• Tidak ada hasil yang ditemukan

AGAMA, MANUSIA DAN LINGKUNGAN SEBAGAI PONDASI DAYA TARIK WISATA DI OBJEK WISATA PURA TIRTA EMPUL, TAMPAK SIRING, GIANYAR, BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AGAMA, MANUSIA DAN LINGKUNGAN SEBAGAI PONDASI DAYA TARIK WISATA DI OBJEK WISATA PURA TIRTA EMPUL, TAMPAK SIRING, GIANYAR, BALI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Ilmiah Hospitality Management 91 AGAMA, MANUSIA DAN LINGKUNGAN

SEBAGAI PONDASI DAYA TARIK WISATA

DI OBJEK WISATA PURA TIRTA EMPUL, TAMPAK SIRING, GIANYAR, BALI I Made Trisna Semara, ST., M.Par

Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional Surel : semaratrisna@gmail.com

ABSTRACT

The purpose of the research is to know the factors that become the foundation of a touris attraction in Tirta Empul Temple. The benefit of this research is to organize a tourism region towards sustainable tourism. The research use qualitative method and quantitative descriptive analysis technique.

The result of the research is Tirta Empul tourism has good foundation and friendly tourism. It supports the development of tourism in the future. Tirta Empul tourism foundation can be seen from the three factors. That can be seen from the religious, human and environmental. These faktors is a dynamic entity, complementary and not precede each other. This is the secret of balance tourism development in Tirta Empul.

Keywords: tourism, religion, human, environmental, development

I. PENDAHULUAN

Melalui sejarah dan segala aktivitas manusia, rancangan memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hasil karyanya yang dimanfaatkan salah satunya disektor pariwisata. Bentuk rancangannya selalu berubah dari tahun ketahun sejalan dengan perkembangan jaman. Hal ini dikarenakan timbulnya rang-sangan dan dorongan dalam diri manusia untuk melihat lingkungan hidupnya seperti garis, pola, warna bentuk dan keadaan permukaan benda yang membuat mereka untuk berinovasi. Kesadaran akan ran-cangan yang baik menjadi suatu bagian karakter individual atau cara bagaimana seseorang merasa berfikir, dan melihat dunianya. Persepsi manusia sepenuhnya di-dasarkan pada asimilasi melalui kelima inderanya. Secara praktisnya tema ranca-ngan biasanya didasarkan pada aktivitas indera yang paling dominan yaitu indera penglihatan, kemudian dibantu oleh indera lain. Rancangan yang baik hanya dapat tumbuh dan berkembang jika individu siap menyelidiki semua informasi yang didapat

kemudian berkehendak untuk mencoba, melihat, menghayati dan hidup di dalam segala sesuatu dan menghasilkan suatu rancangan.

Pura Tirta Empul merupakan karya manusia yang dibuat pada jaman dahulu yang masih utuh sampai sekarang dan men-jadi salah satu tujuan wisata unggulan di Kabupaten Gianyar, selain Gua Gajah dan Gunung Kawi. Rancangan Pura Tirta Em-pul memiliki ciri khas dan keunikan diban-dingkan dengan peninggalan budaya lain-nya. Hasil rancangannya sampai se-karang bisa dinikmati oleh semua orang yang ber-kunjung ke objek wisata Pura Tirta Empul.

Di dalam lingkungan Pura Tirta Empul terdapat Taman Permandian. Ber-dasarkan prasasti batu yang terdapat di Pura Sakenan Desa Manukaya, disebutkan bah-wa permandian ini dibangun oleh Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa pada 962 Masehi, di bulan Kartika (Oktober), saat bulan terang tanggal 13 (dua hari sebelum purnama), hari pasaran Kajeng (Soebandi, 1983: 58). Namun hasil pembacaan prasasti oleh Prof. Dr.

(2)

92 Jurnal Ilmiah Hospitality Management Stutterheim (Belanda) yang dilakukan

kemudian oleh Dr. L C Damais (Perancis) berbeda. Hasil pembacaan ulang Damais menguraikan bahwa, raja yang membangun permandian Tirta Empul ada-lah Edra Jaya Singha Warmadewa pada 882 Saka atau 960 Masehi (Sashtri, 1963: 42). Selanjutnya pada masa pemerintahan pa-sangan Raja Sri Dhanadhiraja Lancana-Sri Dhanadewi Ketu (Masula-Masuli) yang memerintah pada 1178-1255, dibangunlah Pura Tirta Empul. Pembangunan Pura Tirta Empul ini dimaksudkan sebagai tempat suci (padharman) Bathara Indra, dirancang oleh I Bandesa Wayah.

Namun seiring perubahan waktu, Pura Tirta Empul sudah mengalami peru-bahan rancangan dari bentuk aslinya. Pura Tirta Empul menjadi salah satu tujuan wisata sehingga terjadi komersialisasi bu-daya. Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata dikomodifikasi untuk men-dapatkan keuntungan ekonomi. Hal ini memuncul-kan budaya konsumerisme dan kapitalisme yang dapat menimbulkan ko-modifikasi pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Bukti nyatanya dapat dilihat dari pem-bangunan puluhan warung-warung makan-an, minuman dan kios-kios kesenian Bali didekat pura, di arah sebelah timur yang keberadaannya mendesak keberadaan pura Tirta Empul. Seluruh fasilitas ini dibagun karena Pura Tirta Empul sekarang meru-pakan salah satu dari objek wisata yang mendapat tingkat kunjungan wisata-wan yang tinggi di Bali, khususnya di Gianyar.

Dengan bergesernya fungsi Pura Tirta Empul menimbulkan suatu dampak yang buruk. Salah satunya adalah peromba-kan rancangan Pura Tirta Empul akibat dari adanya penambahan fungsi baru yaitu untuk mendukung adanya kegiatan pari-wisata. Namun aktifitas yang baru ini bisa merusak keberlansungan aktifitas yang sudah ada, nilai kesakralan pura kemung-kinan sedikit demi sedikit akan menghilang dan pura akan mengalami perusakan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Kepentingan pasar mengakibatkan terjadi-nya pergeseran pemaknaan dan pendefinisi-an terhadap sakralitas pura, pergeseran nilai terhadap pemahaman pura, serta perubahan perilaku dan praktik-praktik budaya masya-rakat. Jika hal ini tetap dibiarkan kemung-kinan keberlajutan keberadaan Pura Tirta Empul dapat diragukan. Pura Tirta Empul, mungkin tidak dapat dinikmati lagi ke-indahan dan keunikannya di masa depan.

Berbanding terbalik dengan hal itu, Pura Tirta Empul merupakan suatu pura yang dijiwai oleh filsafat-filsafat Hindu yang sudah melekat sejak dahulu dan sampai sekarang masih tetap utuh. Filsafat ini yang mendasari keberadaan dari Pura Tirta Empul. Tanpa filsafat ini mungkin Pura Tirta Empul sudah tidak ada lagi sejak dahulu. Selain itu juga, masyarakat Bali merupakan masyarakat yang memiliki nilai dan budaya yang tinggi yang menyebabkan kebudayaan dan kelestarian pura tetap terjaga.

Oleh karenanya, Pura Tirta Empul dijadikan kajian penulis dalam mencari informasi mengenai dasar kuat yang me-latarbelakangi keberadaan Pura Tirta Empul tetap utuh, lestari sampai sekarang dan masih memiliki daya tarik wisata.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pondasi daya tarik wisata di objek wisata Pura Tirta Empul. Manfaat penelitian ini diharapkan menjadi suatu kontribusi yang besar dalam menata atau merencanakan suatu kawasan untuk menuju kelangsungan hidup yang lebih baik dan meningkatkan tingkat perekonomian, sosial budaya dan pembangunan daerah dalam pengembang-an sektor pariwisata. II. TINJAUAN OBJEK

Pura Tirta Empul berlokasi di Desa Manukaya, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar. Lokasinya tepat di sebelah Istana Presiden di Tampak Siring yang dibangun oleh Presiden Soekarno. Pura Tirta Empul terkenal karena terdapat sumber air yang sampai sekarang dijadikan air suci untuk melukat oleh masyarakat

(3)

Jurnal Ilmiah Hospitality Management 93 dari seluruh pelosok Bali. Pura Tirta

Empul merupakan salah satu situs peninggalan sejarah Bali.

A. Sejarah

Menurut legenda dari masyarakat Bali dikatakan pada zaman pemerintahan Mayadenawa yang memerintah Bali, pemerintahannya bertindak dengan sewe-nang-wenang. Hal ini mengakibatkan para dewa menjadi murka dan sepakat untuk menghancurkan Mayadenawa. Bhatara In-dra diutus untuk melawan kekuatan Maya-denawa. Pada saat pertempuran pasukan Mayadenawa kalah, dan mati yang menga-kibatkan Mayadenawa melarikan diri. Dalam perjalanan melarikan diri dari kejar-an Bhatara Indra, Mayadenawa berjalan dengan cara memiringkan kakinya agar tanah yang dipijak tidak bergetar dan diketahui oleh Bhatara Indra. Dari cerita ini di tempat Mayadenawa memiringkan ka-kinya berdiri sebuah desa yang bernama Tampaksiring. Oleh karena Mayadenawa payah dan kewalahan menghadapi pasukan Bhatara Indra akhirnya Mayadenawa mem-buat air racun. Air itulah yang diminum oleh laskar Bhatara Indra yang membuat laskar Bhatara Indra menjadi lemas. Maka akhirnya Bhatara Indra mengambil bendera berwarna kuning dan menancapkannya ke tanah, sehingga tersemburlah keluar air bening yang mengepul sehingga tempat tersebut bernama Tirta Empul.

Menurut masyarakat Hindu Bali, Tirta atau air yang disucikan dapat mem-berikan kesembuhan, dan membersihkan segala kotoran baik kotoran lahiriah maupun batiniah, atau oleh masyarakat Bali disebut pengleburan secara sekala dan niskala. Tirta Empul juga merupakan salah satu tirta utama yang digunakan pada setiap upacara-upacara kegamaan Hindu di Bali.

B. Struktur Pura

Pura Tirta Empul sebagaimana hal-nya dengan pura-pura di Bali umumhal-nya dibagi atas tiga halaman yaitu:

a) Jaba Sisi

Pada bagian ini terdapat sebuah kolam yang terbagi atas dua bagian dan di sisi utara terdapat pancuran yang airnya bersumber pada mata air yang terdapat di halaman dalam atau Jeroan.

b) Jaba Tengah

Pada bagian ini terdapat wantilan, kamar ganti dan kolam ikan (dulunya digunakan sebagai kolam permandian). Selain itu terdapat halaman yang cukup luas dan dikelilingi dinding penyengker pura dan candi bentar serta kori agung. Kolam ikan dan wantilan dipisahkan oleh dinding pembatas.

c) Jeroan

Area ini merupan halaman tersuci tempat pelinggih-pelinggih untuk manifes-tasi Tuhan Yang Maha Esa.

III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan, yang dikaitkan dengan asumsi-asumsi dari hasil pengamatan la-pangan tentang keberadaan objek wisata Pura Tirta Empul. Metode penelitian meng-gunakan metode kualitatif. Metode ini di-gunakan untuk mendapatkan data atau keterangan deskriptif mengenai objek wisa-ta Pura Tirta Empul. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif-kualitatif.

IV. PEMBAHASAN

Seperti pada umumnya bangunan Tradisional Bali salah satunya Pura Tirta Empul yang diperuntukkan sebagai tempat pemujaan (parhyangan) pada umumnya dijiwai oleh filsafat-filsafat agama Hindu, seperti Tri Hita Karana, Tri Loka, Tri Angga dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk fisik yang dihasilkan merupakan hasil interpretasi dari kepercayaan, pengetahuan, serta pengalaman bermasyarakat baik inter-aksi antar sesama maupun dengan ling-kungannya. Oleh karena dalam proses per-wujudan atau pembangunan Pura Tirta Empul melalui pertimbangan-pertimba-ngan dari hasil olah pikir yang bermuara pada sebuah gagasan yang sistematis dan berlandaskan akan ideologi yang melekat pada wilayah

(4)

94 Jurnal Ilmiah Hospitality Management teritorial tersebut, maka Pura Tirta Empul

merupakan wujud dari hasil usaha manusia dalam proses berbudaya.

Ada tiga hal yang melatar belakangi keutuhan pariwisata di Pura Tirta Empul yaitu: (1) Faktor Filsafat, dan Agama (2) Faktor Manusia (3) Lingkungan. Faktor-faktor ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Faktor Filsafat dan Agama

Sebelum kedatangan pengaruh Agama Hindu, Bali telah memiliki struktur bangunan yang berbeda dengan setelah adanya pengaruh Hindu. Perbedaan itu tampak pada beberapa hal, misalnya dalam segi tata ruang, tata bentuk, bahan bangunan, serta fungsi bangunan. Pengaruh Hindu ke dalam berbagi aspek kehidupan baik itu ritual, kehidupan, kemasyarakatan, berkesenian, dan lain-lain. Di dalam filsafat Hindu mengajarkan hendaknya menghar-moniskan diri dengan alam, berbeda deng-an ajaran barat yang berprinsif sebaliknya yaitu menundukan alam. Dengan demikian menurut pandangan tradisi adat Bali, bangunan adalah wadah dari manusia dan merupakan penghubung antara manusia (mikro kosmos/ bhuwana alit) dan alam semesta (makro kosmos/bhuwana agung), sebagai keseimbangan kosmologi dalam usaha untuk menjaga keseimbangan unsu-unsur pembentuk manusia dan alam se-mesta; terdiri dari lima unsur yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (sinar), bayu (udara), dan akasa (ether).

Pura Tirta Empul pada umumnya dijiwai oleh filsafat-filsafat agama Hindu.

Ini dapat terlihat dari penerapan Panca Mahabhuta pada pembangunan Pura Tirta Empul. Lima unsur alam menurut ajaran agama Hindu yaitu: pertiwi, apah, teja, bayu dan akasa sudah teraplikasi di dalam Pura itu sendiri. Dunia dan segenap isinya berasal dari 5 unsur tersebut juga dan dari sinilah muncul konsep bahwa Bhuwana Agung dan Buwana Alit bersumber satu yaitu Panca Mahabhuta (Parisada Hindu Dharma, 1.68 : 12)

Filsafat agama Hindu lainnya disebut tutur sukma/ tawajna kamoksan yang senantiasa mengajarkan tentang adanya hubungan harmonis antara bhuwana agung dan bhuwana alit. Di dalam tawa-tatwa ini disebut pasukwetu, contohnya; Pancadewata Bhuwana Agung, yaitu Is-wara di Timur, Brahma di Selatan, Maha-dewa di Barat, Whisnu di Utara, Çiwa di tengah. Pancadewata di Bhuwana Alit, yaitu; Iswara di jantung, Brahma di hati, Mahadewa di ungsilan, Wisnu di empedu, Çiwa di paunduhan hati. Selanjutnya dalam bangunan Tradisonal Bali adalah simbol bhuwana agung denga Triloka-nya yaitu; Bhur Loka (alam Buta), Bwah Loka (alam manusia) dan Swah Loka (alam Dewata). Bhuwana alit dengan Tri Angga-nya, yaitu; nista anggana (kaki), madya anggana (badan) dan utama anggana (kepala).

Di dalam tata ruang Pura Tirta Empul juga mengikuti konsep bhuwana agung dan trilokanya. Konsep ini membagi Pura Tirta Empul menjadi tiga bagian zona yang terdiri dari nista, madya dan utama. Hal ini dapat terlihat pada gambar 1.

Nista Madya Utama Nista Madya Utama

(5)

Jurnal Ilmiah Hospitality Management 95 Gambar 1. Konsep Tri Angga pada Pura Tirta Empul

Sumber: Kiriman Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn., Dosen PS. Desain Interior ISI Denpasar dan Google Earth

Tata bentuk bangunan Pura Tirta Empul juga mengikuti konsep bhuwana alit dengan Tri Angga-nya. Bangunan pura ini dibagi menjadi tiga bagian yang terdiri

dari kepala, badan dan kaki. Hal ini dapat terlihat pada gambar 2 yaitu sebagai ber-ikut:

Gambar 2. Konsep Tri Loka pada Bangunan Pura Tirta Empul Sumber: Dokumen Pribadi

Atap sabagi Kepala

Tiang sebagai Badan

(6)

96 Jurnal Ilmiah Hospitality Management Gambar 3. Konsep Sanga Mandala pada Pura Tirta Empul

Sumber: Jurnal Permukiman “Natah” Vol. 1 No.1 - Pebruari 2003 Tata cara penempatan bangunan

Pura Tirta Empul di dalam dengan pe-karangan berpangkal pada konsep Rwa Bhineda, artinya kata Rwa = dua, dan Bhineda = berbeda. artinya dua hal yang selalu ditentangkan (berlawanan), seperti halnya Utara >< Selatan, Baik >< Buruk, dan lain sebagainya dan hal demikian disebut konsep dualisme.

Selain itu juga ada konsep sumbu bumi utara – selatan/ kaja-kelod dengan ni-lai utama pada “kaja” (arah gunung), nilai nista pada arah kelod (arah laut), dan nilai Madya (diantara gunung dan laut). Sumbu timur pura (kangin), barat pura (kauh) sebagai sumbu spiritual, pada lintasan matahari dengan nilai utama di timur, sebagai arah terbitnya matahari, dan nilai nista = barat (terbenamnya matahari). Per-temuan kedua sumbu tersebut menjadi 9 daerah dengan nilainya masing – masing, yang disebut Nawa Sanga sebagi konsep ritual, dan Sanga Mandala dalam konsep wujud atau jiwa dan raga.

Pura Tirta Empul dipercayai bahwa merupakan bangunan yang hidup secara spiritual, bukan benda mati semata, maka selalu diadakan upacara ritual. Uapacara ritual yang dilakukan ketika sebelum dan sesudah membangun bangunan baik itu

Pura Tirta Empul maupun bangunan– bangunan Bali lainnya adalah sebagai berikut:

 Upacara Pangruak karang dengan ma-ksud memuja terhadap ibu pertiwi agar mengijinkan tempat itu di bangun.  Upacara Prayascita untuk para Undagi

dengan membuat sanggaran tempat me-naruh Banten Pejati, agar para undagi diberi keselamatan.

 Upacara Mamakoh, Mempulang dan Mepedagingan dengan maksud membe-ri korban untuk keselamatan dan ke-lancaran proses pembangunan.  Upacara Melaspas sebagai simbolis

pencucian.

 Upacara Pengurip dengan maksud me-nghidupkan kembali bangunan secara spiritual.

Simbol pengurip ini diwujudkan dengan mengoleskan kapur warna putih, darah (warna merah), dan arang (warna hitam) sebagai unsur Tri Kona, sebagai kekuatan Tri Murti sebagai manipestasi Sang Hyang Wahdi (Tuhan), yang memiliki symbol-symbol.

Dasar kuat yang memperkukuh penerapan konsep pembangunan Arsitektur Bali pada bangunan Pura Tirta

(7)

Jurnal Ilmiah Hospitality Management 97 Empul karena adanya norma-norma yang

ditulis dalam lontar. Hal ini dilakukan agar terjadi keharmonisan antara makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia). Lontar ini ada berbagai macam yaitu:

a) Wismakarma: isinya tentang tata cara menjadi arsirtek.

b) Hastokosali: isinya tentang ukuran-ukurang matrik dari tangan (hasta), dan kaki,untuk berbagi bangunan suci, pa-wongan dan bangunan umum

c) Hastabhumi: isinya tentang tata tertib letak bangunan, denah dan sebagainya. d) Padmabhumi: isinya tentang historis

meletakan pura di Bali berdasarkan huruf – huruf sakral.

e) Bhama: isinya tentang tata cara upacara dalam mendirikan bangunan.

f) Dewatatwa: isinya tentang jenis-jenis korban untuk upacara bangunan. g) Fananthaka: isinya tentang klasifikasi

kayu untuk bangunan suci, pawongan dan sebagainya, serta status kayu untuk masing-masing dewa.

Untuk ukuran dasar yang dipakai adalah ukuran tubuh manusia dengan konsep yang digunakan konsep Bhuwana Agung dengan pembagian menjadi 3 ba-gian, dan memiliki hitungan ganjil seperti 1,3,5,7,9, dan seterusnya. Ini dikarenakan yang beraktifitas di dalam Pura dan menggunakannya sendiri adalah manusia. Maka jelas untuk bangunan Arsitektur Bali menggunakan ukuran dasar Bali yaitu tubuh manusia.

Gambar 4. Dasar-dasar Ukuran yang dipakai pada bangunan Tradisonal Bali Sumber: PowerPoint Perundagian I Gusti Made Putra

2. Faktor Manusia a) Pemikiran

Pemikiran masyarakat Bali lebih menyukai intuisi daripada akal budi. Bagi masyarakat Bali, pusat kepribadian seseorang bukanlah kemampuan intelek-tualnya melainkan lebih pada hatinya, yang mempersatukan akal budi dan intuisi, intelegensi dan perasaan. Mereka meng-hayati hidup dalam keseluruhan adanya bu-kan semata-mata dengan otak.

Pemikiran berdasarkan intuisi lebih akrab, hangat, personal dan biasanya lebih dekat dengan kenyataan.

Landasan konsep yang mereka se-lalu gunakan adalah konsep ”taksu dan jengah”. Taksu adalah kekuatan dalam yang memberi kecerdasan, keindahan dan muk-jizat. Kaitanya dalam aktifitas budaya Bali berarti sebagai kreatifitas budaya. Sedang-kan jengah merupakan semangat bersaing, guna menumbuhkan karya-karya

(8)

98 Jurnal Ilmiah Hospitality Management seni bermutu, maka jengah adalah

sifat-sifat dinamis yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Selain itu jengah merupakan suatu proses yang menjadi pangkal segala peru-bahan dalam kehidupan masyarakat.

Dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep Tri Semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menu-rut orang Bali masa lalu, masa kini me-rupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum Karma Phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, per-buatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian juga sebaliknya, perbuatan jahat akan mendapatkan hasil yang buruk.

b) Ilmu, Kebijaksanaan dan Sikap Di Bali, tujuan utama belajar adalah untuk mencapai kebijaksanaan. Pengetahu-an intelektual saja, tidak mampu membuat seseorang menghadapi hidup dengan lebih baik melainkan dianggap sebagai pem-borosan waktu. Menurut orang Bali, hidup merupakan suatu perjalanan yang sulit yang memerlukan refleksi dan latihan sepanjang hidup. Dalam bidang pengetahuan, intuisi, pemikiran yang konkrit, simbolik, dan bersikap bijaksana merupakan keistimewa-an orkeistimewa-ang Bali dalam mendekati kenyatakeistimewa-an. Ini merupakan kekhususan masyarakat agraris, berbeda dengan masyarakat yang rasional, memakai abstraksi dan banyak spesialisasi pengetahuan.

Sikap terhadap alam bagi orang Bali dapat direnungkan. Mereka sangat men-dalami pada alam dan menyatu dengan alam. Segala sesuatu yang ada dalam seluruh alam semesta yang berjiwa ataupun yang tidak, justru sesungguhnya berasal dari yang Satu. Masyarakat Bali sadar akan keadaan dirinya yang sama dengan alam semesta. Harmoni dengan alam merupakan inspirasi utama.

Ungkapan arsitektur yang harmonis terhadap alam dapat diperhatikan bahwa alam selalu menjadi bahan pertimbangan yang tidak pernah terlepas dari alam seperti pura-pura yang cenderung dibuat di daerah-daerah yang dekat dengan alam, pepohonan dan menyatu dengan lingkungannya. Atapnya cenderung me-nyimbulkan bentuk gunung dan sangat harmonis dengan alam sekitarnya. Kesa-tuan dengan alam, harmoni dengan alam, merupakan rahasia keseimbangan dan ketentraman yang dicerminkan dalam cara hidup orang Bali. Alam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Hal ini dapat terlihat dari konsep dasar orang Bali yaitu Tri Hita Karana yang terdiri dari:

a) Parahyangan (keseimbangan antara ma-nusia dengan Sang Pencipta) b) Pawongan (keseimbangan antara

ma-nusia dengan masyarakatnya)

c) Palemahan (keseimbangan antara ma-nusia dengan alam)

Selain konsep Tri Hita Karana, di Bali juga dikenal dengan konsep nyama braya. Nyama adalah kerabat dekat dan braya adalah kerabat jauh. Lebih lanjut lagi kebudayaan Bali juga terdapat nilai-nilai toleransi dan persamaan yang didasarkan atas konsep Tat Twam Asi yang artinya dia adalah kamu. Dengan konsep Tat Twam Asi masyarakat Bali toleran kepada orang lain karena mereka beranggapan bahwa orang lain juga sama dengan dirinya.

c) Idealisasi Hidup

Hidup yang ideal bagi orang Bali adalah hidup yang sederhana dan tenang, dengan kebutuhan yang mencukupi. Hidup yang dekat dengan alam, sumber segalanya. Bagi orang Bali, nilai kehidupan yang tinggi berasal dari dalam menerima ke-adaan sekarang,

mengumpulkan pengalam-an,

mengintegrasikan diri, menjadi suatu yang bernilai. Manusia memerlukan kete-nangan batin dari waktu ke waktu demi kesempurnaannya. Orang Bali mengusaha-kan nilai-nilai spiritual yang membuat

(9)

Jurnal Ilmiah Hospitality Management 99 mereka mampu memuliakan dirinya dan

terbebas dari belenggu materi.

Status personal masyarakat Bali mengenal adanya ikatan yang kuat antara anggota keluarga, antara kenalan, dan tetangga. Pengaruh kelompok, masyarakat, sangat kuat pada keberadaan seseorang. Hak manusia yang paling berharga yaitu kebebasannya justru dibatasi oleh kepen-tingan masyarakat. Dibandingkan dengan orang Barat yang memang lebih menekan-kan pada kebebasan individu dalam me-nentukan jalan hidupnya dan dapat terbukti dengan banyaknya orang-orang yang ber-jiwa pionir. Dalam hidupnya, manusia Bali lebih memilih kelompok daripada individu.

3. Faktor Lingkungkungan

Ketahanan bangunan Pura Tirta Empul juga ditentukan oleh lingkungan sekitar. Faktor lingkungan ini bisa ver-wujud sistem sosial yang ada di desa. Sistem sosial ini bisa berbentuk banjar, desa adat, subak, sekaa (perkumpulan) dan dadia (klen). Keterikatan orang Bali terhadap lembaga tradisonal tersebut baik secara sukarela maupun wajib, telah mam-pu berfungsi secara struktural. Peraturan yang ada di desa baik itu adat istiadat maupun awig-awig juga menjadi bagain dari proteksi atau perlindungan kebudayaan Bali. Lembaga tradisonal dan aturan yang ada di desa ini merupakan benteng terakhir dari kebertahanan budaya Bali khususnya pada bangunan Pura Tirta Empul.

Selain adanya sistem sosial yang ada di masyarakat, masyarakat Bali me-miliki konsep yang selaras dengan alam lingkungan yang mendukung tetap utuhnya kebudayaan. Konsep ini ada pada konsep Arsitektur Tradisonal Bali yaitu penyela-rasan diri dengan alam lingkungan. Pada pembangunan Pura Tirta Empul setiap bangunan yang memiliki atap di bentuk selaras dengan perwujudan gunung/ bukit/ pegunungan yang melatarbelakangi ba-ngunan, kerangka yang digunankan pada setiap bangunan Pura dari bahan yang berasal dari alam,

lantai dan dinding diba-ngun dengan bahan batu alam, batu merah, dan bahan alam dengan tujuan menampa-kan warna natural. Kesatuan dengan alam, harmoni dengan alam, merupakan rahasia keseimbangan dan ketentraman. Alam me-rupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia.

V. SIMPULAN

Pura Tirta Empul merupakan objek wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan baik dari mancanegara maupun domestik. Pura Tirta Empul dikembangkan sebagai objek pariwisata maka akan menimbulkan dampak baik maupun dam-pak buruk. Damdam-pak baiknya dapat me-ningkatkan kualitas hidup, kesejahteraan dan memberikan manfaat terhadap peme-nuhan kebutuhan masyarakat. Sedangkan Dampak buruk yang ditimbulkan yaitu nilai kesakralan pura mulai hilang, budaya yang dimiliki daerah mulai berubah dll. Dampak buruk dari pariwisata memang sangat mengganggu keberlangsungan perkem-bangan pariwisata di Pura Tirta Empul. Akab tetapi Pura Tirta Empul memiliki faktor yang kuat untuk terlindung dari terjangan arus negatif yang ditimbulkan dari pariwisata itu sendiri. Faktor-faktor itu ada tiga, yaitu agama, manusia dan ling-kungan.

Faktor filsafat agama merupakan faktor yang berasala dari ajaran agama hindu yang prinsip dasarnya mengajakan manusia untuk melakukan hubungan baik antara manusia dengan Tuhan, manusia de-ngan manusia dan manusia dengan ling-kungan serta mengganggap seluruh benda yang ada di alam ini memiliki jiwa/ nyawa layaknya manusia.

Faktor manusia merupakan faktor yang terdari pemikiran, sikap dan ke-hidupan manusianya sendiri. Faktor ma-nusia ini menjelaskan bahwa orang Bali cenderung memiliki pemikiran intuisi lebih penting daripada akal budi. Mereka belajar untuk tujuan mencapai kebijaksanaan. Mereka lebih mendahulukan kepentingan kelompok daripada kepentingan pribadi. Mereka

(10)

100 Jurnal Ilmiah Hospitality Management menganggap bahwa masa lalu, masa kini

merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menen-tukan kehidupan di masa yang akan datang. Sehingga mereka dalam menentukan sikap selalu berhati-hati dan cenderung kearah yang lebih baik dari sebelumnya.

Faktor Lingkungan merupakan faktor yang berasal dari konsep Arsitektur Tradisonal Bali yaitu penyelarasan diri dengan alam lingkungan. Konsep yang selaras dengan alam lingkungan mendu-kung tetap utuhnya kebudayaan. Kesatuan dengan alam, harmoni dengan alam, me-rupakan rahasia keseimbangan dan keten-traman yang dicerminkan dalam cara hidup orang Bali. Alam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Orang Bali mengusahakan nilai-nilai spiritual yang membuat mereka mampu memuliakan dirinya dan terbebas dari hal-hal yang men-gganggu.

Gambar 5. Pondasi Daya Tarik Wisata Pura Tirta Empul

Tiga faktor inilah yang menjadi pondasi daya tarik wisata di objek wisata Pura Tirta Empul. Agama, manusia dan lingkungan merupakan kesatuan yang dinamis atara satu dengan lainnya, yang saling melengkapi satu sama lain dan tidak

ada yang saling mendahului. Maka jika dapat dikatakan itulah yang disebut ke-sempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. 2003. Perumahan Dan Permukiman Tradisional Bali. Jurnal Permukim-an “Natah” Vol. 1 No. 1. Denpasar: Fakultas Teknik Univeristas Udaya-na.

Gelebet, I Nyoman. dkk. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Ke-budayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Idedhyana, Ida Bagus. 2009. Pengaruh Pluralisasi Akibat Dampak Pari-wisat Terhadap Arsitektur Vila di Bali. Jurnal Teknik GRADIEN Vol. 1, No. 1. PS. Denpasar: Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Ngu-rah Rai.

Wastika, Dewa Nyoman. 2005. Penerapan Konsep Tri Hita Karana Dalam Perencanaan Perumahan Di Bali. Jurnal Permukiman Natah Vol. 3 No. 2. Denpasar: Fakultas Teknik Univeristas Udayana.

file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND... /sejarah_bali.pdf

Raharja, I Gede Mugi. Taman Permandian Tirta Empul. Denpasar: Desain In-terior ISI

http://artravelconsultant.com/sejarah-pura-tirta-empul/

http:// imadewira. com/ pura- tirta- empul-tampak - siring/ December 25th, 2009 by imadewira http://rezaprimawanhudrita.wordpress.com /2010/01/25/ pengertian- kaidah-dan- konsep-arsitektur-berkelanjut-an/ 25 Januari 2010 Pura Tirta Empul Lingkung an Manusia Agama

(11)

Gambar

Gambar 2.  Konsep Tri Loka pada Bangunan Pura Tirta Empul  Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 4.  Dasar-dasar Ukuran yang dipakai pada bangunan Tradisonal Bali  Sumber: PowerPoint Perundagian I Gusti Made Putra

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat pentingnya rumusan masalah dalam sebuah penelitian agar terarah tentang masalah-masalah apa yang akan dibahas dan diteliti dalam penulisan proposal ini, maka yang

Struktur organisasi proyek merupakan alat untuk mencapai tujuan dengan mengatur dan mengorganisasikan sumber daya, tenaga kerja, material, peralatan dan modal secara efektif

Titik strategis yang perlu dikembangkan, yaitu (1) daerah hulu Sungai Barito, untuk menemukan lebih banyak tinggalan arkeologi dari masa prasejarah, mengingat wilayah ini juga

Metode ini belum dapat memprediksi kapan berakhirnya pandemi di Pulau Jawa disebabkan data aktual memiki pola eksponensial yang kenaikannya bertahap terus menerus secara

Jurnal Umum-Metode Persentase Penyelesaian (Biaya Aktual) Kontrak A-202 Ref Post No... PT

Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium

Hasil penelitian ini adalah, pertama: jenis pertanyaan digunakan jenis pertanyaan guru dalam proses pembelajaran SMA N 2 Kerinci Kanan Kabupaten Siak secara berurut jenis

Dibawah ini akan dijelaskan analisa sistem kontrol yang pertama yaitu sensitifitas sensor cahaya atau fotodioda, kedua sudut pergerakan naungan (atap) atau tripleks – tripleks,