TINJAUAN PUSTAKA
Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)
Pohon gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan yang telah dikembangkan dengan teknik kultur jaringan. Jenis
A. malaccensis Lamk merupakan jenis pohon gaharu yang paling banyak ditemukan di Sumatera Utara (Yusnita, 2003).
Taksonomi tumbuhan gaharu (A. malaccensis Lamk) menurut Tarigan (2004) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae Sub Kelas : Dialypetalae Ordo : Myrtales
Famili : Thymeleaceae Genus : Aquilaria
Species : A. malaccensis Lamk.
Gaharu (A. malaccensis Lamk) memiliki morfologi atau ciri-ciri morfologi,
tinggi pohon ini dapat mencapai 40 meter dengan diameter batang mencapai 60 cm. Pohon ini memiliki permukaan batang licin, warna keputih-putihan, kadang beralur dan kayunya agak keras. Bentuk daun lonjong agak memanjang, panjang 6-8 cm,
kehijauan, agak bergelombang, melengkung, permukaan daun atas-bawah licin dan
mengkilap 12-16 pasang, Bunga terdapat di ujung ranting, ketiak daun, kadang-kadang di bawah ketiak daun. Berbentuk lancip, panjang sampai 5 mm. Buahnya
berbentuk bulat telur, tertutup rapat oleh rambut-rambut yang berwarna merah. Biasanya memiliki panjang hingga 4 cm lebar 2,5 cm. Buah gaharu (A. malaccensis
Lamk.) berbentuk kapsul, dengan panjang 3,5 cm hingga 5 cm, ovoid dan berwarna
coklat. Kulitnya agak keras dan berbaldu. Mengandung 3 hingga 4 biji benih bagi setiap buah (Tarigan, 2004 )
Syarat Tumbuh dan Penyebaran Gaharu di Indonesia
Syarat untuk tumbuh dengan baik, gaharu tidak memilih lokasi khusus.
Umumnya gaharu masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah dengan struktur dan tekstur yang subur, sedang, maupun ekstrim. Gaharu pun dapat dijumpai pada kawasan hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah, ataupun hutan
pegunungan dengan tekstur tanah berpasir. Gaharu (A. malaccensis Lamk.) sesuai ditanam di antara kawasan dataran rendah hingga ke pegunungan pada ketinggian 0 –
750 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun. Suhu yang sesuai adalah antara 27°C hingga 32°C dengan kadar cahaya matahari sebanyak 70%. Kesesuaian tanah adalah jenis lembut dan liat berpasir dengan pH
tanah antara 4.0 hingga 6.0 (Sumarna, 2009).
Beberapa hasil uji coba serta informasi dan pengalaman di lapangan
dapat dilakukan pada berbagai lahan dengan variasi kondisi lingkungan dan iklim.
Namun, pertumbuhan optimal akan diperoleh pada kondisi lahan yang struktur tanahnya lempung, dan liat berpasir, serta solum yang dalam (Sumarna, 2007).
Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis,
A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara. Pohon gaharu di Indonesia dikenal dengan nama yang berbeda-beda seperti calabac, karas, kekaras, mengkaras (Dayak), galoop (Melayu), kareh (Minang), age
(Sorong), bokuin (Morotai), lason (Seram), ketimunan (Lombok), ruhuwama (Sumba), seke (Flores), halim (Lampung) dan alim (Batak) (Sumarna, 2002).
Semakin tingginya tingkat permintaan akan gaharu menyebabkan terjadinya
eksploitasi A. malaccensis Lamk secara besar-besaran di hutan alam. Saat ini tanaman gaharu berada diambang kepunahan, hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari
CITES (Convention On International Trade Endangered Species Of Wild Flora And Fauna) yang memasukkan tanaman A. malaccensis ke dalam jenis tanaman terancam punah (Apendix II) (Sumarna, 2009). Pohon gaharu dapat dimanfaatkan bukan hanya
gubalnya saja akan tetapi bagian batang, kulit batang, akar dan daun juga sudah dimanfaatkan sebagai bahan untuk merawat wajah dan menghaluskan kulit (Tarigan,
2004).
yang terbilang cukup lama, daun gaharu dapat dimanfaatkan sebagai obat. Kurangnya
pengetahuan masyarakat akan manfaat daun gaharu menyebabkan pemanfaatan bagian-bagian gaharu seperti daun belum populer di kalangan masyarakat khususnya
petani gaharu itu sendiri.
Kondisi Iklim di Arboretum Universitas Sumatera Utara Kuala Bekala Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang
Arboretum USU merupakan bagian dan terletak di areal kampus Universitas
Sumatera Utara (USU) Kuala Bekala Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang. Arboretum ini dapat dicapai melalui dua jalur yaitu Medan-Pancur
batu-Kampus USU Kuala Bekala dengan waktu tempuh sekitar 30 menit, dan Medan-Simalingkar-Kampus USU Kuala Bekala dengan areal Kebun Binatang Medan. Luas
arboretum USU yang diperoleh dari BPDAS Wampu sei Ular yaitu seluas 64,813 Ha. Secara geografis, arboretum USU berada pada wilayah yang dibatasi kordinat-kordinat (UTM) sebagai berikut 0518598 (X) dan 0369433 (Y) (titik ujung Utara-
Timur ); 0494330 (X) dan 0390761 (Y) (titik ujung Utara- Barat); 0463655 (X) dan 0394483 (Y) ( titik ujung Selatan – Barat ); dan 0461526 (X) dan 0393193 (Y) (titik
ujung Selatan- Timur ) atau 3028’4λ.5λ” Lintang Utara dan λ8038’03.17” Bujur Timur. Arboretum USU berbatasan dengan sungai Bekala di sebelah Selatan dan Timur serta area penggunaan lain untuk sarana kampus di sebelah Barat dan Utara.
Keadaan topografi arboretum USU cenderung datar hingga agak curam dengan kemiringan 0-60% dan berada pada ketinggian 73 meter di atas permukaan laut. Jenis
dengan curah hujan rata-rata 2000-2500 mm per tahun. Sedangkan untuk penggunaan
lahan di arboretum USU untuk kehutanan adalah sebesar 42,21 Ha (Siregar, 2013).
Arboretum USU yang dibangun di atas tanah seluas 65 hektar di lahan
Kampus USU Kuala Bekala, saat ini telah mengkoleksi sebanyak 57 jenis pohon yang terdiri dari 32 jenis pohon hutan, 9 jenis pohon/tanaman perkebunan dan industri, 12 jenis pohon/tanaman buah-buahan,dan 4 jenis pohon sayuran.dari 57 jenis
pohon tersebut,11 jenis diantaranya merupakan tanaman/pohon eksisting ( yang telah ada sebelum arboretum dibangun ), dan sisanya 46 jenis merupakan tanaman/pohon
yang diintroduksikan setelah pembangunan Arboretum USU tersebut dicanangkan ( Rauf, 2009 ).
Keadaan Iklim di Langkat, Provinsi Sumatera Utara
Nilai curah hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Januari 68 mm/bulan dan nilai curah hujan terbesar terjadi pada bulan Oktober sebesar 300 mm/bulan.
Menurut klasifikasi Iklim Oldeman yang penggolongannya menitik beratkan pada bulan basah, lokasi penelitian yang mewakili Langkat termasuk dalam Zona
Agroklimat E2 yang berdasarkan kesesuaian untuk pertanian menunjukkan daerah ini umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat satu kali palawija, itupun tergantung adanya hujan (Handoko,1995).
A. Topografi
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa keadaan topografi untuk
40% (berbukit, curam), sedangkan untuk daerah Sei Bingei 8 -15% (agak miring atau
bergelombang), Kuala 2 – 8% (landai atau berombak) dan selesai 0 – 2% (datar) (Handoko,1995).
B. Tanah (Sifat Fisik Tanah)
Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa tekstur tanah di Langkat
adalah lempung berliat, lempung liat berpasir dan liat. Kedalaman efektif tanah di Langkat didominasi oleh kedalaman > 90 cm (dalam) sedangkan pada lokasi Bahorok
didominasi oleh kedalaman efektif 60-90 cm (sedang) dan pada lokasi Selesai, Kuala dan Sei Bingei didominasi oleh kedalaman 30 – 60 cm (dangkal). Nilai permeabilitas
tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah di daerah tersebut memiliki permeabilitas cepat, sedang sampai cepat dan sedang (Handoko,1995).
Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair.
Diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan
lain-lain (Ditjen POM, 2000).
Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan dalam berbagai penelitian
A. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar. Maserasi kinetik dilakukan dengan pengadukan yang kontinu. Remaserasi dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian
maserat pertama dan seterusnya. Prinsip metode ini adalah pencapaian konsentrasi pada keseimbangan, cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif. 2. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada suhu kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara,
tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) yang terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. Hasil akhir
perkolasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan zat aktif secara kualitatif pada perkolat terakhir.
B. Cara panas
1. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut
2. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 3. Digesti
Digesti adalah proses penyarian simplisia dengan pengadukan secara
terus-menerus pada temperatur yang lebih tinggi dari suhu kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.
4. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut air
pada temperatur 90°C selama 30 menit. 5. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut air
pada temperatur 90°C selama waktu 15 menit. Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia adalah pemeriksaan kimia secara kualitatif terhadap senyawa-senyawa aktif biologis yang terdapat dalam simplisia tumbuhan. Senyawa-senyawa tersebut adalah Senyawa-senyawa organik. Oleh karena itu skrining terutama
ditujukan terhadap golongan senyawa organik seperti alkaloid, glikosida, flavonoid, terpenoid, tanin dan lain-lain. Pada penelitian tumbuhan, untuk aktivitas biologi atau
membuktikan adanya senyawa kimia tertentu dalam tumbuhan tersebut dan dapat
dikaitkan dengan aktivitas biologinya (Farnsworth, 1996).
Golongan senyawa-senyawa organik yang perlu diskrining pada penelitian ini
adalah:
1. Alkaloida
Alkaloida sering diartikan dengan senyawa yang mengandung nitrogen
bersifat basa dan mempunyai aktivitas farmakologis. Alkaloida merupakan senyawa yang mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol dan digunakan secara luas dalam
bidang pengobatan (Harbone, 1987). Pada umumnya alkaloid merupakan senyawa padat berbentuk kristal atau amorf, tidak berwarna dan mempunyai rasa pahit. Dalam
bentuk bebas alkaloid merupakan basa lemah yang sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam pelarut organik (Rusdi, 1998).
2. Glikosida
Glikosida adalah komponen yang menghasilkan satu atau lebih gula jika dihidrolisis. Komponen gula disebut glikon dan bukan gula disebut aglikon.
Berdasarkan atom penghubung bagian gula (glikon) dan bukan gula (aglikon), maka glikosida dapat dibedakan menjadi:
a. C-glikosida, jika atom C menghubungkan bagian glikon dan aglikon.
b. N-glikosida, jika atom N menghubungkan bagian glikon dan aglikon. c. O-glikosida, jika atom O menghubungkan bagian glikon dan aglikon.
d. S-glikosida, jika atom S menghubungkan bagian glikon dan aglikon.
3. Flavonoid
Flavonoida merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar, mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya. Flavonoida mencakup banyak pigmen dan
terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus hingga angiospermae. Flavonoida dalam tubuh bertindak menghambat enzim lipooksigenase yang berperan dalam biosintesis prostaglandin. Hal ini disebabkan karena flavonoida merupakan
senyawa pereduksi yang baik sehingga akan menghambat reaksi oksidasi (Robinson, 1995).
4. Steroida/triterpenoida
Inti steroida sama dengan inti triterpenoida tetrasiklik. Steroida alkohol
biasanya dinamakan dengan “sterol”, tetapi karena praktis semua steroida tumbuhan
berupa alkohol seringkali disebut “sterol”. Sterol adalah triterpen yang kerangka
dasarnya cincin siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu sterol dianggap sebagai
senyawa hormon kelamin, tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa tersebut ditemukan dalam jaringan tumbuhan (Harbone, 1987; Robinson, 1995).
5. Saponin
Saponin berasal dari bahasa Latin yaitu “Sapo” yang berarti sabun dan
sifatnya menyerupai sabun. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat
dan menimbulkan busa, jika dikocok dengan air. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba. Dikenal dua jenis saponin, yaitu glikosida triterpenoida dan glikosida
6. Tanin
Tanin merupakan senyawa yang terdapat dalam tumbuhan dan tersebar luas, memiliki gugus fenol, memiliki rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak
kulit. Tanin dikelompokkan menjadi dua secara kimia yaitu tanin kondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal. Tanin terhidrolisis
mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika di didihkan dalam asam klorida encer (Robinson, 1995).
Pelarut Etanol
Etanol adalah cairan tak berwarna yang mudah menguap dengan aroma yang
khas. Ia terbakar tanpa asap dengan lidah api berwarna biru yang kadang-kadang tidak dapat terlihat pada cahaya biasa. Sifat-sifat fisika etanol utamanya dipengaruhi oleh keberadaan gugus hidroksil dan pendeknya rantai karbon etanol. Gugus hidroksil
dapat berpartisipasi ke dalam ikatan hidrogen, sehingga membuatnya cair dan lebih sulit menguap dari pada senyawa organik lainnya dengan massa molekul yang sama.
Etanol merupakan pelarut yang serbaguna, larut dalam air dan pelarut organik lainnya, meliputi asam asetat, aseton, benzena, karbon tetraklorida, kloroform, dietil eter, etilen glikol, gliserol, nitrometana, piridina, dan toluena. Ia juga larut dalam
hidrokarbon alifatik yang ringan, seperti pentana dan heksana, dan juga larut dalam senyawa klorida alifatik seperti trikloroetana dan tetrakloroetilena. Pada ekstraksi
kepolaritasan), titik didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar dan pengaruh
terhadap peralatan ekstraksi (Gamse, 2002).
Secara umum pelarut yang sering digunakan adalah etanol karena etanol
mempunyai polaritas yang tinggi sehingga dapat mengekstraksi bahan lebih banyak dibandingkan jenis pelarut organik yang lain. Pelarut yang mempunyai gugus karboksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk dalam pelarut polar. Etanol
mempunyai titik didih yang rendah dan cenderung aman. Etanol juga tidak beracun dan berbahaya. Kelemahan penggunaan pelarut etanol adalah etanol larut dalam air,
dan juga melarutkan komponen lain seperti karbohidrat, resin dan gum. Larutnya komponen ini mengakibatkan berkurangnya tingkat kemurniannya. Keuntungan
menggunakan pelarut etanol dibandingkan dengan aseton yaitu etanol mempunyai kepolaran lebih tinggi sehingga mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak, karbohidrat, dan senyawa organik lainnya. Penggolongan mutu
etanol dibagi menjadi 4 golongan yaitu: (1) etanol industri, (2) spiritus, (3) etanol murni, dan (4) etanol absolut (Paturau, 1982).
Radikal Bebas
Radikal bebas adalah setiap molekul yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas sangat reaktif dan dengan mudah
menjurus ke reaksi yang tidak terkontrol menghasilkan ikatan silang dengan DNA, protein, lipida, atau kerusakan oksidatif pada gugus fungsional yang penting pada
aterosklerosis, jantung koroner, katarak dan penyakit degeneratif lainnya (Silalahi,
2006). Radikal bebas dapat terbentuk dalam tubuh atau masuk melalui pernafasan, kondisi lingkungan yang tidak sehat dan makanan berlemak (Kumalaningsih, 2006).
Secara teoritis radikal bebas dapat terbentuk bila terjadi pemisahan ikatan kovalen. Radikal bebas dianggap berbahaya karena menjadi sangat reaktif dalam upaya mendapatkan pasangan elektronnya, dapat pula terbentuk radikal bebas baru
dari atom atau molekul yang elektronnya terambil untuk berpasangan dengan radikal bebas sebelumnya. Oleh karena sifatnya yang sangat reaktif dan gerakannya yang
tidak beraturan, maka apabila terjadi di dalam tubuh makhluk hidup akan menimbulkan kerusakan di berbagai bagian sel (Muhilal, 1991; Aruoma, 1994).
Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul akan berlangsung sepanjang hidup. Radikal bebas yang sangat berbahaya dalam makhluk hidup antara lain adalah golongan hidroksil (OH-), superoksida (O-2), nitrogen
monooksida (NO), peroksidal (RO-2), peroksinitrit (ONOO-), asam hipoklorit (HOCl) dan hidrogen peroksida (H2O2) (Silalahi, 2006).
Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang dalam kadar rendah mampu menghambat laju oksidasi molekul target atau senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat
memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih, 2006). Antioksidan juga dapat
telah teroksidasi dengan cara menyumbangkan hidrogen dan atau elektron (Silalahi,
2006). Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas dengan cara mendonorkan satu atom protonnya sehingga membuat radikal bebas
stabil dan tidak reaktif (Lusiana, 2010).
Berdasarkan sumbernya, secara umum antioksidan digolongkan dalam dua jenis, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Contoh antioksidan sintetik
yang sering digunakan masyarakat antara lain butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tert-butylhydroquinone (TBHQ) dan α-tocopherol
(Irianti, 2008). Keuntungan menggunakan antioksidan sintetik adalah aktivitas anti radikalnya yang sangat kuat, namun antioksidan sintetik BHA dan BHT berpotensi
karsinogenik. Untuk itu pencarian sumber antioksidan alami sangat dibutuhkan untuk menggantikan peran antioksidan sintetik. Antioksidan alami adalah antioksidan yang merupakan hasil ekstraksi dari bahan alami. Sayur-sayuran dan buah-buahan kaya
akan zat gizi (vitamin, mineral, serat pangan) serta berbagai kelompok zat bioaktif lain yang disebut zat fitokimia (Silalahi, 2006).
Irianti (2008) juga menyatakan bahwa antioksidan alami sebenarnya sudah sejak dahulu digunakan secara turun temurun, namun belum banyak diteliti aktivitas dan kandungan bioaktifnya. Misalnya saja daun gaharu (A. malaccensis Lamk.) yang
sudah dimanfaatkan tetapi belum begitu populer karena kurangnya informasi tentang kandungan senyawa-senyawa kimia dan kandungan bioaktifnya.
ada di sekitar, sebagai antibiotik dan juga sebagai antioksidan (Atmoko dan Ma’ruf,
Keterangan : 4M : daun muda dari pohon yang berumur 4 tahun 4T : daun tua dari pohon yang berumur 4 tahun 7M : daun muda dari pohon yang berumur 7 tahun 7T : daun tua dari pohon yang berumur 7 tahun + : Terdeteksi mengandung senyawa
- : Tidak terdeteksi mengandung senyawa
Sumber : Skrining Fitokimia dan Aktivitas antiradikal bebas ekstrak metanol daun gaharu (Mega dan Swastini, 2010)
Dari Tabel 1 diperoleh bahwa simplisia dan ekstrak metanol positif memiliki
senyawa glikosida, steroid/triterpenoid, flavonoid dan tanin. Perbedaan dapat dilihat pada saponin, dimana pada simplisia saponin tidak terdeteksi sedangkan pada ekstrak
metanolnya positif mengandung saponin hal ini dikarenakan pelarut metanol bersifat semipolar yang dapat menarik analit yang bersifat polar dan nonpolar sehingga saponin akan cenderung tertarik oleh pelarut semi polar.
Antioksidan Alami
Antioksidan alami adalah antioksidan yang merupakan hasil ekstraksi dari
serat pangan) serta berbagai kelompok zat bioaktif lain yang disebut zat fitokimia. Zat
bioaktif ini bekerja secara sinergistik, meliputi mekanisme enzim detoksifikasi, peningkatan sistem kekebalan, pengurangan agregasi platelet, pengaturan sintesis
kolesterol dan metabolisme hormon, penurunan tekanan darah, antioksidan, antibakteri serta efek antivirus (Silalahi, 2006).
Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau
polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin dan tokoferol. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi
flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavanon dan kalkon. Senyawa antioksidan alami polifenolik dapat bereaksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkelat
logam dan peredam terbentuknya singlet oksigen (Kumalaningsih, 2006). Antioksidan atau reduktor berfungsi untuk mencegah terjadinya oksidasi atau menetralkan senyawa yang telah teroksidasi dengan cara menyumbangkan hidrogen
dan atau elektron (Silalahi, 2006).
Tanaman yang berkhasiat sebagai antioksidan menurut Hernani dan Rahardjo
(2006), dikelompokkan atas 4 golongan yaitu: 1. Kelompok tanaman sayuran
Brokoli, kubis, lobak, wortel, tomat, bayam, cabai, buncis, pare dan mentimun.
2. Kelompok tanaman buah
Anggur, alpukat, jeruk, semangka, markisa, apel, belimbing, pepaya dan kelapa.
3. Kelompok tanaman rempah
4. Kelompok tanaman lain
Teh, ubi jalar, kedelai, kentang, labu kuning dan petai cina.
Dari segi kimia, komponen yang dikandung oleh sumber-sumber antibiotik
tersebut di atas adalah: a. Sejenis polifenol
Polifenol merupakan senyawa turunan fenol yang mempunyai aktivitas
sebagai antioksidan. Antioksidan fenolik biasanya digunakan untuk mencegah kerusakan akibat reaksi oksidasi pada makanan, kosmetik, farmasi, dan plastik.
Fungsi polifenol sebagai penangkap dan pengikat radikal bebas dari rusaknya ion-ion logam. Senyawa polifenol banyak ditemukan pada buah, sayuran, kacang-kacangan,
teh dan anggur (Hernani dan Rahardjo, 2006).
b. Bioflavonoid (flavon, flavonol, flavanon, katekin, antosianida, isoflavon) Kelompok ini terdiri dari kumpulan senyawa polifenol dengan aktivitas
antioksidan cukup tinggi. Senyawa flavonoid mempunyai ikatan gula yang disebut sebagai glikosida. Senyawa induk atau senyawa utamanya disebut aglikon yang
berikatan dengan berbagai gula dan sangat mudah terhidrolisis atau mudah terlepas dari gugus gulanya. Di samping itu senyawa ini mempunyai sifat antibakteri dan antiviral (Hernani dan Rahardjo, 2006).
c. Vitamin C
Vitamin C mempunyai efek multifungsi, tergantung pada kondisinya. Vitamin
C dalam darah dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti: asma, kanker, diabetes,
dan penyakit hati. Selain daripada itu vitamin C dapat memperkecil terbentuknya penyakit katarak dan penyakit mata (Hernani dan Rahardjo, 2006).
d. Vitamin E
Vitamin E merupakan antioksidan yang cukup kuat dan memproteksi sel-sel membran serta LDL (Low Density Lipoprotein) kolesterol dari kerusakan radikal
bebas. Vitamin E dapat juga membantu memperlambat proses penuaan pada arteri dan melindungi tubuh dari kerusakan sel-sel yang akan menyebabkan penyakit
kanker, penyakit hati dan katarak. Vitamin E dapat bekerja sama dengan antioksidan lain seperti vitamin C untuk mencegah penyakit-penyakit kronik lainnya, namun
dalam mengkonsumsi vitamin ini dianjurkan jangan terlalu berlebihan karena akan menekan vitamin A yang masuk ke dalam tubuh (Hernani dan Rahardjo, 2006).
e. Karotenoid
Beta karotein adalah salah satu dari kelompok senyawa yang disebut karotenoid. Dalam tubuh senyawa ini akan dikonversi menjadi vitamin A.
Kekurangan beta-karotein dapat menyebabkan tubuh terserang kanker servik. Kanker ini banyak menyerang kaum wanita yang mempunyai kadar beta-karotein, vitamin E dan vitamin C rendah dalam darah. Untuk kaum laki-laki vitamin E sangat efektif
mencegah penyakit kanker prostat. Golongan senyawa karotenoid antara lain: alfa-karotein, lutin dan likopen (Hernani dan Rahardjo, 2006).
f. Katekin
Epigallokatekin merupakan katekin yang sangat penting dari teh hijau karena
mempunyai daya antioksidan yang cukup tinggi, serta berperan dalam pencegahan penyakit jantung dan kanker. Dalam daun kering, teh hijau terdapat sekitar 30-50 mg
flavonoid (Hernani dan Rahardjo, 2006).
Menurut keterangan di atas maka dapat dinyatakan bahwa kelompok antioksidan dari bioflavonoid (flavon, flavonol, flavanon, katekin, antosianida,
isoflavon) merupakan senyawa dengan aktivitas antioksidan yang cukup tinggi. Senyawa flavonoid diduga dimiliki daun gaharu (A. malaccensis Lamk.) sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai obat karena diduga memiliki antioksidan yang berperan dalam menekan radikal bebas dalam tubuh manusia.
Pengujian Aktivitas Antioksidan
Aktivitas antioksidan suatu senyawa dapat diukur dari kemampuannya dalam menangkap radikal bebas. Metode untuk menentukan aktivitas antioksidan ada
beberapa cara, akan tetapi metode pengukuran antioksidan yang sederhana, cepat dan tidak membutuhkan uji lainnya (santin, oksidase, metode tiosianat, antioksidan total)
adalah metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). Goldschmidt dan Renn pada tahun 1922 menemukan senyawa berwarna ungu radikal bebas stabil DPPH, yang sekarang digunakan sebagai reagen kolorimetri untuk proses redoks. Metode DPPH
merupakan suatu metode yang cepat, sederhana, dan murah yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan. Metode
DPPH merupakan singkatan untuk senyawa kimia 1,1-
diphenyl-2-picrylhydrazil. DPPH berupa serbuk berwarna ungu gelap yang terdiri dari molekul radikal bebas yang stabil. DPPH mempunyai berat molekul 394,32 dengan rumus
bangun C18H12N5O6. Penyimpanannya dalam wadah tertutup baik pada suhu -20°C (Molyneux, 2004). Prinsipnya adalah elektron ganjil pada molekul DPPH memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang tertentu, berwarna ungu.
Warna akan berubah dari ungu menjadi kuning lemah apabila elektron ganjil tersebut berpasangan dengan atom hidrogen yang disumbangkan senyawa antioksidan.
Perubahan warna ini berdasarkan reaksi kesetimbangan kimia (Prakash, 2001).
DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering
digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH, akan menetralkan radikal bebas dari DPPH dan
membentuk DPPH tereduksi. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan, maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang.
Perubahan ini dapat diukur sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang ditangkap oleh molekul DPPH akibat adanya zat reduktor (Molyneux, 2004).
Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah harga
Inhibition Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat
berpotensi sebagai zat antioksidan. Dikatakan mempunyai aktivitas antioksidan