• Tidak ada hasil yang ditemukan

UKURAN DAN TAKARAN TEPUNG TULANG SAPI MENENTUKAN PRODUKSI INOKULAN MIKORIZA Glomus etunicatum NPI-126 (Becker & Gerdemann)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UKURAN DAN TAKARAN TEPUNG TULANG SAPI MENENTUKAN PRODUKSI INOKULAN MIKORIZA Glomus etunicatum NPI-126 (Becker & Gerdemann)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Glomus etunicatum NPI-126 (Becker & Gerdemann)

Abstrak

Tepung tulang merupakan bahan alami yang dapat digunakan sebagai sumber fosfor (P) dan kalsium (Ca) yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur P dapat menimbulkan masalah, karena dapat menghambat pembentukan dan perkembangan fungi mikoriza arbuskula (FMA) jika diberikan dengan takaran yang tinggi. Penelitian ini bertujuan mendapatkan ukuran garis tengah dan takaran tepung tulang terbaik untuk memproduksi inokulan FMA Glomus etunicatum NPI-126 dan biomassa tanaman kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb). Percobaan rumah kaca dilaksanakan dengan rancangan kelompok lengkap yang terdiri atas perlakuan kontrol dan 12 kombinasi berbagai ukuran garis tengah dan takaran tepung tulang sapi serta diulang tiga kali. Penggunaan tepung tulang menghasilkan kolonisasi yang nyata lebih rendah namun menghasilkan jumlah spora G. etunicatum NPI-126 yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk buatan. Ukuran garis tengah tepung tulang yang semakin kecil berpengaruh nyata meningkatkan kolonisasi dan jumlah spora G. etunicatum NPI-126. Tepung tulang dan pupuk buatan menghasilkan pengaruh tidak nyata dalam meningkatkan bobot kering tanaman kudzu. Penggunaan tepung tulang berukuran garis tengah < 250 µm yang diberikan dengan takaran 29 – 36 mg per pot menghasilkan jumlah spora G. etunicatum (2329 buah per 100 g inokulan) dan bobot kering akar terkolonisasi yang lebih tinggi (44.37 mg per pot). Tepung tulang berukuran garis tengah lebih besar ( > 250 µm) harus diberikan dengan takaran yang lebih banyak (> 40 mg). Kata kunci: G. etunicatum, A. tuberculata, P. phaseoloides, tepung tulang, kolonisasi akar, produksi inokulum.

Abstract

Bone meal is a natural source of phosphorus (P) and calcium (Ca) which required for plant growth, but P can cause problems if occur in high concentrations particularly will inhibit growth of mycorrhizal fungi. The aim of this study was to find the best diameter size and dosage of milled bone meal for producing Glomus etunicatum NPI-126 inoculant and for increasing kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb) plant biomass. A glasshouse experiment was laid out in a randomized block design consisted of control and 12 combination of different diameter size and weight of milled bone meal and replicated three times. Milled bone meal reduced significantly of root colonization but increased significantly number of spores compared to artificial fertilizer. Reducing milled bone meal diameter size significantly increased root colonization and number of spores of AMF G. etunicatum NPI-126. Milled bone meal and artificial fertilizer resulted not significanty different effect in increasing dry matter of kudzu plant. Application of 29 – 36 mg per pot milled bone meal with < 250 µm diameter size

(2)

will produce higher number of spores of G. etunicatum (2329 spores per 100 g of inoculant) and dry matter of colonized root (44.37 mg per pot). Milled bone meal can be applied with coarser diameter size (> 250 µm) but with higher dosage (> 40 mg).

Keywords: G. etunicatum, P. phaseoloides, bone meal, inoculum production. Pendahuluan

Peran fungi mikoriza arbuskula (FMA) untuk mengatasi cekaman nir-hayati dan hayati pada tanaman dan meningkatkan produktivitas ekosistem telah diketahui dengan baik (Smith & Read 2008; Smith et al. 2010). Propagul FMA (spora, hifa, dan akar terkolonisasi) merupakan struktur untuk mempertahankan kelestarian FMA di alam. Propagul FMA dapat musnah karena salah urus sumberdaya lahan, misalnya pemupukan yang berlebihan. Produksi inokulum atau propagul FMA dengan demikian berperan penting karena dapat menghasilkan inokulan komersial untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas tanaman, merestorasi sumberdaya lahan yang terlanjur rusak, menyelamatkan dan melestarikan plasma nutfah FMA dari kemusnahan, memunculkan aktivitas baru untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, sekaligus melepaskan petani dari ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida yang dengan kata lain menciptakan kondisi menuju petani yang lebih mandiri dan berdaulat.

Glomus etunicatum (Becker & Gerdemann) merupakan salah satu FMA yang dijumpai pada berbagai ekosistem dan pembentukan sporanya berkorelasi positif dengan kadar P (Carrenho et al. 2001), meningkat pesat jika ditumbuhkan dalam pot (Troeh & Loynachan 2009), memfasilitasi tanaman legum untuk bersimbiosis dengan rhizobia (Siviero et al. 2008), memperkaya tanah rizosfer kaya dengan karbon, bakteri dan fungi sehingga meningkatkan aktivitas biologis (Smith & Read 2008).

Produksi inokulum FMA pada umumnya dilakukan pada kultur pot terbuka menggunakan satu atau lebih isolat FMA, tanaman inang tertentu (jagung, kudzu, sorgum, dan sebagainya), bahan mineral alami (pasir, zeolit) sebagai medium tumbuh, dan pupuk buatan sebagai sumber hara (Gianinazzi & Vosátka 2004; Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2011). Salah satu sumber hara yang berpotensi

(3)

untuk digunakan dalam produksi inokulan FMA ialah tepung tulang mengingat harganya yang murah, mudah didapat, ramah lingkungan, dan dapat diterima oleh masyarakat luas.

Tepung tulang semenjak akhir abad ke delapan belas telah dipandang sebagai pupuk penyedia unsur hara P. Namun demikian, semenjak tahun 1950an peran tepung tulang sebagai pupuk telah digantikan oleh pupuk buatan yang mengandung hara P lebih tinggi sebagai akibatnya minat petani dan peneliti untuk memanfaatkan dan meneliti tepung tulang termasuk potensinya sebagai sumber hara P dalam produksi inokulum FMA juga berkurang drastis (Romer 2006). Padahal tepung tulang mampu melepaskan P secara lambat yang sebanding dengan batuan fosfat atau, pada beberapa jenis tanah, memiliki efektivitas yang sama dengan pupuk superfosfat.

Sejauh ini belum pernah dilaporkan ukuran garis tengah dan takaran tepung tulang yang optimal untuk memproduksi inokulan G. etunicatum NPI-126 dan meningkatkan biomassa tanaman kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb). Oleh sebab itu penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk menentukan ukuran garis tengah dan takaran optimal tepung tulang untuk memproduksi inokulan G. etunicatum NPI-126 dan meningkatkan biomassa tanaman kudzu.

Bahan dan Metode

Bahan. Spora G. etunicatum NPI-126 diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB, dan diperbanyak dengan metode kultur tunggal menggunakan tanaman kudzu sebagai inang, zeolit berukuran garis tengah 1 mm x 1mm – 3 mm x 4 mm atau lolos mata saring bergaris tengah 5 mm sebagai substrat, dan larutan pupuk buatan sebagai sumber hara. Tepung tulang sapi giling diperoleh dari Laboratorium Pengolahan Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tepung tulang tersebut mengandung 1.65% N, 12.16% P, 0.16% K, 19.82% Ca, 11 mg kg-1 Fe, 23 mg kg-1 Mn, dan 125 mg kg-1 Zn. Pupuk buatan dibeli dari toko pertanian di Darmaga, Bogor. Pupuk ini mengandung 25% N, 1.09 % P, dan 6.08% K.

(4)

Pelaksanaan Percobaan. Percobaan dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2004 di rumah kaca Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Perkecambahan benih kudzu dilaksanakan pada baki plastik berisi media tumbuh zeolit yang telah dicuci. Penanaman bibit kudzu dilaksanakan pada pot plastik wadah air mineral berukuran 240 mL yang bagian bawahnya berlubang. Pot plastik tersebut berisi medium tumbuh berupa 175 g zeolit dan sumber hara sesuai perlakuan kecuali larutan pupuk buatan yang diberikan pada saat tanam.

Sumber P yang diuji dicampur dengan medium tumbuh sesaat sebelum penanaman. Larutan pupuk buatan diberikan pada saat tanam dan diulang setiap tiga hari dengan takaran 0.5 g L-1. Pada media tumbuh, dalam keadaan basah, dibuat lubang dan kemudian ke dalamnya diletakkan bibit kudzu berdaun dua berukuran seragam. Pada akar bibit diinokulasikan 20 buah spora FMA dengan bantuan pipet. Lubang tanam kemudian ditutup kembali. Bibit dipelihara selama 12 minggu dan selama percobaan kondisi air dipertahankan tetap lembap dengan cara penyiraman air setiap hari.

Pengamatan. Pada umur 6 minggu setelah tanam (MST) diambil satu pot secara acak dari setiap ulangan kombinasi perlakuan untuk diamati kolonisasi akarnya. Satu pot plastik dibongkar pada umur 12 MST, bagian atas tanaman beserta akarnya dibawa ke laboratorium untuk diukur bobot kering dan kolonisasi mikorizanya. Bobot kering diukur pasca pengeringan dalam oven bersuhu 80 °C yaitu setelah tercapai bobot yang konstan. Kolonisasi akar diamati dengan metode Phillips dan Hayman (1970) yang dimodifikasi sebagai berikut. Akar dipisahkan dari bagian atas tanaman dan dicuci bersih yang diikuti dengan perendaman selama 12 jam dalam larutan KOH 10%. Keesokan harinya akar dicuci dengan air mengalir dan kemudian direndam selama 12 jam dalam larutan HCl 2%. Keesokan harinya akar direndam selama 12 jam dalam larutan pewarna berupa campuran laktogliserin (campuran gliserin teknis, asam laktat teknis, dan air destilata dengan nisbah 2:2:1) dan larutan biru tryphan 0.05%. Kolonisasi mikoriza ditandai dengan kenampakan struktur internal berupa hifa, vesikel atau arbuskula di bawah

(5)

mikroskop. Kolonisasi diukur berdasarkan proporsi bidang pandang bermikoriza terhadap total bidang pandang yang diamati.

Tanaman pada satu pot plastik yang tersisa dibiarkan mengering. Spora diekstrak dari keseluruhan medium tumbuh menggunakan metode penyaringan basah (Paccioni 1992) diikuti dengan sentrifugasi dalam larutan sukrosa 60% (Brundrett et al. 1996), pembilasan dengan air dan penyaringan ulang mengguna-kan penyaring berukuran 63 µm dan 45 µm, dan jumlah spora dihitung di bawah mikroskop.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data. Percobaan rumah kaca dilaksanakan dengan rancangan acak kelompok lengkap. Pengelompokan didasarkan pada kondisi penyinaran matahari dan arah angin di rumah kaca. Perlakuan yang diuji sebanyak 13 buah yaitu T1 = larutan pupuk buatan sebanyak

11 mL per tiga hari (kontrol), T2 = tepung tulang bergaris tengah < 250 μm

takaran 10 mg, T3 = tepung tulang bergaris tengah < 250 μm takaran 25 mg, T4 =

tepung tulang bergaris tengah < 250 μm takaran 40 mg, T5 = tepung tulang

bergaris tengah < 250 μm takaran 55 mg; T6 = tepung tulang bergaris tengah 250 -

500 μm takaran 10 mg, T7 = tepung tulang bergaris tengah 250 - 500 μm takaran

25 mg, T8 = tepung tulang bergaris tengah 250 - 500 μm takaran 40 mg, T9 =

tepung tulang bergaris tengah 250 - 500 μm takaran 55 mg, T10 = tepung tulang

bergaris tengah > 500 μm takaran 10 mg, T11 = tepung tulang bergaris tengah >

500 μm takaran 25 mg, T12 = tepung tulang bergaris tengah > 500 μm takaran 40

mg, dan T13 = tepung tulang bergaris tengah > 500 μm takaran 55 mg. Semua

perlakuan diulang 3 kali dan setiap satuan percobaan terdiri atas 3 pot plastik. Model sidik ragam yang digunakan ialah sebagai berikut:

Yijk = µ + αi + ρj + εij

yang

i = 1, 2 .... 13 = jumlah perlakuan yang diuji; j = 1,2, 3 = jumlah kelompok Yij = respon yang diamati sebagai akibat perlakuan ke i dan kelompok ke j

µ = rerata umum

αi = pengaruh perlakuan ke i

ρj = pengaruh kelompok ke k

(6)

Data hasil pengamatan dianalis dengan model sidik ragam (ANOVA) menggunakan piranti lunak CoStat v6.4. Perbedaan antar perlakuan diuji dengan Uji Duncan; perbedaan antara kontrol dan seluruh perlakuan dan antar ukuran garis tengah tepung tulang diuji dengan Kontras Orthogonal. Pengaruh takaran tepung tulang diuji dengan analisis regresi. Transformasi Box-Cox menggunakan piranti lunak Minitab v15.1 dilakukan terhadap data yang tidak memenuhi asumsi kenormalan galat.

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Produksi Inokulum G. etunicatum. Kolonisasi akar, bobot kering akar terkolonisasi dan jumlah spora merupakan indikator yang dapat digunakan untuk menilai inokulan FMA. Sumber fosfor (P) berpengaruh sangat nyata (p < 0.01) terhadap kolonisasi G. etunicatum di akar kudzu umur 6 dan 12 MST. Tepung tulang menghasilkan kolonisasi mikoriza yang lebih rendah di akar kudzu umur 6 dan 12 MST dibandingkan dengan pupuk buatan (Tabel 6). Namun demikian, tepung tulang menghasilkan bobot kering akar terkolonisasi yang berbeda tidak nyata dan jumlah spora yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk buatan. Informasi demikian menunjukkan tepung tulang giling dapat digunakan sebagai pengganti pupuk buatan. Oleh sebab itu karakteristik fisikokimia tepung tulang merupakan faktor yang perlu mendapatkan perhatian. Karakter fisik yang penting untuk diperhatikan ialah ukuran garis tengah butir dan takarannya.

Tepung tulang berukuran garis tengah < 250 μm menghasilkan rerata kolonisasi akar, bobot kering akar terkolonisasi, dan jumlah spora yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berukuran garis tengah lebih besar (Tabel 6). Perlakuan T1 dan T2 menghasilkan kolonisasi akar pada umur 6 MST yang

berbeda tidak nyata (p > 0.05) namun nyata lebih tinggi ( p < 0.05) dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 6). Kolonisasi akar yang rendah yang dihasilkan oleh perlakuan T4, T5, T7, T8, T9, T12 dan T13 ternyata pada umur 12 MST

(7)

Kolonisasi akar yang rendah pada umur 6 MST dengan demikian juga dapat meningkat sampai mencapai aras sangat tinggi (> 70%) atau mencapai maksimal jika tanaman bertambah tua.

Tabel 6 Rerata kolonisasi akar dan jumlah spora mikoriza arbuskula dalam medium tumbuh kudzu umur 12 MST.

Perlakuan

Kolonisasi akar (%) Bobot kering akar terkolonisasi (mg/tanaman) Jumlah spora (buah) 6 MST 12 MST T1 76 a 98 a 33.76 cd 744 e T2 65 b 80 b 27.89 e 1824 abc T3 75 a 99 a 43.90 a 2368 a T4 68 b 98 a 41.51 a 2173 ab T5 60 c 90 ab 34.77 b 1792 abc T6 42 g 60 c 19.16 f 1320 cd T7 49 ef 89 ab 31.95 de 1590 abcd T8 55 cd 94 ab 37.57 bc 1856 abc T9 53 de 98 a 36.42 d 1772 abc T10 29 i 40 d 10.52 h 640 e T11 35 h 54 cd 15.42 g 1187 d T12 46 fg 83 ab 29.83 e 1268 cd T13 49 ef 87 ab 31.16 e 1610 abc Antar sumber P Pupuk buatan (T1) 76 A 98 A 33.36 A 744 B Tepung tulang (T2-13) 52 B 81 B 30.01 A 1616 A

Antar garis tengah tepung tulang

< 250 μm (T2-5) 67 A 92 A 37.01 A 2039 A

250 – 500 μm (T6-9) 50 B 85 A 31.28 B 1635 B

> 500 μm (T10-13) 39 C 66 B 21.74 C 1176 C

Keterangan: Huruf kecil berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05) dengan Uji Duncan, huruf besar berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05) dengan Uji Kontras Orthogonal.

Kolonisasi akar yang tinggi ternyata tidak selalu menghasilkan bobot kering akar terkolonisasi yang tinggi. Perlakuan T3 dan T4 menghasilkan bobot kering

akar terkolonisasi yang berbeda tidak nyata namun nyata lebih tinggi (p < 0.05) dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 6). Perlakuan T1 dan T10

menghasilkan jumlah spora yang berbeda tidak nyata (p > 0.05) dan nyata (p < 0.05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

(8)

Takaran tepung tulang membentuk hubungan yang linier kuadratik dengan kolonisasi G. etunicatum di akar tanaman kudzu umur 6 dan 12 MST dan bobot kering akar terkolonisasi jika diberikan dengan ukuran garis tengah < 250 µm dan 250 – 500 µm, namun membentuk hubungan yang linier positif jika diberikan dengan ukuran garis tengah > 500 µm (Gambar 6, 7 & 8). Takaran tepung tulang berukuran garis tengah < 250 µm membentuk hubungan yang linier kuadratik dengan jumlah spora pada medium tumbuh tanaman kudzu umur 12 MST, namun membentuk hubungan yang linier positif jika berukuran garis tengah 250 – 500 µm dan > 500 µm (Gambar 9).

Gambar 6 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi Glomus etunicatum pada akar tanaman kudzu umur 6 MST ( y = 56.99 + 1.10 x – 0.02 x2, R² = 0.86, p < 0.01;  y = 33.43 + 0.92 x – 0.01 x2, R2= 0.69, p < 0.01; ▲ y = 24.06 + 0.48 x, R2 = 0.90, p < 0.01) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 20 40 60 K ol on is as i ak ar ( % )

Takaran tepung tulang (mg)

< 250 um 250-500 um >500 um

(9)

Gambar 7 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi Glomus etunicatum pada akar tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 62.93 + 2.09 x – 0.03 x2, R² = 0.86, p < 0.01,  y = 37.93 + 2.61 x – 0.03 x2, R2 = 0.89, p < 0.01; ▲ y = 28.99 + 1.13 x, R2 = 0.69, p < 0.01).

Gambar 8 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering akar terkolonisasi Glomus etunicatum pada akar tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 13.47 + 1.77 x – 0.03 x2; R² = 0.90, p < 0.01,  y = 6.82 + 1.39 x – 0.02 x2; R2 = 0.95, p < 0.01; ▲ y = 5.20 + 0.51 x; R2 = 0.78, p < 0.01). 20 40 60 80 100 120 0 10 20 30 40 50 60 K ol on is as i ak ar ( % )

Takaran tepung tulang (mg)

< 250 um 250-500 um >500 um 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 10 20 30 40 50 60 B ob ot k er in g ak ar t er k ol on is as i (mg )

Takaran tepung tulang (mg)

< 250 um 250-500 um >500 um

(10)

Gambar 9 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan jumlah spora Glomus etunicatum pada medium tumbuh tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 1305.63 + 64.87 x – 1.03 x2, R² = 0.93, p < 0.01;  y = 1283.66 + 10.80 x, R2= 0.54, p < 0.05; ▲ y = 528.17 + 19.93 x, R2 = 0.40, p < 0.05).

Berdasarkan hubungan yang terbentuk antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi dan jumlah spora G. etunicatum maka dapat diduga takaran yang optimal untuk menghasilkan kolonisasi dan jumlah spora yang maksimal. Untuk menghasilkan kolonisasi maksimal 73 dan 100% pada akar tanaman kudzu umur 6 dan 12 MST diperlukan tepung tulang berukuran garis tengah < 250 µm masing-masing sebanyak 28.52 dan 35.68 mg (Tabel 7). Untuk menghasilkan bobot kering akar terkolonisasi maksimal sebesar 44.37 mg diperlukan tepung tulang berukuran garis tengah < 250 µm sebanyak 34.95 mg. Berdasarkan hubungan terbentuk antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi dan jumlah spora G. etunicatum maka dapat ditentukan takaran tepung tulang giling yang optimal sebesar 28 – 32 mg untuk menghasilkan kolonisasi akar yang tergolong sangat tinggi (> 70%) dan jumlah spora sebanyak 2329 buah per 100 g inokulan. Perlu takaran yang lebih banyak untuk menghasilkan kolonisasi akar, bobot kering akar terkolonisasi, dan jumlah spora yang sama tingginya jika menggunakan tepung tulang yang berukuran > 250 µm.

0 500 1000 1500 2000 2500 0 10 20 30 40 50 60 J um la h spo ra ( bua h)

Takaran tepung tulang (mg)

< 250 um 250-500 um >500 um

(11)

Tabel 7 Takaran optimal tepung tulang untuk menghasilkan kolonisasi akar, bobot kering akar terkolonisasi, dan jumlah spora untuk setiap ukuran garis tengah tepung tulang.

Peubah inokulum < 250 µm 250 – 500 µm > 500 µm Takaran Hasil Takaran Hasil Takaran Hasil Kolonisasi 6 MST (%) 28.52 73 45.95 55 - - Kolonisasi 12 MST (%) 35.68 100 46.48 99 - - Bobot kering akar

ter-kolonisasi (g) 34.95 44.37 44.85 38.01 - -

Jumlah spora (buah) 31.56 2329 - - - -

Takaran tepung tulang hanya membentuk hubungan yang linier kuadratik dengan jumlah spora hanya jika ukuran garis tengahnya < 250 µm. Penggunaan tepung tulang berukuran garis tengah < 250 µm dengan takaran optimal sebesar 32.56 mg akan menghasilkan spora maksimal 2329 buah. Pada ukuran garis tengah yang lebih besar diperlukan takaran yang lebih tinggi untuk mendapatkan jumlah spora yang sama banyaknya. Pada penelitian ini belum diperoleh takaran optimal tepung tulang berukuran garis tengah > 250 µm untuk menghasilkan jumlah spora yang maksimal.

Produksi Biomassa Tanaman. Sumber P berpengaruh sangat nyata (p < 0.01) terhadap produksi biomassa tanaman kudzu umur 12 MST. Tepung tulang pada dasarnya menghasilkan rerata bobot kering akar dan total tanaman kudzu yang sama dengan larutan pupuk buatan dan pengaruhnya ditentukan oleh ukuran garis tengah butir dan takarannya (Tabel 8). Informasi ukuran garis tengah butir dan takaran yang optimal dengan demikian perlu mendapatkan perhatian. Tepung tulang dengan ukuran garis tengah < 250 μm menghasilkan rerata bobot kering akar, tajuk, dan total tanaman kudzu yang nyata tertinggi (p < 0.05), masing-masing sebesar 40.06, 160.49 dan 200.54 mg, dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh tepung tulang berukuran garis tengah > 250 μm (Tabel 8). Penggunaan tepung tulang berukuran lebih halus lebih menguntungkan untuk memproduksi biomassa tanaman kudzu.

(12)

Tabel 8 Rerata bobot kering tanaman kudzu umur 12 MST

Perlakuan Bobot kering (mg)

Akar Tajuk Total

T1 33.96 fg 136.89 c 170.84 de T2 34.74 efg 162.13 b 196.87 b T3 44.50 a 171.67 a 216.17 a T4 42.36 ab 173.95 a 216.31 a T5 38.63 cd 134.20 cd 172.83 d T6 31.99 gh 115.97 e 147.96 g T7 35.80 def 130.92 d 166.72 ef T8 40.11 bc 138.75 c 178.85 c T9 37.28 cde 134.07 cd 171.35 de T10 26.01 i 76.95 g 102.96 i T11 29.36 h 106.70 f 136.06 h T12 35.87 def 112.90 e 148.76 g T13 36.08 def 129.41 d 165.49 f Antar sumber P Pupuk buatan (T1) 33.96 A 136.89 A 170.84 A Tepung tulang (T2-13) 36.06 A 132.30 B 168.36 A

Antar garis tengah tepung tulang

< 250 μm (T2-5) 40.06 A 160.49 A 200.54 A

250 – 500 μm (T6-9) 36.29 B 129.93 B 166.22 B

> 500 μm (T10-13) 31.83 C 106.49 C 138.32 C

Keterangan: Huruf kecil berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p < 0.05) dengan Uji Duncan, huruf besar berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p < 0.05) dengan Uji Kontras Orthogonal.

Takaran tepung tulang dan bobot kering akar, tajuk, dan total tanaman kudzu umur 12 MST membentuk hubungan linier kuadratik untuk setiap ukuran garis tengah tepung tulang (Gambar 10, 11, & 12). Hal tersebut menunjukkan terdapat takaran tepung tulang yang optimal untuk menghasilkan bobot kering tanaman kudzu yang maksimal. Semakin besar ukuran garis tengah tepung tulang maka semakin besar pula takaran optimal yang diperlukan untuk mencapai bobot kering yang maksimal (Tabel 9). Semakin besar ukuran tepung tulang semakin rendah bobot kering maksimal yang dapat dihasilkan. Takaran optimal tepung tulang berukuran garis tengah < 250 μm ialah 27.52 – 34.60 mg untuk

(13)

menghasilkan bobot kering akar, tajuk, dan total tanaman kudzu masing-masing sebesar 44.33, 177.21, dan 220.95 mg.

Gambar 10 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering akar tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 26.38 + 1.04 x – 0.02 x2, R² = 0.80, p < 0.01;  y = 26.21 + 0.61 x – 0.01 x2, R2 = 0.85, p < 0.01; ▲ y = 21.17 + 0.47 x – 0.004 x2, R2 = 0.79, p < 0.01).

Gambar 11 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering tajuk tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 135.7 + 3.02 x – 0.05 x2, R² = 0.92, p < 0.01;  y = 99.56 + 1.83 x – 0.02 x2, R2 = 0.94, p < 0.01; ▲ y = 59.64 + 2.05 x – 0.01 x2, R2 = 0.95, p < 0.01). 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 10 20 30 40 50 60 B ob ot k er in g ak ar ( m g)

Takaran tepung tulang (mg)

< 250 um 250-500 um >500 um 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 10 20 30 40 50 60 B ob ot k er in g t aj u k ( m g)

Takaran tepung tulang (mg)

< 250 um 250-500 um >500 um

(14)

Gambar 12 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering total tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 162.08 + 4.05 x – 0.07 x2, R² = 0.96, p < 0.01;  y = 125.77 + 2.45 x – 0.03 x2, R2 = 0.96, p < 0.01; ▲ y = 80.82 + 2.52 x – 0.02 x2

, R2 = 0.97, p < 0.01).

Tabel 9 Takaran optimal (mg) tepung tulang dan bobot kering maksimal (mg) tanaman kudzu umur 12 MST yang dihasilkan oleh setiap ukuran garis tengah tepung tulang

Peubah tanaman < 250 µm 250 – 500 µm > 500 µm Takaran Bobot Takaran Bobot Takaran Bobot Bobot kering akar 34.60 44.33 41.47 38.94 67.31 37.03 Bobot kering tajuk 27.52 177.21 42.02 138.05 69.63 130.90 Bobot kering total 29.04 220.95 41.88 176.98 69.18 167.92

Kolonisasi G. etunicatum di akar tanaman kudzu umur 6 MST membentuk hubungan linier positif dengan bobot kering akar, tajuk, dan total tanaman kudzu umur 12 MST (Gambar 13). Hal tersebut menunjukkan bahwa kolonisasi awal ikut berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kudzu pada umur yang lebih tua. Semakin tinggi kolonisasi G. etunicatum pada akar tanaman P. phaseolides umur 6 MST semakin tinggi bobot kering tanaman kudzu pada umur yang lebih tua.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 0 10 20 30 40 50 60 B ob ot k er in g tot al t an am an ( m g)

Takaran tepung tulang (mg)

< 250 um 250-500 um >500 um

(15)

Gambar 13 Hubungan antara kolonisasi Glomus etunicatum pada akar tanaman kudzu umur 6 MST dengan bobot kering tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 17.82 + 0.35 x, R2 = 0.81, p < 0.01;  y = 28.04 + 2.00 x, R2 = 0.93, p < 0.01;  y = 45.85 + 2.35 x, R2 = 0.95, p < 0.01).

Spora terbentuk dari hifa ekstraradikal yang ujungnya menggelembung dan kemudian terputus. Hifa ekstraradikal merupakan perpanjangan hifa intraradikal yang menjulur ke luar dari akar dan kemudian berkembang di rizosfer. Keberadaan hifa intraradikal telah lama digunakan sebagai salah satu indikator kolonisasi akar oleh FMA. Oleh sebab itu, sekalipun tidak selalu tepat, kolonisasi akar berkemungkinan dapat digunakan sebagai penduga jumlah spora yang akan terbentuk. Kolonisasi akar pada umur 6 atau 12 MST membentuk hubungan yang linier positif dengan jumlah spora (Gambar 14). Hal tersebut bermakna bahwa semakin tinggi kolonisasi akar pada umur 6 atau 12 MST semakin tinggi jumlah spora yang terbentuk. Kolonisasi akar pada umur 6 MST tampaknya merupakan penduga yang lebih tepat untuk jumlah spora dibandingkan dengan kolonisasi akar pada umur 12 MST.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 20 30 40 50 60 70 80 B ob ot k er in g (m g)

Kolonisasi akar pada umur 6 MST (%)

Akar Pucuk Total

(16)

J uml a h s po ra ( bua h)

Gambar 14 Hubungan antara kolonisasi pada akar tanaman kudzu umur 6 MST ( y = 107.20 + 33.05 x, R2 = 0.92, p < 0.01) (kiri) dan umur 12 MST (▲ y = 99.32 + 21.19 x, R2

= 0.77, p < 0.01) (kanan) dengan jumlah spora Glomus etunicatum.

Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan tepung tulang sapi merupakan sumber P yang sama baiknya dengan pupuk buatan untuk meningkatkan produksi biomassa tanaman kudzu dan bahkan lebih unggul jika digunakan untuk memproduksi spora FMA G. etunicatum. Ragam pengaruh yang dihasilkan kedua jenis pupuk tersebut disebabkan perbedaan kadar hara dan sifat kelarutan pupuk. Pupuk buatan mengandung unsur P (1.09%) yang rendah dan unsur N yang lebih tinggi (25%) sehingga memiliki nisbah N/P yang tinggi. Tepung tulang sapi mengandung unsur P yang tinggi dan unsur N yang rendah sehingga memiliki nisbah N/P yang rendah namun tepung tulang sapi mengandung unsur mikro yang lebih lengkap. Unsur N diperlukan untuk pembentukan organ somatif FMA (miselium) (Bago et al. 2004; Öpik et al. 2008). Perkembangan FMA dibatasi oleh ketersediaan unsur P, sampai batas tertentu peningkatan kadar P dapat meningkatkan perkembangan FMA namun pada kadar yang semakin tinggi justru berpengaruh negatif terhadap FMA (Feldmann et al. 2009). Nisbah N/P yang tinggi, seperti yang dimiliki oleh pupuk buatan pada penelitian ini, dengan demikian merupakan prasyarat yang sesuai untuk pembentukan dan perkembangan FMA (Bressan 2002ab). Tepung

0 500 1000 1500 2000 2500 0 20 40 60 80 100 Kolonisasi akar (%) 0 500 1000 1500 2000 2500 0 20 40 60 80 100 Kolonisasi akar (%)

(17)

tulang, sekalipun memiliki nisbah N/P yang rendah, mengandung unsur mikro yang juga diperlukan untuk pembentukan dan perkembangan FMA (Smith & Read 2008). Hal tersebut diduga menjadi penyebab tidak berbedanya pengaruh tepung tulang dengan pupuk buatan terhadap simbiosis MA.

Pupuk buatan memiliki kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tulang. Oleh sebab itu tepung tulang mampu menyediakan lebih banyak unsur P pada tahap awal pertumbuhan namun secara berangsur akan berkurang karena bereaksi dengan partikel penyusun medium tumbuh atau diserap oleh tanaman dan jasad renik rizosfer (Havlin et al. 2005). Sebaliknya, pelepasan P dari tepung tulang berlangsung secara bertahap disesuaikan dengan umur dan kebutuhan tanaman. Tepung tulang memiliki kelarutan yang tergolong sedang, jadi terletak di antara TSP (berpelepasan cepat) dan batuan fosfat (berpelepasan lambat), dan kelarutannya ditentukan oleh kadar air medium tumbuh (Warren et al. 2009). Sebagian besar P dari tepung tulang berbentuk P larut asam dan hanya sebagian kecil yang larut air (Ylivainio et al. 2008). Oleh karena itu kemasaman rizosfer, yang umumnya semakin meningkat seiring dengan umur tanaman, berpengaruh besar terhadap pelarutan P dari tepung tulang. Pemasaman rizosfer, misalnya melalui eksudasi asam organik, dan simbiosis FMA merupakan salah satu strategi tanaman mendapatkan berbagai bentuk P dari dalam medium tumbuh (Lynch & Brown 2008). Kadar P total tepung tulang sapi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk buatan dengan demikian tidak berdampak negatif terhadap pembentukan dan perkembangan simbiosis MA karena unsur P dilepaskan secara bertahap sesuai dengan umur dan kebutuhan tanaman. Bentuk P sukar larut pada dasarnya tidak ditujukan untuk menghasilkan pengaruh yang cepat namun untuk menjagakan ketersediaan P dalam jangka panjang. Berbagai bentuk P sulit larut seperti batuan fosfat, kalsium fosfat dan tepung tulang, telah dilaporkan efektif untuk memelihara FMA dan meningkatkan pertumbuhan tanaman dalam jangka panjang (Nikolaou et al. 2002).

Tepung tulang berukuran yang lebih halus berpengaruh lebih baik terhadap pembentukan dan perkembangan FMA (Tabel 6) dan pembentukan biomassa

(18)

tanaman (Tabel 8). Tepung tulang berukuran < 250 µm menghasilkan pengaruh yang positif untuk perkembangan simbiosis G. etunicatum dan pertumbuhan tanaman kudzu sampai pada batas takaran 27 – 36 mg. Tepung tulang giling berukuran > 250 µm harus diberikan dengan takaran yang lebih tinggi yaitu > 40 mg agar menghasilkan pengaruh yang mendekati yang dihasilkan oleh tepung tulang berukuran < 250 µm (Tabel 7 & 9). Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor ukuran tepung tulang juga mempengaruhi pembentukan simbiosis MA dan produksi biomassa tanaman.

Fenomena demikian dapat dijelaskan berdasarkan perilaku sebuah benda yang ukurannya semakin mengecil. Semakin kecil ukuran sebuah benda semakin besar luas permukaannya. Luas permukaan yang semakin besar menjamin proses pertukaran atau pelepasan hara yang semakin intensif sebagaimana terjadi pada partikel lempung (clay) (Havlin et al. 2005). Ukuran garis tengah tepung tulang giling yang lebih kecil mampu menyediakan hara dalam tempo yang lebih singkat dibandingkan dengan yang berukuran lebih besar sehingga menghasilkan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan tanaman dan simbiosis MA. Semakin tinggi takaran tepung tulang berarti semakin banyak hara yang dapat disediakan. Tepung tulang mengandung P yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk buatan. Peningkatan takaran tepung tulang yang bermakna peningkatan kadar P dalam jaringan tubuh tanaman dan FMA dapat meningkatkan metabolisme pertumbuhan. Penyediaan hara yang lebih baik telah diketahui menjamin lebih baiknya pertumbuhan tanaman inang dan pembentukan struktur FMA intra- (hifa intraradikal, vesikel, dan arbuskula) dan ekstraradikal (hifa ekstraradikal dan spora) (Olsson et al. 2010). Namun demikian, jika terus dilakukan peningkatan takaran P tanpa diimbangi dengan peningkatan hara lainnya secara proporsional maka justru akan terjadi penurunan pertumbuhan.. Jadi, pengaruh positif ukuran garis tengah tepung tulang dibatasi oleh takarannya. Hal tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena hubungan linier kuadratik antara tepung tulang dengan kolonisasi akar, jumlah spora dan bobot kering tanaman.

(19)

Penggunaan tepung tulang berukuran < 250 µm meningkatkan pertumbuhan tanaman kudzu yang digunakan sebagai inang untuk memproduksi inokulum G. etunicatum (Tabel 8). Lebih baiknya pertumbuhan tanaman inang menjamin kecukupan karbon yang ditranslokasikan ke akar untuk pembentukan struktur FMA intra- dan ekstraradikal. Sekitar 20% karbon hasil fotosintesis dialokasikan ke tanaman inang untuk pembentukan struktur FMA (Smith & Read 2008). Translokasi karbon ke akar diwujudkan dalam bentuk peningkatan pembentukan biomassa akar sehingga meningkatkan permukaan yang dapat dikolonisasi oleh FMA. Semakin tinggi kolonisasi akar berkemungkinan semakin tinggi jumlah hifa ekstraradikal untuk pembentukan spora.

Spora FMA terbentuk dari ujung hifa ekstraradikal yang menggelembung dan kemudian terlepas. Hifa ekstraradikal terbentuk dari hifa intraradikal yang menjulur keluar dari akar dan membentuk percabangan yang ekstensif di rizosfer tanaman. Semakin banyak hifa ekstraradikal berpotensi meningkatkan jumlah spora bergantung kepada jenis FMA dan pasokan karbon dari tanaman inang. Hal tersebut terbukti dari adanya hubungan linier positif antara kolonisasi akar dengan jumlah spora (Gambar 14). Lebih tingginya koefisien determinasi pada persamaan regresi kolonisasi akar pada umur 6 MST dengan jumlah spora menunjukkan kolonisasi akar pada umur 6 MST dapat digunakan sebagai penduga tak berbias jumlah spora. Seorang produsen inokulum FMA dengan demikian tidak perlu menunggu sampai tanaman berumur 12 MST untuk mengetahui pembentukan spora FMA. Korelasi antara kolonisasi akar dengan jumlah spora FMA telah dilaporkan sebelumnya (Aliasgharzadeh et al. 2001; Isobe et al. 2008).

Jumlah spora G. etunicatum yang dihasilkan pada penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah spora yang dihasilkan oleh peneliti lain. Nurbaity et al. (2009) menggunakan media arang sekam dan zeolit, sorghum sebagai inang, dan mycofer (campuran G. manihotis, A. tuberculata dan G. etunicatum) ternyata hanya mampu menghasilkan 20 – 25 spora pada umur 70 HST. Karakter G. etunicatum yang mampu menggandakan diri dengan cepat jika ditumbuhkan dalam pot (Troeh & Loynachan, 2009) dan karakter sumber hara

(20)

yang digunakan pada percobaan ini dapat menjadi penyebab perbedaan hasil penelitian ini.

Ukuran butir tepung tulang yang lebih kecil memang menghasilkan dampak positif yang lebih cepat terhadap pertumbuhan tanaman dan simbiosis MA. Namun demikian, untuk mendapatkan tepung tulang berukuran yang lebih kecil memerlukan penyaringan yang selain memerlukan investasi peralatan, tenaga kerja dan waktu juga meningkatkan proporsi bahan yang terbuang atau tidak dipakai. Selain itu, ukuran tepung tulang yang semakin kecil juga meningkatkan proporsi tepung tulang yang tercuci dalam periode produksi inokulum menggunakan kultur pot. Ukuran yang halus juga berpotensi meningkatkan volume air yang ditahan sehingga dapat memperlambat sporulasi.

Ukuran yang lebih besar menjadikan lebih sedikitnya bahan yang hilang akibat tidak terpakai atau tercuci selama produksi inokulan FMA. Pelepasan hara dari tepung tulang yang berukuran lebih besar juga berlangsung lebih lambat karena luas permukaannya yang kecil sehingga dalam jangka panjang lebih menguntungkan khususnya untuk memproduksi FMA yang sporulasinya lambat misalnya Acaulospora. Ukuran yang lebih besar, yang bermakna tidak perlu ada alokasi tenaga kerja dan waktu untuk penyaringan. Penggunaan tepung tulang berukuran besar dengan demikian dalam jangka panjang lebih menguntungkan untuk produksi inokulan FMA dan meningkatkan pertumbuhan tanaman kudzu.

Simpulan

Tepung tulang berukuran halus (< 250 µm) lebih efektif dibandingkan dengan yang berukuran lebih kasar (> 250 µm) untuk memproduksi inokulan FMA G. etunicatum yang efektif bersimbiosis dengan tanaman kudzu. Tepung tulang giling dapat diaplikasikan dengan ukuran halus (< 250 µm) dengan takaran 29 - 36 mg per pot untuk menghasilkan spora sebanyak 2329 buah per 100 g inokulan dan bobot kering akar terkolonisasi sebanyak 44.37 mg per pot. Tepung tulang giling juga dapat diaplikasikan dengan ukuran lebih kasar (> 250 µm) namun dengan takaran yang lebih banyak (> 40 mg).

Gambar

Tabel 6  Rerata kolonisasi akar dan jumlah spora mikoriza arbuskula dalam  medium tumbuh kudzu umur 12 MST
Gambar 6  Hubungan antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi Glomus  etunicatum  pada akar tanaman  kudzu  umur 6 MST  (  y = 56.99 +  1.10 x – 0.02 x 2 , R² = 0.86, p &lt; 0.01;  y = 33.43 + 0.92 x – 0.01 x 2 ,  R 2 = 0.69, p &lt; 0.01; ▲ y = 24.06
Gambar 7  Hubungan antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi Glomus  etunicatum  pada akar tanaman  kudzu  umur 12 MST  (  y = 62.93 +  2.09 x – 0.03 x 2 , R² = 0.86, p &lt; 0.01,  y = 37.93 + 2.61 x – 0.03 x 2 ,  R 2  = 0.89, p &lt;  0.01; ▲ y = 28
Gambar 9  Hubungan antara takaran tepung tulang dengan jumlah spora Glomus  etunicatum pada medium tumbuh tanaman kudzu umur 12 MST ( y
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang dilakukan Bernard tschumi dalam mendesain Tokyo opera house. Tipologi opera house yang merupakan satu bangunan besar kemudian dipecah- pecah programnya agar mendapatkan di

Maka peranan utamanya dalam fermentasi bahan pangan adalah mengoksidasi alkohol dan karbohidrat lainnya menjadi asam asetat dengan semakin lama proses fermentasi,

Hasil Uji T test menunjukkan bahwa pengamalan Islam, dan pengetahuan menabung dalam Islam berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat menabung mahasiswa IAIN

Hukua pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukua - yang be rlaku dlsuat u negara yang aongadakan dase r-dase r a dan at uran-at

[r]

Hasil penelitian ini diawali pada siklus I yang melalui empat tahp, yakni tahap perencanaan dimulai dengan merancang RPP dan instrumen pembelajaran untuk mendukung

Justeru itu, UTM telah mengambil langkah dengan memantapkan dan membangunkan pelajar yang tinggal di kolej kediaman kerana beranggapan kehidupan di asrama atau

Belum terbentuknya Lembaga Adat menjadi salah satu hambatan pelestarian adat istiadat di Desa Tanjung Pauh, sehingga pemerintahan desa tidak bisa melakukan banyak