• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surat Kabar Harian SUARA KARYA, terbit di Jakarta Edisi 20 September YANG SALAH DALAM PENGAJARAN MATEMATIKA Oleh : Ki Supriyoko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Surat Kabar Harian SUARA KARYA, terbit di Jakarta Edisi 20 September YANG SALAH DALAM PENGAJARAN MATEMATIKA Oleh : Ki Supriyoko"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

YANG SALAH DALAM PENGAJARAN

MATEMATIKA

Oleh : Ki Supriyoko

Tiga kali berpartisipasi dan tiga kali pula tidak sanggup berprestasi. Itulah nasib pelajar Indonesia yang dikirimkan pada forum olimpiade Matematika tingkat dunia yang hanya diselenggarakan satu kali dalam setiap tahun; disebut International

Mathematics Olympics (IMO).

Forum IMO diikuti oleh para pelajar yang berasal dari sekitar 50 negara; dan untuk pertama kalinya pelajar Indonesia mengambil bagian dalam IMO tahun 1988 yang lalu yang berlangsung di Canbera, Australia. Satu tahun berikutnya, tahun 1989, pelajar Indonesia kembali berpartisipasi pada IMO yang dilangsungkan di

Braunschweig, Jerman Barat; dan pada tahun 1990 ini pelajar Indonesia kembali

berpartisipasi pada kegiatan IMO yang dilangsungkan di Beijing, China.

Hasilnya ...? Ternyata pelajar Indonesia selalu mendapatkan juara; akan tetapi dari urutan terbawah. Di Australia (1988) pelajar kita menduduki ranking pertama dari bawah, selanjutnya di Jerman Barat (1989) pelajar kita menduduki ranking kedua juga dari bawah; sedangkan di China (1990) pelajar kita kembali menduduki ranking kedua, juga dari bawah.

Jujur saja, apapun alasannya, pelajar kita memang belum mampu menunjukkan prestasinya dalam kompetisi elite bidang Matematika di forum internasional. Kita boleh saja bangga dengan prestasi kematematikaan pelajar kita dalam berbagai forum di dalam negeri, Ebtanas misalnya, tetapi dihadapkan pada kompetisi internasional ternyata nilai kebanggaan tersebut menjadi kurang berarti.

Apanya yang Salah?

Apanya yang salah dalam sistem pengajaran bidang studi Matematika di Indonesia? Inilah pertanyaan yang kemudian muncul setelah mengetahui kegagalan pelajar kita di forum olimpiade Matematika tingkat internasional tersebut; yang sekaligus dapat menggambarkan rendahnya mutu kematematikaan pelajar kita pada umumnya.

(2)

Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya mutu kematematikaan pelajar kita adalah terletak pada kurang optimalnya kemampuan analitis pada para pelajar itu sendiri. Kurang optimal-nya kemampuan analitis ini merupakan akibat dari diterapkannya sistem evaluasi model pilihan ganda (multiple choice test) pada event-event yang strategis dan penting; misalnya pada event-event ujian semesteran, Ebta, Ebtanas, dan sebagainya.

Ada ilustrasi menarik yang pernah disajikan oleh pakar matematika dan statistika kita, Prof. DR. Andi Hakim Nasoetion, sbb: pelajar Indonesia yang dikirim untuk mengikuti IMO tersebut rata-rata mempunyai Nilai Ebtanas Murni (NEM) Matematika yang sangat "hebat", di atas 9,5; tetapi serenta dihadapkan pada soal-soal Matematika pada forum IMO ternyata "kehebatannya" tersebut seolah-olah menjadi sirna.

Marilah kita mencoba menelusuri apa yang ada di balik ilustrasi Pak Andi Hakim tersebut. Secara akademis terdapat perbedaan pola soal versi Ebtanas dengan versi IMO; yaitu apabila Ebtanas menerapkan pola tes pilihan ganda maka IMO menerapkan pola tes esey yang lebih bersifat analitis. Prestasi yang bertolak belakang, yaitu sangat tinggi berdasarkan hasil Ebtanas tetapi berbalik menjadi sangat rendah berdasarkan hasil IMO, membuktikan bahwa pola tes pilihan ganda kurang dapat mengembangkan pola berfikir analitis pada pelajar kita.

Terjalinlah hubungan antara ubahan bebas (indepen dent variable) yaitu diaplikasikannya tes pilihan ganda, dengan ubahan antara (intervening variable) yaitu kurang optimalnya kemampuan analitis para pelajar, serta ubahan bergantung

(dependent variable) yaitu rendahnya kualitas kematematikaan pelajar kita.

Paradigmatisasinya: diaplikasikannya sistem evaluasi model pilihan ganda pada bidang matematika menyebabkan kurang optimalnya kemampuan analitis para pelajar; sedangkan kurang optimalnya kemam- puan analitis ini telah mengakibatkan relatif rendahnya kualitas kematematikaan pelajar Indonesia pada umumnya.

Memang banyak anggota masyarakat yang berpendapat bahwa tes pilihan ganda tidak mampu menjangkau kemampuan analitis dan sintesis anak didik, menjadikan anak didik malas belajar, mengkondisi anak didik menyenangi permainan "untung-untungan" dalam berbagai kesempatan ujian, dan masih banyak pendapat-pendapat lain yang senada.

Rendahnya prestasi pelajar Indonesia di berbagai forum, terutama forum IMO, sekedar merupakan akibat dari diaplikasikannya pola tes pilihan ganda tersebut. Lepas dari itu semua sebenarnya Mendikbud, Prof. DR. Fuad Hassan, pernah mengatakan bahwa pengaplikasian model tes pilihan ganda dalam berbagai kepentingan (termasuk kepentingan bidang Matematika tentunya) telah melalui suatu proses yang dapat dipertanggung-jawabkan.

(3)

Pada dasarnya semua jenis tes atau alat evaluasi adalah difungsikan untuk mengukur prestasi belajar anak didik berkaitan dengan tujuan belajarnya; meskipun sebenarnya juga dapat difungsikan untuk mengukur kemampuan dasar anak didik untuk memasuki tahap awal dari sebuah paket belajar mengajar pada tujuan tertentu. B.S Bloom dalam karyanya "Taxonomy of Educational Objectives" (1956) membedakan tujuan belajar dalam tiga kawasan atau domein; masing-masing ialah domein kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotorik (psychomotor). Konsep ini perlu diajukan karena telah diacu oleh hampir seluruh pakar pendidikan di dunia.

Domein kognitif berhubungan dengan tujuan belajar yang pencapaiannya melalui pengetahuan dan keterampilan intelektual, domein afektif berhubungan dengan tujuan belajar yang pencapaiannya melalui perasaan, sikap, minat, dan nilai-nilai; sementara itu domein psikomotorik berhubungan dengan tujuan belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan serta koordinasi fisik manusia.

Secara diferensif maka domein kognitif lebih berhubungan dengan otak manusia, domein afektif berhubungan dengan hati manusia, sedangkan domein psikomotorik lebih berhubungan dengan otot manusia; yang dalam hal ini adalah anak didik.

Seorang anak didik sedang belajar agama; apabila anak didik baru menghafalkan ayat-ayat tertentu dari Kitab Suci lebih condong ke domein kognitif, sedangkan apabila anak didik sudah memahami dan meresapi makna ayat-ayat yang dihafalkannya sudah condong ke domein afektif. Lebih lanjut kalau anak didik sudah menerapkan ajaran dari ayat-ayat tersebut dalam perikehidupannya sehari-hari maka sudah berada dalam domein psikomotorik.

Dari tiga jenis domein tersebut maka hanya domein pertama, kognitif, yang dapat diukur dengan menerapkan tes pilihan ganda; domein afektif pun sesungguhnya juga bisa, akan tetapi risikonya sangat tinggi. Sementara itu domein psikomotorik hampir tidak dapat diukur dengan tes pilihan ganda. Jadi, idealnya tes pilihan ganda hanya diaplikasikan untuk mengukur domein kognitif saja.

Apakah itu berarti bahwa tes pilihan ganda sangat ideal untuk mengukur pencapaian belajar secara kognitif? Bisa ideal dan bisa juga tidak!

Penjelasannya: secara lebih terinci Bloom membagi domein kognitif menjadi enam peringkat; secara berturut-turut dari peringkat yang paling elementer adalah sbb: pengenalan (recognition), pengingatan (recalling), pemahaman

(comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), serta sintesis (synthesis).

Dari keenam peringkat kognitif tersebut tidak seluruhnya dapat diukur dengan tes pilihan ganda; tetapi hanya empat peringkat saja yang secara metodologis dapat diukur dengan tes pilihan ganda, yaitu dari pengenalan, pengingatan, pemahaman sampai dengan penerapan. Sementara itu dua peringkat yang lainnya, analisis dan sintesis, kurang dapat "tergarap" oleh tes pilihan ganda.

(4)

Dari sanalah persoalan itu muncul! Matematika adalah "ilmu analisis dan sintesis"; artinya kalau sistem evaluasinya dipaksakan dengan model pilihan ganda maka hakekat keilmuannya akan luntur. Mengapa demikian? Oleh karena para pelajar akan kehilangan "sari" ilmu Matematika itu sendiri; yaitu kemampuan analisis dan sintesis.

Kasus tentang kegagalan pelajar Indonesia dalam olimpiade Metematika di Australia (1988),di Jerman Barat (1989), maupun di China (1990) kiranya tidak mengejutkan lagi bagi sementara pakar pendidikan; meskipun pelajar kita tersebut mempunyai NEM (Matematika) sangat tinggi. Mengapa begitu? Tingginya prestasi pelajar kita tersebut diukur dari NEM yang merupakan produk dari tes pilihan ganda yang nota bene tidak dapat mengukur kemampuan analitis. Padahal soal-soal pada olimpiade Matematika tersebut dikembangkan menurut pola analitis. Jadi pelajar kita kurang biasa menghadapi jenis soal-soal tersebut.

Sistem evaluasi dengan model pilihan ganda hanya dapat diaplikasikan sampai pada peringkat kognitif-aplikatif dan tidak bisa diaplikasikan sampai pada peringkat kognitif-analitis maupun peringkat kognitif-sintesis. Akibatnya adanya semacam "pemaksaan" untuk mengaplikasikan sistem evaluasi model pilihan ganda (karena berbagai alasan praktikabilitas) sebenarnya telah membawa akibat "buruk" yang sangat besar bagi para pelajar kita. Di sinilah letak kesalahan dalam sistem pengajaran Matematika di Indonesia.

Dikaji Ulang

Dari ilustrasi tersebut di atas tergambarkan bahwa pengaplikasian sistem evaluasi model pilihan ganda di dalam berbagai event yang strategis dan penting, seperti ujian semesteran, Ebta, Ebtanas, dsb, merupakan penyebab kurang optimalnya kemampan analitis pelajar kita dan secara tak langsung juga telah menjadi penyebab rendahnya kualitas kematematikaan pelajar Indonesia.

Memang dapat dimengerti bahwa pengaplikasian sistem evalu-asi model pilihan ganda tersebut semata-mata didasarkan pada pertimbangan praktikabilitas; dalam artian dalam pengaplikasiannya pun sebenarnya sudah disadari akan terdapatnya kekurangan dalam berbagai dimensi, terutama dalam dimensi pengembangan kemampuan analisis dan sintesis anak didik. Meskipun demikian mengingat bahwa Matematika merupakan ilmu yang penting, karena akan men- jadi dasar dari berbagai ilmu terapan, maka pencermatan kembali sistem pengajaran Metematika memang cukup mendesak untuk dilakukan.

Tegasnya: perlu segera dilakukan pengkajian ulang terhadap pengaplikasian sistem evaluasi model pilihan ganda untuk bidang Matematika. Tepatkah evaluasi Ebta, Ebtanas, dsb, menggunakan tes pilihan ganda?

Apakah nilai praktikabilitas yang diperoleh dalam mengaplikasikan sistem evaluasi pilihan ganda sudah sebanding dengan "pengorbanan" yang diberikan; yaitu

(5)

tidak dapat berkembangnya kemampuan analitis dan sintetis para pelajar yang secara langsung mengakibatkan rendahnya mutu kematematikaan para pelajar itu sendiri? Kalau nilai praktikabilitas yang diperoleh memang tidak sebanding dengan "pengorbanan" yang diberikan maka jangan ragu-ragu untuk mengakhiri pengaplikasian sistem evaluasi model pilihan ganda dalam bidang studi Matematika

!!!*****

________________________________________________________

BIODATA SINGKAT;

nama: DR. Drs. Ki Supriyoko, SDU, M.Pd.

pek.: Ketua Litbang Pendidikan Majelis Luhur Tamansiswa, Ketua Pusat Kerja Sama Ilmiah (PKSI) Kopertis Wilayah V Yogyakarta, dan Tim Reviewer Matematika pada Pusat Tekko-Dikbud, Depdikbud

Referensi

Dokumen terkait

Siswantoro dkk (2012) melakukan penelitian analisa emisi gas buang kendaraan bermotor 4 tak berbahan bakar campuran premium dengan variasi penambahan zat

Pelaksana Lapangan 1 orang, harus memiliki dan melampirkan : Ijazah STM/SMK Bangunan, Sertifikat Ketrampilan Kerja (SKTK) dari organisasi profesi dibawah naungan LPJK

minggu dengan waktu 20 - 30 menit selama 2 bulan. Hasil yang diperoleh adalah adanya perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif pada

Obstructive Sleep Apnea adalah penyakit yang sangat umum yang ditandai dengan episode berulang dari obstruksi jalan nafas atas berhubungan dengan penyempitan

membuka menu transaksi penjualan barang dan memasukan nama barang yang dibuthukan konsumen menampilkan kode barang, harga barang dan jumlah barang yang

pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak

Putusan MK memiliki nilai maslahah bila dianalisa menggunakan konsep maslahah dalam pemikiran hukum Islam, mengingat putusan MK itu sejalan dengan prinsip maslahah

H1 : Independensi auditor, komisaris independen, komite audit, manajemen laba dan reputasi auditor secara simultan berpengaruh signifikan terhadap integritas