Makalah Hukum dan Peraturan Perikanan
Makalah Hukum dan Peraturan Perikanan
Penegakan Hukum terhadap Kasus Tindak Pidana
Penegakan Hukum terhadap Kasus Tindak Pidana
Illegal,
Illegal,
Un
Un rre
egulate
gulated,
d, and
and Un
Unrr e
epo
porr te
ted Fi
d Fi s
shi
hi ng (I
ng (I UU
UU ))
di Indonesia
di Indonesia
Oleh
Oleh
Nama
Nama
: Maya Purwaningtyas
: Maya Purwaningtyas
NIM
NIM
: 1250802071110
: 125080207111001
01
Kelas
Kelas
:
: P01
P01
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITA
UNIVERSITAS
S BRAWIJAYA
BRAWIJAYA
MALANG
MALANG
2014
2014
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1.1 Latar BelakangIndonesia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 Indonesia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2 dan kawasan laut seluas 5,8 juta, dinilai memiliki keanekaragaman kekayaan km2 dan kawasan laut seluas 5,8 juta, dinilai memiliki keanekaragaman kekayaan yang terkandung didalamnya sangat potensial bagi pembangunan ekonomi negara. yang terkandung didalamnya sangat potensial bagi pembangunan ekonomi negara. Luas laut Indonesia meliputi ¾ (tiga per empat) dari seluruh luas wilayah Negara Luas laut Indonesia meliputi ¾ (tiga per empat) dari seluruh luas wilayah Negara Indonesia. Wilayah perairan yang demikian luas menjadi beban tanggung jawab yang Indonesia. Wilayah perairan yang demikian luas menjadi beban tanggung jawab yang besar dalam
besar dalam mengelola dan mengelola dan mengamankannymengamankannya. a. Untuk mengamankan lUntuk mengamankan laut yang aut yang begitubegitu luas, diperlukan kekuatan dan kemampuan dibidang maritim berupa peralatan dan luas, diperlukan kekuatan dan kemampuan dibidang maritim berupa peralatan dan tekhnologi kelautan modern serta sumber daya manusia yang handal untuk mengelola tekhnologi kelautan modern serta sumber daya manusia yang handal untuk mengelola sumber daya yang terkandung di dalamnya, seperti : ikan, koral, mineral, biota laut sumber daya yang terkandung di dalamnya, seperti : ikan, koral, mineral, biota laut dan lain sebagainya. Tanpa pengamatan terintegrasi yang memadai, letak geografis dan lain sebagainya. Tanpa pengamatan terintegrasi yang memadai, letak geografis Indonesia yang strategis membuka peluang terjadinya pencurian dan pemanfaatan Indonesia yang strategis membuka peluang terjadinya pencurian dan pemanfaatan sumberdaya laut secara ilegal oleh pihak-pihak yang merugikan negara apabila sumberdaya laut secara ilegal oleh pihak-pihak yang merugikan negara apabila kemampuan pengawasan terbatas.
kemampuan pengawasan terbatas.
Kegiatan tindak pidana perikanan telah lama merugikan negara kita. Tindak Kegiatan tindak pidana perikanan telah lama merugikan negara kita. Tindak pidana
pidana perikanan perikanan yang yang dalam dalam dunia dunia internasional internasional dikenal dikenal dengan dengan istilah istilah “Illegal,“Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing” (IUU) artinya penangkapan ikan
Unregulated, and Unreported Fishing” (IUU) artinya penangkapan ikan yang illegal,yang illegal, tidak dilaporkan dan tidak sesuai aturan yang berlaku. Sebagaimana yang tercantum tidak dilaporkan dan tidak sesuai aturan yang berlaku. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3.1, Pasal 3.2 dan Pasal 3.3 International Plan of Action to Prevent, Deter dalam Pasal 3.1, Pasal 3.2 dan Pasal 3.3 International Plan of Action to Prevent, Deter and Eleminate Illegal,
and Eleminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA-IUU Fishing).Unreported and Unregulated Fishing (IPOA-IUU Fishing). Dalam PERMA No. 01 Tahun 2007 tentang Perikanan, juga dikenal istilah Dalam PERMA No. 01 Tahun 2007 tentang Perikanan, juga dikenal istilah Illegal, Unregulated, and U
Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing nreported Fishing . Adapun yang dimaksud dengan. Adapun yang dimaksud dengan Illegal, Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing
Unregulated, and Unreported Fishing dalam PERMA No.01 Tahun 2007 yaitudalam PERMA No.01 Tahun 2007 yaitu illegalillegal fishing
fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal perikanan
perikanan berbendera berbendera asing asing atau atau berbendera berbendera Indonesia Indonesia di di WPP-RI WPP-RI (Wilayah(Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia) tanpa izin atau bertentangan dengan Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia) tanpa izin atau bertentangan dengan peraturan
peraturan perundang-undangan perundang-undangan yang yang berlaku.berlaku. Unreported Fishing Unreported Fishing adalah kegiatan adalah kegiatan penangkapan
penangkapan ikan ikan yang yang tidak tidak pernah pernah dilaporkan dilaporkan atau atau dilaporkan dilaporkan secara secara tidak tidak benarbenar kepada instansi yang berwenang, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan kepada instansi yang berwenang, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional. Kemudian
nasional. Kemudian Unregulated Fishing Unregulated Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan pada adalah kegiatan penangkapan ikan pada suatu area penangkapan atau stok ikan di
Untuk itu diberikan landasan hukum bidang perikanan, telah disahkan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Undang-Undang-undang ini merupakan penyempurnaan dari Undang-undang No. 9 Tahun 1985 dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang dipandang belum menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan
kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi. Sudah beberapa kali Undang-Undang mengenai perikanan direvisi mulai dari Undang-Undang-Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 dan yang terakhir Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tetapi implementasi di lapangan masih memprihatinkan. Amanat agar perkara-perkara perikanan dibawa ke pengadilan perikanan dan menjerat pelaku dengan UU Perikanan itu ternyata belum efektif.
1.2 Rumusan masalah
Apa pengertian dari illegal fishing dalam hukum peraturan perikanan ?
Bagaimana hukum peraturan perikanan terhadap kasus tindak pidana illegal
fishing di Indonesia saat ini ?
Apa faktor – faktor yang menghambat dan mendukung hukum tindak pidana
IUU Fishing dan upaya – upaya yang dilakukan oleh penegak hukum untuk memberantas tindak pidana IUU Fishing ?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui kasus tindak pidana IUU Fishing dalam hukum peraturan
perikanan
Untuk mengetahui dasar hukum peraturan perikanan kasus tindak pidana IUU
Fishing di Indonesia saat ini
Untuk mengetahui faktor pendukung dan yang menghambat pelaksanaan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Illegal Fishing dalam Hukum Peraturan Perikanan
Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian ikan (illegal fishing), namun juga penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing), dan penangkapan ikan yang tidak diatur (unregulated fishing). Negara yang belum melaporkan status perikananannya dengan jelas, bisa dikategorikan telah
melakukan kejahatan.
Menurut Rahmawati (2013), pada tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai komersial tinggi, khususnya sediaan jenis ikan yang beruaya terbatas (strading fish stocks) dan jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratoy fish stock), telah menimbulkan keprihatinan dunia. Oleh karena itu, kerja sama internasional dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah yang timbul. Pada lanjutan penjelasan umum persetujuan konvensi ini yang kemudian telah diratifikasi sesuai UU No. 21 tahun 2009 dinyatakan bahwa konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang hukum laut (United Nations Convention on the Law of The Sea/ UNCLOS) 1982 mengatur secara garis besar mengenai beberapa spesies ikan yang mempunyai sifat khusus. Pada tahun 1995 Perserikatan Bangsa-bangsa telah menyusun suatu persetujuan untuk mengimplementasikan ketentuan tersebut dalam bentuk Agrement for the implementing of the Provision of th UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Strading Fish stocks and highly migratory fish stocks (United Nations Implementing Agreement/UNIA 1995). UNIA 1995 merupakan persetujuan multilateral yang mengikat para pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS 1982.
Undang-undang No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan menyebutkan bahwa Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan di budidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan mengawetkan. Penangkapan ikan secara ilegal berarti segala bentuk kegiatan penangkapan ikan yang melanggar UU No.31 Tahun 2004 pasal 1 dan peraturan perundangan lainnya.
2.2 Hukum Peraturan Perikanan terhadap Kasus Tindak Pidana IUU Fishing di Indonesia Praktek IUU Fishing ( Illegal, unreported, unregulated fishing ) di wilayah laut Indonesia hingga kini masih marak. Bahkan akibat pencurian ikan tersebut, negeri bahari ini mengalami kerugian hingga mencapai Rp 30 triliun pertahun. Duta Besar (Dubes) Thailand untuk Indonesia, Chaiyong Satjipanon, mengakui banyak nelayan dari negaranya mencuri ikan di perairan Indonesia. Mafia pencurian ikan semakin marak di perairan Indonesia. Di tahun 2008 saja Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bersama TNI AL, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), khususnya Polisi Air (Polair) dan masyarakat berhasil menangkap sekitar 130 kapal nelayan berbendera asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Kasus terbesar adalah penangkapan 24 kapal dengan 400 anak buah kapal (ABK) yang tengah melakukan pemindahan hasil tangkapan dari kapal kecil ke dua kapal besar di Laut Arafuru, Papua. Kasus pencurian juga terjadi di Laut Natuna dan Sulawesi hingga Lautan Pasifik. Kapal
nelayan asing asal Taiwan, Tiongkok, Filipina, Vietnam, dan Thailand menyerbu perairan Indonesia. Kerugian negara akibat penangkapan ikan secara liar (illegal
fishing) oleh kapal- kapal penangkap ikan nelayan asing dikhawatirkan kian meningkat sejalan dengan semakin banyaknya jumlah kasus-kasus pelanggaran bidang perikanan. Dengan banyaknya kasus pelanggaran penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) yang dilakukan oleh kapal berbendera asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) maka pemerintah Indonesia harus melakukan upaya penegakan hukum untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana illegal fishing di
ZEEI (Simanjuntak, 2010).
Kegiatan illegal fishing yang terjadi di Indonesia pada tahun 2005 terdapat 122 kasus, tahun 2006 terdapat 132 kasus dan tahun 2007 terdapat 163 kasus. Pelanggaran yang banyak dilakukan oleh kapal-kapal tersebut adalah tidak adanya surat izin penangkapan, pengguanan alat tangkap yang tidak sesuai dengan peraturan, dan fishing ground. Dengan terjadinya praktek illegal fishing ini maka negara dirugikan hampir 30 triliun rupiah pertahun (dengan perhitungan 25% potensi perikanan kita dicuri atau sekitar 1,6juta ton dengan harga jual US $2 perkilogram).
Selain kerugian secara finansial, negara juga mengalami kerusakan lingkungan akibat maraknya IUU Fishing. Kerusakan yang paling parah terjadi pada habitat terumbu karang yang merupakan ekosistem khas di wilayah perairan tropis. Dengan luas keseluruhan terumbu karang Indonesia sekitar 7500km² hanya sekitar 7% yang tersisa dengan kondisi yang sangat baik, 33% dalam keadaan baik, dan 60% dalam keadaan rusak. Masalah lain yang timbul dari IUU fishing adalah makin memutihnya
terumbu karang yang berada di perairan laut Indonesia. Hal ini mungkin saja terjadi mengingat pola penangkapan ikan yang dilakukan para pelaku illegal fishing masih kurang bersahabat bagi konservasi makhlut laut lainnya.
Disisi lain kegiatan IUU Fishing yang terjadi juga menimbulkan kerugian tersendiri bagi nelayan Indonesia dan juga pelaku usaha perikanan nasional. Semakin maraknya IUU Fishing secara besar-besaran jelas akan mengancam potensi ketersediaan ikan-ikan di perairan Indonesia dan akhirnya membuat nelayan Indonesia semakin sulit memperoleh tangkapan ikan sebagai sumber mata pencaharian mereka. Selain itu negara juga akan mengalami kerugian yang besar akibat hilangnya devisa negara.
Secara umum dampak IUU Fishing di perairan Indonesia di uraikan sebagai berikut : a. Hilangkan pendapatan dan penerimaan negara
Hal ini di sebabkan karena ikan ikan hasil tangkapan di bawa dan di jual ke luar negeri sehingga retribusi dan pajak atas hasil penangkapan itu tidak dapat di pungut Pemerintah Indonesia, sehingga dapat mengurangi pendapatan negara.
b. Rusaknya lingkungan sumber daya perikanan
Hal ini di sebabkan karena kapal kapal yang melakukan pencurian ikan menggunakan alat alat yang dilarang untuk menangkap ikan, seperti menggunakan trawl yang dapat merusak :
Terumbu karang, karena trawl dapat beroperasi sampai ke dasra perairan
sehingga merusak karang karang yang berada di pasar perairan.
Punahnya anak anak ikan sampai dengan ukuran tertentu, sebab trawl dapat
menangkap anak anak ikan sampai ukuran tertentu. c. Berkurangnya pendapatan nelayan
Hal ini disebabkan kapal kapal pencuri ikan biasanya beroperasi di daerah perairan yang di peruntukkan bagi nelayan nelayan kecil yang beroperasi di jalur I(< 6
mil) sehingga menjadi saingan bagi nelayan nelayan kecil lainnya yang beroperasi di jalur I.
d. Konflik antar nelayan
Hal ini di sebabkan oleh karena nelayan nelayan kecil tersebut harus menangkap ke daerah penangkapan yang lebih jauh sehingga membutuhkan biaya operasioanal yang lebih besar seperti bahan bakar, konsumsi dan lain lain.
e. Bertambahnya biaya operasional nelayan untuk melaut
Hal ini di sebabkan karena penafsiran otonomi daerah yang sempit seolah olah laut terkapling- kapling sehingga nelayan dari suatu daerah tidak dapat masuk ke daerah lain untuk menangkap ikan.
Kegiatan IUU Fishing yang umumnya terjadi di perairan Indonesia adalah penangkapan ikan tanpa izin, penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu, penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang, dan penangkapan ikan yang melanggar wilayah penangkapan. Maka peran serta pemerintah diperlukan untuk menangani masalah ini agar tidak berkepanjangan. Hal tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui kerjasama baik secara bilateral maupun multilateral.
Adanya seperangkat aturan (norma hukum) di Indonesia yang mengatur tentang tindak pidana perikanan yaitu
1. Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan,
2. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil serta aturan pelaksanaannya lainnya seperti : Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Usaha Perikanan,
3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan,
4. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan,
6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005 tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan,
7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia Yang Bukan Untuk Tujuan Komersial,
8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap,
9. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.06/MEN/2008 tentang Penggunaan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara,
10. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkap Ikan Jaring Ingsang (Gill Net) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Beberapa macam tindak pidana perikanan ( IUU Fishing : Illegal, Unregulated, Unreported Fishing ) dapat dibedakan atas :
a. Illegal Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, tidak memiliki ijin dari negara pantai.
b. Unregulated Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut. c. Unreported Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau
ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya.
Berdasarkan IPOA ( International Plan Of Action) yaitu suatu organisasi regional yang bergerak di bidang perencanaan dan pengelolaan perikanan, memetakan jenis IUU Fishing sebagai berikut :
a. Kegiatan perikanan melanggar hukum ( Illegal Fishing ), yaitu kegiatan penangkapan ikan :
1) Dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa ijin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2) Bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional;
3) Dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku; 4) Penyebab Illegal Fishing, antara lain :
Meningkat dan tingginya permintaan ikan, baik didalam negeri maupun
luar negeri;
Berkurang atau habisnya sumber daya ikan di negara lain; Lemahnya armada perikanan nasional;
Dokumen perijinan pendukung dikeluarkan oleh lebih dari satu instansi; Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut;
Lemahnya tuntutan dan putusan pengadilan;
Belum adanya kesamaan visi aparat penegak hukum yang berkompeten
di laut;
Lemahnya peraturan perundangan terutama mengenai ketentuan
Kegiatan iIllegal fishing yang umum terjadi di perairan yurisdiksi nasioal Indonesia, adalah :
Penangkapan ikan tanpa ijin;
Penangkapan ikan dengan menggunakan ijin palsu;
Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang; dan Penangkapan ikan dengan jenis yang tidak sesuai dengan ijin.
b. Kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan (Unreported Fishing ), yaitu kegiatan penangkapan ikan :
1) Tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar kepada instansi yang berwenang, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional.
2) Dilakukan di area yang menjadi kompetensi organisasi pengelolaan perikanan regional, namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara
tidak benar, tidak sesuai dengan prosedur pelaporan dari organisasi tersebut. 3) Penyebab Unreported Fishing , antara lain :
Lemahnya peraturan perundang-undangan; Lemahnya ketentuan sanksi dan pidana;
Belum sempurnanya sistem pengumpulan data hasil tangkapan
angkutan ikan;
Belum ada kesadaran pengusaha terhadap pentingnya menyampaikan
data hasil tangkapan/angkutan ikan;
Hasil tangkapan dan daerah tangkapan dianggap rahasia dan tidak untuk
diketahui pihak lain;
Wilayah kepulauan menyebabkan banyak tempat pendaratan ikan yang
sebagian besar tidak termonitor dan terkontrol;
Unit penangkapan dibawah 6 GT tidak diwajibkan memiliki IUP dan
SIPI, sehingga tidak diwajibkan melaporkan data hasil tangkapannya; dan
Sebagian besar perusahaan yang memiliki armada penangkapan ikan
mempunyai pelabuhan sendiri.
Kegiatan Unreported Fishing yang umum terjadi di perairan yurisdiksi nasional Indonesia, adalah :
Penangkapan ikan yang tidak melaporkan hasil tangkapan yang
Penangkapan ikan yang langsung dibawa ke negara lain (transhipment )
di tengah laut.
c. Kegiatan perikanan yang tidak diatur (Unregulated Fishing ), yaitu kegiatan penangkapan ikan :
1) Suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan ketentuan pelestarian dan pengelolaan dan kegiatan penangkapan tersebut dilaksanakan dengan cara
yang tidak sesuai dengan tanggung jawab negara untuk pelestarian dan pengelolaan sumber daya ikan sesuai hukum internasional.
2) Area yang menjadi kewenangan organisasi pengelolaan perikanan regional, yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan, atau yang mengibarkan bendera suatu negara yang tidak menjadi anggota organisasi tersebut, dengan
cara yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan dari organisasi tersebut.
3) Penyebab Unregulated Fishing , antara lain :
Potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia masih dianggap
memadai dan belum mencapai tingkat yang membahayakan;
Terfokus pada aturan yang sudah ada karena banyak
permasalahan/kendala dalam pelaksanaan di lapangan;
Orientasi jangka pendek;
Beragamnya kondisi daerah perairan dan sumber daya ikan, dan
Belum masuknya Indonesia menjadi anggota organisasi perikanan
internasional.
Kegiatan Unregulated Fishing di perairan yurisdiksi nasional Indonesia banyak ragamnya, antara lain masih belum diaturnya :
Mekanisme pencatatan data hasil tangkapan dari seluruh kegiatan
penangkapan ikan yang ada;
Wilayah perairan-perairan yang diperbolehkan dan dilarang; dan
Pengaturan aktifitas sport fishing, kegiatan-kegiatan penangkapan ikan
menggunakan modifikasi dari alat tangkap ikan yang dilarang, seperti penggunaan jaring arad dan jaring apollo.
2.3 Faktor dalam penegakan hukum dalam tindak pidana illegal fishing di Indonesia Menurut Mukhtar (2008) dalam Renhoran (2011) bahwa masalah-masalah yang
kendala-kendala dalam penanganannya. mengemukakan kendala-kendala yang dihadapi dalam penanganan IUU fishing di Indonesia yaitu:
a. Lemahnya pengawasan karena masih terbatasnya sarana prasarana dan fasilitas pengawasan, SDM pengawasan yang masih belum memadai terutama dari sisi kuantitas, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum baik pusat maupun daerah, dan belum berkembangnya lembaga pengawasan; Penerapan Monitor ing and Controlling System yang belum sempurna.
b. Belum tertibnya perizinan yang tergambar dari adanya pemalsuan dan penggandaan izin.
c. Lemahnya Law Enforcement karena wibawa hukum menurun. d. Ketidakadilan bagi masyarakat.
e. Maraknya pelanggaran & aktivitas-aktivitas ilegal.
Masalah-masalah IUU fishing yang dijelaskan di atas, umumnya terjadi di wilayah-wilayah perbatasan. Kecenderungan masalah-masalah tersebut, khususnya di wilayah perbatasan disebabkan oleh eksistensi wilayah yang memiliki potensi sumber daya yang penting untuk dimanfaatkan. Beberapa masalah di wilayah perbatasan Indonesia yang penting dikemukakan untuk memberikan gambaran adanya
masalah di wilayah itu, antara lain :
1. Provinsi Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, kondisi sosial-ekonomi negara tetangga masih jauh lebih baik. Selain itu, di wilayah perbatasan ini terjadi pula penurunan kualitas sumber daya alam akibat perambahan hutan secara ilegal serta adanya pengiriman sumber daya manusia secara ilegal.
2. Di wilayah perbatasan Papua-PNG, kondisi sosial dan ekonomi Indonesia yang masih relatif lebih baik serta masih adanya keterikatan keluarga dan suku bangsa sehingga menyebabkan terjadinya arus orang dan perdagangan barang yang bersifat tradisional (barter) melalui pintu-pintu perbatasan yang belum resmi. Kegiatan perdagangan yang bernilai ekonomi tinggi dan bersifat resmi antara kedua negara melalui pintu perbatasan ini masih sangat terbatas. Sebagian besar wilayah perbatasan di Papua terdiri atas areal hutan, baik hutan konversi maupun hutan lindung dan taman nasional. Secara fisik, sebagian besar wilayah perbatasan di Papua terdiri atas pegunungan dan kawasan berbukit yang masih sulit dijangkau dengan sarana perhubungan roda empat dan roda dua. Satu-satunya sarana perhubungan yang dapat menjangkau wilayah perbatasan pegunungan tersebut
3. Di wilayah perbatasan Indonesia dan RDTL, secara umum kondisi wilayah perbatasan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Maluku Barat Daya, masih belum berkembang dan sarana serta prasarananya masih bersifat darurat. Secara umum kondisi wilayah perbatasan di NTT dan Maluku Barat Daya ini relatif lebih baik dibanding dengan wilayah perbatasan di wilayah Timor Leste (RDTL). Pada kawasan tersebut sudah berlangsung kegiatan perdagangan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat Timor Leste dan disediakan oleh masyarakat Indonesia dengan nilai jual yang relatif tinggi.
2.3.1 Faktor – faktor penghambat
1. Obyek Penegak Hukum Sulit Ditembus Hukum
Obyek yang dimaksud disini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan Illegal Fishing yaitu pelaku yang menjadi otak dari kegiatan tersebut. Terutama dalam hal ini adalah oknum Pejabat Penyelenggara Negara, oknum Aparat Penegak Hukum atau oknum Pegawai Negeri Sipil yang tidak diatur secara khusus dalam Undang – Undang tentang Perikanan tersebut.Penerapan Pasal 56 ayat (1) KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tindak pidana sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana dapat juga diterapkan dalam kejahatan Illegal Fishing yang melibatkan banyak pihak. Namun demikian beban pidana yang harus ditanggung secara bersama dalam terjadinya tindak pidana Illegal Fishing juga dapat mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena dengan kualitas dan akibat perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidanakan maksimum sama dengan si pembuat menurut ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHP, sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya sulit ditemukan.
2. Lemahnya Koordinasi Antar Penegak Hukum
Lemahnya koordinasi antar Instansi Penegak Hukum dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing – masing, sehingga sangat rawan menimbulkan konflik kepentingan. Penegakan hukum yang tidak terkoordinasi merupakan salah satu kendala dalam penanggulangan kejahatan Illegal Fishing . Proses peradilan mulai dari penyidikan hingga ke persidangan membutuhkan biaya yang sangat besar, proses hukum yang sangat panjang dan sarana / prasarana yang sangat memadai membutuhkan keahlian khusus dalam penanganan kasus tersebut. Dalam satu Instansi tentu tidak memiliki semua
rangka penegakan hukum.Oleh karena itu diperlukan koordinasi dan kerjasama yang sinergis antar Instansi yang terkait dalam upaya penegakan hukum terhadap Illegal Fishing tersebut.
Dalam pemberantasan kejahatan Illegal Fishing yang terjadi di Indonesia sering ditemui bahwa yang merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan Illegal Fishing ialah disebabkan oleh kurangnya koordinasi yang efektif dan efisien antara berbagai Instansi yang terkait, yang mana sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER/11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Nomor PER/13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan yaitu dalam hal ini terdapat 10 (sepuluh) Instansi yang terkait yang berada dalam satu mata rantai pemberantasan Illegal Fishing yang sangat menentukan proses penegakan hukum kejahatan perikanan yaitu : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepolisian Republik Indonesia, TNI - Angkatan Laut, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan Ham Ditjen Keimigrasian, Kemeterian Perhubungan Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Keuangan Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Mahkamah Agung dan Pemerintah Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota.Koordinasi antar berbagai Instansi tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam penegakan hukum pidana terhadap kejahatan Illegal Fishing yang merupakan kejahatan terorganisir yang memiliki jaringan yang sangat luas mulai dari penangkapan ikan secara ilegal, tanshipment ikan ditengah laut hingga eksport ikan secara ilegal.
3. Masalah Pembuktian
Berbicara mengenai masalah pembuktian yang dianut oleh hukum pidana Indonesia adalah sistem negatif (negatif wettelijke stelsel ) yang merupakan gabungan dari sistem bebas dengan sistem positif (Syahrani, 1983:129). Lebih lanjut menurut Syahrini bahwa dalam sistem negatif Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah menurut hukum sehingga Hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwalah yang telah bersalah melakukan tindak pidana. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 183 UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP.
Alat bukti utama yang dapat dijadikan dasar tuntutan dalam tindak pidana Illegal Fishing adalah keterangan saksi ahli untuk menjelaskan keadaan laut ataupun akibat dari penangkapan ikan secara ilegal yang disebabkan oleh
kajahatan oleh para pelaku Illegal Fishing , proses ini juga sangat memerlukan waktu yang cukup lama dari tindak pidana umum serta sangat dibutuhkan ketelitian dalam proses penanganannya.
Pembuktian terhadap tindak pidana Illegal Fishing yang masih mengacu pada KUHAP seperti tersebut diatas, adalah merupakan kewajiban penyidik dan penuntut umum untuk membuktikan sangkaannya terhadap tersangka, kemudian alat-alat bukti yang juga mengacu pada KUHAP seperti halnya tindak pidana biasa, sangat sulit untuk menjerat pelaku – pelaku yang berada di belakang kasus tersebut. Belum diaturnya mekanisme proses untuk mengakses alat-alat bukti seperti akses informasi pada bank atau ketentuan yang memerintahkan kepada bank untuk meblokir rekening tersangka yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
4. Ruang Lingkup Tindak Pidana yang Masih Sempit
Ruang lingkup tindak pidana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan belum meliputi tindak pidana korporasi, tindak pidana penyertaan dan tindak pidana pembiaran (ommission). Tindak pidana Pembiaraan atau (ommission) adalah terutama yang dilakukan oleh pejabat yang memiliki kewenangan dalam masalah penanggulangan Illegal Fishing.
5. Rumusan Sanksi Pidana
Rumusan sanksi pidana dalam pasal Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikananyang memiliki sanksi pidana denda yang sangat berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain, ternyata belum memberikan efek jer a kepada pelaku kejahatan Illegal Fishing. Ancaman hukuman penjara yang paling berat 6
(enam) tahun bagi pelaku yang melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki atau membawa SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) dan paling berat 7 (tujuh) tahun bagi yang melakukan pemalsuan dan memakai ijin palsu berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Pidana denda yang paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah). Rumusan sanksi dalam Undang – Undang ini tidak mengatur rumusan sanksi paling rendah atau minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberi efek jera kepada pelaku. Demikian juga belum diatur tentang sanksi pidana bagi Korporasi serta sanksi pidana tambahan terutama kepada tindak pidana pembiaran.
Subyek atau pelaku yang diatur dalam ketentuan pidana Perikanan secara tersurat hanya dapat diterapkan kepada pelaku yang secara langsung melakukan penangkapan ikan secara ilegal maupun kepada kapal ikan yang yang melakukan transhipment secara ilegal. Ketentuan tentang pidana perikanan itu belum menyentuh pelaku lain termasuk pelaku intelektual yang terkait dengan Illegal Fishing secara keseluruhan seperti Korporasi, Pejabat Penyelenggara Negara,
Pegawai Negeri Sipil, TNI/POLRI, dan Pemilik Kapal. 7. Proses Penyitaan
Barang bukti berupa kapal perikanan, ikan dan dokumen-dokumen kapal dalam tindak pidana perikanan khususnya ikan dalam proses penyitaan sebagai barang bukti sangat perlu diperhatikan dimana barang bukti tersebut memiliki sifat yang cepat membusuk sehingga dalam proses penyitaan sebagai barang bukti harus dilakukan secara baik yaitu setelah barang bukti tersebut disita
selanjutnya segera di lelang dengan persetujuan Ketua Pengadilan kemudian uang hasil lelang tersebut digunakan sebagai barang bukti di Pengadilan.
8. Ganti Kerugian Ekologis
Tindak pidana Illegal Fishing adalah tindak pidana yang mempunyai dampak terhadap kerugian lingkungan (ekologis) sehingga sangat perlu dirumuskan pasal tentang perhitungan kerugian secara ekologis. Hal ini juga belum diatur dalam Undang – Undang Perikanan.
9. Kurangnya Wawasan dan Integritas Para Penegak Hukum
Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Illegal Fishing adalah adanya wawasan dan integritas para penegak hukum terutama menyangkut penguasaan hukum materil dan
formil, hal ini dikarenakan begitu cepatnya perkembangan masyarakat yang semakin moderen, telekomunikasi dan teknologi sehingga banyak kejahatan baru yang bermunculan dengan jenis dan modus operandi yang baru dan beraneka jenis, termasuk kejahatan tindak pidana Illegal Fishing . Adanya perkembangan jenis maupun modus operandi suatu tindak pidana harus dibarengi dengan peningkatan wawasan dan integritas para penegak hukum agar tidak salah dalam menerapkan hukum dan dapat menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya. Dalam prakteknya penulis menemukan wawasan dan integritas para penegak hukum ternyata masih sangat kurang dan perlu dilakukan peningkatan lebih lanjut lagi.Hal ini berawal dari proses rekruitmen yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip transparan, partisipatif dan akuntabel secara profesional hingga
kependidikan kejuruan, pelatihan-pelatihan dan pembekalan-pembekalan yang kurang memadai bagi aparat penegak hukum terhadap tindak pidana Illegal Fishing tersebut. Hasil penelitian penulis dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Illegal Fishing pada lembaga peradilan di Pengadilan Negeri Merauke yang mana sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 telah terdapat sebanyak 56kasus/perkara yang telah memiliki putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde). Bagaimana Hakim menentukan sikap terhadap para terdakwa? Berdasarkan data putusan-putusan pengadilan tersebutadalah sebagai berikut yang mana dari ke 56 perkara tersebut tidak semuanya termasuk dalam tindak pidana Illegal Fishing namun ada 10 perkara yang termasuk dalam tindak pidana Pelayaran dan 3 perkara yang melanggar ketentuan Undang-Undang Zona Ekonomi Eklusif dan sisanya sebanyak 42 perkara merupakan tindak pidana Illegal Fishing.
Persepsi keamanan di laut tidak hanya masalah penegakan kedaulatan dan hukum tetapi mengandung pemahaman bahwa laut aman digunakan bagi pengguna dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas pengguna
atau pemanfaatan laut, yaitu :
a. Laut bebas dari ancaman kekerasan, yaitu ancaman menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisir dan dinilai mempunyai kemampuan untuk mengganggu dan membahayakan kedaulatan negara, baik berupa ancaman militer, pembajakan dan perompakan.
b. Laut bebas dari ancaman bahaya navigasi, yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi, seperti sistem perambuan dan pelampungan (beacon and buoys), suar (lights), serta minimnya informasi pelayaran seperti kepanduan bahari ( sailing direction), daftar suar (list of lights), daftar arus dan pasang surut dan lain-lain, sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran;
c. Laut bebas dari ancaman terhadap sumber daya laut, berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut yang dampaknya akan sangat merugikan generasi penerus seperti kegiatan penambangan yang over exploitation dan over
exploration.
d. Laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu ancaman pelanggaran terhadap ketentuan hukum nasional maupun internasional yang berlaku, seperti illegal fishing, illegal logging, illegal immigration, illegal mining, dan lain-lain.
2.3.2 Upaya – Upaya Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana IUU Fishing
Sosialisasi berbagai peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang sumberdaya perikanan dan pengelolaannya kepada masyarakat tentang dampak tindak pidana Illegal Fishing terhadap pembangunan bangsa dan negara dimasa yang akan
datang. Masyarakat diharapkan mengetahui tentang prosedur mendapatkan ijin penangkapan, pengangkutan dan pengolahan ikan yang benar dan sekaligus untuk menambah pengetahuan masyarakat guna menghadapi para investor perikanan yang tidak beritikad baik.
Sosialisasi teknis proses penegakan hukum tindak pidana Illegal Fishing kepada aparat penegakan hukum meliputi kualifikasi aspek tindak pidana, dan administratif dalam perkara Illegal Fishing hal ini dimaksudkan agar para penegak hukum tidak salah dalam menerapkan aturan hukum. Penataan kembali administrasi perijinan perikanan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Dinas kelautan dan Perikanan Propinsi dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten. Memperketat proses pemberiaan ijin penangkapan, pengangkutan, pengolahan ikan dan pengawasannya. Hal ini dimaksudkan agar Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Dinas kelautan dan Perikanan Propinsi dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten tidak kecolongan atau sembarangan menerbitkan ijin.
Kejaksaan sebagai Instansi tingkat kedua dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana Illegal Fishing setelah Penyidik mengkualifikasikan perkara Illegal Fishing sebagai perkara prioritas yang perlu ditangani serius. Hal ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah melalui Kejaksaan dalam memberantas penangkapan ikan secara ilegal di Indonesia walaupun masih ada kendala terutama
dalam proses membuat tuntutan terhadap pelaku Illegal Fishing yang cukup panjang atau relatif lama karena harus diajukan kepada Kejaksaan Tinggi dan diteruskan ke Kejaksaan Agung.
Pengadilan sendiri telah berupaya untuk serius menangani perkara Illegal Fishing terutama oleh para Hakim dengan menerapkan aturan hukum yang benar terhadap para pelaku dan memutuskan perkara dalam waktu yang relatif singkat dengan berdasarkan kepada rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan yang tercermin
dalam putusannya.
Terlepas dari semua itu masyarakat sebagai pihak yang awam terhadap hukum akan selalu mempertanyakan putusan pengadilan dengan adanya praktek – praktek yang unprofesional oleh aparat penegak hukum baik PPNS Perikanan, TNI - Angkatan
Laut,Penyidik Polri, Jaksa maupun Hakim namun tentu saja hal tersebut harus mempunyai dasar yang kuat agar Lembaga Penegak Hukum sendiri tidak dirugikan dengan tudingan-tudingan yang tidak berdasar. Sebaliknya jika tudingan tersebut terbukti, maka oknum Penegak Hukum tersebut harus segera ditindak dengan tegas berdasarkan aturan hukum dan hal ini berarti Lembaga Penegak Hukum perlu
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di Indonesia, IUU Fishing terjadi pada berbagai aspek aktivitas perikanan tangkap. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kasus tindak pidana ini tidak hanya menyebabkan kerugian secara finansial, tetapi juga kerusakan lingkungan laut serta masalah besar bagi nelayan maupun pengusaha yang mata pencahariannya mengandalkan sumberdaya perikanan.
Oleh karena itu seluruh institusi peradilan pidana, termasuk pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan di bidang perikanan. Sehingga perlunya dilakukan peningkatan kemampuan maupun kompetensi sumberdaya manusia khususnya ditingkat penuntutan dan pengadilan sehingga dalam proses penyelesaian atau penegakan hukum terhadap tindak pidana Ilegal Fishing dapat dilakukan secara profesional dan tepat sasaran sehingga diharapkan tujuan dari sistem peradilan pidana
terpadu didalam menanggulangi kejahatan dibidang perikanan dapat tercapai.
3.2 Saran
Untuk semua pihak terutama pemerintah diharapkan bisa segera menangani dan mencari solusi dari adanya praktek IUU Fishing di beberapa perairan di Indonesia sehingga kerugian yang disebabkan dapat dikurangi dan untuk para pelaku kasus pidana IUU Fishing seharusnya sadar dengan apa yang mereka lakukan bahwa