• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP GENDER TERHADAP PERAN PEREMPUAN D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP GENDER TERHADAP PERAN PEREMPUAN D"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP GENDER TERHADAP PERAN PEREMPUAN

DALAM BUDAYA JAWA

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah

Kajian Gender

Dosen Pengampu:

Fathonah K. Daud M.Phil

Oleh:

Sayyidah Nafisah NIM: 2013. 01.01.208

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR

SARANG REMBANG

(2)

KONSEP GENDER TERHADAP PERAN PEREMPUAN DALAM

BUDAYA JAWA

Oleh: Sayyidah Nafisah

I. Pendahuluan

Gender masih menjadi isu yang familiar dalam kehidupan masyarakat di berbagai Negara. Munculnya berbagai ketimpangan dan ketidakadilan gender merupakan salah satu pemicu munculnya gagasan kesetaraan di semua aspek kehidupan baik di ranah domestik maupun publik. Keluarga, sebagai sub sistem dari masyarakat, memiliki fungsi strategis dalam menanamkan nilai-nilai kesetaraan dalam setiap aktivitas dan pola hubungan antar anggota keluarga, karena dalam keluargalah semua terstruktur, peran, fungsi sebuah sistem berada.

Budaya paternalistik yang selama ini berkembang di masyarakat akhirnya membagi gender secara deskriminatif dan struktural, hal ini mengakibatkan perempuan hanya ditempatkan pada kelompok masyarakat nomor dua. Pepatah

Jawa yang mengatakan bahwa fungsi perempuan hanya macak, manak, dan masak merupakan sebuah konotasi yang dapat diartikan bahwa perempuan itu adalah makhluk yang bernyawa tapi tidak berjiwa.

Stereotip-stereotip inilah yang terpatri dalam perempuan inilah yang lambat laun membentuk opini bahwa perempuan hanya bisa berkiprah di bawah ketiak laki-laki, ataupun perempuan hanya mampu dimaknai eksitensinya pada wilayah realitas fisiknya saja.

Pencitraan para perempuan Jawa sangat lekat dengan persoalan sumur yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat itu sendiri. Fenomena yang demikian itu menjadi biasa bagi masyarakat.

(3)

II. Pengertian Perempuan dalam Budaya Jawa

Istilah perempuan dalam kamus besar bahasa Indonesia1 adalah seseorang yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan, serta menyusui. Berbeda lagi dengan istilah perempuan dalam masyarakat Jawa, dalam masyarakat Jawa ada beberapa istilah perempuan, dan istilah tersebut mengandung pengertian tersendiri, bahkan membawa konsekuensi ideologi istilah tersendiri. Istilah-istilah tersebut diantaranya seperti2:

A. Wadon

Secara etimologi kata wadon berasal dari bahasa Kawi yakni “wadu” yang artinya kawula atau abdi. Istilah ini sering diartikan bahwa perempuan ditakdirkan di dunia ini sebagai seorang abdi (pelayan) sang guru laki (suami). Pengabdian seorang perempuan harus mengikuti setiap tataran “kehidupan”. Secara naratif, hal tersebut mengandung konsekuensi logis,

bahwa jika seorang suami meninggal, sang istri harus melanjutkan pengabdiannya di alam kubur, dan begitu pula seterusnya.

B. Wanito

Ada istilah lain selain perempuan, yaitu wanito. Istilah wanito berasal dari dua kata bahasa Jawa yakni wani (berani) dan toto (teratur). Dalam pengertian ini wanito memiliki dua makna, yaitu wani ditoto (berani / mau diatur) dan wani noto (berani / mau mengatur). Dalam istilah wani ditoto memberi pengertian bahwa perempuan harus tetap tunduk dan mau untuk diatur suami, sedangkan istilah wani noto memberi pengertian bahwa seorang perempuan harus berani mengatur rumah tangga, mendidik anak, serta yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan biologis sang suami.

       1 

Dendi Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional), 1140. 

2

Hartanto Roedy El-Sawa, “Wanita Dalam Budaya Jawa”Dalam

(4)

C. Estri

Istilah estri berasal dari bahasa Kawi yakni “estren”, yang artinya penjurung (pendorong), dan hangestreni yang berarti mendorong. Dengan

demikian sebutan estri pada manusia itu harus bisa menjadi pendorong dan mampu memberi dorongan (motivasi) kepada sang suami, terlebih ketika sang suami kurang bersemangat.

D. Putri

Kata putri yang berarti “anak perempuan”, dalam Budaya Jawa kata putri merupakan akronim dari kata putus tri perkawis (gugurnya tiga perkara),

istilah tersebut memberi pengertian bahwa seorang perempuan dalam kedudukan putri dituntut untuk menjalankan kewajibannya, baik sebagai wadon, wanita, maupun estri.

Dari semua istilah perempuan dalam masyarakat Jawa3, memberi pengertian

bahwa kedudukan seorang perempuan tidak sejajar dengan laki-laki.

III. Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Budaya Jawa

Berbicara tentang kedudukan perempuan dalam budaya Jawa berada dalam posisi di bawah laki-laki. karena dalam Budaya Jawa peran laki-laki dikonsepkan pekerja publik (luar rumah), sedangkan perempuan dikonsepkan pekerja domestik (di dalam rumah tangga). Dalam masyarakat Jawa dikenal istilah “konco wingking” (tema belakang) yaitu seorang istri. Hal teresbut menunjukkan bahwa

perempuan tidak sejajar dengan laki-laki, perempuan melakukan pekerjaan di belakang (di dapur). Batasan wilayah kerja perempuan dalam masyarakat Jawa sangat sempit, sejak masih kecil, anak perempuan telah ditancapkan dengan tugas-tugas domestik, meliputi sumur, dapur dan kasur. Sambil menanti jodoh, gadis Jawa biasanya diajari berdandan, memasak dan kegiatan yang berhubungan dengan melayani suami. Ada masa gadis Jawa di mana dituntut untuk persiapan berumah tangga, biasanya mereka yang sudah dirasa cukup umur untuk itu

      

Asaku Walisongo, “Wanita dalam Budaya Jawa” Dalam 

(5)

kemudian di”pingit”, yaitu larangan untuk keluar rumah.4 Budaya ini pula yang menghambat pendidikan perempuan ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam hal ini R.A. Kartini, seorang pelopor emansipasi perempuan Indonesia, menyatakan bahwa faktor utama yang mendorong perjuangan R.A. Kartini yaitu lingkungan Jawa. Hal ini tergambarkan melalui surat Kartini yang menyatakan bahwa Budaya masyarakat Jawalah yang mengkungkung wanita. Beliau sangat tidak setuju dengan adat istiadat Jawa. Anak-anak gadis terantai pada adat istiadat lama, hanya boleh mendapatkan sedikit kemajuan di bidang pendidikan. Adat di negeri ini pada saat itu melarang keras para anak gadis pergi keluar rumah. Apalagi sampai pergi ke tempat lain, tidak boleh.5

Perempuan dalam Budaya masyarakat Jawa, didudukkan dan diperankan sebagai keluarga dan masyarakat. Dalam rumah tangga, perempuan Jawa biasanya dituntut untuk melakukan 3 M, yaitu Macak, Manak, dan Masak.

A. Macak

Macak berarti seorang perempuan harus berhias diri, berdandan

maupun berbusana yang baik agar senantiasa terlihat cantik. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk bukti dalam melayani suami.

B. Manak

Manak maksudnya mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, sampai pada memelihara dan mendidik anak. Manak di sini erat kaitannya dengan macak, karena dengan berhias diri dan menjaga kecantikannya, akan memiliki daya tarik bagi suami.

C. Masak

Masak berarti mengurusi urusan dapur. Telah disebutkan di awal, bahwa perempuan merupakan teman belakang (di dapur). Masak dalam hal

      

4 Hartanto Roedy El-Sawa, “Wanita Dalam Budaya Jawa” dalam

http://rudiindri.blogspot.co.id/2013/07/wanita-dalam-budaya-jawa.html (diakses pada tanggal 28 Mei 2016). 

5 

(6)

ini tidak hanya mengolah dan menyediakan makanan dan minuman, tetapi juga mengatur anggaran belanja setiap bulan dengan baik. hal ini menunjukkan sebagai wujud berbakti kepada suami. Dalam menghidangkan makan dan minum, sang istri sepatutnya memperhatikan selera sang suami. 6

Perempuan dalam Budaya masyarakat Jawa telah diketahui hanya terbatas di wilayah domestik (rumah tangga). Adapun peran dan kedudukan perempuan dalam hal ini sebagai berikut :

1. Sebagai Anak Perempuan atau menantu

Anak perempuan sebelum menikah memiliki kewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tua. Setelah menikah anak perempuan tersebut juga mengabdi kepada mertua sebagai menantu.

2. Sebagai Istri

Sebelum perempuan menjadi seorang istri, tentunya terjadi proses pernikahan. Dalam Budaya Jawa prosesi yang harus dilalui seorang perempuan dan laki-laki untuk melangkah menuju jenjang pernikahan,

diantaranya :

a. Ngalamar (meminang)

Meminang di sini berarti si laki-laki mendatangi rumah si perempuan untuk meminta izin menikahi sang putri.

b. Ngenger (ikut calon mertua)

Mungkin adat ini juga ada di daerah tertentu di Jawa, ngenger ini biasanya seorang laki-laki beberapa waktu ikut ke pihak calon mertua untuk membantu pekerjaan sang calon mertua, dan pihak putri belajar menyediakan hidangan untuk calon suami yang telah membantu pekerjaan orang tuanya.

c. Ningseti

      

6 Asaku Walisongo, “Wanita dalam Budaya Jawa” dalam

http://www.contohlengkap.com/2012/02/wanita-dalam-budaya-jawa.html(diakes pada tanggal 28

(7)

Setiap daerah di Jawa memiliki adat masing-masing yang kadang berbeda dari daerah satu dengan daerah yang lainnya. Misal saja daerah Tuban dan Rembang, prosesi ini biasanya disebut ‘ngemblok’ yaitu pihak keluarga perempuan membawakan beberapa makanan (adat) kepada pihak si laki-laki. dan kedua keluarga bertemu di rumah perempuan dan melakukan diskusi terkait kesiapan pernikahan putra-putri mereka.

d. Nukoni

Biasanya sebelum hari pernikahan, pihak laki-laki datang ke perempuan dengan membawa sejumlah uang untuk biaya-biaya pernikahan.

e. Sasrahan

Dari pihak laki-laki menyerahkan calon pengantin laki-laki kepda pihak perempuan. Waktu malam menjelang hari pernikahan esok harinya. Biasanya calon pengantin perempuan telah dirias sederhana dan didudukkan si ruang tengah agar dapat dilihat tamu-tamu perempuan yang sudah datang. Calon pengantin laki-laki disuruh menemui tamu laki-laki yang berada di depan.

f. Akad Nikah (Ijab Qobul)

Ijab Qobul sebagaiamana biasanya, biasanya setelah acara akad Nikah kemudian diakhiri walimahan.7

Demikian proses pernikahan dalam masyarakat Budaya jawa, setelah terlaksana, perempuan di situ berpindah status menjadi seorang istri. Ketika belum menikah perempuan harus mengabdi penuh kepada orang tua, namun berbeda ketika telah menjadi seorang istri, kedudukan istri ditempatkan sebagai pihak yang harus berbakti kepada suami dan harus dilayani, dihormati serta ditaati.

3. Sebagai seorang Ibu

Ketika sudah menikah, maka si perempuan tidak hanya sebagai istri, akan tetapi juga siap menjadi seorang ibu dari anak-anaknya. Dalam Budaya Jawa sangat menjunjung hak Ibu. Hak orang tua untuk dituruti perintahnya sangat besar, bahkan disamakan dengan raja yang menjadi teladan bagi

      

7 Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup Secara Islami dengan Budaya di Pulau Jawa,

(8)

rakyatnya. 8selain itu kedudukan Ibu juga penting sebagai pendidik pertama sang anak.

IV. Konsep Gender Terhadap Perempuan dalam Budaya Jawa

Gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum perempuan dan laki-laki, yang kemudian dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir dan bukan juga sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita lakukan dan kita tampilkan.9 Konsep

gender berkaitan dengan dua hal, diantaranya femininitas dan maskulinitas. Perempuan selalu digambarkan dengan kedamaian, keteduhan, lemah lembut, emosional, dan lebih mengandalkan insting. Berbeda dengan kaum laki-laki yang cenderung kuat, bersifat sebagai pelindung, dan rasional. Konsep gender ini merupakan hasil dari konstruksi sosial dan budaya yang telah didapatkan dari lingkungan sejak lahir. Bukan harga mati, bisa juga terjadi pertukaran peran gender antara laki-laki dan perempuan.

Budaya Jawa memandang perempuan tidak jauh berbeda dengan

pendapat-pendapat yang beredar bahwa kaum perempuan tidak lain hanyalah seorang pelayan yang kedudukannya di bawah kaum laki-laki. Bagi masyarakat Jawa, anak perempuan harus memahami konsep unggah-ungguh (sopan santun). Mengingat bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat dengan adat dan budaya yang sangat patriarkis, dalam adat yang beredar perempuan dilarang atau bahkan diharamkan tertawa lebar sampai terlihat semua giginya. Ia harus bisa menjadi lakon yang baik dan menuruti semua perintah dari orang tuanya. Budaya patriarkis inilah yang kemudian hidup dan berperan besar untuk terus menyudutkan perempuan dengan peran gendernya.

Selain mengenai sopan santun, anggapan bahwa anak perempuan kurang layak untuk mendapatkan hak pendidikan tinggi juga masih kental dalam masyarakat Jawa. Prioritas atas hak pendidikan tinggi akan diberikan kepada anak

      

8 Asaku Walisongo, “Wanita dalam Budaya Jawa” dalam

http://www.contohlengkap.com/2012/02/wanita-dalam-budaya-jawa.html (diakes pada tanggal 28 Mei 2016). 

9 Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Gender dan Inferioritas Perempuan Praktik Kritik Sastra

(9)

laki-laki jika dalam satu keluarga terdapat anak laki-laki dan perempuan.10 Mengapa demikian? Karena pendidikan tinggi merupakan sesuatu yang kondisional, melihat dulu bagaimana kondisi kemampuan keluarga. Jika terlahir dari keluarga yang mampu, maka bisa meraih pendidikan yang sama. Namun, jika hal tersebut terjadi di kalangan keluarga yang tidak berkecukupan, solusi utama adalah dengan memberi pendidikan tinggi kepada anak laki-laki sebagai pemimpin keluarga kelak. Karena mayoritas masyarakat mengatakan: “Anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya akan kembali ke

dapur juga.” Ungkapan ini seringkali berlalu lalang di telinga. Mungkin

ungkapan-ungkapan misoginis Budayaonal Jawa juga banyak ditujukan kepada kaum perempuan, seperti Masak, Macak, Manak (M3). Kaum perempuan masih dicitrakan sebagai “Konco Wingking” yang sama sekali tidak berhak atas masalah-masalah publik. Lalu, apakah demikian adalah hal yang benar?

Menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki dan menganggapnya

tidak berhak untuk berkecimpung dalam dunia publik merupakan salah satu bentuk kungkungan terhadap perempuan. Tidak sepatutnya perempuan diperlakukan seperti itu. pada dasarnya, antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam semua aspek, baik dalam hal pendidikan maupun hak karir.

Pandangan-pandangan terkait perempuan yang timpang saat ini masih banyak sekali dijumpai, terutama dalam masyarakat Jawa Budayaonal. Mereka sangat memegang teguh keyakinan terhadap nenek moyang. Namun, sebagian dari mereka telah menerapkan teori kesetaraan gender dalam mendidik anak-anak mereka.

V. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan dalam Budaya Jawa diidentikkan dengan sifat-sifat yang lemah dan nrimo, sehingga karakter perempuan Jawa sudah terbentuk seperti itu. Hal itu bisa dilihat dari definisi perempuan menurut masyarakat Jawa seperti wadon yang secara etimologi diartikan sebagai kawula atau abdi. Selain dilihat dari segi definisinya,

      

10 Perempuan, Gender, dan Budaya patriarki dalam

(10)

juga dapat dilihat dari aspek kedudukan dan peran perempuan dalam Budaya Jawa, karena dalam Budaya Jawa peran laki-laki dikonsepkan pekerja publik (luar rumah), sedangkan perempuan dikonsepkan pekerja domestik (di dalam rumah tangga).

Dalam masyarakat Jawa dikenal istilah “konco wingking” (tema belakang) yaitu seorang istri. Hal teresbut menunjukkan bahwa perempuan tidak sejajar dengan laki-laki, perempuan melakukan pekerjaan di belakang (di dapur). Batasan wilayah kerja perempuan dalam masyarakat Jawa sangat sempit.

VI. Kritik dan Saran

(11)

Daftar Pustaka

Akbar, Muhammad Ali. Perbandingan Hidup Secara Alami dengan Budaya di Pulau Jawa. (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980).

Asaku Walisongo, “Wanita dalam Budaya Jawa” dalam http://contohlengkap.com/2012/02/wanita-dalam-budaya-jawa.html. (diakes pada tanggal 28 Mei 2016).

Dalam http://rudiindri.blogspot.co.id/2013/07/wanita-dalam-budaya-jawa.html. (Diakses pada 28 Mei 2016.)

Hartanto Roedy El-Sawa, “Wanita Dalam Budaya Jawa” dalam

http://rudiindri.blogspot.co.id/2013/07/wanita-dalam-budaya-jawa.html (diakses pada tanggal 28 Mei 2016).

Kartini, R.A.. Habis Gelap Terbitlah Terang. (Yogyakarta: Narasi, 2010).

Perempuan, Gender, dan Budaya patriarki dalam

http://warna-warni-dunia-phierda-perempuan-gender-dan-budaya-patriarki. (Diakses Pada 28 Mei 2016).

Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. Gender dan Inferioritas Perempuan Praktik Kritik Sastra Feminis. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah bakteri pada standard pool (Gambar 2.), berdasarkan pewarnaan gram adalah sebanyak 19 dengan jumlah paling banyak yaitu gram negatif sebanyak 11 (57,89 %) dan

Menjelaskan manfaat dan melatih pembuatan media penjualan online untuk ibu-ibu RT 03 di Dusun Kapingan. Menjelaskan manfaat dan melatih pembuatan media penjualan online untuk

Macam media tanam berbeda sangat nyata terhadap luas daun, panjang akar dan berbeda nyata pada variabel berat kering akar serta berbeda tidak nyata pada variabel

Judul Skripsi : Uji Cemaran Bakteri Salmonella Sp Pada Telur Yang Dijual Di Pasar Tradisional Makassar.. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat

Jika sudah terkumpul baru mulai beraksi mencari target pasar yag sesuai dengan kriteria-kriteria yang kita cari dari akun profile pesaing, fanpage pesaing dan dari grup pesaing

Gambar 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan jenis kelamin Dapat dilihat bahwa sebagian besar contoh laki-laki maupun perempuan memiliki intake energi

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif CIRC dengan metode two stay two stray dapat menuntaskan hasil belajar fisika dan aktivitas siswa

Berdasakan hasil uji data dan analisis data, dapat dinyatakan bahwa alokasi penggunaan dana Otonomi Khusus Pemerintah Aceh baik melalui otonomi khusus provinsi