hal paling penting bagi Belanda, semenjak politik etis dicanangkan pendidikan merupakan syarat mutlak untuk menghasilkan tenaga kerja yang dibutuhkan negara dan perusahaan. Selain itu juga meningkatkan

(42)

kualitas masyarakat pribumi dan menuntun menuju modernitas, yakni persatuan budaya Timur dan Barat. Akhir abad ke-19 perkembangan pendidikan Barat semakin meluas, pada awalnya dibentuk dua jenis sekolah dasar. Eerste Klass Inlandsche Scholen dikhususkan untuk anak priyai, dan Tweede Klass Inlandsche

Scholen dikhususkan untuk anak pribumi38. Boyolali memiliki beberapa sarana

dan prasarana dalam bidang pendidikan atau opvoeding, yang diperuntukan bagi masyarakat dengan pembagian sesuai status sosial masing-masing. Adapun sekolah tersebut diantaranya, yakni :

a. Europe School

Gambar. 29.

Eks Gedung Europe School Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

38

Eerste Klass Inlandsche Scholen merupakan Sekolah Bumiputra Angkatan Satu, dan Tweede Klass Inlandsche Scholen merupakan Sekolah Bumiputra Angkatan Dua. Kedua sekolah dipisahkan berdasar status sosial keluarga dalam masyarakat. lihat : Takashi Shiraisi., Op.Cit, hlm 37.

(43)

b. Holland Inlanden School

Gambar. 30.

Eks Holland Inlander School saat ini digunakan sebagai SMP N 1 Boyolali. Sumber : Arsip dan Dokumentasi Boyolali.

c. SD P atau Sekolah Dasar Putri Gambar. 31.

SD P atau Sekolah Dasar Putri yang kini berubah menjadi SD N 7 Boyolali Sumber : Arsip dan Dokumentasi Boyolali.

(44)

d. SMPN 2 Boyolali.

Gambar. 32.

Gedung SLTP N 2 Boyolali Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah.

Boyolali juga memiliki beberapa pemakaman yang diperuntukan masyarakat sesuai dengan status dan golongannya dalam masyarakat, diantaranya

Bong, Kerkkof dan pemakaman biasa39. Masing-masing pemakaman memiliki ciri

khas, Bong di Boyolali mayoritas berada di atas bukit yang sekarang berganti nama menjadi Pasar Burung Ngebong.

Pemakaman Eropa di Boyolali memiliki keunikan tersendiri yakni dilengkapi dengan gapura besar dan bertuliskan “Memento Mori” atau “Ingatlah kepada kematian”, selain gapura di pemakaman tersebut terdapat beberapa arca layaknya hobi Belanda mengkoleksi barang-barang kuno. Sedangkan pemakaman masyarakat pribumi cenderung sederhana dan lokasinya tersebar sesuai dengan

39

Bong dan Kerkhof merupakan istilah yang digunakan masyarakat pribumi untuk membedakan antara makam Cina, Eropa dengan pribumi meskipun memiliki ciri masing-masing yang berbeda.

(45)

lokasi pemusatan penduduk. Gapura ini merupakan contoh penggunaan tiag penyangga sekaligus cetakan timbul yang digunakan untuk memberikan identitas golongan, gapura tersebut dapat dilihat pada gambar 33.

Gambar. 33.

Gapura Memento Mori di Boyolali Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah

Selain sarana dan prasarana yang didirikan di Boyolali berupa gedung pemerintahan, gedung sekoah, gedung soosieteit, hotel, villa, sarana transportasi dan pemakaman etnis juga didirikan beberapa gedung yang digunakan sebagai tempat tinggal. Gedung tempat tinggal orang Eropa di Boyolali masih berada di kawasan pusat kota. Belanda dalam mendirikan gedung-gedung sebagai basis mereka, telah menggunakan konsep pemukiman Eropa yakni terpusat pada satu titik dengan kantor pemerintahan sebagai sumbu utama.

Pola pemukiman tersebut membuat pemukiman masyarakat pribumi di Boyolali berada cukup jauh dari pusat kota. Masyarakat yang tinggal di sekitar pusat Kota Boyolali yakni golongan Eropa, Cina dan Arab dengan pembagian sektor berdasarkan pekerjaan. Pemukiman Eropa berada di pusat kota Boyolali,

(46)

Cina berada di (Jalan Pandanaran / pasar Sunggingan) dan Arab ikut membaur di dalam masyarakat.

3. Tempat Tinggal Orang Eropa di Boyolali

Gambar. 34.

Gedung Tempat Tinggal “Omah Leo” Sumber : Dokumentasi Pribadi.

Gedung tempat tinggal “Omah Leo” awalnya berdiri tahun 1884 oleh seorang bangsawan Belanda di Boyolali, gedung ini berdiri di lokasi strategis yakni jalur utama menuju gunung Merapi dan Merbabu serta Pesanggrahan Pratjimohardjo Paras Cepogo. Pada tahun 1920 ketika pemerintahan Kabupaten Boyolali menjadi Kabupaten Pangreh Praja, rumah tersebut dibeli oleh RNg Sutonagoro selaku bupati pertama. Seiring berjalanya waktu dikarenakan RNg Sutonagoro tidak memiliki anak, maka diangkatlah anak tiri bernama RNg Suronagoro.

RNg Suronagoro sebagai pewaris rumah mewariskan kepada anak kandung perempuan bernama Ririn dan Nara, yang masing-masing mengalih

(47)

fungsi rumah tersebut yang awalnya kediaman pribadi menjadi Villa bernama Villa Ririn dan Villa Nara dengan waktu yang berbeda40. Selain sepanjang jalan Semarang–Surakarta atau pusat kota Kabupaten Boyolali, terdapat bangunan-bangunan berciri khas kolonial yang terpusat di (Jalan Merapi dan Merbabu).

Mayoritas gedung sudah beralih tangan ke pemerintah maupun swasta. Beberapa bangunan tempat tinggal orang Eropa memiliki ciri khas sebagai tempat tinggal dan status di masyarakat. Tempat tinggal milik kelurga Eropa yang menjabat sebagai pejabat di Boyolali dan pastur gereja di Boyolali, memiliki keunikan yakni keuinikan diantaranya penggunaan patung di bagian depan halaman, tulisan cetak timbul hingga penggunaan makelaar, tympanum dan lainya yang dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar. 35

Gedung Tempat Tinggal Pegawai Pengadilan Sumber : Dokumentasi Pribadi.

40

(48)

Gambar. 36.

Rumah Pegawai Hulppostkantoor Sumber : Dokumentasi Pribadi.

Gambar. 37.

Rumah Tinggal Pejabat Eropa Sumber : Dokumentasi Pribadi.

(49)

Gambar. 38.

Rumah Tinggal Belanda dan saat ini milik bapak Waluyo Sumber : Dokumentasi Pribadi.

Gambar. 39.

Rumah Tinggal Belanda dan saat ini milik Dr Ning. Sumber : Dokumentasi Pribadi.

(50)

Gambar. 40.

Rumah Orang Belanda Pastur Gereja Kristen Santa Perawan Maria Sumber : Dokumentasi Pribadi.

Gambar. 41.

Gedung Tempat Tinggal Masyarakat Belanda dan saat ini milik Dr Haris Sumber : Arsip BPCB Jawa Tengah

(51)

Gambar. 42.

Gedung Tempat Tinggal Belanda Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar. 43.

Gedung PD Aneka Karya Sumber : Dokumentasi Pribadi.

Mobilitas masyarakat dari Boyolali, Semarang dan Surakarta juga dibedakan dengan sistem status sosial. Golongan Eropa dan priyayi dalam melakukan perjalanan dari dan menuju Boyolali, menggunakan Tram yang diinisiatif oleh Soloche Tramweg Maatschappij atau SoTM. Masyarakat pribumi

(52)

menggunakan saran transportasi umum yakni bus, sehingga di Boyolali terdapat Station Bojolali dan Stanpalaat Bojolali. Hal tersebut terlihat pada gambar 44-45 dengan segala hal yang berhubungan dengan Kabupaten Boyolali.

Gambar. 44.

Stanplaat Bojolali

Sumber : Arsip dan Dokumentasi Boyolali.

Gambar. 45.

Station Tram Bojolalie Sumber : KITLV.nl

Mayoritas bangunan pemerintahan dan tempat tinggal masyarakat Eropa di Boyolali berdiri pada tahun 1910-1915, dengan ciri khas berlantai motif bunga

(53)

atau tegel kunci, berlangit – langit tinggi dengan tembok tebal dengan penggunaan tiang-tiang penyangga yang kokoh. Daun jendela dan pintu yang besar dan tinggi sebagai pemberi pencahayaan dan penerangan pada ruang pada siang hari41. Selain itu juga penggunaan makelaar dan tympanum yang dimaksudkan sebagai simbol juga merupakan sistem yang dibawa oleh Belanda ke Hindia Belanda. Sarana transportasi di Boyolali menjadi penting karena datangnya golongan masyarakat dari luar Hindia Belanda, untuk tujuan tertentu mengakibatkan perusahaan kereta di Jawa mulai mendirikan beberapa stasiun dan halte untuk masyarakat disesuaikan dengan golongan.

41

Helen, Jessup., The Dutch Coloniall Villa, Indonesia, ( MIMAR, No. 13/1984), hlm 35 – 42.

Referensi

Dokumen terkait

Therefore, in general, the text – based syllabus deign could help the learner in the study enhance her performance in writing research paper abstract by using the design

Perpustakaan Lembaga Pemasyarakatan Pe- rempuan Klas IIA Tangerang hanya memfasili-tasi untuk para narapidananya melalui penye-diaan seperti halnya informasi tentang agama,

JavaScript adalah salah satu bahasa pemrograman skrip (scripting language) yang dapat digunakan untuk melakukan kontrol pemrograman dalam lingkungan pemrograman (host environment)

Dalawang Misa lamang ang ipinagdiriwang sa araw na ito: Ang Misa na may Pagbabasabas ng mga Langis at Pagsariwa sa Pangako ng mga Pari na ginaganap sa umaga, at ang Misa

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi antara pendapatan asli daerah, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dengan kinerja keuangan Pemerintah Daerah

Jika pernah, bagaimana kredit yang diajukan Bapak/Ibu ke perbankan atau lembaga non perbankan tersebut:.. Menurut Bapak/Ibu, apa yang menjadi kendala dalam mengajukan kredit ke

Adnan Al-Sharif, arkeolog yang bekerja sebagai kepala Perpustakaan Universitas Ummul Qura, meninjau dengan pendekatan kodikologi ( codi- cology ) dan berpendapat bahwa dua

Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) untuk pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa konsultasi/jasa lainnya pada unit kerja Sekretariat Daerah