85 - Volume 3, No. 2, Mei 2014
STUDI LAJU KOROSI TULANGAN PADA BETON RINGAN
BUSA
R. Dedi Iman Kurnia 1, Abdullah 2, M. Ridha 2 1) Magister Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh 23111, email: mtsunsyiah@yahoo.co.id
2)
Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh 23111
Abstract : Foamed Concrete being developed for use as a structural element of the building,
for it would need to be done more in-depth study of the corrosion resistance. This research aims to measure the rate of corrosion of reinforcing steel in foamed concrete with Linear Polarization Resistance method (LPR). Specimens used were 2 pieces, is bar shaped with two variants, those are normal foamed concrete and conventional concrete as a benchmark. Reinforcement place in such a way so that concrete cover thickness become 2 cm and 3 cm. Specimen variant submersed in Sodium Chloride 3.5%. The specimen dimensions is 15 cm x 20 cm x 80 cm with 0.4 water rasio factor, 1.6 specific gravity, and average compressive strength 25 MPa. Used 4 longitudinal bar with diameter 10 mm and 7 cross bar with diameter 6 mm per 10 cm distance. The result of corrosion potential measurements using half-cell potential mapping technique will provide an overview of the location that have a high risk of corroded on the surface of specimen. At these location the corrosion rate measured using linear polarization resistance method for the determination of the corrosion rate. Data collection was performed every two weeks for eight weeks of immersion time. The results of this study indicate that the corrosion rate in a normal conventional concrete is higher than the normal foam concrete. The ability to resist Choride ion penetrasion of the specimens is influenced by the type of concrete, concrete permeability and concrete resistant, so give a different influence of the the corrosion rate value. Be reviewed from the behavior of its corrosion, the foamed concrete deserve to be as a structural element of the building.
Keywords : Foamed concrete, corrosion rate, half-cell potential mapping, linear polarization
resistance.
Abstrak : Beton busa terus dikembangkan untuk digunakan sebagai elemen struktural bangunan, untuk itu perlu kiranya dilakukan kajian lebih mendalam terhadap ketahanan korosinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur laju korosi pada baja tulangan dalam beton busa dengan metode Linear
Polarization Resistance (LPR). Benda uji yang digunakan berjumlah 2 buah, benda uji berbentuk balok
dengan dua variasi yaitu: beton busa normal serta beton normal konvensional sebagai pembanding. Ukuran benda uji 15cm x 20 cm x 80 cm dengan faktor air semen 0,4; specific gravity 1,6 dan f’c kuat tekan rata-rata 25 MPa. Digunakan 4 tulangan utama Ø10 mm dan 7 tulangan sengkang Ø6 mm dengan jarak per 10 cm. Setiap variasi benda uji direndam dalam larutan Natrium Klorida 3,5%. Hasil pengukuran potensial korosi menggunakan teknik half-cell potential mapping akan memberikan gambaran lokasi yang mempunyai resiko tinggi terkorosi pada permukaan benda uji. Pada lokasi ini dilakukan pengukuran laju korosi dengan metode linear polarization resistance untuk penentuan laju korosinya. Pengambilan data dilakukan dua minggu sekali selama delapan minggu waktu perendaman. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa laju korosi pada beton normal konvensional lebih tinggi dari pada beton busa normal. Kemampuan melawan penetrasi ion klorida dipengaruhi oleh varisai jenis beton, permeabilitas dan tahanan beton, sehingga memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai laju korosi dari masing masing benda uji. Ditinjau dari perilaku korosi pada tulangannya, beton busa layak dijadikan sebagai elemen struktural bangunan.
Volume 3, No. 2, Mei 2014 - 86 PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan, beberapa wilayahnya berbatasan langsung dengan laut. Kondisi wilayah yang seperti ini merupakan kondisi lingkungan yang korosif dan rawan terhadap serangan korosi. Oleh karena itu setiap perencanaan konstruksi di wilayah yang seperti ini perlu memperhitungkan ketahanan terhadap gempa. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan beton ringan sebagai struktur dari bangunannya. Karena semakin ringan suatu bangunan maka semakin kecil pula gaya gempa yang bekerja pada bangunan tersebut. Korosi yang terjadi pada baja tulangan akan mengakibatkan turunnya kekuatan tarik dari baja tulangan dan keretakan pada selimut beton
Selama ini sudah banyak informasi dan penelitian yang dilakukan mengenai korosi baja tulangan pada beton normal, sedangkan informasi dan penelitian mengenai korosi pada beton ringan khususnya beton busa sangat sedikit kita jumpai. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang penggunaan beton ringan seperti beton busa sebagai elemen struktural, khususnya terhadap ketahanan terhadap korosi pada tulangannya, sehingga nantinya beton ringan layak digunakan sebagai elemen struktural.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengukur nilai laju korosi sesaat pada baja tulangan dalam beton busa kemudian dibandingkan dengan laju korosi pada beton normal konvensional, dimana semua jenis
benda uji diberi perlakuan perendaman yang sama. Dilakukan pengukuran nilai potensial korosinya menggunakan teknik half- cell
potential mapping untuk menentukan titik
dengan resiko terkorosi paling tinggi, kemudian akan dihitung laju korosinya dengan metode
linear polarization resistance.
Penelitian ini dilakukan terhadap beton busa dan beton normal dengan mutu rencana beton f’c 25 MPa, FAS 0,4 dan SG 1,6. Media perendaman berupa air laut buatan dari larutan NaCl 3,5 %. Pengambilan data laju korosi benda uji dilakukan dua minggu sekali selama delapan minggu waktu perendaman.
KAJIAN PUSTAKA
Konsep Beton Ringan
Beton ringan adalah beton yang mengandung agregat ringan dan mempunyai berat satuan tidak lebih dari 1900 kg/m3. Sedangkan agregat ringan adalah agregat dalam keadaan kering dan gembur mempunyai berat isi < 1100 kg/m3. Agregat ringan adalah agregat yang mempunyai kepadatan sekitar 300 – 1850 kg/m3, mempunyai berat jenis yang ringan dan porositas yang tinggi, yang dapat dihasilkan dari agregat alam maupun hasil buatan, (Mulyono 2004).
Menurut American Standard for Testing
Materials (ASTM) C.330, agregat ringan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu agregat alami dan agregat buatan. Agregat ringan buatan dapat berupa expanded clay, shale, slate, perlite,
vermiculite, atau fly ash yang dapat berasal dari
87 - Volume 3, No. 2, Mei2014
industri cinder. Sedangkan agregat ringan alami meliputi jenis-jenis agregat diatomic, batu apung, scoria, volcanic cinders dan tuff yang semuanya termasuk batuan asli vulkanik, (Mulyono, 2004).
Beton Busa
Beton busa merupakan jenis beton ringan yang paling mudah diproduksi. Abdullah, (2007) menyatakan salah satu cara menghasilkan beton busa adalah dengan membuat gelembung-gelembung gas/ udara dalam campuran mortar sehingga menghasilkan material yang berstruktur sel-sel, yang mengandung rongga udara dengan ukuran antara 0,1-1,0 mm.
Busa yang terbentuk berupa balon-balon udara yang tidak saling berhubungan dan terdistribusi merata di dalam beton. Campuran beton busa terdiri dari semen, air dan foam. Porositas yang terjadi di dalam beton busa sebenarnya tidak membentuk jaringan kapiler, tetapi berupa balon-balon udara yang tidak saling berhubungan., (Swamy,1984).
Korosi Baja Tulangan dalam Beton
Korosi didefinisikan sebagai kerusakan atau penurunan mutu suatu material yang diakibatkan oleh reaksi antar lingkungan dan material itu sendiri. Penetrasi oleh ion klorida dan karbonasi merupakan penyebab utama dari korosi (Broomfield 2007). Permukaan baja yang lapisan pasifnya hilang, menjadi anoda dari reaksi korosi baja tulangan. Elektron yang dilepaskan dari reaksi anoda ini, menyebabkan
gas O2 dan air di atas permukaan baja, yang masih tertutup oleh lapisan pasif, bereaksi, bagian baja ini menjadi katoda. Kedua ion yang terbentuk pada anoda dan katoda bergabung membentuk senyawa hasil korosi. Fe(OH)2 sebagai bentuk awal senyawa hasil korosi akan berada di permukaan baja yang mengalami korosi. Jika konsentrasi O2 tinggi, maka akan terbentuk Fe(OH)3. Mekanisme korosi pada tulangan dalam beton seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Anoda, katoda, reaksi oksidasi dan hidrasi korosi tulangan
Sumber : Broomfield (2007).
Laju Korosi
Laju korosi dapat didefinisikan sebagai besarnya kehilangan berat bahan persatuan waktu. Laju korosi dapat juga didefinisikan sebagai besarnya kehilangan elektrokimia, yaitu laju korosi pada waktu pengukuran. Satuan laju korosi yang digunakan adalah mils per years (mpy), millimeter per years (mmpy) dan
micrometer per years (µmpy). Dengan asumsi
bahwa serangan korosi terjadi secara merata, maka laju korosi dapat dinyatakan sebagai laju penetrasi atau kehilangan ketebalan per satuan waktu, (Broomfield 2007).
Volume 3, No. 2, Mei 2014 - 88 Untuk menentukan laju korosi (CR) pada
pengukuran laju korosi dapat dilakukan berdasarkan hukum Faraday, (Fontana 1987) dimana :
𝐶𝑅 𝑚𝑝𝑦 = 𝐾𝑛𝐷𝑎𝑖 ... (1) Dimana,
a = berat atom logam Fe i = densitas arus (μA/cm2) D = densitas logam Fe (g/cm3) K = konstanta (0,129 mpy) n = nomor elektron yang hilang.
Metode Half Cell Potensial Mapping
Korosi pada tulangan baja dalam beton dapat terjadi jika antara anoda dan katoda terdapat selisih potensial listrik. Nilai potensial suatu bahan diperoleh dengan mengukur selisih potensial dari bahan tersebut dengan suatu
elektroda baku seperti elektroda kolomel jenis SCE (Saturated Colomel Elekrode) dan SHE (Standar Hydrogen Elektrode) dan AgCl, semakin negatif (aktif) potensial bahan semakin besar kecendrungan untuk terjadi korosi, (Fontana 1987).
Teknik Half-cell potential mapping merupakan suatu metode awal mendeteksi korosi tulangan dalam beton. Dengan teknik ini hanya dapat mendeteksi letak daerah korosi dengan resiko tertentu (Broomfield 2007). ASTM C867 adalah standar yang digunakan untuk pengukuran half-cell potential mapping. Berikut tabel nilai potensial pada permukaan tulangan baja yang diukur dengan menggunakan teknik half-cell potential mapping untuk beberapa standar half-cell.
Tabel 1. Kriteria korosi tulangan baja untuk beberapa standar half-cell
Sumber : Broomfield (2007)
Metode Linear Polarization Resistance (LPR)
Metode tahanan polarisasi linier atau disebut juga Linear Polarization Resistance (LPR) adalah metode pengukuran laju korosi berdasarkan fenomena elektrokimia. Teknik pemantauan korosi dengan metode linear polarization resistance ini cepat dan tidak mengganggu, hanya membutuhkan koneksi ke baja tulangan data yang dihasilkan dapat memberikan pemahaman tentang laju korosi
pada tulangan baja, dan memberikan informasi yang rinci tentang potensial dari sampel yang diuji, (Law and Millard , 2000).
Metode tahanan polarisasi linier menggunakan pergeseran kesetimbangan reaksi elektrokimia dimana terjadi perubahan potensial elektroda dengan mengalirkan sejumlah arus listrik ke elektroda. Terjadi kenaikan 10 mV sampai 20 mV atau kelebihan aktif-pasif dari potensial korosi, (Broomfield 2007). Perubahan
No Copper copper sulphate Silver Silver chloride Hydrogen Electrode Calomel Electrode Corrosion Condition 1 > -200 mV > -106 mV > +116 mV > -126 mV Low risk (10%) 2 -200 to-350 mV -106 to-256 mV +116 to-34 mV -126 to-276 mV Intermediate
risk 3 < -350 mV < -256 mV < - 34 mV < -276 mV High risk (90%) 4 < -500 mV < -406 mV < -184 mV < -426 mV Severe corrosion
89 - Volume 3, No. 2, Mei2014
arus listrik diharapkan berdampak pada perubahan nilai potensial suatu logam dari potensial alami logam terhadap potensial korosi. Perubahan arus listrik tersebut akan menghasilkan kerapatan arus yang merupakan fungsi linier dari potensial elektroda, (M.Nuh dan Sunara).
Berdasarkan asumsi Stern-Geary, arus terpolarisasi berubah secara linier seiring dengan perubahan yang terjadi pada potensial.
Pengukuran laju korosi dengan metode LPR akan menghasilkan perkiraan laju korosi yang lebih baik, apabila dilakukan perhitungan dengan rentang perubahan nilai potensial korosi 10 sampai 20 mV dalam kurva polarisasinya(gambar 2). Besarnya kemiringan dari kurva polarisasi ini sama dengan tahanan polarisasi (Rp), (Neil G. Thompson, Joe H. Payer).
Gambar 2. Kurva polarisasi
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Subjek utama dari peneliian ini berupa pengukuran nilai laju korosi tulangan akibat pengaruh lingkungan perendaman, yang dalam penelitian ini digunakan air laut buatan dengan
kandungan 3,5 % NaCl. Jumlah benda yang digunakan dua buah, terdiri dari beton busa normal dan beton normal konvensional.
Benda uji berupa balok beton seperti pada gambar 3, dibuat dengan kuat tekan rencana f’c 25 MPa, FAS 0,4 dan SG 1,6.
Volume 3, No. 2, Mei 2014 - 90 Ukuran benda uji dibuat 15 cm x 20 cm x 80
cm. Digunakan 4 tulangan utama Ø10 mm dan
7 tulangan sengkang Ø6 mm dengan jarak per 10 cm.
Gambar 3. Bentuk dan Ukuran Benda Uji Balok
Alat dan Media yang digunakan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan untuk mendeteksi baja tulangan dan sengkang di dalam beton, digunakan profometer 3 buatan swiss.
Gambar 4. Set Up pemetaan tulangan dalam beton
Sumber : Fajri (2011)
Pengukuran nilai potensial korosi menggunkan half cell potential mapping merek
SCRIBE DHC Digital Half Cell Meter (PC1018). Alat ini terdiri dari Multi Tester yang
memiliki sensor berupa elektroda baku kolomel
jenis SCE (Saturated Colomel Elekrode), dan sebuah kabel konektor. Metode yang digunakan untuk pengujian potelsial korosi adalah sesuai standar ASTM C 867.
Gambar 5. Pegukuran potensial korosi beton Sumber : Millard (2000)
Rangkai peralatan yang digunakan untuk mengukur tahanan polarisasi seperti pada gambar 5, adalah Galvanostat, merek: Hokuto Denko, tipe: HA – 301, Oscilloscopes, merek: Tektronix tipe: TDS 340, Reference Electrode,
Saturated Calomel Electrode (SCE) merek:
TOA, tipe: HC-205C, Counter Electrode, stainless steel type AISI 304. Pemegang
91 - Volume 3, No. 2, Mei2014
reference elektrode (sce), berfungsi untuk
memegang elektroda agar tetap stabil. Bahan kayu yang digunakan juga tidak menghantar
arus listrik, dengan demikian pengukuran terhindar dari kesalahan manusia.
Gambar 6. Set Up peralatan pegukuran laju korosi
Langkah – Langkah Penelitian
Sebelum direndam dilakukan pemetaan tulangan benda uji pada kedua sisi menggunakan alat profometer, seperti ditunjukkan pada gambar 4.selanjutnya dilakukan pengukuran potensial menggunakan
digital half cell meter.
Hasil uji potensial korosi menggunakan teknik half-cell potential mapping akan memberikan gambaran lokasi pada permukaan benda uji yang mempunyai resiko tinggi terkorosi, seperti pada gambar 5. Pada lokasi yang beresiko tinggi terkorosi ini akan dilakukan pengukuran laju korosi dengan metode tahanan polarisasi linier untuk penentuan laju korosi. Fungsi alat yang digunakan adalah galvanostatik dimana arus sebagai variabel yang dikontrol dan potensial sebagai variabel yang di ukur.
Data nilai potensial anodik dan katodik dituliskan dalm bentuk tabel. Selanjutnya arus korosi anodik dan katodik dibagi dengan luas permukaan pengukuran untuk mendapatkan densitas arus. Data potensial hasil pengukuran, arus yang diberikan dan densitas arus hasil perhitungan dituliskan dalam bentuk tabel untuk setiap pengukuran.
Dari data potensial hasil pengukuran diplot kedalam bentuk kurva. Kurva ini diplot dengan sumbu x adalah nilai densitas arus (i) dan sumbu y adalah nilai potensial yang terukur, kurva ini dinamakan dengan kurva polarisasi.
Kurva tersebut kemudian dilinierkan untuk mendapatkan suatu pola kemiringan (slope), dari kemiringan tersebut selanjutnya kita dapat menentukan tahanan polarisasi (Rp) dan lebih lanjut dapat menghitung laju korosi (CR).
Volume 3, No. 2, Mei 2014 - 92 HASIL DAN PEMBAHASAN
Laju korosi
Dari data hasil perhitungan nilai laju korosi pada beton normal konvensional berkisar antara 0,00664 mpy sampai dengan 0,01172 mpy. Nilai laju korosi pada beton busa normal
berkisar antara 0,00472 mpy sampai dengan 0,00883 mpy.
Seiring bertambahnya waktu perendaman, nilai laju korosi pada kedua benda uji menunjukkan perubahan dan cenderung meningkat pada setiap minggu pengukuran.
Tabel 2. Data hasil perhitungan nilai laju korosi
Neville (1999), menyebutkan bahwa kerusakan utama akibat air asin pada beton disebabkan oleh adanya ikatan antara Mg dan SO4 membentuk Magnesium Sulfat (MgSO4), Senyawa-senyawa sulfat menyerang Ca(OH)2 bebas yang dihasilkan dari proses hidrasi pada
semen
Dari Gambar 6 dan 7, terlihat bahwa laju korosi pada beton normal konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan laju korosi pada beton busa normal.
Gambar 7. Grafik perbandingan laju korosi tebal selimut 2 cm minggu 0 sampai minggu ke 8
Titik Tebal selimut
2 cm Tebal selimut 3 cm Titik Tebal selimut 2 cm Tebal selimut 3 cm A6 0,01201 A5 0,01013 B12 0,01105 B11 0,01034 C15 0,01013 C19 0,00706 D26 0,00992 D26 0,00697 A6 0,01287 A5 0,01085 B12 0,01279 B11 0,01047 C15 0,01014 C19 0,00757 D26 0,01052 D26 0,00702 A6 0,01332 A5 0,01055 B12 0,01303 B11 0,01044 C15 0,01158 C19 0,00962 D26 0,01204 D26 0,00955 A6 0,01428 A5 0,01108 B12 0,01385 B11 0,01132 C15 0,01275 C19 0,01100 D26 0,01248 D26 0,01085 A6 0,01729 A5 0,01171 B12 0,01820 B11 0,01184 C15 0,01563 C19 0,01138 D26 0,01587 D26 0,01103
Beton Normal Konvensional Beton Busa Norma
Minggu ke 8 Minggu 0 Minggu ke 2 Waktu Perendaman Minggu ke 4 Minggu ke 6
93 - Volume 3, No. 2, Mei 2014
Abdullah (2007), menyatakan bahwa penggunaan busa dalam pembuatan beton busa menyebabkan pembentukan pori-pori beton berupa balon-balon udara, yang tidak saling berhubungan dan terdistribusi merata. Fajri
(2012), dalam penelitiannya juga mendapati hal yang sama dimana sifat pori beton busa yang tidak kapiler menyebabkan air dari media rendaman tidak mudah berdifusi dan menyerap ke dalam beton busa.
Gambar 8. Grafik perbandingan laju korosi tebal selimut 3 cm minggu 0 sampai minggu ke 8
Perbedaan tebal selimut beton 2 cm dan 3 cm terlihat memberikan pengaruh terhadap nilai laju korosi pada kedua benda uji, walaupun terlihat tidak terlalu jauh berbeda. Millard (1991) dalam penelitiannya menemukan bahwa, tahanan listrik (electrical resistivity) beton meningkat seiring dengan semakin tebalnya selimut beton. Tahanan listrik beton berfungsi mengurangi laju korosi dengan menghambat arus listrik dalam beton akibat korosi yang terjadi secara elektro-kimia.
Berdasarkan hasil pengukuran nilai potensial dan perhitungan laju korosi, maka resiko korosi yang lebih tinggi ditunjukkan oleh beton normal konvensional yang direndam air laut buatan dan resiko korosi yang rendah ditunjukkan pada beton busa normal.
Ditinjau dari aspek ketahananya terhadap korosi, kelayakan beton busa layak digunakan
sebagai elemen struktural bangunan.
KESIMPULAN
1. Nilai laju korosi pada beton normal konvensional berkisar antara 0,0099 mpy sampai dengan 0,0182 mpy. Sementara nilai laju korosi pada beton busa normal berkisar antara 0,0070 mpy sampai dengan 0,0118 mpy.
2. Laju korosi tulangan beton busa normal dalam lingkungan yang korosif lebih rendah dibandingkan dengan laju korosi tulangan dalam beton normal konvensional.
3. Tebal selimut beton 2 cm dan 3 cm terlihat memberikan pengaruh terhadap nilai laju korosi pada kedua benda uji. 4. Dengan bertambahnya waktu
perendaman, nilai nilai laju korosi untuk kedua benda uji menunjukkan perubahan
Volume 3, No. 2, Mei 2014 - 94 dan cendrung meningkat pada setiap
minggu pengukuran.
5. Ditinjau dari perilaku korosi pada tulangannya, beton busa layak dijadikan sebagai elemen struktural bangunan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdullah, Afifuddin, Moch, Huzaim, Beton Busa Sebagai Bahan Konstruksi Bangunan Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh ACI Committee 213, 1999,
Guide for Structural Lightweight Aggregate Concrete.
Amri, Sjafei., 2005, Teknologi Beton A-Z, Yayasan John Hi-Tech IDETAMA, Jakarta.
ASTM C876-91., Half-Cell Potentials of Uncoated
Reinforcing Steel in Concrete, Vol. 03.02.,
Current Edition Approved March 11, 1991, Published May 1991Bentur A, Diamond S., and Berke N.S., 1997, Stell Corrosion in
Concrete, E & FN SPON.
Broomfield, 2007, Corrosion of Steel in Concrete,
Understanding, Investigation and Repair, 2nd Edition, E & FN SPON, London.
Chang, Z.T., Cherry, B., Marosszeky, M., 2008,
Polarisation Behaviour of Bar samples in Concrete in Seawater. Part 1: Experimental Measurement of Polarisation Curve of Steel in Concrete, Corrosion Science, Vol. 50, hlm
357 – 364.
Fajri (2012), Studi Perilaku Korosi Tulangan Pada
Beton Busa Dengan Pozzolan Sebagai Pengganti Semen Dalam Kondisi Terendam.
Tesis, Magister Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh. Fontana M. G, and N. G. Greene., 1987, Corrosion
Engineering, Mc. Graw-Hill, New York.
G. Batis et al, 2004, Corrosion Protection of Steel in
Pumice Lightweight Mortar by Coating, Department of Materials Science and Engineering, School of Chemical Engineering, National Technical University of Athens, Athens, Greece.
Law, D., Millard, S.G., Bungey, J.H, 2000, Linear
Polarisation Resistance Measurements Using a Potentiostatically Controlled Guard Ring, NTD&E International, Vol. 33, hlm 15 – 21
Law DW. Cairns JJ, Millard SG, Bungey JH.
Evaluation of corrosion loss of steel reinforcing bars in concrete using linear polarization resistance measurements. In International symposium non- destructive testingi civil engineering, 2003
M. Nuh dan Sunara Purwadaria, Pengembangan
Metoda Tahanan Polarisasi, Tinjauan Teori Dan Aplikasinya, Modul Laboratorium Elektro metalurgi dan Rekayasa Korosi TA-ITB, 1994.
Mulyono, T, 2004, Teknologi Beton, Penerbit ANDI, Yogyakarta.
Neil G. Thompson., and Joe H. Payer, DC
Electrochimecal Test Method, Barry C.
Syrett, Series Editor.
Neville, A.M., 1999, Properties of Concrete, Longman, London.
Siddiq, S, 2007, Bangunan Tahan Gempaa Berbasis Standar Nasional Indonesia, Struktur & Teknologi Gempa Puslitbang Pemukiman, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. Swamy, R.N., 1984, Fly Ash Utilization in Concrete
Construction, Proceeding Second International Conference on Ash Technology and Marketing, London.
Song, Ha-Won, 2007, Corrosion Monitoring of
Reinforced Concrete Structures – A Review, International Journal of Electrochemical Science.
95 - Volume 3, No. 2, Mei2014
Thomson, N.G, and Payer, J.H, 1998, DC
Electrochemical Test Method, NACE International, Houston, Texas
Threthwey, K.R., Chamberlain J, 1991, Korosi
Untuk Mahasiswa Dan Rekayasawan,