BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara Hukum.2 Hukum merupakan wujud dari
perintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengemban
kepercayaan dan perlindungan penduduk, baik di dalam maupun di luar
wilayahnya termasuk juga di dalamnya terhadap anak.3
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai
macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai
bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam
melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam
pelaksanaan peradilan pidana anak yang asing bagi dirinya. Anak perlu mendapat
perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan kerugian mental, fisik, dan
sosial. Oleh karena itu, anak memiliki peraturan hukum yang disebut dengan
hukum anak agar anak sebagai calon generasi penerus bangsa tetap terpelihara demi
masa depan bangsa dan negara.4
Hukum Anak adalah sekumpulan peraturan hukum, yang mengatur tentang
anak. Pengaturan hukum tentang anak sudah tersebar dalam berbagai tingkat
perundang-undangan.Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak itu, meliputi:
Sidang Pengadilan Anak, Anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban
tindak pidana, Kesejahteraan Anak, Hak-hak Anak, Pengangkatan Anak, Anak
2
Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara norma dan realita, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 3
4
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 2 (selanjutnya disebut Buku 1)
Terlantar, Kedudukan Anak, Perwalian, Anak Nakal,Anak yang berkonflik dengan
hukum (AKH) , dan lain sebagainya.5
Semua aturan yang dibuat pemerintah tersebut bertujuan agar perlindungan
anak betul-betul dapat diaktualisasikan dalam realitas kehidupan untuk menjamin
agar anak tidak mendapatkan diskriminasi dalam menjalankan kehidupannya agar
tetap tumbuh dan berkembang secara layak, baik dari segi jasmani, rohani
maupun sosial. Salah satunya adalah dengan memberikan perlindungan khusus
kepada Anak yang berkonflik dengan Hukum (AKH).6
Arus globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi menimbulkan dampak positif dan dampak negatif.
Dampak positif pesatnya perkembangan antara lain terciptanya berbagai macam
produk yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh
melalui satelit dan meningkatnya pendapatan masyarakat. “Dampak negatifnya
antara lain semakin meningkatnya krisis nilai moral di masyarakat yang
berpotensi meningkatnya jumlah orang yang melawan hukum pidana dalam
berbagai bentuk”7, contohnya: Kenakalan Anak8
Kenakalan anak yang merupakan terjemahan dari istilah Juvenile
Delinquency (JD), adalah perbuatan anak yang melanggar hukum yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa termasuk kategori kejahatan, dalam hal ini termasuk yang telah menyentuh ranah
tindak pidana pencabulan.
5
Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal.1
6
Menurut Ketentuan Umum UU SPPA, AKH adalah Anak yang berkonflik dengan Hukum yang berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana
7
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal.1 (selanjutnya disebut Buku 1)
8
perilaku pelanggaran anak terhadap ketentuan perundang-undangan yang khusus
diperuntukkan bagi mereka.9
Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan
dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang yang semuanya dalam
lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya seorang laki-laki meraba kelamin
seorang perempuan. Tindak pidana pencabulan di atur dalam kitab
undang-undang pidana (KUHP) pada bab XIV Buku ke- II yakni dimulai dari Pasal
289-296 KUHP, yang selanjutnya dikategorikan sebagai kejahatan terhadap
kesusilaan. Perbuatan Pencabulan yaitu “Barang siapa dengan kekerasan atau
dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan
dilakukan padanya perbuatan dihukum karena salahnya melakukan perbuatan
melanggar kesopanan dengan hukum penjara selama-lamanya sembilan
tahun”.10Tindak pidana pencabulan tidak hanya di atur dalam KUHP saja namun
di atur pula dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu Pasal 76D jo 81 atau
76E jo 82 Undang No. 35 Tahun 2014tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.11
9
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 3
10
Lihat Pasal 289 KUHP
11
Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan:
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain.”
Hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 UU No. 35 Tahun
2014 yang menyatakan:12
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam pasal 76D dipidana
penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)
(2) Ketentuan pidana berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain
(3) Dilakukan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga
kependidikan pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana. atau,
Pasal 76E UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan:
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
Hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 82 UU No. 35 Tahun
2014 yang menyatakan:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepoertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dari rumusan pasal di atas dimana dalam proses penanganan dan
penyelesaiannya terdapat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang
12
Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah Pelaksana Undang-Undang
No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak
yang belum berumur 12 (dua belas) tahun, dan Peraturan Mahkamah Agung No. 4
Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 59 Tahun 2015 Tentang
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang berwenang
dalam memberikan perlindungan kepada anak dalam memberikan secara teknis
dan memantau pelaksanaan dalam menangani perlindungan anak termasuk juga
anak yang melakukan tindak pidana adalah Deputi bidang Perlindungan anak.13
Ketentuan Umum dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 menjelaskan bahwa
untuk menyikapi fenomena kekerasan seksual terhadap anak maka diberikan efek
jera terhadap pelaku dan melakukan pencegahan agar tidak terjadi kekerasan
seksual terhadap anak namun tidak berlaku bagi pelaku anak.14
Situasi kasus pencabulan anak-anak dibawah umur cukup memprihatinkan,
dimana kasus tersebut terjadi di lingkungan terdekat seperti: sekolah, tempat
ibadah, keluarga, dan sebagainya. Sehingga sulit saat ini untuk menentukan mana
wilayah yang aman dan ramah untuk anak-anak, ketika lingkungan terdekat anak
merupakan tempat utama yang sering menyumbang terjadi kasus pencabulan
tersebut. Kejahatan bidang seksual/pencabulan membutuhkan perhatian yang
serius karena dapat mengakibatkan persoalan komplikatif (serius dan beragam)
13
Lihat Pasal 16 PERPRES No. 59 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
14
dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, terutama kehidupan kaum
perempuan, anak-anak dan masa depan suatu keluarga.15
Tindak kejahatan16 yang dilakukan anak sangat dipengaruhi beberapa faktor
lain di luar diri anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan
sebagainya17
Anak yang kebetulan melakukan kejahatan tetaplah anak, oleh karena itu ia
tetaplah untuk mendapatkan hak-haknya sebagai anak serta melakukan kewajiban , dan menyebabkan anak konflik hukum (selanjutnya disebut AKH).
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU
SPPA) Pasal 1 angka 2 bahwa Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan
anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum
(AKH) lebih dikhususkan terhadap anak sebagai pelaku suatu tindak pidana. Oleh
karena itu, Pertanggungjawaban pidana dikenakan pada anak yang berkonflik
dengan hukum dengan ketentuan yang telah secara tegas diatur dalam Pasal 1
angka 3 adalah anak yang berusia 12 (dua belas) tahun tetapi belum berusia 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana, tidak terkecuali
terhadap anak yang melakukan pencabulan. Tindak pidana pencabulan yang
dilakukan oleh anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para
orang tua maupun masyarakat dan perilaku tersebut seolah-olah tidak berbanding
lurus dengan usia pelaku.
15
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual,
(Bandung: Refika Aditama, 2001), hal. 11-12
16
Tindak Kejahatan dalam hal ini, khususnya berupa pelanggaran hukum atau tindakan kriminal
17
sebagai anak.18 Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak
anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.19
Kewajiban berarti sesuatu yang wajib diamalkan (dilakukan), keharusan, tugas
yang harus dilakukan. Anak melakukan kewajiban ini bukan semata-mata sebagai
beban, tetapi justru dengan melakukan kewajiban-kewajiban ini menjadikan anak
tersebut berpredikat “anak yang baik”. Anak yang baik tidak hanya meminta
hak-haknya saja, tetapi akan melakukan kewajiban-kewajibannya.20
Hak-hak anak yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak,
seperti:21
1. Hak untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya;
2. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan;
3. Hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran;
4. Hak untuk menyatakan pendapat;
5. Hak untuk mendapat perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan
seksual dan kekerasan;
6. Hak untuk rehabilitasi dan menerima bantuan sosial bagi anak
penyandang Disabilitas;
7. Hak untuk diasuh oleh Orang Tua;
8. Hak untuk memperoleh perlindungan.
Mengenai kewajiban anak bahwa setiap anak berkewajiban untuk:22
1. Menghormati orang tua, wali dan guru;
2. Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman;
3. Mencintai tanah air, bangsa dan negara;
4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. Melaksanakan etika dan ahklak yang mulia.
Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan
salah satu aset pembangunan nasional, patut dipertimbangkan dan diperhitungkan
18
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011) Cet.Pertama, hal. 21
19
Lihat Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
20
Setya Wahyudi, Op.Cit., hal. 26
21
Lihat Pasal 4 s/d Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002
22
dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan
yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib
bangsa akan sulit pula dibayangkan.23
Memberikan pemenuhan hak terhadap anak yang berkonflik dengan hukum,
pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak
Indonesia dengan menerbitkan berbagai peraturan perundangan yang merumuskan
perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu
implementasinya adalah dengan lahirnya UU SPPA, yang memberlakukan proses
pemeriksaan khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana yang
penanganannya melibatkan beberapa lembaga negara, yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan,Departemen Hukum dan HAM, serta Departemen Sosial,
secara terpadu dengan mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi
anak-anak.24
Melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem
peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan
kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove)
seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana
dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap
lebih baik untuk anak. Berdasarkan pikiran tersebut, maka lahirlah konsep
diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan.25
23
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (Bandung: PT. Alumni, 2010), hal.1
24
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia Cetakan Keempat (Revisi), (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 212 (selanjutnya disebut Buku 2)
25
Diversi merupakan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk
mengalihkan kasus pidana dari mekanisme formal ke mekanisme yang informal.
Pertimbangan dilakukannya diversi didasarkan pada alasan untuk memberikan
keadilan kepada anak yang terlanjur melakukan tindak pidana serta memberikan
kesempatan pada anak untuk memperbaiki dirinya.26Kriteria anak bisa di diversi
adalah anak berusia 12 (dua belas) sampai dengan belum berumur 18 (delapan
belas) tahun, meskipun sudah atau pernah kawin dengan tindak pidana yang
diancam penjara dibawah 7 (tujuh) tahun atau lebih dari 7 (tujuh) tahun dan bukan
merupakan pengulangan tindak pidana yang dikaji dari perspektif UU SPPA No.
11 Tahun 2012 dengan PERMA No. 4 Tahun 2014 dan PP No. 65 Tahun 2015.27
Pengadilan Negeri Binjai Klas 1-B adalah pengadilan yang menangani
perkara pidana yang berkedudukan di Kabupaten/Kota khusus nya di wilayah
hukum Kota Binjai, merupakan lembaga yang berperan dalam menjalankan
program diversi yang telah menerapkan sistem peradilan pidana anak yang sesuai
dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 tahun 2012,
Peraturan Mahkamah Agung Repubik Indonesia No. 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan
Diversi dan Penanganan Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun dengan
memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dalam
proses peradilan pidana yang dihadapinya, meskipun proses peradilan pidana yang
harus dilalui anak jalurnya sama yaitu polisi, jaksa, pengadilan, Lembaga
26
M. Nasir Djamil, Anak Bukan untuk DihukumCetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 137
27
Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara
(LPAS) dan Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS). Adanya polisi
yang khusus menangani perkara anak dan polisi khusus yang dimaksud tersebut
adalah penyidik Polri yang terpilih dan memiliki dedikasi dan memahami masalah
anak. Dapat di tetapkan sebagai Penyidik Anak maka ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi (Pasal 26 ayat (2)) UU SPPA), juga pada jaksa khusus anak, hakim anak,
lembaga pemasyarakatan khusus anak, lembaga penempatan anak sementara dan
lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial.28
Salah satu contoh kasus pencabulan yang terjadi di Binjai pada bulan
Oktober 2015 dilakukan oleh anak laki-laki berumur 13 (tiga belas) tahun dan
korbannya anak perempuan berumur 5 (lima) tahun di tempat pengambilan air
wudhu Mushola Al-Burhan saat ingin melaksanakan sholat maghrib bersama
teman-temannya. Korban tidak tahu cara mengambil air wudhu dan meminta
diajarin oleh teman-temannya, akan tetapi tidak ada temannya yang bersedia
mengajarinya. Setelah semua teman korban selesai mengambil air wudhu korban
pun ditinggal sendirian di kamar wudhu, lalu anak/pelaku datang dan mengajari
korban untuk mengambil air wudhu dan setelah selesai mengajari korban
mengambil air wudhu lalu anak/pelaku tiba-tiba melepaskan celana pendek dan
celana dalam yang dipakai korban, kemudian anak/pelaku juga
melorotkan/menurunkan celana ponggol dan celana dalamnya. Anak/pelaku
menggendong depan korban kemudian anak/pelaku memasukkan alat kelaminnya
yang telah menegang ke dalam alat kelamin/vagina korban dan
menekan-nekannya sehingga korban merasa kesakitan dan setelah itu korban dan
28
anak/pelaku masing-masing mengenakan kembali celana pendek dan celana
dalamnya, selanjutnya korban dan anak/pelaku pergi melaksanakan sholat.29
B. Permasalahan
Kasus pencabulan yang dilakukan oleh anak tersebut diselesaikan dengan
kekeluargaan yang dimusyawarahkan dengan diversi di Pengadilan Negeri Binjai
Klas 1-B melihat karena anak/pelaku dan korban masih tergolong anak-anak di
bawah umur. Hal ini penting untuk menjaga/menghindarkan anak agar tidak
mengalami traumatik atas cap/label sebagai pelaku kejahatannya dan korban
dipulihkan dari masa lalunya yang dapat mempengaruhi perkembangan kehidupan
anak ke depannya.
Berdasarkan uraian diatas,Penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan
judul “Tinjauan Yuridis terhadap Diversi dalam perkara Anak sebagai
Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Penetapan No. 05/Pid. Sus-Anak/2016/PN.Bnj)” yang kemudian akan dibahas pada bab-bab selanjutnya dalam skripsi ini.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai tindak pidana pencabulan yang
dilakukan oleh anak ?
2. Bagaimanakah penerapan diversi pada tindak pidana pencabulan yang
dilakukan oleh anak ?
29
3. Apakah hambatan dalam pelaksanaan proses diversi pada tindak pidana
pencabulan yang dilakukan oleh anak ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai tindak pidana pencabulan
yang dilakukan oleh anak.
2. Untuk mengetahui penerapan diversi terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana pencabulan
3. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan proses diversi
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan dan sejauh
mana proses peradilan dapat memberikan rasa keadilan terhadap
korban pencabulan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Manfaat Penulisan
Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang
dikemukakan diatas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk:
1. Manfaat secara Teoritis
Diharapkan dengan adanya skripsi ini dapat memberikan
informasi, masukan bagi pengembangan ilmu hukum pada
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan dimana
sebagai kajian hukumyang membawa dampak positif bagi anak.
2. Manfaat secara Praktis
Hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran
dalam perkembagan ilmu hukum bagi masyarakat pada
umumnya dan para penegak hukum pada khususnya yang
berkaitan dengan masalah tindak pidana pencabulan yang terjadi
pada anak-anak dibawah umur.
D.Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil dari pemeriksaan dan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Pihak Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mengenai judul ”Tinjauan
Yuridis terhadap Diversi dalam perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Penetapan No. 05/Pid. Sus-Anak/2016/PN.Bnj)” Dinyatakan bahwa tidak adajudul yang sama. Walaupun ada seperti beberapa
judul skripsi yang diuraikan di bawah ini, dapat diyakinkan bahwa substansi
pembahasannya berbeda.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis
sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat
merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis telah dilakukan
penelusuran dalam berbagai judul skripsi dan disertasi serta mencari
keterangan-keterangan baik berupa buku-buku, internet, peraturan perundang-undangan dan
pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan normatif-empiris terhadap
Pengadilan Negeri Binjai. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang
Fakultas Hukum yang mirip adalah:
1. Nama: Dian Antasari Ginting (Skripsi)
Nim: 070200156
Judul: Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai
UpayaPerlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada
Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan(Studi Kasus di
Kota Kabanjahe)
Permasalahan:
a. Bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap anak pelaku
tindak pidana dalam proses peradilan pidana anak di Kabanjahe?
b. Bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative justice
sebagai upaya perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana
pada tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan di Kabanjahe?
Yang ditemukan:
i. Dalam memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak
pidanaseharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan perlu
diatur dalam suatuperaturan perundang-undangan khusus agar lebih
jelas dan terperinci. Perluadanya pedoman bagi penegak hukum
(kepolisian, kejaksaan dan pengadilantentang prosedur peradilan
di kepolisian, jaksa penuntut umum khusus anak dan hakim khusus
dalam pengangani anak pelaku tindak pidana.
ii. Kepada Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan agar
menggunakan kewenangan diskresinya dengan mengadopsi konsep
diversi dan restorative justicedalam sistem peradilan pidana anak
2. Nama: Rahmaeni Zebua (Skripsi)
Nim: 100200155
Judul: Analisis Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Permasalahan:
a. Bagaimanakah sejarah perkembangan konsep diversi dan restorative
justicedalam menyelesaikan perkara anak?
b. Bagaimanakah penerapan konsep diversi dan restorative justice dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak?
c. Apakah kelemahan pengaturan yang terdapat pada UU No.11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut?
Yang ditemukan:
i. Diharapkan adanya peraturan pelaksana terhadap undang-undang ini
sepertiPeraturan Pemerintah terkait diversi sebelum undang-undang
ini padaakhirnya berlaku. Peraturan ini juga harus dikaitkan dengan
adat istiadat dankebiasaan di dalam wilayah tertentu sebagai
penghargaan terhadap carapenyelesaian perkara anak di wilayah
ii. Pemerintah harus segera melakukan pelatihan teknis terhadap
Penyidik, penuntut umum, hakim, petugas kemasyarakatan dan para
tenaga social lainnya sehingga dapat menyelesaikan perkara anak
dengan baik. Pelatihan teknis tersebut dapat menjadi patokan terhadap
orang-orang yang telah layak untuk menyelesaikan perkara anak
terutama untuk di daerah-daerah.
iii. Pemerintah juga harus meninjau kembali sanksi pidana yang
ditetapkan kepada Penyidik, penuntut umum dan hakim yang apabila
tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan diversi. Hal ini
masih dipandang tidak efisien karena memandang pemulihan sebagai
tujuan utama penyelesaian perkara anak.
3. Nama: Dr. Marlina, S.H., M. Hum., (Disertasi)
Nomor Pokok: 08101024/S-3 HK
Program Studi: S-3 Ilmu Hukum
Judul: Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice dalam
Sistem Peradilan Anak di Indonesia (Suatu Studi di Kota Medan)
Permasalahan:
a. Apakah ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah memasukkan prinsip-prinsip
Beijing Rules ? dan bagaimanakah pelaksanaan sistem peradilan pidana
anak di Indonesia pasca berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1997 ?
b. Bagaimanakah konsep diversi dan restorative justice
c. Bagaimana prospek pengembangan konsep diversi dan restorative
justice dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia ?
Yang ditemukan:
i. Mengingat bahwa ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, masih ditemukan kekurangan ketentuan dalam
memberikan perlindungan terhadap anak, maka secepatnya dilakukan
diversi terhadap Undang-Undang tersebut. Revisi dilakukan dengan
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan ketentuan
internasional tentang perlindungan terhadap anak dalam proses peradilan
pidana anak.
ii. Aparat penegak hukum dan masyarakat harus bekerjasama dan
membangun persepsi yang sama tentang perlindungan terhadap anak.
Konsep diversi dan restorative justice merupakan dua konsep yang
bertujuan mencari alternatif peneyelesaian terhadap anak pelaku tindak
pidana. Konsep diversi dilaksanakan dengan memaksimalkan hak
diskresi yang dimiliki oleh aparat penegak hukum yang menangani anak
yang bermasalah dengan hukum. Konsep restorative justice harus
dijalankan dengan memberikan pemahaman terhadap korban, pelaku,
keluarga korban, dan keluarga pelaku serta masyarakat untuk
bersama-sama memutuskan tindakan yang tepat terhadap pelaku tindak pidana.
iii. Pengembangan konsep diversi dan restorative justice dalam
penyelesaian anak pelaku tindak pidana, harus mendapat perhatian dari
masyarakat dan aparat penegak hukum. Untuk itu perlunya sosialisasi
akademisi diharapkan dapat berperan aktif mensosialisasikan konsep
tersebut dan pemerintah membuat kebijakan untuk mendukung
pelaksanaan konsep tersebut.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Diversi
Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “diversion” pertama
kali dikemukakan sebagai kosakata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang
disampaikan Presiden Komisi Pidana Australia di Amerika serikat pada tahun
1960.30
Konsep diversi di Indonesia muncul dikenalkan melalui sebuah acara-acara
seminar yang sering diadakan yang memberikan pengertian dan pemahamam
diversi, sehingga menimbulkan semangat dan keinginan untuk mempelajari jauh
lagi mengenai konsep diversi tersebut. Berdasarkan hasil seminar yang diketahui
bahwa, konsep diversi itu ditunjukan untuk memberikan perlindungan hukum bagi
anak yang berhadapan dengan hukum.Selanjutnya pada tahun 2004 di Jakarta
diadakan diskusi di antara aparat penegak hukum yang terkait dalam sistem
peradilan pidana anak untuk membicarakan langkah terbaik dalam upaya
penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana. Setelah adanya diskusi tersebut
para hakim di Bandung secara intern membicarakan tentang langkah awal yang
dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang bermasalah
dengan hukum yaitu dengan mendirikan ruang sidang khusus anak dan ruang
tunggu khusus anak.31
30
Marlina, Buku 2, Op. Cit., hal. 10
31
Konsep Diversi adalah Konsep untuk mengalihkan suatu kasus dari proses
formal ke proses informal. Proses Pengalihan ditujukan untuk memberikan
perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.32
Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari
proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.33
Definisi diversi menurut beberapa ahli diantaranya, Jack E. Bynum dalam
bukunya Juvenile Deliquence a Sosiological Approach, yaitu diversi adalah
sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku
tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. Menurut Romli
Artasasmita, Diversi yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau
mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap
anak selama proses pemeriksaan dimuka sidang.34
Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem
peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi anak pelaku tindak
pidana. Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang
pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan anak inilah yang Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan terhadap
anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak
menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan
memberikan stigmatisasai terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti
anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem
peradilan pidana.
32
Marlina, Buku 1, Op.Cit., hal.168
33
Lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 11 tahun 2012
34
membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi dari
sistem peradilan pidana formal.35Diskresi adalah pengalihan dari proses
pengadilan pidana secara formal ke proses non formal untuk diselesaikan secara
musyawarah. Pendekatan ini dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak
yang berkonflik dengan hukum.36
Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan
hukum negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai
prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk
menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang
tuanya. Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali,
akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk
membuat orang mentaati hukum.37
Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan
kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik dan kembali melalui jalur
non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya
memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak
pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Prinsip keadilan tetap dijunjung tinggi dalam penegakan hukum, tidak
terkecuali saat penerapan prinsip-prinsip diversi dilaksanakan. Keadilan
menempatkan kejujuran dan perlakuan yang sama terhadap semua orang. Petugas
dituntut tidak membeda-bedakan orang dengan prinsip tindakan yang berubah dan
berbeda. Pelaksanaan diversi bertujuan mewujudkan keadilan dan penegakan
hukum secara benar dengan meminimalkan pemaksaan pidana.
Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan
dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate
treatment).38
Diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak,
menyelesaikan perkara pidana anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak
dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan
menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak.39
Proses penanganan pidana anak dari tingkat penyidikan di Kepolisian,
Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, dan Proses Persidangan di Pengadilan
oleh Majelis Hakim wajib untuk melakukan upaya diversi, dimaksudkan untuk
mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut.40
Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang
tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan,
dan pekerja sosial profesional. Dalam hali diperlukan, musyawarah dapat
melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat. Proses diversi wajib
memperhatikan:41
a. Kepentingan korban
b. Kesejahteraan dan tanggungjawab anak
c. Penghindaran stigma negatif
d. Penghindaran pembalasan
e. Keharmonisan masyarakat, dan
f.Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pertimbangan dilakukannya diversi didasarkan pada alasan untuk
memberikan keadilan kepada pelaku yang telah terlanjur melakukan tindak pidana
serta memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya. Diversi
38
Ibid, hal. 15
39
Lihat Pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
40
Setya Wahyudi, Op.Cit., hal. 56
41
juga salah satu usaha untuk mengajak masyarakat untuk taat dan menegakan
hukum Negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai
prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk
menempuh jalur non pidana.
Terdapat tiga jenis pelaksanaan diversi, yaitu:42
a. Berorientasi kontrol sosial (social control orientation). Dalam hal ini
aparat penegak hukum menyerahkan anak pelaku pada
pertanggungjawaban dan pengawasan masyarakat;
b. Berorientasi pada social service, yaitu pelayanan sosial oleh masyarakat
dengan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan dan meyediakan
pelayanan bagi anak pelaku dan keluarganya;
c. Berorientasi pada restorative justice, yaitu memberi kesempatan kepada
pelaku untuk bertanggungjawab atas perbuatannya kepada korban dan
masyarakat. Semua pihak yang terlibat dipertemukan untuk bersama-sama
mencapai kesepakatan, apa tindakan terbaik untuk anak pelaku ini.
2. Pengertian Anak Pelaku Tindak Pidana
Berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yakni:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta konvensi Internasional, yaitu
42
Convention on the Rights of the Child sebagaimana telah diratifikasi oleh
Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi
tentang Hak-Hak Anak) sebagaimana telah diamandemen melalui Amandement to
Article 43 Paragraph 2 of the Convention on the Rights of the Child, yang telah
diratifikasi pula melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun
1998 tentang Pengesahan Amandement To Article 43 Paragraph 2 Of The
Convention On The Rights Of The Child (Perubahan Terhadap Pasal 43 ayat (2)
Konvensi tentang Hak-Hak Anak), bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun (termasuk anak yang
masih dalam kandungan), dan belum pula menikah.43
a. Untuk Perlindungan Anak diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1
ayat (1) menyatakan “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Batas usia seseorang yang disebut sebagai anak-anak ketika melakukan
tindak pidana yaitu:
b. Untuk Peradilan Anak diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 ayat (1)
menyatakan “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”
43
c. Untuk Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 1 ayat (3)
menyatakan “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya
disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.”
Di samping batasan usia maksimum anak yang ditentukan oleh
undang-undang di atas, usia kedewasaan anak juga dapat ditentukan oleh ketentuan
hukum dan disiplin ilmu yang lain, seperti:44
a. Hukum Adat, seseorang dapat dinyatakan dewasa apabila ia sudah mentas
gawe atau kuat gawe;
b. Hukum Islam, seorang anak dapat dinyatakan dewasa apabila sudah
berakhil baliqh (sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk) atau sudah mengalami perkembangan fisik, seperti: bagi wanita
terdapat pertumbuhan bulu kelamin, perkembangan buah dada, dan sudah
mengeluarkan darah nifas atau menstruasi. Sedangkan bagi laki-laki,
sudah pernah bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya, terdapat
pertumbuhan kumis, dan mengalami perubahan suara yang membesar
(Jawa: agor-agori). Jumhur Ulama berpendapat bahwa kedewasaan anak
rata-rata berusia 9 tahun;
c. Secara Psikologis, kedewasaan anak waniita lebih cepat dibanding dengan
anak laki-laki, kedewasaan anak wanita berada di usia 14-15 tahun dan
anak laki-laki berada di usia 16-17 tahun.
44
Kenakalan anak, yang merupakan terjemahan dari istilah juvenile
delinquency, adalah perbuatan anak yang melanggar hukum yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa termasuk kategori kejahatan, dalam hal ini termasuk
perilaku pelanggaran anak terhadap ketentuan perundang-undangan yang khusus
diperuntukkan bagi mereka.45
Kartini kartono menegaskan bahwa: Deliquency itu selalu mempunyai
konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh
anak-anak muda di bawah usia 22 (dua puluh dua) tahun. Menurut Sudarsono,
suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut
bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup atau Romli Atmasasmita mengatakan bahwa deliquency adalah suatu tindakan
atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh
masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa delikuensi sebagai tingkah
laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Kenakalan remaja adalah terjemahan kata juvenile deliquency dan
dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan
remaja yang bersifat asosial, bertentangan dengan agama, dan
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Remaja adalah yang dalam usia
di antara dua belas tahun dan di bawah delapan belas tahun serta belum menikah.
45
suatu perbuatan yang anti sosial yang di dalamnya terkandung unsur-unsur anti
normatif.46
Soedjono Dirdjosisworo mengatakan bahwa kejahatan dapat ditinjau dari:47
a. Segi yuridis, yaitu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan
pelanggarnya diancam dengan sanksi;
b. Segi kriminologi, yaitu perbuatan yang melanggar norma-norma yang
berlaku di dalam masyarakat dan mendapat reaksi negatif dari masyarakat;
c. Segi psikologi, yaitu perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat
melanggar norma hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari sipelaku perbuatan tersebut.
Masalah perilaku remaja termasuk perilaku penyimpangannya baik dalam
kadarnya yang sederhana maupun yang canggih, tetap merupakan masalah yang
aktual dan perlu dicermati. Pendekatan-pendekatan perlu dilakukan berdasarkan
atas pemahaman akan sifat dan karakteristik jiwa remaja dengan segala
permasalahan kejiwaan yang dialaminya, dan berbagai lingkungan
kemasyarakatan yang melingkupinya (utamanya yang dikhawatirkan menjadi
faktor kriminogen), serta tetap memperhatikan persepsi dan aspirasi para remaja
sendiri, sehingga dapat dilahirkan alternatif pengantisipasian yang “trep” dan
dapat diterima oleh kalangan remaja sendiri.48
UU SPPA pada pasal 1 angka 3 menentukan bahwa Anak yang Berkonflik
dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana. Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak
yang melakukan tindak pidana, yang berumur 12(dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun. Perbuatan terlarang bagi anak adalah yang
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam ketentuan
UU SPPA, istilah anak nakal tidak dikenal lagi, tetapi istilah anak yang berkonflik
dengan hukum. Pasal 1 angka 3 UU SPPA menentukan bahwa Anak yang
Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana.49
Kedudukan keluarga sangat fundamental dan mempunyai peranan yang vital
dalam mendidik anak. Apabila pendidikan dalam keluarga gagal, maka anak
cenderung melakukan tindakan kenakalan dalam masyarakat dan sering menjurus
ke tindakan kejahatan atau kriminal. Andi Mappiare menyatakan bahwa remaja
ingin bebas menentukan tujuan hidupnya sendiri, sedang orang tua takut
memberikan tanggungjawab kepada remaja sehingga terus membayangi
remajanya. Remaja ingin diakui sebagai orang dewasa sementara orang tua masih
tidak melepaskannya sebab belum cukup diberi kebebasan. Remaja sedang berada
dalam proses berkembang ke arah kematangan atau kemandirian, remaja
memerlukan bimbingan karena mereka belum memiliki pemahaman atau
wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan
arah kehidupannya.50
a. Ada anggota lainnya dalam rumah tangga itu sebagai penjahat, pemabuk,
emosional;
Menurut B. Simanjuntak, kondisi-kondisi rumah tangga yang mungkin
dapat menghasilkan Anak Nakal adalah:
49
Maidin Gultom, Buku 2, Loc.Cit., hal. 68 50
b. Ketidakadaan salah satu atau kedua orang tuanya karena kematian,
perceraian atau pelarian diri;
c. Kurangnya pengawasan orang tua karena sikap masa bodoh, cacat
inderanya, atau sakit jasmani atau rohani;
d. Ketidakserasian karena adanya main kuasa sendiri, iri hati, cemburu,
terlalu banyak anggota kleluarganya dan mungkin ada pihak lain yang
campur tangan;
e. Perbedaan rasial, suku dan agama ataupun perbedaan adat istiadat, rumah
piatu, panti-panti asuhan.
Menurut A. Syamsudin Meliala dan E. Sumaryono, beberapa faktor
penyebab yang paling memengaruhi timbulnya kejahatan anak, yaitu:
a. Faktor lingkungan;
b. Faktor ekonomi;
c. Faktor psikologis.
Kartini kartono mengemukakan bahwa kriminalitas itu pada umumnya
merupakan kegagalan dari sistem pengontrol diri terhadap aksi-aksi instinktif;
juga menampilkan ketidakmampuan seseorang mengendalikan
emosi-emosiprimitif untuk disalurkan pada perbuatan yang bermanfaat. Menurut Bismar
Siregar, kenakalan anak disebabkan oleh modernisasi, masyarakat belum siap
menerimanya. Rumah tangga terbengkalai, karena kedua orang tua saling
menunjang mencari nafkah rumah tangga, berakibat anak tersia-sia.51
3. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan
51
Tindak pidana pencabulan dirumuskan dalam pasal 289 KUHP mengenai
perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan. Sebelum dijelaskan mengenai
pengertian pencabulan ada baiknya jika mengetahui terlebih dahulu mengenai
jenis-jenis pencabulan, yaitu sebagai berikut:52
a. Seduction-turned-into-rape, yaitu pencabulan yang ditandai dengan
adanya relasi antara pelaku dengan korban. Jarang digunakan kekerasan
fisik dan tidak ada maksud mempermalukan. Yang dituju adalah kepuasan
si pelaku dan si korban menyesali dirinya, karena sikapnya yang kurang
tegas
b. Domination rape, yaitu pencabulan yang dilakukan oleh mereka yang
ingin menunjukkan kekuasaannya, misalnya, majikan yang mencabuli
bawahannya. Tidak ada maksud menyakitinya, Keinginannya yaitu
bagaimana memilikinya secara seksual.
c. Sadistic rape, yaitu pencabulan yang dilakukan secara sadistik. Si pelaku
mendapatkan kepuasan seksual bukan karena bersetubuh, tetapi karena
perbuatan kekerasan terhadap “genetalia” dan tubuh si korban.
d. Anger rape, merupakan ungkapan pencabulan yang karena kemarahan
dilakukan dengan sifat brutal secara fisik. Seks menjadi senjatanya dan
dalam hal ini tidak diperolehnya kenikmatan seksual. Yang dituju sering
kali keinginan untuk mempermalukan si korban.
e. Exploitation rape, merupakan jenis pencabulan di mana si wanita sangat
bergantung pada si pelaku, baik dari sosial maupun ekonomi. Sering kali
terjadi di mana si istri dipaksa oleh si suami. Kalaupun ada persetujuan, itu
52
Jenis-jenis pencabulan:
bukan karena ada keinginan seksual dari si istri, melainkan sering kali
demi kedamaian rumah tangga.
Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul, sebagaimana
disebutkan di dalam pasal 289 KUHP, adalah segala perbuatan yang melanggar
kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang semua ada kaitannya dengan
nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,
meraba-rababuah dada, dan semua bentuk-bentuk perbuatan cabul. Persetubuhan
juga masuk dalam pengertian ini.53
Apabila rumusan pasal 289 tersebut rinci, akan terlihat Unsur-unsur
berikut:
Pasal 289 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa dengn kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam
karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan,
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
54
a. Perbuatannya: memaksa;
b. Caranya: dengan:
i. Kekerasan;
ii. Ancaman kekerasan;
c. Objeknya: seseorang untuk:
i. Melakukan; atau
ii. Membiarkan dilakukan.
53
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia,1996), hal. 212
54
Walaupun undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur
kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan tindak pidana seperti yang
dimaksudkan dalam Pasal 289 itu harus dilakukan dengan sengaja, yakni karena
perbuatan memaksa orang lain tentunya tidak dapat dilakukan dengan tidak
disengaja.55
Untuk dapat menyatakan seorang terdakwa terbukti mempunyai
kesengajaan dalam melakukan tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam
Pasal 289 KUHP, baik penuntut umum maupun hakim harus dapat
membuktikan:56
a. Tentang adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk memakai
kekerasan;
b. Tentang adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk memaksa
seseorang;
c. Tentang adanya pengetahuan terdakwa bahwa yang ia paksakan
melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan, baik
oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.
Jika salah satu dari kehendak, maksud atau pengetahuan terdakwa itu
ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim akan memberikan putusan bebas dari
tuntutan hukum bagi terdakwa.
Menurut Prof. Simons, yang dimaksudkan dengan ontuchtige handelingen
atau tindakan-tindakan melanggar kesusilaan itu ialah: tindakan-tindakan yang
berkenaan dengan maksud-maksud untuk mendapat kesenangan dengan cara yang
bertentangan dengan pandangan umum tentang kesusilaan atau dengan kata lain
55
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan melanggar norma kesusilaan dan norma kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 130
56
kata ontuchtige handelingen itu merupakan kata-kata yang mempunyai pengertian
yang sifatnya umum, sehingga termasuk pula dalam pengertiannya yakni
perbuatan-perbuatan melakukan hubungan kelamin seperti dimaksudkan dalam
Pasal 285 sampai dengan Pasal 287 KUHP.57
Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap
anak-anak antara lain:58
a. Kurangnya kontrol sosial dari lingkungan akibatnya mudah terpengaruh
dengan rangsangan lingkungan seperti film atau gambar-gambar porno;
b. Kurang pengawasan orangtua dan anak terlalu dimanjakan dengan
kemajuan teknologi dalam penggunaan akses internet sehingga maraknya
anak di bawah umur terlibat dalam kejahatan terhadap kesusilaan. Contoh:
akibat akses internet yang cepat dan mudah diperoleh membuat anak
menonton film porno yang akhirnya ingin menyalurkan dorongan
seksualnya yang sudah tidak dapat ditahannya lagi;
c. Masa labil yang membuat anak mudah terpengaruh. Peran orangtua sangat
berpengaruh besar dalam menjaga dan mendidik anak-anak hingga
orangtua harus memantau keadaan anak-anak apalagi saat keluar rumah.
Upaya-upaya dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana
pencabulan terhadap anak-anak antara lain:59
a. Mengurangi akses ke konten pornografi melalui berbagai media, baik
nyata ataupun maya.
57
Ibid, hal. 132
58
Hasil Diskusi dengan Ibu Tira Tirtona, SH.M.Hum. Hakim yang telah bersertifikasi hakim anak saat bertugas di Pengadilan Negeri Binjai, e-mail kepada penulis pada Tanggal 28 April 2017
59
b. Memutus mata rantai pornografi anak, di rumah, sekolah, lingkungan;
c. Pendidikan yang baik melalui pengajaran di sekolah maupun di rumah
ibadah tentang bahaya pornografi;
d. Pendidikan kepada orangtua dan masyarakat, agar aware tentang bahaya,
dan apa itu pornografi dan porno aksi;
e. Membatasi anak menonton siaran yang tidak mendidik di tv, baik itu film
maupun sinetron juga internet;
Tindak pidana pencabulan tidak hanya di atur dalam KUHP saja namun di
atur pula dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu Pasal 76D jo 81 atau
76E jo 82 Undang No. 35 Tahun 2014tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.60
60
Lihat UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan:
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
Hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam pasal 76D dipidana
penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)
(2) Ketentuan pidana berlaku pula bagi setiap orang yang dengan
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain
(3) Dilakukan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga
kependidikan pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana. atau,
Pasal 76E UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan:
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
Hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 82 UU No. 35 Tahun
2014 yang menyatakan:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 menjelaskan bahwa pelaku
kekerasan seksual terhadap anak diberikan pemberatan sanksi pidana yang juga
menerapkan bentuk pencegahan (preventif) dengan memberikan tindakan berupa
kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi bagi pelaku
tersebut.61 Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak.62
61
Lihat Penjelasan Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang
62
F. METODE PENULISAN
Metode penulisan diperlukan agar tujuan penulisan dapat lebih terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
1. Spesifikasi Penelitian
Metode penelitian hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
Normatif-Empiris. Penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan
berdasarkan perundang-undangan dan penelitian empiris yaitu penelitian terhadap
kenyataan atau fakta yang terjadi dalam penerapan hukum di masyarakat.63
63
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), hal. 41-42
Penelitian Normatif dalam hal ini, digunakan untuk menganalisa konsep-konsep
hukum, asas-asas hukum, dan peraturan berupa Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 35 Tahun 2014tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang
No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah
Pelaksana Undang-Undang No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Diversi dan Penanganan Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun,
Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 59 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak, dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, yang memang berkaitan dengan
Penelitian empiris yang dimaksudkan pada skripsi ini yaitu studi lapangan
selanjutnya untuk mendapatkan data maka dilakukan wawancara terhadap Jaksa
khusus Anak di Kejaksaan Negeri Binjai dan Hakim Anak di Pengadilan Negeri
Binjai untuk melihat bagaimana penerapan diversi dalam perkara anak yang
melakukan pencabulan sehingga dapat dijadikan bahan penerapan diversi pada
anak pelaku tindak pidana pencabulan.
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah Penelitian Kualitatif, yaitu
penelitian yang menekankan pada kajian mendalam terhadap konsep-konsep,
teori-teori, pandangan para ahli, dan kaitannya dengan tujuan dari sistem
peardilan yang digunakan di Indonesia sehingga dapat menambah wawasan dan
pandangan yang kemudian dimaksudkan untuk memberikan data yang berdasar
secara teoritis dan empiris.
2. Data dan Sumber Data
Penelitian Normatif-Empiris menggunakan jenis data primer dan data
sekunder. Data primer didapat melalui studi lapangan (field research) dan data
sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian
melainkan melalui studi pustaka (library research). Peneliti mendapat data yang
sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode,
baik secara komersial maupun nonkomersial.
Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait,
i. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
ii. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (SPPA)
iii. Peraturan Pemerintah Pelaksana Undang-Undang No. 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang
belum berumur 12 (dua belas) tahun
iv. Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
v. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 59 Tahun 2015 Tentang
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
vi. Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang
vii. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
viii. Undang-Undang No. 5 Tahun 1981 Tentang Hukum Pidana (KUHP)
ix. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul
skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan
sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media
elektronik.
c. Bahan hukum tertier, yang mencakup bahan yang memberi
sekunder, seperti: kamus hukum, jurnal ilmiah, dan bahan-bahan lain yang
relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan
dalam penulisan skripsi ini.
Data Primer yang didapatkan melalui studi lapangan bersumber dari aparat
penegak hukum yaitu Jaksa khusus Anak dan Hakim Anak yang secara langsung
menangani perkara anak dalam proses pelaksanaan diversi. Studi lapangan ini
dilakukan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dan pedoman
wawancara (interview guide).
3. Alat Pengumpul Data
Di dalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpul data,
yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan
wawancara atau interview. Ketiga alat tersebut dapat dipergunakan
masing-masing atau bersama-sama.64
4. Prosedur Pengumpulan Data
Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan
studi dokumen atau bahan pustaka dan wawancara atau interview yang disusun
secara ilmiah (metodologi) guna memperoleh data-data yang dipergunakan dalam
penyusunan sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu menjawab
permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya.
Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui studi pustaka
(literature research) dan studi lapangan (field research) yaitu hasil wawancara.
Penulis mengumpulkan, mengkomparasikan hasil wawancara dengan peraturan
perundang-undangan dan mensinkronkan data, menafsirkan, dan menemukan data
64
dari buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi untuk
memperoleh data dari sumber ini.
5. Analisis Data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa
secara perspektif dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis
kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan suatu
data yang mengandung makna dan dilakukan pada obyek yang alamiah.65
a. Menginterpretasikan data primer yang didapatkan melalui wawancara
jaksa/penuntut umum dan hakim anak yang ada di Kejaksaan Negeri
Binjai dan Pengadilan Negeri Binjai agar dapat dituangkan dalam bentuk
kalimat pada pembahasan permasalahan di skripsi ini.
Metode
analisis kualitatif yaitu dengan:
b. Mencari sumber-sumber bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang
dapat digunakan sebagai referensi pengerjaan skripsi ini.
c. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang akurat
dan relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
d. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di
atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka akan diberikan gambaran
secara ringkas mengenai uraian dari bab ke bab yang berkaitan satu dengan yang
lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
65
Pada bab ini digambarkan secara umum tentang latar belakang,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan yang akan berkenaan dengan
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.
BAB II : PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA
PENCABULANYANGDILAKUKANOLEH ANAK
Bab ini menguraikan tentangtinjauan umum, ancaman pidana dan
proses penanganan dan penyelesaian perkara anak dalam tindak
pidana pencabulan mengenai pengaturannya yaitu: Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang-Undang-Undang No. 35 Tahun
2014tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah
Pelaksana Undang-Undang No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang belum berumur
12 (dua belas) tahun, Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun
2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak, Peraturan Presiden Republik Indonesia No.
59 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak, dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2016
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas
menjadi Undang-Undang, dimana kemudian akan dibahas satu per
satu.
BAB III : PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DI PENGADILAN NEGERI BINJAI KLAS 1-B
Bab ini menguraikan tentang hasil dan pembahasan, yaitu Pertama
mengenai Pengaturan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak,
Pelaksanaan Diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Syarat-Syarat Diversi,
Pihak-Pihak yang hadir dalam pelaksanaan diversi,
Pertanggungjawaban Pidana Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana
Pencabulan, dan Penerapan Diversi terhadap Anak sebagai Pelaku
Tindak Pidana Pencabulan di Pengadilan Negeri Binjai Klas 1-B.
BAB IV : HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PROSES DIVERSI TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN
Pada bab ini akan diuraikan Pembahasan mengenai Hambatan
dalam Pelaksanaan Proses Diversi terhadap Anak sebagai Pelaku
Tindak Pidana Pencabulan baik dari Anak/Orangtua dan
Korban/Orangtua dan Upaya Mengatasi Hambatan dalam
Pelaksanaan Proses Diversi di Pengadilan Negeri Binjai Klas 1-B.
Bab ini merumuskan suatu kesimpulan dari bab-bab terdahulu
dengan butir-butir yang dianggap penting serta memberikan saran