• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL SKRIPSI. Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL SKRIPSI. Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL

POTRET STEREOTIP ETNIS BATAK DALAM FILM

(Studi Analisis Semiotika Representasi Stereotip Karakter Etnis Batak dalam Film “Pariban: Idola dari Tanah Jawa”)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Sebelas Maret Disusun oleh:

Nasy’ah Mujtahidah Madani (D0216067)

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

POTRET STEREOTIP ETNIS BATAK DALAM FILM

(Studi Analisis Semiotika Representasi Stereotip Karakter Etnis Batak dalam Film “Pariban: Idola dari Tanah Jawa”)

Nasy’ah Mujtahidah Madani Chatarina Heny Dwi Surwati

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret

Abstract

The mass media, which is dominated by the Jakarta-centrism phenomenon, is caused by Jakarta-based media industry, the media crews who live in Jakarta, the center of government and economy in Jakarta, and entertainment facilities which are centered in Jakarta. The Jakarta-centrism phenomenon in the realm of the mass media has caused imbalances in the distribution of information, especially in terms of cultural, ethnic and diversity. Film as a mass media should be able to provide equitable information about the diversity of ethnics in Indonesia. The mass media which has the ability to create agenda setting and framing oftenly portrays ethnicities in Indonesia according to stereotypes that revolves in society. On the other hand, the film “Pariban: Idola dari Tanah Jawa” could portray an ethnic minority, namely the Batak ethnicity.

This study aims to analyze the stereotypical representations of Batak ethnic characters in the film “Pariban: Idola dari Tanah Jawa”. The research uses a method of John Fiske’s semiotic approach which consists of three levels, namely the level of reality, the level of representation, and the level of ideology. The objects of the research are shots, scenes, and sequences that represent the stereotypes of Batak ethnic characters in the film Pariban: Idola dari Tanah Jawa.

The stereotypical representations of Batak ethnic characters found in this study of film “Pariban: Idola dari Tanah Jawa” are 11 scenes which consist of: (a) 2 findings of rude and temperamental stereotypes; (b) 2 findings of stubborn and ambitious stereotypes; (c) 1 finding of sly stereotype; (d) 5 noisy or loud stereotypes; (e) 3 finding of honest and straightforward stereotypes; and (f) 1 finding of be fond of gathering stereotypes.

(3)

Pendahuluan

Media massa telah menjadi saluran edukasi dan informasi yang dipercaya masyarakat saat ini dalam memerankan praktik komunikasi massa. Film menjadi bagian dari media massa yang secara terus-menerus memberikan informasi kepada khalayak pada waktu tertentu. Pertambahan jumlah layar lebar hingga mencapai ribuan dalam beberapa tahun terakhir, angka perolehan penonton di bioskop sebanyak 51,2 juta pada tahun 2018, dan semakin banyaknya film Indonesia yang menduduki perolehan box office, menjadi bukti kemajuan industri film Indonesia seperti yang tercantum dalam artikel Film Indonesia (2019).

Film sebagai media massa juga mampu untuk melakukan aktivitas agenda

setting yang berarti menentukan topik informasi, dan menciptakan framing yang

berarti menempatkan sebuah informasi serta memberikan makna tertentu (Amalia, 2020). Tidak heran, film mengangkat banyak sekali representasi dari realitas sosial yang ada di dunia. Representasi merupakan sebuah wujud konstruksi terhadap semua aspek realitas yang dapat berbentuk kata-kata, tulisan, atau dalam bentuk gambar yang bergerak seperti film (Kusumastuti & Nugroho, 2017). Film tidak hanya mengonstruksi suatu nilai budaya tertentu, tetapi juga memberikan gambaran tentang bagaimana nilai-nilai itu diproduksi dan bagaimana nilai itu dimaknai oleh khalayak.

Meski begitu, media massa di Indonesia mengalami ketimpangan dalam penyaluran informasi pemberitaan karena hanya berpusat di Jakarta, menjadikan pemberitaan di media massa bersifat Jakarta-sentrisme. Fenomena ini dilatarbelakangi oleh industri media yang kebanyakan berpusat di Jakarta, awak media yang merupakan masyarakat asli atau tinggal menetap di Jakarta, letak pusat pemerintahan serta ekonomi yang berada di Jakarta, dan fasilitas hiburan yang terpusat di Jakarta. Berdasarkan riset terhadap 10 stasiun TV swasta yang dilakukan Remotivi bersama dengan praktisi akademik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran tahun 2014, didapatkan data bahwa 48% berita berasalah dari wilayah Jabodetabek, 7% berita internasional, dan 38% berita luar Jabodetabek.

(4)

Fenomena media massa yang cenderung Jakarta-sentrisme ini menjadikan daerah selain Jabodetabek tidak terekspos kepada khalayak, sehingga kurang lebih informasi, budaya, dan kebiasaan masyarakat Jabodetabek diikuti oleh masyarakat di daerah lain. Padahal, Indonesia memiliki banyak suku bangsa atau etnis yang tersebar di seluruh pulau Menurut data dari Badan Pusat Statistik (Pemerintah Indonesia [2017]; www.indonesia.go.id) tahun 2010, Indonesia terdiri dari 1340 etnis dari Sabang sampai Merauke. Bahkan, industri film sebagai media massapun belum tentu mampu mengangkat kompetensi budaya daerah untuk ditunjukkan kepada khalayak.

Selama tahun 2016-2019, hanya ada segelintir film tentang budaya daerah di Indonesia yang mencuat dan diminati khalayak di layar lebar. Jakarta-sentrisme telah mengubah orientasi masyarakat Indonesia mengenai negaranya sendiri. Hal ini diibaratkan bahwa “Indonesia hanyalah Jawa, sedangkan Jawa hanyalah Jakarta”. Padahal, kedudukan setiap etnis di Indonesia memiliki hak yang sama. Meski begitu, setiap etnis memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya. Setiap budaya dari etnis memiliki ciri khas (local culture) atau keunikan masing-masing. Nilai-nilai yang ada dalam local culture ini bersifat asli atau otentik (local

indigenous) dan menjadi pegangan masyarakat untuk menjalankan kehidupan

sehari-hari (Azizah, 2018). Apabila kita mengambil sudut pandang yang makin menjadi anomali dari Jakarta-sentrisme, maka fokus kita perlu diubah kepada budaya dan keberagaman masyarakat yang ada di luar pulau Jawa.

Film Pariban: Idola dari Tanah Jawa menjadi wujud karya yang tepat mengenai fenomena anomali dari Jakarta-sentrisme karena mengangkat topik cerita budaya Batak yang berlokasi di pulau Samosir, Sumatra Utara. Perjalanan karakter utama, Moan, di Pulau Samosir memberikan gambaran kehidupan sehari-hari etnis Batak. Akan tetapi, penggambaran ini disesuaikan dengan stereotip etnis Batak yang telah lama beredar di masyarakat. Stereotip yang tadinya dapat berupa positif dan negatif, sekarang lebih sering dikonotasikan sebagai “penilaian negatif” saja terhadap suatu kelompok, ras, dan etnis. Stereotip ini misalnya etnis Batak dikenal sebagai orang yang kasar, temperamental, ambisius, licik, senang berkumpul, dan sebagainya.

(5)

Berdasarkan cerita yang diangkat oleh film Pariban: Idola dari Tanah

Jawa, peneliti merasa tertarik dan ingin meneliti bahwa terdapat stereotip karakter

etnis Batak yang ditampilkan dalam film tersebut. Representasi stereotip karakter etnis Batak tersebut ditunjukkan melalui kode-kode teknis, representasi konvensional dan ideologi yang ada dalam film tersebut.

Pendekatan semiotika menjadi pisau untuk meneliti representasi stereotip karakter etnis Batak dalam film Pariban: Idola dari Tanah Jawa. Beberapa ahli yang mencetuskan analisis semiotika di antaranya Charles Sander Peirce, Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, dan John Fiske. Analisis semiotika John Fiske menjadi yang paling tepat digunakan karena memfokuskan studi pada budaya manusia sehari-hari yang ada pada film. Stereotip yang ditampakkan dalam film menjadi bagian dari identitas budaya yang dikemas dalam media, dan hal tersebut sesuai dengan anggapan Fiske mengenai semiotika yang cenderung menggunakan pendekatan budaya manusia. Fiske membahas tiga pokok bahasan penting yaitu tanda, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda, dan kebudayaan di tempat kode dan tanda bekerja. Kemudian, dianalisis menggunakan level realitas, level representasi, dan level ideologi pada scene dalam film yang telah dipilih.

Rumusan Penelitian

Berdasarkan penjabaran latar belakang tersebut, rumusan penelitian yaitu bagaimana stereotip karakter etnis Batak direpresentasikan menggunakan analisis semiotika John Fiske dalam film Pariban: Idola dari Tanah Jawa?

Landasan Teori 1. Komunikasi

Komunikasi menjadi aspek penting dalam kehidupan sosial, karena tanpa komunikasi tidak akan terjadi pertukaran pesan antarmanusia. Bernard Berelson dan Gary A. Steiner mendefinisikan komunikasi sebagai kegiatan transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol yang meliputi kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya

(6)

(Mulyana, 2017). Harold Lasswell (Mulyana, 2017) mengemukakan konsep dan model komunikasi dengan kalimat “Who Says What In Which Channel To Whom

With What Effect?”.

Pada proses penyampaian pesan, terdapat dua jenis pesan yaitu verbal dan nonverbal. Kusumawati (2016) mendefinisikan komunikasi verbal sebagai komunikasi yang disampaikan komunikator kepada komunikan secara tertulis (written) dan secara lisan (oral). Komunikasi nonverbal didefinisikan sebagai komunikasi dengan pesan yang dikemas dalam bentuk selain kata-kata. Komunikasi nonverbal jauh lebih banyak digunakan dalam kehidupan nyata dibanding komunikasi verbal, namun dapat menjadi penguat pesan verbal yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.

2. Film sebagai Komunikasi Massa

Komunikasi yang memanfaatkan media sebagai saluran penyampaian pesan dalam hal ini disebut sebagai komunikasi massa. Halik (2013) mengemukakan bahwa komunikasi massa dapat dijelaskan dari dua cara pandang, yaitu bagaimana cara seseorang memproduksi pesan dan menyebarkannya melalui media di satu pihak, serta bagaimana orang-orang mencari dan menggunakan pesan-pesan tersebut di pihak lainnya. Khalayak sendiri dianggap sebagai kepala kosong yang siap untuk menampung seluruh pesan komunikasi yang dicurahkan kepadanya (Rakhmat, 2009). Media massa digunakan untuk menyampaikan pesan secara serentak dari komunikator kepada komunikan, atau dalam hal ini yaitu khalayak luas.

Film didefinisikan sebagai karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan (Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman). Film disebut juga gambar hidup (motion

pictures), yang berarti serangkaian gambar diam (still pictures) yang meluncur

secara cepat dan diproyeksikan sehingga menimbulkan kesan hidup dan bergerak (Tamami, 2014). Film mempersembahkan dirinya sebagai rekaman atas apa yang telah terjadi, sedangkan televisi mempersembahkan dirinya sebagai tayangan atas

(7)

apa yang sedang terjadi (Hartley, 2019). Maka, sama seperti televisi, film dapat memberikan kesan secara impresif bagi penonton.

a. Persamaan Televisi dan Film

Menurut Kaplan (1983), terdapat persamaan antara televisi dan film sebagai media massa (Fiske, 2010), yaitu: (a) memfokuskan pada cara melakukan representasi sebagai mesin pembuat ilusi dari realitas; (b) menempatkan penonton sebagai orang yang terlibat langsung dalam tayangan; (c) memberikan pengalaman secara kognitif kepada penonton; dan (d) menciptakan ketegangan antara formasi sosial, subjektivitas, dan representasi. b. Karakteristik Film sebagai Media Massa

Karakteristik yang dimiliki oleh film menjadikan film sebagai salah satu media yang dapat disebut sebagai saluran yang masif dan mengandung unsur komunikasi (Vera, 2015), yaitu: (a) layar yang luas, membuat penonton mampu menikmati dan mengamati tiap adegan secara jeli dan cermat; (b) pengambilan gambar yang mampu menampilkan gambar jarak jauh untuk menimbulkan kesan artistik; (c) konsentrasi penuh karena ruangan bioskop dibuat kedap suara sehingga penonton akan terfokus menikmati film yang ditampilkan di layar lebar; dan (d) identifikasi psikologis yang membuat penonton seolah-olah menjadi bagian dari film dan tercipta koneksi perasaan dengan karakter dalam film.

Selain itu, film juga memiliki ciri-ciri media massa yang baik (Tamami, 2014) karena: (a) bersifat informatif di mana film mampu menyajikan informasi yang utuh dan lengkap daripada media masa lainnya; (b) kemampuan distorsi di mana film dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu dalam perannya sebagai media informasi; (c) situasi komunikasi yang khas dan menambah intensitas keterlibatan khalayak; dan, (d) kredibilitas di mana penyajian film disertai dengan perangkat kehidupan yang mendukung, seperti pranata sosial manusia, perbuatan sehari-hari manusia, hubungan antarmanusia, dan sebagainya.

(8)

c. Unsur Pembentuk Film

Film sebagai media massa memiliki unsur-unsur yang menjadikan film sebagai subjek yang dapat diteliti (Vera, 2015), yaitu: (a) Unsur naratif, yang meliputi materi atau bahan olahan yang memiliki hubungan dengan aspek cerita atau tema film, seperti tokoh, konflik, dan waktu yang kemudian diwujudkan dalam bentuk skenario; dan (b) Unsur sinematis, yang meliputi aspek teknis seperti setting atau latar, tata cahaya, kostum dan tata rias, serta akting dan pergerakan karakter.

d. Sinematografi dalam Film

Sinematografi dapat diartikan sebagai aktivitas melukis gerak dengan bantuan cahaya (Miyarso, 2011). Teknik sinematografi yang digunakan dalam film dijabarkan oleh Heiderich (2018) yaitu: (a) kamera sebagai alat penangkapp gambar dan cahaya yang dapat membentuk long shot, medium

shot, dan close up shot; (b) pencahayaan untuk memperlihatkan bentuk, fisik,

dan suhu dalam gambar; (c) suara untuk menambah ketepatan adegan dengan pesan yang ingin disampaikan; dan, (d) penyuntingan untuk menyempurnakan karya seni sehingga dapat dinikmati oleh penonton.

3. Film sebagai Representasi Sosial

Representasi merupakan sebuah wujud konstruksi terhadap semua aspek realitas yang dapat berbentuk kata-kata, tulisan, atau dalam bentuk gambar yang bergerak seperti film (Kusumastuti & Nugroho, 2017). Media massa sebagai media penyaji informasi seringkali mengeksplorasi fenomena sosial yang sebenarnya sesuai dengan apa yang media ingin tampilkan. Tidak jarang bahwa informasi yang disampaikan oleh media massa cenderung terbatas pada hal-hal tertentu saja dan bahkan terjebak dalam kategori-kategori sosial tertentu, misalnya stereotip (Christiani, 2017). Film sebagai salah satu media massa yang menyajikan informasi, tidak hanya mengkonstruksi suatu nilai budaya tertentu, tetapi juga melihat bagaimana nilai-nilai itu diproduksi dan bagaimana nilai itu dimaknai oleh khalayak. Realitas yang ditampilkan pada layar merupakan hal yang sama dengan sistem kompleks dari tanda yang dimaknai dari orang-orang dalam suatu kebudayaan tertentu (Fiske, 2017).

(9)

4. Semiotika

Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang artinya tanda, ataupun “seme” yang artinya “penafsir tanda”. Semiotika berusaha mengartikan tanda dan makna yang ada dalam lingkungan masyarakat sesuai dengan unsur sosial dan budayanya. Semiotika menjadi salah satu pendekatan studi untuk mengkaji suatu fenomena komunikasi, misalnya pada film, iklan, dan isi berita. John Fiske (2017), dalam bukunya berjudul Television Culture dan Reading the

Popular, menuliskan bahwa pesan yang ditayangkan di televisi dan media lainnya

diteliti dengan memposisikan penonton sebagai pemirsa sebagai individu yang memiliki latar belakang sosial. Fiske mendefinisikan semiotika sebagai ilmu tentang bagaimana tanda dan makna dibangun dalam “teks” media; serta studi tentang bagaimana tanda dari jenis „karya‟ komunikasi jenis apapun dalam masyarakat yang mengomunikasikan makna (Fiske, 2017). Menurut Fiske (dalam Vera, 2015), terdapat tiga bidang studi utama dalam semiotika, yakni sebagai berikut.

a. Tanda

Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda merupakan konstruksi manusia dan hanya dapat dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

b. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda

Hal ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja

Hal ini bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Kemudian, Fiske menciptakan teori semiotika yang menganalisis tanda, simbol, dan teks yang terdiri dari tiga level, yakni level realitas (penampilan, kostum, tata rias, lingkungan, perilaku, cara berbicara, gestur, dan ekspresi), level

(10)

representasi (kamera, pencahayaan, penyuntingan, musik, dan suara yang kemudian membentuk unsur naratif, konflik, karakter, aksi, dialog, latar, dan peran), dan level ideologi (individualisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, dan kapitalisme.

5. Stereotip

Mulyana (2017) mendefinisikan stereotip sebagai penggeneralisasian orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Definisi ini mengacu pada pengertian Rubin (1973) yang mengartikan stereotip sebagai proses menempatkan orang-orang dan objek-objek ke dalam kategori-kategori yang mapan, atau penilaian mengenai orang-orang atau objek-objek berdasarkan kategori-kategori yang dianggap sesuai, ketimbang berdasarkan karakteristik individual mereka (Mulyana, 2017). Konsep stereotip pertama kali dikemukakan oleh Lippman (dalam Kuncoro, 2020), yaitu sikap terlalu menyederhanakan dan menggeneralisasikan atribut-atribut pribadi ke dalam suatu kelompok tertentu.

Stereotip mengalami peyorasi atau penurunan makna menjadi lebih buruk. Stereotip yang tadinya dapat berupa positif dan negatif, sekarang lebih sering dikonotasikan sebagai “penilaian negatif” saja terhadap suatu kelompok, ras, dan etnis. Stereotip yang seringkali beredar mengenai etnis Batak misalnya ambisius, kejam, kasar, berkata apa adanya, dan senang berkelompok. Stereotip ini tidak lepas dari keseharian, bahkan sejarah dari etnis Batak itu sendiri.

Metodologi

Penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian deskriptif kualitatif, di mana data penelitian ini merupakan data kualitatif atau kurang bersifat bilangan. Prosedur kualitatif memunculkan hasil interpretatif yang sifatnya mendeskripsikan suatu fenomena secara kritis sesuai dengan objek penelitian yang diambil (Moleong, 2017), yaitu untuk mengetahui representasi stereotip karakter etnis Batak dalam film Pariban: Idola dari Tanah Jawa menggunakan pendekatan semiotika. Metode ini memfokuskan diri pada interpretasi tanda dan teks sebagai objek kajian, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami

(11)

kode (decoding) di balik tanda dan teks tersebut (Piliang, 2012). Pendekatan semiotika memungkinkan peneliti menganalisis tanda yang disampaikan melalui bahasa verbal, bahasa nonverbal, latar, dan peristiwa sosial yang ditampakkan.

Kriteria pemilihan yaitu dengan menandai shot, scene, dan sequence yang menampilkan gambar, tanda, simbol, teks, dan suara yang merepresentasikan stereotip karakter etnis Batak dalam film Pariban: Idola dari Tanah Jawa. Penelitian menemukan 11 scene yang mengandung unsur stereotip karakter etnis Batak. Makna dalam adegan-adegan yang telah dipilih dijabarkan sesuai dengan metode analisis tiga level “television codes” Fiske yang terdiri dari level realitas, level representasi, dan level ideologi (Vera, 2015).

Sajian Analisis Data

1. Etnis Batak dikenal sebagai orang yang kasar dan temperamental Gambar

Sequence 16, Scene 58, Shot 218, time code 01:07:09-01:07:54

Sequence 17, Scene 58, Shot 224, time code 01:08:23-01:09:04

Sequence 17, Scene 58, Shot 231, time code 01:09:32-01:09:36

a. Deskripsi Scene

Uli mendatangi Moan yang sedang bersantai sambil menikmati pemandangan Danau Toba dari atas bukit. Uli bercerita bahwa penjualan

(12)

kerbau ayahnya hari ini melonjak. Ternyata, hal tersebut terjadi karena Moan telah membantu ayah Uli untuk menjual kerbaunya secara daring melalui aplikasi jual-beli daring yang dibuat oleh perusahaan Moan. Sambil mengamati potensi Danau Toba dan Pulau Samosir, Moan meminta Uli untuk mempelajari aplikasi yang dibuatnya supaya Uli dapat ikut menggunakan. Di sisi lain, Binsar yang melihat motor Uli parkir ketika ia melewati jalanan memberhentikan mobilnya karena curiga Uli sedang bersama dengan Moan. Binsar yang tidak suka keberadaan Uli bersama dengan Moan turun dari mobil diikuti oleh Lamhot dan menghampiri keduanya. Binsar kemudian mengajak Moan berbicara yang berujung pada perdebatan tentang seberapa Batak keduanya dan siapa yang pantas menjadi pasangan dari Uli. Uli yang merasa terganggu dengan perdebatan mereka akhirnya menengahi dan beranjak pulang.

A) Level Realitas

i. Appearance (penampilan)

Moan digambarkan dengan rambut tipis dan pendek yang berarti ia menjaga kerapian penampilannya, berkebalikan dengan Binsar. Setengah rambut Uli diikat yang menandakan bahwa Uli tidak terlalu formal, namun tidak terlalu santai pula. Lamhot yang rambutnya dicat merah menandakan bahwa ia senang bergaya.

ii. Dress (kostum)

Moan dan Lamhot mengenakan pakaian casual berupa celana jins dengan atasan kaos, Moan menambahkan sweter di tubuhnya. Uli juga memakai celana jins dengan kaos pendek, dan ditindih dengan luaran berwarna biru tua. Binsar memakai kemeja dengan bahan satin mengkilap berwarna oranye dengan sapu tangan yang diikat di leher.

iii. Make up (tata rias)

Tidak ada tata rias yang ditonjolkan dalam scene ini, karena karakter yang tampak di kamera menunjukkan aktivitas sehari-hari.

(13)

Lingkungan di tepian bukit sedikit gersang, namun memiliki pemandangan yang indah karena jangkauan jarak pandang yang cukup luas dan dapat melihat puncak bukit serta sebagian besar Danau Toba.

v. Behavior (perilaku)

Binsar sudah menunjukkan perilakunya yang merasa terganggu dengan keberadaan Moan bersama Uli.

vi. Speech (cara berbicara)

Binsar menggunakan nada tinggi dalam intonasi bicaranya. vii. Gesture (gestur)

Binsar dan Lamhot sudah menampakkan gestur tubuh memegang pinggang ketika memanggil dan berbicara dengan Moan. Kepala yang mendongak juga mengindikasikan adanya perbedaan tingkatan harga diri yang ditunjukkan masing-masing karakter. Di sisi lain, Moan yang memasukkan kedua tangannya di kantong celana menunjukkan bahwa dirinya bersikap defensif atas apapun yang dilakukan oleh Binsar. Binsar juga meludah di depan Moan dan memaki-maki sambil mengacungkan telunjuk kepada Moan.

viii. Expression (ekspresi wajah)

Ekspresi yang ditunjukkan yakni dahi mengerut. B) Level Representasi

i. Camera (kamera)

Komposisi objek dan karakter ketika Moan dan Uli berbicara direkam dari sudut rendah, menandakan bahwa Moan sekaligus Pulau Samosir megah dan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada Uli. Ketika Moan dan Uli duduk bersebelahan, sudut pengambilan kamera berubah menjadi sejajar, menandakan bahwa Moan dan Uli adalah sama-sama manusia yang tinggal di Indonesia dan bisa menikmati kekayaan alam Indonesia.

Pada shot selanjutnya, Binsar datang bersama Lamhot dengan mengendarai mobil. Kamera yang bergerak ke kanan dan menunjukkan motor Uli dengan komposisi penempatan motor lebih rendah daripada mobil Binsar ii. Lighting (pencahayaan)

(14)

Pencahayaan alami didapatkan dari langit yang cerah. Penerangan juga lebih terlihat pada wajah Moan yang menandakan bahwa Moan menjadi salah satu pelopor terwujudnya harapan untuk memajukan Pulau Samosir.

C) Level Ideologi i. Class (Kelas)

Perbedaan kelas ditunjukkan ketika Binsar datang menaiki mobilnya sedangkan terdapat motor Uli yang parkir di sisi kanan kamera. Pengambilan kamera dari sudut rendah mengisyaratkan bahwa Binsar memiliki kelas sosial yang lebih tinggi karena memiliki mobil yang lebih megah dan lebih mahal daripada motor Uli.

ii. Race (Ras)

Pembatasan yang bersifat rasisme ditunjukkan oleh Binsar kepada Moan. Dialog antara Binsar dan Moan yang menanyakan seberapa „Batak‟ mereka berdua memberikan jarak yang jauh antara keduanya. Binsar menanyakan apa yang Moan tahu selain pariban, apakah ia tahu mengenai Patung Si Gale-gale. Patung Si Gale-gale adalah boneka kayu yang dimainkan pada upacara pemakaman adat Batak dan sangat sakral karena dianggap sebagai perwujudan orang yang meninggal tersebut untuk terlibat dalam upacara pemakamannya. D) Kesimpulan

Perbedaan kelas dan ras dalam kehidupan sosial ketiga karakter utama yang berseteru ditampilkan cukup jelas melalui gestur dan speech yang menyebutkan tentang seberapa batak kedua laki-laki sehingga layak untuk menjadi pasangan dari Uli. Pengambilan gambar menjadi tidak seimbang karena badan Moan lebih tinggi daripada Binsar, sehingga eye-level kamera ditepatkan sesuai dengan postur Binsar. Bahkan, Binsar perlu mendongak dan berkacak pinggang untuk menunjukkan dominasinya kepada Moan.

2. Etnis Batak dikenal sebagai orang yang jujur dan apa adanya Gambar

(15)

Sequence 12, Scene 46, Shot 164, time code 00:50:07-00:50:15

Sequence 12, Scene 46, Shot 165, time code 00:50:15-00:50:25

a. Deskripsi Scene

Moan dan Uli menghampiri ayah dan ibu Uli yang sedang menggembala kerbaunya di lapangan tepi Danau Toba sembari membawakan bekal. Mereka kemudian duduk bersama di atas tikar sambil berbincang tentang teknologi di dunia yang semakin maju dan ayah Uli yang merasa tertinggal. Ayah Uli tidak dapat mengikuti perkembangan teknologi sehingga tidak dapat menunjang penjualan kerbaunya secara daring.

A) Level Realitas

i. Appearance (Penampilan)

Ayah dan ibu Uli digambarkan sebagai sosok yang pekerja keras karena sudah menggembala kerbaunya sejak pagi.

ii. Dress (kostum)

Ibu Uli mengenakan sortali, yakni sebutan penutup kepala menggunakan kain Ulos bagi orang Batak. Sortali dikenakan ketika terdapat pesta adat maupun ketika wanita asli suku Batak bekerja. Ayah Uli mengenakan kaos lengan panjang dan lengan panjang untuk menutupi kulit dari sinar matahari. Uli dan Moan masih mengenakan pakaian yang sama dengan scene sebelumnya ketika keduanya masih ada di halaman rumah.

iii. Make up (tata rias)

Tidak terdapat tata rias yang menonjol dari karakter yang tampak di kamera dikarenakan tidak adanya kegiatan formal maupun keramaian yang memerlukan karakter untuk merias wajah sedemikian rupa. Terdapat sedikit

(16)

penggunaan riasan wajah seperti bedak dan lipstick berwarna senada dengan kulit Uli dan ibunya.

iv. Environment (lingkungan)

Tempat ayah Uli menggembala kerbaunya adalah tepian Danau Toba yang asri karena banyak pepohonan.

v. Behavior (perilaku)

Keluarga Silalahi yang tidak sekaya Moan mengatakan bahwa mereka mengalami kegagapan terhadap teknologi (gaptek) yang membuat penjualan kerbau tidak secepat dan secanggih orang lain yang telah menggunakan internet untuk berjualan dagangannya.

ii. Speech (cara berbicara)

Cara keluarga Silalahi ketika mengatakan bahwa ayah Uli tidak paham dengan cara penggunaan teknologi untuk berjualan memiliki nada yang tegas namun santai, yang berarti bahwa keluarga Silalahi jujur dan tidak menutup-nutupi apapun.

iii. Gesture (gestur)

Gestur yang diperlihatkan Uli dan ibunya adalah menghentikan aktivitas mereka yang sedang menyajikan bekal untuk dimakan dan mengacungkan jari telunjuk maupun sendok sebagai sebuah bentuk penekanan ketika berbicara. Ayah Uli dan Moan memperlihatkan gestur mengangkat tangan untuk membayangkan yang sedang dibicarakannya.

iv. Expression (ekspresi wajah)

Ekspresi wajah keluarga Silalahi yang ditampilkan selalu tersenyum, menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang ramah.

B) Level Representasi i. Camera (kamera)

Pengambilan gambar dengan tanpa menggerakkan kamera membuat penonton dapat mengamati ekspresi wajah dan pergerakan tubuh dari setiap karakter. Sudut pengambilan direkam sejajar dengan eye-level ayah Uli dan Moan yang menunjukkan terdapat perbedaan kedudukan sosial antara laki-laki

(17)

dan perempuan, dalam hal ini kedudukan berbeda antara Moan dan ayah Uli dengan Uli dan ibunya.

ii. Lighting (pencahayaan)

Pencahayaan didominasi oleh sinar matahari yang arahnya dari belakang atau sisi samping karakter yang berbicara.

iii. Editing (penyuntingan)

Cut-to-cut dari setiap shot dibuat cepat supaya penonton dapat mengamati

aksi-reaksi yang dilakukan oleh masing-masing karakter. C) Level Ideologi

i. Patriarchy (patriarki)

Ray (2006) menuliskan bahwa patriarki mempropagandakan ideologi tentang menjadi ibu rumah tangga yang membatasi kebebasan wanita hanya pada merawat dan membesarkan anak, mendidik anak, dan melakukan pekerjaan rumah (Haryanti & Suwana, 2014). Ideologi patriarki ditampakkan melalui aktivitas yang tidak dideskripsikan dalam dialog, namun terlihat saat gambar direkam. Uli dan ibunya menyiapkan makanan, sedangkan Moan dan ayah Uli berbincang. Hal ini dapat disebut sebagai unsur patriarki di mana terdapat ketidakseimbangan peran gender yang memberikan laki-laki kuasa lebih atas karir dan kekayaan, sedangkan wanita dibatasi pada kegiatan yang biasa dikerjakan ibu rumah tangga.

D) Kesimpulan

Keseharian etnis Batak ditunjukkan oleh keluarga Silalahi dalam scene ini. Karakter yang jujur dan apa adanya ditunjukkan melalui ekspresi tertawa sekaligus mengejek dengan mengerutkan dahi oleh ayah dan ibu Uli karena keluarganya kalah bersaing dengan generasi baru dalam hal perdagangan melalui internet. Ekspresi ini dipertegas dengan gestur saling menunjuk antara keluarga Silalahi, termasuk Moan. Kemudian, keseharian yang cenderung menunjukkan fenomena patriarki ditampilkan melalui perbedaan aktivitas yang dilakukan antara karakter perempuan dan laki-laki dalam satu frame. Ideologi patriarki yang membatasi gerak perempuan hanya pada aktivitas mengurus anak ditampilkan dengan Uli dan ibunya yang bersusah-payah menyajikan

(18)

makanan untuk Moan dan ayah Uli. Di sisi lain, Moan dan ayah Uli nyaman berbincang dan tinggal menerima makanan yang disediakan oleh perempuan yang ada di dalam satu frame.

Kesimpulan

Peneliti telah melakukan kajian analisis semiotika John Fiske terhadap stereotip karakter etnis Batak dalam film Pariban: Idola dari Tanah Jawa dan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Analisis level realitas yang menggunakan kode-kode sosial seperti penampilan (appearance), kostum (costum), tata rias (make up), lingkungan (environment), perilaku (behavior), cara berbicara (speech), gestur (gesture), dan ekspresi wajah (expression) menggambarkan stereotip karakter etnis Batak secara dominan melalui cara berbicara, gestur dan ekspresi wajah. Kode sosial kostum dan tata rias dibuat senyata mungkin sehingga mampu menunjukkan kehidupan etnis Batak sehari-harinya.

2) Analisis level representasi yang menggunakan kode-kode teknik pengambilan gambar melalui kamera (camera), pencahayaan (lighting), dan penyuntingan (editing) tidak menunjukkan adanya pergerakan kamera yang menjadi bagian dominan dalam film ini, namun penempatan objek menjadi kunci penting untuk menentukan unsur-unsur pemaknaan tersebut. Film ini lebih banyak menempatkan karakter dengan menerapkan unsur tinggi-rendah dan jauh-dekat. Penyuntingan gambar juga dibuat cepat tanpa jeda, terutama ketika dua karakter sedang beradu pendapat.

3) Analisis level ideologi dalam film ini mampu menampilkan paham-paham yang muncul, yakni patriarki (patriarchy), ras (race), dan kelas (class). Ideologi patriarki timbul dari minimnya dialog yang dilontarkan karakter perempuan, perbedaan perilaku antara karakter laki-laki dan perempuan, serta penempatan karakter perempuan yang diposisikan lebih rendah daripada karakter laki-laki dalam frame. Ideologi ras dan kelas timbul dari stereotip karakter etnis Batak yang kasar dan temperamental.

(19)

Daftar Pustaka

Amalia, A. C. (2020). TEORI AGENDA SETTING DAN FRAMING DALAM

MEDIA RELATIONS.

https://binus.ac.id/malang/2020/04/teori-agenda-setting-dan-framing-dalam-media-relations/ (Diakses pada 21 September 2020, 11:11 WIB)

Azizah, N. (2018). Pendekatan Person Centered berbasis nilai Budaya Jawa “sopan santun” untuk meningkatkan perilaku adaptif remaja di era disrupsi. In Prosiding Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling, 2(1), 99-103. http://prosiding.unipma.ac.id/index.php/SNBK/article/view/472 Christiani, L. C. (2017). Representasi Identitas Etnis Papua Dalam Serial Drama

Remaja Diam-Diam Suka. Jurnal Komunikasi dan Kajian Media, 1(1), 15-30. https://jurnal.untidar.ac.id/index.php/komunikasi/article/view/387 Film Indonesia. (2019). Pemandangan Umum Industri Film Indonesia.

http://filmindonesia.or.id/public/upload/doc/fi_pemandangan-umum-industri-film-2019_ralat.pdf (Diakses pada 20 Mei 2020, 13:55 WIB) Fiske, J. (2010). Television Culture 2nd Edition. London: Routledge.

Fiske, J. (2017). CULTURAL AND COMMUNICATION STUDIES: Sebuah

Pengantar Paling Komprehensif (Terjemahan Edisi Ke-2). Yogyakarta:

Penerbit Jalasutra.

Halik, A. (2013). Komunikasi Massa. Makassar: Alauddin University Press. Hartley, J. (2019). Communication, cultural and media studies: The key concepts.

London: Routledge.

Heiderich, T. (2018). Cinematography techniques: The different types of shots in film. Ontario Mining Assosiation.

https://www.oma.on.ca/en/contestpages/resources/free-report-cinematography.pdf

Kuncoro, J. (2020). Prasangka dan Diskriminasi. Proyeksi: Jurnal Psikologi, 2(2), 1-16. http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/proyeksi/article/view/236 Kusumastuti, A. N., & Nugroho, C. (2017). Representasi Pemikiran Marxisme

Dalam Film Biografi (studi Semiotika John Fiske Mengenai Pertentangan Kelas Sosial Karl Marx Pada Film Guru Bangsa Tjokroaminoto). eProceedings of Management, 4(2).

https://libraryeproceeding.telkomuniversity.ac.id/index.php/management/a rticle/view/3323

Kusumawati, T. I. (2016). KOMUNIKASI VERBAL DAN NONVERBAL. Al-Irsyad: Jurnal Pendidikan dan Konseling, 6 (2). 98. http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/al-irsyad/article/view/6618

Miyarso, E. (2011). Peran Penting Sinematografi dalam pendidikan pada era teknologi Informasi & Komunikasi. Majalah Pendidikan.

http://staffnew.uny.ac.id/upload/132313279/penelitian/peran+penting+sine matografi.pdf

Moleong, L. J. (2017). Metode Penelitian Kualitatif, cetakan ke-36. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.

Mulyana, D. (2017). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

(20)

Pemerintah Indonesia. (2017). Suku Bangsa. https://indonesia.go.id/profil/suku-bangsa (Diakses pada 22 Maret 2020; 12:47 WIB)

Piliang, Y. A. (2012). Semiotika dan hipersemiotika: kode, gaya & matinya

makna. Bandung: Matahari.

Rakhmat. J. (2009). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Tamami, A. S. (2014). Potret Etika Keluarga Jawa Dalam Film (Studi Semiotika

Mengenai Etika Keluarga Jawa Dalam Film Opera Jawa). Universitas

Sebelas Maret. https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/37427/Potret- Etika-Keluarga-Jawa-Dalam-Film-Studi-Semiotika-Mengenai-Etika-Keluarga-Jawa-Dalam-Film-Opera-Jawa

Vera, N. (2015). Semiotika dalam Riset Komunikasi Cetakan Ke-2. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Terdapat tanggap pertumbuhan dan hasil kacang tanah ( Arachis Hypogeae L) berdasarkan variasi pola

Buku Evaluasi Operasi Mingguan Sistem Khatulistiwa dibuatkan oleh unit operasional PT PLN (Persero) Area Pengaturan Distribusi dan Penyaluran (APDP) Bidang Operasi

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai pemanfaatan WhatsApp sebagai media komunikasi antara Pendamping Program Keluarga Harapan dengan Keluarga Penerima Manfaat di

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Skripsi ini di susun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah

Mereka juga menilai bahwa tindakan streaming ilegal EPL akan terus ada selama jumlah siaran EPL di televisi nasional masih sedikit, karena jumlah penggemar EPL

16 Penelitian ini berbeda dengan yang peneliti lakukan karena peneliti ingin meneliti efektivitas penggunaan google classroom dan video tutorial dalam pembelajaran