• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTIK KEPEMIMPINAN SOEHARTO DALAM PERS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PRAKTIK KEPEMIMPINAN SOEHARTO DALAM PERS"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

PRAKTIK KEPEMIMPINAN SOEHARTO DALAM

PERSPEKTIF PEMIKIRAN POLITIK TRADISIONALISME

JAWA

Tugas Makalah Kelompok

Mata Kuliah Pemikiran Politik Indonesia

Amalya Fitria Tjaja (NPM: 13...)

Cava Timotius Sedayu Bramono (NPM: 1306384353)

Larasati Ayuningrum (NPM: 13...)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Politik

(2)

i

(3)

ii

(4)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

Dalam konteks latar belakang tersebut, penulis merumuskan permasalahan utama dalam makalah ini adalah: bagaimana praktik kepemimpinan Soeharto dipandang melalui perspektif pemikiran politik tradisionalisme Jawa. Kaitan antara pemikiran politik tradisionalisme Jawa dengan praktik kepemimpinan Soeharto dalam makalah ini tidak dilihat sebagai suatu hubungan kausalitas dimana pemikiran politik tradisionalisme Jawa mempengaruhi praktik kepemimpinan Soeharto. Yang disajikan dalam makalah ini adalah analisis terhadap praktik kepemimpinan Soeharto berdasarkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang muncul dalam pemikiran politik tradisionalisme Jawa.

Praktik kepemimpinan Soeharto yang dibahas, dibatasi pada praktik kepemimpinan politik dalam negeri Soeharto sebagai presiden, lebih khusus lagi dalam hal memperoleh, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan kepresidenannya. Banyak kebijakan penting lain yang diambil Soeharto dan memiliki tendensi yang sangat dekat juga dengan pemikiran politik tradisionalisme Jawa, seperti kebijakan ekonomi politik dan politik internasionalnya tidak dibahas dalam makalah ini untuk memfokuskan argumen penulis pada aspek yang lebih spesifik.

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:

1. Sebagai penyelesaian tugas mata kuliah Pemikiran Politik Indonesia

2. Menjelaskan beberapa prinsip dan konsep dasar pemikiran politik tradisionalisme Jawa

(5)

2

D. Kerangka Teori

Menjelaskan secara sistematis konsep-konsep pemikiran politik tradisional Indonesia, dalam hal ini Jawa, merupakan pekerjaan yang cukup sulit akibat kekurangan yang terdapat pada kepustakaan klasik Indonesia sendiri yang tidak mengandung penjelasan tentang “teori politik”, berbeda dengan kepustakaan India dan Tionghoa, misalnya.1

Berikut ini adalah beberapa konsep yang dapat digunakan untuk nantinya menganalisis praktik kepemimpinan Soeharto.

1. Konsep Kekuasaan dan Cara Mendapat Kekuasaan dalam Pemikiran Politik Tradisionalisme Jawa 2

Pandangan tradisional Jawa mengenai konsep kekuasaan memiliki perbedaan yang cukup mendasar dengan konsep kekuasaan modern ala Eropa yang kita kenal secara umum dalam hal wujud kekuasaan, sumber kekuasaan, akumulasi (jumlah) kekuasaan, dan legitimasi moral kekuasaan. Sementara wujud kekuasaan berdasarkan perspektif Eropa Modern adalah abstrak sebagai suatu hubungan atau realitas sosial, dalam pemikiran tradisional Jawa, kekuasaan dianggap memiliki wujud yang konkrit. Sumber kekuasaan dalam konsep Eropa Modern bersifat heterogen, dapat berupa kekayaan, jabatan, status sosial, organisasi, senjata, dan lain-lain. Sebaliknya, dalam konsep tradisional Jawa sumber kekuasaan dan kekuasaan itu sendiri adalah hal yang homogen. Semua kekuasaan adalah sama dan berasal dari sumber yang sama. Dalam konsep Eropa Modern, akibat heterogenitas sumber kekuasaan, maka jumlah kekuasaan dapat terus berakumulasi tanpa terbatas sejalan dengan jumlah sumber kekuasaan yang juga terus bertambah. Begitu juga, akibat pandangan mengenai homogenitas sumber kekuasaan pada pemikiran tradisional Jawa, maka jumlah kekuasaan pun bersifat tetap, bertambahnya kekuasaan pada satu orang akan mengakibatkan berkurangnya kekuasaan orang lain. Yang terakhir, dalam pandangan Eropa Modern, kekuasaan bersifat ambigu dan dipertanyakan secara moral, sedangkan dalam pandangan tradisional Jawa, kekuasaan tidak memiliki implikasi moral yang inheren karena kekuasaan sudah ada bahkan sebelum adanya masalah baik dan buruk.

1Benedict R.O’G. Anderson, “

Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”, dalam Miriam Budiardjo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa , (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984), hlm. 44

(6)

3

Kekuasaan itu, dalam tradisi ortodoks Jawa, diperoleh melalui praktik-praktik yoga dan bertapa atau praktik matiraga yang sangat keras dalam berbagai bentuk termasuk berpuasa, bersemedi, tidak tidur, dan sebagainya. Sementara dalam tradisi heterodoks, kekuasaan justru diperoleh melalui mabuk-mabukan, pesta seks dan pembunuhan ritual. Selain itu berbagai cara lain seperti upacara-upacara simbolis atau usaha mengumpulkan benda atau orang yang dianggap mengandung kekuasaan juga dianggap sebagai usaha untuk mendapat kekuasaan. Namun semua cara tersebut pada intinya memiliki tujuan yang sama, yaitu pemusatan dan konsentrasi kekuasaan.

2. Konsep Dewa Raja, dan Konsep Makrokosmos-Mikrokosmos3

Salah satu asumsi yang penting dalam pemikiran tradisional Jawa adalah anggapan tentang hubungan antara alam Makrokosmos dan Mikrokosmos. Makrokosmos, atau

Bhuwana Agung merupakan keseluruhan jagat raya yang dikuasai oleh dewa-dewa yang memiliki pusat kedudukan di Meru. Sementara Mikrokosmos, atau Bhuwana Alit merupakan kerajaan sebagai wujud yang lebih kecil dari Makrokosmos, dan dikuasai oleh raja. Kekuasaan raja yang berkuasa di suatu kerajaan ditentukan oleh hubungan sinergi antara Makrokosmos dan Mikrokosmos yang akhirnya memberikan legalitas legitimasi kepada raja tersebut.

Karena itu, dalam kebudayaan tradisional Jawa, seperti juga yang ditemukan dalam berbagai kebudayaan di Asia Tenggara pada umumnya, menyamakan kedudukan seorang raja dengan dewa-dewa. Raja dianggap merupakan perwujudan dewa-dewa yang turun ke dunia. Konsep dewa raja ini berakar pada kebudayaan Hindu yang berkembang di Asia Tenggara.

3. Konsep Mandala

Konsep Mandala (lingkaran) mengacu kepada pemikiran tradisional Jawa mengenai pemetaan pengaruh kekuasaan. Konsep ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik pemikiran Jawa tradisional, yaitu orientasi yang sangat kuat kepada pusat (centripetality). Kekuasaan juga sangat dikaitkan dengan pemusatan dan kesatuan. Akhirnya, pemetaan pengaruh kekuasaan negara pun secara khas ditentukan, bukan oleh batas wilayahnya melainkan oleh pusatnya. Pengaruh kekuasaan itu berangsur-angsur melemah ketika menjauh dari pusat,

(7)

4

sehingga gambarannya menyerupai dengan mandala (lingkaran). Hal ini kontras berbeda dengan pandangan negara modern dimana batas-batas negara ditandai dengan tegas dan kekuasaan negara seimbang di semua wilayah dalam tapal batasnya.4

E. Metodologi dan Sistematika Penulisan

Penulisan makalah ini ditulis dengan pendekatan kualitatif karena sifatnya adalah menganalisis suatu gejala yang tidak dapat diukur, yaitu praktik kepemimpinan Soeharto dengan perspektif pemikiran politik tradisionalisme Jawa. Paradigma yang digunakan adalah paradigma interpretatif dan metode yang digunakan adalah melalui studi literatur dari sumber-sumber cetak maupun dari penelusuran internet.

Bab 1 makalah ini berupa pendahuluan yang mencakup hal-hal dasar yang menjelaskan permasalahan yang akan dibahas, juga kerangka teori mengenai konsep-konsep dasar pemikiran politik tradisionalisme Jawa. Bab 2 merupakan pokok pembahasan yang lebih mendalam mengenai pemikiran politik tradisionalisme Jawa dan analisis terhadap praktik kepemimpinan Soeharto berdasarkan perspektif pemikiran tersebut.Bab 3 merupakan penutup berupa kesimpulan makalah.

(8)

5

BAB 2

ANALISIS TERHADAP PRAKTIK KEPEMIMPINAN SOEHARTO

Analisis terhadap praktik kepemimpinan Soeharto dalam bab ini akan difokuskan pada dua topik utama yang cukup relevan dengan pemikiran politik Tradisional Jawa. Pertama, topik mengenai bagaimana Soeharto memperoleh kekuasaannya sebagai presiden dan mempertahankannya selama lebih dari 30 tahun. Kedua, gaya pemerintahan Soeharto yang otoriter dan bertentangan dengan demokrasi modern.

Usaha Meraih dan Mempertahankan Kekuasaan

Awal kenaikan Soeharto menjadi presiden dilatarbelakangi oleh peristiwa pemberontakan G30S tahun 1965, yang memperlemah posisi kekuasaan Sukarno sebagai presiden pada saat itu karena adanya kecurigaan dari beberapa pimpinan militer tentang keterlibatannya, dan berujung pada pencopotannya pada Maret 1967. Didukung oleh dominasi kekuatan militer dan hancurnya kekuatan orde lama, Soeharto yang menjabat presiden sementara segera melakukan konsolidasi kekuasaan, salah satunya dengan mengangkat orang-orang yang mendukungnya untuk mengisi jabatan-jabatan strategis.5

Peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto dapat dikaitkan dengan konsepsi tentang kekuasaan dalam kebudayaan Jawa. Dalam pemikiran tradisional Jawa, kekuasan bersifat konkrit dan jumlahnya selalu tetap di alam semesta. Maka, berkurangnya kekuasaan pada seseorang berarti bertambahnya kekuasaan pada orang lain, dan sebaliknya, seseorang bisa bertambah kekuasaannya ketika ada kekuasaan orang lain yang berkurang.6 Dalam kasus Soeharto, berkurangnya kekuasaan Sukarno diikuti dengan bertambahnya atau berpindahnya kekuasaan tersebut kepada Soeharto.

Salah satu bentuk konsolidasi kekuasaan Soekharto di masa awal kepemimpinannya dengan menempatkan orang-orang yang mendukungnya pada posisi-posisi strategis, khususnya dalam struktur militer, juga memiliki kemiripan dengan salah satu bentuk pencapaian kekuasaan dalam pemikiran tradisional Jawa. Menurut Anderson, dalam tradisi

5

David Jenkins, Soeharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975-1983, (Singapura: Equinox Publishing, 2010), hlm. 20.

(9)

6

Jawa penguasa harus mengumpulkan di sekeliling dirinya benda atau orang apapun yang dianggap mempunyai atau mengandung kekuasaan.7 Ide tentang orang-orang di sekeliling penguasa yang memperkuat posisi penguasa juga ditemukan dalam sebuah bagian dalam pustaka klasik Jawa, Kartawijoga, yang menggambarkan negara yang ideal dalam pandangan tradisional Jawa. “Ketentraman tidak pernah terusik, karena negara tidak pernah terancam serbuan musuh dari luar, dan tidak satu pun pembantu raja yang berkhianat.”8

Suasana stabilitas seperti itu jugalah yang ditekankan selama pemerintahan orde baru Soeharto.

Kesigapan Soeharto mengambil alih kekuasaan dan melakukan konsolidasi ketika kekuasaan Sukarno mulai melemah juga dapat dipandang sebagai tindakan yang didasarkan pada paradigma pemikiran tradisional Jawa. Dalam konsep kekuasaan Jawa, karena jumlah kekuasaan bersifat tetap dan sumbernya bersifat homogen, maka usaha untuk menghimpun kekuasaan menjadi masalah yang penting dan lebih pokok daripada masalah bagaimana menggunakan kekuasaan tersebut.9 Kesigapan Soeharto mengambil alih kekuasaan menunjukkan bahwa dia menganggap usaha memperoleh kekuasaan sebagai masalah yang amat penting. Mengenai masalah penggunaan kekuasaan, apakah Soeharto -sejalan dengan konsep pemikiran tradisional Jawa- menganggapnya tidak lebih penting daripada masalah bagaimana menghimpunnya, memerlukan kajian yang lebih dalam mengenai bagaimana Soeharto mengunakan kekuasaannya selama 32 tahun jabatan kepresidenannya.

Perhatian Soeharto akan pentingnya menghimpun dan mempertahankan kekuasaan tidak hanya terlihat pada awal kenaikannya menjadi presiden menggantikan Sukarno, melainkan juga dalam bagaimana Soeharto mempertahankan kekuasaannya selama lebih dari tiga dekade melalui berbagai rekayasa dalam pemilihan umum. Selain kondisi yang tidak ideal karena penggunaan sistem pemilu proporsional dengan sistem daftar, pelaksanaan pada tingkat operasional pemilu juga banyak mengalami penyimpangan. Panitia pelaksana pemilu dari tingkatan tertinggi sampai terendah tidak independen dan didominasi oleh aparat birokrasi yang notabene diharuskan mendukung Golkar -kendaraan politik Soeharto- atas dasar asas monoloyalitas. Selain itu rezim orde baru juga memberlakukan fusi partai politik menjadi hanya tiga partai politik, yaitu: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam kerangka pemikiran Jawa, sistem banyak partai, bersama dengan pembagian kekuasaan secara konstitusional dan

7 Anderson, Ibid., hlm.57.

8

Ki Reditanaja, “Negara Idaman”, dalam Herbert Feith dan Lance Castles (Ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 170.

(10)

7

federalisme memang dapat dianggap memperlemah kekuasaan.10 Selain fusi parpol, pemerintahan Soeharto juga mengeluarkan kebijakan “massa mengambang” untuk memperkuat tujuan memenangkan Golkar. Kebijakan ini tidak memperkenankan partai politik untuk melakukan aktivitas hinga tingkat desa. Sementara Golkar, karena tidak dianggap sebagai partai politik, dapat membangun kekuatannya hingga tingkat pedesaan. Pada akhirnya pemilu pada masa orde baru hanya bersifat formalitas politik untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto beserta rezimnya.11

Pemerintahan yang Otoriter dan Penolakan terhadap Demokrasi Barat

Ketika membaca beberapa literatur yang memuat prinsip-prinsip pemikiran tradisional Jawa, kesan penolakan terhadap demokrasi barat dan nilai-nilai yang berkaitan dengan demokrasi barat seperti kapitalisme dan individualisme, akan sangat terasa dan bahkan dalam beberapa tulisan diungkapkan secara eksplisit. Herbert Feith misalnya, melihat adanya kemiripan antara tradisi Jawa dengan nasionalisme radikal, yaitu keduanya sama-sama bersifat eklektik, sama menghormati negara kesatuan beserta pemimpinnya, dan sama-sama menolak individualisme dan kapitalisme.12

Penolakan terhadap demokrasi dan nilai-nilai yang berkaitan dengannya lebih gamblang lagi dituliskan oleh seorang bangsawan Jawa, R.M.S. Soeriokoesoemo dalam sebuah fragmen dalam artikel berbahasa Belanda yang berjudul “Sabdo Pandito Ratoe”

(Sabda Raja Bijaksana).13 Dalam tulisan itu, Soeriokoesoemo menentang persamaan hak dan persaingan bebas yang ditemukan dalam demokrasi karena hal-hal tersebut justru mengakibatkan berbagai ketidakadilan. Bagi Soeriokoesoemo, demokrasi adalah jalan yang berbahaya.

Sejalan dengan penolakan-penolakan tersebut, Soeharto sebagai presiden juga melakukan penolakan terhadap demokrasi barat dan memberlakukan sistem demokrasinya sendiri yang disebutnya Demokrasi Pancasila.14 Meskipun tetap menggunakan istilah

10 Anderson, Ibid., hlm. 70.

11Ikhsan Darmawan, Analisis Sistem Politik Indonesia, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2013), hlm. 50-58

12

Herbert Feith dan Castles, Lance (Ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 169.

13 R.M.S. Soeriokoesoemo, Hak Orang Bijaksana, dalam Herbert Feith dan Lance Castles (Ed.), Pemikiran

Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 173-179.

14

(11)

8

demokrasi, pada praktiknya Demokrasi Pancasila justru banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum demokrasi. Rezim orde baru yang dipimpin Soeharto justru bercirikan pemerintahan yang otoriter dan represif.15 Kekuasaan Soeharto bahkan membelenggu suara rakyat, serta mengecilkan peran berbagai lembaga demokrasi.16

Ada kemiripan antara kekuasaan Soeharto yang sentralistis dan mempersonal,17 dengan beberapa prinsip yang ditemukan dalam pemikiran tradisional Jawa. Gaya kepemimpinan yang sentralistis sangat umum ditemui dalam pemikiran politik tradisional Jawa karena sifat dari pemikiran ini sendiri sangat berorientasi pada pusat (centripetality).18 Soeriokoesoemo menggunakan analogi keluarga yang dianggapnya sebagai negara dalam ukuran kecil dimana sang ayah bertanggung jawab mengatur negara, sementara si ibu mengatur urusan ekonomi dan anak-anak mengerjakan pekerjaan sesuai perintah orang tuanya. Artinya, kekuasaan dalam negara memang harus diberikan pada “orang bijaksana” sebagai suatu pusat, yang juga dipilih oleh orang bijak dan bukan oleh rakyat.19

Selain gaya kepemimpinan yang sentralistis, gaya kepemimpinan yang mempersonal juga dapat ditemukan dalam pemikiran politik tradisional Jawa. Individu pemimpin menjadi sosok yang sangat dihormati dalam kebudayaan Jawa. Hal itu bisa dilihat misalnya dalam penggambaran negara idaman menurut Ki Reditanaja dimana sang raja yang bergelar Narasoma sangat dihormati rakyat dan negara-negara lain; “begitu terpuji dan murah hatinya Sri Paduka, hingga semalam suntuk pun tidak akan cukup untuk menceritakannya.”20

Soeriokoesoemo, Op.Cit., hlm. 175-178. Penulis melihat adanya kemiripan yang sangat jelas antara pemikiran ini dengan pemikiran Plato dalam buku The Republic yang juga dikenal sebagai perlawanan terhadap demokrasi.

(12)

9

BAB 4

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani-Knapp, Retnowati, 2007, Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President: an Authorised Biography, Marshall Cavendish.

Anderson, Benedict R.O’G., 1984, “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”,

dalam Miriam Budiardjo (Ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Darmawan, Ikhsan, 2013, Analisis Sistem Politik Indonesia, Bandung: Penerbit Alfabeta. Feith, Herbert dan Lance Castles (Ed.), 1988, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965,

Jakarta: LP3ES.

Jenkins, David, 2010, Soeharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975-1983,

Singapura: Equinox Publishing.

Ki Reditanaja, 1988, “Negara Idaman”, dalam Herbert Feith dan Lance Castles (Ed.),

Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: LP3ES.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penyusun tubuh manusia shampir sama seperti penyusun tubuh pada hewan yang terdiri atas beberapa sistem organ, yang setiap sistem organnya terdiri atas beberapa

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris adanya bias pengukuran umum dalam evaluasi kinerja BSC serta menguji balikan eksplanatori sebagai strategi mitigasi

pada diri dan lingkungan sekitarnya, tidak semua siswa mampu memaksimalkan kecerdasan emosionalnya sehingga dalam pembelajaran di kelas sering terdapat siswa yang kurang mampu

Secara klinik diperlihatkan dengan hiperglikemia berat yang mengakibatkan hiperosmolar dan dehidrasi, tidak ada ketosis/ada tapi ringan dan gangguan neurologis Hiperosmolar

Pada sisi lain, pihak kapitalis dalam hal ini adalah para tuan kebun melakukan negosiasi yang berkaitan dengan adanya pengakuan, dukungan, dan perlindungan dari

Secara amnya, jika dilihat purata min bagi setiap bahagian seperti dalam jadual 7, dapat digambarkan bahawa persepsi pelajar terhadap aktiviti kokurikulum berada dalam

Jadi keputusan hipotesis pertama yaitu Hᴏ diterima dan Hi ditola k karena t idak terdapat hubungan yang signifikan antara pelibatan orang tua dengan perencanaan