• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

14

KAJIAN PUSTAKA

A.

Tinjauan Studi Terdahulu

Bagian ini akan memaparkan berbagai hasil penelitian terdahulu yang sejenis dan relevan dengan penelitian ini.

Skripsi Dwi Ariyani (2010) Universitas Sebelas Maret yang berjudul “Pelanggaran Prinsip Kesantunan Dan Implikatur Dalam Acara Opera “Van Java Di Trans 7” dalam penelitian ini peneliti merumuskan, (1) Bagaimana bentuk pelanggranb prinsip kesantunan salah OVJ?, (2) Bagaimana prinsip ironi dalam

OVJ?, dan (3) bgaimana omplikatur yang muncul dalam OVJ?. Dalam penelitian

ini mendapatkan simpulan.Pertama, Ditemukan pelanggaran terhadap prinsip kesantunan. Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan ditemukan pada nbanyak data dan meliputi semua maksimnya (tujuh maksom). Pelanggaran paling banyak ialah terhadap maksim pujian, yang diikuti oleh maksim kearifan, simpati, kesepakatan, pertimbangan , kerendahan hati, dan terakhir maksim kedermawanan. Kedua, terdapat prinsip ironi dalam acara OVJ. Hanya terdapat sedikit data yang mengandung penerapan prinsip ironi. Hal tersebut karena kemungkinan para pemain OVJakan merasa lebih puas jika menghina/mengancam orang lain secara terang-terangan. Pemain OVJ. Pemain OVJ kelihatan jika berhasil menghina orang lain, hal itu dapat dilihat dari raut muka mereka tersenyum. Ketiga, ditemukan beberapa implikatur percakapan dalam acara OVJ. Inplikatur tersebut terdiri dari sembilan (9) maca, implikatur yang berbeda. Kesembilan masksim implikatur tersebut ialah implikatur menghina, nmemancing

(2)

amarah, tidak nsuka dengan kedatangan orang lain, menyuruh, dan merayu. Dalam acara OVJ implikatur yang terjadi didominasi olem implikatur menghina.

Skripsi Tanjung Tyas Ning Putri (2010) Universitas Sebelas Maret yang berjudul “Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam Film Warkop DKI Maju Kena Mundur Kena”dalam penelitian ini peneliti merumuskan. (1) Bagaimana bentuk pelanggaran yang terdapat pada film Warkop DKI Maju Kena Mundur Kena, (2) mendeskripsikan implikatur dari pelanggaran prinsip kesantunan dalam film Warkop DKI Maju Kena Mundur Kena. Penelitian ini mendapat berbagai simpulan . Pertama, ditemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip kesantunan dalam film Warkop DKI yang berjudul Maju Kena Mundur Kena, pelanggaran maksimkesopanan hanya terjadi terhadap lima maksim dari tujuh maksim yang tercakup dalam prinsip ini, yaitu pelanggaran maksim kearifan, pelanggaran maksim kedermawanan, pelanggaran maksim pujian, pelanggaran maksim kesepakatan, dan pelanggaran maksim simpati. Pelanggaran terhadap maksim kerendah hati dan maksim pertimbangan tidak ditemukan dalam penelitian ini.

Kedua, tuturan dalam film Warkop DKI yang berjudul Maju Kena Mundur

Kenamengandung beberapa macam implikatur percakapan. Implikatur-implikatur tersebut digunakan antara lain untuk mempermainkan seseorang, mencari perhatian, mengambil keuntungan, menyatakan pilihan, mengejek, menyatakan ketidaksukaan, menyindir, memaksa, mengeluh, dan menolak permintaan.

Skripsi Puspa Rinda Silalahi (2011)Universitas Negri Medan yang berjudul “Analisis Kesantunan Berbahasa Siswa/i di Lingkungsn Sekolah SMP Negri 5 Binjai”merumuskan masalah dalam penelitian tersebut menjadi 3 rumusan (1)

(3)

Bagaimana realisasi kesantunan berbahasa dalam percakapan di lingkungan sekolah, (2) Bagaimana pelanggaran prinsip kesantunan yang terjadi pada percakapan di lingkungan sekolah, (3) peringkat pelanggaran kesantunan bahasa yang manakah yang lebih dominan ditemukan pada percakapan di lingkungan sekolah SMP Negri 5 Binjai.Penelitian ini juga menggunakan teori Leech. Dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut (1) realisasi kesantunan di SMP Negri 5 Binjai dapat dilihat dari terpatuhinya maksim skala ketidaklangsungan dengan jumlah 52 tuturan dan skala jarak dengan jumlah 42 tuturan, (2) pelanggaran maksim kesantunan di SMP Negri Binjai dapat dilihat dari tidak terpatuhinya maksim kebijaksanaan sengan jumlah 24 tuturan dan skala ketidaklangsungan dengan jumlah 24 tuturan, (3) peringkat pelanggaran kesantunan bahasa yang dominan yang ditemukan adalah pelanggaran maksim kebijaksanaan dengan jumlah 24 tuturan dan skala ketidaklangsungan dengan jumlah 24 tuturan.

Skripsi Istiqomah (2016) Universitas Muhammadiyah Malang yang berjudul “Analisis Kesantunan Tuturan Dalam Vidio Iklan Layanan Kesehatan Masyarakat”dalam penelitian ini Adapun tujuan penelitian adalah mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan makna kesantunan tuturan dalam video iklan layanan kesehatan masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik dengan jenis kualitatif yang menghasilkan data berbentuk deskripstif. Data penelitian ini berbentuk transkripsi data diperoleh dari tuturan video iklan layanan kesehatan masyarakat. Proses pengumpulan data dilakukan melalui tahapan, yaitu (1) mencari video di youtube untuk diunduh, (2) mentranskripsikan data, (3) membaca data, (4) menandai tuturan sesuai dengan bentuk, fungsi, dan makna

(4)

kesantunan. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan,diperoleh kesimpulan bahwa dalam video iklan layanan kesehatan masyarakat sudah berbahasa secara santun dengan memenuhi maksim (1) maksim kearifan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim pujian, (4) maksim kerendahan hati, (5) maksim kesepakatan, dan (6) maksim simpati. Adapun fungsi kesantunan tuturan iklan layanan kesehatan masyarakat adalah fungsi kompetitif, bekerja sama dan menyenangkan. Makna kesantunan tuturan iklan layanan kesehatan

Penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang terdahulu yang membahas pelanggaran maksim, namun dalam penelitian yang terdahulu hanya di lakukan analisis pelanggaran maksim. Perbedaan penelitian pada penelitian sebelumnya yakni terletak pada, peneliti menganalisis pelanggaran maksim dan juga pematuhan maksim pada data yang telah di pilih peneliti, serta dalam penelitian ini juga akan memunculkan implikatur dari prinsip kesantunan yang ada .

B. Landasan Teori

Landasan teori digunakan untuk menganalisis permasalahan yang diangkat dalam sebuah penelitian teori yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Pragmatik

Pragmatik adalah cabang ilmu yang berbeda dengan morfologi, maupun fonologi. Morfologi, semantik maupun fonologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari struktur bahasa secara internal. Sementara pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni

(5)

bagaimana suatu bahasa itu digunakan di dalam komunikasi (I Dewa Putu Wijana, 1996:1). Menurut Leech (1983) pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa berinteraksi dengan tata bahasa yang terdiri dari fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik melalui pragmatik (I Dewa Putu Wijana). Selain Leech banyak para ahli linguistik untuk memberikan pemikirannya mengenai definisi pragmatik. Sebenarnya definisi pragmatik yamh paling tua muncul dari pemikiran Morris. Menurutnya adalah bahwa pragmatik itu merupakan cabang semiotika yang mempelajari Parker yang menyatakan bahwa pragmatik adalah suatu kajian mengenai bagaimana suatu bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Sedangkan Faslod berpendapat bahwa pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan konteks untuk menarik inferensi tentag makna

Menurut Levinson (1983:9) mendefinisikan pragmatic sebagai berikut, “pragmatics is the syady of those relations between language and context that are

grammaticalized, or enconded in the structure of a language” pragmatic

merupakan kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa.

Rustono (1999:17) menjelaskan ilmu pragmatic mengunggkapkan maksud suatu tuturan di dalam peristiwa komunikasi, oleh karena itu analisis pragmatik berupaya menemukan maksud penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun yang diungkapakan dengan tersirat di balik tuturan.Maksud tuturan dapat diidentifikasikan dengan mempertimbangkan komponen situasi tuturan yang mencakup penutur, mitra tutur, tujuan, konteks, tuturan sebagai hasil aktivitas.Dan tuturan sebagai tindakan verbal.

(6)

Rahardi (2005:50) Pragmatik adalah studi bahassa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud adalah sebagai latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertutur.

2. Situasi Tutur

Rustono (1999:25) berpendapat bahwa situasi tutur adalah situasi yang melahirkan situasi. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat.Memperhitungkan situasi tutur sangat penting di dalam

pragmatic.Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui

situasi tutur yang mendukungnya. Tidak selamanya tuturan itu secara langsung menggambarkan makna yang dikandung oleh unsur-unsurnya.

Leech (1993:19-21) pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi tutur.

1. Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa)

Orang yang menyapa akan diberi symbol n ‘penutur’ dan orang yang disapa dengan symbol t ‘petutur;.Jadi penggunaan penurur dan pentutur tidak membatasi pragmatic pada bahasa lisan saja.Istilah-istilah ‘penerima’ (orang yang menerima dan menafsirkan pesan) dan ‘yang disapa’ (orang yang seharusnya menerima dan menerima dan menjadi sasaran pesan) juga perlu dibedakan.Si penerima bisa saja seorang yang kebetulan lewat dan pendengar pesan, dan bukan orang yang disapa.

2. Konteks sebuah tuturan

Konteks diartikan sebagai aspek-aspek yang gayut dengan lingkungan fisik dan

(7)

belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan pentutur dan membantu petutur menafsirkan makna tuturan.

3. Tujuan sebuah tuturan

Tujuan sebuah tuturan dalam tujuan atau fungsi daripada makna yang dimaksud atau maksud penutur mengucapkan sesuatu.Istilah tujuan dianggap lebih natural daripada maksud, karena tidak membebani pemakaiannya dengan suatu kemauan atau motivasi yang sadar, sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi tujuan.

4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan tindak ujar

Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak atau performasi-performasi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu.Dengan demikian pragmatic menangani bahasa pada tingkat yang lebih konkret daripada tata bahasa.

5. Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal itu sendiri, dalam pragmatik kata ‘tutur’ dapat digunakan dalam arti yang lain, sebagai produk suatu tindak verbal (bukan tindak verbal itu sendiri).

Sebuah tuturan dapat merupakan suatu contoh kalimat (sentence-instance) atau tanda kalimat (sentence-token), tetapi bukanlah sebuah kaliamat. Artian kedua ini tuturan-tuturan merupakan unsur-unsur yang maknanya dikaji dalam

pragmatic, sehingga dengan tepat pragmatic dapat digambarkan sebagai suatu

(8)

3. Tindak Tutur

Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, prinsip kesantunan dan sebagainya (Rustono, 1999:32). Sedangkan menurut Rustono (1999:31), tindak tutur atau ujaran merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik. Sedangkan Yule (1996:82) memberikan definisi mengenai tindak tutur sebagai tindakan-tidakan yang ditampilkan lewat tuturan (Actionsperformed via

utterances are called speech acts).

Sehubungan dengan tindak tutur untuk menyatakan sesuatu (the act of

saying something). Lokusi semata-mata merupakan tindak tuturan, yaitu tindak

mengucapkan sesuatu dengan kata dan makna kalimat sesuai dengan makna kata itu dalam kamus dan makna kalimat itu menurut kaidah sintaksisnya (Asim Gunarwan, 1994:45). Lebih jauh tindak lokusi adalah tindak tutur yang relatif paling mudah untuk didefinisikan karena pengidentifikasian cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur (I Dewa Putu Wijana, 1996:18)

Tindak ilokusi disebut sebagai the act of doing something. Menurut Austin (dalam Asim Gunarwan, 1994:46), tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Tindak tutur ilokusi dipergunakan untuk melakukan sesuatu, misalnya menginformasikan, minta maaf, dan lain-lain (I Dewa Putu Wijana, 1996:18).

Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang mengutarakannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur. Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang sering kali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkan (I Dewa Putu Wijana, 1996:19-20).

(9)

Berkaitan dengan tindak ilokusi, Searle kemudian mengembangkan konsep tindak tutur dari Austin. Searle mengklasifikasikan tindak lokusi de dalam lima jenis tindak tutur. Pengklasifikasian tindak tutur Searle sebagai berikut.

1. Asertif (Assertives)

Tindak tutur asertif atau representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkannya. Termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini adalah tuturan-tuturan menyatakan menyebutkan, memberikan, kesaksian, berspekulasi dan seterusnya

2. Direktif (Directives)

Merupakan tindak ntutur yang bertujuan agar mitra tuturnya melakukan suatu tindakan yang disebutkan dalam suatu tuturan oleh penutur. Tuturan seperti menyuruh, meminta, mengajak, meminta, memohon, menyarankan menentang, termasuk tindak tutur direktif.

3. Komisif (Commissives)

Tindak tutur ini merupakan tindak tutur dimana penuturnya terikat untuk melaksanakan apa yang telah dituturkannya. Tindak tutur ini, misalnya bersumpah, berjanji, mengecam, berkual. Jenis tindak tutur ini tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada kepentingan penutur.

4. Ekspresif (Expressives)

Ilokusi ini berfungsi untuk mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Ilokusi ini, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.

(10)

Keberhasilan pelaksanaan ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi tuturan dengan kenyataan. Ilokusi ini, misalnya mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat pegawai), dan sebagainya. Tindakan-tindakan ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang dalam sebuah kerangka acuan kelambangaan diberi wewenang untuk melakukannya.

4. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Tutur Tidak Langsung

Secara umum tindak tutur dibagi atas tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Berdasarkan modusnya. Kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (introgatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional, kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu antau informasi, kalimat tanya untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Bila kalimat berita difungsikan secara konvengsional untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk menyuruh, mengejek, memohon, dan seterusnya, tindak tutur yang berbentuk adalah tindak tutur yang berbentuk adalah tindak tutur langsung (direct specch act)

(a)Sari memilki lima ekor anjing (b)Di manakah letak pulau jawa? (c)Ambilkan baju saya!

Di samping untuk berbicara secara sopan, perintah dapat diutarakan sengan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang di perintah tidak merasa dirinya perintah. Bila hal ini terjadi, terbentuk tindak tutur tidak langsung (indirect speech

(11)

5. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal

Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunya, sedangkan tindak tuture tidak literal (non literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya.

Berkaitan dengan tindak tutur diatas langsung dan tidak langsung dikaitkan dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, maka akan terdapat tindak tutur-tindak tutur sebagai berikut.

1. Tindak Tutur Langsung Literal

Tindak tutur langsung Literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraanya. Maksud memerintah disampaikan dengan maksud pengutaraanya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya (Muhammad Rohmadi, 2004:34)

2. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal

Tindak tutur tidak langsung (indirect literal speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutarannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur (Muhammad Rohmadi, 2004:34)

3. Tindak Tutur Langsung Literal

Tindak tutur langsung literal (direct nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan,

(12)

tetai kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya (Muhammad Rohmadi, 2004:34)

4. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal

Tindak tutur tidak langsung literal (indirect nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan (Muhammad Rohmadi, 2004:34)

6. Prinsip Kesantunan

Gunarwan (dalam Purwo 9Ed), 1994: 87) mengatakan bahwa konsep mengenai kesantunan berbahasa telah dikemukakan oleh para linguis, antara lain Lokoff (1972), Fraser (1978), Brown n Levinson (1978), dan Leech (1983).

a. Kesantunan Menurut Lokoff

Lokoff menyatakan ada tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya kesantunan dalam kegiatan bertutur. Kaidah yang pertama skala formalitas (formality scale). Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya dan senatural-naturalnya antara yang satu dengan yang lainnya. Kaidah kedua adalah skala ketidaktegassan (hesitancy scale) atau sering kali disebut dengan skala pilihan (optionality scale). Skala ini menunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur maka pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua pihak. Kaidah yang ketiga adalah peringkat persamaan atau kesenyawaan (equality scale). Agar dapat bersifat santun orang haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak satu dengan pihak yang lain (dalam rahardi, 2005: 70)

(13)

b. Kesantunan Menurut Fraser

Fraser (dalam Gunarwan) membedakan kesantunan (politeness) dari penghormatan (deference). Penghormatan adalah bagian dari aktivitas yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan penghargaan secara regular. Sementara itu kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran, dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, bahwa si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannya. Ada beberapa hal yang perlu diulas dalam pengertian ini. Pertama, kesantunan itu adalah properti atau bagian dari ujaran, jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, kesantunan sebuah ujaran dilihat berdasarkan (a) apakah si penutur melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (b) apakah si penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya. Yang dimaksud dengan hak dan kewajiban penutur-mitra tutur itu adalah menyangkut apa yang boleh diujarkan serta cara mengujarkannya (dalam Purwo (Ed.), 1994: 88-89)).

c.

Kesantunan Munurut Brown dan Levinson

Brown dan Levinson mengatakan teori kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka (face), yang dibagi menjadi dua, yaitu muka positif dan negatif. Muka positif mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional, yang berkeinginan agar yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini, diakui orang lain

(14)

sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, dan patut dihargai. Selanjutnya yang dimaksud muka negatif itu mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu (1987: 61-62). Konsep muka ini dimiliki oleh setiap warga masyarakat. Oleh karena itu, dalam berinteraksi masing-masing peserta tutur harus saling menjaga muka. Sebuah tuturan dapat merupakan ancaman terhadap muka. Untuk mengurangi keterancaman tersebut dalam berinteraksi perlu memperhatikan strategi bertuturnya.

d.

Kesantunan Menurut Leech

Menurut Leech terdapat lima skala untuk menentukan santun atau tidaknya sebuah tuturan. Skala-skala tersebut adalah kerugian atau keuntungan (cost-benefitscale), skala kemanasukaan (optionally

scale), skala ketidaklangsungan (indirectness scale), skala keotoritasan (authority scale), dan skala jarak sosial (social distance scale) (dalam edisi terjemahan Oka, 1993: 194-200).

Leech mengemukakan bahwa prinsip kesantunan memiliki beberapa maksim, yaitu maksim kearifan(tact maxim), maksim kedermawanan (generosity maxim), maksim pujian (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kesepakatan (agreement

maxim), dan maksim simpati(sympathy maxim) (dalam edisi terjemahan

Oka, 1993: 206-207). Setiap maksim dalam prinsip kesantunan itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Thomas (1995: 167-168) mengemukkan bahwa ada beberapa masalah dalam pendekatan Leech, yaitu itu (a) tidak ada pembatasan maksim (b)

(15)

memungkinkan menghasilkan maksim baru untuk menjelaskan setiap keteraturan yang dirasakan kecil dalam penggunaan bahasa.

Dari berbagai pendapat paraahli mengenai kesantunan, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Leech. Prinsip kesantunan Leech (dalam M.D.D Oka, 2011:206-207) menjelaskan bahwa prinsip kesantunan dibagi menjadi maksim-maksim dan submaksim-submaksim, yaitu:

1. Maksim kearifan (Tact maxim) (dalam ilokusi-ilokusi imkpositif dan komisif) (a)Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin

(b)Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin

2. Maksim Kedermawanan (Generosity maxim) ilokusi-ilokusi impositif dan komisif

(a)Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin (b)Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin

3. Maksim Pujian (Approbation maxim) (dalam ilokusi-ilokusi ekspresif dan asertif)

(a)Kecamlah orang lain sesedikit mungkin (b)Pujilah orang lain sebanyak mungkin

4. Maksim kerendah hati (Mmodesty maxim) (dalam ilokusi-ilokusi ekspresif dan asertif)

(a)Pujialah diri sesedikit mungkin

(b)Kacamlah diri sendiri sebanyak mungkin

5. Maksim Kesepakatan (Agreement maxim) (dalam ilokusi asertif)

(16)

(b)Usahkan adar kesepakatan antar diri dengan lain terjadi sebanyak mungkin

6. maksim Simpati (Sympathy maxim) (dalam ilokusi asertif)

(a)Kurangilah rasa antipati diri dengan lain hingga sekecil mungkin

(b)Tingkatkan lah rasa simpati sebanyak-banyaknya antar diri dan lain

Leech (1993: ) membagi prinsip kesantunan ini dalam enam maksim. Keenam maksim tersebut adalah sebagai berikut.

1. Maksim Kearifan (text Maxim)

Gagasan dasar maksim kearifan dalam prinsip Kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang dalam prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan memaksimalkan maksim-maksim kearifan akan dapat dikatakan orang yang santun.

Kesantunan Imperatif Bahasa Indoesia, Rahardi memberikan

sebagia berikut.

Tuan rumah :”silahkan makan saja dulu, Nak! Tadi kami semua sudah mendahului”

Tamu :”Wah, saya jadi tidak enak, Bu”.

Informasi indeksal

Dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah ibu tersebut karena hujan sangat deras dan tidak segera reda (Rahardi, 2005: 60)

(17)

Tuturan di atas tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan oleh si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntunggan bagi tamu. Tuturan disampaikan dengan maksud agar tamu merasa bebas dan dengan senang hati menikmati hidangan yang disajikan itu tanpa perasaan tidak enak sedikit pun.

2. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para teserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.

Dalam pragmatik: kesantunan Imperatif Bahasa Indoesia, Rahardi memberikan sebagia berikut.

Anak kos A :“mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak, kok, yang kotor.”

Anak kos B :”Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok.”

Informasi Indeksal

Tuturan itu merupakan cuplikan pembicaraan antara anak kos sebuah rumah kos di Yogyakarta. Anik yang satu berhubungan demikian erat dengan anak yang satunya. (Rahardi, 20005: 60-61)

Dari tuturanyang disampaikan A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa A berusaha memaksimalkan keuntungan npihak lain dengan cara menambahkan beban dari dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotor B.

(18)

3. Maksim Pujian (Approbation Maxim)

Di dalam maksim pujian dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan pujian kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain.

Dalam pragmatik: kesantunan Imperatif Bahasa Indoesia, Rahardi memberikan sebagia berikut.

Dosen A :”Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”

Dosen B :”Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”

Informasi Indeksal

Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi (Rahardi, 2005: 63)

Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas ditanggapi dengan sangat baikbahkan disertai dengan pujian atau pujian oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap dosen A.

4. Maksim Kerendahan hati (Modesty Maxim)

Dalam maksim kerendahhatian, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hari dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan

(19)

dikatakan sombong apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji mengunggulkan dirinya sendiri.

Dalam pragmatik: kesantunan Imperatif Bahasa Indoesia, Rahardi memberikan sebagia berikut.

Ibu A :”Nanti ibu akan memberikan sambutan ya dalam rapat Desa Wisma.!”

Ibu B :” Waduh, ... nanti gerogi aku.”

Informasi Indeksal

Dituturkan seorang ibu anggota Desa Wisma kepada temannya sesama anggota perkumpulan tersebut ketika mereka bersama-sama berangkat ke tempat pertemuan.

5. Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim)

Di dalam maksim kesepakatan ini ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terjadi kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun.

Dalam pragmatik: kesantunan Imperatif Bahasa Indoesia, Rahardi memberikan sebagia berikut.

Guru A :”Ruangnya gelap ya, Bu!” Guru B :”He.e.eh! saklarnya mana, ya?”

(20)

Dituturkan oleh seorang guru kepada rekannya yang juga seorang guru pada saat mereka berada di ruang guru.

Dalam tuturan diatas, guru B menyepakati bahwa ruang yang dimaksud memang gelap sehingga guru B berinisiatif untuk menyalakan lampu di ruangan tersebut. Hal itu dapat kita ketahui dari tuturan guru B yang menanyakan letak sakelar tersebut.

6. Maksim Simpati (Sympath Maxim)

Di dalam maksim simpati, diharapkan para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu denagn pihak yang lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindak tutur santun.

Dalam pragmatik: kesantunan Imperatif Bahasa Indoesia, Rahardi

memberikan sebagia berikut.

Ani :”Tut, nenekku meninggal.”

Tuti :”Innalillahi wainnailahi rojiun. Ikut berduka cita.”

Informasi Indeksal

Dituturkan oleh seorang karyawan kepda karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka.

Selain merumuskan enam maksim prinsip kesantunan, Leech menjelaskan lima skala kesantunan yang digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan tingkat kesantunan suatu tuituran. Berikut adalah skala kesantunan yang dikemukakan Leech.

(21)

Skala untung-rugi terdiri dari dua skala yang berbeda, yaitu untung-rugi bagi penutur dan untung-rugi bagi mitra tutur. Pada umumnya keberagaman kedua skala ini saling bergantung, tetapi tidak menurup kemungkinan bahwa keberagaman skala yang satu terjadi terlepas dari keberagaman skala lain (Leech dalam edisi terjemahan M. D. D Oka, 1993:195_

Leech (dalam terjemahan M. D. D Oka, 1993:196) menyebutkan adanya hubungan yang erat pada kedua skala ini, karena baik impositif (untung-rugi bagi mitra tutur) maupun komisif (untung-rugi bsgi penutur) merupakan ilokusi yang khas yang mengusulkan suatu tindakan yang melibatkan antara penutur dan mitra tutur, yaitu penutur melakukan sesuatu untuk mitra tutur atau sebaliknya

2. Skala Kemanasukaan (optionality scale)

Skala ini mengurut ilokusi-ilokusi jumlah pilihan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur (Leech dalam edisi terjemahan M. D. D Oka, 1993:195)

Skala ini menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur dalam kegiatan menentukan pilihan yang banyak dan leluas, akan dianggap semakin santulah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun (Kunjana Rahardi, 2005:65)

3. Skala Ketaklangsungan (indirectness scale)

Skala ketidaklangsungan dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu penutur dan mitra tutur. Dari sudut pandang penutur skala ini mengurut ilokusi-ilokusi

(22)

menurut: panjang jalan yang menghubungkan tindak ilokusi dan tujuan ilokusi, sesuai dengan analisis cara tujuan. Adapun dari sudut pandang mitra tutur, yaitumengurut ilokusi berdasarkan panjang jalan inferensial yang dibutuhkan oleh makna untuk sampai ke daya. Oleh karena itu, ada dua skala ketidaklangsungan: satu untuk penutur dan satu untuk mitra tutur. Kedua skala ini mempunyai banyak kesepadanannya, karena strategi mitra tutur untuk menginterpresentasikan (inferential strategy) merupakan rekrontuksi langkah demi langkah pemahaman mitra tutur mengenai strategi ilokusi penutur (Leech dalam edisi terjemahan M. D. D Oka, 1993:195)

4. Skala Otoritas (authority scale)

Skala otoritas dengan sumbu vertikal yang mengukur jarak sosial menurut kekuasaan atau otoritas yang dimiliki seseorang pemeran serta atas pemeran serta yang lain adalah ukuran yang asimetris, artinya seorang yang memiliki otoritas atau kekuasaan dapat menggunakan bentuk sapaan yang akrab kepada orang lain, tetapi orang yang disapa akan menjawab dengan sapaan yang hormat (Leech dalam edisi terjemahan M. D. D Oka, 1993:199).

5. Skala Jarak Sosial (social distance)

Skala jarak sosial digambarkan dengan garis horisontal yang mengukur jarak sosial. Menurut skala ini derajat rasa hormat yang ada pada situasi ujar tertentu sebagian besar tergantung dari beberapa faktor yang relatif permanen, yaitu faktor-faktor situasi atau kedudukan, usia, derejat, keakraban, dan sebagainya, tetapi sedikit banyak juga tergantung pada peranan sementara seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Dalam skala ini, tingkat

(23)

keakraban antara penutur dengan mitra tutur menentukian tingkat kesantunan berbahasa (Leech dalam edisi terjemahan M. D. D Oka, 1993:199).

7. Implikatur

Pada dasarnya ada dua teori implikatur, yaitu teori implikatur menurut Grice dan implikatur menurut Sperber dan Wilson. Menurut teori implikaturnya, Grice membagi implikatur menjadi tiga macam, yaitu implikatur konvensional, implikatur non konvensional (convensional), dan praanggapan. Kemudian tokoh lain Gazdar yang juga mengulas teori Grice membagi implikatur menjadi dua, yaitu implikatur umum dan implikatur khusus. Sedangkan implikatur menurut Sherber dan Wilson. Bahwa bidal-bidal yang paling penting dikemukakan oleh Grice adalah bidal hubungan atau televensi, oleh sebab itu teori Sperber dan Wilson dinamakan teori Relevensi. Namun baik tepri Grice dan menurut Sperber dan Wilson, keduanya tetap menekankan pada implikatur percakapan.

Implikatur (implicature) adalah derivasi kata implicate, yang semula bermakna “menuduh seseorang terlibat dalam perbuatan yang melanggar hukum”. Makna ini diubah oleh Grice menjadi “sinonim” kata imply. Bedanya adalah bahwa imply bermakna “menyiratkan secara umum”, sedangkan implicate bermakna “menyiratkan secara kebahasaan. ” (Gunarwan, 2007:86)

Selanjutnya Grice (1975) dalam artikelnya yang berjudul Logic and

Conversation mengatakan bahwa istilah implikatur digunakan untuk menerangkan

apa yang diartikan, disarankan atau dimaksudkan berbeda dengan apa yang dinyatakan penutur. Dalam teorinya mengenai implikatur, Grice berusaha menjelaskan bagaimana seorang mitra tutur memahami apa yang dikatakan dan dimaksudkan oleh penutur. Selanjutnya, dinyatakan bahwa sebuah tuturan dapat

(24)

mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan. Proposisi yang diimplikasikan tersebut disebut sebagai implikatur.

Grice (2006:67) menyebutkan bahwa implikatur dibedakan menjadi dua yaitu implikatur konvensional dan nonkovensional. Implikatur konvensional adalah makna suatu ujaran yang secara konvensional atau secara umum diterima oleh masyarakat, sedangkan implikatur nonkonvesional adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan sebenarnya.

Menurut Yule (1996:40), implikatur terdiri dari 4 jenis implikatur percakapan yaitu sebagai berikut.

a. Conversational Implicature (Implikatur Percakapan)

Asumsi dasar percakapan adalah jika ditunjukkan sebaliknya, bahwa peserta-pesertanya mengikuti prinsip kerja sama dan maksim-maksim.

Implikatur percakapan dapat dikatakan sejenis makna yang terkandung dalam percakapan yang dipahami oleh masing-masing partisipan.Implikatur percakapan menerangkan yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur dapat berbeda dengan yang dikatakan oleh penutur.

b. Generalized Conventional Implicatures (Implikatur Percakapan Umum)

Implikatur percakapan khusus tidak dipersyaratkan untuk memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan, maka disebut dengan implikatur percakapan umum (Yule, 1996:40)

c. Particularized conversational implicatures (Implikatur Percakapan Khusus) Pada peristiwa tutur, munculnya implikatur disebabkan adanya persamaan pengetahuan dan konteks tertentu.Akan tetapi, seringkali tuturan yang disampaikan terjadi dalam konteks yang sangat

(25)

khusus.Inferensi-inferensi yang demikian dipersyaratkan untuk menentukan maksud yang disampaikan sehingga menghasilkan implikatur percakapan khusus (Yule, 1996:42).

d. Conventional Implicatures (Implikatur konvensional)

implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan dan tidak langsung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya.Implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan jika yang disampaikan kata-kata itu digunakan. Kata penghubung “tetapi” adalah salah satu kata-kata ini (Yule,1996:45).

(26)

C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh penulis untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Secara garis besar, kerangka pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan berikut.

BAB III

Acara Islam Itu Indah di Trans TV

Percakapan dalam acara Islam Itu Indah

Indah

Masalah:

1. Pematuhan prinsip kesantunan 2. Pelanggaran prinsip kesantunan 3. Wujud Implikatur

Tujuan:

1. Mendeskripsikan bentuk pematuhan prinsip kesantunan

2. Mendeskripsikan bentuk pelanggaran prinsip kesantunan

3. Mendeskripsikan wujud implikatur Implikatur 1. Menolak 2. Menyindir 3. Tidak setuju 4. Menyatakan pemberitahuan 5. mengejek 6. menyombongkan diri 7. menyuruh

Teori kesantunan Leech 1. Maksim kearifan 2. Maksim Kedermawanan 3. Maksim Pujian 4. Maksim Kerendahan hati 5. Maksim kesepakatan 6. Maksim simpati Hasil:

1. Deskripsi pematuhan prinsip kesantunan 2. Deskripsi pelanggaran prinsip kesantunan 3. Tuturan Implikatur

(27)

(Apabila terjadi tuturan tidak langsung) Keterangan bagan:

Bagan di atas menunjukkan bahwa sumber data penetlitian ini adalah acara

Islam Itu Indah dan data dalam penelitian ini adalah tuturan yang terdapat dalam

acara Islam Itu Indah. Tuturan yang terjadi dalam acara tersebut dapat berupa tuturan pembawa acara, Ustad, Ustadah, Jamaah, Bintang tamu. Pembawa acara dalam acara tersebut adalah Fadli dan Irgi, Ustad yakni Ustad Maulana dan Ustad Syam, dan Ustadah Oki. Tuturan tersebut dapat tersampaikan melalui tindak tutur yang mereka lakukan, sehingga dengan tindak tutur akan diketahui apakah tuturan itu mematuhi atau tuturan yang melanggar prinsip kesantunan. Dari sumber data tersebut, peneliti kemudian menidentifikasi tuturan dengan melakukan pengelompokan berupa tuturan yang didalamnya mengandung pematuhan prinsip kesantunan, pelanggaran prinsip kesantunan. Tuturan yang melanggar prinsip kesantunan akan menghasilkan implikatur percakapan. Selanjutnya, sebagai tuturan yang mengandung prinsip kesantunan (khususnya pelanggaran), implikatur akan dijadikan data penelitian. Data-data tersebut kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis data, yaitu dengan metode analisis kontekstual dan heuristik.

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham Yang Diterbitkan Oleh Perusahaan Tercatat tidak berlaku untuk Calon Perusahaan

Pada menjalankan kuasa-kuasa yang diberi oleh seksyen kecil (1) seksyen 62, Kanun Tanah Negara (Akta 56 Tahun 1965), Pihak Berkuasa Negeri Pulau Pinang dengan ini telah merizabkan

Bab II: Dalam bab ini terdiri dari: kajian pustaka, penelitian terdahulu, Ilmu Falak yang mencakup tentang pengrtian Ilmu Hisab/Falak, dan ruang lingkup Ilmu Hisab/Falak,

Untuk ibu yang ikut berpartisipasi dalam ber-KB setelah diberi penyuluhan sebesar 92,5% yang tidak ikut ber-KB setelah diberi penyuluhan sebesar 7,5% sedangkan

Harian Umum pikiran rakyat memuat pemberitaan tentang Kabupaten Garut dari berbagai masalah pada rubrik Jawa Barat; misalkan saja masalah pariwisata, masalah

jauh dari keluarganya untuk membantu meringankan beban ekonomi rumah tangganya dan terpaksa harus pasrah menerima keadaan pada waktu diceraikan oleh suaminya,

menganalisis data faktual dan teoretis terkait pengamalan Pancasila 2.1.4 Mahasiswa mampu memaparkan argument filosofis Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa 2.1.5

Serangan ke 2 terjadi pada website dina PU, yang mana di halaman depan website terdapat gambar tidak senonoh, dan yang terakhir website resmi KPUD Pamekasan