BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tanaman Sirih
2.1.1 Morfologi tanaman sirih
Sirih merupakan tanaman terna, tumbuh merambat atau menjalar, tinggi
5m sampai 15 m. Helaian daun berbentuk bundar telur lonjong pada bagian
pangkal berbentuk jantung atau agak bundar, tulang daun bagian bawah gundul
atau berambut sangat pendek, tebal, bewarna putih, panjang 5 cm sampai 18 cm,
lebar 2,5 cm sampai 10,5 cm bunga berbentuk bulir berdiri sendiri di ujung
cabang dan berhadapan dengan daun. Bulir jantan, panjang gagang 1,5 cm sampai
3 cm, benang sari sangat pendek. Bulir betina, panjang gagang 2,5 cm sampai 6
cm. Kepala putik 3 sampai 5. Buah buni, bulat, dengan ujung gundul. Bulir masak
berambut kelabu, rapat, tebal 1 cm sampai 1,5 cm (Ditjen POM, 1995).
2.1.2 Sistematika Tanaman Sirih
Menurut Herbarium Medanense (Meda) sistematika tumbuhan sirih adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Piperales
Marga : Piper
Jenis : Piper betle L
2.1.3 Nama lain Tanaman Sirih
Tanaman sirih memiliki nama lain yang biasa disebut dengan sireh
(Minangkabau), Jabai (Lampung), demban (Batak toba), belo (Batak Karo),
burangir (Mandailing), tawuo (Nias), ranub (Aceh), suruh atau sedah (Jawa),
Seureuh (Sunda). Betle (Prancis), Betle, betlehe, Fitele (Portugal). (Azwar, 2010).
2.1.4 Kandungan dan Khasiat
Menurut MMI Edisi IV, daun sirih mengandung senyawa organik yaitu
minyak atsiri flavonoida, tanin, triterpenoid/steroida, saponin zat aktif yang
dikandung daun sirih yang berperan sebagai antibakteri yaitu senyawa flavonoid,
tanin, saponin (Robinson, 1995). Senyawa flavonoid yang berfungsi sebagai
antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstrak
seluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan, 1999).
Saponin termasuk dalam kelompok antibakteri yang mengganggu
permeabilitas membran sel bakteri yang mengakibatkan kerusakan membran sel
dan menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel bakteri
yaitu protein, asam nukleat dan nukleotida (Ganiswarma, 1995). Senyawa tanin
merupakan senyawa metabolit sekunder pada tumbuhan yang bersifat sebagai
antibakteri, memiliki kemampuan menyamak kulit dan juga dikenal sebagai
2.2 Ekstraksi
Ektraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu
pelarut cair. Simplisia yang diekstraksi mengandung senyawa aktif yang dapat
larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan
lain-lain. (Ditjen POM, 2000). Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh
dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut
diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga
memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).
2.2.1 Metode Ekstraksi
Menurut Ditjen POM (2000), ada beberapa metode ekstraksi yaitu:
a. Cara Dingin
Ekstraksi dengan cara dingin terdiri dari :
1. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Secara tekonologi termasuk ekstraksi dengan prinsip
metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik
berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi
berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
2. Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu
pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,
tahap maserasi antara, tahap pekolasi sebenarnya (penetesan/penampungan
ekstrak) terus menerus sampai diperoleh ekstak (perkolat) yang jumlahnya
1 sampai 5 kali bahan.
b. Cara Panas
Ekstraksi dengan cara panas terdiri dari:
1. Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut
terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
2. Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50oC.
3. Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang
selalu baru, dilakukan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
4. Infudansi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90oC selama 15 menit.
5. Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90oC selama 30 menit.
2.3 Antibiotik
Antibiotika adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri,
jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu proses
biokimia mikroorganisme lain. Istilah „antibiotika‟ sekarang meliputi senyawa
Sifat antibiotika adalah harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin
artinya obat tersebut harus bersifat sangat toksik untuk mikroba tetapi relatif tidak
toksik untuk hospes (setiabudy, 2007).
2.3.1 Penggolongan antibiotik
Antibiotik dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian, yaitu :
a. Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik dikelompokkan dalam lima
kelompok yaitu :
1. Menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga menghilangkan
kemampuan berkembang biak dan menimbulkan lisis, contoh penisilin
dan sefalosporin.
2. Mengganggu keutuhan membrane sel, mempengaruhi permeabilitas
sehingga menimbulkan kebocoran dan kehilangan senyawa
intraselular, contoh nistatin.
3. Menghambat sintesis protein sel bakteri, contoh tetrasiklin,
kloramfenikol dan eritromisin.
4. Menghambat sintesis asam nukleat contoh rifamfisin dan golongan
kuinolon.
5. Menghambat metabolisme sel bakteri, contoh sulfonamik.
b. Berdasarkan struktur kimia, antibiotik terdiri atas:
1. Antibiotik β-laktam, yang terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok
penisilin (ampisilin, amoksilin, dan lain-lain) dan kelompok sefalosporin
(sefalotin, sefaliridin, dan lain-lain).
2. Aminoglikosida, terdiri dari streptomisin, kanamisin, gentaminisin,
3. Kloramfenikol, terdiri dari kloramfenikol dan tiamfenikol.
4. Tetrasiklin, terdiri dari tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin,
doksisiklin, minosiklin.
5. Makrolida dan antibiotik yang berdekatan, terdiri dari eritromisin,
klindamisin, sinergistin.
6. Rifampisin, yaitu rifampisin.
7. Polipeptida siklik, yaitu basitrasin.
8. Antibiotik polien, terdiri dari mistatin, dan amfoterisin.
9. Antibiotik lain terdiri dari griseofulvin dan vankomisin.
c. Berdasarkan daya kerja, antibiotik dibagai dalam dua kelompok yaitu :
1. Bakteriostatik, yaitu menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri
atau bekerja menghambat sintesis protein bakteri contoh tetrasiklin,
kloramfenikol, feritronisin, linkomisin, klindamisin, sulfonamid.
2. Bakterisid, yaitu membunuh bakteri secara langsung atau bekerja
menghambat biosintesis dinding sel dan membran sitoplasma bakteri,
contoh penisilin dan turunannya, basitrasin, aminoglikosida, polimiksin,
rifampisin, sefalosporin, polipeptida. Sintesis dinding sel bakteri yang
terganggu maka bakteri tidak mampu mengatasi perbedaan tekanan
osmosis diluar dan dalam sel yang mengakibatkan kehancurannya.
Antibiotik kelompok bakterisid dapat bersifat bakteriostatik atau tidak
bekerja sama sekali pada dosis rendah, sebaliknya kelompok bakteriostatik
dapat bersifat bakterisid pada dosis tinggi. Pengunaan bakterisid penting
pada keadaan tubuh yang lemah, bila kadar antibodi tubuh tidak memadai,
baru sembuh dari sakit yang lama. Antibiotik bakteriostatik dapat
digunakan pada infeksi akud dan ringan serta jika jumlah antibodi dalam
tubuh masih memadai.
d. Berdasarkan spektrum kerja, antibiotik terdiri dari:
1. Spektrum sempit, bekerja terhadap beberapa jenis bakteri saja, contoh :
penisilin, eritromisin, klindamisin, hanya bekerja terhadap bakteri
grampositif dan gentamisin hanya bekerja terhadap gram negatif.
2. Spektrum luas, bekerja terhadap lebih banyak bakteri baik gram negatif
maupun gram positif serta jamur, contoh tetrasiklin, dan kloramfenikol,
ampisilin, sulfonamid, sefalosporin, rifampisin. (Tjay dan Rahardja, 2003).
2.3.2 Amoksisilin
rumus bangun amoksisilin dapat dilihat dalam gambar 2.1 dibawah ini.
Amoksisilin adalah antibiotik dengan spectrum luas, digunakan untuk
pengobatan seperti infeksi saluran pernafasan, saluran empedu, dan saluran seni,
gonorhu, gastroenteris, meningitis, dan infeksi salmonella sp; seperti demam
tipoid. Amoksisilin adalah turunan penisilin yang tahan asam tetapi tidak tahan
terhadap penisilinase (Siswandono, 2000).
Amoksisilin merupakan turunan dari penisilin semi sintetik dan stabil
dalam suasana asam lambung. Amoksisilin diabsorpsi dengan cepat dan baik pada
saluran pencernaan, tidak tergantung adanya makanan. Amoksisilin terutama
diekskresikan dalam bentuk tidak berubah di dalam urin. Ekskresi amoksisilin
dihambat saat pemberian dengan probenesit sehingga memperpanjang efek terapi
(Siswandono, 2000).
2.3.3 Kombinasi Zat yang Bersifat Antibakteri
Kombinasi antibakteri atau antimikroba yang digunakan menurut indikasi
yang tepat dapat memberikan manfaat klinik yang besar. Penggunaan kombinasi
antibakteri (antibiotik) dimungkinkan dengan tujuan untuk menghadapi campuran
infeksi bakteri. Dengan kombinasi diharapkan mendapatkan hasil yang
sinergisme. Sehingga perlu dicari terapi alternatif yang lebih aman dengan
melakukan kombinasi zat yang bersifat antibakteri dan diharapkan memberikan
efek yang sinergis. Sinergisme adalah kerja sama antara dua obat dan dikenal
dengan dua jenis:
a. Adisi (penambahan) yaitu efek kombinasi yang dihasilkan antara dua obat
merupakan hasil yang sama dengan jumlah kegiatan dari masing-masing
b. Potensiasi (peningkatan potensi) adalah efek dari kedua obat saling
memperkuat khasiatnya, sehingga terjadi efek yang melebihi jumlah
matematis dari a+b.
Jika hasil penjumlahan kedua diameter zona hambat obat A dan obat B
melebihi dari jumlah diameter zona hambat secara tunggal maka dapat dipastikan
bahwa kombinasi obat A dan B bersifat sinergisme potensiasi (Chin, 2000;
Mulyantono dan Isman, 2008; Tjay dan Rahardja, 2007).
Pengujian untuk melihat efek sinergisme dari kombinasi kedua antibakteri
dapat juga dilakukan dengan cara Disk Diffusion Testing (DDT) dimana pengujian dilakukan menggunakan cakram, pengujian ini sama dengan metode test Kirby &
Bauer. Disk atau cakram terlebih dahulu masing-masing diresapi dengan agen antimikroba tunggal kemudian keduanya ditempatkan pada jarak yang sama
dengan jumlah dari jari-jari zona penghambatan agen antimikroba saat diuji secara
terpisah atau tunggal. Kombinasi dikatakan bersifat sinergisme jika menunjukkan
peningkatan atau membentuk seperti jembatan pada atau dekat persimpangan dari
dua zona hambat, atau hambatan dari pertumbuhan yang merupakan efek
kombinasi dari kedua agen antimikroba (Schwalbe, et al., 2007). Kombinasi yang
bersifat sinergisme dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2.2 Gambaran efek kombinasi agen antimikroba secara DDT
Keterangan: A= Kombinasi bersifat aditif
B= Kombinasi bersifat sinergis
C= Kombinasi bersifat antagonis
D= Kombinasi bersifat sinergis (Sumber: Schwalbe, et al., 2007).
2.4 Sterilisasi
Sterilisasi merupakan suatu proses yang dilakukan untuk tujuan
membunuh atau menghilangkan mikroorganisme yang tidak diingingkan pada
suatu objek atau spesimen. Cara-cara sterilisasi (Pratiwi, 2008) yaitu:
a. Sterilisasi dengan bahan kimia, contoh: senyawa fenol dan turunannya.
Desinfektan ini digunakan misalnya untuk membersihkan area tempat
bekerja.
b. Sterilisasi kering digunakan untuk alat-alat gelas misalnya cawan petri dan
tabung reaksi. Waktu sterilisasi selama ±2 jam, berdaya penetrasi rendah.
Ada dua metode sterilisasi panas kering yaitu dengan insinerasi, yaitu
pembakaran dengan api bunsen dan oven dengan temperatur sekitar
160 – 170o C.
c. Sterilisasi basah, biasanya menggunakan uap panas bertekanan dalam
autoklaf. Media biakan, larutan dan kapas dapat disterilkan dengan cara
ini. Autoklaf merupakan suatu alat pemanas bertekanan tinggi dengan
meningkatnya suhu air maka tekanan udara akan bertambah dalam
autoklaf yang tertutup rapat. Sejalan dengan meningkatnya tekanan di atas
tekanan udara normal, titik air meningkat. Biasanya pemanasan autoklaf
berada pada suhu 1210 C selama 15 menit.
d. Filtrasi bakteri, digunakan untuk mensterilkan bahan-bahan yang terurai
atau tidak tahan panas.
2.5Bakteri
Nama bakteri berasal dari kata “baterion” (bahasa Yunani) yang berarti
tongkat atau batang. Sekarang namanya dipakai untuk menyebutkan sekelompok
mikroorganisme yang bersel satu berbiak dengan pembelahan diri, serta sangat
kecil sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1987).
Pertumbuhan dan perkembangan bakteri dapat dipengaruhi oleh :
a. Temperatur
Proses pertumbuhan bakteri tergantung pada reaksi kimiawi dan
laju reaksi kimia yang dipengaruhi oleh temperatur. Berdasarkan ini maka
bakteri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Bakteri psikofil, yaitu bakteri ysng dapat hidup pada temperatur
2. Bakteri mesofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur
maksimal 45o C, temperatur optimum adalah 20-40o C.
3. Bakteri termofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur
maksimal 100o C, temperatur optimum 55-65o C.
Temperatur optimum biasanya merupakan refleksi dari lingkungan
normal organisme tersebut oleh karena itu bakteri-bakteri pathogen bagi
manusia biasanya tumbuh dengan baik pada 37o C (Pratiwi, 2008).
b. pH
pH optimum bagi kebanyakan bakteri terletak antara 6,5 dan 7,5.
Namun ada beberapa microorganisme yang dapat tumbuh pada keadaan
yang sangat asam atau alkali (Pratiwi, 2008).
c. Tekanan osmosis
Osmosis merupakan perpindahan air melewati membran
semipermeabel karena ketidakseimbangan material terlarut dalam media.
Medium yang sangat baik untuk pertumbuhan sel adalah medium isotonis
terhadap sel tersebut. Dalam larutan hipotonik air akan masuk kedalam sel
sehingga menyebabkan sel membengkak, sedangkan dalam larutan
hipertonik air akan keluar dari sel sehingga membran plasma mengerut
dan lepas dari dinding sel (Plasmolisis) (Pratiwi, 2008; Lay, 1994).
d. Oksigen
Berdasarkan kebutuhan oksigen mikroorganisme dikenal menjadi
empat golongan yaitu:
1. Bakteri aerob, yaitu bakteri yang membutuhkan oksigen untuk
2. Bakteri anaerob, yaitu bakteri yang dapat tumbuh tanpa oksigen.
3. Bakteri anaerob fakultatif, yaitu bakteri yang dapat tumbuh dengan
oksigen ataupun tanpa oksigen.
4. Bakteri mikroaerob, yaitu bakteri yang dapat tumbuh baik dengan
adanya sedikit oksigen (Pratiwi, 2008)
e. Nutrisi
Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan
pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya nutrisi dibedakan
menjadi dua yaitu makroelemen (elemen yang diperlukan dalam jumlah
yang banyak) dan mikroelemen (elemen nutrisi yang diperlukan dalam
jumlah sedikit) (Pratiwi, 2008).
2.5.1 Fase Pertumbuhan Bakteri
Pertumbuhan bakteri meliputi empat fase (Pratiwi, 2008) yaitu:
1. Fase stasioner
Pertumbuhan bakteri berhenti pada fase ini dan terjadi
keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang
mati. Karena pada fase ini terjadi akumulasi produk buangan yang toksik.
2. Fase eksponensial (fase log)
Fase ini merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan
membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika bakteri,
sifat media dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju
3. Fase lag
Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian
mikroorganisme pada suatu lingkungan baru. Ciri fase ini adalah tidak
adanya peningkatan jumlah sel yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel.
Lama fase lag tergantung pada kondisi dan jumlah awal mikroorganisme
dan media pertumbuhan.
4. Fase kematian
Pada fase ini terjadi penurunan nutrisi yang diperoleh oleh bakteri
sehingga bakteri memasuki fase kematian. Laju kematian melampui dari
laju pertumbuhan, dan pada akhirnya pertumbuhan bakteri terhenti (Volk
dan Wheeler, 1988).
2.5.2 Klasifikasi bakteri
Berdasarkan bentuk morfologinya maka bakteri dapat dibagi atas tiga
golongan (Dwidjoseputro, 1988), yaitu:
a. Golongan basil
Golongan basil berbentuk serupa tongkat pendek, silindris. Basil dapat
bergandengan dua-dua atau terlepas satu sama lain, yang bergandeng-gandengan
panjang disebut streptobasil, yang dua-dua disebut diplobasil.
b. Golongan kokus
Golongan kokus merupakan bakteri yang bentuknnya serupa bola-bola
Kecil. Golongan ini tidak sebanyak golongan basil. Kokus ada yang
bergandeng-gandengan panjang berupa rantai, disebut streptokokus, ada yang berbergandeng-gandengan
dua-dua disebut diplokokus, ada yang mengelompok berempat disebut tetrakokus
c. Golongan spiral
Golongan spiral merupakan bakteri yang bengkok atau
berbengkok-bengkok berupa spiral. Bakteri ini tidak banyak terdapat, karena itu merupakan
golongan yang paling kecil jika dibandingkan dengan golongan kokus maupun
dengan golongan basil.
2.6 Uraian Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli 2.6.1 Bakteri Escherichia coli
Escherichia coli disebut juga Bacterium coli, merupakan bakteri gram negatif, aerob atau anaerob fakultatif, panjang 1-4 µm, lebar 0,4-1,7 µm,
berbentuk batang, tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh baik pada suhu 37o C tetapi
dapat tumbuh pada suhu 8-40o C, membentuk koloni yang bundar, cembung,
halus dan dengan tepi rata. Escherichia coli biasanya terdapat dalam saluran cerna
sebagai flora normal. Bakteri ini dapat menjadi pathogen bila berada diluar usus
atau dilokasi lain dimana flora normal jarang terdapat (Jawetz, 2001). Strain
Escherichia coli yang memproduksi enterotoksin melepaskan toksin yang menyebabkan sekresi elektrolit dan cairan ke saluran pencernaan yang berlebihan.
Hal ini dapat menyebabkan gejala diare yang bervariasi yaitu dari ringan sampai
berat (Supardi dan Sukamto, 1999).
2.6.2 Bakteri Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus termasuk dalam suku Micrococcaceae. Staphylococcus aureus berasal dari kata “Staphele” yang berarti kumpulan dari
anggur, dan kata “aureus” dalam bahasa Latin yang berarti emas. Staphylococcus
bola atau kokus berkelompok tidak teratur, diameter 0,8-1,0 µm, tidak membentuk
spora dan tidak bergerak, koloni berwarna kuning. Bakteri ini tumbuh cepat pada
suhu 37o C tetapi paling baik membentuk pigmen pada suhu 20-25o C. (Jawetz,
2001). Staphylococcus aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran-saluran pengeluaran lendir dari tubuh manusia dan hewan seperti hidung, mulut,
tenggorokan dan dapat pula dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Bakteri ini
dapat menyebabkan berbagai macam infeksi seperti intoksikasi, jerawat, bisul,
meningitis, osteomielitis, pneumonia dan mastitis pada manusia dan hewan
(Supardi dan Sukamto, 1999).
Keracunan makanan oleh Staphylococcus aureus dapat menimbulkan
berbagai gejala setelah 2-4 jam. Gejala-gejala tersebut yaitu meliputi muntah,
diare, mual, kejang dan timbul perasaan letih (Adam dan Moss,1995).
2.6.3 Pengukuran aktivitas antibakteri
Pengukuran aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode dilusi
(pengenceran) atau dengan metode difusi.
a. Metode Dilusi
Metode ini menggunakan antimikroba dengan konsentrasi yang
berbeda-beda dimasukkan pada media cair. Media tersebut langsung diinokulasikan
dengan bakteri dan diinkubasi. Tujuan dari percobaan ini adalah menentukan
konsentrasi terkecil suatu zat antibakteri dapat menghambat pertumbuhan atau
membunuh bakteri uji. Metode dilusi agar membutuhkan waktu lama dalam
b. Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar dengan
menggunakan cakram kertas, cakram kaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini
adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi
zat yang bersifat sebagai antibakteri di dalam media padat melalui pencadang.
Daerah hambatan pertumbuhan bakteri adalah daerah jernih di sekitar cakram.
Luas daerah hambatan berbanding lurus dengan aktivitas antibakteri, semakin
kuat daya aktivitas antibakterinya maka semakin luas daerah hambatnya. Metode
ini dipengaruhi oleh banyak faktor fisik dan kimia, misalnya; pH, suhu, zat
inhibitor, sifat dari media dan kemampuan difusi, ukuran molekul dan stabilitas