• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang bersifat vital yang harus terpenuhi setiap hari karena air diperlukan untuk proses hidup bagi manusia, hewan dan tumbuhan (Sastrawijaya, 2009). Tanpa adanya air, aktivitas makhluk hidup khususnya manusia menjadi terhambat. Air adalah suatu sumberdaya yang harus dilestarikan keberadaannya dan dijaga terkait kualitas maupun kuantitasnya. Sumberdaya air yang dimiliki tiap-tiap daerah pun berbeda-beda, karena adanya perbedaan curah hujan yang juga didukung oleh perbedaan karakteristik daerah, vegetasi, iklim, tanah dan kondisi geologi dan kondisi fisik sungai (Widyastuti, dkk., 2013). Perbedaan potensi sumberdaya air tentu akan berpengaruh pada perbedaan kualitas dan kuantitas air sungai di tiap-tiap daerah, sehingga permasalahan yang muncul terkait sumberdaya air juga berbeda dalam pengelolaan dan perencanaan (Sudarmadji, dkk., 2013).

Manning (1987, dalam Asdak, 2001) menyatakan terdapat dua (2) jenis air di Bumi yaitu, air asin dan air tawar di mana persentase air asin mendominasi total air di Bumi. Air asin di Bumi terbagi menjadi air laut dengan persentase 97,3% dan danau 0,01%. Air tawar di Bumi paling banyak dalam bentuk air es (glacier) sebesar 2,14%, sisanya adalah akuifer 0,61%, kelembaban tanah 0,005%, atmosfer 0,001%, danau 0,009 dan sungai 0,0001%. Jika menurut UNEP (2011) air tawar di Bumi hanya sebesar 2,5% yang tersebar menjadi air permukaan dan air tanah, sisanya 97,5% adalah air asin. Jumlah air tawar yang menjadi minoritas tentu akan menimbulkan masalah jika dalam hal pemanfaatan kurang bijak.

Jenis air tawar di bumi yang terbagi menjadi air permukaan dan air tanah berasal dari air hujan yang terhubung kedalam siklus hidrologi. Hujan yang jatuh

(2)

2 sebagian terinfiltrasi ke dalam tanah sehingga menjadi air tanah sedangkan air yang tidak terserap ke dalam tanah menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan yang tidak terserap akan tertampung dalam cekungan yang kemudian akan mengalir dan masuk ke sungai akibat perbedaan morfologi (Asdak, 2001).

Menurut Manning (1987, dalam Asdak, 2001), sungai merupakan salah satu dari aliran permukaan yang memiliki presentase persebaran air tawar paling rendah yaitu 0,0001% sedangkan sungai adalah suatu ekosistem alami yang mendukung kehidupan makhluk hidup karena bersifat multifungsi. Fungsi sungai bagi biota air sebagai tempat untuk hidup dan berkembangbiak sedangkan bagi manusia, sungai dapat digunakan sebagai prasarana kegiatan sehari-hari seperti mandi, mencuci, transportasi, perikanan, industri, pertanian dan irigasi. Bahkan beberapa sungai ada yang dijadikan sebagai sumber air baku untuk air minum (Siahaan, dkk., 2011 dan Yudo, 2010).

Sungai pada awalnya memiliki kualitas yang baik, sehingga dapat dikonsumsi langsung untuk air minum. Namun, seiring berjalannya waktu meningkatnya jumlah penduduk akan berbanding lurus dengan kebutuhan terhadap lahan akibatnya terjadi perubahan penggunaan lahan di sekitar sungai. Penggunaan lahan menggambarkan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan yang tersedia sesuai dengan peruntukkannya (Malingreau, 1978).

Aktivitas penduduk di sekitar sungai menjadi penyebab penurunan kualitas air sungai akibat tercemar berbagai limbah. Budaya buang sampah di sungai masih sering dilakukan oleh beberapa masyarakat yang kesadaran akan hidup sehatnya masih rendah. Dampaknya, air sungai mudah mengalami penurunan kualitas air akibat kontak dengan udara dan aktivitas manusia yang menjadi sumber pencemar (Widyastuti, dkk., 2013). Pencemaran sungai dapat berasal dari limbah domestik, pertanian, peternakan, perikanan, industri dan limbah rumah sakit di mana komponen limbah tersebut merupakan hasil kegiatan manusia. Pencemaran yang terjadi pada sungai dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan penurunan jumlah biota air (Wardhana, 2011).

Saat ini air menjadi salah satu masalah yang perlu perhatian lebih. Munculnya masalah-masalah terkait air menjadikan air sebagai barang yang

(3)

3 berharga karena untuk memperoleh suatu air bersih dibutuhkan standar tertentu (Effendi, 2003). Masalah penurunan kualitas air sungai menjadi pertanda bahwa sungai tersebut tidak dapat digunakan untuk beberapa kegiatan (Ali, dkk., 2013). Adanya penurunan kualitas ditandai oleh perubahan parameter fisik, kimia dan biologi. Jika hasil parameter-parameter penentu kualitas air menyimpang dari baku mutu air yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 untuk Daerah Istimewa Yogyakarta maka air sungai tersebut tidak layak dimanfaatkan terkait peruntukkannya.

Sungai Konteng yang berhulu di Kecamatan Turi, berhilir di Kecamatan Gamping sekaligus menjadi sumber air baku bagi masyarakat di Kecamatan Gamping tersebut. Berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Sleman (2012), Sungai Konteng masuk ke dalam kelas II untuk kelas mutu air nya. Air kelas II merupakan air yang kegunaannya sebagai sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan tanaman. Namun, kenyataannya Sungai Konteng dijadikan sebagai sumber baku air minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Darma Unit Kecamatan Gamping di mana seharusnya penggunaan air untuk keperluan air minum dalam kriteria baku mutu air adalah kelas I.

Berdasarkan latar belakang itulah dilakukan penelitian untuk mengkaji kualitas air Sungai Konteng dengan judul “KAJIAN KUALITAS AIR SUNGAI KONTENG SEBAGAI SUMBER AIR BAKU PDAM TIRTA DARMA UNIT GAMPING, KABUPATEN SLEMAN”.

1.2. Rumusan Masalah

Sungai Konteng merupakan anak sungai yang ada berada dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo. Sungai Konteng yang berhulu di Kecamatan Turi dan berhilir di Kecamatan Gamping ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakatnya untuk kebutuhan sehari-hari seperti, rumah tangga, peternakan, pertanian, perikanan dan industri. Bahkan Sungai Konteng menjadi sumber air baku air minum bagi masyarakat sedangkan kelas mutu air Sungai Konteng tergolong ke dalam kelas II. Faktor yang mempengaruhi penurunan kelas mutu air salah

(4)

4 satunya akibat adanya peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Sleman dari tahun 2009 hingga 2013 yang diwakili oleh Kecamatan Turi, Tempel, Mlati, Sleman, Godean dan Gamping sebab keenam kecamatan tersebut dilalui oleh Sungai Konteng. Semakin banyak jumlah penduduk, disamping kebutuhan air meningkat, pencemaran air juga akan lebih mudah terjadi. Berikut adalah grafik yang menunjukkan adanya peningkatan jumah penduduk Kecamatan Turi, Tempel, Mlati, Sleman, Godean dan Gamping.

Gambar 1.1. Pertumbuhan Penduduk Sebagian Kabupaten Sleman Tahun 2009-2013 (Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014)

Menurut Sensus Penduduk (SP) tahun 1971, Kabupaten Sleman memiliki jumlah penduduk kedua setelah Gunungkidul. Namun pada SP tahun 1980 hingga 2010, Kabupaten Sleman menjadi Kabupaten dengan jumlah penduduk tertinggi di DIY. Semakin tinggi jumlah penduduk maka kebutuhan airnya meningkat, namun disatu sisi pencemaran air juga akan lebih mudah terjadi. Pemanfaatan sungai yang tidak bijak serta tidak adanya pengelolaan limbah hasil buangan aktivitas penduduk berpotensi menimbulkan pencemaran air khususnya pada kecamatan yang dilalui sungai. Pencemaran dapat menyebabkan penurunan kualitas air Sungai Konteng sehingga tidak menutup kemungkinan kualitas air tersebut tidak sesuai dengan baku mutuair minum. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

(5)

5 1. Bagaimana kondisi kualitas air Sungai Konteng?

2. Bagaimana tingkat pencemaran Sungai Konteng?

3. Bagaimana kesesuaian pemanfaatan Sungai Konteng sebagai sumber air baku PDAM Tirta Darma Unit Gamping, Kabupaten Sleman?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kondisi kualitas air Sungai Konteng. 2. Mengkaji tingkat pencemaran Sungai Konteng.

3. Menganalisis kesesuaian pemanfaatan Sungai Konteng sebagai sumber air baku PDAM Tirta Darma Unit Gamping.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari adanya penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang kualitas air Sungai Konteng sehingga dapat digunakan sebagai informasi bagi pemerintah.

2. Menambah informasi dan wawasan bagi masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya air Sungai Konteng.

3. Menambah ilmu pengetahuan dan referensi baru bagi penelitian berikutnya terkait Sungai Konteng.

1.5. Tinjauan Pustaka

1.5.1. Hidrologi

Sumberdaya air tergolong ke dalam kebutuhan primer bagi makhluk hidup. Kebutuhan primer merupakan kebutuhan pokok dan penting yang wajib terpenuhi demi kelangsungan kehidupan. Bagi manusia air dapat digunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari seperti air minum, domestik, pertanian, perikanan dan industri (Sudarmaji, dkk. 2013). Sifat air yang universal tersebut dipelajari

(6)

6 dalam suatu bidang ilmu yaitu hidrologi. Asdak (2001) mendefinisikan bahwa hidrologi adalah suatu ilmu tentang air dalam berbagai bentuk dan sumber air yang berkaitan pula dengan siklus air, distribusi, sifat fisik, kimia dan biologi yang dapat mempengaruhi karakteristik dari air tersebut.

Air di Bumi hanya mengalami perubahan bentuk, namun tidak mengalami perubahan dari segi jumlah. Perubahan air di bumi berhubungan dengan suatu pergerakan air yang terjadi secara alami, di mana air permukaan menguap baik itu air laut, mata air, waduk, sungai maupun air tumbuhan yang mengalami transpirasi. Air hasil evaporasi maupun evapotranspirasi akan mengalami kondensasi dan tertampung di atmosfer dan ketika telah mencapai titik jenuh maka akan terjadi presipitasi. Air yang jatuh ke bumi sebagian masuk ke dalam tanah (infiltrasi) sehingga menjadi cadangan air tanah sedangkan sebagian air yang tidak terinfiltrasi menjadi aliran permukaan. Pergerakan air tersebut akan terjadi secara terus menerus membentuk suatu siklus yang disebut siklus hidrologi (Asdak, 2001).

1.5.2. Sungai

Aliran permukaan yang terbentuk dari siklus hidrologi salah satunya adalah sungai. Air yang masuk ke dalam sungai berasal air hujan yang jatuh ke bumi yang kemudian bergerak dari tempat yang memiliki topografi tinggi menuju topografi yang rendah (Kordi dan Tancung, 2005). Jaringan pengaliran air sungai dimulai dari mataair hingga muara dimana pada sisi kanan dan kiri sepanjang pengalirannya dibatasi oleh garis sempadan (Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011). Input sungai dapat berasal dari beberapa sumber, salah satunya adalah hasil intersepsi. Intersepsi merupakan suatu proses jatuhnya air hujan ke atas vegetasi di permukaan tanah, namun jatuhnya air tersebut tidak sampai meresap ke dalam tanah dan air tersebut menguap kembali ke atmosfer (Asdak, 2001)

Sungai merupakan salah satu contoh aliran permukaan yang memiliki arus yang searah dan relatif kencang dengan kecepatan 0,1 - 1,0 m/detik (Effendi, 2003). Effendi (2003) juga menjelaskan beberapa hal yang membedakan sungai

(7)

7 dengan aliran permukaan lainnya adalah tidak adanya stratifikasi karena pada sungai terjadi pencampuran massa air. Selain itu sungai juga lebih dipengaruhi oleh pergerakan dari arus, sehingga sungai cenderung memiliki inlet dan outlet. Meskipun demikian, beberapa aliran permukaan tergenang lain seperti danau juga ada yang memiliki inlet dan oulet.

Proses erosi dan sedimentasi merupakan hal yang juga mempengaruhi sungai. Sungai bagian hulu cenderung dangkal dan sempit dengan tebing yang curam dan tinggi sehingga proses erosi sering terjadi di bagian hulu. Proses pengendapan (sedimentasi) cenderung berada di tengah hingga hilir. Hal itu terjadi karena sungai bagian hilir umumnya lebih lebar, tebingnya landai dengan aliran yang lambat (Kordi dan Tancung, 2005).

Sungai berpotensi mengalami perubahan baik itu secara kualitas maupun kuantitas. Perubahan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu iklim, vegetasi, tanah, topografi, kondisi geologi, waktu, curah hujan dan penggunaan lahan (Sudarmadji, dkk., 2013). Pentingnya air sungai tidak hanya sebatas kuantitas semata, namun perlu juga diperhatikan dari segi kualitasnya. Pemanfaatan air sungai yang multifungsi, berpeluang terjadinya pencemaran air akibat dari berbagai aktivitas manusia. Selain itu, over eksploitasi air sungai tanpa adanya pengelolaan yang jelas juga mendukung pencemaran semakin parah. 1.5.3. Kualitas Air

Kualitas air adalah suatu kondisi air yang ditinjau berdasarkan parameter fisik, kimia dan biologi terkait pemanfaatannya dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia dibidang pertanian, industri, domestik, perikanan, PLTA dan wahana rekreasi (Arsyad, 2010). Distribusi air pada tiap-tiap daerah berbeda karena hal itu terkait dengan analisis spasial dalam pendekatan geografi. Distribusi air yang berbeda akan berpengaruh pada kualitas air pada tiap-tiap daerah juga karena masing-masing daerah memiliki karakteristiknya sendiri.

Menurut Widyastuti, dkk. (2013) Kualitas air dipengaruhi oleh faktor alami dan buatan, faktor alami cenderung pada kondisi fisik suatu daerah

(8)

8 sedangkan faktor buatan lebih cenderung kepada aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya air tersebut. Adapun faktor alami dan buatan mencakup berikut ini.

a. Faktor Alami 1) Iklim

Variabel iklim meliputi curah hujan, jumlah dan intensitas hujan, kelembaban dan suhu, arah dan kecepatan angin. Curah hujan merupakan variabel yang cukup berpengaruh pada kualitas air tetapi juga tergantung dari jumlah dan intensitas hujannya. Tinggi rendahnya curah hujan pada suatu perairan sungai akan menentukan debit aliran. Semakin besar debit aliran ketika musim penghujan, maka kualitas perairannya cenderung baik sebab pada saat itu konsentrasi ion terlarut akan lebih tinggi dibandingkan saat musim kemarau. 2) Vegetasi

Banyak tidaknya vegetasi di suatu perairan akan mempengaruhi kualitas air sebab tidak semua akar tumbuhan dapat menyerap ion yang terlarut dalam air dan ini berpengaruh pada proses kimia. Semakin lebat vegetasi di suatu daerah, maka kemampuan untuk menyerap unsur logam yang tidak hanya di air tetapi juga udara menjadi semakin baik. Hal tersebut karena vegetasi bersifat menyerap unsur-unsur seperti SO2, NH3, dan NO2 sehingga kualitas air hujan menjadi baik. 3) Geologi/Batuan

Kandungan mineral batuan yang berbeda akan mempengaruhi kualitas air di suatu perairan. Adanya kandungan mineral batuan akan bereaksi terhadap bahan kimia yang masuk ke dalam perairan. Proses kimia yang terjadi antara mineral batuan dengan bahan kimia tersebut dapat menurunkan kualitas air.

b. Faktor Buatan

Adanya aktivitas manusia yang semakin meningkat setiap tahunnya, berdampak pada kualitas dan kuantitas air yang ada di bumi. Aktivitas manusia

(9)

9 yang menghasilkan limbah cair, padat dan gas akan menimbulkan pencemaran secara langsung ataupun jangka panjang. Perubahan penggunaan lahan yang disebabkan oleh manusia, selain turut menyumbang pencemaran juga akan mengganggu keseimbangan ekosistem yang telah terbentuk. Berkurangnya daerah resapan akibat meningkatnya area terbangun menyebabkan air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah berkurang dan jumlah aliran permukaan menjadi meningkat. Ketika musim penghujan tmaka berpotensi terjadi banjir maupun bencana lain pada daerah tersebut.

Selain faktor alami dan buatan, faktor waktu juga mempengaruhi kualitas air di suatu daerah. Faktor waktu dapat dimaknai dengan durasi yang berkaitan dengan waktu tinggal air terhadap tempat yang dilaluinya. Semakin lama air tinggal di suatu tempat maka akan berpengaruh pada proses kimia karena unsur dan mineral yang terlarut juga lebih banyak. Adanya waktu tinggal menentukan reaksi kimia yang terjadi antara air dengan mineral dan unsur dalam tanah pada daerah tersebut.

Kondisi air ditinjau dari parameter fisik, kimia dan biologi yang bertujuan untuk menentukan kualitas air dari suatu perairan sehingga dapat sesuai dengan peruntukkan di masa mendatang. Parameter fisik, kimia dan biologi dalam pengujian kualitas air khususnya untuk kebutuhan air minum harus mencakup hal-hal sebagai berikut (Effendi, 2003; Karmono dan Cahyono, 1978; Sunu, 2001). a. Parameter fisik

1) Suhu

Terjadinya peningkatan suhu di suatu perairan disebabkan oleh naiknya viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi, penurunan kelarutan gas O2, CO2, N2, CH2 dalam air. Kondisi suhu dalam badan air dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya musim, letak lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu, sirkulasi udara, awan, aliran serta kedalaman air (Haslam, 1995 dalam Effendi, 2003). Peningkatan suhu air menyebabkan aktivitas organisme air dalam proses respirasi dan metabolisme mengalami peningkatan akibatnya kebutuhan oksigen menjadi meningkat. Apabila terjadi penurunan suhu dalam air maka kekentalan

(10)

10 cairan juga akan naik karena panas yang berfungsi sebagai pengencer juga berkurang (Karmono dan Cahyono, 1978).

Namun hal itu berbanding terbalik dengan kondisi di perairan sebab ketika suhu mengalami peningkatan, kandungan oksigen terlarut dalam air menjadi berkurang sehingga kebutuhan oksigen tidak dapat tercukupi. Hal itu berdampak pada kelangsungan hidup organisme air yang tidak dapat bertahan lama karena lama kelamaan akan mati. Biasanya pertumbuhan organisme air akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu, hanya saja tingkat kelangsungan hidup organisme akan berbanding terbalik dengan pertumbuhannya yaitu mengalami penurunan akibat tidak tercukupinya kandungan oksigen terlarut (Kordi dan Tancung 2005). 2) Kekeruhan

Kekeruhan dipengaruhi oleh adanya jumlah padatan tersuspensi dan terlarut dalam air baik itu organik maupun anorganik (APHA, 1976; Davis dan Cornwell, 1991 dalam Effendi, 2003). Semakin tinggi padatan yang tersuspensi maka kekeruhan juga akan semakin tinggi, namun jika padatan terlarut meningkat, tidak akan selalu diikuti oleh peningkatan kekeruhan. Dampak dari tingkat kekeruhan yang tinggi dari suatu badan air adalah terhalangnya sinar matahari yang menembus ke dalam air sehingga mengganggu komponen yang lain (Effendi, 2003).

3) Warna

Warna dalam suatu perairan dibedakan menjadi 2, warna tampak dan sesungguhnya. Perbedaan warna ini berdasarkan padatan terlarut dan tersuspensi dalam air. Warna sesungguhnya hanya dipengaruhi oleh padatan-padatan yang terlarut dalam air saja sedangkan warna tampak di pengaruhi oleh kedua padatan tersebut, terlarut dan tersuspensi (Effendi, 2003). Warna dipengaruhi oleh jenis plankton, larutan tersuspensi, dekomposisi bahan organik dan mineral (Kordi dan Tancung 2005).

(11)

11 Perairan yang memiliki warna gelap baik itu hijau, coklat maupun kehitaman biasanya mengandung zat-zat berbahaya bagi manusia, sebab pada dasarnya perairan alami tidak berwarna (McNeely et al., 1979 dalam Effendi, 2003). Adanya warna yang gelap pada perairan akan menghambat proses masuknya sinar matahari ke dalam air sehingga mengurangi kadar oksigen terlarut dalam air akibat terganggunya proses fotosintesis (Effendi, 2003).

4) Rasa dan Bau

Terjadinya perubahan rasa dan bau pada perairan mengindikasikan adanya pencemaran zat-zat kimia dan zat lain seperti garam dalam jumlah berlebih. Terlarutnya unsur-unsur kimia dalam air akan mengubah rasa air sesuai dengan bahan yang terlarut tersebut sedangkan bau menyengat pada air berasal dari gas-gas kimia yang terkandung dalam perairan dalam jumlah melebihi batas (Karmono dan Cahyono, 1978). Bila suatu perairan mengalami perubahan rasa dan bau yang mencolok, maka perlu dilakukan uji kualitas air lebih lanjut agar karena terkait dengan pemanfaatannya.

5) Daya Hantar Listrik (DHL)

Semakin tinggi Daya Hantar Listrik (DHL) suatu perairan maka kandungan ion-ion yang terlarut juga tinggi. (Effendi, 2003; Karmono dan Cahyono, 1978). Beberapa kandungan ion-ion yang menjadi penghantar listrik yang baik (konduktor) adalah asam, basa dan garam sedangkan yang menjadi isolator adalah atau penghantar listrik yang buruk yaitu berbagai bahan organik contohnya sukrosa, glukosa dan benzena (APHA, 1976; Mackereth et al., 1989 dalam Effendi, 2003). DHL berhubungan dengan suhu dalam perairan, karena DHL meningkat apabila suhu juga meningkat (Karmono dan Cahyono, 1978). 6) Padatan Total, Terlarut dan Tersuspensi

Padatan total merupakan residu yang mengendap ketika terjadi evaporasi dan hal itu dianggap sebagai kandungan total bahan terlarut dan tersuspensi dalam air. Residu ini dapat berupa lumpur, pasir halus, dan jasad renik yang tergolong ke

(12)

12 dalam padatan tersuspensi total (TSS) karena ketika dilakukan penyaringan padatan tersebut tertahan dan tidak lolos oleh air. Residu yang lain dapat berupa bahan organik seperti sodium, besi, magnesium, kalsium dan nitrat yang dapat larut oleh air sehingga disebut dengan padatan terlarut total (TDS) (Effendi, 2003).

b. Parameter Kimia

1) BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Merupakan jumlah oksigen yang diperlukan oleh bakteri dalam penguraian berbagai organisme yang terlarut maupun tersuspensi dalam suatu perairan. Jumlah bakteri yang meningkat akan berbanding lurus dengan peningkatan BOD akibat dari air buangan penduduk ataupun industri. Jika bakteri yang terkandung dalam suatu perairan jumlahnya tinggi, maka bakteri akan cenderung menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses penguraian. Hal itu akan berdampak pada kematian hewan air karena kekurangan oksigen dan menimbulkan bau menyengat akibat keadaan anerobik (Alaerts dan Santika, 1987).

2) COD (Chemical Oxygen Demand)

Merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasikan zat-zat organis yang ada dalam 1 liter sampel. Nilai COD adalah ukuran bagi pencemaran air yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air (Alaerts dan Santika, 1987).

3) DO (Dissolved Oxygen)

DO (Dissolved Oxygen) atau oksigen terlarut berasal dari hasil fotosintesis tumbuhan air yang keberadaannya vital bagi kehidupan flora dan fauna perairan. Oksigen terlarut menjadi faktor pembatas dalam kehadiran makhluk hidup dalam air dan penentu status mutu air (Sastrawijaya, 2009). Semakin banyak kandungan

(13)

13 oksigen terlarut dalam suatu perairan maka kemampuan air dalam proses pemurnian diri dari pencemaran akan semakin baik (Alaerts dan Santika, 1987). 4) pH

Air normal memiliki kisaran pH antara 6,5-7,5 agar memenuhi syarat untuk kelangsungan hidup biota air (Sunu, 2001). Nilai pH mempengaruhi proses bio-kimiawi perairan, contohnya proses nitrifikasi yang berhenti ketika pH dalam keadaan rendah. Selain itu juga pH mempengaruhi toksisitas dari senyawa kimia (Effendi, 2003).

5) Besi (Fe) dan Mangan (Mn)

Unsur besi (Fe) dan Mangan (Mn) pada umumnya selalu ada dalam perairan tetapi dengan kadar yang berbeda-beda (Karmono dan Cahyono, 1978). Fe dan Mn tergolong zat yang diperlukan oleh tubuh, namun dalam batas yang wajar. Kandungan besi dalam perairan dapat berasal dari logam-logam yang juga dapat meningkatkan kesadahan air sehingga mempercepat proses korosi dan kerak pada pipa saluran air minum. Air minum yang terkontaminasi logam akan mengandung racun dan berbahaya bagi tubuh jika dikonsumsi (Wardhana, 2001). 6) Amonia (NH3)

Amonia di dalam air permukaan berasal dari garam-garam hasil buangan manusia (air seni dan tinja) (Karmono dan Cahyono, 1978). Selain itu amoniak dapat berasal dari oksidasi zat organik secara mikrobiologis secara alamiah maupun hasil buangan industri dan penduduk (Alaerts dan Santika, 1987). 7) Sulfat (SO4)

Parameter kimia Sulfat memiliki sifat di mana ketika suatu perairan mengandung zat tersebut maka dapat mempengaruhi rasa air Sungai untuk konsumsi air minum. Rata-rata semua perairan mengandung Sulfat dengan jumlah yang bervariasi tergantung dari banyaknya pencemaran. Jika jumlah sulfat

(14)

14 melebihi baku mutu yang diperbolehkan, maka penggunaan air sungai khususnya untuk kegiatan domestik tidak boleh dilakukan. (Karmono dan Cahyono, 1978). 8) Klorida (Cl)

Unsur Klorida memiliki sifat yang hampir sama dengan Sulfat (SO4) yang berada di suatu perairan. Kloida tidak bersifat toksik bagi makhluk hidup, bahkan cenderung berperan dalam pengaturan tekanan osmotik sel. Meskipun demikian, adanya kadar Klorida dalam perairan tidak boleh melebihi 100 mg/liter jika pemanfaatan perairan tersebut sebagai pemenuh kebutuhan domestik, termasuk untuk air minum. (Effendi, 2003).

9) Nitrat (NO3)

Adanya kandungan nitrat di perairan yang masih didalam batas yang diperbolehkan, tidak akan berpengaruh pada kondisi kesehatan. Bagi orang dewasa, mengkonsumsi air yang tercemar nitrat tidak terlalu berdampak negatif. Tetapi hal itu akan berdampak pada bayi karena sistem kekebalan tubuh yang berbeda (Karmono dan Cahyono, 1978). Nitrat berasal dari limbah pertanian, khususnya limbah pupuk kimia yang langsung dibuang ke dalam sungai. Limbah pupuk tersebut bersifat menyuburkan sehingga dalam jangka waktu lama akan menyebabkan eutrofikasi pada sungai dan menghalangi proses masuknya cahaya ke dalam air (Alaerts dan Santika, 1984).

10) Fosfat (PO4)

Terdapat dalam air atau limbah sebagai senyawa orthofosfat, polifosfat dan fosfat-organis. Setiap senyawa fosfat tersebut terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme air. Fosfat berasal dari limbah domestik, industri dan pertanian (Effendi, 2003).

11) Tembaga (Cu)

Tembaga tergolong unsur yang cukup penting bagi biota air. Tembaga yang merupakan salah satu jenis logam berat yang terkandung dalam suatu

(15)

15 perairan dalam jumlah yang berbeda-beda. Bagi tumbuhan air, tembaga berperan sebagai penyusun plastocyanin yang berfungsi dalam mentransfer elektron dalam fotosintesis (Boney, 1989 dalam Effendi, 2003). Tingkat kelarutan ion tembaga berbeda-beda, beberapa ada yang mudah larut namun sebagian tembaga tidak dapat larut dalam air.

c. Parameter Biologi

Parameter biologi suatu perairan ditandai oleh kandungan Eschercia Coli. Adanya kandungan bakteri tersebut menjadi petunjuk terjadi pencemaran yang berasal dari hasil sisa manusia berupa tinja (Alaerts dan Santika, 1987). Bakteri

Coli dalam jumlah banyak tentu akan menurunkan kualitas air sungai akibatnya

air menjadi tidak layak dikonsumsi karena dapat menimbulkan penyakit bagi manusia.

1.5.4. Pencemaran

Pencemaran merupakan suatu keadaan yang menyimpang dari standar baku mutunya, dalam hal ini pencemaran yang dimaksud adalah pencemaran air (Wardhana, 2001). Awal mulanya air sungai berada dalam keadaan normal atau tidak tercemar. Pencemaran air mulai terjadi pada air sungai akibat dari masuknya bahan pencemar. Bahan pencemar yang masuk ke sungai dapat melalui berbagai cara, baik secara alamiah yang berasal dari fenomena alam seperti banjir, longsor lahan, dan gunung meletus maupun akibat dari aktivitas manusia seperti kegiatan industri, domestik dan urban (Effendi, 2003).

Indikator tercemarnya suatu perairan adalah terjadinya beberapa perubahan sifat fisik, kimia maupun biologi yang dapat di cek langsung di lapangan, seperti suhu, rasa, bau dan warna, pH, endapan serta populasi mikroorganisme (Wardhana, 2001). Perubahan-perubahan yang terjadi dapat menjadi pertanda bahwa dalam perairan sungai tersebut telah terjadi penurunan kualitas air.

(16)

16 Indikator pencemaran dapat terjadi akibat adanya komponen pencemar air. Komponen pencemar terdiri dari bahan-bahan yang dapat mempengaruhi kualitas dari air sungai itu sendiri. Beberapa komponen pencemar diantaranya (Wardhana, 2001).

a. Bahan Buangan Padat

Bahan buangan yang berbentuk solid ini terdiri dari berbagai macam ukuran dan tekstur. Bahan buangan padat yang berukuan besar cenderung bertekstur kasar dan mengendap di dasar. Bahan buangan padat yang berukuran lebih kecil dan bertekstur halus sebagian ada yang larut dalam air sedangkan sebagian lagi tidak dapat larut namun juga tidak dapat mengendap sehingga akan mengganggu fotosintesis.

b. Bahan Buangan Organik dan Anorganik

Bahan buangan organik merupakan limbah yang sifatnya dapat terurai dalam air akibat proses pembusukan yang dilakukan oleh organisme air sehingga limbah organik cenderung digunakan dalam pembuatan pupuk. Limbah organik yang dibuang ke sungai akan memberi dampak negatif karena akan memicu pertumbuhan ganggang serta populasi mikroorganisme penyebab eutrofikasi.

Bahan buangan anorganik memiliki sifat yang bertolak belakang dengan bahan buangan organik. Bahan buangan anroganik sifatnya tidak mudah terdegradasi dan membusuk dalam air. Bahan buangan anroganik pada umumnya berupa limbah logam industri kimia elektronik ataupun kimia yang cukup berbahaya jika terkontaminasi.

c. Bahan Buangan Olahan Bahan Makanan

Bahan buangan olahan bahan makanan sebenarnya sifatnya serupa dengan bahan buangan organik, namun yang membedakannya bahan buangan olahan bahan makanan ini memiliki bau yang lebih menyengat karena mengandung protein dan gugus amin. Air sungai yang tercemar limbah ini akan mengalami

(17)

17 peningkatan mikroorganisme bahkan bakteri patogen sehingga air tidak dapat dikonsumsi.

d. Bahan Buangan Cairan Berminyak

Berat jenis minyak lebih rendah dari pada berat jenis air sehingga limbah minyak akan menutupi permukaan sungai. Minyak mengandung senyawa volatil yang dapat menguap dan menyusut jumlah minyak dipermukaan, tetapi tergantung jenis minyaknya. Selain itu, proses penguapan terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama. Air sungai yang terkontaminasi minyak akan mengurangi kadar oksigen terlarut dalam air dan mengganggu siklus kehidupan biota air. e. Bahan Buangan Zat Kimia

Bahan buangan zat kimia rumah tangga seperti sabun, deterjen, pembersih lantai sampo, dan insektisida apabila langsung dibuang ke sungai tanpa adanya pengolahan akan menimbulkan racun yang mematikan bagi biota air. Selain itu air sungai menjadi tidak layak untuk dikonsumsi bagi manusia.

1.5.5. Baku Mutu Air

Pengujian kualitas air akan menggambarkan mutu air yaitu keadaan kualitas air berdasarkan parameter dan metode tertentu sehingga mutu air akan menghasilkan suatu baku mutu air yang terbagi-bagi ke dalam beberapa kelas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), baku mutu air merupakan suatu ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau batas kadanya unsur pencemar di dalam air. Baku mutu air menjadi pedoman dalam menentukan peruntukkan suatu perairan sesuai dengan kelas-kelas yang telah ditetapkan. Adapun klasifikasi pengkelasan mutu air adalah sebagai berikut (Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008).

a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

(18)

18 b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

1.5.6. Status Mutu Air

Penentuan status mutu air berkaitan dengan baku mutu air di mana status mutu air menggambarkan kondisi perairan dari pencemaran. Status mutu air dilakukan dengan membandingkan dengan baku mutu air sehingga diketahui tingkat pencemaran ringan, sedang, berat atau dalam kondisi tidak tercemar (kondisi baik) (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001).

Penentuan status mutu air dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode Indeks Pencemaran (IP) dan STORET (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003). Kedua metode tersebut merupakan metode dalam penentuan status mutu air yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian terkait dengan kualitas air. Baik Metode Indeks Pencemaran (IP) maupun STORET memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing.

Kelebihan metode Indeks Pencemaran (IP) dapat diterapkan pada data kualitas air yang bersifat tunggal sehingga dalam pengambilan data tidak perlu dilakukan secara time series. Adanya pembatasan waktu dalam metode ini disebabkan pencemaran air merupakan masalah yang menyangkut berbagai hal sehingga banyak faktor yang akan terjadi fluktuatif kualitas air dalam waktu singkat (Pradhana, Sutrisno, Nugraha, 2014).

(19)

19 1.5.7. Debit Aliran

Debit merupakan jumlah air yang mengalir di dalam saluran atau sungai per unit waktu. Debit diperoleh berdasarkan hasil perkalian antara luas penampang vertikal sungai dengan kecepatan aliran air (Rahayu, dkk., 2009). Satuan debit pada umumnya adalah m3/detik atau liter/detik (Asdak, 2001). Kecepatan aliran sungai pada suatu penampang sungai tidaklah sama, sebab kecepatan aliran tergantung pada bentuk aliran, geometri sungai dam faktor fisik lainnya dari sungai. Debit aliran berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air, seperti mengetahui besarnya kuantitas air sungai yang juga terakit dengan kualitas air agar dikemudian hari dapat dioptimalkan sebagai sumber air (Hadi, dkk., 2013).

1.6. Penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang kualitas air baik itu air permukaan maupun air tanah telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Hal itu mempermudah peneliti dalam memperoleh referensi sebagai acuan dalam penelitian kualitas air Sungai Konteng. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan kualitas air disusun dalam bentuk skripsi, tesis, dan jurnal-jurnal publikasi di mana antara penelitian yang satu dengan yang lain memiliki perbedaannya masing-masing. Perbedaan yang dimaksud dalam penelitian-penelitan sebelumnya yaitu terletak pada daerah kajian, tujuan, dan metode. Perbedaan penelitian kualitas air yang dilakukan oleh peneliti dengan penelitian terdahulu terletak pada daerah kajian.

Peneliti memilih lokasi kajian yaitu Sungai Konteng yang merupakan sungai yang terletak di Kabupaten Sleman. Hulu sungai berada di sekitar Desa Bangunkerto, Kecamatan Turi dan hilirnya berada di sekitar Desa Balecatur, Kecamatan Gamping. Pemilihan Sungai Konteng sebagai daerah kajian karena Sungai Konteng dijadikan sumber air baku untuk air minum bagi masyarakat sekitar, namun adanya pertambahan jumlah penduduk diduga kualitas air juga mengalami penurunan. Hal itu tentu berdampak bagi kesehatan masyarakat jika terbukti terjadi penurunan kualitas air sungai dari baku mutu yang ditetapkan.

(20)

20 Selain itu, daerah kajian Sungai Konteng merupakan daerah yang jarang diteliti, khususnya terkait kualitas air.

Berikut adalah beberapa penelitian sebelumnya terkait kualitas air yang dijadikan acuan juga pembanding dalam penelitian ini.

(21)

21 No. Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode

Penelitian

Hasil Penelitian

1 Imrotushsoolikhah 2013 Kajian Kualitas Air Sungai Code Provinsi D.I. Yogyakarta

1) Menganalisis kualitas Sungai Code secara fisik dan kimia 2) Membandingkan kualitas air Sungai Code sebelum dan pasca erupsi Merapi 2010 berdasarkan parameter pH, Sulfida, dan besi total

3) Menganalisis kerugian ekonomi dan mengetahui persepsi terhadap sungi darimasyarakat yang memanfaatkan air sungai untuk irigasi pertanian dan perikanan keramba

1) Survei lapangan 2) Purposive Sampling

1) Parameter DO, BOD, COD dan nitrat tidak memenuhi baku mutu air kelas I di beberapa lokasi. Kekeruhan, fosfat, sulfida hampir diseluruh lokasi tidak memenuhi baku mutu air. Terjadinya penurunan baku mutu akibat dari limbah dan erupsi Merapi 2010. 2) 5 genus Makrozoobenthos mengalami penurunan yang dipengaruhi oleh suhu, kecepatan arus dan DO

3) Pendapatan masyaakat dari sawah dan perikanan keramba sungai pasca banjir lahar dingin menurun antara Rp. 500.000,00 – Rp. 2.000.000,00/responden/panen. Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya Terkait Kualitas Air Yang Dijadikan

(22)

22 No. Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode

Penelitian

Hasil Penelitian

2 Okta Rama Sari 2009 Kajian Pencemaran Sungai Pesing Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul

1) Mengkaji kualitas air Sungai Pesing dan tingkat pencemaran yang terjadi berdasar PP RI No. 82 Tahun 2001 untuk perikanan, peternakan dan irigasi (kelas 2) 1) Survei lapangan 2) Purposive Sampling 3) Metode Indeks Pencemaran (IP) untuk analisis tingkat pencemaran

1) Status mutu air berdasar metode IP diperoleh dua hasil, yaitu kondisi baik (sampel I) dan tercemar ringan (sampel II-VII) 2) Nilai kualitas air yang melebihi baku mutu air kelas 2 yaitu coli tinja > 2400 MPN/100 ml

3) Parameter-parameter kualitas air yang lain di bawah ambang batas baku mutu air kelas 2

3 Dyah Utami Prikasari

2013 Variasi Kualitas Air Sungai GajahWong dan Faktor yang Mempengaruhinya

1) Mengetahui variasi kualitas air Sungai Gajah Wong 2) Mengkaji faktor-faktor yang 1) Purposive Sampling 2) Observasi lapangan 3) Wawancara

1) Variasi kualitas air Sungai Gajah Wong terdapat parameter telah melebihi baku mutu air kelas II yaitu DO, BOD, COD dan e-colli.

Lanjutan Tabel 1.1. Lanjutan Tabel 1.1.

(23)

23 mempengaruhinya 4) Teknik

analisis deskriptif

2) Faktor-faktor yang

mempengaruhi kualitas air adalah berbagai limbah, baik itu limbah domestik, limbah pertanian , industri, dll.

4 Mega Dwi Antoro 2014 Studi Perubahan Kualitas Air di Sungai Progo Bagian Hilir D.I.Yogyakarta Tahun 2009-2013

1) Mengetahui kondisi kualitas air dan status mutu air di Sungai Progo bagian Hilir DIY secara time series dari tahun 2009-2013 1) Purposive Sampling 2) Analisis Kuantitatif 3) Analisis deskriptif

1) Kualitas air tahun 2013 yang tidak sesuai dengan baku mutu kelas II sesuai dengan Peraturan Gubernur DIY Nomor 20 tahun 2008 adalah DO, BOD, dan Fosfat. Sungai Progo bagian hilir mengalami penurunan kualitas air secara berkala dari tahun 2009-2013.

5 Yuyun Hanifah 2016 Kajian Kualitas Air Sungai Konteng Sebagai Sumber Air Baku PDAM Unit Gamping, Kabupaten Sleman

1) Mengetahui kondisi kualitas air Sungai Konteng

2) Menganalisis tingkat kesesuaian air Sungai Konteng sebagai

1) Purposive Sampling 2) Observasi lapangan 3) Analisis Deskriptif

1) Parameter yang sesuai dengan baku mutu kelas I adalah pH, BOD, COD, Amonia (NH3), Sulfat (SO4), Klorida (Cl), Besi (Fe), Mangan (Mn) dan Lanjutan Tabel 1.1.

(24)

24 sumber air baku air

minum berdasarkan baku mutu air minum yang telah ditetapkan 3).Mengetahui tingkat pencemaran Sungai Konteng

Tembaga (Cu), Nitrat (NO3) dan Fecal Coliform khusus di musim penghujan, sedangkan parameter kekeruhan, TSS, DO, dan Fosfat (PO4) melampaui batas yang ditetapkan dalam baku mutu kelas I sesuai dengan Peraturan Gubernur DIY Nomor 20 Tahun 2008.

2) Penggunaan air Sungai Konteng sebagai sumber air baku PDAM Unit Gamping kurang sesuai jika digunakan sebagai air minum. Sebab status mutu air Sungai Konteng tergolong tercemar. Bagi parameter yang masih melampaui baku mutu air Kelas I perlu dilakukan treatment tertentu agar nilainya dapat sesuai dengan baku Lanjutan Tabel 1.1.

(25)

25 mutuair Kelas I.

3) Tingkat pencemaran Sungai Konteng pada musim kemarau adalah cemar ringan (titik sampel 2,4,5 dan 6) hingga cemar sedang (titik 3) sedangkan pada musim penghujan adalah cemar ringan (titik sampel 1-6)

(26)

26 1.7. Kerangka Pemikiran

Air adalah bagian dari kehidupan makhluk hidup, bagi manusia air merupakan hal pokok yang kebutuhannya wajib tercukupi. Air permukaan maupun air tanah merupakan sumberdaya air yang harus dijaga kondisinya baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Air sungai tergolong ke dalam air permukaan yang merupakan salah satu sumber dari sumberdaya air yang masih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Sungai Konteng merupakan salah satu sungai di Kabupaten Sleman yang masih digunakan oleh masyarakat sebagai sumber air baku yang dikelola oleh PDAM Unit Gamping.

Peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Sleman tentunya akan berbanding lurus dengan kebutuhan masyarakatnya dalam memperoleh sumber air untuk sehari-hari yang tak hanya sebagai pemenuh kebutuhan domestik, pertanian, tetapi juga air minum. Sisi lain terjadinya peningkatan jumlah penduduk adalah jumlah limbah yang meningkat akibat aktivitas manusia yang juga meningkat. Apabila tidak terdapat pengelolaan limbah yang benar maka pembuangan limbah berpotensi mencemari sungai.

Pembuangan limbah langsung ke dalam sungai tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu akan mempercepat proses penurunan kualitas air sungai. Penurunan kualitas air sungai, secara fisik dapat ditandai dengan terjadinya perubahan warna, bau dan rasa air akibat terkontaminasi oleh limbah buangan. Secara kimia, air sungai akan mengandung zat-zat bahkan logam berbahaya yang apabila air sungai dikonsumsi sebagai air minum maka dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan penyakit yang serius bagi masyarakat. Secara biologi dapat diamati terjadinya eutrofikasi jika air sungai terkontaminasi limbah pertanian, selain itu juga terjadi peningkatan jumlah bakteri e-coli.

Untuk lebih jelas, berikut adalah bagan kerangka pemikiran yang dibuat berdasarkan teori-teori yang ada dalam tinjauan pustaka.

(27)

27 Gambar 1.2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

Jumlah penduduk di Kabupaten Sleman meningkat Aktivitas penduduk meningkat Kebutuhan air minum meningkat Perubahan penggunaan lahan

Sungai Konteng Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Pencemaran

Kadar Parameter Kualitas Air

Sesuai dengan baku mutuair kelas I

Tidak sesuai dengan baku mutuair kelas I

Layak dikonsumsi sebagai air baku

(air minum) Tidak layak dikonsumsi sebagai air minum Pembuangan limbah meningkat Dapat dimanfaatkan sesuai dengan kelasnya

(28)

28 1.8. Batasan Istilah

Air permukaan : Air yang berada di sungai, danau,waduk, rawa, dan badan air lain, yang tidak mengalami infiltrasi ke bawah (Effendi, 2003).

Sungai : Air yang masuk ke dalam sungai berasal air hujan yang jatuh ke bumi yang kemudian bergerak dari tempat yang memiliki topografi tinggi menuju topografi yang rendah (Kordi dan Tancung, 2005)

Kualitas air : Sifat air yang memiliki kandungan makhluk hidup, zat energi atau komponen lain dalam air (Effendi, 2003). Pencemaran air : Masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,

dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan tidak lagi berfungsi sesuai dengan peruntukkannya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air).

Mutu air : Kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air). Baku Mutu Air : Batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau

komponen lain yang ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam air pada sumber air tertentu sesuai dengan peruntukannya (Peraturan Gubernur DIY Nomor 20 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Air).

Status mutu air : Tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air

(29)

29 yang ditetapkan (Peraturan Gubernur DIY Nomor 20 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Air).

Air Minum : Air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum)

(30)

30 BAB II

METODE PENELITIAN

2.1. Lokasi Penelitian

Sungai Konteng bagian hilir menjadi sumber air minum bagi masyarakat sekitar yang dikelola oleh Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) Unit Gamping, Sleman. Hal itu menjadi masalah karena berdasarkan laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Sleman Tahun 2012 yang dikeluarkan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi DIY kualitas air Sungai Konteng tergolong ke dalam kelas dua (II), di mana pemanfaatannya bukan sebagai air minum melainkan pertanian, perikanan, industri, dan lain sebagainya. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa air sungai tersebut digunakan sebagai sumber air baku air minum. Apabila hasil pengujian kualitas air Sungai Konteng masih masuk ke dalam kelas yang sama (kelas II) atau malah terjadi penurunan kelas (kelas III atau IV) tentu akan menimbulkan masalah bagi kesehatan masyarakat baik dalam jangka panjang maupun pendek.

Pemanfaatan Sungai Konteng tidak hanya sebatas air minum melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan domestik, industri, pertanian, dan peternakan. Kegiatan-kegiatan tersebut tentu akan menghasilkan limbah yang berpeluang mencemari sungai apabila tidak ada pengolahan terlebih dahulu. Disamping itu, adanya Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di tepi sungai dapat mempengaruhi kondisi kualitas air Sungai. Tidak adanya bak penampung air lindi dari sampah akan menyebabkan air lindi tersebut masuk dan mencemari Sungai Konteng.

Pemilihan Sungai Konteng sebagai daerah kajian dilatarbelakangi oleh masalah pemanfaatan air sungai yang tidak sesuai dengan baku mutu air untuk air minum. Daerah kajian penelitian ini adalah Sungai Konteng yang secara administrasi, mengalir dari Desa Bangunkerto, Kecamatan Turi hingga Desa

(31)

31 Balecatur, Kecamatan Gamping di mana lokasi pengambilan sumber air sebagai air baku dilakukan. Hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.1. Daerah kajian Sungai Konteng merupakan obyek kajian yang jarang diteliti, khususnya terkait kualitas air. Adanya penelitian kualitas air Sungai Konteng diharapkan akan memberikan informasi kepada masyarakat sekitar yang mengkonsumsi air Sungai Konteng.

(32)

32 Gambar 2.1. Peta Lokasi Kajian Penelitian (Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2015)

(33)

33 2.2. Alat dan Bahan

2.2.1. Alat

a. Software Arcgiss 10.1, untuk membuat peta Sungai Konteng, peta lokasi sampel, peta penggunaan lahan, dan peta kualitas air.

b. Botol sampel, sebagai wadah sampel air sungai yang diambil pada titik-titik yang telah ditentukan.

c. Kotak penyimpanan sampel air, sebagai tempat untuk meletakkan botol-botol sampel air sungai.

d. EC meter, untuk mengukur Daya Hantar Listrik (DHL) air sungai di lapangan.

e. pH meter, untuk mengukur kandungan pH air sungai saat di lapangan. f. Pelampung, untuk mengukur kecepatan aliran sungai.

g. Global Position System (GPS), untuk menunjukkan dan menandai titik lokasi pengambilan sampel air berdasarkan koordinat.

h. Meteran, untuk mengukur panjang sungai, lebar sungai dan kedalaman sungai.

i. Yallon/bambu, sebagai alat bantu untuk membagi sungai menjadi

beberapa segmen.

j. Kamera, untuk mendokumentasikan kegiatan lapangan. k. Alat tulis, untuk mencatat hasil pengukuran data lapangan.

l. Checklist lapangan, untuk memudahkan dalam pengumpulan data.

2.2.2. Bahan

a. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lembar Sleman dan Yogyakarta Skala 1 : 25000, sebagai dasar untuk membuat peta Sungai Konteng dan peta tematik lainnya.

(34)

34 2.3. Metode Penelitian dan Pengambilan Sampel

Penelitian ini dilakukan dengan metode survei lapangan yaitu dengan mengumpulkan informasi dan melakukan pengukuran dari sebagian populasi untuk mewakili seluruh populasi. Selain itu penelitian juga dilakukan dengan metode observasi yaitu mengamati keadaan di lapangan seperti penggunaan lahan sebagai sumber pencemar yang mempengaruhi kualitas air. Penelitian yang dilakukan berdasarkan studi lapangan akan membentuk pemahaman terkait permasalahan yang ada di daerah penelitian, sehingga dalam proses pengambilan sampel air berada pada lokasi atau titik yang tepat.

Pengambilan sampel air sungai dilakukan dengan metode purposive

sampling yaitu dengan mempertimbangkan titik atau lokasi pengambilan sampel

berdasarkan adanya perubahan kualitas air. Metode ini dilakukan dengan cara memilih sampel air diantara populasi dengan mempertimbangkan aspek kesamaan sifat dan karakteristik serta kesamaan ciri dan kriteria.

Pemilihan lokasi sampel mempertimbangkan adanya perubahan penggunaan lahan dan adanya sumber pencemar yang masuk ke dalam Sungai Konteng. Perbedaan penggunaan lahan dapat menunjukkan pencemaran yang berbeda-beda pada masing-masing titik, tentunya juga dipengaruhi oleh sumber pencemar di sekitar sungai yang limbahnya berpotensi mencemari perairan. Atas dasar tersebut, dipilihlah 6 titik sebagai lokasi pengambilan sampel air yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Pengambilan sampel dilakukan pada kedua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Hal ini bertujuan agar hasil dari kedua musim tersebut dapat dibandingkan kualitasnya. Selain terkait kebijakan dalam pemilihan waktu pemanfaatan air sungai, dengan membandingkan dua musim nantinya dapat diketahui pula terkait kemampuan self purification Sungai Konteng.

(35)

35 Gambar 2.2. Peta Lokasi Titik Pengambilan Sampel Air (Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2016)

(36)

36 2.4. Data Yang Dikumpulkan

Penelitian yang mengkaji kualitas air Sungai Konteng ini memerlukan sejumlah data yang diperoleh dari berbagai sumber, diantaranya sebagai berikut. a. Data Primer

Merupakan data yang diambil dan dilakukan pengukuran dari sumbernya secara langsung oleh peneliti di lapangan. Selain itu data ini juga merupakan data utama yang harus ada dalam penelitian. Adapun data yang dimaksud adalah:

1) Data Kualitas Air Sungai Konteng hanya meliputi parameter fisik: suhu, rasa, bau, warna, kecerahan, dan Daya Hantar Listrik (DHL), TSS, dan TDS.

2) Data kecepatan aliran Sungai Konteng

3) Sampel air untuk uji laboratorium yang meliputi data kualitas air dari segi parameter kimia: pH, BOD, COD, DO, Besi (Fe), Mangan (Mn), Nitrat (NO3), Amoniak (NH3), Sulfat (SO4), Klorida (Cl), Fosfat (PO4), Tembaga (Cu), dan Fecal Coliform untuk parameter biologi.

b. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian tergolong ke dalam hasil pengolahan pihak lain, dalam hal ini pengolahan data dilakukan oleh instansi terkait. Data sekunder ini berfungsi sebagai data pendukung penelitian. Adapun data yang digunakan yaitu:

1) Data Penduduk Kabupaten Sleman Tahun 2010-2013

2) Data Curah Hujan yang mewakili Kabupaten Sleman dalam kurun waktu 11 tahun terakhir

(37)

37 2.5. Teknik Pengambilan Data

Proses pengambilan data lebih difokuskan dalam pengambilan data primer sebab pengambilan data primer telah ditentukan waktunya, yaitu musim kemarau dan penghujan. Pengambilan data primer dikedua musim tersebut bertujuan agar dapat dibandingkan kualitas airnya pada periode musim kering dan basah. Pengambilan data pada musim kemarau dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2015 dan musim penghujan pada tanggal 25 Maret 2016. Adapun teknik pengambilan data primer dan sekunder dijelaskan sebagai berikut.

a. Pengukuran Debit Sungai

Debit sungai adalah volume air yang mengalir melalui suatu luas penampang melintang sungai per satuan waktu (m3/detik) (Asdak, 2002). Metode yang digunakan dalam pengukuran debit sungai adalah metode velocity area yang terbagi menjadi dua cara yaitu dengan menggunakan current meter dan pelampung. Melihat karakteristik dari Sungai Konteng di mana pada kondisi musim kemarau kecepatan aliran sungai cenderung rendah sehingga digunakan pelampung sebagai alat pengukurnya.

Selain pengukuran debit sungai dengan metode velocity area, digunakan juga metode slope area. Pengukuran kecepatan aliran dengan metode manning ini dilakukan pada bagian hulu. Hal itu disebabkan oleh kondisi morfometri Sungai Kontng yang cenderung sempit dan memiliki kecepatan aliran yang sangat rendah sehingga tidak tampak mengalir. Proses pengukuran debit sungai ini adalah proses pengukuran dan perhitungan kecepatan dan lebar aliran serta perhitungan luas penampang basah pada tiap-tiap segmen yang kemudian di total.

b. Pengambilan Sampel Air Sungai Konteng

Pengambilan sampel di bagian hulu didasarkan atas pertimbangan sumber pencemar daerah ini masih sedikit. Penggunaan lahan daerah hulu sebagian besar masih di dominasi oleh semak belukar dan sawah irigasi, untuk permukiman tidak

(38)

38 terlalu banyak sehingga limbah yang dihasilkan tidak terlalu bervariatif. Kondisi di bagian hulu akan berpengaruh pada kondisi di bagian hilir Sungai Konteng.

Pengambilan sampel di bagian tengah didasarkan pada banyaknya sumber pencemar yang masuk ke dalam sungai, baik berupa industri, pertanian dan permukiman yang jumlahnya lebih banyak dibanding bagian hulu. Pengambilan sampel di bagian hilir juga didasarkan atas sumber pencemar yang semakin banyak jumlahnya. Hilir Sungai Konteng juga merupakan lokasi pengambilan air sungai untuk sumber air minum masyarakat sekitar. Sumber pencemar yang dicurigai mencemari sungai sehingga berpengaruh terhadap kualitas air Sungai Konteng yang digunakan untuk air minum.

Penggunaan lahan yang bervariasi di hulu Sungai Konteng yang meliputi permukiman, sawah irigasi, perikanan, pabrik tekstil, dan industri rumah tangga. Disamping itu adanya Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di pinggir sungai juga dapat menyumbang pencemaran akibat air lindi yang langsung masuk ke dalam sungai tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu.

c. Pengambilan data sekunder

Pengambilan data sekunder dilakukan dengan mengurus perijinan untuk penelitian, yang kemudian mengajukan permohonan data kepada instansi-instansi yang menyediakan data terkait penelitian kualitas air Sungai Konteng ini. Beberapa data sekunder juga diperoleh dengan mengunduh dari website resmi instansi yang juga menyediakan data tersebut. Instansi-instansi tersebut adalah Badan Lingkungan Hidup (BLH) DIY, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) DIY, dan Badan Pusat Statistik (BPS) DIY.

2.6. Teknik Pengolahan Data

a. Status Mutu Air

Data yang telah diperoleh baik itu data primer dan data sekunder, dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam proses analisis

(39)

39 data. Data kualitas air yang diperoleh dari hasil analisis laboratorium kemudian variabel-variabel tersebut diolah dengan metode status mutu air yaitu Metode Indeks Pencemaran (IP). Metode IP dilakukan dengan membandingkan data kualitas air dengan parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air sesuai dengan peruntukkannya (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003). Hasil dari membandingkan tersebut akan diklasifikasikan ke dalam empat kelas untuk menentukan status mutu airnya. Berikut adalah klasifikasi terhadap nilai Indeks Pencemaran (IP):

0 ≤ IPj ≤ 1,0  Memenuhi baku mutu (kondisi baik) 1,0 < IPj ≤ 5,0  Cemar Ringan

5,0 < Ipj ≤ 10  Cemar Sedang Ipj > 10  Cemar Berat

Tahap pertama dalam menentukan status mutu air menggunakan metode Indeks Pencemaran (IP) adalah dengan menghitung nilai Ci/Lij, yaitu;

Cij  nilai hasil pengukuran parameter kualitas air yang diuji

Lij  nilai baku mutuair dari parameter kualitas air tersebut, baku mutuair mengacu pada Peraturan Gubernur DIY Nomor 20 Tahun 2008

Lalu ketika nilai Ci/Lij hasilnya >1 maka dihitung nilai Ci/Lij baru dengan persamaan 1,0 + P.log (Ci/Lij), P merupakan konstanta dan nilainya ditentukan secara bebas dan menyesuaikan hasil pengamatan lingkungan dan atau pesyaratan yang dikehendaki untuk suatu peruntukan (biasanya digunakan nilai 5) (Kepmen LH Nomor 115 Tahun 2003).

Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan tingkat pencemaran meningkat, misal pada parameter DO. Kemudian menentukan nilai teoritik atau nilai maksimum Cim, jika contohnya pada DO maka nilai Cim adalah nilai DO jenuh. Berikut adalah rumus yang digunakan.

(Ci/Lij)baru = Cim−Ci (ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛)

(40)

40 Jika nilai baku Lij memiliki rentang, seperti nilai pH dan suhu maka untuk Ci ≤ Lij rata-rata dihitung dengan persamaan:

(Ci/Lij)baru = [𝐶i−(Lij)𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎]

{(Lij)𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚−(Lij)𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎} ... (2) Setelah diperoleh nilai Ci/Lij untuk semua parameter, tahap selanjutnya adalah menghitung nilai Indeks Pencemaran (Pij). Mula-Mula dengan mencari nilai rata-rata ((Ci/Lij)R) dan nilai maksimum ((Ci/Lij)M) dari keseluruhan Ci/Lij. Kemudian menentukan nilai Pij dengan rumus sebagai berikut.

Pij =

(Ci Lij⁄ )

2M+(Ci Lij )2R

2

... (3) Hasil Pij kemudian di sesuaikan berdasarkan klasifikasi IP untuk

menentukan kondisi pencemarannya. b. Debit Aliran

Pengolahan data debit sungai dengan Metode Slope Area (Manning), memiliki rumus sebagai berikut.

Q = (AR2/3 x S1/2) / n ... (4)

Keterangan:

Q: Debit Sungai (m3/detik) A: Luas penampang basah (m2) R: Radius Hydraulic (m)

S: Kemiringan Sungai n: Koefisien Manning

Pengolahan data debit sungai dengan Metode Velocity Area dengan menggunakan pelampung, memiliki rumus perhitungan sebagai berikut.

(41)

41 Keterangan:

Q: Debit Sungai (m3/detik) A: Luas penampang basah (m2) k: Koefisien pelampung

U: Kecepatan pelampung (m/dt)

2.7. Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode kuantitatif deskriptif. Analisis data dengan metode ini lebih cenderung kepada penjelasan dan penjabaran terkait faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dari kualitas air Sungai Konteng. Data primer parameter kualitas air yang telah diolah sebelumnya kemudian dianalisis, baik itu parameter fisik, kimia maupun biologi. Analisis data nilai parameter kualitas air yang diambil pada suatu titik pengambilan, kemudian dilakukan uji laboratorium dianalisis hasilnya dengan membandingkan sampel tersebut dengan sampel lainnya. Selain itu nilai parameter kualitas air hasil pengolahan dengan metode IP juga dianalisis dengan metode analisis kuantitatif untuk penentuan status mutu air Sungai Konteng. Analisis data primer dapat diperkuat dengan data sekunder yang telah dikumpulkan agar hasilnya lebih akurat.

Data debit sungai berhubungan dengan analisis kualitas air, karena kualitas air juga dipengaruhi besar kecilnya debit sungai. Ketika debit sungainya besar, maka kualitas airnya akan cenderung baik. Sebaliknya ketika debit sungainya rendah maka kualitas airnya berpeluang buruk. Analisis kualitas air dapat disajikan dalam bentuk diagram agar dapat terlihat trend dan nilai maksimum/minimum hasil penelitian kualitas air Sungai Konteng.

2.8. Diagram Alir

Berikut ini adalah diagram alir metode penelitian (Gambar 2.3.) agar mempermudah dalam memahami.

(42)

42 BAB III

Gambar 2.3. Diagram Alir Penelitian Keterangan:

Input Proses Output

Status Mutu Air

Mengukur kecepatan aliran dengan Pelampung

Q = k x U x A Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 25000

Lembar Sleman dan Yogyakarta

Peta Lokasi Sampel Peta Sungai Konteng

Pengambilan Sampel

Parameter fisik (suhu, rasa, bau, DHL) dan parameter kimia (pH)

Pengukuran langsung di lapangan

Uji Laboratorium

Parameter fisik (warna,

kekeruhan, TDS, TSS), parameter kimia (pH, BOD, COD, DO, NO3, amonia, Fe, Mn, Cl, SO4, Cu) & biologi (Fecal Coliform)

Data Kualitas Air

Metode IP Baku mutu kelas I (Pergub DIY No 20 Tahun 2008) Mengukur debit aliran sungai Mengukur kecepatan aliran dengan Manning Q = (AR2/3 x S1/2) / n

Menganalisis data kualitas air dengan data debit aliran

Menganalisis tingkat kelayakan air Sungai Konteng sebagai sumber air baku

(43)

43 BAB III

DESKRIPSI WILAYAH

3.1. Letak, Luas dan Batas

Objek kajian penelitian merupakan Sungai Konteng yang merupakan salah satu sungai yang melintasi Kabupaten Sleman. Sungai Konteng adalah salah satu sub DAS Progo dengan luas mencapai 110,8331 km2. Wilayah Kabupaten Sleman, secara absolut terletak pada 110o15’13” sampai dengan 110o33’00” Bujur Timur dan 7o34’51” sampai dengan 7o47’03”.

Luas wilayah Kabupaten Sleman adalah sekitar 574,82 km2 yang terdiri dari 17 kecamatan, 86 desa dan 1.212 padukuhan yang terbagi menjadi beberapa luasan. Beberapa kecamatan di Kabupaten Sleman menjadi wilayah yang dilalui oleh Sungai Konteng adalah Kecamatan Turi, kemudian melewati sebagian wilayah Kecamatan Tempel, Sleman, Seyegan, Mlati, Godean dan Gamping (Tabel 3.1.).

Tabel 3.1. Pembagian Wilayah Sebagian Kabupaten Sleman

Kecamatan Desa Luas Area (km2)

Seyegan Margoluwih Margodadi Margomulyo Margoagung Margokaton 5,00 6,11 5,19 5,18 5,15 Godean Sidorejo Sidoluhur Sidomulyo Sidoagung Sidokarto Sidoarum Sidomoyo 5,44 5,19 2,50 3,32 3,64 3,73 3,02 Gamping Balecatur Ambarketawang Banyuraden 9,86 6,28 4,00

(44)

44 Nogotitrto Trihanggo 3,49 5,62 Mlati Tirtoadi Sumberadi Tlogoadi Sendangadi Sinduadi 4,97 6,00 4,82 5,36 7,37 Sleman Caturharjo Triharjo Tridadi Pandowoharjo Trimulyo 7,44 5,78 5,04 7,27 5,79 Tempel Banyurejo Tambakrejo Sumberrejo Pondokrejo Mororejo Margorejo Lumbungrejo Merdikorejo 4,82 3,26 2,92 3,27 3,37 5,39 3,33 6,13 Turi Bangunkerto Donokerto Girikerto Wonokerto 7,03 7,41 13,07 15,58

Titik sampel 1 Sungai Konteng berada di Desa Bangunkerto, Kecamatan Turi yang memiliki ketinggian >100 mdpal. Kemudian mengalir ke arah Selatan menuju Desa Margorejo, Kecamatan Tempel pada ketinggian 100-999 mdpal. Sungai Konteng menjadi pemisah antara dua desa di Kecamatan Sleman yaitu Desa Caturharjo dan Triharjo. Lalu di Kecamatan Mlati Sungai Konteng melewati Desa Sumberadi hingga Kecamatan Godean yaitu Desa Sidomoyo, Sidoarum dan Sidokarto. Ketiga kecamatan yaitu Sleman, Godean, Mlati berada pada ketinggian yang sama 100-499 mdpal, namun sebagai Kecamatan Godean ada yang berada pada ketinggian <100 mdpal. Sedangkan titik sampel 6 berada di wilayah Kecamatan Gamping tepatnya di Desa Balecatur di mana di lokasi ini yang dicurigai memiliki pencemaran paling tinggi. Sebagian wilayah Kecamatan Gamping berada pada ketinggian yang cukup rendah yaitu <100 mdpal, dan sebagian lagi berada pada ketinggian 100-499 mdpal.

Lanjutan Tabel 3.1.

(45)

45 Sungai Konteng berbatasan langsung dengan desa lain yang masih berada dalam Kabupaten Sleman.

Sebelah Utara : Desa Wonokerto, Desa Merdikorejo, Desa Bangunkerto Sebelah Timur : Desa Trimulyo, Desa Triharjo, Desa Sumberadi, Desa

Sidomoyo, Desa Tirtoadi, Desa Sidoarum Sebelah Selatan : Desa Balecatur

Sebelah Barat : Desa Sidokarto, Desa Margoluwih, Desa Tirtoadi, Desa Margomulyo, Desa Caturharjo, Desa Margorejo.

Berikut ini adalah Gambar 3.1. yang merupakan lokasi kajian daerah penelitian yaitu Sungai Konteng yang melintas di Kabupaten Sleman.

(46)

46 Gambar 3.1. Lokasi Kajian Sungai Konteng di Kabupaten Sleman (Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2015)

(47)

47 3.2. Kondisi Klimatologis

Wilayah Kabupaten Sleman memiliki beberapa stasiun hujan yang lokasinya dekat dengan Sungai Konteng yaitu Stasiun Hujan Godean, Stasiun Hujan Patukan, Stasiun Hujan Seyegan, dan Stasiun Hujan Tempel. Berdasarkan keempat stasiun hujan pada Tabel 3.2., tipe iklimnya adalah golongan C atau beriklim basah. Tipe iklim tersebut diperoleh melalui pengklasifikasian tipe iklim Schmidt-Ferguson berdasarkan adanya bulan basah dan bulan kering.

Tabel 3.2. Tipe Iklim di Sekitar Lokasi Kajian

Nama stasiun hujan Q Tipe Iklim

Stasiun Godean 0,42 Agak basah

Stasiun Patukan 0,447 Agak basah

Stasiun Seyegan 0.43 Agak basah

Stasiun Tempel 0,437 Agak basah

(Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2016)

Berikut ini adalah contoh penentuan tipe iklim dari Klasifikasi Schmidt-Ferguson pada Stasiun Hujan Seyegan.

Tabel 3.3. Curah Hujan Bulanan Stasiun Seyegan Selama 11 Tahun Terakhir

Bulan Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Jan 264 364 144 210 309 341 282 346 493 373 287 Feb 245 368 348 561 450 375 327 301 430 349 373 Mar 390 236 341 211 223 256 347 324 318 330 424 Apr 161 236 341 211 223 256 348 202 203 201 259 Mei 77 188 143 49 267 424 154 98 242 157 108 Jun 122 15 62 23 75 152 31 69 247 204 28 Jul 43 10 18 9 15 88 22 8 101 35 10 Agust 54 6 17 23 6 130 5 14 27 7 17

(48)

48 Sept 89 18 16 31 23 253 14 17 20 19 15 Okt 183 20 125 182 49 288 80 121 88 23 16 Nov 176 115 246 315 269 271 311 304 203 291 185 Des 455 338 668 332 211 426 374 459 333 360 328 Jumlah 2259 2099 2565 2375 2120 3426 2296 2264 2706 2353 2049 (Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2005-2015)

Tabel 3.4. Penentuan Rata-Rata Bulan Basah dan Kering Berdasarkan Data Curah Hujan

Tahun ∑Bulan Basah

(>100 mm) ∑Bulan Kering (<60 mm) 2005 8 2 2006 7 5 2007 8 3 2008 7 5 2009 7 4 2010 11 0 2011 7 4 2012 7 3 2013 9 2 2014 8 4 2015 7 5 Rata-Rata 7,82 3,36

(Sumber: Hasil Pengolahan Data Curah Hujan Stasiun Seyegan, 2016)

Berdasarkan data rata-rata bulan basah dan bulan kering, dapat diperoleh nilai Q. Hasil nilai Q ini dapat ditentukan tipe iklim yang sesuai dengan klasifikasi iklim dari Schmidt- Ferguson. Berikut adalah perhitungannya.

Q = (Jumlah rata-rata bulan kering) ÷ (Jumlah rata-rata bulan basah) Q = (3,36) ÷ (7,28)

Q = 0,430 Lanjutan Tabel 3.3.

Gambar

Gambar 1.1. Pertumbuhan Penduduk Sebagian Kabupaten Sleman Tahun 2009-2013  (Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014)
Tabel 1.1.  Penelitian Sebelumnya Terkait Kualitas Air Yang Dijadikan  Acuan dan Pembanding
Gambar 2.3. Diagram Alir Penelitian Keterangan:
Tabel 3.1. Pembagian Wilayah Sebagian Kabupaten Sleman
+4

Referensi

Dokumen terkait

Seleksi isu yang dilakukan Rubrik National Affairs Majalah Rolling Stone Indonesia dalam mengkonstruksi realitas rencana penutupan blog-blog musik dan situs-situs file

Pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan pengajaran, bimbingan, dan atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang. Pendidikan tidak

Dengan meningkatkan kualitas dari jalannya fraud brainstorming sessions pada awal perencanaan audit dapat membagi informasi antar tim perikatan sehingga mampu untuk

Karena gas refrigeran ini melewati pipa dengan diameter kecil dari pipa kapiler ini merupakan hamabatan dari peredaran gas refrigeran tersebut dan mengakibatkan tekanan pada

1) Para migran cenderung memilih tempat tinggal terdekat dengan daerah tujuan.. 2) Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi adalah

Panitia pengadaan telah melaksanakan Pembukaan Penawaran atas Pekerjaan Peningkatan jalan dalam kota Kecamatan Fena fafan (Lapen) dengan hasil sebagai berikut;. Data

Dari penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan saran kepada Warung Pecel Dedy yaitu: Sebaiknya Warung Pecel Dedy membangunkan bangunan pada rumah

perguruan tinggi dengan tujuan yang beresensikan konsep menjamin peran yang signifikan dari mahasiswa dalam mengembangkan pengetahuan seperti yang diuraikan pada