• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hipertiroid Dan Atrial Fibrilasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hipertiroid Dan Atrial Fibrilasi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

HIPERTIROID DAN FIBRILASI ATRIUM HIPERTIROID DAN FIBRILASI ATRIUM

M. Fakhruddin Fakhry M. Fakhruddin Fakhry Esti Hindariati Esti Hindariati I. I. PendahuluanPendahuluan

Hipertiroidi adalah suatu keadaan akibat peningkatan kadar hormon tiroid bebas Hipertiroidi adalah suatu keadaan akibat peningkatan kadar hormon tiroid bebas dalam darah. Hipertiroid pertama kali dilaporkan oleh Parry pada tahun 1825, kemudian dalam darah. Hipertiroid pertama kali dilaporkan oleh Parry pada tahun 1825, kemudian Graves pada tahun 1835 dan disusul oleh Basedow pada tahun 1840. Hormon tiroid memiliki Graves pada tahun 1835 dan disusul oleh Basedow pada tahun 1840. Hormon tiroid memiliki  berbagai

 berbagai efek efek yang yang signifikan signifikan pada pada sistem sistem kardiovaskular. kardiovaskular. Palpitasi, Palpitasi, intoleransi intoleransi aktivitas,aktivitas, sesak nafas, nyeri dada, edema perifer dan gagal jantung kongestif merupakan gejala-gejala sesak nafas, nyeri dada, edema perifer dan gagal jantung kongestif merupakan gejala-gejala dari hipertiroid yang melibatkan sistem kardiovaskular. Pada pasien hipertiroid penyebab dari hipertiroid yang melibatkan sistem kardiovaskular. Pada pasien hipertiroid penyebab kematian utama adalah akibat kejadian kardiovaskular. Fibrilasi atrium yang terjadi pada kematian utama adalah akibat kejadian kardiovaskular. Fibrilasi atrium yang terjadi pada kurang lebih 10-25% pasien hipertiroid merupakan komplikasi yang sering terjadi dan bisa kurang lebih 10-25% pasien hipertiroid merupakan komplikasi yang sering terjadi dan bisa  bersifat fatal (Ertek, 2013).

 bersifat fatal (Ertek, 2013).

II.

II. EpidemiologiEpidemiologi

Sinus takikardia adalah bentuk aritmia yang sering didapatkan pada kondisi Sinus takikardia adalah bentuk aritmia yang sering didapatkan pada kondisi hipertiroid. Fibrilasi atrium dilaporkan terjadi pada 10 - 15% pasien dengan hipertiroid. hipertiroid. Fibrilasi atrium dilaporkan terjadi pada 10 - 15% pasien dengan hipertiroid. Prevalensi fibrilasi atrium meningkat dengan bertambahnya usia. Dalam sebuah penelitian Prevalensi fibrilasi atrium meningkat dengan bertambahnya usia. Dalam sebuah penelitian didapatkan fibrilasi atrium terjadi pada 25% pasien hipertiroid berusia lebih dari 60 tahun dan didapatkan fibrilasi atrium terjadi pada 25% pasien hipertiroid berusia lebih dari 60 tahun dan hanya 5% pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Pada sebuah studi didapatkan bahwa hanya 5% pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Pada sebuah studi didapatkan bahwa hipertiroidisme menyebabkan <1% terjadinya kasus fibrilasi atrium onset baru. Pada hipertiroidisme menyebabkan <1% terjadinya kasus fibrilasi atrium onset baru. Pada  penelitian

 penelitian lain lain didapatkan didapatkan 13% 13% pasien pasien dengan dengan fibrilasi fibrilasi atrium atrium memiliki memiliki bukti bukti biokimiabiokimia adanya hipertiroidisme (Agner, 1984).

adanya hipertiroidisme (Agner, 1984).

Studi yang dilakukan oleh Lars Frost di Denmark mengidentifikasi bahwa 8,3% dari Studi yang dilakukan oleh Lars Frost di Denmark mengidentifikasi bahwa 8,3% dari 40.628 pasien dengan hipertiroidisme mengalami fibrilasi atrium. Faktor risiko untuk fibrilasi 40.628 pasien dengan hipertiroidisme mengalami fibrilasi atrium. Faktor risiko untuk fibrilasi atrium pada pasien dengan hipertiroidisme mirip dengan faktor resiko pada populasi umum atrium pada pasien dengan hipertiroidisme mirip dengan faktor resiko pada populasi umum seperti usia, jenis kelamin laki-laki, penyakit jantung iskemik, penyakit jantung kongestif, seperti usia, jenis kelamin laki-laki, penyakit jantung iskemik, penyakit jantung kongestif, dan penyakit katup jantung. Pada sebuah studi

dan penyakit katup jantung. Pada sebuah studi cohort cohort   pada 7.209 subyek hipertiroid yang  pada 7.209 subyek hipertiroid yang mendapatkan terapi

mendapatkan terapi radioiodineradioiodine  didapatkan hasil bahwa kondisi hipertiroidisme berkaitan  didapatkan hasil bahwa kondisi hipertiroidisme berkaitan dengan meningkatnya angka kematian dibandingkan dengan populasi umum. Meningkatnya dengan meningkatnya angka kematian dibandingkan dengan populasi umum. Meningkatnya angka kematian disebabkan oleh kelainan kardiovaskular dan kelainan serebrovaskular. angka kematian disebabkan oleh kelainan kardiovaskular dan kelainan serebrovaskular. Aritmia jantung m

(2)

dapat menyebabkan gagal jantung dan merupakan predisposisi peristiwa emboli (Forst, 2004).

III. Mekanisme kerja hormon tiroid

Perubahan sistem kardiovaskular pada kondisi hipertiroidisme disebabkan oleh kerja hormon T3 atau triiodothyronine. T3 merupakan bentuk hormon tiroid yang aktif pada level molekuler dan mempunyai efek genetik dan ekstragenik pada miokardium dan pembuluh darah. Hormon tiroid mempengaruhi sistem kardiovaskuler melalui 2 mekanisme. Mekanisme yang utama melalui pengaruh pada transkripsi gen-gen yang spesifik maupun non-spesifik. Mekanisme yang kedua yaitu melalui efek non-genomik pada membran plasma, mitokondria, dan retikulum sarkoplasma (Panagoulis, 2008).

T3 dan juga T4 memiliki sifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sitoplasma. Konversi T4 menjadi T3 terjadi di dalam sitoplasma. T3 kemudian menembus nukleus di mana dia akan terikat dengan thyroid hormone receptor (THR). Proses pengikatan T3 dengan THR akan menghasilkan kompleks reseptor homodimer T3/THR/THR dan heterodimer T3/THR/RXR. Kompleks reseptor tersebut akan mengenali rangkaian DNA yang disebut thyroid response elements (TREs) yang terdapat dalam gen target. Pengikatan kompleks reseptor dengan TRE akan menginisiasi proses transkripsi (Ribeiro, 1995).

Pada jantung, banyak gen yang telah diidentifikasi sebagai target inisiasi transkripsi oleh hormon tiroid seperti alpha-myosin heavy chain  fusion  (MHC-α),  sarcoplasmic reticulum calcium pump  (SERCA), cellular  membrane Na-K pump  (Na-K ATPase),  β 1 adrenergic receptor , cardiac troponin  I , dan atrial natriuretic peptide  (ANP). Sebaliknya hormon tiroid juga mampu menekan proses transkripsi gen lain seperti beta-myosin heavy chain fusion (MHC-β), phospholamban, adenylic cyclase (IV and V), dan  Na-Ca antiporter  (Klein, 2007).

Terdapat 3 jenis MHC yang ditemukan dalam sel miokardium : V1 yang mengandung MHC α/α, V2 (MHC α/β), dan V3 (MHC β/β). Hormon tiroid mempengaruhi proses transkripsi MHC yang berakibat pada meningkatnya sintesis V1 dan menurunnya sintesis V3. V1 berfungsi menambah kecepatan pemendekan serabut miokard. Hormon tiroid secara genomik akan memperkuat kontraktilitas dari miokard (Izumo, 1986).

Hormon tiroid juga mempengaruhi proses pelepasan dan penangkapan kembali ion kalsium oleh retikulum sarkoplasma. Tiroid akan memicu aktifitas SERCA dan menghambat  phospholamban  sehingga mempercepat proses penangkapan kalsium oleh retikulum

(3)

sarkoplasma. Hal ini akan menyebabkan peningkatan kontraktilitas miokard dan mengurangi durasi sistol dari ventrikel (Klein, 2001)

Hormon tiroid melalui efek non-genomik pada membran sel mampu memperlama aktivasi kanal sodium pada sel miokard dan mampu merangsang ambilan sodium intrasel serta aktivasi  Na-Ca antiporter   sehingga terjadi efek inotropik positif. T3 juga mempunyai efek pada  L-type Ca channel   yang menyebabkan masuknya kalsium ke dalam sel miokard. (Davis, 1996).

Gambar 1. Mekanisme kerja hormon tiroid pada miosit (Klein, 2001)

IV. Efek hipertiroid pada jantung

Hipertiroid merupakan kondisi dimana kelenjar tiroid mensekresi hormon tiroid secara berlebihan. Hipertiroid diukur dengan parameter kadar TSH dan kadar T4 total dalam serum. Hipertiroid merupakan keadaan dimana kadar TSH serum kurang dari 0,3 μIU / mL dan kadar T4 serum total lebih dari 161 nmol/L (McAuley, 2013) .

Hipertiroid subklinis adalah kondisi dimana turunnya kadar TSH tanpa ada kenaikan hormon T3 dan T4 dan tidak ada gangguan hipotalamus maupun hipofisis, penyakit non tiroid, maupun sedang mengkonsumsi obat yang menghambat sekresi TSH. Prevalensi terjadinya hipertiroid subklinis adalah 0,5  –   6,3% baik pada pria maupun wanita dan  prevalensi tertinggi terjadi pada usia 65 tahun. Usia puncak terjadinya hipertiroid adalah 60 – 

69 tahun (Vanderpump, 2009).

Pada kondisi hipertiroid terjadi peningkatan denyut nadi istirahat, volume darah, volum sekuncup, kontraktilitas miokard dan fraksi ejeksi. Hal ini menyebabkan

(4)

meningkatnya cardiac output  yang dapat mencapai 250% dan pelebaran tekanan nadi. Pada  pembuluh darah terjadi peningkatan penggunaan oksigen, peningkatan produksi metabolit sisa, dan relaksasi serabut otot polos arteri yang menyebabkan berkurangnya  peripheral vascular resistence (PVR) (Park, 1997).

PVR yang turun menyebabkan peningkatan denyut nadi dan penurunan tekanan diastolik yang disertai pelebaran tekanan nadi. Vasodilatasi dan tidak adanya peningkatan aliran darah ke ginjal membuat perfusi ginjal berkurang sehingga mengaktivasi sistem renin-angiotensin yang menyebabkan retensi sodium dan penambahan volume darah. Kombinasi  penambahan volume darah dan perlambatan fase diastolik akan menyebabkan peningkatan

left ventricular end diastolic volume  (LVEDV). Peningkatan  preload   dan berkurangnya afterload   menyebabkan meningkatnya volum sekuncup. Peningkatan denyut jantung dan volum sekuncup akan mengakibatkan meningkatnya cardiac output  (Klein, 2001).

Gambar 2. Efek Hipertiroid pada hemodinamik (Klein, 2001)

Manifestasi kardiovaskular yang sering terjadi pada pasien hipertiroid adalah palpitasi (85%) dan dyspnea on effort   (50%). Gejala tersebut pada awalnya ringan namun semakin lama semakin memberat. Gejala nyeri dada yang disebabkan gangguan pada distribusi oksigen atau vasokonstriksi biasanya jarang. Pada pemeriksaan fisik, gangguan yang sering didapatkan adalah takikardia (90%). Kebanyakan pasien memiliki denyut nadi perifer yang kuat, tekanan darah yang melebar, meningkatnya volume suara jantung, dan murmur ejeksi sistolik pada 50% pasien (Panagoulis, 2008).

V. Mekanisme elektrofisiologi dari fibrilasi atrium pada hipertiroidisme

Terdapat tiga mekanisme yang meningkatkan resiko terjadinya AF pada kondisi hipertiroid. Mekanisme yang pertama adalah peningkatan tekanan atrium kiri yang

(5)

disebabkan peningkatan LVM dan gangguan relaksasi ventrikel, yang kedua adalah iskemia yang dihasilkan dari peningkatan denyut jantung istirahat, dan yang ketiga adalah  peningkatan aktivitas ektopik atrium. Studi menunjukkan bahwa jantung dari hewan dengan tirotoksikosis menunjukkan peningkatan denyut jantung dan periode refraktori efektif rata-rata yang lebih pendek daripada jantung hewan eutiroid (Fazio, 2004).

Hipertiroidisme dikaitkan dengan peningkatan aktivitas ektopik supraventrikular. Wustmann mengamati aktivitas depolarisasi listrik supraventrikular pada subyek dengan kadar TSH serum rendah dan sesudah normalisasi kadar TSH serum. Terjadi penurunan yang signifikan pada aktivitas depolarisasi supraventrikular dini normal, jumlah episode takikardia supraventrikular dan non-sustained supraventricular tachycardia  setelah normalisasi kadar thyrotropin  serum. Aktivasi fokus aritmogenik karena peningkatan hormon tiroid mungkin menjadi penyebab utama terjadinya AF pada hipertiroid (Wustman, 2008).

Aktivitas denyut jantung dipengaruhi oleh T3 yang meningkatkan aktivitas depolarisasi sistolik dan repolarisasi diastolik. Selain itu T3 juga menurunkan durasi potensial aksi dan periode refraksi dari miokardium atrium dan nodal atrium ventrikel. Pada studi vitro ditemukan bahwa T3 mengurangi durasi fase repolarisasi dari potensial aksi membran dan meningkatkan kecepatan repolarisasi diastolik sehingga mampu meningkatkan jumlah kontraksi. T3 menginduksi perubahan elektrofisiologi dengan cara mempengaruhi kepadatan  pompa natrium dan meningkatkan permeabilitas ion natrium dan kalium. T3 juga meningkatkan ekspresi dari  L-type calcium channel 1D  yang memiliki fungsi sebagai  pacemaker  (Agatha, 2009).

 Reentry  dicurigai sebagai salah satu mekanisme utama yang menyebabkan fibrilasi atrium. Gelombang multisirkuit yang dihasilkan di atrium bisa mengganggu ritme sinus normal dan menyebabkan ritme fibrilasi. Menurut konsep panjang gelombang, fibrilasi atrium bisa timbul jika periode refraktori efektif pendek dan konduksi lambat. Hipertiroid dikaitkan dengan pemendekan durasi potensial aksi. Durasi potensial aksi menentukan  periode refraktori dan menjadi faktor penentu kemungkinan terjadinya reentry (Tse, 1998).

VI. Manajemen fibrilasi atrium pada hipertiroid

Langkah pertama manajemen fibrilasi atrium pada hipertiroid adalah melakukan  pengendalian laju jantung, pemilihan jenis obat untuk kontrol laju disesuaikan dengan kondisi  pasien. Penyekat beta, antagonis kanal kalsium, dan digoksin merupakan contoh obat  pengendali laju yang efektif. Pengobatan hipertiroid akan mengakibatkan konversi irama fibrilasi atrium menjadi irama sinus. Pada sebuah studi didapatkan 62% pasien fibrilasi

(6)

atrium dengan hipertiroid mengalami konversi menjadi irama sinus pada kurun waktu 8-10 minggu setelah mencapai kondisi eutiroid (Klein, 2007).

A. Penyekat beta

Penyekat beta merupakan salah satu obat yang efektif dalam mengendalikan laju  jantung serta merupakan obat pilihan pada kondisi hipertiroid tanpa tanda gagal jantung kongestif. Jenis obat ini juga membantu mengatasi gejala-gejala yang ditimbulkan oleh reseptor beta seperti cemas dan tremor . Pasien yang mendapat penyekat beta perlu mendapat  pengawasan terhadap tanda hipotensi, bradikardia, dan tanda gagal jantung. Dosis lebih tinggi  bisa diberikan pada pasien hipertiroid karena terjadi peningkatan  plasma clearance. Penggunaan penyekat beta harus mendapat pengawasan yang ketat pada pasien gagal jantung karena adanya kemungkinan eksaserbasi. Dari berbagai macam penyekat beta, propanolol memiliki kelebihan dalam hal mengurangi konversi T4 menjadi T3 (Malvinder, 2004).

B. Antagonis kanal kalsium

Antagonis kanal kalsium oral seperti diltiazem atau verapamil dapat digunakan sebagai terapi kontrol laju untuk jangka waktu yang lama pada pasien dengan kontraindikasi dengan penyekat beta. Antagonis kanal kalsium memiliki efek inotropik negatif. Antagonis kanal kalsium intravena dapat digunakan sebagai alternatif penyekat beta, namun diperlukan  pengawasan ketat terhadap tanda hipotensi dan penurunan tekanan sistemik vaskular

(Malvinder, 2004).

C. Digoksin

Digoksin dapat digunakan sebagai terapi pengendali laju pada pasien yang tidak dapat menggunakan penyekat beta dan antagonis kanal kalsium. Fibrilasi atrium pada hipertiroid memiliki kecenderungan untuk resisten terhadap pemberian digoksin dikarenakan adanya  peningkatan  plasma clearance, peningkatan aktivitas saraf simpatik, dan penurunan tonus vagal. Digoksin harus diberikan dalam dosis yang lebih tinggi sehingga meningkatkan resiko terjadinya toksisitas digoksin. Pemberian digoksin dapat dipertimbangkan pada pasien gagal  jantung yang mengalami fibrilasi atrium karena tirotoksis (Malvinder, 2004).

D. Amiodaron

Amiodaron merupakan obat antiaritmia larut lemak dan kaya yodium yang biasa digunakan pada pengobatan aritmia atrium maupun ventrikel. Amiodaron mampu

(7)

menghambat konversi T4 menjadi T3 pada banyak jaringan. Karena memiliki kandungan yodium yang tinggi, amiodaron dapat mencegah sintesis dan sekresi hormon tiroid, dan menghambat proses pengikatan T3 dan nukleus.

Amiodaron dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada pasien yang sebelumnya telah memiliki penyakit tiroid dan menyebabkan tiroiditis pada pasien yang memiliki kelenjar tiroid yang normal. Insidensi terjadinya hipertiroid dan hipotiroid pada pasien yang mendapatkan terapi amiodaron berkisar antara 14-18%, dan karena amiodaron memiliki half life yang lama maka efek samping dapat terjadi berbulan-bulan setelah amiodaron dihentikan.

Amiodaron apat diberikan bersamaan dengan obat anti tiroid untuk mencegah organifikasi yodium. Pemberian amiodaron harus dihentikan pada hipertiriodisme. Sebagai alternatif dapat diberikan dronedaron, yaitu derivat amiodaron yang tidak mengandung iodin sehingga mengurangi insiden tirotoksikosis (PERKI, 2014).

Tabel 1. Jenis-jenis obat pengendali laju jantung (PERKI, 2014)

Jenis Obat Dosis

Penyekat Beta • Metoprolol • Bisoprolol • Atenolol • Propanolol • Carvedilol

2x50-100 mg po atau 2,5-5 mg bolus intravena dalam 2 menit sampai 3xdosis

1x5-10 mg po 1x25-100 mg po

3x10-40 mg po atau 0,15 mg/kgBB dalam 1 menit 2x3,125-25 mg po

Antagonis kanal kalsium nondihidropiridin

• Verapamil • Diltiazem

2x40 sampai 1x240 mg po (lepas lambat) atau 0,0375-0,15 mg/kgBB intravena dalam 2 menit

3x30 sampai 1x200 mg po (lepaslambat) Lainnya

• Digoksin • Amiodaron

1x0,125-0,5 mg po atau 0,5-1 mg iv

1x100-200 mg po atau 5 mg/kgBB dalam 1 jam dan 50 mg/jam untuk rumatan

E. Antikoagulan

Pemberian antikoagulan pada pasien fibrilasi atrium dengan hipertiroid masih menjadi  perdebatan. Pasien fibrilasi atrium dengan hipertiroid sendiri memiliki resiko terjadinya stroke kurang lebih 3,9% pertahun. Keputusan pemberian antikoagulan baik itu jangka  pendek maupun jangka panjang bersifat  patient-oriented   dengan mempertimbangkan usia,

(8)

Pada pasien fibrilasi atrium usia muda yang tidak memiliki kelainan jantung, hipertensi dan resiko emboli, pemberian antikoagulan dapat ditunda. Sedangkan pada pasien usia tua yang memiliki penyakit jantung atau fibrilasi atrium kronik, pemberian terapi anti koagulan dapat dimulai. Dosis awal yang diberikan sama dengan pasien eutiroid namun dibutuhkan dosis harian yang lebih rendah karena meningkatnya pembuangan vitamin K-depending clotting factor (Chan, 2015).

F. Kardioversi

Kardioversi baru bisa dilakukan jika pasien telah mencapai kondisi eutiroid karena  pasien akan cenderung mengalami aritmia selama kondisi hipertiroid belum bisa diatasi. Konversi spontan dari fibrilasi atrium menjadi normal sinus terjadi pada 2/3 pasien yang mencapai kondisi eutiroid dalam waktu 8-10 minggu. Jika tidak terjadi konversi spontan setelah 3 bulan maka dapat dipertimbangkan kardioversi, namun tetap harus dipastikan  bahwa pasien sudah mencapai kondisi eutiroid.

G. Terapi hipertiroid

Modalitas yang dapat digunakan untuk manajemen hipertiroid adalah pemberian obat-obatan anti-tiroid, pembedahan kelenjar tiroid, dan ablasi kelenjar tiroid

Jenis-jenis obat anti-tiroid antara lain thionamide, yodium, lithium, perchlorat, dan thiocyanat. Obat yang sering dipakai dari golongan thionamide adalah propylthiouracyl (PTU), 1 - methyl - 2 mercaptoimidazole (methimazole, tapazole, MMI), dan carbimazole. Obat ini bekerja menghambat sintesis hormon tetapi tidak menghambat sekresinya, yaitu dengan menghambat terbentuknya monoiodotyrosine  (MIT) dan diiodotyrosine  (DIT), serta menghambat proses coupling diiodotyrosine. PTU juga menghambat perubahan T4 menjadi T3 di jaringan tepi serta memiliki harga yang lebih murah. Saat ini PTU dianggap sebagai obat pilihan (Cooper, 2005).

Obat antitiroid diakumulasi dan dimetabolisme di kelenjar gondok sehingga pengaruh  pengobatan lebih tergantung pada konsentrasi obat dalam kelenjar dari pada di plasma. MMI dan carbimazole sepuluh kali lebih kuat daripada PTU sehingga dosis yang diperlukan hanya satu persepuluhnya. Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300 - 600 mg perhari untuk PTU atau 30 - 60 mg per hari untuk MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam atau sebagai dosis tunggal setiap 24 jam (Cooper, 2005).

Dalam satu penelitian dilaporkan bahwa pemberian PTU atau carbimazole dosis tinggi akan memberi remisi yang lebih besar. Jangka waktu pemberian tergantung

(9)

masing-masing penderita (6 - 24 bulan) dan dikatakan sepertiga sampai setengahnya (50 - 70%) akan mengalami perbaikan yang bertahan cukup lama. Apabila dalam waktu 3 bulan tidak atau hanya sedikit memberikan perbaikan, maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan yang dapat menggagalkan pengobatan (tidak teratur minum obat, struma yang besar, pernah mendapat pengobatan yodium sebelumnya atau dosis kurang) (Cooper, 2005).

Efek samping ringan berupa kelainan kulit misalnya gatal-gatal dan  skin rash dapat ditanggulangi dengan pemberian anti histamin tanpa perlu menghentikan pengobatan. Dosis yang sangat tinggi dapat menyebabkan hilangnya indera pengecap, cholestatic jaundice dan kadang-kadang agranulositosis (0,2 -0,7%). Efek samping ini lebih sering terjadi pada  penderita berumur di atas 40 tahun yang menggunakan dosis besar. Efek samping lain yang  jarang terjadi antara lain berupa : arthralgia, demam rhinitis, konjungitivitis, alopecia, sakit kepala, edema, limfadenopati, hipoprotombinemia, trombositopenia, gangguan gastrointestinal (Cooper, 2005).

Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut tetapi dalam masa 3 minggu efeknya akan menghilang karena adanya escape mechanism dari kelenjar yang  bersangkutan, sehingga meski sekresi terhambat sintesa tetap ada. Akibatnya terjadi  penimbunan hormon dan pada saat yodium dihentikan timbul sekresi berlebihan dan gejala

hipertiroid menghebat.

Pengobatan dengan yodium digunakan untuk memperoleh efek yang cepat seperti  pada krisis tiroid atau persiapan operasi. Dosis yang diberikan biasanya 15 mg per hari

dengan dosis terbagi yang diberikan 2 minggu sebelum dilakukan pembedahan. Marigold dalam penelitiannya menggunakan cairan Lugol dengan dosis 1/2 ml (10 tetes) 3 kali perhari yang diberikan 10 hari sebelum dan sesudah operasi (Cooper, 2005).

Indikasi utama tindakan pembedahan adalah pasien berusia muda dan gagal atau alergi terhadap obat-obat antitiroid. Tindakan pembedahan berupa tiroidektomi subtotal juga dianjurkan pada penderita dengan keadaan yang tidak mungkin diberi pengobatan dengan I131(wanita hamil atau yang merencanakan kehamilan dalam waktu dekat).

Indikasi lain adalah pada pasien yang pengobatannya sulit dievaluasi, penderita yang tidak teratur meminum obat, penderita dengan struma yang sangat besar, pasien yang ingin segera mencapai kondisi eutiroid, dugaan keganasa pada struma, dan alasan kosmetik. Untuk  persiapan pembedahan dapat diberikan kombinasi antara thionamid, yodium atau propanolol guna mencapai keadaan eutiroid. Thionamid biasanya diberikan 6 - 8 minggu sebelum operasi, kemudian dilanjutkan dengan pemberian larutan lugol selama 10 - 14 hari sebelum operasi. Propranolol dapat diberikan beberapa minggu sebelum operasi, kombinasi obat ini

(10)

dengan yodium dapat diberikan 10 hari sebelum operasi. Tujuan pembedahan yaitu untuk mencapai keadaan eutiroid yang permanen. Dengan penanganan yang baik, maka angka kematian dapat diturunkan sampai 0 (Solomon,1978).

Ablasi dengan I131 memiliki kelebihan harga yang murah dan pemberian yang mudah sehingga cara ini banyak digunakan. Tujuan pemberian I131 adalah untuk merusak sel-sel kelenjar yang mengalami hiperfungsi. I131 memiliki efek negatif menaikkan angka kejadian hipofungsi kelenjar gondok (30-70% dalam  jollow up 10-20 tahun) tanpa ada kaitannya dengan besarnya dosis obat yang diberikan. Di samping itu terdapat pula  peningkatan gejala kelainan pada mata sebanyak 1-5%. Ada pula kekhawatiran efek mutasi gen dan teratogenik dari pengobatan I131 meskipun belum terbukti sampai saat ini (Silberstein, 2012).

Penetapan dosis 1131 didasarkan atas derajat hiperfungsi serta besar dan beratnya kelenjar gondok. Dosis yang dianjurkan ± 140-160 micro Ci/gram atau dengan dosis rendah ± 80 micro Ci/gram. Dalam pelaksanaannya perlu dipertimbangkan antara lain : dosis optimum yang diperlukan kelenjar tiroid, besar/ukuran dari kelenjar yang akan diradiasi, efektivitas I131 di dalam jaringan dan sensitivitas jaringan tiroid te rhadap I131 (Silberstein, 2012).

VII. Kesimpulan

Fibrilasi atrium merupakan komplikasi kardiovaskuler yang sering terjadi pada pasien hipertiroid dan bisa bersifat fatal. Manajemen fibrilasi atrium pada hipertiroid meliputi  pengendalian laju jantung serta merubah status hipertiroid pasien menjadi eutiroid. Pasien fibrilasi atrium dengan hipertiroid yang mencapai status eutiroid sebagian besar akan mengalami konversi otomatis menjadi irama sinus.

Daftar Pustaka

Agata B, Mikhailidis D, Rysz J, Banach M, 2009. The Mechanism of Atrial Fibrillation in Hyperthyroidism. Thyroid Research; 2:4.

Agner T, Almdal T, Thorsteinsson B, Agner E, 1984. A reevaluation of atrial fibrillation in thyrotoxicosis. Dan Med Bull ;31:157-159.

Chan P, Hai J, 2015. Benefit of Anticoagulation Therapy in Hyperthyroidism-related Atrial Fibrillation. Clin. Cardiol; 38(8):476-482.

Davis PJ, Davis FB., 1996. Nongenomic actions of thyroid hormone. Thyroid ; 6: 497-504. Ertek S, Cicero A, 2013. Hyperthyroidism and cardiovascular complications: a narrative

(11)

Fazio S, Palmieri EA, Lombardi G, Biondi B, 2004. Effects of Thyroid Hormone on the Cardiovascular System. Recent Progr Horm Res; 59:31-50.

Frost L, Vestergaard P, 2004. Hyperthyroidism and Risk of Atrial Fibrillation or Flutter.  Arch Intern Med;164:1675-1678.

Grais I, Sowers J, 2014. Thyroid and the Heart. The American Journal of Medicine ; 127:691-698.

Izumo S, Nadal-Ginard B, Mahdavi V., 1986. All members of the MHC multigene family respond to thyroid hormone in a highly tissue-specific manner. Science; 231: 597-600. Klein I, Danzi S, 2007. Thyroid Disease and Heart. Circulation; 116:1725-1735.

Klein I, Ojama K, 2001. Thyroid Disease and the Cardiovascular System.  N Engl J Med ; 344 (7):501-510.

Malvinder S, 2004. Thyrotoxic Atrial Fibrillation. Indian J Cardiol ; 7:13-16.

Panagoulis C, Halapas A, 2008. Hyperthyroidism and the Heart.  Hellenic J Cardiol ; 49: 169-175.

Park KW, Dai HB, Ojamaa K, Lowenstein E, Klein I, Sellke FW., 1997. The direct vasomotor effect of thyroid hormones on rat skeletal muscle resistance arteries.  Anesth Analg ; 85: 734-738.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2014. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. Perki; 1:70.

Ribeiro RC, Apriletti JW, West BL, et al., 1995. The molecular biology of thyroid hormone action. Ann N Y Acad Sci; 758: 366-389.

Silberstein E, Alavi A, 2012. The SNM Practice Guideline for Therapy of Thyroid Disease with I131. Journal of Nuclear Medicine; 1-19.

Solomon D., 1978. Treatment : Antithyroid Drugs, Surgery, Radioiodine; Selection of Therapy. In : The Thyroid, A fundamental and clinical test.  Harper and Row; 4th Ed., 814.

Tse HF, Lau CP, 1998. Electrophysiological properties of the fibrillating atrium: implications for therapy. Clin Exp Pharmacol Physiol ; 25:293-302.

Wustmann K, Kucera JP, Zanchi A, Burow A, Stuber T, Chappuis B, Diem P, Delacretaz E, 2008. Activation of Electrical Triggers of Atrial Fibrillation in Hyperthyroidism.  J Clin Endocrinol Metab; 93:2104-2108.

Referensi

Dokumen terkait

• Rencana penataan lingkungan (neighbourhood-development plan/NDP), • Panduan rancang kota (urban-design guidelines/UDGL). Seluruh rencana, rancangan, aturan, dan mekanisme

Dengan latar belakang tersebut memberikan sebuah inspirasi kepada penulis untuk dilakukannya penelitian rancang bangun alat pengendali lampu pada sistem informasi penjadwalan

Pada komposit isotropik Al-SiC yang dilakukan dalam penelitian ini, hasil analisa nilai modulus elastisitas dibandingkan nilai secara empirik dan hasil eksperimen berdasarkan

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pda tanggal 03-05 Maret 2014 di Panti Werdha Mojopahit Mojokerto dengan menggunakan kuesioner terhadap 10 lansia diperoleh data

Perencanaan strategis bisnis merupakan proses untuk menyediakan arah dan sasaran jangka panjang bagi perusahaan sesuai dengan kekuatan internal serta menentukan

“Allah akan meninggikan orang- oranng yang beriman diantaramu dan orang-orang yang beri ilmu pengetahuan beberapa derajat ”. Al Mujadalah: 11).. Dengan

Adapun hasil penelitian ini yaitu, (a) Faktor menjadi preferensi siswa memilih SMK NEGERI 1 BANKINANG adalah diprioritaskan pada suatu bidang pekerjaan, (b)

Sedang, untuk ukuran kebocoran yang lebih besar, laju penurunan tekanan lebih cepat dan selanjutnya, injeksi akumulator dapat terjadi lebih awal, tetapi tidak cukup untuk