• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis terhadap Diversi dalam Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Penetapan No. 05 Pid.Sus-Anak 2016 PN.Bnj)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis terhadap Diversi dalam Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Penetapan No. 05 Pid.Sus-Anak 2016 PN.Bnj)"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara Hukum.2 Hukum merupakan wujud dari

perintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengemban

kepercayaan dan perlindungan penduduk, baik di dalam maupun di luar

wilayahnya termasuk juga di dalamnya terhadap anak.3

Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai

macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai

bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam

melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam

pelaksanaan peradilan pidana anak yang asing bagi dirinya. Anak perlu mendapat

perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang

diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan kerugian mental, fisik, dan

sosial. Oleh karena itu, anak memiliki peraturan hukum yang disebut dengan

hukum anak agar anak sebagai calon generasi penerus bangsa tetap terpelihara demi

masa depan bangsa dan negara.4

Hukum Anak adalah sekumpulan peraturan hukum, yang mengatur tentang

anak. Pengaturan hukum tentang anak sudah tersebar dalam berbagai tingkat

perundang-undangan.Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak itu, meliputi:

Sidang Pengadilan Anak, Anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban

tindak pidana, Kesejahteraan Anak, Hak-hak Anak, Pengangkatan Anak, Anak

2

Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

3

Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara norma dan realita, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 3

4

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 2 (selanjutnya disebut Buku 1)

(2)

Terlantar, Kedudukan Anak, Perwalian, Anak Nakal,Anak yang berkonflik dengan

hukum (AKH) , dan lain sebagainya.5

Semua aturan yang dibuat pemerintah tersebut bertujuan agar perlindungan

anak betul-betul dapat diaktualisasikan dalam realitas kehidupan untuk menjamin

agar anak tidak mendapatkan diskriminasi dalam menjalankan kehidupannya agar

tetap tumbuh dan berkembang secara layak, baik dari segi jasmani, rohani

maupun sosial. Salah satunya adalah dengan memberikan perlindungan khusus

kepada Anak yang berkonflik dengan Hukum (AKH).6

Arus globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu

pengetahuan dan teknologi menimbulkan dampak positif dan dampak negatif.

Dampak positif pesatnya perkembangan antara lain terciptanya berbagai macam

produk yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh

melalui satelit dan meningkatnya pendapatan masyarakat. “Dampak negatifnya

antara lain semakin meningkatnya krisis nilai moral di masyarakat yang

berpotensi meningkatnya jumlah orang yang melawan hukum pidana dalam

berbagai bentuk”7, contohnya: Kenakalan Anak8

Kenakalan anak yang merupakan terjemahan dari istilah Juvenile

Delinquency (JD), adalah perbuatan anak yang melanggar hukum yang apabila

dilakukan oleh orang dewasa termasuk kategori kejahatan, dalam hal ini termasuk yang telah menyentuh ranah

tindak pidana pencabulan.

5

Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal.1

6

Menurut Ketentuan Umum UU SPPA, AKH adalah Anak yang berkonflik dengan Hukum yang berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana

7

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal.1 (selanjutnya disebut Buku 1)

8

(3)

perilaku pelanggaran anak terhadap ketentuan perundang-undangan yang khusus

diperuntukkan bagi mereka.9

Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan

dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang yang semuanya dalam

lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya seorang laki-laki meraba kelamin

seorang perempuan. Tindak pidana pencabulan di atur dalam kitab

undang-undang pidana (KUHP) pada bab XIV Buku ke- II yakni dimulai dari Pasal

289-296 KUHP, yang selanjutnya dikategorikan sebagai kejahatan terhadap

kesusilaan. Perbuatan Pencabulan yaitu “Barang siapa dengan kekerasan atau

dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan

dilakukan padanya perbuatan dihukum karena salahnya melakukan perbuatan

melanggar kesopanan dengan hukum penjara selama-lamanya sembilan

tahun”.10Tindak pidana pencabulan tidak hanya di atur dalam KUHP saja namun

di atur pula dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu Pasal 76D jo 81 atau

76E jo 82 Undang No. 35 Tahun 2014tentang perubahan atas

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.11

9

Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 3

10

Lihat Pasal 289 KUHP

11

(4)

Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan:

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang

lain.”

Hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 UU No. 35 Tahun

2014 yang menyatakan:12

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam pasal 76D dipidana

penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)

(2) Ketentuan pidana berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja

melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain

(3) Dilakukan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga

kependidikan pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana. atau,

Pasal 76E UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan:

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu

muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak

untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”

Hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 82 UU No. 35 Tahun

2014 yang menyatakan:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepoertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dari rumusan pasal di atas dimana dalam proses penanganan dan

penyelesaiannya terdapat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang

12

(5)

Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah Pelaksana Undang-Undang

No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak

yang belum berumur 12 (dua belas) tahun, dan Peraturan Mahkamah Agung No. 4

Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 59 Tahun 2015 Tentang

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang berwenang

dalam memberikan perlindungan kepada anak dalam memberikan secara teknis

dan memantau pelaksanaan dalam menangani perlindungan anak termasuk juga

anak yang melakukan tindak pidana adalah Deputi bidang Perlindungan anak.13

Ketentuan Umum dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 menjelaskan bahwa

untuk menyikapi fenomena kekerasan seksual terhadap anak maka diberikan efek

jera terhadap pelaku dan melakukan pencegahan agar tidak terjadi kekerasan

seksual terhadap anak namun tidak berlaku bagi pelaku anak.14

Situasi kasus pencabulan anak-anak dibawah umur cukup memprihatinkan,

dimana kasus tersebut terjadi di lingkungan terdekat seperti: sekolah, tempat

ibadah, keluarga, dan sebagainya. Sehingga sulit saat ini untuk menentukan mana

wilayah yang aman dan ramah untuk anak-anak, ketika lingkungan terdekat anak

merupakan tempat utama yang sering menyumbang terjadi kasus pencabulan

tersebut. Kejahatan bidang seksual/pencabulan membutuhkan perhatian yang

serius karena dapat mengakibatkan persoalan komplikatif (serius dan beragam)

13

Lihat Pasal 16 PERPRES No. 59 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

14

(6)

dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, terutama kehidupan kaum

perempuan, anak-anak dan masa depan suatu keluarga.15

Tindak kejahatan16 yang dilakukan anak sangat dipengaruhi beberapa faktor

lain di luar diri anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan

sebagainya17

Anak yang kebetulan melakukan kejahatan tetaplah anak, oleh karena itu ia

tetaplah untuk mendapatkan hak-haknya sebagai anak serta melakukan kewajiban , dan menyebabkan anak konflik hukum (selanjutnya disebut AKH).

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU

SPPA) Pasal 1 angka 2 bahwa Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak

yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan

anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum

(AKH) lebih dikhususkan terhadap anak sebagai pelaku suatu tindak pidana. Oleh

karena itu, Pertanggungjawaban pidana dikenakan pada anak yang berkonflik

dengan hukum dengan ketentuan yang telah secara tegas diatur dalam Pasal 1

angka 3 adalah anak yang berusia 12 (dua belas) tahun tetapi belum berusia 18

(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana, tidak terkecuali

terhadap anak yang melakukan pencabulan. Tindak pidana pencabulan yang

dilakukan oleh anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para

orang tua maupun masyarakat dan perilaku tersebut seolah-olah tidak berbanding

lurus dengan usia pelaku.

15

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual,

(Bandung: Refika Aditama, 2001), hal. 11-12

16

Tindak Kejahatan dalam hal ini, khususnya berupa pelanggaran hukum atau tindakan kriminal

17

(7)

sebagai anak.18 Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak

anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.19

Kewajiban berarti sesuatu yang wajib diamalkan (dilakukan), keharusan, tugas

yang harus dilakukan. Anak melakukan kewajiban ini bukan semata-mata sebagai

beban, tetapi justru dengan melakukan kewajiban-kewajiban ini menjadikan anak

tersebut berpredikat “anak yang baik”. Anak yang baik tidak hanya meminta

hak-haknya saja, tetapi akan melakukan kewajiban-kewajibannya.20

Hak-hak anak yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak,

seperti:21

1. Hak untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya;

2. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan;

3. Hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran;

4. Hak untuk menyatakan pendapat;

5. Hak untuk mendapat perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan

seksual dan kekerasan;

6. Hak untuk rehabilitasi dan menerima bantuan sosial bagi anak

penyandang Disabilitas;

7. Hak untuk diasuh oleh Orang Tua;

8. Hak untuk memperoleh perlindungan.

Mengenai kewajiban anak bahwa setiap anak berkewajiban untuk:22

1. Menghormati orang tua, wali dan guru;

2. Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman;

3. Mencintai tanah air, bangsa dan negara;

4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

5. Melaksanakan etika dan ahklak yang mulia.

Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan

salah satu aset pembangunan nasional, patut dipertimbangkan dan diperhitungkan

18

Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011) Cet.Pertama, hal. 21

19

Lihat Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

20

Setya Wahyudi, Op.Cit., hal. 26

21

Lihat Pasal 4 s/d Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002

22

(8)

dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan

yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib

bangsa akan sulit pula dibayangkan.23

Memberikan pemenuhan hak terhadap anak yang berkonflik dengan hukum,

pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak

Indonesia dengan menerbitkan berbagai peraturan perundangan yang merumuskan

perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu

implementasinya adalah dengan lahirnya UU SPPA, yang memberlakukan proses

pemeriksaan khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana yang

penanganannya melibatkan beberapa lembaga negara, yaitu Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan,Departemen Hukum dan HAM, serta Departemen Sosial,

secara terpadu dengan mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi

anak-anak.24

Melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem

peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan

kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove)

seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana

dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap

lebih baik untuk anak. Berdasarkan pikiran tersebut, maka lahirlah konsep

diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan.25

23

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (Bandung: PT. Alumni, 2010), hal.1

24

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia Cetakan Keempat (Revisi), (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 212 (selanjutnya disebut Buku 2)

25

(9)

Diversi merupakan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk

mengalihkan kasus pidana dari mekanisme formal ke mekanisme yang informal.

Pertimbangan dilakukannya diversi didasarkan pada alasan untuk memberikan

keadilan kepada anak yang terlanjur melakukan tindak pidana serta memberikan

kesempatan pada anak untuk memperbaiki dirinya.26Kriteria anak bisa di diversi

adalah anak berusia 12 (dua belas) sampai dengan belum berumur 18 (delapan

belas) tahun, meskipun sudah atau pernah kawin dengan tindak pidana yang

diancam penjara dibawah 7 (tujuh) tahun atau lebih dari 7 (tujuh) tahun dan bukan

merupakan pengulangan tindak pidana yang dikaji dari perspektif UU SPPA No.

11 Tahun 2012 dengan PERMA No. 4 Tahun 2014 dan PP No. 65 Tahun 2015.27

Pengadilan Negeri Binjai Klas 1-B adalah pengadilan yang menangani

perkara pidana yang berkedudukan di Kabupaten/Kota khusus nya di wilayah

hukum Kota Binjai, merupakan lembaga yang berperan dalam menjalankan

program diversi yang telah menerapkan sistem peradilan pidana anak yang sesuai

dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 tahun 2012,

Peraturan Mahkamah Agung Repubik Indonesia No. 4 Tahun 2014 tentang

Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan

Diversi dan Penanganan Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun dengan

memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dalam

proses peradilan pidana yang dihadapinya, meskipun proses peradilan pidana yang

harus dilalui anak jalurnya sama yaitu polisi, jaksa, pengadilan, Lembaga

26

M. Nasir Djamil, Anak Bukan untuk DihukumCetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 137

27

(10)

Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara

(LPAS) dan Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS). Adanya polisi

yang khusus menangani perkara anak dan polisi khusus yang dimaksud tersebut

adalah penyidik Polri yang terpilih dan memiliki dedikasi dan memahami masalah

anak. Dapat di tetapkan sebagai Penyidik Anak maka ada syarat-syarat yang harus

dipenuhi (Pasal 26 ayat (2)) UU SPPA), juga pada jaksa khusus anak, hakim anak,

lembaga pemasyarakatan khusus anak, lembaga penempatan anak sementara dan

lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial.28

Salah satu contoh kasus pencabulan yang terjadi di Binjai pada bulan

Oktober 2015 dilakukan oleh anak laki-laki berumur 13 (tiga belas) tahun dan

korbannya anak perempuan berumur 5 (lima) tahun di tempat pengambilan air

wudhu Mushola Al-Burhan saat ingin melaksanakan sholat maghrib bersama

teman-temannya. Korban tidak tahu cara mengambil air wudhu dan meminta

diajarin oleh teman-temannya, akan tetapi tidak ada temannya yang bersedia

mengajarinya. Setelah semua teman korban selesai mengambil air wudhu korban

pun ditinggal sendirian di kamar wudhu, lalu anak/pelaku datang dan mengajari

korban untuk mengambil air wudhu dan setelah selesai mengajari korban

mengambil air wudhu lalu anak/pelaku tiba-tiba melepaskan celana pendek dan

celana dalam yang dipakai korban, kemudian anak/pelaku juga

melorotkan/menurunkan celana ponggol dan celana dalamnya. Anak/pelaku

menggendong depan korban kemudian anak/pelaku memasukkan alat kelaminnya

yang telah menegang ke dalam alat kelamin/vagina korban dan

menekan-nekannya sehingga korban merasa kesakitan dan setelah itu korban dan

28

(11)

anak/pelaku masing-masing mengenakan kembali celana pendek dan celana

dalamnya, selanjutnya korban dan anak/pelaku pergi melaksanakan sholat.29

B. Permasalahan

Kasus pencabulan yang dilakukan oleh anak tersebut diselesaikan dengan

kekeluargaan yang dimusyawarahkan dengan diversi di Pengadilan Negeri Binjai

Klas 1-B melihat karena anak/pelaku dan korban masih tergolong anak-anak di

bawah umur. Hal ini penting untuk menjaga/menghindarkan anak agar tidak

mengalami traumatik atas cap/label sebagai pelaku kejahatannya dan korban

dipulihkan dari masa lalunya yang dapat mempengaruhi perkembangan kehidupan

anak ke depannya.

Berdasarkan uraian diatas,Penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan

judul “Tinjauan Yuridis terhadap Diversi dalam perkara Anak sebagai

Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Penetapan No. 05/Pid. Sus-Anak/2016/PN.Bnj)” yang kemudian akan dibahas pada bab-bab selanjutnya dalam skripsi ini.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan mengenai tindak pidana pencabulan yang

dilakukan oleh anak ?

2. Bagaimanakah penerapan diversi pada tindak pidana pencabulan yang

dilakukan oleh anak ?

29

(12)

3. Apakah hambatan dalam pelaksanaan proses diversi pada tindak pidana

pencabulan yang dilakukan oleh anak ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai tindak pidana pencabulan

yang dilakukan oleh anak.

2. Untuk mengetahui penerapan diversi terhadap anak sebagai pelaku

tindak pidana pencabulan

3. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan proses diversi

terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan dan sejauh

mana proses peradilan dapat memberikan rasa keadilan terhadap

korban pencabulan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

2. Manfaat Penulisan

Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang

dikemukakan diatas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk:

1. Manfaat secara Teoritis

Diharapkan dengan adanya skripsi ini dapat memberikan

informasi, masukan bagi pengembangan ilmu hukum pada

(13)

terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan dimana

sebagai kajian hukumyang membawa dampak positif bagi anak.

2. Manfaat secara Praktis

Hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran

dalam perkembagan ilmu hukum bagi masyarakat pada

umumnya dan para penegak hukum pada khususnya yang

berkaitan dengan masalah tindak pidana pencabulan yang terjadi

pada anak-anak dibawah umur.

D.Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil dari pemeriksaan dan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Pihak Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mengenai judul ”Tinjauan

Yuridis terhadap Diversi dalam perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Penetapan No. 05/Pid. Sus-Anak/2016/PN.Bnj)” Dinyatakan bahwa tidak adajudul yang sama. Walaupun ada seperti beberapa

judul skripsi yang diuraikan di bawah ini, dapat diyakinkan bahwa substansi

pembahasannya berbeda.

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis

sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat

merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis telah dilakukan

penelusuran dalam berbagai judul skripsi dan disertasi serta mencari

keterangan-keterangan baik berupa buku-buku, internet, peraturan perundang-undangan dan

pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan normatif-empiris terhadap

(14)

Pengadilan Negeri Binjai. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang

Fakultas Hukum yang mirip adalah:

1. Nama: Dian Antasari Ginting (Skripsi)

Nim: 070200156

Judul: Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai

UpayaPerlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada

Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan(Studi Kasus di

Kota Kabanjahe)

Permasalahan:

a. Bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap anak pelaku

tindak pidana dalam proses peradilan pidana anak di Kabanjahe?

b. Bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative justice

sebagai upaya perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana

pada tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan di Kabanjahe?

Yang ditemukan:

i. Dalam memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak

pidanaseharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan perlu

diatur dalam suatuperaturan perundang-undangan khusus agar lebih

jelas dan terperinci. Perluadanya pedoman bagi penegak hukum

(kepolisian, kejaksaan dan pengadilantentang prosedur peradilan

(15)

di kepolisian, jaksa penuntut umum khusus anak dan hakim khusus

dalam pengangani anak pelaku tindak pidana.

ii. Kepada Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan agar

menggunakan kewenangan diskresinya dengan mengadopsi konsep

diversi dan restorative justicedalam sistem peradilan pidana anak

2. Nama: Rahmaeni Zebua (Skripsi)

Nim: 100200155

Judul: Analisis Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Permasalahan:

a. Bagaimanakah sejarah perkembangan konsep diversi dan restorative

justicedalam menyelesaikan perkara anak?

b. Bagaimanakah penerapan konsep diversi dan restorative justice dalam

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak?

c. Apakah kelemahan pengaturan yang terdapat pada UU No.11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut?

Yang ditemukan:

i. Diharapkan adanya peraturan pelaksana terhadap undang-undang ini

sepertiPeraturan Pemerintah terkait diversi sebelum undang-undang

ini padaakhirnya berlaku. Peraturan ini juga harus dikaitkan dengan

adat istiadat dankebiasaan di dalam wilayah tertentu sebagai

penghargaan terhadap carapenyelesaian perkara anak di wilayah

(16)

ii. Pemerintah harus segera melakukan pelatihan teknis terhadap

Penyidik, penuntut umum, hakim, petugas kemasyarakatan dan para

tenaga social lainnya sehingga dapat menyelesaikan perkara anak

dengan baik. Pelatihan teknis tersebut dapat menjadi patokan terhadap

orang-orang yang telah layak untuk menyelesaikan perkara anak

terutama untuk di daerah-daerah.

iii. Pemerintah juga harus meninjau kembali sanksi pidana yang

ditetapkan kepada Penyidik, penuntut umum dan hakim yang apabila

tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan diversi. Hal ini

masih dipandang tidak efisien karena memandang pemulihan sebagai

tujuan utama penyelesaian perkara anak.

3. Nama: Dr. Marlina, S.H., M. Hum., (Disertasi)

Nomor Pokok: 08101024/S-3 HK

Program Studi: S-3 Ilmu Hukum

Judul: Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice dalam

Sistem Peradilan Anak di Indonesia (Suatu Studi di Kota Medan)

Permasalahan:

a. Apakah ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah memasukkan prinsip-prinsip

Beijing Rules ? dan bagaimanakah pelaksanaan sistem peradilan pidana

anak di Indonesia pasca berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 3 Tahun 1997 ?

b. Bagaimanakah konsep diversi dan restorative justice

(17)

c. Bagaimana prospek pengembangan konsep diversi dan restorative

justice dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia ?

Yang ditemukan:

i. Mengingat bahwa ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, masih ditemukan kekurangan ketentuan dalam

memberikan perlindungan terhadap anak, maka secepatnya dilakukan

diversi terhadap Undang-Undang tersebut. Revisi dilakukan dengan

memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan ketentuan

internasional tentang perlindungan terhadap anak dalam proses peradilan

pidana anak.

ii. Aparat penegak hukum dan masyarakat harus bekerjasama dan

membangun persepsi yang sama tentang perlindungan terhadap anak.

Konsep diversi dan restorative justice merupakan dua konsep yang

bertujuan mencari alternatif peneyelesaian terhadap anak pelaku tindak

pidana. Konsep diversi dilaksanakan dengan memaksimalkan hak

diskresi yang dimiliki oleh aparat penegak hukum yang menangani anak

yang bermasalah dengan hukum. Konsep restorative justice harus

dijalankan dengan memberikan pemahaman terhadap korban, pelaku,

keluarga korban, dan keluarga pelaku serta masyarakat untuk

bersama-sama memutuskan tindakan yang tepat terhadap pelaku tindak pidana.

iii. Pengembangan konsep diversi dan restorative justice dalam

penyelesaian anak pelaku tindak pidana, harus mendapat perhatian dari

masyarakat dan aparat penegak hukum. Untuk itu perlunya sosialisasi

(18)

akademisi diharapkan dapat berperan aktif mensosialisasikan konsep

tersebut dan pemerintah membuat kebijakan untuk mendukung

pelaksanaan konsep tersebut.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Diversi

Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “diversion” pertama

kali dikemukakan sebagai kosakata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang

disampaikan Presiden Komisi Pidana Australia di Amerika serikat pada tahun

1960.30

Konsep diversi di Indonesia muncul dikenalkan melalui sebuah acara-acara

seminar yang sering diadakan yang memberikan pengertian dan pemahamam

diversi, sehingga menimbulkan semangat dan keinginan untuk mempelajari jauh

lagi mengenai konsep diversi tersebut. Berdasarkan hasil seminar yang diketahui

bahwa, konsep diversi itu ditunjukan untuk memberikan perlindungan hukum bagi

anak yang berhadapan dengan hukum.Selanjutnya pada tahun 2004 di Jakarta

diadakan diskusi di antara aparat penegak hukum yang terkait dalam sistem

peradilan pidana anak untuk membicarakan langkah terbaik dalam upaya

penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana. Setelah adanya diskusi tersebut

para hakim di Bandung secara intern membicarakan tentang langkah awal yang

dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang bermasalah

dengan hukum yaitu dengan mendirikan ruang sidang khusus anak dan ruang

tunggu khusus anak.31

30

Marlina, Buku 2, Op. Cit., hal. 10

31

(19)

Konsep Diversi adalah Konsep untuk mengalihkan suatu kasus dari proses

formal ke proses informal. Proses Pengalihan ditujukan untuk memberikan

perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.32

Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari

proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.33

Definisi diversi menurut beberapa ahli diantaranya, Jack E. Bynum dalam

bukunya Juvenile Deliquence a Sosiological Approach, yaitu diversi adalah

sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku

tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. Menurut Romli

Artasasmita, Diversi yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau

mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap

anak selama proses pemeriksaan dimuka sidang.34

Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem

peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi anak pelaku tindak

pidana. Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang

pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan anak inilah yang Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan terhadap

anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak

menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan

memberikan stigmatisasai terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti

anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem

peradilan pidana.

32

Marlina, Buku 1, Op.Cit., hal.168

33

Lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 11 tahun 2012

34

(20)

membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi dari

sistem peradilan pidana formal.35Diskresi adalah pengalihan dari proses

pengadilan pidana secara formal ke proses non formal untuk diselesaikan secara

musyawarah. Pendekatan ini dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak

yang berkonflik dengan hukum.36

Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan

hukum negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai

prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk

menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang

tuanya. Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali,

akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk

membuat orang mentaati hukum.37

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan

kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik dan kembali melalui jalur

non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya

memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak

pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Prinsip keadilan tetap dijunjung tinggi dalam penegakan hukum, tidak

terkecuali saat penerapan prinsip-prinsip diversi dilaksanakan. Keadilan

menempatkan kejujuran dan perlakuan yang sama terhadap semua orang. Petugas

dituntut tidak membeda-bedakan orang dengan prinsip tindakan yang berubah dan

berbeda. Pelaksanaan diversi bertujuan mewujudkan keadilan dan penegakan

hukum secara benar dengan meminimalkan pemaksaan pidana.

(21)

Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan

dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate

treatment).38

Diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak,

menyelesaikan perkara pidana anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak

dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan

menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak.39

Proses penanganan pidana anak dari tingkat penyidikan di Kepolisian,

Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, dan Proses Persidangan di Pengadilan

oleh Majelis Hakim wajib untuk melakukan upaya diversi, dimaksudkan untuk

mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut.40

Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang

tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan,

dan pekerja sosial profesional. Dalam hali diperlukan, musyawarah dapat

melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat. Proses diversi wajib

memperhatikan:41

a. Kepentingan korban

b. Kesejahteraan dan tanggungjawab anak

c. Penghindaran stigma negatif

d. Penghindaran pembalasan

e. Keharmonisan masyarakat, dan

f.Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pertimbangan dilakukannya diversi didasarkan pada alasan untuk

memberikan keadilan kepada pelaku yang telah terlanjur melakukan tindak pidana

serta memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya. Diversi

38

Ibid, hal. 15

39

Lihat Pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012

40

Setya Wahyudi, Op.Cit., hal. 56

41

(22)

juga salah satu usaha untuk mengajak masyarakat untuk taat dan menegakan

hukum Negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai

prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk

menempuh jalur non pidana.

Terdapat tiga jenis pelaksanaan diversi, yaitu:42

a. Berorientasi kontrol sosial (social control orientation). Dalam hal ini

aparat penegak hukum menyerahkan anak pelaku pada

pertanggungjawaban dan pengawasan masyarakat;

b. Berorientasi pada social service, yaitu pelayanan sosial oleh masyarakat

dengan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan dan meyediakan

pelayanan bagi anak pelaku dan keluarganya;

c. Berorientasi pada restorative justice, yaitu memberi kesempatan kepada

pelaku untuk bertanggungjawab atas perbuatannya kepada korban dan

masyarakat. Semua pihak yang terlibat dipertemukan untuk bersama-sama

mencapai kesepakatan, apa tindakan terbaik untuk anak pelaku ini.

2. Pengertian Anak Pelaku Tindak Pidana

Berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yakni:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta konvensi Internasional, yaitu

42

(23)

Convention on the Rights of the Child sebagaimana telah diratifikasi oleh

Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun

1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi

tentang Hak-Hak Anak) sebagaimana telah diamandemen melalui Amandement to

Article 43 Paragraph 2 of the Convention on the Rights of the Child, yang telah

diratifikasi pula melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun

1998 tentang Pengesahan Amandement To Article 43 Paragraph 2 Of The

Convention On The Rights Of The Child (Perubahan Terhadap Pasal 43 ayat (2)

Konvensi tentang Hak-Hak Anak), bahwa yang dimaksud dengan anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun (termasuk anak yang

masih dalam kandungan), dan belum pula menikah.43

a. Untuk Perlindungan Anak diatur dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1

ayat (1) menyatakan “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Batas usia seseorang yang disebut sebagai anak-anak ketika melakukan

tindak pidana yaitu:

b. Untuk Peradilan Anak diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 ayat (1)

menyatakan “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah

mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”

43

(24)

c. Untuk Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam Undang-Undang

Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 1 ayat (3)

menyatakan “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya

disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi

belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak

pidana.”

Di samping batasan usia maksimum anak yang ditentukan oleh

undang-undang di atas, usia kedewasaan anak juga dapat ditentukan oleh ketentuan

hukum dan disiplin ilmu yang lain, seperti:44

a. Hukum Adat, seseorang dapat dinyatakan dewasa apabila ia sudah mentas

gawe atau kuat gawe;

b. Hukum Islam, seorang anak dapat dinyatakan dewasa apabila sudah

berakhil baliqh (sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang

buruk) atau sudah mengalami perkembangan fisik, seperti: bagi wanita

terdapat pertumbuhan bulu kelamin, perkembangan buah dada, dan sudah

mengeluarkan darah nifas atau menstruasi. Sedangkan bagi laki-laki,

sudah pernah bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya, terdapat

pertumbuhan kumis, dan mengalami perubahan suara yang membesar

(Jawa: agor-agori). Jumhur Ulama berpendapat bahwa kedewasaan anak

rata-rata berusia 9 tahun;

c. Secara Psikologis, kedewasaan anak waniita lebih cepat dibanding dengan

anak laki-laki, kedewasaan anak wanita berada di usia 14-15 tahun dan

anak laki-laki berada di usia 16-17 tahun.

44

(25)

Kenakalan anak, yang merupakan terjemahan dari istilah juvenile

delinquency, adalah perbuatan anak yang melanggar hukum yang apabila

dilakukan oleh orang dewasa termasuk kategori kejahatan, dalam hal ini termasuk

perilaku pelanggaran anak terhadap ketentuan perundang-undangan yang khusus

diperuntukkan bagi mereka.45

Kartini kartono menegaskan bahwa: Deliquency itu selalu mempunyai

konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh

anak-anak muda di bawah usia 22 (dua puluh dua) tahun. Menurut Sudarsono,

suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut

bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup atau Romli Atmasasmita mengatakan bahwa deliquency adalah suatu tindakan

atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan

dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh

masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa delikuensi sebagai tingkah

laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu

masyarakat. Kenakalan remaja adalah terjemahan kata juvenile deliquency dan

dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan

remaja yang bersifat asosial, bertentangan dengan agama, dan

ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Remaja adalah yang dalam usia

di antara dua belas tahun dan di bawah delapan belas tahun serta belum menikah.

45

(26)

suatu perbuatan yang anti sosial yang di dalamnya terkandung unsur-unsur anti

normatif.46

Soedjono Dirdjosisworo mengatakan bahwa kejahatan dapat ditinjau dari:47

a. Segi yuridis, yaitu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan

pelanggarnya diancam dengan sanksi;

b. Segi kriminologi, yaitu perbuatan yang melanggar norma-norma yang

berlaku di dalam masyarakat dan mendapat reaksi negatif dari masyarakat;

c. Segi psikologi, yaitu perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat

melanggar norma hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari sipelaku perbuatan tersebut.

Masalah perilaku remaja termasuk perilaku penyimpangannya baik dalam

kadarnya yang sederhana maupun yang canggih, tetap merupakan masalah yang

aktual dan perlu dicermati. Pendekatan-pendekatan perlu dilakukan berdasarkan

atas pemahaman akan sifat dan karakteristik jiwa remaja dengan segala

permasalahan kejiwaan yang dialaminya, dan berbagai lingkungan

kemasyarakatan yang melingkupinya (utamanya yang dikhawatirkan menjadi

faktor kriminogen), serta tetap memperhatikan persepsi dan aspirasi para remaja

sendiri, sehingga dapat dilahirkan alternatif pengantisipasian yang “trep” dan

dapat diterima oleh kalangan remaja sendiri.48

UU SPPA pada pasal 1 angka 3 menentukan bahwa Anak yang Berkonflik

dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12

(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana. Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak

yang melakukan tindak pidana, yang berumur 12(dua belas) tahun, tetapi belum

berumur 18 (delapan belas) tahun. Perbuatan terlarang bagi anak adalah yang

menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain

(27)

yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam ketentuan

UU SPPA, istilah anak nakal tidak dikenal lagi, tetapi istilah anak yang berkonflik

dengan hukum. Pasal 1 angka 3 UU SPPA menentukan bahwa Anak yang

Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah

berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun

yang diduga melakukan tindak pidana.49

Kedudukan keluarga sangat fundamental dan mempunyai peranan yang vital

dalam mendidik anak. Apabila pendidikan dalam keluarga gagal, maka anak

cenderung melakukan tindakan kenakalan dalam masyarakat dan sering menjurus

ke tindakan kejahatan atau kriminal. Andi Mappiare menyatakan bahwa remaja

ingin bebas menentukan tujuan hidupnya sendiri, sedang orang tua takut

memberikan tanggungjawab kepada remaja sehingga terus membayangi

remajanya. Remaja ingin diakui sebagai orang dewasa sementara orang tua masih

tidak melepaskannya sebab belum cukup diberi kebebasan. Remaja sedang berada

dalam proses berkembang ke arah kematangan atau kemandirian, remaja

memerlukan bimbingan karena mereka belum memiliki pemahaman atau

wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan

arah kehidupannya.50

a. Ada anggota lainnya dalam rumah tangga itu sebagai penjahat, pemabuk,

emosional;

Menurut B. Simanjuntak, kondisi-kondisi rumah tangga yang mungkin

dapat menghasilkan Anak Nakal adalah:

49

Maidin Gultom, Buku 2, Loc.Cit., hal. 68 50

(28)

b. Ketidakadaan salah satu atau kedua orang tuanya karena kematian,

perceraian atau pelarian diri;

c. Kurangnya pengawasan orang tua karena sikap masa bodoh, cacat

inderanya, atau sakit jasmani atau rohani;

d. Ketidakserasian karena adanya main kuasa sendiri, iri hati, cemburu,

terlalu banyak anggota kleluarganya dan mungkin ada pihak lain yang

campur tangan;

e. Perbedaan rasial, suku dan agama ataupun perbedaan adat istiadat, rumah

piatu, panti-panti asuhan.

Menurut A. Syamsudin Meliala dan E. Sumaryono, beberapa faktor

penyebab yang paling memengaruhi timbulnya kejahatan anak, yaitu:

a. Faktor lingkungan;

b. Faktor ekonomi;

c. Faktor psikologis.

Kartini kartono mengemukakan bahwa kriminalitas itu pada umumnya

merupakan kegagalan dari sistem pengontrol diri terhadap aksi-aksi instinktif;

juga menampilkan ketidakmampuan seseorang mengendalikan

emosi-emosiprimitif untuk disalurkan pada perbuatan yang bermanfaat. Menurut Bismar

Siregar, kenakalan anak disebabkan oleh modernisasi, masyarakat belum siap

menerimanya. Rumah tangga terbengkalai, karena kedua orang tua saling

menunjang mencari nafkah rumah tangga, berakibat anak tersia-sia.51

3. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan

51

(29)

Tindak pidana pencabulan dirumuskan dalam pasal 289 KUHP mengenai

perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan. Sebelum dijelaskan mengenai

pengertian pencabulan ada baiknya jika mengetahui terlebih dahulu mengenai

jenis-jenis pencabulan, yaitu sebagai berikut:52

a. Seduction-turned-into-rape, yaitu pencabulan yang ditandai dengan

adanya relasi antara pelaku dengan korban. Jarang digunakan kekerasan

fisik dan tidak ada maksud mempermalukan. Yang dituju adalah kepuasan

si pelaku dan si korban menyesali dirinya, karena sikapnya yang kurang

tegas

b. Domination rape, yaitu pencabulan yang dilakukan oleh mereka yang

ingin menunjukkan kekuasaannya, misalnya, majikan yang mencabuli

bawahannya. Tidak ada maksud menyakitinya, Keinginannya yaitu

bagaimana memilikinya secara seksual.

c. Sadistic rape, yaitu pencabulan yang dilakukan secara sadistik. Si pelaku

mendapatkan kepuasan seksual bukan karena bersetubuh, tetapi karena

perbuatan kekerasan terhadap “genetalia” dan tubuh si korban.

d. Anger rape, merupakan ungkapan pencabulan yang karena kemarahan

dilakukan dengan sifat brutal secara fisik. Seks menjadi senjatanya dan

dalam hal ini tidak diperolehnya kenikmatan seksual. Yang dituju sering

kali keinginan untuk mempermalukan si korban.

e. Exploitation rape, merupakan jenis pencabulan di mana si wanita sangat

bergantung pada si pelaku, baik dari sosial maupun ekonomi. Sering kali

terjadi di mana si istri dipaksa oleh si suami. Kalaupun ada persetujuan, itu

52

Jenis-jenis pencabulan:

(30)

bukan karena ada keinginan seksual dari si istri, melainkan sering kali

demi kedamaian rumah tangga.

Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul, sebagaimana

disebutkan di dalam pasal 289 KUHP, adalah segala perbuatan yang melanggar

kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang semua ada kaitannya dengan

nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,

meraba-rababuah dada, dan semua bentuk-bentuk perbuatan cabul. Persetubuhan

juga masuk dalam pengertian ini.53

Apabila rumusan pasal 289 tersebut rinci, akan terlihat Unsur-unsur

berikut:

Pasal 289 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengn kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang

untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam

karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan,

dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

54

a. Perbuatannya: memaksa;

b. Caranya: dengan:

i. Kekerasan;

ii. Ancaman kekerasan;

c. Objeknya: seseorang untuk:

i. Melakukan; atau

ii. Membiarkan dilakukan.

53

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia,1996), hal. 212

54

(31)

Walaupun undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur

kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan tindak pidana seperti yang

dimaksudkan dalam Pasal 289 itu harus dilakukan dengan sengaja, yakni karena

perbuatan memaksa orang lain tentunya tidak dapat dilakukan dengan tidak

disengaja.55

Untuk dapat menyatakan seorang terdakwa terbukti mempunyai

kesengajaan dalam melakukan tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam

Pasal 289 KUHP, baik penuntut umum maupun hakim harus dapat

membuktikan:56

a. Tentang adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk memakai

kekerasan;

b. Tentang adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk memaksa

seseorang;

c. Tentang adanya pengetahuan terdakwa bahwa yang ia paksakan

melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan, baik

oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.

Jika salah satu dari kehendak, maksud atau pengetahuan terdakwa itu

ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim akan memberikan putusan bebas dari

tuntutan hukum bagi terdakwa.

Menurut Prof. Simons, yang dimaksudkan dengan ontuchtige handelingen

atau tindakan-tindakan melanggar kesusilaan itu ialah: tindakan-tindakan yang

berkenaan dengan maksud-maksud untuk mendapat kesenangan dengan cara yang

bertentangan dengan pandangan umum tentang kesusilaan atau dengan kata lain

55

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan melanggar norma kesusilaan dan norma kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 130

56

(32)

kata ontuchtige handelingen itu merupakan kata-kata yang mempunyai pengertian

yang sifatnya umum, sehingga termasuk pula dalam pengertiannya yakni

perbuatan-perbuatan melakukan hubungan kelamin seperti dimaksudkan dalam

Pasal 285 sampai dengan Pasal 287 KUHP.57

Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap

anak-anak antara lain:58

a. Kurangnya kontrol sosial dari lingkungan akibatnya mudah terpengaruh

dengan rangsangan lingkungan seperti film atau gambar-gambar porno;

b. Kurang pengawasan orangtua dan anak terlalu dimanjakan dengan

kemajuan teknologi dalam penggunaan akses internet sehingga maraknya

anak di bawah umur terlibat dalam kejahatan terhadap kesusilaan. Contoh:

akibat akses internet yang cepat dan mudah diperoleh membuat anak

menonton film porno yang akhirnya ingin menyalurkan dorongan

seksualnya yang sudah tidak dapat ditahannya lagi;

c. Masa labil yang membuat anak mudah terpengaruh. Peran orangtua sangat

berpengaruh besar dalam menjaga dan mendidik anak-anak hingga

orangtua harus memantau keadaan anak-anak apalagi saat keluar rumah.

Upaya-upaya dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana

pencabulan terhadap anak-anak antara lain:59

a. Mengurangi akses ke konten pornografi melalui berbagai media, baik

nyata ataupun maya.

57

Ibid, hal. 132

58

Hasil Diskusi dengan Ibu Tira Tirtona, SH.M.Hum. Hakim yang telah bersertifikasi hakim anak saat bertugas di Pengadilan Negeri Binjai, e-mail kepada penulis pada Tanggal 28 April 2017

59

(33)

b. Memutus mata rantai pornografi anak, di rumah, sekolah, lingkungan;

c. Pendidikan yang baik melalui pengajaran di sekolah maupun di rumah

ibadah tentang bahaya pornografi;

d. Pendidikan kepada orangtua dan masyarakat, agar aware tentang bahaya,

dan apa itu pornografi dan porno aksi;

e. Membatasi anak menonton siaran yang tidak mendidik di tv, baik itu film

maupun sinetron juga internet;

Tindak pidana pencabulan tidak hanya di atur dalam KUHP saja namun di

atur pula dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu Pasal 76D jo 81 atau

76E jo 82 Undang No. 35 Tahun 2014tentang perubahan atas

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.60

60

Lihat UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan:

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang

(34)

Hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam pasal 76D dipidana

penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)

(2) Ketentuan pidana berlaku pula bagi setiap orang yang dengan

sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain

(3) Dilakukan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga

kependidikan pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana. atau,

Pasal 76E UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan:

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu

muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak

untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”

Hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 82 UU No. 35 Tahun

2014 yang menyatakan:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 menjelaskan bahwa pelaku

kekerasan seksual terhadap anak diberikan pemberatan sanksi pidana yang juga

menerapkan bentuk pencegahan (preventif) dengan memberikan tindakan berupa

kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi bagi pelaku

tersebut.61 Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak.62

61

Lihat Penjelasan Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang

62

(35)

F. METODE PENULISAN

Metode penulisan diperlukan agar tujuan penulisan dapat lebih terarah dan

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

1. Spesifikasi Penelitian

Metode penelitian hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

Normatif-Empiris. Penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan

berdasarkan perundang-undangan dan penelitian empiris yaitu penelitian terhadap

kenyataan atau fakta yang terjadi dalam penerapan hukum di masyarakat.63

63

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), hal. 41-42

Penelitian Normatif dalam hal ini, digunakan untuk menganalisa konsep-konsep

hukum, asas-asas hukum, dan peraturan berupa Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 35 Tahun 2014tentang perubahan atas

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang

No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah

Pelaksana Undang-Undang No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan

Diversi dan Penanganan Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun,

Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan

Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Presiden Republik

Indonesia No. 59 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak, dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016

Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, yang memang berkaitan dengan

(36)

Penelitian empiris yang dimaksudkan pada skripsi ini yaitu studi lapangan

selanjutnya untuk mendapatkan data maka dilakukan wawancara terhadap Jaksa

khusus Anak di Kejaksaan Negeri Binjai dan Hakim Anak di Pengadilan Negeri

Binjai untuk melihat bagaimana penerapan diversi dalam perkara anak yang

melakukan pencabulan sehingga dapat dijadikan bahan penerapan diversi pada

anak pelaku tindak pidana pencabulan.

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah Penelitian Kualitatif, yaitu

penelitian yang menekankan pada kajian mendalam terhadap konsep-konsep,

teori-teori, pandangan para ahli, dan kaitannya dengan tujuan dari sistem

peardilan yang digunakan di Indonesia sehingga dapat menambah wawasan dan

pandangan yang kemudian dimaksudkan untuk memberikan data yang berdasar

secara teoritis dan empiris.

2. Data dan Sumber Data

Penelitian Normatif-Empiris menggunakan jenis data primer dan data

sekunder. Data primer didapat melalui studi lapangan (field research) dan data

sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian

melainkan melalui studi pustaka (library research). Peneliti mendapat data yang

sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode,

baik secara komersial maupun nonkomersial.

Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait,

(37)

i. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

ii. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak (SPPA)

iii. Peraturan Pemerintah Pelaksana Undang-Undang No. 65 Tahun 2015

Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang

belum berumur 12 (dua belas) tahun

iv. Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman

Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

v. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 59 Tahun 2015 Tentang

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

vi. Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang

vii. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

viii. Undang-Undang No. 5 Tahun 1981 Tentang Hukum Pidana (KUHP)

ix. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul

skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan

sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media

elektronik.

c. Bahan hukum tertier, yang mencakup bahan yang memberi

(38)

sekunder, seperti: kamus hukum, jurnal ilmiah, dan bahan-bahan lain yang

relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan

dalam penulisan skripsi ini.

Data Primer yang didapatkan melalui studi lapangan bersumber dari aparat

penegak hukum yaitu Jaksa khusus Anak dan Hakim Anak yang secara langsung

menangani perkara anak dalam proses pelaksanaan diversi. Studi lapangan ini

dilakukan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dan pedoman

wawancara (interview guide).

3. Alat Pengumpul Data

Di dalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpul data,

yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan

wawancara atau interview. Ketiga alat tersebut dapat dipergunakan

masing-masing atau bersama-sama.64

4. Prosedur Pengumpulan Data

Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan

studi dokumen atau bahan pustaka dan wawancara atau interview yang disusun

secara ilmiah (metodologi) guna memperoleh data-data yang dipergunakan dalam

penyusunan sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu menjawab

permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya.

Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui studi pustaka

(literature research) dan studi lapangan (field research) yaitu hasil wawancara.

Penulis mengumpulkan, mengkomparasikan hasil wawancara dengan peraturan

perundang-undangan dan mensinkronkan data, menafsirkan, dan menemukan data

64

(39)

dari buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi untuk

memperoleh data dari sumber ini.

5. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa

secara perspektif dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis

kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan suatu

data yang mengandung makna dan dilakukan pada obyek yang alamiah.65

a. Menginterpretasikan data primer yang didapatkan melalui wawancara

jaksa/penuntut umum dan hakim anak yang ada di Kejaksaan Negeri

Binjai dan Pengadilan Negeri Binjai agar dapat dituangkan dalam bentuk

kalimat pada pembahasan permasalahan di skripsi ini.

Metode

analisis kualitatif yaitu dengan:

b. Mencari sumber-sumber bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang

dapat digunakan sebagai referensi pengerjaan skripsi ini.

c. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang akurat

dan relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

d. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di

atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka akan diberikan gambaran

secara ringkas mengenai uraian dari bab ke bab yang berkaitan satu dengan yang

lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

65

(40)

Pada bab ini digambarkan secara umum tentang latar belakang,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi

penelitian, dan sistematika penulisan yang akan berkenaan dengan

permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

BAB II : PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA

PENCABULANYANGDILAKUKANOLEH ANAK

Bab ini menguraikan tentangtinjauan umum, ancaman pidana dan

proses penanganan dan penyelesaian perkara anak dalam tindak

pidana pencabulan mengenai pengaturannya yaitu: Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang-Undang-Undang No. 35 Tahun

2014tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah

Pelaksana Undang-Undang No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman

Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang belum berumur

12 (dua belas) tahun, Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun

2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak, Peraturan Presiden Republik Indonesia No.

59 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak, dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2016

Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas

(41)

menjadi Undang-Undang, dimana kemudian akan dibahas satu per

satu.

BAB III : PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DI PENGADILAN NEGERI BINJAI KLAS 1-B

Bab ini menguraikan tentang hasil dan pembahasan, yaitu Pertama

mengenai Pengaturan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak,

Pelaksanaan Diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Syarat-Syarat Diversi,

Pihak-Pihak yang hadir dalam pelaksanaan diversi,

Pertanggungjawaban Pidana Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana

Pencabulan, dan Penerapan Diversi terhadap Anak sebagai Pelaku

Tindak Pidana Pencabulan di Pengadilan Negeri Binjai Klas 1-B.

BAB IV : HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PROSES DIVERSI TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN

Pada bab ini akan diuraikan Pembahasan mengenai Hambatan

dalam Pelaksanaan Proses Diversi terhadap Anak sebagai Pelaku

Tindak Pidana Pencabulan baik dari Anak/Orangtua dan

Korban/Orangtua dan Upaya Mengatasi Hambatan dalam

Pelaksanaan Proses Diversi di Pengadilan Negeri Binjai Klas 1-B.

(42)

Bab ini merumuskan suatu kesimpulan dari bab-bab terdahulu

dengan butir-butir yang dianggap penting serta memberikan saran

Referensi

Dokumen terkait

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI... PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN

kelengkapan organisasi BPIP yang memiliki tugas melaksanakan penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai..

Sebagaimana dikatakan bahwa masalah itu merupakan kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang tentunya dibutuhkan penyelesaian yang pasti sebagaimana yang terjadi

pengembangan anak usia dini yang holistik dan terintegrasi terutama keterpaduan PAUD, BKB, dan Posyandu; (4) untuk mengevaluasi pelaksanaan pelayanan PAUD yang

Jakarta, March 23, 2008 – PT Indosat Tbk (“Indosat”) announced today that Moody's Investors Service (Moody’s), Standard & Poor's Ratings Services (Standard & Poor’s)

Diasumsikan bahwa trehalosa yang ditambahkan ke dalam pengencer akan berasosiasi dengan karbohidrat tersebut sehingga membran plasma terlindungi dari kerusakan

DD Form 2 0 0 “DD Foti” 626 DD Form 805 DD Form 858 DD Form 1222 DD Form 1225 DD Form 1387-2 DD Form 1532 DD Form 1574 DD Form 1574-1 DD Form 1575 DD Form 1575-1 DD Form 1576 DD

Proses pada sistem e- Research Management dimulai dari pengajuan proposal oleh peneliti, persetujuan proposal oleh pihak pengelola penelitian di perguruan tinggi, pencatatan