• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adenomiosis Uteri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Adenomiosis Uteri"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ADENOMIOSIS UTERI ADENOMIOSIS UTERI

A.

A. PendahuluanPendahuluan

Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna, merupakan Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna, merupakan kelainan jinak uterus yang ditandai oleh adanya komponen epitel dan stroma jaringan kelainan jinak uterus yang ditandai oleh adanya komponen epitel dan stroma jaringan endometrium fungsional di miometrium.

endometrium fungsional di miometrium.1,21,2Istilah adenomiosis diperkenalkan pertamaIstilah adenomiosis diperkenalkan pertama kali oleh Frankl (1925) dua tahun sebelum istilah endometriosis diperkenalkan oleh kali oleh Frankl (1925) dua tahun sebelum istilah endometriosis diperkenalkan oleh Sampson (1927).

Sampson (1927).2,32,3 Gambaran

Gambaran cystosarcoma adenoids uterinumcystosarcoma adenoids uterinum (istilah awal adenomiosis)(istilah awal adenomiosis)  pertama

 pertama kali kali dilaporkan dilaporkan oleh oleh patolog patolog Carl Carl von von Rokitansky Rokitansky (1860).(1860).2,3,42,3,4 Pada tahunPada tahun 1896, von Recklinghausen melaporkan fenomena yang sama dengan istilah 1896, von Recklinghausen melaporkan fenomena yang sama dengan istilah adenomyomata

adenomyomata dandan cystadenomata.cystadenomata.22 Pada masa itu, patomekanisme adenomiosis danPada masa itu, patomekanisme adenomiosis dan endometriosis masih dianggap berbeda.

endometriosis masih dianggap berbeda.33 Thomas Stephen Cullen (1908) menemukanThomas Stephen Cullen (1908) menemukan tumor intramiometrial dengan epitel dan stroma endometrial terdistribusi di tumor intramiometrial dengan epitel dan stroma endometrial terdistribusi di

dalamnya. Tahun 1921 barulah disadari bahwa ‘adenomiosis’ dan

dalamnya. Tahun 1921 barulah disadari bahwa ‘adenomiosis’ dan

‘endometriosis’keduanya berasal dari jaringan endometriotik serupa. ‘endometriosis’keduanya berasal dari jaringan endometriotik serupa.2,32,3

Tahun 1972, Bird

Tahun 1972, Bird et al et al . mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi. mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi  jinak

 jinak jaringan jaringan endometrium endometrium ke ke dalam dalam lapisan lapisan miometrium miometrium yang yang menyebabkanmenyebabkan  pembesaran

 pembesaran uterus uterus difus difus dengan dengan gambaran gambaran mikroskopis mikroskopis kelenjar kelenjar dan dan stromastroma endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik  endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik  dan hiperplastik.

dan hiperplastik.2,3,42,3,4 Belakangan diketahui ada adenomiosis yang bermanifestasiBelakangan diketahui ada adenomiosis yang bermanifestasi sebagai lesi fokal terisolasi dalam miometrium.

sebagai lesi fokal terisolasi dalam miometrium.11 Pada awal tahun 1988, Honoré

Pada awal tahun 1988, Honoré et al.et al. mempublikasikan kasus adenomiosismempublikasikan kasus adenomiosis  pada

 pada tiga tiga wanita wanita muda muda infertil infertil yang yang menjalani menjalani pembedahan pembedahan dengan dengan diagnosis diagnosis awalawal leiomioma uteri.

leiomioma uteri.44 Memang, telah lama dicurigai adenomiosis berperan sebagai salahMemang, telah lama dicurigai adenomiosis berperan sebagai salah satu penyebab subfertilitas bahkan infertilitas pada populasi wanita. Hanya saja satu penyebab subfertilitas bahkan infertilitas pada populasi wanita. Hanya saja

(2)

diagnosis adenomiosis saat itu masih berdasarkan spesimen histerektomi sehingga sangat sulit mengevaluasi pengaruhnya terhadap fertilitas.4

Kini, pada wanita muda tanpa gejala sekalipun magnetic resonance imaging  (MRI) memungkinkan identifikasi penebalan  junctional zone (JZ), tautan antara endometrium dengan sisi dalam miometrium. JZ mengalami penebalan signifikan  pada adenomiosis.4Transvaginal sonography(TVS) memungkinkan identifikasi adenomiosis itu sendiri.4,5,6 Kedua teknik noninvasif tersebut cukup akurat dalam mendiagnosis adenomiosis preoperatif.4

B. Definisi dan Klasifikasi

Bird et al . (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak   jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran

uterus difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik  non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik.2,3,4 Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang dengan modifikasi. Adenomiosis adalah keberadaan kelenjar dan stroma endometrium pada sembarang lokasi di kedalaman miometrium. Isu kedalaman menjadi penting sebab batas JZ seringkali ireguler, dan adenomiosis harus dibedakan dengan invaginasi miometrium basalis minimal. Ada dua cara membedakannya, pertama apakah ada hipertrofi miometrial di sekitar fokus adenomiotik bila JZ tidak tampak. Kedua, jarak JZ dengan fokus adenomiotik tidak lebih dari 25% total ketebalan miometrium.2

Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori  berdasarkan kedalaman lokasi lesi yaitu lesi terbatas pada lapisan basal, lapisan

dalam dan lapisan permukaan.7

Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi adenomiosis sederhana  berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus. Pertama, hiperplasia JZ sederhana, ketebalan JZ ≥8 mm tetapi ˂12 mm pada wanita berusia ≤35 tahun. Kedua, adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ ≥12 mm, fokus miometrial berintensitas

(3)

sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar miometrium <⅓, <⅔ atau >⅔. Dan ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas sinyal rendah pada semua sekuens MRI.4

C. Epidemiologi

Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria diagnostik  yang dipakai .2,8,9,10 Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10% .8 Studi di  Nepal oleh Shrestha et al. (2012) melaporkan insidens 23,4% pada 256 spesimen histerektomi.5 Jauh sebelumnya, sebuah studi di Itali oleh Parazzini et al. (1997) melaporkan insidens serupa sekitar 21,2% pada 707 wanita yang menjalani histerektomi atas berbagai indikasi.10 Meskipun insidensnya lumayan tinggi, tetapi studi epidemiologi seputar adenomiosis masih sangat jarang.4,10

Telah disinggung pada bagian pendahuluan bahwa perkembangan teknologi memungkinkan diagnosis adenomiosis preoperatif sehingga eksplorasi hubungannya dengan infertilitas dapat dilakukan. De Souza et al. melaporkan insidens 54% hiperplasia JZ pada wanita subfertil dengan keluhan menoragi dan dismenore. Bukti lain melaporkan kehamilan pada wanita infertil setelah diterapi adenomiosis dengan agen GnRH agonis. Penelitian terbaru oleh Maubon et al. (2010) melibatkan 152  pasien in vitro fertilisation (IVF) untuk menilai pengaruh ketebalan JZ uterus yang diukur dengan MRI terhadap keberhasilan implantasi, dilaporkan bahwa peningkatan ketebalan JZ uterus berkorelasi signifikan dengan kegagalan implantasi pada IVF. Kegagalan implantasi terjadi pada 95,8% pasien dengan JZ 7-10 mm versus 37,5%  pada subjek lain.4

(4)

D. Faktor Resiko

Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara lain usia antara 40-50 tahun, multipara, riwayat hiperplasia endometrium, riwayat abortus spontan, dan polimenore.10 Sedangkan usia menarke, usia saat partus pertama kali, riwayat abortus provokatus, riwayat seksio sesarea, endometriosis, obesitas, menopause, panjang siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD dilaporkan tidak berkaitan dengan adenomiosis.2,10

E. Histologi

 Junctional zone (JZ) pada lapisan terdalam miometrium atau disebut juga archimetra memiliki karakter khas yang membedakannya dengan tautan lain,  berperan sebagai membran protektif lemah dan memungkinkan kelenjar endometrium  berkontak langsung dengan miometrium. MRI T2-weighted  menunjukkan tiga

lapisan berbeda pada uterus wanita usia produktif : (1) lapisan dalam, mukosa endometrium, intensitas tinggi (2) lapisan intermediet, JZ (3) dan lapisan serosa.

Penelitian terkini berhasil mengungkap sifat dan fungsi JZ. Zona tersebut bersifat hormone-dependent  sehingga mengalami perubahan ketebalan secara siklis menyerupai endometrium. Karakter itu pula yang memicu timbulnya peristaltik  uterus di luar kehamilan. Lapisan miometrium pasca menopause tampak kabur pada MRI akibat supresi aktivitas ovarium atau pemberian analog GnRH.4

F. Patofisiologi

Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam miometrium masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara fisiologis berproliferasi secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal ini memungkinkan lapisan fungsional menjadi tempat implantasi blastokista sedangkan lapisan basalis berperan dalam proses regenerasi setelah degenerasi lapisan fungsional selama menstruasi.

(5)

Selama periode regenerasi kelenjar pada lapisan basalis mengadakan hubungan langsung dengan sel-sel berbentuk gelondong pada stroma endometrium.4

Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat adanya hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah ekstra-uteri misalnya pada plika rektovagina, adenomiosis dapat berkembang secara embriologis dari sisa duktus Muller.4

Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada masih harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA & siliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst , sedangkan lapisan basalis sebagai sumber   produksi untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat

menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis  berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang membentuk sistem

mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran sitoplasma pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar endometrium adenomiosis tidak  dapat digambarkan. Namun dalam studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial invasif dimana potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan basalis endometrium ke dalam miometrium.4,9

Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu

menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih

mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium yang normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini mungkin meskipun belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan

(6)

membentuk fokal adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada karsinoma endometrii dibandingkan kelenjar  endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas invasif  dibandingkan yang non-invasif pada koriokarsinoma.4

Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol , menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan ekspresi reseptor   progesterone yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan tehnik   pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen

dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun adenomiosis.4

Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium yang menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi semenjak ditemukan  banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi

estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana halnya endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea.4

Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent  seperti karsinoma endometri, endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat reseptor Estrogen, namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi androgen menjadi estrogen. Prekursor utama androgen, Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan adenomiosis. Nantinya  Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17β-estradiol yang meningkatkan tingkat aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi,

(7)

akan menstimulasi pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen. mRNA sitokrom P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen utama aromatase yang terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir  secara imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.4

G. Diagnosis

Adanya riwayat menorragia & dismenorea pada wanita multipara dengan  pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan 12 minggu dapat

dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya, diagnosis klinis adenomiosis seringkali tidak ditegakkan (75%) atau overdiagnosis. Sehingga adanya kecurigaan klinis akan adenomiosis dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan pencitraan berupa USG transvaginal dan MRI.4

Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun endometriosis. Dulu, diagnosis adenomiosis hanya dapat ditegakkan secara histologis setelah dilakukan histerektomi. Dengan kemajuan dalam tehnik pencitraan, diagnosis  prehisterektomi bisa ditegakkan dengan tingkat akurasi yang tinggi.4

Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang dicurigai adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang mirip seperti leiomioma. Kedua,  beratnya penyakit dapat disesuaikan dengan gejala klinisnya. Ketiga, pencitraan dapat digunakan untuk monitoring penyakit pada pasien dengan pengobatan konservatif. Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai adenomiosis yaitu Histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG transvaginal dan MRI.4

(8)

Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit dengan kontras intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam miometrium. HSG memiliki sensitivitas yang rendah.4

Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu uterus yang membesar   berbentuk globuler, uterus normal tanpa adanya fibroid, daerah kistik di miometrium

dan echogenik yang menurun di miometrium. Bazot dkk pada 2001 melaporkan  bahwa USG transabdominal memiliki spesifisitas 95%, sensitivitas 32,5% dan akurasi 74,1% untuk mendiagnosis adenomiosis. USG transabdominal memiliki kapasitas diagnostik yang terbatas untuk adenomiosis terutama pada wanita yang terdapat fibroid.4

Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG transvaginal yang menghasilkan kemampuan diagnostik yang lebih baik. Kriteria diagnostik  dengan USG transvaginal untuk adenomiosis yaitu tekstur miometrium yang heterogen/distorsi, echotekstur miometrium yang abnormal dengan batas yang tidak  tegas, stria linier miometrium dan kista miometrium. Bazot dkk melaporkan sensitivitas 65%, spesifisitas 97,5% dan tingkat akurasi 86,6% dengan USG transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis dimana kriteria yang paling sensitif & spesifik untuk adenomiosis adalah adanya kista miometrium. MRI merupakan modalitas pencitraan yang paling akurat untuk evaluasi berbagai keadaan uterus. Hal ini karena kemampuannya dalam diferensiasi jaringan lunak. MRI dapat melihat anatomi internal uterus yang normal dan monitoring berbagai perubahan fisiologis. Menurut Bazot dkk, kriteria MRI yang paling spesifik untuk adenomiosis yaitu adanya daerah miometrium dengan intensitas yang tinggi dan penebalan junctional   zone >12 mm.4

Beberapa studi telah membandingkan akurasi pemeriksaan MRI dengan USG transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis. Dalam studi-studi terdahulu

(9)

menunjukkan tingkat akurasi yang lebih tinggi pada MRI dibandingkan USG transvaginal. Namun dalam studi-studi terakhir dikatakan tidak ada perbedaan tingkat akurasinya.4

H. Gambaran Klinis

Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam sebuah studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang dibuat dari spesimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala yang khas. Gejala adenomiosis yang umum yaitu menorragia, dismenorea dan pembesaran uterus. Gejala seperti ini  juga umum terjadi pada kelainan ginekologis yang lain. Gejala lain yang jarang

terjadi yaitu dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau terus-menerus. Presentasi klinis adenomiosis

Gejala Klinis Adenomiosis 1. Asimtomatis

Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG transvaginal atau MRI;

 bersama dengan patologi yg lain) 2. Perdarahan uterus abnormal

(10)

adenomiosis

(pada 23-82% wanita dengan penyakit ringan – berat)

Perdarahan ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10% wanita dengan adenomiosis

3. Dismenorea pada >50% wanita dengan adenomiosis

4. Gejala penekanan pada vesica urinaria & usus dari uterus bulky (jarang) 5. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)

Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari kelenjar  adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran histologis dari kelenjar adenomiosis di dalam miometirum. Kedalaman adenomiosis dan

hubungannya dengan perdarahan banyak menentukan pilihan strategi

 penatalaksanaannya. McCausland menunjukkan bahwa dari biopsi reseksi endometrium, kedalaman penetrasi adenomiosis ke dalam miometrium berhubungan dengan jumlah perdarahan banyak yang dilaporkan. Sehingga pada adenomiosis superfisial dilakukan reseksi atau ablasi endometrium. Sedangkan pada kasus adenomiosis yang lebih dalam atau dengan perdarahan banyak yang berlanjut, perlu dilakukan penatalaksanaan bedah konvensional yaitu histerektomi.2,11,12

I. Penatalaksanaan

Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi selanjutnya. Dismenorea sekunder yang diakibatkan oleh adenomiosis dapat diatasi dengan tindakan histerektomi, akan tetapi perlu dilakukan intervensi noninvasif  terlebih dahulu. Obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), obat kontrasepsi oral dan progestin telah menunjukkan manfaat yang signifikan. Penanganan adenomiosis  pada prinsipnya sesuai dengan protokol penanganan endometriosis.8,12

(11)

Pemberian terapi hormonal pada adeomiosis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tidak ada bukti klinis yang menunjukkan adanya manfaat terapi hormonal dapat mengatasi infertilitas akibat adenomiosis. Pemberian obat hormonal hanya mengurangi gejala dan efeknya akan hilang setelah pemberian obat dihentikan. Obat hormonal yang paling klasik adalah  gonadotrophin releasing hormone agonist (GnRHa), yang dapat dikombinasikan dengan terapi operatif. Mekanisme kerja GnRHa adalah dengan menekan ekspresi sitokrom P450, suatu enzim yang mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen. Pada pasien dengan adenomiosis dan endometriosis enzim ini diekpresikan secara belebihan.4

 b. Terapi Operatif 

Sampai saat ini histerektomi merupakan terapi definitif untuk adenomiosis. Indikasi operasi antara lain ukuran adenomioma lebih dari 8 cm, gejala yang  progresif seperti perdarahan yang semakin banyak dan infertilitas lebih dari 1 tahun

walaupun telah mendapat terapi hormonal konvensional. Suatu teknik operasi baru telah dipublikasikan oleh Osada pada tahun 2011. Dengan teknik adenomiomektomi yang baru ini, jaringan adenomiotik dieksisi secara radikal dan dinding uterus direkonstruksi dengan teknik  triple flap. Teknik ini diklaim dapat mencegah ruptur  uterus apabila pasien hamil. Dalam penelitian tersebut, dari 26 pasien yang mengharapkan kehamilan, 16 di antaranya berhasil dan 14 dapat mempertahankan kehamilannya hingga aterm dengan bayi sehat tanpa penyulit selama kehamilan. Akan tetapi teknik ini belum diterima secara luas karena masih membutuhkan  penelitian lebih lanjut.4

J. Kesimpulan

Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna. Bird et al . (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus

(12)

difus dengan gambaran mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik.

Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori  berdasarkan kedalaman lokasi lesi. Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem

klasifikasi adenomiosis sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus.

- Pertama, hiperplasia JZ sederhana, ketebalan JZ ≥8 mm tetapi ≤12 mm pada wanita berusia ≤35 tahun.

- Kedua, adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ ≥12 mm, fokus miometrial berintensitas sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar  miometrium <⅓, <⅔ atau >⅔.

- Ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas sinyal rendah pada semua sekuens MRI.

Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria diagnostik  yang dipakai .2,8,9,10 Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10% .

Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara lain : - Usia antara 40-50 tahun, bukan perokok, multipara, tingkat pendidikan rendah

(<7 tahun mengenyam pendidikan), riwayat hiperplasia endometrium, riwayat abortus spontan, dan polimenore.10

- Sedangkan usia menarke, usia saat partus pertama kali, riwayat abortus  provokatus, riwayat seksio sesarea, endometriosis, obesitas, menopause,  panjang siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD

dilaporkan tidak berkaitan dengan adenomiosis.

Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam miometrium masih belum jelas. Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan

(13)

yang lain menunjukkan ekspresi reseptor progesteron yang lebih tinggi dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun adenomiosis.

Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun endometriosis.

Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif.

Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi selanjutnya.

a. Terapi Hormonal  b. Terapi Operatif 

Dengan MRI dan USG Transvaginal, Adenomiosis dapat dideteksi lebih dari 90% kasus. Prognosis Adenomiosis tidak ada resiko yang mengarah ke keganasan. Dan karena kondisinya berkaitan dengan kadar esterogen, maka keadaan menopause dapat menyebabkan kesembuhan alami, dimana tindakan histerektomi dapat dilakukan apabila keluhan sangat mengganggu dan mengancam.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

1. Pernol ML. Benson and Pernol’s Handbook of Obstetrics and Gynecology 10th Ed. 2001. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.

2. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction Update 1998; 4: 312-322.

3. Benagiano G and Brosens I. History of adenomyosis (Abstract). Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol. 2006 Aug;20(4):449-63. Epub 2006 Mar 2.

4. Campo S, Campo V, Benagiano G. Review Article Adenomyosis and Infertility. Obstetrics and Gynecology International Volume 2012, Article ID 786132.

5. Shrestha A,Shrestha R,Sedhai LB,Pandit U. Adenomyosis at Hysterectomy: Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopatholgical Findings.Kathmandu Univ Med J 2012;37(1):53-6.

6. DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis & Treatment 9th Ed. 2003. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.

7. Reuter, K. Adenomyosis Imaging, Online (cited on December 21st 2012). www.medscape.com.

8. Edmonds DK. Dewhurst’s Handbook of Obstetrics and Gynaecology 7th Ed. 2007. London : Blackwell Science, Ltd.

9. Chopra S, Lev-Toaff AS, Ors F, Bergin D. Adenomyosis:Common and Uncommon Manifestations on Sonography and Magnetic Resonance Imaging, J Ultrasound Med 2006; 25:617 – 627.

10. Parazzini F et al. Risk factors for adenomyosis. Human Reproduction vol.12 no.6  pp.1275 – 1279, 1997.

11. Berek, JS. Berek & Novak's Gynecology 14th Ed. 2007. Pennsylvania : Lippincott Williams & Wilkins.

12. Roservear SK. Handbook of Gynecology Management. 2002. London : Blackwell Science, Ltd.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai bagian dari kesepakatan koalisi, pemimpin Partai Demokrat Liberal Nick Clegg menjadi Wakil Perdana Menteri.. Koalisi Konservatif-Liberal

Kedua adalah bahwa PT 'X' ini harus mengadakan j peninjauan kembali pada perusahaannya sejalan dengan kemajuati teknologi yang terjadi pada sekarang ini untuk

Untuk arah mendatar (absis) merupakan perkalian dari penyetelan arus, sedangkan kearah vertikal (ordinat) menunjukkan waktu kerja relay. Dengan demikian, pada relay

Rafatullahb And Hong-Chen Lee, Anaerobic Acidogenesis Biodegradation Of Palm Oil Mill Effluent Using Suspended Closed Anaerobic Bioreactor(Scabr) At Mesophilic Temperature,

Dengan demikian, judul yang diambil dalam Laporan Hasil Magang ini adalah “Prosedur Pengajuan Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada

Tahapan mobile-D yaitu seperti pada gambar 1, yang terdiri dari explore, initialize, productinize, stabilize, system test and fix. Berdasarkan hasil dari perencanaan, perancangan,

Adapun ketersediaan jagung secara parsial dipengaruhi oleh semua variabel yaitu variabel pendapatan, luas panen jagung dan harga domestik jagung di Kabupaten Karo.. Kata Kunci

Lokus penelitian ini di Kota Serang Provinsi Banten dengan menggunakan teknis survei literatur akademis di bidang keilmuan pelayanan publik untuk memperoleh