• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh Ni Putu Nita Pratiwi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh Ni Putu Nita Pratiwi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

AJARAN HINDU DAN PEMBENTUKAN KARAKTER :

IMPLEMENTASI AJARAN KESUSILAAN HINDU DALAM MEMBENTUK PERSPEKTIF LOGIS DAN KARAKTER AGAMAIS MANUSIA HINDU

PADA ERA GLOBAL

Oleh

Ni Putu Nita Pratiwi

Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Email : nitapratiwi1@gmail.com

Abstract

Ethics occupies a very important position in everyday life. Ethics are necessary to control human behavior, so that people can choose behaviors that should be selected. Selection of such behavior is necessary for life to personal, religious, cultural and community can be organized and ultimately sustainable and advanced. Case may and may not do an act not as simple as the case may be and may not hiding in the roof of the house in a game of hide and seek.

Hindu religious education is an effort to deliver next generation smart intellectually, emotionally, and spiritually. In the exercise of religion can not be separated from the Three Basic Framework Hinduism namely Tattva, Susila, and Acara. If understood, internalized and implemented will make Hindus have a good personality and noble. In addition, many teachings from Hinduism to form the character of humans include Tri Kaya Parisudha.

This article outlines the implementation of the teaching of morality in shaping the character generation seen from the Hindu perspective. Hinduism gives a comprehensive overview of ethics or moral generation in implementing the teachings of Hindu morality. One of the Hindu holy book used as the main reference in this study examines in depth so as to form a comprehensive picture of the teachings of Hindu morality in shaping the character generation. The picture would have a direct impact to the community, especially in the Hindu generation in filtering effects of globalization.

Keywords: Hinduism, character formation, generation, globalitation.

Abstrak

Etika menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Etika sangat diperlukan untuk mengendalikan perilaku manusia, sehingga manusia dapat memilih perilaku-perilaku yang sebaiknya dipilih. Pemilihan perilaku tersebut diperlukan agar kehidupan pribadi, religius, budaya dan kemasyarakatan dapat tertata dan akhirnya berkesinambungan dan maju. Perkara boleh dan tidak boleh dilakukannya suatu perbuatan tidak sesederhana perkara boleh dan tidak boleh bersembunyi di atap rumah dalam permainan petak umpet.

Pendidikan agama Hindu merupakan upaya untuk melahirkan generasi yang cerdas baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual. Dalam pelaksanaan keagamaan tidak bisa terlepas dari Tiga Kerangka Dasar agama Hindu yaitu Tattva, Susila, dan Acara. Apabila dipahami, dihayati, dan dilaksanakan akan menjadikan umat Hindu memiliki

(2)

Hindu yang dapat membentuk karakter manusia diantaranya Tri Kaya Parisudha.

Artikel ini menguraikan implementasi ajaran kesusilaan dalam pembentukan karakter generasi dilihat dari perspektif Hindu. Agama Hindu memberikan gambaran yang komprehensif tentang etika atau moral generasi di dalam mengimplementasikan ajaran kesusilaan Hindu. Salah satu kitab suci Hindu dijadikan sebagai rujukan utama di dalam menelaah kajian ini secara mendalam sehingga terbentuk sebuah gambaran yang menyeluruh terhadap ajaran kesusilaan Hindu dalam pembentukan karakter generasi. Gambaran tersebut tentu akan berdampak langsung kepada masyarakat, khususnya generasi Hindu di dalam menyaring pengaruh globalisasi.

Kata Kunci: Ajaran Hindu, pembentukan karakter, generasi, era global

I. Pendahuluan

Berbicara tentang ajaran kesusilaan dalam Hindu pada prinsipnya adalah bicara tentang etika dan moral. Dewasa ini, perilaku remaja semakin jauh dari norma kesusilaan. Kriminalitas, seks bebas, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya dilakukan seolah-olah norma yang telah berakar di masyarakat tidak mampu lagi menyaring. Dengan ketidaksadaran orang tua. ditambah lagi banyaknya pintu yang dinilai sebagai tren pergaulan masa kini membuat perilaku menyimpang tidak memerlukan koreksi dan pembelokan.

Tahun baru misalnya, malam yang terjadi hanya satu kali dalam satu tahun, banyak dimanfaatkan oleh para anak muda untuk hura-hura dan bersenang-senang baik dengan teman sebaya maupun lawan jenis. Berbagai perilaku menyimpang mereka lakukan tanpa batas ketika saat berkumpul. Anehnya, sejumlah orang tua mengetahui dampak dari merayakan malam tahun baru, tetapi mereka memberikan kesempatan kepada anaknya untuk berhura-hura. Dengan alasan malu jika anaknya dianggap konservatif dan tidak modern oleh para tetangga atau kerabat.

Belum lagi masalah etika. Kini, pacaran di depan umum dengan mempertontonkan kemesraan merupakan hal yang biasa dan wajar malah merupakan suatu keharusan. Padahal hal tersebut sudah jauh melanggar dari kode etik yang berlaku.

Dengan kata lain, telah terjadi pergeseran nilai dalam budaya manusia. Tidak diketahui kapan awal terjadinya. Pastinya, teknologi yang berkembang dengan pesat dan sikap permisif yang mengenal tolak ukur, telah mengakibatkan pergeseran yang telah berakar pada masyarakat.

Anak perlu dituntun perilakunya dengan ajaran-ajaran kesusilaan. Perlu ditanamkan kepada mereka antara lain perihal agama, perbuatan baik dan buruk, benar dan salah, Tat Tvam Asi, Tri Kaya Parisudha, Catur Paramita, dan Catur Guru Bakti. Agama merupakan landasan kesusilaan yang kokoh dan kuat. Agama diibaratkan rambu-rambu lalu lintas yang dapat menentukan manusia mencapai tujuan, sebagaimana tercantum dalam Sarasamuscaya. Ajaran-ajaran agama memberikan sanksi-sanksi hukuman yang bersifat niskala atas perbuatannya yang ditentukan Tuhan,

(3)

hukuman. Pembentukan kebiasaan bagi seorang anak sebaiknya dilakukan pada waktu ia masih kecil, mulai dari rumah tangga. Misalnya membiasakan anak melaksanakan yadnya sesa (menghaturkan hidangan kecil setelah selesai memasak), berdoa sebelum makan, mendahulukan makan pada yang lebih tua, minta izin kalau pergi keluar rumah, dan mengucapkan terima kasih kalau ada orang yang memberi sesuatu, dan lain-lain.

Sejak kecil anak harus dianjurkan melakukan hal-hal yang baik dan menjauhkan hal-hal yang buruk. Jika anjuran itu dituruti, berikanlah pujian dengan kata-kata yang menyenangkan hati anak. Perlu diingat pujian-pujian atau ganjaran tidak menjadi tujuan untuk melakukan perbuatan yang baik.

Orang tua perlu menerapkan larangan dan hukuman. Larangan artinya tidak boleh dilakukan kalau bertentangan dengan norma-norma kesusilaan. Larangan harus bersifat mendidik, sehingga anak tidak kehilangan kepercayaan. Jika larangan tidak diindahkan anak, maka jalan satu-satunya dipergunakan hukuman sebagai alternatif terakhir. Namum jangan memberikan hukuman badaniah, misalnya menampar atau memukul bagian yang peka terutama kepala. Dalam ajaran Hindu, bagian kepala (ubun-ubun) merupakan pintu keluar masuknya Siwa.

Pada umumnya, perbuatan yang baik pada dasarnya baik akan tetap baik, demikian pula perbuatan yang buruk akan tetap buruk. Agar anak cepat mengerti perihal perbuatan baik dan buruk, benar dan salah, maka langkah yang cocok dilakukan adalah dengan cara bercerita. Cerita yang mengandung unsur baik dan buruk, benar dan salah. Ini akan lebih mudah dipahami anak. Cerita itu misalnya tentang burung bangau yang mati oleh ketam atau Rahwana yang mati dibunuh Rama. Intisari yang dapat dipetik dari cerita ini barang siapa berbuat jahat akan mendapat susah yang berakhir juga dengan maut (kematian).

Dalam mendidik anak seputar kesusilaan, ajarkan mereka tentang pemahaman Tat Tvam Asi : ―itu (ia) adalah kamu‖. Penyampaian perihal ini bisa disampaikan lewat cerita juga. Misalnya cerita gagak dan ular mati karena ketam. Makna cerita ini, barang siapa yang berhutang budi dan dikasihani hendaknya membalas budi dengan sebaik-baiknya.

Ada juga ajaran Tri Kaya Parisudha, tiga dasar perilaku manusia yang harus disucikan yaitu Manacika (berpikir), Wacika (berkata), dan Kayika (bertingkah laku/berbuat). Dari Tri Kaya Parisudha timbulah sepuluh pengendalian diri : tidak menginginkan milik orang lain, tidak marah sesama teman, percaya akan kebenaran karmaphala, tidak berkata jahat, tidak berkata kasar, tidak memfitnah, tidak berkata bohong, tidak membunuh atau menyiksa makhluk, tidak mencuri, dan tidak berzinah.

Dengan adanya pemikiran yang baik akan mewujudkan perkataan yang baik, sehingga akan mewujudkan perbuatan baik pula. Pupuklah keserasian antara pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik sebagai dasar perilaku anak. Terapkan pula pemahaman Catur Paramita atau empat jalan kesempurnaan dan utama untuk mencapai tujuan. Di dalamnya ada Maitri yaitu sikap suka menolong sesama makhluk, Karuna atau belas kasihan sesama manusia, Mudita yakni berbuat yang

(4)

menghargai orang lain, sebagaimana menghargai dirinya sendiri. Agar anak meresapi pemahaman ini, ambil suatu contoh dalam sikap atau tingkah laku sehari-hari. Jika ada pengemis datang ke rumah untuk meminta sedekah, ajarkan anak ―memberi‖ pada pengemis itu.

Ajarkan juga pada anak tentang Catur Guru yakni empat guru yang harus dihormati dalam usaha mencari kesucian dan kesempurnaan hidup. Ada Guru Rupaka, bapak dan ibu yang telah melahirkan serta mengasuh dengan penuh rasa kasih sayang. Ada Guru Pengajian, guru di sekolah, yang memberikan ilmu pengetahuan, pendidik dan pengajar. Ada Guru Wisesa pemerintah, pengayom dan pelindung bagi masyarakat, agar masyarakat hidup tenang, tentram, aman dan bahagia. Terakhir, ada Guru Swadhyaya, Ida Sang Hyang Widhi, segala yang ada di dunia ini adalah bersumber pada Sang Hyang Widhi dan akhirnya akan kembali kepadaNya.

Peranan orang tua dalam pendidikan kesusilaan untuk anak usia dini sangat penting. Dalam hal menjamin kesuburan perkembangan pembentukan budi pekerti pada anak, orang tua harus berusaha mengupayakan agar anaknya kelak di kemudian hari jika orang tua sudah lanjut usia dapat diharapkan melanjutkan svadharmanya. Orang tua harus mewujudkan sifat kasih sayang yang wajar sebagai teladan yang baik. Ingat, pengalaman pertama yang didapat anak adalah melalui orang tuanya. ini akan jadi kesan dalam hidupnya, apakah kesan baik atau buruk, tergantung dari orang tua mereka. Satu contoh, kerukunan orang tua dalam keluarga merupakan syarat mutlak dalam pembinaan jiwa anak ke arah budi pekerti yang luhur. Keharmonisan akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak di keluarga. Anak-anak akan mudah memahami sifat-sifat dengan pengalaman langsung melalui contoh-contoh dan orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari. Artikel ini akan menguraikan secara rinci bagaimana implementasi ajaran kesusilaan Hindu di dalam membentuk pola pikir dan karakter spiritual generasi pada era global. Di tengah arus globalisasi yang semakin pesat, ajaran kesusilaan tetap menjadi posisi yang penting bagaimana generasi nantinya bisa menyaring apa yang mereka dengar, lihat, dan rasakan dari pengaruh globalisasi.

II. Pembahasan

2.1 Ajaran Kesusilaan Hindu dalam Membentuk Perspektif Logis dan Karakter Agamais

Tanpa Susila, kita tak dapat memiliki kemampuan dalam jalan spiritual. Susila merupakan pondasi dari yoga. Susila merupakan landasan dari Vedanta. Susila merupakan pilar yang kokoh, sebab dalam Susila struktur bhakti yoga bersandar. Susila adalah gerbang menuju realisasi Tuhan. Tanpa kesempurnaan Susila, tak mungkin ada kemajuan spiritual atau realisasi. Seorang siswa yoga atau calon, harus secara ketat menekankan pada masalah Susila. Ia harus jujur dan murni dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Ia harus melaksanakan secara tegas pemikiran yang benar, perkataan dan perbuatan yang baik. (Dayananda, 2003:65).

Agar orang tidak dikuasai oleh kecenderungan-kecenderungan yang rendah ia harus mengendalikan diri dari guncangan-guncangan hati yang tidak baik. Guncangan-guncangan itu semula ada dalam angan dalam

(5)

Indriya merupakan alat untuk memenuhi keinginan itu. Indriyalah yang menghubungkan manusia dengan alam ini. Sentuhan indriya dengan alam ini menimbulkan guncangan-guncangan pribadi orang. Bahkan tidak jarang orang mendapatkan celaka karena terlalu memenuhi keinginan indriyanya. Karena itu orang harus dapat mengendalikan indriya pada hal-hal yang membawa kerahayuan. Hal ini bisa dilihat dari uraian Sarasamuscaya 71 sebagai berikut:

indriyanyeva tat sarvam yat svarga narakavubhau nigrhitanissrstanisvargaya narakaya ca.

Terjemahan :

Inilah yang patut saya ajarkan lagi, indriyalah yang dianggap sorga dan neraka. Bila orang sanggup mengendalikannya, itu semata-mata sorga namanya, tetapi bila tidak sanggup mengendalikannya benar-benar nerakalah.

Tata Susila Hindu sangat halus, luhur dan mendalam. Semua agama memiliki semboyan-semboyan dalam ajaran Susila, seperti: ―jangan membunuh, jangan merugikan orang lain, sayangilah tetanggamu seperti dirimu sendiri‖, tetapi mereka tidak memberi alasan. Dasar dari tata Susila Hindu adalah : ―ada satu Atman yang meresapi segalanya. Ia merupakan roh terdalam dari semua makhluk, yang merupakan kesadaran murni umum. Bila kamu merugikan tetanggamu, sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri‖ (Sivananda, 2003:67). Inilah tata Susila Hindu, yang merupakan dasar kebenaran metafisik yang mendasari seluruh kode etik Hindu.

Kebenaran utama dari agama merupakan pondasi dari etika atau moralitas atau ilmu perilaku yang benar. Moralitas mengambil Vedanta sebagai dasarnya. Hal pertama yang kita pelajari dari agama adalah kesatuan dari semua diri. Upanisad menyatakan: ―tetangga sebenarnya adalah sang diri itu sendiri dan apa yang memisahkanmu dari padanya hanyalah khayalan semata‖. Atman yang satu atau sang diri bersemayam dengan semua makhluk. Kasih sayang universal merupakan pernyataan dari kesatuan. Persaudaraan universal berdasarkan kesatuan diri. Semua hubungan kemanusiaan ada karena persatuan ini. Yajnawalkya berkata kepada istrinya Maitreyi: ―Perhatikanlah sayangku, tidak benarlah kasih sayang dari suami adalah suami sayang, karena kasih sayang sang dirilah yang merupakan suami tersayang‖. Demikian pula dengan istri, anak-anak, kekayaan, kawan-kawan, dunia bahkan para dewa itu sendiri. Bila kamu menolong orang lain, kamu menolong dirimu sendiri. Ada satu kehidupan, satu kesadaran umum dalam semua mahkluk. Ini merupakan dasar dan perilaku yang baik. Inilah pondasi dari Susila.

Untuk membasmi keakuan yang muncul dari deha-abhimanan (pemikiran badan), pikirkanlah terus-menerus pada kotoran dan kefanaan dari badan, dan penderitaan yang muncul dari indriya-indriya. Buanglah mereka itu sebagai hal yang jahat dan kebangkitan bathin yang murni di atasnya. Renungkanlah hal-hal yang patut yang meningkatkan dan bersifat ke-Tuhanan.

(6)

kesengsaraan itu, menuju jalan mulia kebajikan yaitu sad Acara yang harus diikuti. Usahakanlah secara tegas kebenaran dan kemurnian dalam pemikiranmu, perkataan, perbuatan, kecenderungan bathin dan perilaku sehari-hari. Kembangkan rasa cinta, toleran dan murah hati dalam pandanganmu tentang orang dan segala sesuatu dan dalam berurusan dengan orang lain.

Dalam setiap situasi, pribadi hendaknya mengusahakan untuk mengikuti sifat ini dan mewujudkannya. Jadi, pemikiran ini dilaksanakan di antara para orang tua dengan anak-anak, para sesepuh dan pemuda-pemuda, guru dan murid, antara teman dengan teman, pemimpin dan bawahan, majikan dan buruh, dan antara bangsa dengan bangsa. Kita harus menapak sepanjang jalan kebajikan. Putuskan untuk tidak menyimpang seinci pun dari Dharma. Pikiran harus dilatih secara hati-hati dan kehendak seharusnya dikembangkan dan diperkuat. Oleh karena itu banyak hal penting telah ditetapkan oleh orang-orang jaman dahulu berkenaan dengan Yama, Niyama dan Sad Sampad (enam kebaikan yang berharga). Pikiran dan kehendak haruslah dilatih dan didisiplinkan melalui perbuatan-perbuatan penuh pertimbangan tentang penyangkalan diri dan pengorbanan diri dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu budaya

Susila, membutuhkan kewaspadaan moral dan penggunaan yang benar.

Pengembangan diri dari suatu kata hati yang sensitif bagi kebaikan dan kemuliaan memainkan peran yang besar dalam budaya Susila. (Sivananda, 2003:70). Dalam Kitab Sarasamuscaya 2 menyebutkan sebagai berikut:

Manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe, asubhesu samavistam subhesveva varakayet.

Terjemahan :

Dari sedemikian banyaknya semua makhluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat perbuatan baik-buruk itu, adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik juga manfaatnya menjadi manusia.

Demikianlah manfaat hidup menjadi manusia sebagaimana disebutkan dalam kitab suci Veda, manusia hendaknya selalu mengupayakan perilaku yang baik terhadap sesamanya. Memperlakukan orang lain dengan baik sesungguhnya adalah sama dengan memperlakukan diri sendiri yang baik (Tat Tvam Asi). Perilaku seperti itu selamanya patut diupayakan dan dilestarikan dalam setiap tindakan kita sebagai manusia. Setiap individu hendaknya selalu berpikir dan bersikap profesional menurut guna dan karma.

Dalam Sarasamuscaya dikatakan: ―Susila itu adalah yang paling utama (dasar mutlak) pada titisan sebagai manusia. Apabila perilaku titisan manusia itu tidak baik, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, kekuasaan dan kebijaksanaannya. Semua itu akan sia-sia apabila tidak ada penerapan kesusilaan pada perbuatan‖.

Hidup sekarang ini merupakan kesempatan yang baik untuk melaksanakan Dharma, sehingga nantinya tidak mengalami kelahiran kembali.

(7)

2.1.1 Tri Kaya Parisudha sebagai Nilai-Nilai Moral Masyarakat Bali

Masyarakat Bali memang tak pernah terlepas dari bayang-bayang agama Hindu. Begitu menyatu dan membaur. Demikian pula dalam cara berpikirnya. Salah satu landasan berpikir dan berperilaku, yaitu : Tri Kaya Parisudha. Tri Kaya Parisudha berarti : tiga landasan dalam bertingkah laku, yang terdiri dari : berpikir yang baik, berbuat yang baik dan berperilaku yang baik,

Filosofi ini mengajarkan kepada masyarakat Bali untuk : satu pikiran, perkataan dan perbuatan. Sebenarnya, meski filosofi ini sudah tercipta lama sekali, tapi masih relevan dengan kehidupan masyarakat Bali modern. Filosofi masih tetap dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Kalau dicari-cari, filosofi ini sangat universal. Seperti dalam dunia Barat, dikenal istilah: integrity, commitment. Kalau dilihat dari makna yang tersurat di dalam kedua kata ini, samalah dengan konsep Tri Kaya Parisudha itu.

Tri Kaya Parisudha artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci (Manacika), berkata yang benar (Wacika) dan berbuat yang jujur (Kayika). Dari tiap arti kata di dalamnya, Tri berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau perilaku; sedangkan Parisudha berarti "upaya penyucian". Jadi "Tri Kaya Parisudha berarti upaya pembersihan/penyucian atas tiga perbuatan atau perilaku manusia".

2.1.2 Tri Kaya Parisudha sebagai Bagian dari Etika

Tri Kaya Parisudha sebagai bagian dari ajaran etika dalam agama Hindu akan memberikan tuntunan dan jalan menuju pada kedamaian serta keharmonisan kehidupan di dunia dan akhirat. Kaya, Wak dan Mana dalam kehidupan sehari-hari sering disebut dengan Tri Kaya, yang merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Kaya, Wak dan Mana harus diarahkan pada hal-hal menuju kebaikan karena hanya manusia yang dapat merubah perilaku yang tidak baik ke arah yang baik. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa menjelma menjadi manusia dengan kelebihan sabda, bayu, idep merupakan suatu pahala keberuntungan dan sekaligus merupakan suatu keutamaan bagi manusia untuk berbuat baik (Subha Karma).

Jika kita melakukan perbuatan jahat maka hasil yang diterima juga buruk, sebaliknya jika kita melakukan perbuatan baik maka hasilnya juga baik seperti semboyan yang mengatakan: Ala ulah ala tinemu (perbuatan buruk hasilnya juga buruk) dan Ayu pikardi ayu pinanggih (perbuatan baik hailnya juga baik).

Sesuai dengan siklus ―Rwabhineda‖ perbuatan manusia dapat ditinjau dari dua sisi/dimensi yang berbeda, yaitu antara perbuatan yang baik (Subha Karma) dan perbuatan yang tidak baik/buruk (Asubha Karma). Perputaran/siklus Subha dan Asubha Karma ini selalu saling bertautan dan silih berganti satu sama lainnya dan tidak dapat dipisahkan. Demikianlah sikap dan perilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalur yang berbeda itu, sehingga patut dengan kesadaran budhi nuraninya (manusia) harus dapat menggunakan kemampuan berpikirnya ke arah yang lebih baik

(8)

dan mampu mengarahkan pikirannya ke arah yang baik akan mengakibatkan ucapan dan perilakunya menjadi baik (Subha Karma). Sebaliknya apabila tidak mampu mengarahkan pikiran (mengendalikannya) ke arah yang baik, hal inilah mengakibatkan manusia berucap dan berbuat yang buruk (Asubha Karma).

Sebagai manusia dengan ingatan idep/manah ini harus dengan cermat dapat memilah dan memilih perbuatan baik sehingga tidak terjerumus dalam perbuatan buruk. Dalam Sarasamuscaya ditegaskan bahwa hakekat penjelmaan sebagai manusia adalah untuk menyempurnakan diri dari perbuatan buruk (Asubha Karma) menjadi perbuatan baik (Subha Karma). Apa yang diuraikan dan dijelaskan pada sloka tersebut di atas adalah tugas utama atau hakekat penjelmaan sebagai manusia, untuk melebur perbuatan buruk (Asubha Karma) menjadi perbuatan baik (Subha Karma).

Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keutamaan/keuntungan dapat menjelma menjadi manusia. Lantas bagaimana halnya bila seseorang tidak mau melaksanakan perbuatan baik? Orang yang demikian itu dianggap (bagaikan) orang sakit (penyakit) yang menjadi obat neraka loka dan apabila meninggal dunia, maka ia dianggap sebagai orang sakit yang pergi ke suatu tempat dimana tidak ada obat-obatan yang mengakibatkan selalu dalam penderitaan yang membara. Oleh karena itu usahakanlah selalu secepatnya berbuat yang baik (Subha Karma).

2.1.3 Tri Kaya Parisudha sebagai Ajaran Motivasi

Secara tradisional dinyatakan bahwa kemampuan seseorang dalam mengendalikan pikiran, perkataan, dan perbuatan merupakan jaminan dari seseorang terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam Sarasamuscaya, kitab suci agama Hindu yang memuat tentang ajaran-ajaran kehidupan, dinyatakan ada beberapa kegiatan dalam tataran pikiran (manacika), perkataan (wacika), dan perbuatan (kayika) yang harus selalu dikendalikan sehingga dapat terhindar dari malapetaka. Pernyataan-pernyataan tersebut diuraikan dalam Sloka 79–82 kitab Sarasamuscaya (Parisada Hindu Dharma Pusat, 1979) sebagai berikut.

Ada yang disebut perbuatan yang disadari oleh pengendalian hawa nafsu yang sepuluh banyaknya yang harus dilaksanakan. Perinciannya: gerak pikiran ada tiga banyaknya perilaku, ucapan ada empat, gerak perbuatan ada tiga. Jumlahnya sepuluh. Singkatnya, segala gerak dari perbuatan, perkataan, dan pikiran (bayu, sabda, idep) itulah yang harus diperhatikan (sloka 79).

Perilaku pikiran itu pertama diuraikan. Jumlahnya tiga yang terdiri dari: tidak dengki dan iri hati akan milik orang lain, tidak marah terhadap makhluk apapun, percaya akan kebenaran ajaran karma-phala. Demikianlah tiga macam perilaku pikiran yang merupakan cara pengendalian hawa nafsu (sloka 80).

(9)

inilah ucapan-ucapan yang harus dibatasi, tidak boleh diucapkan dan malah jangan juga dipikirkan ucapan-ucapan itu (sloka 81).

Hal-hal yang tidak boleh dikerjakan adalah membunuh, mencuri, dan berzinah. Ketiga hal itu tidak boleh sama sekali dilakukan, baik pada saat berolok-olok atau terdesak, maupun dalam impian sekalipun ketiga hal itu haruslah dielakkan (sloka 82).

Tri Kaya Parisudha memiliki tiga ranah sebagai berikut : Ranah pikiran (manacika), komponen-komponennya meliputi: berpikir positif, berpikir konvergen, berpikir divergen, berpikir faktual, berpikir kausalitas, berpikir prediktif, dan berpikir antisipatif. Ranah perkataan (wacika), komponen-komponennya meliputi: berbicara faktual, berbicara logis, berbicara sistematis, berbicara komunikatif, dan berbicara empatik dan simpatik. Ranah perbuatan (kayika), komponen-komponennya meliputi: berbuat sesuai dengan aturan, berbuat sesuai dengan kemampuan, dan berbuat sesuai dengan keyakinan.

2.1.4 Tri Kaya Parisudha sebagai Ajaran Meningkatkan Karakter Spiritual

Pada dasarnya perkataan dan perbuatan bersumber atau berawal dari pikiran. Pikiran yang baik akan menuntun manusia berkata atau berbuat yang baik pula. Dari prinsip itu, maka yang paling awal harus dikendalikan manusia adalah pikirannya. Hal-hal yang mempengaruhi pikiran harus selalu terjaga, seperti kestabilan jiwa atau emosi, kebutuhan akan kesehatan jiwa dan raga, termasuk kebutuhan akan estetika. Di dalam jiwa yang tenang, orang dapat mengendalikan pikirannya sehingga dapat berpikir dengan jernih yang akhirnya akan dicetuskan dalam bentuk perkataan yang baik dan perbuatan yang baik.

Kitab Suci Veda mengajarkan agar umat manusia menjauhkan diri dari kejahatan dan perbuatan dosa serta menyingkirkan kedengkian. Umat manusia agar selalu berbuat Dharma (kebajikan), dengan ucapan yang manis hendaknya dan selalu berbuat kebaikan. Manusia semestinya juga selalu menyucikan pikiran dan budhinya (Suhardana, 2007: 107). Pernyataan tersebut sama seperti yang diajarkan dalam Tri Kaya Parisudha yaitu berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik. Berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik menjadi dasar dan pedoman hidup bagi masyarakat Bali (Hindu) dan bagi umat manusia pada umumnya, sehingga kerukunan, ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat dapat tercipta sesuai dengan tujuan agama Hindu dan tujuan pendidikan pada umumnya.

Tri Kaya Parisudha memi liki m an faat bai k dala m upaya menci ptak an ind ividu berkarakter sehingga terciptalah generasi muda yang berkarakter agamais, seperti: setiap orang tidak berani menyiksa, manyakiti, dan membunuh makhluk lain, setiap orang tidak berani mempergunakan kekerasan (secara paksa) untuk merebut benda yang diinginkannya dari orang lain, setiap orang tidak berani memaksa orang lain untuk berjudi, minum-minuman keras, mengisap ganja, narkotik dan lain-lain, setiap orang selalu berusaha berkata–kata yang baik (tidak menyinggung perasaan), setiap orang takut berkata-kata kasar, tidak menghina, mengancam, dan menghardik, setiap orang tidak berani

(10)

orang selalu satya wacana, yaitu menepati janji dan tidak berani berbohong, seseorang akan selalu berpikir untuk memperoleh sesuatu secara halal, selalu berpikir baik terhadap makhluk lain yang didasari oleh semua makhluk adalah ciptaan Tuhan, mempercayai dan meyakini adanya hukum karma yaitu semua perbuatan pasti memperoleh hasil.

Dari pelaksanaan Tri Kaya Parisudha, setiap orang akan selalu berpikir terlebih dahulu sebelum berkata ataupun berbuat, setiap orang akan menjadi sopan santun dalam kehidupannya, kehidupan manusia di dunia ini akan tertib sehingga keadaan menjadi aman, tentram dan damai, setiap orang tidak merasa was-was, takut ataupun curiga, karena masing-masing dapat mengendalikan dirinya.

2.2 Generasi Berkarakter Agamais

Doni Koesoema memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan. Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.

Pendidikan agama sangat efektif dalam segi edukatifnya untuk mempengaruhi pembentukan karakter yang baik. Dipandang dari segi keterkaitannya, pembentukan karakter dasar seorang anak sejak dini tentu sangat erat hubungannya dengan apa yang diajarkan dalam sisi edukatif pendidikan agama. Agama banyak memberian pengajaran yang baik dalam membentuk karakter anak, contohnya seorang anak akan bersikap santun terhadap oang yang lebih tua, itu karena agama sudah memberikan kita ulasan mengenai pembentukan karakter yang lebih baik.

Anak akan menjadi pribadi yang baik apabila ia mampu mengendalikan sifat keakuan dalam dirinya, memiliki kebaikan moral, dan spiritual. Apabila orang tua menginginkan anaknya menjadi seorang anak yang memiliki karakter agamais, maka diharapkan memberikan pendidikan yang baik kepada anaknya.

Generasi yang berkarakter agamais adalah generasi yang lengkap secara pikiran, perkataan, dan perbuatannya memiliki kepribadian yang baik, yang mampu dikendalikan dari kedengkian, kemarahan, kekerasan, kebohongan dan lain-lain.

III. Simpulan

Tanpa Susila, kita tak dapat memiliki kemampuan dalam jalan spiritual. Memperlakukan orang lain dengan baik sesungguhnya adalah sama dengan memperlakukan diri sendiri yang baik (Tat Tvam Asi). Perilaku seperti itu selamanya patut diupayakan dan dilestarikan dalam setiap tindakan kita sebagai manusia. Apabila perilaku titisan manusia itu tidak baik, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, kekuasaan dan kebijaksanaannya. Semua itu akan sia-sia apabila tidak ada penerapan kesusilaan pada perbuatan. Masyarakat Bali memang tak pernah terlepas dari bayang-bayang agama Hindu. Salah satu landasan berpikir dan berperilaku, yaitu : Tri Kaya Parisudha. Tri Kaya Parisudha sebagai bagian

(11)

menuju pada kedamaian serta keharmonisan kehidupan di dunia dan akhirat. Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keutamaan/keuntungan dapat menjelma menjadi manusia. Pada dasarnya perkataan dan perbuatan bersumber atau berawal dari pikiran. Pikiran yang baik akan menuntun manusia berkata atau berbuat yang baik pula. Tri Kaya Parisudha me miliki m anfa at b aik dala m upaya mencipt akan indiv idu berkarakter sehingga terciptalah generasi muda yang berkarakter agamais. Dari pelaksanaan Tri Kaya Parisudha, setiap orang akan selalu berpikir terlebih dahulu sebelum berkata ataupun berbuat.

Atas dasar itu semua, hendaknya orang tua mampu mentransformasi ajaran-ajaran yang bermanfaat yang menjadian anak sebagai generasi penerus memiliki kepribadian yang baik sesuai dengan ajaran agama. Orang tua harus memperhatikan secara detail karakter anak karena peran orang tua sangat penting dalam memberikan pendidikan kesusilaan yang baik kepada anaknya sejak usia dini. Diharapkan generasi muda mampu menyaring apa yang mereka dengar, lihat, dan rasakan dari pengaruh globalisasi.

IV. Daftar Pustaka

Kadjeng, I Nyoman, dkk. 1970. Sarasamuccaya. Surabaya:Paramita

Mardana, dkk. 2004. Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah SD Kelas 5. Denpasar: Penerbit Tri Agung.

Sudarsana, I. K. (2014). PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN UPAKARA BERBASIS NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU KEWIRAUSAHAAN: Studi pada Remaja Putus Sekolah di Kelurahan Peguyangan Kota Denpasar.

Sudarsana, I. K. PERAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK USIA DINI. STRATEGI PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI UNTUK

MEWUJUDKAN GENERASI BERKUALITAS.

Sudirga, dkk. 2007. Widya Dharma Agama Hindu untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Penerbit Ganeca Exact.

Sumarni, dkk. 2004. Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah SD Kelas 4. Denpasar: Penerbit Tri Agung.

Sumartawan, Cs. 2004. Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah SD Kelas 6. Denpasar: Penerbit Tri Agung.

1978. Upadesa tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Parisada Hindu

Dharma.

https://devound.wordpress.com/2013/10/07/tri-kaya-parisudha/

Referensi

Dokumen terkait

Ketika kita mengatakan bahwa vektor V tidak dapat di tulis sebagai jumlah vektor –vektor dari subruang berbeda dari S dan T, ini berarti V tidak dapat ditulis sebagai jumlah x + y,

Dari penelitian ini, tergambarkan bahwa latar belakang politis kental menjadi sebab-musabab terjadinya gerakan sosial ini.Struktur politik yang berbentuk keresidenan atau

Data dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pertambahan tinggi tanaman jagung pada umur 4 dan 6 MST menghasilkan perlakuan pupuk organik padat dan perbandingan

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat tentang seni jalanan khususnya mural, sehingga dengan mengetahui politik sehari-hari seniman mural

Karakteristik ini diperlukan pada situasi real-time dan keadaan darurat (emergency) ketika seorang pakar mungkin tidak berada pada kondisi puncak disebabkan

Berdasarkan gambar yang berasal dari pengolahan data pada Lampiran 8, adsorpsi biru cibacron oleh adsorben limbah padat tapioka aktivasi asam memberikan linieritas yang

Menurut Purnomo (2010), karakteristik kulit wet blue selain memiliki pH rendah juga bermuatan positif sehingga apabila disimpan dalam kurun waktu yang cukup lama akan mengalami

Tentu jika tidak ada keterangan terkait keberadaan buku yang jelas apakah dibaca atau dibawa oleh orang lain, maka hal ini akan menyulitkan pengguna membedakan antara buku