• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Fadhli Aufar Kasyfi 04111001091

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Skripsi Fadhli Aufar Kasyfi 04111001091"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memeroleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)

Oleh:

Fadhli Aufar Kasyfi

04111001091

F A K U L T A S K E D O K T E R A N

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

(2)
(3)

iii

1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister dan/ atau doktor), baik di Universitas Sriwijaya maupun di perguruan tinggi lainnya.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian Saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan verbal Tim Pembimbing.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini Saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka Saya bersedia menerima sanksi akademik atau sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.

Palembang, 22 Januari 2015 Yang membuat pernyataan,

Fadhli Aufar Kasyfi NIM 04111001091

(4)

iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sriwijaya, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Fadhli Aufar Kasyfi

NIM : 04111001091

Program Studi : Pendidikan Dokter Umum

Fakultas : Kedokteran

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Hak Bebas Royalti Noneksklusif

(Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Karakteristik Pasien Dislokasi Sendi Bahu di Subbagian Bedah Ortopedi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2012 sampai 2013.

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Palembang Pada tanggal: Januari 2015

Yang Menyatakan

(5)

v

ABSTRAK

KARAKTERISTIK PASIEN DISLOKASI SENDI BAHU DI

SUBBAGIAN BEDAH ORTOPEDI RSUP Dr. MOHAMMAD

HOESIN PALEMBANG TAHUN 2012-2013

(Fadhli Aufar Kasyfi, Januari 2015, 45 halaman)

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Latar Belakang: Epidemiologi kasus dislokasi sendi bahu masih kurang

dipahami sampai saat ini. Tingkat morbiditas penderita dislokasi sendi bahu masih relatif tinggi berkaitan dengan faktor resiko dan tatalaksana yang dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien dislokasi sendi bahu di Subbagian Bedah Ortopedi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang ditinjau dari segi demografi, kejadian dislokasi, dan tatalaksana.

Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan rancangan cross

sectional. Populasi penelitian ini adalah semua pasien rawat inap dislokasi sendi

bahu di Subbagian Bedah Ortopedi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Sampel diambil dengan metode total sampling dari seluruh rekam medik pasien di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang dari bulan Januari 2012 sampai bulan Desember 2013.

Hasil: Subjek penelitian adalah 55 pasien yang terdiri dari 39 laki-laki dan 16

perempuan. Sebanyak 26,1% penderita berusia 14-24 tahun dan 70,9% diderita oleh laki-laki. Berdasarkan waktu kejadian dislokasi, 76,4% pasien datang dengan dislokasi akut. Penyebab utama dislokasi adalah trauma (90,9%). 60% kasus terjadi akibat mekanisme trauma langsung. Dislokasi anterior menjadi yang paling banyak yaitu 50 dari 55 kasus (90,9%) yang diteliti. 34,5% kasus ditemukan komplikasi berupa fraktur-dislokasi. Teknik reduksi menjadi yang paling banyak dilakukan dalam penatalaksanaan yaitu 56,4%.

Kesimpulan: Usia muda dan jenis kelamin laki-laki adalah faktor resiko

terjadinya dislokasi sendi bahu. Kejadian dislokasi terbanyak adalah dislokasi anterior, dislokasi akibat trauma, dan dislokasi akut.

Kata kunci: dislokasi sendi bahu, dislokasi akut, dislokasi anterior,

fraktur-dislokasi.

Palembang, 19 Januari 2015 Mengetahui

Pembimbing I Pembantu Dekan I

Dr. dr. Nur Rachmat Lubis Sp. OT dr. Mutiara Budi Azhar, SU, MMedSc NIP. 195902181985111001 NIP. 1952201071989031001

(6)

vi ABSTRACT

CHARACTERISTICS OF SHOULDER DISLOCATION

PATIENTS AT ORTHOPAEDICS SURGERY SUBDIVISION

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN 2012-2013

(Fadhli Aufar Kasyfi, January 2015, 45 pages)

Faculty of Medicine Sriwijaya University

Background: Epidemiology of shoulder dislocation was poorly understood.

Morbidity rate of shoulder dislocation patients is relatively high associated with risk factor and management. This study aims to investigate the characteristics of shoulder dislocation patients at Orthopaedics Surgery Subdivison RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang in terms of dermographics, incidence of dislocation, and management.

Methods: The study is descriptive study with cross-sectional design. Population

of the study is all shoulder dislocation patients at Orthopaedics Surgery Subdivision RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Samples are taken with a total sampling methods of the entire medical records of patients at RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang from January 2012 to December 2013.

Results: The subjects were 55 patients consisted of 39 male and 16 female. A

total of 26.1% is patients with aged 14-24 years and 70.9% suffered in male. Based on the time occurrence of dislocation, 76.4% of patients come with acute dislocation. The major cause is traumatic dislocation (90.9%). 60% of cases result from direct trauma mechanism. Anterior dislocation became the most dislocation with 50 of 55 cases (90.9%) were studied. 34.5% of cases are found with fracture-dislocation. Reduction techniques become the most widely applied in the management of which 56.4%.

Conclusion: Young age and male gender is a risk factor of shoulder dislocation.

The most incidence of shoulder dislocation are anterior dislocation, traumatic dislocation, and acute dislocation.

Keywords: shoulder dislocation, acute dislocation, anterior dislocation,

(7)

vii

“Karakteristik pasien dislokasi sendi bahu di Subbagian Bedah Ortopedi RSUP Mohammad Hoesin Palembang tahun 2012-2013” ini dapat diselesaikan dengan baik tepat pada waktunya sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S. Ked).

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan, bimbingan, doa, semangat, serta saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. DR. Dr. M. Zulkarnain, MMedSc, PKK., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

2. DR. dr. Nur Rachmat Lubis, Sp. OT selaku pembimbing substansi dan penguji 1(satu) yang telah bersedia mengorbankan waktu, pikiran, dan tenaga untuk mengarahkan serta mendorong saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. DR. dr. Legiran, M.Kes selaku pembimbing metodologi penelitian dan penguji 2(dua) yang telah bersedia mengorbankan waktu, pikiran, dan tenaga untuk mengarahkan serta mendorong saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. Indri Septadina, M.Kes, selaku penguji 3 (tiga) yang telah menguji dan memberikan saran untuk perkembangan skripsi ini.

5. Prof. DR. Dr. Yuwono, M.Biomed., sebagai penguji kelayakan etik proposal skripsi

(8)

vii

6. Keluarga saya secara khusus kepada kedua orang tua saya DR. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M. P., dan Yati Surini, S. Kep., Ners, M. Pd., kepada kakek saya tercinta, dan juga kepada saudara/i saya Fanny dan Farid atas dukungan baik secara moral maupun material dan doa restu dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Kekasih saya Rinda Mentari, sahabat-sahabat saya Dimas, Riedho, Riandri, Ganda, Johannes, Agien, Tafdhil, dan semua teman dekat maupun kawan-kawan seangkatan sekalian yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah turut membantu dan mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan dan penyelesaian skripsi ini yang tidak bias saya sebutkan satu per satu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penelitian lain selanjutnya dan bagi masyarakat. Semoga Allah Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan berkat dan rahmat bagi kita semua. Amin.

Palembang, 21 Januari 2015

Fadhli Aufar Kasyfi 04111001091

(9)

ix

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PERSETUJUAAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR GRAFIK ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah... 3 1.3. Tujuan Penelitian ... 3 1.3.1 Tujuan Umum ... 3 1.3.2 Tujuan Khusus ... 3 1.4. Manfaat Penelitian ... 4 1.4.1 Manfaat Ilmiah ... 4

1.4.2 Manfaat bagi Masyarakat ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sendi Bahu ... 5

2.1.1. Anatomi ... 5

2.1.2. Biomekanik ... 7

2.2 Dislokasi Sendi Bahu ... 9

2.2.1. Definisi ... 9 2.2.2. Epidemiologi ... 9 2.2.3. Etiologi ... 10 2.2.4. Patofisiologi ... 10 2.2.5. Mekanisme... 11 2.2.6. Klasifikasi ... 12 2.2.6.1 Dislokasi Anterior... 12 2.2.6.2 Dislokasi Posterior ... 13 2.2.6.3 Dislokasi Inferior ... 13 2.2.7. Diagnosis ... 13 2.2.8. Pengkajian Diagnostik ... 14 2.2.9. Manifestasi Klinik ... 14 2.2.10. Komplikasi... 15 2.2.11. Penatalaksanaan ... 15

(10)

x

2.2.12. Prognosis ... 20

2.3 Kerangka Teori ... 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 22

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

3.2.1. Lokasi ... 22

3.2.2. Waktu ... 22

3.3. Populasi dan Sampel ... 22

3.3.1. Populasi Penelitian ... 22 3.3.2. Sampel Penelitian ... 22 3.4. Variabel Penelitian... 23 3.5. Definisi Operasional ... 23 3.6.1 Usia ... 23 3.6.2 Jenis Kelamin ... 24 3.6.3 Jenis Dislokasi ... 24 3.6.4 Arah Dislokasi ... 24 3.6.5 Penyebab Dislokasi ... 25 3.6.6 Mekanisme Dislokasi ... 25

3.6.7 Fraktur Komponen Sendi ... 25

3.6.8 Penatalaksanaan ... 26

3.6. Cara Pengumpulan Data ... 26

3.7 Cara Pengolahan dan Analisis Data... 26

3.8 Alur Penelitian ... 27

3.9 Aspek Etik ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 29

4.1.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia ... 29

4.1.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 30

4.1.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Dislokasi ... 31

4.1.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Arah Dislokasi ... 32

4.1.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Penyebab Dislokasi ... 32

4.1.6 Distribusi Sampel Berdasarkan Mekanisme Dislokasi ... 33

4.1.7 Distribusi Sampel Berdasarkan Fraktur Komponen Sendi ... 34

4.1.8 Distribusi Sampel Berdasarkan Penatalaksanaan ... 34

4.2 Pembahasan ... 36

4.2.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia ... 36

4.2.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 37

4.2.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Dislokasi ... 38

4.2.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Arah Dislokasi ... 39

4.2.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Penyebab Dislokasi ... 40

4.2.6 Distribusi Sampel Berdasarkan Mekanisme Dislokasi ... 41

4.2.7 Distribusi Sampel Berdasarkan Fraktur Komponen Sendi ... 42

4.2.8 Distribusi Sampel Berdasarkan Penatalaksanaan ... 42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 44

(11)
(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia ... 30

4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 31

4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Dislokasi ... 31

4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Arah Dislokasi ... 32

4.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Penyebab Dislokasi ... 33

4.6 Distribusi Sampel Berdasarkan Mekanisme Dislokasi ... 33

4.7 Distribusi Sampel Berdasarkan Fraktur Komponen Sendi ... 34

(13)

xiii

Gambar Judul Halaman

2.1 Ligamentum pada sendi bahu... 6

2.2 Otot- otot pada bahu ... 7

2.3 Teknik Reduksi Cooper-Milch ... 16

2.4 Teknik Reduksi Stimson’s ... 16

2.5 Teknik reduksi Hipocrates ... 17

2.6 Teknik reduksi Kocher ... 18

2.7 Teknik manipulasi Countertraction ... 19

(14)

xiv

DAFTAR GRAFIK

Grafik Judul Halaman

4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia ... 36 4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Arah Dislokasi ... 39 4.6 Distribusi Sampel Berdasarkan Mekanisme Dislokasi ... 41

(15)

xv

1 Lampiran Data Pasien ... 59

2 Lampiran Surat Etik ... 62

3 Lampiran Surat Izin Penelitian... 63

4 Lampiran Surat Selesai Penelitian ... 64

5 Lampiran Artikel ... 65

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dislokasi sendi merupakan salah satu kasus yang sering dijumpai di bagian bedah ortopedi. Dislokasi adalah keadaan di mana tulang- tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis. Dislokasi ini dapat terjadi pada komponen tulangnya saja yang bergeser atau seluruh komponen tulang terlepas dari tempat yang seharusnya (Mansjoer dkk., 2000).

Sendi bahu menjadi kasus yang paling sering terjadi dengan angka 45 % dari seluruh kasus dislokasi, menyusul sendi panggul dan siku. Sampai saat ini, epidemiologi kasus dislokasi sendi bahu masih kurang dipahami (Zachilli dan Owens, 2010).Dalam sebuah studi di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kasus dislokasi sendi bahu berupa 95% dislokasi anterior, 4% dislokasi posterior, 0,5% dislokasi inferior, serta kurang dari 0,5% dislokasi superior (Koval dan Zuckerman, 2006). Dislokasi sendi bahu sering ditemukan pada orang dewasa, jarang ditemukan pada anak-anak (Apley, 2010). Pada kasus ini ditemukan 71,8% laki-laki yang mengalami dislokasi, 46,8% penderita berusia antara 15-29 tahun, 48,3% terjadi akibat trauma seperti pada kegiatan olahraga. Tingkat dislokasi yang lebih tinggi terlihat pada perempuan yang berusia >60 tahun. Penyebab tersering didapatkan 58,8% akibat jatuh. Kasus fraktur penyerta komponen sendi 16% terjadi pada kasus dislokasi sendi bahu (Zachilli dan Owens, 2010).

Dislokasi sendi merupakan salah satu dari cedera muskuloskeletal yang cenderung terus meningkat dan akan mengancam kehidupan kita (Rasjad, 2003). Dislokasi sendi umumnya jarang menyebabkan kematian, namun dapat menimbulkan penderitaan fisik, stress mental, dan kehilangan banyak waktu. Oleh karena itu, pada kasus dislokasi sendi akan meningkatkan angka morbiditas dibanding angka mortalitas (Salter, 1999).

(17)

Pasien biasanya datang dengan keluhan nyeri pada bahu serta adanya riwayat trauma. Diagnosis pada kasus dislokasi yaitu dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboraturium. Sebagian kasus dislokasi sendi merupakan kompetensi dokter spesialis. Dokter umum harus memiliki kemampuan untuk mendiagnosis awal dan melakukan sitem rujukan yang benar untuk menghindari tingginya angka morbiditas dan komplikasi yang serius. Pada beberapa kasus, contohnya pada kasus dislokasi bahu posterior, didapatkan 60 – 80% sering terjadi kesalahan mendiagnosis kasus (Koval dan Zuckerman, 2006).

Pada keadaan akut, penatalaksanaan yang lama dan tidak cermat dapat menimbulkan berbagai komplikasi salah satunya nekrosis vaskular dan dislokasi berulang yang disbut juga luksasio habitualis (Sjamsuhidajat, 2010). Penatalaksaan dalam kasus dislokasi sendi bahu dibagi menjadi tindakan operatif dan non-operatif atau konservatif. Dalam sebuah studi di Inggris didapatkan terapi operatif lebih menurunkan angka terjadinya dislokasi sendi bahu berulang. Penanganan yang cepat dan tepat merupakan kunci untuk menurunkan angka morbiditas (Handoll, 2004).

Berdasarkan pernyataan masih kurangnya tingkat pengetahuan mengenai epidemiologi dislokasi sendi bahu, angka morbiditas yang tinggi serta tingkat pengetahuan dokter umum yang sangat penting berkaitan dengan diagnosis awal dan rujukan, timbul pemikiran bahwa informasi dan pengetahuan penyebab, jenis, dan faktor risiko terjadinya dislokasi sendi menjadi sangat penting dan perlu pengetahuan yang lebih jelas berkaitan dalam pendekatan diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan. Dalam hal ini, peneliti memilih semua rekam medis dislokasi sendi bahu di Sub Bagian Bedah Ortopedi RS Dr. Mohammad Hoesin, Palembang Januari 2012 – Desember 2013 sebagai sampel penelitian.

(18)

3

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana karakteristik pasien dislokasi sendi bahu pada tahun 2012 dan 2013 di Subbagian Bedah Ortopedi RSUP Dr. Mohammad Hoesin, Palembang ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui karakteristik penderita dislokasi sendi yang dirawat di Sub Bagian Bedah Ortopedi RSUP Dr. Mohammad Hoesin, Palembang pada tahun 2012 dan 2013.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui demografi pasien dislokasi sendi bahu pada tahun 2012 dan 2013 yang dirawat di Subbagian Bedah Ortopedi RSUP Dr. Mohammad Hoesin, Palembang.

2. Mengetahui kejadian dislokasi pada pasien dislokasi sendi bahu pada tahun 2012 dan 2013 yang dirawat di Sub Bagianbedah Ortopedi RSUP Dr. Mohammad Hoesin, Palembang.

3. Mengetahui penatalaksanaan dislokasi pada pasien dislokasi sendi bahu pada tahun 2012 dan 2013 yang dirawat di Subbagian Bedah Ortopedi RSUP Dr. Mohammad Hoesin, Palembang.

(19)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Ilmiah

a. Bagi Peneliti

Manfaat penelitian ini bagi peneliti yaitu mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian serta berkontribusi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

b. Bagi Institusi

1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data epidemiologi dislokasi sendi bahu di Subbagian Bedah Ortopedi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada tahun 2012 - 2013.

2. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan pembanding untuk penelitian selanjutnya.

3. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang berguna bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang kedokteran.

1.4.2 Manfaat bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang karakteristik klinis pasien dislokasi sendi bahu yang ada di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

(20)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sendi Bahu

2.1.1 Anatomi

Sendi bahu merupakan sendi yang kompleks pada tubuh manusia dibentuk oleh tulang-tulang yaitu : scapula (shoulder blade), clavicula (collar bone),

humerus (upper arm bone), dan sternum. Daerah persendian bahu mencakup

empat sendi, yaitu sendi sternoclavicular, sendi glenohumeral, sendi

acromioclavicular, dan sendi scapulothoracal. Empat sendi tersebut bekerjasama

secara sinkron. Pada sendi glenohumeral sangat luas lingkup geraknya karena

caput humeri tidak masuk ke dalam mangkok karena fossa glenoidalis dangkal

(Snell, 2006).

Sendi glenohumeral dibentuk oleh caput humerrus dengan cavitas

glenoidalisscapulae, yang diperluas dengan adanya cartilago pada tepi cavitas glenoidalis, sehingga rongga sendi menjadi lebih dalam. Kapsul sendi longgar

sehingga memungkinkan gerakan dengan jarak gerak yang lebih luas. Proteksi terhadap sendi tersebut diselenggarakan oleh acromion, procecus coracoideus, dan ligamen-ligamen. Tegangan otot diperlukan untuk mempertahankan agar

caput humerus selalu dipelihara pada cavitas glenoidalisnya (Snell, 2006). Hal ini

memungkinkan seseorang menggerakan lengannya secara leluasa. Namun struktur yang demikian akan menimbulkan ketidakstabilan sendi bahu dan sering menimbulkan gangguan pada bahu (Rasjad, 2007).

Ligamen-ligamen yang memperkuat sendi glenohumeral antara lain

ligamen glenoidalis, ligamen humeral tranversum, ligamen coraco humeral, dan ligamen coracoacromiale, serta kapsul sendi melekat pada cavitas glenoidalis dan collum anatomicum humeri (Snell, 2006).

(21)

Sendi glenohumeral memiliki banyak bursa. Bursa merupakan kantung yang berisi cairan, dilapisi oleh membran synovial yang terletak antara kapsul sendi dan permukaan otot bagian dalam komponen sendi tersebut. Bursa-bursa tersebut meliputi, Bursa musculus latisimus dorsi, bursa infraspinatus, bursa

musculus pectoralis mayor, bursa subdeltoideus, bursa subcutaneus acromialis,

dan bursa musculus subscapularis (Snell, 2006).

Gambar 2.1 Ligamentum pada sendi bahu (Sobotta, 2010)

Gerakan yang sedemikian kompleks ini, selain ditunjang oleh banyaknya sendi pada bahu, juga ditunjang oleh otot- otot yang berperan pada bahu. Otot- otot tersebut dikelompokkan menjadi, otot penggerak sendi bahu dan otot penggerak pergelangan bahu. Otot intrinsik bahu yaitu : musculus deltoideus,

musculus supraspinatus, musculus infraspinatus, musculus subscapularis, dan musculus teres minor. Otot-otot tersebut juga disebut sebagai Rotator Cuff (Snell,

(22)

7

Gambar 2.2 Otot-otot pada bahu (Sobotta, 2010).

2.1.2 Biomekanika

Gerakan-gerakan dari bahu dibagi dua, yang didasarkan pada kelompok otot penggeraknya. Gerakan tersebut antara lain gerakan skapula dan gerakan dari humerus. Gerakan Scapula meliputi gerakan elevasi, depresi, abduksi, adduksi,

(23)

Elevasi yaitu gerakan skapula ke atas sejajar dengan vertebra, dapat dilakukan dengan mengangkat bahu ke atas. Sedangkan depresi adalah kembalinya bahu dari posisi elevasi. Protraksi adalah gerakan kelateral skapula menjauhi vertebra. Gerakan ini dapat terjadi ketika bahu melakukan gerakan mendorong ke depan. Retraksi yaitu gerakan skapula ke medial, dapat dilakukan dengan menarik bahu ke belakang. Upward rotation yaitu gerakan rotasi dari scapula pada bidang frontal sehingga fossa glenoidalis bergerak ke atas. Sedangkan downward rotation yaitu gerakan kembali dari upward rotation. Upward tilt yaitu gerakan skapula pada aksis frontal horizontal yang menyebabkan permukaan posterior skapula bergerak ke atas. Gerakan ini terjadi karena rotasi dari klavikula, sehingga bagian superior skapula bergerak naik-turun dan bagian inferiornya bergerak maju-mundur. Hal ini hanya terjadi jika bahu hiperekstensi. Reduction of upward tilt yaitu gerakan kembali dari upward tilt.

Gerakan Humerus meliputi gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, fleksi horizontal, ekstensi horizontal, endorotasi, dan eksorotasi. Gerak fleksi adalah gerakan lengan atas dalam bidang sagital ke depan dari 0o ke 180o. Gerak yang berlawanan ke posisi awal (0o) disebut gerak depresi lengan. Gerak ekstensi adalah gerak dari lengan dalam bidang sagital ke belakang daro 0o ke kira-kira 60o. Gerak abduksi adalah gerak dari lengan menjauhi tubuh dalam bidang frontal dari 0° ke 180° Gerak adduksi adalah gerak kebalikan dari abduksi yaitu gerak lengan menuju garis tengah tubuh. Gerak fleksi horizontal adalah gerak dari lengan dalam bidang horizontal mulai 0° – 135°. Gerak ekstensi horisontal ialah gerak lengan kebelakang dalam bidang horisontal dari 0° – 45°. Rotasi dengan lengan disamping tubuh, siku dalam fleksi, bila lengan bawah digerakkan menjauhi garis tengah tubuh disebut eksorotasi, bila lengan bawah digerakkan menuju garis tengah tubuh disebut endorotasi (Nordin dan Frankel, 1989).

(24)

9

2.2 Dislokasi Sendi Bahu

2.2.1 Definisi

Dislokasi adalah suatu keadaan terjadinya pergeseran secara total dari permukaan sendi. Dislokasi ditandai dengan keluarnya bongkol sendi dari mangkok sendi atau keluarnya kepala sendi dari mangkoknya. Bila hanya sebagian yang bergeser disebut subluksasi dan bila seluruhnya disebut dislokasi. Dikatakan Recurrent apabila terjadi suatu dislokasi berulang sedangkan Habitual apabila dislokasi dapat diprofokasikan sendiri oleh penderitanya, keadaan ini bersifat kongenital atau akibat injeksi berkali-kali (biasanya antibiotika) ke dalam otot (Apley, 2010).

Dislokasi sendi bahu adalah lepasnya hubungan sendi pada bahu yang sering disebabkan oleh suatu cedera akut karena lengan dipaksa berabduksi di luar kemampuan dari kaput humeri yang dipertahankan pada sendi glenoidale yang dangkal oleh labrum glenoidale, ligamentum glenohumerale, ligamentum coracohumerale, kanopi arcus coracoacromiale, dan otot di sekeliling (Helmi, 2012). Kelemahan ligamen atau glenoid dysplasi dan stress pada sendi akibat aktivitas yang berlebihan bisa juga menyebabkan terjadinya dislokasi ini (Nagayam, 2010).

Dislokasi bisa terjadi juga karena kekuatan yang menyebabkan gerakan rotasi eksterna dan ekstensi bahu. Kaput humerus terdorong ke depan, sehingga menyebabkan avulsi simpul sendi dan kartilago beserta periosteum labrumglenoidale bagian anterior (Sjamsuhidajat, De Jong, 2010).

2.2.2 Epidemiologi

Sendi bahu menjadi kasus yang paling sering terjadi dengan angka 45 % dari seluruh kasus dislokasi, menyusul sendi panggul, dan siku.Dalam sebuah studi di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kasus dislokasi sendi bahu berupa 95% dislokasi anterior, 4% dislokasi posterior, 0,5% dislokasi inferior, serta kurang dari 0,5% dislokasi superior (Koval dan Zuckerman, 2006). Dislokasi

(25)

sendi bahu sering ditemukan pada orang dewasa, jarang ditemukan pada anak-anak (Apley, 2010). Pada kasus ini ditemukan 71,8% laki-laki yang mengalami dislokasi, 46,8% penderita berusia antara 15-29 tahun, 48,3% terjadi akibat trauma seperti pada kegiatan olahraga. Tingkat dislokasi yang lebih tinggi terlihat pada perempuan yang berusia >60 tahun. Penyebab tersering didapatkan 58,8% akibat jatuh. Kasus fraktur penyerta komponen sendi 16% terjadi pada kasus dislokasi sendi bahu (Zachilli dan Owens, 2010). Pada penelitian di Norwegia (Oslo) tahun 2009, didapatkan rasio insidensi 56,3 per 100.000 orang per tahun, dengan rasio 82,2 dan 30,9 per 100.000 orang per tahun pada laki-laki dan perempuan (Liavaag dkk., 2011).

2.2.3 Etiologi

Berdasarkan penyebabnya, dislokasi sendi bahu dibagi atas dislokasi kongenital, patologik, dan trauma. Dislokasi Congenital adalah dislokasi yang terjadi sejak lahir akibat kesalahan saat organogenesis maupun trauma saat kelahiran. Dislokasi patologik adalah akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang menyokong sendi berkurang. Dislokasi traumatik terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekelilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan sistem vascular (Clifford, R. W., 2012).

2.2.4 Patofisiologi

Mekanisme cedera dari dislokasi anterior biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan dan dipaksa berabduksi, berotasi luar, dan ekstensi. Humerus terdorong kedepan merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi. Kadang-kadang hal ini menyebabkan bagian posterolateral kaput hancur. Pada dislokasi posterior, gaya tidak langsung dapat menyebabkan rotasi interna dan adduksi yang nyata harus sangat kuat untuk dapat menyebabkan dislokasi. Keadaan ini terjadi biasanya diakibatkan oleh sentakan kuat dalam posisi yang

(26)

11

luar biasa, misalnya setelah serangan epilepsi atau kejutan listrik yang hebat (Helmi, 2012).

Pada dislokasi berulang, labrum dan kapsul sering terlepas dari lingkar anterior glenoid. Tetapi pada beberapa kasus labrum tetap utuh dan kapsul serta ligamentum glenohumerus keduanya terlepas atau terentang kearah anterior dan inferior. Selain itu mungkin ada lesi pada bagian posterolateral kaput humerus (lesi Hill-Sachs), yaitu suatu fraktur kompresi akibat kaput humerus menekan lingkar glenoid anterior setiap kali mengalami dislokasi (Koval dan Zuckerman, 2006).

2.2.5 Mekanisme

Mekanisme dislokasi dibagi menjadi akibat trauma langsung, trauma tidak langsung, kejadian kejang, dan dislokasi rekuren atau berulang. Pada trauma langsung, terdapat gaya yang langsung merusak komponen sendi sehingga dislokasi dapat terjadi seperti pada kasus kecelakaan. Trauma tidak langsung berkaitan dengan pergerakan sendi seperti abduksi, ekstensi, rotasi interna, serta rotasi eksterna. Pada kejadian kejang juga dapat menyebabkan terjadinya dislokasi, sering pada kasus dislokasi bahu posterior. Dislokasi berulang merupakan dislokasi yang terjadi setelah dislokasi primer terjadi sebelumnya dengan gaya yang kecil. Pada kasus ini ligamen komponen sendi sudah mengalami kelemahan (Koval dan Zuckerman, 2006).

Dislokasi anterior disebabkan oleh adanya trauma tidak langsung dengan mekanisme abduksi, ekstensi, dan rotasi eksternal. Kepala dari humerus bergeser kedepan, kapsul sendi mengalami tear, dan terbentuk avulsi dari labrum

glenoidale (Bankart Lesion). Dislokasi posterior, biasanya disebabkan rotasi

interna dan abduksi yang berat. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang mengalami kejang atau keadaan tersambar listrik. Dislokasi inferior (luxutio

erecta), merupakan kondisi dislokasi bahu yang serius meskipun jarang terjadi.

Dislokasi ini disebabkan hiperabduksi yang hebat menyebabkan kepala humerus bergeser ke sebrang inferior dari cavitas glenoidale (Helmi, 2012).

(27)

2.2.6 Klasifikasi

2.2.6.1 Dislokasi Anterior

Dislokasi anterior dapat mengenai komponen preglenoid, subcoracoid, dan subclaviculer. Pada kasus ini paling sering ditemukan jatuh dalam keadaan out

stretched atau jatuh yang menyebabkan rotasi eksternal bahu atau cedera akut

karena lengan dipaksa berabduksi, dan ekstensi. Trauma pada scapula dengan gambaran klinis nyeri hebat dengan gangguan pergerakan bahu, kontur sendi bahu rata, dan caput humerus bergeser ke depan pada pemeriksaan radiologis (Koval dan Zuckerman, 2006).

2.2.6.2 Dislokasi Posterior

Pada dislokasi posterior biasanya trauma langsung pada sendi bahu dalam keadaan rotasi interna, serta terjulur atau karena hantaman pada bagian depan bahu, dan dapat juga terkait dengan kontraksi otot saat kejang atau cedera akibat tersetrum listrik (Koval dan Zuckerman, 2006).

2.2.6.3 Dislokasi Inferior

Pada luxatio erecta atau dislokasi inferior, posisi lengan atas dalam posisi abduksi, kepala humerus terletak dibawah glenoid, terjepit pada kapsul yang robek. Karena robekan kapsul sendi lebih kecil dibanding kepala humerus, maka sangat susah kepala humerus ditarik keluar, hal ini disebut sebagai “efek lubang kancing” ( Button hole effect ). Pengobatan dilakukan reposisi tertutup seperti dislokasi anterior, jika gagal dilakukan reposisi terbuka dengan operasi (Koval dan Zuckerman, 2006).

(28)

13

2.2.7 Diagnosis

Diagnosis kasus dislokasi bahu ditegakkan melalui anamnesis (autoanamnesis atau alloanamnesis), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat memberikan informasi riwayat trauma dan mekanisme terjadinya trauma tersebut, sehingga dapat lebih membantu menegakkan diagnosis dan mengetahui penyulit-penyulit yang mungkin telah ada dan yang dapat muncul kemudian. Selain itu juga diperlukan informasi mengenai riwayat penyakit pasien dan riwayat trauma sebelumnya, untuk mempertimbangkan penanganan yang akan diambil. (Rasjad, 2007)

Pada pemeriksaan fisik regional dislokasi didapatkan terlihat adanya penonjolan acromion, bahu menjadi rata, penonjolan kepala humerus, lengan abduksi, dan rotasi eksterna. Pasien mencegah pergerakan rotasi interna, fleksi siku, dan lengan bawah dibantu lengan normal. Kepala humerus teraba, periksa adanya gangguan fungsi sensori dan motorik dari muskulotaneus dan saraf radial. Pasien juga tidak mampu menggerakan bahu secara adduksi dan rotasi interna (Helmi, 2012).

Diagnosis klinik untuk kasus dislokasi sendi bahu ini dapat menggunakan tanda cemas (apprehension sign). Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengangkat lengan kedalam abduksi, rotasi luar dan kemudian ekstensi secara hati-hati dalam posisi duduk atau berbaring. Pada saat kritis pasien akan merasa bahwa kaput humerus seperti akan telepas kebagian anterior dan tubuhnya menegang karena cemas. Uji ini harus diulangi dengan menekan bagian depan bahu, dimana dengan manuver ini pasien akan merasa lebih aman dan tanda cemasnya negatif (Rasjad, 2007)

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah rontgen foto bahu anteroposterior (AP) dan lateral. Rontgen bagian AP akan memperlihatkan bayangan yang tumpang tindih antara kaput humerus dan fossa glenoid, kaput biasanya terletak di bawah dan medial terhadap mangkuk sendi. Foto lateral yang diarahkan pada daun skapula akan memperlihatkan kaput humerus keluar mangkuk sendi (Apley, 2010).

(29)

2.2.8 Pengkajian Diagnostik

Pada pemeriksaan rontgen bagian anteroposterior akan memperlihatkan bayangan yang tumpang-tindih antara kaput humeri dan fossa glenoid. Kaput biasanya terletak di bawah dan medial terhadap mangkuk sendi. Foto lateral yang diarahkan pada daun skapula akan memperlihatkan kaput humeri keluar dari mangkuk sendi.

Dislokasi anterior memiliki gambaran X-ray posisi AP dan axial atau “Y” Scapular view akan membantu membedakan dislokasi anterior dengan posterior. X ray sangat penting menurut standar medikolegal untuk menyingkirkan fraktur lain yang terjadi sebelum dilakukannya manipulasi dan reduksi. Ada peningkatan bukti yang menunjukkan bahwa dislokasi bahu yang rekuren dan atraumatis tidak membutuhkan pre-manipulasi dan reduksi X ray. Namun, keadaan ini tidak diterima secara luas dalam kalangan ahli ortopedi.

Dislokasi posterior memiliki gambaran X-ray posisi AP dan “Y” scapular view. Sangat mudah terjadi miss diagnosa dislokasi bahu posterior pada bahu AP. Suspek dislokasi posterior jika terdapat „light bulb sign‟ karena rotasi internal bahu dan terdapat overlap antara head humerus dan glenoid labrum pada foto bahu AP (Helmi, 2012).

2.2.9 Manifestasi Klinik

Keluhan utama adalah nyeri pada bahu dan tidak bisa menggerakan bahu. Penting untuk mengkaji mekanisme cedera untuk menentukan tipe cedera dislokasi bahu. Pada dislokasi anterior penderita biasanya menyangga lengan yang cedera pada bagian siku dengan menggunakan tangan sebelahnya, lengan dalam posisi abduksi ringan, kontur terlihat „squared off”, serta nyeri yang sangat hebat. Pada dislokasi posterior, penderita merasakan nyeri, dan terdapat penurunan pergerakan dari bahu dan lengan terletak berotasi internal dan adduksi. Pada dislokasi inferior, abduksi lengan atas dengan posisi „hand over head‟ serta hilangnya kontur bulat dari bahu (Helmi, 2012). Apabila keluhan utama atau kejadian dislokasi terjadi pada 2 minggu pertama disebut dislokasi akut,

(30)

15

sedangkan jika telah lebih dari 2 minggu disebut dislokasi kronik. Dislokasi kronik sangat berhubungan dengan terjadinya dislokasi berulang apabila tidak mendapat penanganan yang adekuat dan segera (Verhaegen, 2012).

2.2.10 Komplikasi

Komplikasi dini dapat berupa cedera saraf, cedera pembuluh darah, serta terjadinya fraktur-dislokasi. Bila tidak mendapat penanganan atau penanganan tidak memadai dapat terjadi komplikasi lanjut, yaitu kekakuan bahu, atrofi atau kelemahan otot, serta dislokasi berulang. Biasanya dislokasi berulang terjadi karena ligamen-ligamen pada sendi tersebut menjadi kendor. Apabila terjadi fraktur-dislokasi, direkomendasikan untuk melakukan open reduksi dan fiksasi internal. Bila keadaan belum membaik, tindakan operasi sangat dianjurkan untuk menghindari keadaan yang lebih buruk (Helmi, 2012).

2.2.11 Penatalaksanaan

Reduksi dislokasi harus dilakukan segera mungkin. Beberapa intervensi dalam melakukan reduksi bahu, meliputi hal-hal sebagai berikut.

1. Teknik Cooper-Milch

a. Dibawah conscious sedation, tempatkan penderita pada posisi supine dengan siku fleksi 90o.

b. Luruskan siku dan dengan sangat perlahan pindahkan lengan pada posisi abduksi penuh yang ditahan pada traksi lurus dimana seorang asisten mengaplikasikan tekanan yang lembut pada sisi medial dan inferior dari humeral head.

c. Adduksi lengan secara bertahap.

(31)

Gambar 2.3 Teknik reduksi Cooper-Milch (Bishop, 2004).

2. Teknik Stimson‟s

a. Berikan analgesik IV dimana penderita berbaring pada posisi pronasi dengan lengan tergantung di sebelah trolley dengan beban seberat 2,5-5kg terikat pada lengan tersebut.

b. Perlahan setelah 5-30 menit, lakukan relokasi bahu. c. Pasang collar dan cuff, periksa x ray post reduksi.

(32)

17

3. Teknik Hipocrates

Metode ini dilakukan jika metode stimson tidak memberikan hasil dalam waktu 15 menit.

a. Reposisi dilakukan dengan menggunakan general anestesi.

b. Lengan pasien ditarik kearah distal punggung dengan sedikit abduksi, sementara kaki penolong berada diketiak pasien untuk mengungkit kaput humerus kearah lateral dan posterior.

c. Setelah reposisi, bahu dipertahankan dalam posisi endorotasi dengan penyangga ke dada selama paling sedikit 3 minggu

d. Pasang collar dan cuff, periksa x-ray post reduksi

Gambar 2.5 Teknik reduksi Hipocrates (Bishop, 2004).

4. Teknik Kocher

Penderita ditidurkan diatas meja. Penolong melakukan gerakan yang dapat dibagi menjadi 4 tahap :

a. tahap 1 : dalam posisi siku fleksi penolong menarik lengan atas kearah distal.

b. tahap 2 : dilakukan gerakan ekserotasi dari sendi bahu

c. tahap 3 : Melakukan gerakan adduksi dan fleksi pada sendi bahu d. tahap 4 : Melakukan gerakan endorotasi sendi bahu

(33)

Setelah terreposisi sendi bahu difiksasi dengan dada, dengan verban dan lengan bawah digantung dengan sling (mitella ) selama 3 minggu.

Gambar 2.6 Teknik reduksi Kocher (Bishop, 2004).

5. Teknik Countertraction

Bermanfaat sebagai sebuah manuver back-up ketika cara-cara diatas gagal. a. Dibawah conscious sedation, tempatkan pasien berbaring supine dan

tempatkan rolled sheet dibawah aksila dari bahu yang terkena.

b. Abduksi lengan sampai 45o dan aplikasikan sustained in line traction sementara. Asisten memasang traksi pada arah yang berlawanan menggunakan rolled sheet.

c. Setelah relokasi, pasang collar dan cuff, periksa X ray post reduksi. d. Penempatan : klinik ortopedik setelah 3 hari.

(34)

19

Gambar 2.7 Teknik manipulasi Countertraction (Bishop, 2004).

6. Teknik Spaso

Walaupun teknik ini tidak dikenal secara luas tetapi dianggap bahwa metode ini merupakan metode yang paling mudah dilakukan dengan angka keberhasilan yang tinggi.

a. Dibawah conscious sedation, letakkan lengan yang sakit di dinding dada. b. Fleksikan lengan pada bahu, dan lakukan rotasi eksternal secar simultan.

Pada kebanyakan kasus, sebelum bahu mencapai fleksi kedepan 90o, akan terdengar bunyi „clunk‟, dan head humerus telah kemabali pada posisinya. c. Adduksi lengan

d. Pasang collar & cuff dan periksa X ray post reduksi (Bishop, 2004).

(35)

Pasca-reduksi sinar-x dilakukan untuk memastikan reduksi tidak menyebabkan fraktur. Bila pasien sepenuhnya sadar, abduksi aktif dengan pelan-pelan diuji untuk menyingkirkan suatu cedera saraf aksila. Lengan diistirahatkan dalam kain gendongan selama satu atau dua minggu dan digerakan aktif kemudian dimulai, tetapi kombinasi abduksi dan rotas lateralharus dihindari sekurang-kurangnya selama 3 minggu. Selama periode ini, gerakan siku dan jari dipraktikan setiap hari (Helmi, 2012).

Apabila tehnik Manipulasi dan reduksi tidak berhasil atau tidak memungkinkan, maka dapat dipikirkan dilakukan operasi. Adapun indikasi untuk dilakukan operasi adalah dislokasi yang berkali – kali, terutama bila terdapat nyeri serta subluksasi berulang atau rasa takut terhadap dislokasi cukup ikut mencegah keikutsertaan dalam aktifitas sehari – hari atau olahraga.

Operasi terdiri atas tiga jenis yaitu operasi untuk memperbaiki labrum glenoid dan kapsul yang robek (prosedur Bankart), operasi untuk memendekkan kapsul anterior dan subskapularis dengan perbaikan tumpang – tindih (operasi

Plutti – Platt), dan operasi untuk memperkuat kapsul anteroinferior dengan

mengarahkan tulang otot lain ke bagian depan sendi (Salter, 1999).

2.2.12 Prognosis

Tingkat kesembuhan pada kasus ini baik jika tidak timbul komplikasi (Rasjad, 2007)

(36)

21 2.3 Kerangka Teori Kondisi Patologis Trauma Kongenital Dislokasi Bahu Usia Jenis Kelamin Kmponen sendi terganggu n. axillaris tertekan caput humerus Mengeluarka n zat nosiseptik Inflamasi Nyeri Nosiseptik Rotator cuff mengalami spasme Kapsul articularis meregang Dislokasi berulang Ligamen meregang Fraktur-dislokasi Teknik Operatif Teknik Reduksi Penatalaksanaan

(37)

22

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi

Penelitian dilakukan di Sub Divisi Bedah Ortopedi, RSUP Dr. Mohammad Hoesin, Palembang.

3.2.2 Waktu

Penelitian dilakukan dari tanggal 12 Juni 2014 hingga 31 Desember 2014 yang terdiri dari penyusunan proposal, pengumpulan data, pengolahan data, dan pembuatan laporan penelitian.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian a. Populasi Target

Populasi target dari penelitian ini adalah semua penderita dislokasi sendi bahu di Palembang, Sumatera Selatan.

b. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah semua pasien rawat inap dislokasi sendi bahu di sub bagian bedah ortopedi RS Dr. Mohammad Hoesin, Palembang pada bulan Januari 2012 – Desember 2013.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah semua pasien rawat inap dislokasi sendi bahu di Instalasi Rekam Medik Rawat Inap bagian Bedah

(38)

23

dan Ruang Diagnostik dan Tindakan Sub Bagian Bedah Ortopedi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode Januari 2012 sampai Desember 2013 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria Inklusi :

1. Pasien dislokasi sendi bahu.

Kriteria Eksklusi :

1. Pasien dislokasi selain sendi bahu.

2. Pasien dengan data rekam medik tidak lengkap. 3. Pasien dengan dislokasi multiple

3.4 Variabel Penelitian a) Usia b) Jenis Kelamin c) Jenis Dislokasi d) Arah Dislokasi e) Penyebab Dislokasi f) Mekanisme dislokasi g) Fraktur komponen sendi h) Penatalaksanaan

3.5 Batasan Operasional

3.5.1 Usia

Definisi : Lamanya hidup pasien dislokasi sendi bahu yang dihitung berdasarkan tahun sejak pasien lahir.

Alat Ukur : Rekam medik

Cara Ukur : Observasi

Skala Pengukuran : Interval

Hasil Ukur : Dikelompokan dalam tabel distribusi frekuensi berdasarkan jumlah sampel yang didapat.

(39)

3.5.2 Jenis Kelamin

Definisi : Suatu kelompok dalam suatu subjek yang dibagi menjadi laki-laki dan perempuan.

Alat Ukur : Rekam medik

Cara Ukur : Observasi

Skala Pengukuran : Nominal

Hasil Ukur : Dikategorikan atas:

a. Laki-laki b. Perempuan

3.5.3 Jenis Dislokasi

Definisi : Klasifikasi dislokasi berdasarkan waktu terjadinya dislokasi

Alat Ukur : Rekam medik

Cara Ukur : Observasi

Skala Pengukuran : Ordinal

Hasil Ukur : Dikategorikan atas:

a. Akut b. Kronik

3.5.4 Arah Dislokasi

Definisi : Klasifikasi dislokasi berdasarkan arah terjadinya dislokasi.

Alat Ukur : Rekam medik

Cara Ukur : Observasi

Skala Pengukuran : Nominal

Hasil Ukur : Dikategorikan atas:

(40)

25

b. Posterior c. Inferior

3.5.5 Penyebab Dislokasi

Definisi : Klasifikasi dislokasi berdasarkan etiologi atau penyebab terjadinya dislokasi.

Alat Ukur : Rekam medik

Cara Ukur : Observasi

Skala Pengukuran : Nominal

Hasil Ukur : Dikategorikan atas:

a. Trauma b. Patologik

3.5.6 Mekanisme dislokasi

Definisi : Mekanisme terjadinya dislokasi sendi.

Alat Ukur : Rekam medik

Cara Ukur : Observasi

Skala Pengukuran : Nominal

Hasil Ukur : Dikategorikan atas:

a. Trauma langsung b. Trauma tidak langsung c. Lainnya

3.5.7 Fraktur Komponen Sendi

Definisi : Terjadinya fraktur penyerta pada komponen sendi yang mengalami dislokasi.

Alat Ukur : Rekam medik

Cara Ukur : Observasi

Skala Pengukuran : Ordinal

(41)

a. Disertai fraktur b. Tidak disertai fraktur

3.5.8 Penatalaksanaan

Definisi : Suatu tindakan intervensi baik berupa supportif maupun definitif untuk mengobati suatu penyakit.

Alat Ukur : Rekam medik

Cara Ukur : Observasi

Skala Pengukuran : Nominal

Hasil Ukur : Dikategorikan atas:

a. Operatif

b. Non-operatif (Manipulasi dan reduksi)

3.6 Cara Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh dari rekam medis yang meliputi kejadian

dislokasi sendi bahu yang menjalani rawat inap di RSUP Dr. Mohammad Hoesin, Palembang, pada bulan Januari 2012 – Desember 2013.

3.7 Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan diolah dan dianalisis secara deskriptif berdasarkan jumlah kasus yang didapatkan dari rekam medik sesuai dengan variabel yang diteliti. Hasil penelitian kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi yang selanjutnya dijelaskan dalam bentuk narasi.

(42)

27

3.8 Alur Penelitian

Semua rekam medis pasien rawat inap dislokasi sendi bahu di Subbagian Bedah Ortopedi RSMH, Palembang.

Kriteria inklusi dan ekslusi

Pengumpulan Data

Pengolahan dan Analisis Data

Hasil Penelitian

(43)

3.9 Aspek Etik

Penelitian ini disusun berdasarkan tinjauan penelitian sebelumnya dan tinjauan pustaka yang menyangkut topik penelitian sehingga penelitian ini akan membuahkan hasil yang sesuai dengan tujuan dan akan memberikan manfaat. Etika penelitian merupakan prinsip-prinsip etik dalam pengolahan penelitian mulai dari penerapan topik hingga penyajian hasil penelitian. Prinsip-prinsip yang mendasari adalah beneficience, respect for human dignity, dan justice. Informed Consent tidak diperlukan karena penelitian menggunakan data sekunder yaitu rekam medik.

(44)

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Hasil Penelitian

Telah dilakukan penelitian deskriptif untuk mengetahui karakteristik pasien dislokasi sendi bahu dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medik pasien rawat inap yang menderita dislokasi sendi bahu di Sub Bagian Bedah Ortopedi RS Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2013. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 18 – 25 November 2014.

Populasi penelitian ini adalah semua pasien rawat inap yang menderita dislokasi sendi bahu di Subbagian Bedah Ortopedi RS Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2013 yaitu sebesar 64 kasus. Subjek penelitian diambil dari seluruh populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yaitu pasien yang memiliki data rekam medik lengkap serta telah didiagnosis dislokasi sendi bahu sebanyak 55 dari 64 kasus. Hasil penelitian yang didapat disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan narasi.

4. 1. 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Usia

Untuk memudahkan peneliti dalam menghitung distribusi frekuensi dislokasi sendi bahu menggunakan aturan sturges yaitu dibagi menjadi tujuh kelas kategori usia dengan interval sebelas. Hasil distribusi berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

(45)

Tabel 4. 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Usia Usia n (55) % 3-13 tahun 6 10,9 14-24 tahun 16 29,1 25-35 tahun 10 18,2 36-46 tahun 9 16,4 47-57 tahun 10 18,2 58-68 tahun 69-79 tahun 1 3 1,8 5,5 Total 55 100

Dari tabel di atas, pada periode tahun 2012 dan 2013, pada kelompok usia 3-13 tahun didapatkan sebanyak 6 kasus (10,9%). Kasus dislokasi sendi bahu paling sering terjadi pada usia 14-24 tahun yaitu sebanyak 1 kasus (29,1%). Selanjutnya pada usia 25-35 tahun sebanyak 10 kasus (18,2%). Pada usia 36-46 tahun dan 47-57 tahun berturut-turut yairu sebanyak 9 kasus (16,4%) dan 10 kasus (18,2%). Kasus paling sedikit ditemui pada usia 58-68 tahun yaitu hanya 1 kasus (1,8%) dan yang terakhir pada usia 69-79 tahun sebanyak 3 kasus (5,5%). Nilai rata-rata umur yang mengalami dislokasi sendi bahu yaitu sebesar 32,69 tahun dengan umur paling muda 3 tahun dan umur paling tua 78 tahun.

4. 1. 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Hasil distribusi dislokasi sendi berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

(46)

31

Tabel 4. 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin n (55) % Laki-laki 39 70,9 Perempuan 16 29,1 Total 55 100

Tabel 4. 2 menunjukkan bahwa dari 55 kasus, dislokasi sendi bahu paling banyak terjadi pada laki-laki yaitu sebanyak 39 kasus (70,9%), sementara perempuan hanya terjadi sebanyak 16 kasus (29,1%).

4. 1. 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Dislokasi

Jenis dislokasi sendi bahu dibedakan menjadi akut dan kronik. Dislokasi akut adalah dislokasi dengan waktu kejadian kurang dari 2 minggu sedangkan dislokasi kronik lebih dari 2 minggu. Hasil distribusi dislokasi sendi bahu berdasarkan jenis dislokasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Dislokasi

Jenis Dislokasi n (55) % Akut 42 76,4 Kronik 13 23,6 Total 55 100

(47)

Tabel 4. 3 menunjukkan bahwa kejadian dislokasi sendi bahu sering terjadi secara akut yaitu sebanyak 42 kasus (76,4%), sementara kronik sebanyak 13 kasus (23,6%)

4. 1. 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Arah Dislokasi

Hasil distribusi kasus dislokasi sendi bahu di bedakan menjadi arah anterior, posterior dan inferior. Hasil distribusi berdasarkan arah dislokasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Arah Dislokasi

Dapat dilihat pada tabel 4. 4 bahwa terjadinya dislokasi sendi bahu didapatkan paling banyak terjadi pada arah anterior yaitu sebanyak 50 kasus (90,9%), diikuti arah posterior terjadi sebanyak 4 kasus (7,3%) dan hanya terjadi 1 kasus (1,8%) pada arah inferior.

4. 1. 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Penyebab Dislokasi

Hasil distribusi kasus dislokasi sendi bahu berdasarkan penyebab terjadinya dislokasi, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Penyebab Dislokasi

Arah Dislokasi n (55) % Anterior Posterior Inferior 50 4 1 9 90,9 7 7,3 1 1,8 Total 55 1 100

(48)

33 Penyebab Dislokasi n (55) % Trauma 50 90,9 Patologik 5 9,1 Total 55 100

Dapat dilihat pada tabel 4. 5 bahwa penyebab terjadinya dislokasi sendi bahu paling banyak disebabkan oleh trauma sebanyak 50 kasus (90,9%), sedangkan yang disebabkan oleh kondisi patologik yaitu hanya sebanyak 5 kasus (9,1%) dengan 4 kasus (7,3%) akibat penyakit degeneratif osteoarthritis dan 1 kasus (1,8%) akibat rheumatoid arthritis.

4. 1. 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Mekanisme Dislokasi

Mekanisme terjadinya dislokasi sendi bahu dibedakan menjadi trauma langsung, trauma tidak langsung dan lainnya yaitu akibat kejang, sengatan listrik, maupun kondisi patologis dari suatu penyakit. Hasil ditribusi dislokasi sendi bahu berdasarkan mekanisme dislokasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Mekanisme Dislokasi

Mekanisme Dislokasi N (55)

%

Trauma langsung Trauma tidak langsung Lainnya 33 17 5 60,0 30,9 9,1 Total 55 100

(49)

Dapat dilihat pada tabel 4. 6 bahwa terjadinya dislokasi sendi bahu didapatkan paling banyak terjadi akibat trauma langsung sebanyak 33 kasus (60%), diikuti dengan trauma tidal langsung sebanyak 17 kasus (30,9%) dan lainnya hanya terjadi 5 kasus (9,1%).

4. 1. 7. Distribusi Sampel Berdasarkan Fraktur Komponen Sendi

Hasil distribusi kasus dislokasi sendi bahu berdasarkan fraktur komponen sendi dibedakan menjadi positif yaitu disertai fraktur dan negatif yaitu tidak disertai fraktur.

Tabel 4. 7. Distribusi Sampel Berdasarkan Fraktur Komponen Sendi Fraktur Komponen n (55) % Fraktur positif (+) 19 34,5 Fraktur negatif (-) 36 65,5 Total 55 100

Dapat dilihat pada tabel 4. 7 bahwa didapatkan sebanyak 19 kasus (34,5%) penderita dislokasi sendi bahu positif mengalami fraktur penyerta komponen sendi bahu dan sisanya sebanyak 36 kasus (65,5%) tidak mengalami fraktur komponen sendi.

4. 1. 8. Distribusi Sampel Bahu Berdasarkan Penatalaksanaan

Hasil distribusi kasus dislokasi sendi bahu berdasarkan penatalaksanaannya dibedakan menjadi operatif dan non-operatif.

(50)

35

Tabel 4. 8. Distribusi Sampel Berdasarkan Penatalaksaan

Penatalaksanaan n (55) % Operatif 24 43,6 Non-operatif 31 56,4 Total 55 100

Dapat dilihat pada tabel 4. 8 bahwa didapatkan sebanyak 24 kasus (43,6%) penderita dislokasi sendi bahu memerlukan tindakan operatif dan sisanya sebanyak 31 kasus (56,4%) tidak memerlukan tindakan operatif.

(51)

4. 2. Pembahasan

4. 2. 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Usia

Distribusi frekuensi dislokasi sendi bahu berdasarkan usia dari 55 kasus dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Grafik 4. 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Usia

Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada kelompok usia 3-13 tahun didapatkan sebanyak 6 kasus (10,9%). Kasus dislokasi sendi bahu paling sering terjadi pada usia 14-24 tahun yaitu sebanyak 1 kasus (29,1%). Selanjutnya pada usia 25-35 tahun sebanyak 10 kasus (18,2%). Pada usia 36-46 tahun dan 47-57 tahun berturut-turut yairu sebanyak 9 kasus (16,4%) dan 10 kasus (18,2%). Kasus paling sedikit ditemui pada usia 58-68 tahun yaitu hanya 1 kasus (1,8%) dan yang terakhir pada usia 69-79 tahun sebanyak 3 kasus (5,5%). Nilai rata-rata umur yang mengalami dislokasi sendi bahu yaitu sebesar 32,69 tahun dengan umur termuda 3 tahun dan umur tertua 78 tahun.

0,00% 5,00% 10,00% 15,00% 20,00% 25,00% 30,00% 3-13 tahun 14-24 tahun 25-35 tahun 36-46 tahun 47-57 tahun 58-68 tahun 69-79 tahun

kategori usia

(52)

37

Hasil penelitian ini mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, yaitu didapatkan kelompok usia yang paling sering mengalami dislokasi sendi bahu adalah usia 15-29 tahun sebanyak 46,8% (Zachili dan Owens, 2010). Hasil penelitian di Oslo, Norwegia pada tahun 2009 juga menyatakan hasil yang serupa dengan ditemukan 108 dari 360 kasus (30%) dislokasi sendi bahu paling sering pada kelompok usia 20-30 tahun (Liavaag dkk, 2011).

Usia 15-30 tahun merupakan salah satu faktor resiko terbesar dislokasi sendi bahu. Pada usia ini merupakan usia yang aktif secara fisik khususnya pada laki-laki. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya stress yang berulang pada sendi bahu, misalnya akibat kegiatan olahraga maupun pekerjaan yang membuat sendi bahu menjadi lebih mudah untuk terjadi dislokasi (Liavaag dkk, 2011).

4. 2. 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Diketahui bahwa laki-laki lebih cenderung mengalami dislokasi sendi bahu dengan 39 dari 55 kasus (70,9%) dan pada perempuan hanya 16 kasus (29,1%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, yaitu didapatkan sebanyak 71,8% dislokasi sendi bahu dialami oleh laki-laki dan hanya 29,2% pada perempuan (Zachili dan Owens, 2010). Pada penelitian lain juga menyebutkan bahwa laki-laki mengalami dislokasi sendi bahu 2,5 kali lebih sering dibandingkan perempuan (Kroner dkk, 1989). Penelitian di Oslo, Norwegia tahun 2009 juga menunjukan hasil yang sesuai yaitu sebanyak 71,7% laki-laki dan 28,3% perempuan (Liavaag dkk, 2011). Hal ini disebabkan, pada umumnya laki-laki lebih sering melakukan aktifitas secara aktif dibandingkan perempuan, sehingga dapat menimbulkan stress yang menjadi salah satu faktor resiko dislokasi sendi bahu (Zachili dan Owens, 2010).

(53)

4. 2. 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Dislokasi

Dari grafik di atas, dapat diketahui bahwa didapatkan sebanyak 42 dari 55 kasus (76,4%) terjadi secara akut dan sebanyak 13 dari 55 kasus (23,6%) terjadi secara kronik atau terjadi dislokasi berulang. Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, didapatkan sebanyak 92 dari 112 kasus (82,1%) terjadi secara akut dan sisanya 20 dari 112 kasus (17,9%) terjadi secara kronik atau terjadi dislokasi berulang (Robinson dkk, 2011). Terjadinya dislokasi berulang atau yang biasa disebut

reccurent dislocation disebabkan apabila terjadi lepasnya labrum glenoid

atau terjadi perpisahan antara kapsul dan kepala glenoid, sehingga lebih mudah untuk terjadinya dislokasi berulang (Robinson dkk, 2011).

Penelitian yang dilakukan di Baltimore, Amerika Serikat pada tahun 2012 oleh Murthi dan Ramirez menyebutkan 90% kelompok usia yang mengalami dislokasi berulang atau reccurent dislocation berusia 20-30 tahun sedangkan <10% terjadi pada usia >40 tahun. Perbedaan mekanisme dislokasi menjadi salah satu faktor yang paling bertanggung jawab atas tingginya insidensi dislokasi berulang pada pasien yang berusia muda dan kebanyakan pada pasien usia >40% mengalami rotator cuff tear (Murthi dan Ramirez, 2012).

(54)

39

4. 2. 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Arah Dislokasi

Distribusi frekuensi dislokasi sendi bahu berdasarkan arah dislokasi bisa dilihat pada grafik di bawah ini:

Grafik 4. 2. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Arah Dislokasi

Dapat dilihat pada tabel 4. 6 bahwa dislokasi sendi bahu paling banyak terjadi ke arah anterior sebanyak 50 dari 55 kasus (90,9%), diikuti dengan arah posterior sebanyak 4 dari 55 kasus (7,3%) dan arah inferior sebanyak 1 dari 55 kasus (1,8%). Hasil Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Koval dan Zuckerman (2006) di Amerika yang menunjukan hasil yang serupa yaitu paling banyak terjadi dislokasi anterior 95%, dislokasi posterior 4%, serta kurang lebih sebanyak 0,5% terjadi ke arah inferior (Koval dan Zuckerman, 2006). Pada penelitian yang dilakukan Brady dkk tahun 1995 juga menunjukan hasil yang serupa yaitu, 95% dislokasi anterior, 4% kasus dislokasi posterior, dan hanya ±0,5% dislokasi inferior (Brady dkk, 1995).

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% 80,00% 90,00% 100,00%

Anterior Posterior Inferior

(55)

Ligamentum anteromedial dan anteroinferior glenohumeral merupakan ligamen yang cenderung mengalami avulsi dari labrum glenoidale, hal ini yang membuat kecenderungan untuk terjadi dislokasi anterior (Koval dan Zuckerman, 2006). Sedangkan pada dislokasi posterior, biasanya terjadi pada kontraksi otot yang sangat kuat seperti pada keadaan kejang dan tersengat listrik sehingga cukup jarang ditemukan dislokasi posterior (Beltran dkk, 1997)

4. 2. 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Penyebab Dislokasi

Diketahui dislokasi sendi bahu terbanyak terjadi akibat trauma sebanyak 50 dari 55 kasus (90,9%) dan akibat patologis sebanyak 5 dari 55 kasus (9,1%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Altoona, Amerika Serikat yaitu sebanyak kurang lebih 90% dislokasi sendi bahu diakibatkan oleh trauma, baik trauma tidak langsung maupun trauma langsung (Saylor, 2012). Hasil penelitian lain juga menyebutkan hampir 95% kasus dislokasi sendi bahu diakibatkan oleh trauma dan 46,4% akibat dari kegiatan olahraga (Zachili dan Owens, 2010). Pada penelitian ini, didapatkan 9,1% akibat kondisi patologis yaitu 4 kasus akibat osteoarthritis dan 1 kasus akibat rheumatoid arthritis. Pada penderita osteoarthritis, keutuhan dari struktur sendi terganggu terutama kartilago dari sendi akibat dari proses degeneratif sedangkan pada penyakit rheumatoid arthritis, reaksi imun yang berlebih merupakan salah satu faktor selain faktor infeksi dan genetik (Helmi, 2012).

(56)

41

4. 2. 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Mekanisme Dislokasi

Distribusi frekuensi dislokasi sendi bahu berdasarkan mekanisme dislokasi bisa dilihat pada grafik di bawah ini:

Grafik 4. 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Mekanisme Dislokasi

Berdasarkan grafik diatas didapatkan sebanyak 33 dari 55 kasus (60,0%) terjadi akibat trauma langsung, diikuti sebanyak 17 dari 55 kasus (30,9%) akibat trauma tidak langsung, serta Lainnya sebanyak 5 dari 55 kasus (9,1%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di Taiwan dari tahun 2000-2005 yang menyatakan 57,4% dislokasi sendi bahu terjadi akibat trauma langsung serta 27,5% terjadi akibat trauma tidak langsung (Nan-Ping Y, 2011). Trauma langsung merupakan mekanisme dislokasi yang terjadi akibat adanya suatu trauma atau benturan langsung terhadap sendi bahu, sehingga dapat langsung merusak komponen-komponen yang ada dalam sendi bahu tersebut. Biasanya trauma langsung terjadi akibat kecelakaan lalu lintas yang

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00%

Trauma Langsung Trauma tidak langsung

Lainnya

(57)

merupakan salah satu akibat banyaknya kasus dislokasi sendi bahu yang terjadi (Nan-Ping Y, 2011).

4. 2. 7. Distribusi Sampel Berdasarkan Fraktur Komponen Sendi

Didapatkan sebanyak 19 dari 55 kasus (34,5%) positif terjadi fraktur dari komponen sendi bahu tersebut dan sisanya sebanyak 36 dari 55 kasus (65,5%) tidak disertai fraktur komponen sendi. Hasil penelitian ini mirip dengan penelitian yang dilakukan Zachili dan Owens (2010) yang menyatakan terjadi fraktur komponen sendi pada 16% dari kasus dislokasi sendi bahu. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat yang menyatakan 30% dari seluruh kasus dislokasi sendi bahu mengalami fraktur dari komponen sendi tersebut (Robinson dkk, 2007). Pada penelitian ini, didapatkan kasus fraktur komponen sendi yang relatif lebih tinggi dibanding penelitian lain. Peneliti berasumsi bahwa, kecelakaan lalu lintas yang merupakan penyebab paling banyak membuat kejadian fraktur komponen sendi menjadi relatif lebih tinggi. Pada kecelakaan lalu lintas yang membuat trauma langsung pada sendi memudahkan untuk terjadinya fraktur dari tulang humerus.

4. 2. 8. Distribusi Dislokasi Sendi Bahu Berdasarkan Penatalaksanaan

Didapatkan sebanyak 24 dari 55 kasus (43,6%) dislokasi sendi bahu dilakukan tindakan operatif sedangkan sebanyak 31 dari 55 kasus (56,4%) dilakukan tindakan non-operatif atau teknik reduksi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Charles dkk (1998) yang menyatakan pada kasus dislokasi sendi bahu dilakukan tindakan reduksi atau non-operatif sebanyak 55% dan tindakan operatif sebanyak 45%. Pada penelitian di Oslo, Norwegia tahun 2009 juga

(58)

43

menyatakan hasil yang serupa yaitu sebanyak 66% kasus dilakukan tindakan reduksi atau tindakan non-operatif (Liavaag dkk, 2011).

Tindakan operatif merupakan pilihan terbaik pada pasien dengan umur yang relatif muda. Pada tindakan operatif, resiko untuk terjadinya dislokasi berulang menjadi berkurang, oleh karena itu informed consent menjadi sangat penting untuk menentukan penatalaksanaan yang sesuai dengan umur serta harapan pasien (Handoll dkk, 2004).

(59)
(60)

44

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Berdasarkan demografi pasien, rentang usia yang paling banyak menderita dislokasi sendi bahu adalah usia 14-24 tahun dengan frekuensi kejadian terdapat 16 dari 55 kasus (29,1%). Laki-laki lebih sering mengalami dislokasi sendi bahu yaitu ditemukan sebanyak 39 dari 55 kasus (70,9%).

b. Berdasarkan kejadian dislokasi, dislokasi sendi bahu lebih sering terjadi secara akut yaitu sebanyak 42 dari 55 kasus (76,4%). Dislokasi arah anterior menjadi yang paling banyak dibandigkan dengan arah posterior dan inferior yaitu dengan jumlah kasus 50 dari 55 kasus (90,9%). Penyebab tersering pada kasus dislokasi sendi bahu yaitu akibat trauma dengan 50 kasus (90,9%) Trauma langsung menjadi mekanisme yang paling banyak terjadi yaitu sebanyak 33 dari 55 kasus (60,0%). Sebanyak 34,5% atau 19 dari 55 kasus dijumpai mengalami fraktur penyerta dari komponen sendi bahu.

c. Tindakan non-operatif yaitu teknik reduksi menjadi tindakan penatalaksanaan yang paling banyak dilakukan yaitu sebanyak 31 dari 55 kasus (56,4%).

5.2. Saran

a. Kelengkapan data rekam medik pada pasien dislokasi sendi bahu perlu lebih diperhatikan, sehingga dapat memberi dukungan maksimal dalam menghasilkan penelitian yang lebih valid dan akurat.

Gambar

Gambar 2.1  Ligamentum pada sendi bahu (Sobotta, 2010)
Gambar 2.2 Otot-otot pada bahu (Sobotta, 2010).
Gambar 2.3  Teknik reduksi Cooper-Milch (Bishop, 2004).
Gambar 2.5 Teknik reduksi Hipocrates (Bishop, 2004).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika dikaitkan dengan psikologi perkembangan, siswa pada tingkat Menengah Atas yang berada pada masa remaja stres, ada beberapa masalah yang mereka hadapi seperti kesulitan

ujuan dari penulisan laporan ini yaitu untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan ujuan dari penulisan laporan ini yaitu untuk memenuhi tugas dalam

Kuasa Pengguna Anggaran :MTSN Uneaha Kabupaten Kona,v€. Alamat

perjanjian, akibat hukum dari klausula baku dan pengertian dari.. perlindungan konsumen pengguna jasa dan pelaku usaha terhadap. adanya perjanjian klausula

mengikat bagi kewajiban moral maupun system hukum.Semua orang yang benman harus menghormatinya dan pada saat yang sama mereka akan terlindungi oleh ketentuanketentuan

[r]

Untuk beberapa senyawa, waktu retensi akan sangat bervariasi dan bergantung  pada: tekanan yang digunakan (karena itu akan berpengaruh pada laju alir dari

Sistem informasi adalah suatu sistem dalam sistem dalam suatu organi suatu organisasi sasi yang mempertem yang mempertemukan ukan kebutuhan pengolahan transaksi harian