1. Konsep hospitalisasi
Konsep hospitalisasi meliputi definisi hospitalisasi, stresor dan reaksi anak terhadap hospitalisasi, dan dampak hospitalisasi.
1.1 Definisi hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan suatu keadaan krisis pada anak saat sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk
beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stresor bagi anak dan keluarganya (Wong, 2009).
Hospitalisasi adalah suatu keadaan tertentu atau darurat yang mengharuskan seorang anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi perawatan sampai pemulangannya ke rumah (Supartini, 2004).
1.2. Stresor dan reaksi anak terhadap hospitalisasi
Penyakit dan hospitalisasi seringkali menjadi krisis pertama yang harus
dihadapi anak-anak. Mereka sangat rentan terhadap krisis penyakit dan hospitalisasi karena stres akibat perubahan dari kesehatan sehat biasa dan lingkungan, dan keterbatasan jumlah mekanisme koping yang dimiliki anak dalam
1.2.1. Cemas karena perpisahan
Sebagian besar stres yang terjadi pada bayi di usia pertengahan sampai
anak periode prasekolah adalah cemas karena perpisahan. Adapun respon perilaku anak akibat perpisahan menurut (Hockenberry & Wilson 2013) dibagi dalam tiga
tahap, antara lain: tahap protes, tahap putus asa, dan tahap pelepasan. a. Tahap protes
Pada tahap ini anak-anak bereaksi secara agresif terhadap perpisahan
dengan orangtua. Mereka menangis dan berteriak memanggil orangtua mereka, menolak perhatian dari orang lain, dan kedukaan mereka tidak dapat
ditenangkan. Perilaku yang diobservasi selama masa bayi akhir seperti: menangis, berteriak, mencari orangtua dengan mata, memegang orangtua dengan
erat, dan menghindari kontak mata dengan orang asing. Sedangkan untuk masa toodler, perilaku yang dapat diobservasi seperti: menyerang orang asing dengan verbal, menyerang orang asing dengan fisik, mencoba kabur untuk mencari
orangtua, dan mencoba menahan orangtua untuk tetap tinggal. Perilaku-perilaku tersebut dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari. Protes
seperti menangis, dapat berlangsung hanya berhenti bila lelah dan pendekatan orang asing dapat mencetuskan peningkatan stres.
b. Tahap putus asa
Selama tahap ini tangisan berhenti dan muncul depresi. Anak tersebut menjadi begitu aktif, tidak tertarik bermain atau terhadap makanan, dan menarik
tidak komunikatif, mundur ke perilaku awal (mengompol, mengisap ibu jari, menggunakan dot dan botol). Lamanya perilaku tersebut berlangsung secara
bervariasi. Kondisi fisik anak dapat semakin memburuk karena menolak untuk makan, minum, atau bergerak.
c. Tahap pelepasan
Tahap ini disebut juga tahap penyangkalan. Anak akhirnya menyesuaikan diri dengan lingkungan. Anak menjadi lebih tertarik dengan lingkungan sekitar,
bermain dengan orang lain, dan tampak membina hubungan baru dengan orang lain. Perilaku yang dapat diobservasi seperti: menunjukkan peningkatan minat
terhadap lingkungan sekitar, berinteraksi dengan orang asing atau pemberi asuhan yang dikenalnya, membentuk hubungan baru namun dangkal, dan tampak
bahagia. Pelepasan biasanya terjadi setelah perpisahan yang terlalu lama dengan orangtua dan jarang terlihat pada anak-anak yang menjalani hospitalisasi. Perilaku tersebut mewakili penyesuaian terhadap kehilangan.
1.2.2. Kehilangan Kendali
Salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah stres akibat hospitalisasi
adalah jumlah kendali yang orang tersebut rasakan. Kurangnya kendali akan meningkatkan persepsi ancaman dan dapat mempengaruhi keterampilan koping anak-anak. Banyak situasi rumah sakit yang menurunkan jumlah kendali yang
dirasakan anak. Meskipun stimulasi sensorik yang biasanya berkurang, namun stimulus rumah sakit lainnya seperti: cahaya, suara, dan bau dapat berlebihan.
perkembangan dan yang lebih buruk membatasinya secara permanen. Karena kebutuhan anak-anak sangat bervariasi yang bergantung pada usia mereka maka
area utama mengenai kehilangan kendali dalam hal pembatasan fisik, perubahan rutinitas, dan ketergantungan didiskusikan berdasarkan setiap kelompok usia.
1.2.3 Cedera Tubuh dan Nyeri
Takut akan cedera pada tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anak-anak. Berdasarkan hasil pengamatan, bila dilakukan pemeriksaan telinga, mulut, atau
suhu pada anak akan membuat anak menjadi sangat cemas. Reaksi anak terhadap tindakan yang tidak menyakitkan sama seperti reaksi terhadap tindakan yang
sangat menyakitkan.
Reaksi balita terhadap rasa nyeri sama seperti sewaktu masih bayi. Anak
akan bereaksi terhadap rasa nyeri dengan menyeringaikan wajah, menangis, mengatupkan gigi, menggigit bibir, membuka mata dengan lebar, atau melakukan tindakan agresif.
Pada akhir periode balita, anak biasanya sudah mampu mengkomunikasikan rasa nyeri yang mereka alami dan menunjukkan lokasi nyeri.
Namun demikian, kemampuan mereka dalam menggambarkan bentuk dan intensitas dari nyeri belum berkembang.
1.3. Stresor dan reaksi keluarga terhadap anak yang dihospitalisasi 1.3.1. Reaksi orangtua
tidak percaya, terutama jika penyakit tersebut muncul tiba-tiba dan serius. Setelah realisasi penyakit, orangtua bereaksi marah atau merasa bersalah ataupun
kedua-duanya. Mereka dapat menyalahkan diri mereka sendiri atas penyakit anak tersebut seringan apapun atau marah kepada orang lain karena beberapa
kesalahan. Takut, cemas, dan frustasi juga merupakan perasaan yang banyak diungkapkan oleh orangtua. Seringkali kecemasan yang paling besar berkaitan dengan keseriusan penyakit dan jenis prosedur medis yang dilakukan pada anak.
Perasaan frustasi sering berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur dan pengobatan, ketidaktahuan tentang aturan dan peraturan rumah sakit,
rasa tidak diterima oleh petugas, atau takut mengajukan pertanyaan. Frustasi yang dirasakan orangtua dapat dikurangi jika orangtua mengetahui apa yang akan
terjadi dan apa yang diharapkan dari mereka, dianjurkan untuk berpartisipasi dalam perawatan anak, dan dianggap sebagai kontributor paling utama terhadap kesehatan anak. Orangtua akhirnya dapat bereaksi dengan beberapa tingkat
depresi. Depresi biasanya terjadi karena krisis akut sudah berlalu, seperti setelah pemulangan atau pemulihan yang sempurna. Orangtua dapat juga merasa khawatir
dan merindukan anak-anak mereka yang lain, yang mungkin ditinggalkan dalam perawatan keluarga, teman, atau tetangga.
1.3.2. Reaksi saudara kandung (sibling)
Reaksi saudara kandung terhadap anak yang menjalani hospitalisasi mengalami: kesepian, ketakutan, khawatir, marah, benci, iri, dan merasa bersalah.
1.3.3. Perubahan peran keluarga
Kehilangan peran orangtua, saudara kandung (sibling), dan peran
keturunan dapat mempengaruhi setiap anggota keluarga dengan cara yang berbeda. Salah satu reaksi orangtua yang paling banyak terjadi adalah perhatian
khusus dan intensif terhadap anak yang sedang sakit. Anak-anak yang lain biasanya mengganggap hal ini sebagai suatu yang tidak adil dan menginterpretasikan sikap orangtua terhadap mereka sebagai penolakan. Anak
yang sakit juga dapat merasa iri dan kesal dengan saudaranya. Karena posisi mereka istimewa dalam keluarga, mereka bisa saja menyangkal kehadiran
saudaranya.
1.4. Dampak hospitalisasi
Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang terjadi pada anak. Ketika anak dirawat di rumah sakit, mereka akan mudah mengalami stres
akibat adanya perubahan dari segi status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan mereka sehari-hari dan disebabkan juga karena anak memiliki
keterbatasan koping dalam mengatasi masalah yang bersifat menekan. Anak juga akan mengalami gangguan emosional dan gangguan perkembangan saat menjalani hospitalisasi (Utami, 2014).
2. Konsep atraumatic care
2.1. Definisi atraumatic care
Atraumatic care adalah asuhan yang tidak menimbulkan trauma pada anak dan keluarganya karena bertujuan sebagai terapi pada anak. Setiap tindakan di rumah sakit yang dilakukan pada anak akan menimbulkan trauma, rasa nyeri,
marah, cemas, dan takut pada anak. Kenyataannya, sampai saat ini belum ada teknologi yang dapat mengatasi masalah yang timbul sebagai dampak perawatan tersebut. Inilah yang menjadi dasar pemikiran pentingnya atraumatic care dilaksanakan oleh setiap petugas kesehatan terutama perawat anak (Supartini, 2004). Perawat anak harus selalu waspada dalam menyadari situasi tersebut dan
memberikan perawatan yang mencegah atau mengurangi cedera fisik dan psikologis (Potts & Mandleco, 2012). Perawat juga harus mampu
mengidentifikasi setiap stresor pada anak (Kyle & Carman 2013).
Atraumatic care didefinisikan juga sebagai penyediaan asuhan terapeutik dalam lingkungan, oleh personal, dan melalui penggunaan intervensi yang
menghapuskan atau memperkecil distres psikologis dan fisik yang diderita oleh anak-anak dan keluarga mereka dalam sistem pelayanan kesehatan. Adapun dalam
ruang lingkup lingkungan mengacu pada setiap tempat yang memberikan perlindungan seperti di rumah, rumah sakit, atau di setiap tempat pemberian pelayanan kesehatan. Personal meliputi orang secara langsung terlibat dalam
memberikan asuhan terapeutik. Intervensi berkisar dari pendekatan psikologis, seperti menyiapkan anak-anak untuk prosedur pemeriksaan, sampai pada
kemarahan, kekecewaan, kesedihan, malu, atau rasa bersalah. Distres fisik dapat berkisar dari kesulitan tidur dan imobilisasi sampai pengalaman stimulus sensori
yang mengganggu seperti rasa sakit, temperatur ekstrim, bunyi keras, cahaya yang menyilaukan atau kegelapan (Wong, 2009).
2.2. Prinsip atraumatic care
Tujuan utama dalam atraumatic care ini adalah jangan melukai. Tiga prinsip yang memberikan kerangka kerja untuk mencapai tujuan ini adalah (1) mencegah atau meminimalkan stresor fisik, termasuk nyeri, ketidaknyamanan dan
imobilitas, deprivasi tidur, ketidakmampuan makan dan minum serta perubahan eliminasi, (2) Mmencegah atau meminimalkan dampak perpisahan anak dari
orangtua (3) mempromosikan rasa kendali (Kyle & Carman 2013). 2.2.1. Mencegah atau meminimalkan stresor fisik
Fasilitas pelayanan kesehatan atau rumah sakit merupakan lingkungan
yang asing bagi anak-anak dan orangtua yang dapat menimbulkan mungkin marah
atau mengintimidasi mereka. Mereka mungkin merasa cemas, takut, tidak
berdaya, marah, atau kehilangan kontrol. Bahkan prosedur perawatan kesehatan
yang dilakukan di rumah atau sekolah mungkin dianggap mengancam untuk
anak-anak. Untuk mencegah dan meminimalkan stres fisik yang dialami oleh anak-anak
dan keluarga mereka dalam kaitannya untuk perawatan kesehatan, perawat anak,
spesialis kehidupan anak, dan profesional kesehatan lainnya merekomendasikan
Contoh intervensi yang dilakukan perawat anak dengan menggunakan
atraumatic care dalam hal ini adalah: mempersiapkan anak-anak untuk rawat
inap, persiapan nonmedis untuk tes, operasi, memberi dukungan selama prosedur
medis untuk menghindari rasa menyakitkan dan membosankan seperti saat
menyuntik dan katerisasi, dan mengontrol rasa nyeri dengan melakukan penilaian
secara sering dan menggunakan intervensi farmakologi maupun nonfarmakologi.
2.2.2. Mencegah atau meminimalkan perpisahan anak dari orangtua
Perawatan berpusat pada keluarga melibatkan kemitraan antara anak,
penyedia keluarga, dan perawatan kesehatan dalam perencanaan, memberikan,
dan mengevaluasi perawatan. Perawatan yang berpusat pada keluarga akan
meningkatkan orangtua dan keyakinan pengasuh dalam keterampilan mereka
sendiri dan juga mempersiapkan anak-anak dan orang dewasa muda untuk
memikul tanggung jawab untuk mereka sendiri perawatan kesehatan kebutuhan.
Hal ini didasarkan pada konsep bahwa keluarga adalah konstan dalam kehidupan
anak dan sumber utama kekuatan dan dukungan untuk anak. Hal yang dapat
dilakukan perawat dalam menunjang prinsip ini adalah mengizinkan pengasuh
ataupun keluarga terlibat hadir secara fisik bersama anak untuk memberikan
dukungan dan rasa nyaman bagi anak.
2.2.3. Mempromosikan rasa kendali
Selama masa sakit, rawat inap, atau intervensi yang berhubungan dengan
kesehatan, anak dan keluarga dapat mengalami rasa ekstrim kehilangan kontrol.
Menyediakan komunikasi dan pengajaran yang efektif dapat membantu perasaan
Membantu keluarga untuk memperoleh informasi yang diperlukan, sumber daya,
dan hubungan kontribusi untuk kesehatan yang optimal untuk anak dan keluarga
Komunikasi dan pengajaran keterampilan yang digunakan terus menerus dalam
keperawatan anak.
Supartini (2004) menyatakan bahwa ada empat prinsip yang dapat dilakukan perawat dalam atraumatic care, yaitu menurunkan atau mencegah dampak perpisahan keluarga, meningkatkan kemampuan orangtua dalam
mengontrol perawatan pada anak, mencegah dan menurunkan cedera baik fisik maupun psikologis, dan modifikasi lingkungan fisik.
2.2.1. Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan keluarga
Dampak perpisahan dari keluarga, anak mengalami gangguan psikologis
seperti kecemasan, ketakutan, kurangnya kasih sayang gangguan ini akan menghambat proses penyembuhan anak dan dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini dapat dilakukan dengan metode rooming in, yakni orangtua dapat tinggal bersama anak selama di rumah sakit.
2.2.2. Meningkatkan kemampuan orangtua dalam mengontrol perawatan
pada anak
Melalui peningkatan kontrol orangtua pada diri anak diharapkan anak mampu mandiri dalam kehidupannya. Anak akan selalu berhati-hati dalam
melakukan aktivitas sehari-hari, selalu bersikap waspada dalam segala hal serta pendidikan terhadap kemampuan dan keterampilan orangtua dalam mengawasi
2.2.3. Mencegah dan menurunkan cedera baik fisik maupun psikologis Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam
keperawatan anak. Proses pengurangan rasa nyeri sering tidak bisa dihilangkan secara cepat akan tetapi dapat dikurangi melalui berbagai teknik, yaitu: distraksi,
relaksasi, dan imaginari. Apabila tindakan pencegahan tidak dilakukan maka cedera dan nyeri akan berlangsung pada anak, sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak dapat terganggu.
2.2.4. Modifikasi lingkungan fisik
Melalui modifikasi lingkungan fisik bernuansa anak dapat meningkatkan
keceriaan, perasaan aman, dan nyaman bagi lingkungan anak. Contohnya seperti menata dan mendekor ruang rawat seperti di rumah, yakni menggunakan alat
tenun, tirai dan hiasan dinding bergambar bunga atau binatang lucu, dinding yang dicat berwarna-warni atau cerah.
2.3. Karakteristik penting bagi perawat dalam merawat anak
Dari hasil penelitian Brady (2009) terdapat 5 karakteristik penting bagi
perawat yang baik dalam merawat anak yang didapatkan dari perspektif anak yang menjalani hospitalisasi yang berguna mengurangi trauma, stres, dan memfasilitasi penyediaan perawatan yang memenuhi kebutuhan anak di rumah sakit. Lima
2.3.1. Komunikasi
Komunikasi adalah komponen utama dalam atribut perawat yang baik
dalam merawat anak. Anak–anak menginginkan perawat berkomunikasi dengan mereka menggunakan istilah sayang, seperti: “Kamu benar sayang. Semoga kamu
cepat sembuh”. Bentuk komunikasi seperti ini membuat pasien anak merasa spesial dan tidak takut bertemu dengan perawat. Anak- anak sensitif dengan nada dan bahasa tubuh perawat. Banyak dari mereka yang menyatakan bahwa perawat
yang baik tidak perlu berteriak, marah dan tidak mendengarkan mereka serta menghabiskan banyak waktu dengan mereka selama menjalani hospitalisasi.
Mereka menginginkan perawat yang selalu mau mendengarkan mereka, menghabiskan banyak waktu dengan mereka, berbicara dengan lembut, sabar dan
ceria.
2.3.2. Kompetensi Profesional
Perawat yang baik diharapkan menunjukkan pengetahuan profesional dan
keterampilan mereka selama merawat anak dirumah sakit, meskipun anak-anak sendiri tidak mengetahui kompetensi tersebut. Anak-anak mengharapkan perawat
harus mampu melakukan keterampilan tertentu, menguasainya dan segera melakukannya dengan tidak membahayakan mereka. Contohnya saat perawat memberikan obat dengan perlahan kepada pasien anak dan memperhatikan apakah
anak merasakan nyeri atau tidak. 2.3.3. Keamanan
melakukan asuhan keperawatan dengan benar. Ketika perawat datang untuk melakukan asuhan keperawatan, mereka siap dengan peralatan yang sesuai,
merawat dengan sadar dan berkonsentrasi dengan pekerjaan mereka.
Perawat yang baik juga harus selalu bersih dan rapi karena perawat
menjadi role model untuk kesehatan bagi pasien ataupun keluarga. Anak-anak juga akan memperhatikan bagaimana kebersihan wajah, rambut, dan pakaian perawat. Penekanan pada keamanan adalah bagian integral kompetensi dan
tampak lebih jelas dalam kaitannya dengan kesadaran akan kemungkinan infeksi dan takut kontaminasi tertentu, setidaknya beberapa anak mungkin memiliki
tingkat kesadaran yang tinggi dari pengendalian infeksi dan kerentanan mereka sendiri terhadap infeksi dari petugas kesehatan.
2.3.4. Penampilan Profesional
Anak-anak mengharapkan perawat yang memakai seragam yang rapi, bersih, lemah-lembut, berpakaian layak dan tidak terlihat kuno. Perawat juga perlu
memperhatikan penampilan mereka selama di rumah sakit terutama saat merawat pasien anak-anak. Karena anak-anak sering takut dirawat di rumah sakit karena
mengingat pakaian petugas kesehatan yang bewarna putih-putih. 2.3.5. Kebajikan
Kebajikan dapat didefinisikan sebagai kecenderungan untuk merasakan
dan bertindak dengan cara tertentu, misalnya, adil, hormat atau berani. Karakteristik seperti jujur, mendengarkan, percaya, baik, membantu, lembut, baik,
kemudian perawat memberikan pujian kepada anak karena keberanian mereka. Perawat juga dapat membuat permainan sebelum melakukan tindakan kepada
anak agar mereka tidak terlalu cemas ataupun takut.
Perawat juga diharapkan memiliki kesopanan yang diberikan kepada
orangtua anak dan para pengunjung lain. Selama keluarga mengunjungi mereka, perawat juga harus bersahabat dan ramah kepada mereka.
2.4 Penatalaksanaan Nyeri
Penatalaksanaan nyeri yang efektif dilakukan secara profesional dengan melakukan sejumlah intervensi utnuk memperoleh hasil yang maksimal. Metode
mengurangi rasa nyeri dapat dibagi dalam 2 kategori yaitu, nonfarmakologi, dan farmakologi.
2.4.1 Penatalaksanaan nonfarmakologi
Nyeri sering dihubungkan dengan rasa takut, cemas, dan stres. Teknik nonfarmakologi dapat dilakukan dengan cara seperti distraksi/ pengalihan
(mengajak anak bermain, bercerita, menonton kartun, mengunakan humor, dan mengajak anak bernyanyi), relaksasi (napas dalam atau progresif),
menggambarkan imajinari, ransangan pada kulit, dan meningkatkan daya koping sehingga mampu mengurangi rasa penerimaan nyeri, membuat rasa nyeri lebih berkurang, mengurangi rasa cemas, dan meningkatkan efektifitas dari obat
analgesik dengan mengurangi dosis yang dianjurkan. Orangtua juga dilibatkan dalam proses pemilihan karena orangtua terbiasa dengan koping anak sehingga
mengurangi nyeri, instruksi dari strategi itu dapat berupa relaksasi dan bermain selama periode rasa nyaman.
2.4.2. Penatalaksanaan farmakologi
Metode penggunaan farmakologi untuk mengontrol rasa nyeri menyangkut empat hal, seperti benar obat, benar dosis, benar pemberian, dan benar waktu. Walaupun perawat tidak dapat memberikan intervensi terlalu jauh dalam hal pengobatan tapi dapat mendiskusikannya dengan dokter tentang
kemungkinan strategi untuk pemberian analgesik seperti golongan nonopioid (tilenol, paracetamol), golongan anti-inflamasi nonstreoid (NSAID) untuk nyeri
ringan sampai sedang atau gabungan dari kedua jenis analgesic tersebut yang tersedia seperti Tylenol dan kodein.
3. Studi fenomenologi
Fenomenologi adalah suatu ilmu yang bertujuan untuk menjelaskan
fenomena atau kejadian khusus, misalnya pengalaman hidup. Fokus utama dalam fenomenologi ini yang terjadi adalah pengalaman nyata yang terjadi dalam
masyarakat. Di dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya dengan orang-orang dalam situasi tertentu. Bentuk pengalaman yang dikaji adalah bagaimana pengalaman orang lain dan apa
maknanya bagi mereka (Saryono & Anggreini, 2010).
Untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya maka data
2012). (1) kredibilitas merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan, (2) transferabilitas digunakan untuk
memenuhi kriteria bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks tertentu dapat ditransfer ke subjek lain yang memiliki tipologi yang sama. Dengan kata
lain, apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang berbeda, (3) dependabilitas, digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang ditempuh selama penelitian, (4) konfirmabilitas, merupakan kriteria untuk menilai hasil
kualitas penelitian yang dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan
agar hasil lebih obyektif.
Menurut Lincoln & Guba (1985 dalam Polit & Beck, 2012) terdapat empat
kriteria untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya (trustworthiness), yaitu:
1. Credibility merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan.
Credibility termasuk validitas internal. Cara memperoleh tingkat kepercayaan yaitu:
a)Prolonged engangement, yaitu adanya hubungan relatif lama atau membina hubungan dalam waktu tertentu yang memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan, dan dapat menguji informasi dari
b)Persistent observation atau pengamatan yang berkesinambungan, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan
dengan persoalan yang sedang diteliti. Selain itu, peneliti dapat memperhatikan sesuatu secara lebih cermat, terinci, dan mendalam.
c) Triangulation (triangulasi), memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.
d)Peer debriefing yaitu membicarakan dengan orang lain dengan mengekspos hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat. Orang tersebut hendaknya tidak terlibat dalam penelitian,
agar pandangannya lebih netral atau objektif, akan tetapi harus mempunyai pengetahuan tentang pokok penelitian atau metode penelitian.
e) Mengadakan pengecekan anggota (member checking) yaitu pengujian untuk mengecek analisis yang dibuat peneliti kepada partisipan dengan kata lain informasi yang kita peroleh dan gunakan kita sesuaikan dengan apa yang
dimaksud oleh partisipan. Ini merupakan cara yang paling penting dengan tujuan agar partisipan bisa memperbaiki bila ada kekeliruan yang dibuat oleh peneliti
selama wawancara atau menambahkan hal yang masih kurang.
f) Analisis kasus negatif (negative case analysis) yaitu berusaha menghindari kasus yang tidak sesuai dengan hasil penelitian hingga saat tertentu.
g)Pengecekan atau kecukupan referensial (referencial adequacy checks). Sebagai bahan referensi untuk meningkatkan kepercayaan atas kebenaran data,
2. Transferability adalah kriteria yang digunakan untuk memenuhi bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks tertentu dapat ditransfer ke subyek
lain yang memiliki topologi yang sama. Transferability termasuk dalam validitas eksternal. Maksudnya adalah dimana hasil suatu penelitian dapat diaplikasikan
dalam situasi lain.
3. Dependability mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk dan menggunakan konsep-konsep ketika
membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak. Teknik
terbaik adalah dependability audit yaitu meminta dependen atau independen auditor untuk memeriksa aktifitas peneliti. Dependability menurut istilah konvensional disebut reliabilitas atau syarat bagi validitas.
4. Confirmability memfokuskan apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan
dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam