• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simulasi Kolektor Surya Tipe Plat Datar Dengan Sudut 600 Dan Boks Pengering Pada Mesin Pengering Hasil Pertanian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Simulasi Kolektor Surya Tipe Plat Datar Dengan Sudut 600 Dan Boks Pengering Pada Mesin Pengering Hasil Pertanian"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Pengeringan

Metode pengawetan pada makanan dengan cara pengeringan merupakan

metode yang paling tua dari semua metode pengawetan yang ada. Contoh

makanan yang mengalami proses pengeringan ditemukan di Jericho dan berumur

sekitar 4000 tahun. Metode ini juga merupakan metode yang sederhana, aman,

mudah dan juga dapat memelihara banyak nutrisi pada makanan tersebut. Ada

juga bangsa Inca kuno dari Andes di Peru yang memiliki pengetahuan dasar tentang mengawetkan makanan dengan cara pengeringan beku, adapun makanan

mereka seperti : kentang dan bahan makanan lainnya diletakkan pada Pegunungan

Machu Picchu. Suhu rendah di pegunungan membekukan makanan sehingga Air

di dalam makanan perlahan-lahan menguap karena tekanan udara rendah di pada

ketinggian tertentu di gunung tersebut.

Pada jaman sekarang pengeringan merupakan salah satu unit operasi

energi paling intensif dalam pengolahan pasca panen. Unit operasi ini diterapkan

untuk mengurangi kadar air pada berbagai produk seperti berbagai buah-buahan,

sayuran, dan produk pertanian lainnya setelah panen. Pengeringan adalah proses

pemindahan panas dan uap air secara simultan yang memerlukan panas untuk

menguapkan air dari permukaan bahan tanpa mengubah sifat kimia dari bahan

tersebut.

Contoh makanan yang biasa diawetkan dengan menggunakan metode

pengeringan adalah buah kering. Buah kering adalah buah yang telah dikeringkan

baik sengaja maupun tidak sengaja. Misalnya kismis dan kurma. Selain itu juga

ada mie instant.

Pada prinsipnya, pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air

sampai batas perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat

menyebabkan pembusukkan terhambat atau terhenti. Sehingga bahan yang

(2)

2.1.1. Proses Pengeringan

Tiga tipe dasar proses pengeringan terbagi menjadi 3 jenis, yaitu :

a) Pengeringan matahari (kontak langsung)

Metode pengeringan ini adalah mengeringkan dengan sinar matahari

langsung sebagai energi panas sebagai medium pengering. Pada proses ini

uap yang terbentuk terbawa oleh udara.

b) Pengeringan vakum (hampa udara)

Metode pengeringan ini menggunakan logam sebagai medium pengontak

panas atau menggunakan efek radiasi. Pada proses ini penguapan air

berlangsung lebih cepat pada tekanan rendah maupun vakum.

c) Pengeringan Beku

Metode pengeringan yang melibatkan proses sublimasi air dari suatu

material beku.

2.1.2. Jenis-Jenis Pengeringan

Jenis-jenis pengeringan berdasarkan karakteristik umum dari beberapa tipe

pengeringan, dibagi atas 8 bagian, yaitu :

a) Baki atau wadah

Pengeringan jenis baki atau wadah adalah dengan meletakkan material

yang akan dikeringkan pada baki yang lansung berhubungan dengan media

pengering. Cara perpindahan panas yang umum digunakan adalah

konveksi dan perpindahan panas secara konduksi juga dimungkinkan

dengan memanaskan baki tersebut. Contoh dari alat pengering ini adalah

alat yang dirancang pada penelitian ini.

b) Rotary

Pada jenis ini ruang pengering berbentuk silinder berputar sementara

material yang dikeringkan jaruh di dalam ruang pengering. Medium

pengering, umumnya udara panas, dimasukkan ke ruang pengering dan

bersentuhan dengan material yang dikeringkan dengan arah menyilang.

Alat penukar kalor yang dipasang di dalam ruang pengering untuk

(3)

Gambar 2.1a Jenis pengering rotary dryer

c) Flash

Pengering dengan flash (flash dryer) digunakan untuk mengeringkan

kandungan air yang ada di permukaan produk yang akan dikeringkan.

Materi yang dikeringkan dimasukkan dan mengalir bersama medium

pengering dan proses pengeringan terjadi saat aliran medium pengering

ikut membawa produk yang dikeringkan. Setelah proses pengeringan

selesai, produk yang dikeringkan akan dipisahkan dengan menggunakan

(4)

Gambar 2.1b Jenis pengering flash dryer

d) Spray

Teknik pengeringan spray umumnya digunakan untuk mengeringkan produk yang berbentuk cair atau larutan suspensi menjadi produk padat.

Contohnya, proses pengeringan susu cair menjadi susu bubuk dan

pengeringan produk-produk farmasi. Cara kerjanya adalah cairan yang

akan dikeringkan dibuat dalam bentuk tetesan oleh atomizer dan dijatuhkan dari bagian atas. Medium pengering (umumnya udara panas)

dialirkan dengan arah berlawanan atau searah dengan jatuhnya tetesan.

Produk yang dikeringkan akan berbentuk padatan dan terbawa bersama

(5)

Gambar 2.1c Jenis pengering spray dryer

e) Fluidized bed

Pengeringan dengan menggunakan kecepatan aliran udara yang relatif

tinggi menjamin medium yang dikeringkan terjangkau oleh udara. Jika

dibandingkan dengan jenis wadah, jenis ini mempunyai luas kontak yang

lebih besar.

Gambar 2.1d Jenis pengering fluidized dryer

f) Vacuum

Pengeringan dengan memanfaatkan ruangan bertekanan udara rendah.

Dimana pada ruangan tersebut tidak terjadi perpindahan panas, tetapi yang

(6)

Gambar 2.1e Jenis pengering vacuum dryer g) Membekukan (freeze dryer)

Pengeringan dengan menggunakan suhu yang sangat rendah. Biasanya

digunakan pada produk-produk yang bernilai sangat tinggi, seperti produk

farmasi dan zat-zat kimia lainnya.

Gambar 2.1f Jenis pengering freeze dryer h) Batch dryer

Pengeringan jenis ini hanya baik digunakan pada jumlah material yang

sangat sedikit, seperti penggunaan pompa panas termasuk pompa panas

(7)

Gambar 2.1g Jenis pengering batch dryer

Berdasarkan tipe pengering di atas, penulis memilih tipe wadah dengan

menggunakan matahari sebagai sumber energi pemanas udara pengering. Hal ini

dipilih dengan tujuan penggunaan teknologi dengan energi yang murah dan

bersih. Sedangkan tipe pengering yang lain menggunakan energi bahan bakar

sebagai sumber panasnya.

2.2. Perpindahan Panas

Secara umum perpindahan panas dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

perpindahan panas konduksi, konveksi dan radiasi.

2.2.1. Konduksi

Konduksi adalah perpindahan panas dari partikel yang lebih panas ke

partikel yang lebih dingin sebagai hasil dari interaksi antara partikel tersebut.

Karena partikelnya tidak berpindah, umumnya konduksi terjadi pada medium

padat, tetapi bisa juga cair dan gas. Perpindahan panas di sini terjadi akibat

interaksi antar partikel tanpa diikuti perpindahan partikelnya. Berdasarkan

percobaan, dapat dibuktikan bahwa laju perpindahan panas konduksi melalui

sebuah plat tergantung pada temperatur plat, bentuk geometri, dan sifat

(8)

Gambar 2.2 Perpindahan panas konduksi melalui sebuah plat Adapun persamaan secara matematik untuk plat pada gambar di atas

(gambar 2.1), laju perpindahan panas konduksi dinyatakan dengan persamaan:

…………..……..(2.1)

Dimana : q = laju perpindahan panas (Watt)

A = Luas penampang (m2)

k = konduktivitas termal (W/m.k)

dT/dx = gradien suhu pada penampang atau laju perubahan suhu

terhadap jarak dalam arah aliran panas sumbu x (K)

2.2.2. Konveksi

Perpindahan panas konveksi adalah perpindahan panas antara permukaan

padat yang berbatasan dengan fluida yang mengalir. Fluida di sini bisa dalam fasa

cair atau fasa gas. Syarat utama mekanisme perpindahan panas konveksi adalah

adanya aliran fluida. Mekanisme ini lebih jelas dapat dilihat pada gambar 2.2.

Pada gambar tersebut dianggap temperatur T2 masih lebih tinggi daripada

temperatur lingkungan (T3). Anggap udara lingkungan mengalir menuju ke

permukaan plat. Partikel udara yang tepat bersentuhan dengan plat akan menerima

perpindahan panas secara konduksi dari plat, akibatnya temperatur akan naik.

Kemudian aliran udara akan mengangkut udara yang lebih panas ini untuk

digantikan oleh udara berikutnya. Fakta ini menunjukkan bahwa di dalam

perpindahan panas konveksi, sebenarnya terdapat perpindahan panas konduksi

(9)

Gambar 2.3 Perpindahan panas konveksi dari permukaan plat

Laju perpindahan panas konveksi, dinyatakan dengan persamaan :

̇ …………..……..(2.2)

Dimana : ̇ = laju perpindahan panas (watt) h = koefisien konveksi (W/m2.K)

A = luas penampang (m2)

= temperatur udara lingkungan (K)

Nilai koefisien Konveksi dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut:

…………..……..(2.3)

Dimana : h = koefisien konveksi ( W / m2. K ) Nu = Bilangan Nusselt

k = konduktivitas termal (W/m.K) L = panjang plat (m)

Untuk menghitung nilai heat flux pada perpindahan panas konveksi :

…………..……..(2.4)

Dimana : q’’ = laju aliran panas per satuan luas ( W / m2)

(10)

Jenis perpindahan panas secara konveksi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu

: perpindahan panas konveksi secara paksa pada aliran dalam, konveksi paksa

pada aliran luar dan perpindahan panas konveksi secara natural (alami).

Konveksi paksa adalah perpindahan panas konveksi yang dipaksa

mengalir atau perpindahan panas yang disebabkan oleh adanya gaya luar seperti

adanya kerja blower atau fan. Sedangkan konveksi natural adalah perpindahan

panas yang terjadi akibat perbedaan temperatur dan massa jenisnya yang berbeda.

Dalam mensimulasikan penelitian ini, penulis menggunakan aplikasi dari

teori dan persamaan-persamaan yang terdapat dalam konveksi natural.

2.2.3. Radiasi

Perpindahan panas radiasi adalah panas yang dipindahkan dengan cara

memancarkan gelombang elegtromagnetik. Berbeda dengan mekanisme konduksi

dan konveksi, radiasi tidak membutuhkan medium perpindahan panas. Sampainya

sinar matahari ke permukaan bumi adalah contoh yang paling jelas dari

perpindahan panas radiasi. Contoh Pada gambar 2.3 laju perpindahan panas

radiasinya dapat dihitung dengan persamaan yang digunakan untuk menghitung

laju perpindahan panas radiasi antara permukaan plat dan lingkungannya yaitu :

…………..……..(2.5)

Dimana : = emisitivitas permukaan plat yang bervariasi antara 0 dan 1 = 5,67 x 10-8

W/m2.K4

T2 = temperatur permukaan plat (K)

T3 = temperatur lingkungan (K)

2.3. Konveksi Alamiah (Natural Convection)

Konveksi alamiah adalah perpindahan panas yang fluidanya mengalir

secara alami tanpa dipaksa. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan massa

jenis fluida. Fluida yang memiliki temperatur lebih tinggi, maka massa jenisnya

semakin ringan. Fluida dengan temperatur rendah massa jenisnya lebih berat.

Akibatnya fluida akan terapung dan naik ke atas dan meninggalkan ruang kosong.

(11)

daerah yang ditinggalkan oleh fluida yang naik, maka terjadilah aliran fluida

secara alami (natural).

2.3.1 Persamaan Empirik Konveksi Natural Permukaan Luar

Persamaan empirik ini akan dibagi berdasarkan bentuk permukaan dan

kondisi permukaan. Maksud dari bentuk permukaan adalah vertikal atau

horizontal, sedangkan kondisi permukaan adalah temperatur konstan atau fluks

panas yang konstan.

1. Bidang vertikal

Arah aliran fluida akibat konveksi alamiah pada bidang vertikal mempunyai

dua kemungkinan. Pertama temperatur bidang lebih tinggi dari temperatur fluida

sehingga fluidanya mengalir ke atas atau sebaliknya temperatur bidang lebih

rendah dari temperatur fluida, sehingga arah aliran ke bawah. Secara kuantitatif

persamaan mencari bilangan Nu adalah sama, hanya arahnya saja yang berbeda.

a. Bidang vertikal dengan Ts konstan

Parameter bilangan Rayleigh dihitung dengan menggunakan panjang

bidang L dan dinyatakan dengan RaL. Untuk kasus ini ada beberapa

alternatif yang dapat digunakan. Persamaan yang paling sederhana dapat

dijumpai pada McAdams (1954), Warner dan Arpaci (1968), dan Bayley

(1955), yaitu :

untuk …………..……..(2.6)

⁄ untuk ………(2.7)

Keunggulan persamaan ini adalah bentuknya yang sangat sederhana

sehingga mudah untuk digunakan. Tetapi kedua persamaan ini kurang teliti.

Untuk meningkatkan ketelitiannya persamaan yang digunakan Churchill

dan Chu (1975) dapat digunakan.

{ ⁄

[ ⁄ ⁄ ] ⁄ } …..………..(2.8) Persamaan ini diklaim berlaku untuk semua rentang bilangan RaL. Dan jika

ingin lebih teliti lagi, untuk bilangan Rayleigh yang lebih rendah RaL≤ 109,

Churchill dan Chu (1975) menyarankan persamaan berikut :

(12)

Jika bilangan ini kecil (bilangan ), bagian kanan dari persamaan (2.8) dan persamaan (2.9) akan bisa diabaikan. Sebagai hasilnya bilangan Nu

untuk kedua persamaan akan mendekati 0,68 dan 0,8252 0,68.

b. Bidang vertikal dengan fluks (q’’) konstan

Plat vertikal yang dipanasi dengan fluks panas q” (W/m2) sangat cocok

memodelkan plat vertikal yang disinari dengan cahaya yang tetap. Pada plat

seperti ini, temperatur plat tidak diketahui. Karena memang temperatur

tidak diketahui, maka temperatur yang digunakan adalah temperatur

rata-rata, dan dirumuskan dengan persamaan :

̅ ̅ ………..(2.10)

Dengan menggunakan persamaan ini bilangan RaL dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan yang diajukan oleh Churchill dan Chu (1975).

{ ⁄

[ ⁄ ⁄ ] ⁄ } ………..…(2.11) Meskipun semua parameter dapat dihitung tetapi permasalahannya tidak

sederhana untuk diselesaikan. Perhatikan persamaan (2.10) untuk

menghitung beda temperatur harus diketahui koefisien konveksi rata-rata h.

Sementara ini masih harus dihitung pada persamaan (2.11). Oleh karena itu

harus diselesaikan dengan trial and error dengan menebak dulu nilai h, kemudian dilanjutkan dengan menghitung beda temperatur. Beda

temperatur ini akan digunakan menghitung RaL, dan akhirnya Nu dapat

dihitung. Nilai h hasil tebakan harus dicek lagi dengan menggunakan nilai

Nu yang baru didapat. Jika tidak berbeda jauh atau bedanya dapat diterima,

maka perhitungan bisa dihentikan. Tetapi jika tidak maka perhitungan harus

diulang lagi sampai hasilnya sama atau perbedaanya dapat diterima.

2. Bidang miring

Bidang vertikal dapat dianggap sebagai bidang miring dengan kemiringan

900. Dengan kata lain bidang miring adalah bidang vertikal yang sudut

kemiringannya kurang dari 900. Jika fakta ini dibawa ke kasus konveksi natural,

(13)

harus diperhitungkan. Untuk lebih jelasnya sebuah plat yang panas dimiringkan

dengan sudut kemiringan θ < 900 terhadap vertikal ditampilkan pada gambar 2.3

dibawah ini.

Gambar 2.4 Konveksi natural pada bidang miring

Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa pada bidang miring dengan sudut θ

terhadap vertikal, percepatan gravitasi dapat diproyeksikan menjadi g cos θ yang

sejajar dengan bidang. Ini berarti bidang miring dapat dianggap sebagai plat

vertikal tetapi percepatan gravitasinya menjadi g cos θ. Maka untuk bidang miring

semua persamaan pada kasus bidang vertikal dengan Ts dan q” konstan dapat digunakan. Tetapi gravitasi g harus diganti menjadi g cos θ saat menghitung bilangan Ra.

………(2.13)

Setelah menghitung bilangan Ra, maka semua persamaan untuk plat vertikal

persamaan (2.7) sampai persamaan (2.12) dapat digunakan. Kita tinggal memilih

persamaan mana yang sesuai untuk kasus yang sedang dibahas.

3. Bidang horizontal

Meskipun sampai bagian ini yang sudah dijelaskan adalah konveksi natural

(14)

tidak terjadi konveksi natural. Pada kasus konveksi natural pada bidang horizontal

yang digunakan menghitung RaL adalah panjang karakteristik yang didefenisikan

dengan persamaan:

………(2.14)

Dimana A menyatakan luas bidang horizontal dan K adalah kelilingnya. Dengan

menggunakan panjang karakteristik ini bilangan RaL dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan berikut.

……….(2.15)

Dimana GrL dirumuskan sebagai berikut.

……….(2.16)

Pola konveksi natural pada permukaan horizontal dapat dibagi dua,

masing-masing dijelaskan pada bagian berikut.

a. Permukaan atas yang panas atau permukaan bawah yang dingin

Pola ini ditunjukkan pada gambar 2.4. Pada bagian kiri gambar tersebut

bidang horizontal yang panas berada pada fluida yang lebih dingin. Sebagai

akibatnya fluida yang bersentuhan dengan permukaan akan lebih ringan

karena lebih panas dan akan mengalir naik. Pada bagian kanan

digambarkan sebaliknya bidang horizontal yang dingin berada pada fluida

yang panas. Fluida yang bersentuhan dengan bidang dingin akan menjadi

(15)

Persamaan bilangan Nu untuk kedua bagian gambar ini adalah sama. Hanya

arah alirannya saja yang berbeda. Persamaan menghitung bilangan Nu

dapat digunakan persamaan yang diajukan oleh Llyod dan Moran (1974) :

Untuk 104 < RaL < 107 :

Nu = 0,54 RaL0,25 ………..(2.17)

Untuk 107 < RaL < 109 :

Nu = 0,15 RaL1/3 ……..………(2.18)

b. Permukaan atas yang dingin atau permukaan bawah yang panas

Pola ditunjukkan pada gambar 2.5. Pada bagian kiri gambar ditunjukkan

bahwa fluida yang panas akan terdesak dari permukaan yang panas dan

mengalir ke sebelah luar. Untuk mengisi kekosongan akibat aliran ini maka

fluida di bawahnya akan mengalir ke atas. Hal yang sama tetapi dengan

arah yang berbeda ditampilkan pada bagian kanan gambar tersebut.

s

Gambar 2.6 Konveksi natural pada bidang horizontal

Persamaan untuk menghitung bilangan Nu untuk kasus ini dapat digunakan

pada buku Incropera (2006).

Nu = 0,27 RaL0,25 ………..…(2.19)

Persamaan ini berlaku untuk 105 < RaL < 1010.

4. Permukaan silinder

Salah satu bentuk permukaan yang umum dijumpaidi bidang engineering

adalah silinder. Posisi silinder bisa saja vertikal seperti cerobong atau pada posisi

(16)

dijelaskan persamaan empirik untuk menghitung perpindahan konveksi natural

dari bidang silinder.

a. Silinder vertikal

Sebuah silinder vertikal dengan temperatur permukaan Ts, ditampilkan pada gambar 2.6. Diameter silinder dinyatakan dengan D dan tingginya L berada pada fluida yang mempunyai temperatur Tr. Jika temperatur permukaan silinder lebih panas daripada fluida, maka fluida di sekitar

silinder akan mengalir naik. Sebaliknya, jika permukaan silinder lebih

dingin daripada fluida maka fluida di sekitar akan turun. Kedua kasus ini

akan memberikan bilangan Nu yang sama.

D

L

Ts

Tr

Gambar 2.7 Konveksi natural pada silinder vertical

Jika diameter silinder cukup besar, maka dapat dianggap sama dengan

bidang vertikal. Maka semua persamaan yang sudah dituliskan untuk

bidang vertikal berlaku untuk silinder ini. Syarat diameter untuk yang

dikategorikan besar adalah :

……….………….(2.20)

Persamaan (2.6) sampai dengan persamaan (2.11) dapat digunakan asal

semua syarat memenuhi. Tetapi jika persamaan (2.6) tidak dipenuhi lagi,

silinder vertikal akan dikategorikan tipis dan persamaan menghitung

bilangan Nu nya akan khusus. Le Fevre dan Ede (1956) merekomendasikan

(17)

………..(2.21)

Sifat fluida pada persamaan ini menggunakan lapisan film kecuali β saat

menghitung RaL menggunakan temperatur fluida.

b. Silinder horizontal

Pola konveksi natural pada silinder yang mempunyai temperatur lebih

panas daripada fluida di sekelilingnya ditampilkan pada gambar 2.7 di

bawah ini.

D L

Ts

Tr

Gambar 2.8 Konveksi natural pada silinder horizontal

Untuk kasus ini, jika bilangan RaD ≤ 1012, persamaan berikut dapat

digunakan, Churchill dan Chu (1975) :

{ ⁄

[ ⁄ ] ⁄ } ………….……….(2.22)

2.3.2 Konveksi Natural pada Ruang Tertutup

Kasus-kasus konveksi natural pada ruang tertutup dapat dibagi antara lain

ruang tertutup persegi yang dipanasi dari samping dan ruang tertutup persegi yang

dipanasi dari bawah.

(18)

Pada gambar 2.8 ditampilkan sebuah ruang yang mempunyai tinggi L dan lebarnya H. Temperatur dinding kiri yang lebih panas daripada dinding kanan. Temperatur dinding yang panas disimbolkan Th dan dinding yang dingin

disimbolkan dengan Tc. Sementara dinding atas dan dinding bawah diisolasi.

Dengan kondisi batas seperti ini, maka akan terjadi perpindahan panas secara

konveksi natural dari dinding kiri ke dinding kanan.

P

Gambar 2.9 Konveksi natural pada ruang persegi yang dipanasi dari samping

Fluida yang ada di dekat dinding kiri akan mengalami pemanasan. Karena

lebih panas akan mengalami gaya apung ke arah atas dan naik. Sementara fluida

di dinding sebelah kanan akan mengalami pendinginan dan gaya apungnya akan

negatif, akibatnya akan turun. Gabungan gerakan fluida naik di sebelah kiri dan

fluida turun di sebelah kanan akan membuat fluida mengalir berputar mengikuti

arah jarum jam. Fluida yang berada di tengah akan cenderung diam atau stagnan.

Pergerakan fluida inilah yang akan membawa panas dari dinding kiri ke dinding

kanan. Dinding atas dan dinding bawah diisolasi atau tidak ada perpindahan panas

pada dinding ini. Maka panas yang keluar dari dinding kiri akan sama dengan

yang masuk ke dinding kanan. Koefisien konveksi pada ruang ini aka ada dua

(19)

pada kedua dinding ini sama, maka koefisien konveksi rata-rata pada kedua

dinding ini juga akan sama.

Perpindahan panas pad aruang seperti ini dinyatakan dengan bilangan Nu

yang didefenisikan :

………..(2.23)

Pada persamaan ini dapat dilihat bahwa bilangan Nu itu merupakan

perbandingan laju perpindahan panas konveksi dengan laju perpindahan panas

konduksi murni (Qc). Seandainya tidak ada aliran fluida maka perpindahan panas

yang terjadi antara dinding kiri (panas) dengan dinding kanan (dingin) hanya

konduksi atau Nu = 1. Persamaan menghitung bilangan Nu untuk aliran laminar

konveksi alamiah pada ruang tertutup seperti gambar 2.9 diajukan oleh Bejan

(1979).

………(2.24)

Persamaan ini sangat berlaku umum, artinya tidak ada batasan perbandingan

tinggi dan lebar dari sebuah ruang tertutup. Sementara pada aplikasinya, akan

banyak dijumpai ruang tertutup dimana perbandingan tinggi dan lebarnya tidak

seimbang seperti yang ditampilkan pada gambar 2.10 berikut.

P

Gambar 2.10 Ruang tertutup yang tinggi dan yang rendah

Untuk ruang tertutup dengan aspek rasio L/H > 1, rekomendasi Berkovsky da

Polevikov (1977) dapat digunakan. Ruan dengan ketinggian sedang 1 < L/H < 2, dan syarat tambahan RaH Pr/02 + Pr > 103 berlaku :

……….………….(2.25)

Untuk ruang yang lebih tinggi lagi 2 ≤ L/H ≤ 10, Pr ≤ 105 , dan 103 ≤ RaH

(20)

………..(2.26)

McGregor dan Emery (1969) merekomendasikan dua persamaan berikut

untuk ruang tertutup dengan rasio ketinggian yang lebih besar lagi.

………..(2.27)

Syarat untuk persamaan ini adalah : 10 ≤ L/H ≤40 , 1 ≤ Pr ≤ 2 x 104 , dan 104

RaH≤ 107.

Kemudian untuk rasio yang lebih tinggi lagi berlaku :

⁄ ………..(2.28)

Syarat untuk persamaan ini adalah : 1 ≤ L/H ≤ 40 , 1 ≤ Pr ≤ 20 , dan 106 ≤ RaH≤ 109. Disini perlu diperhatikan bahwa bilangan Nu dan Ra semua dinyatakan

dengan lebar ruang, yaitu H. Diharapkan saat menggunakannya jangan tertukar dengan tinggi L.

Untuk ruang tertutup dengan rasio ketinggian kurang dari 1, atau ruang

pendek seperti yang ditampilkan pada gambar 2.10, rekomendasi yang diajukan

Bejan dan Tien (1978) dapat digunakan :

………..(2.29)

Persamaan-persamaan inilah yang dapat digunakan untuk menghitung laju

perpindahan dari dinding panas ke dinding dingin seperti gambar 2.9. Seandainya

temperatur dinding kiri dan dinding kanan diganti posisinya, yang panas menjadi

di kanan maka rumusnya akan tetap sama, hanya arahnya saja yang berbeda.

Berbeda halnya jika dinding bawah dan atas yang diganti, maka rumus-rumus di

atas tidak dapat lagi digunakan.

2. Konveksi natural pada ruang persegi yang dipanasi dari bawah

Misalkan ruang tertutup seperti yang ditampilkan pada gambar 2.9 diputar

900, ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama jika putaran searah jarum jam,

maka dinding yang panas akan berada di atas dan dinding bawah akan dingin.

Kedua jika putaran berlawanan arah jarum jam, maka dinding yang panas akan

berada di bawah dan yang dingin di atas. Pada kemungkinan pertama, dinding

yang panas di atas, fluida akan stagnan atau tidak akan terjadi aliran fluida hal ini

dikarenakan fluida yang panas sudah berada di atas dan tidak ada gunanya lagi

(21)

panas ke permukaan dingin adalah konduksi murni. Untuk kasus ini rumus

konduksi dapat digunakan atau Nu = 1.

Pada kemungkinan kedua, dinding panas berada di bawah sementara yang

dingin di atas, akan terjadi aliran fluida di dalam ruangan. Pada gambar 2.11

berikut, ditampilkan ruang tertutup dengan posisi dinding yang panas di bawah.

Jika kasusnya seperti ini, pola aliran yang terjadi di dalam ruang akan sangat

bervariasi dan sangat tergantung pada bilangan Rayleighnya. Pola aliran yang

terjadi tetap memutar, tetapi ada kemungkinan sumbu putaran lebih dari satu ini

biasanya dikenal dengan istilah Benard atau Benard Cell. Nama ini disesuaikan

dengan nama orang pertama yang mengamati dan melaporkannya tahun 1990.

Panas

Gambar 2.11 Ruang tertutup yang dipanasi dari bawah

Jika fluida yang ada di ruangan tertutup ini adalah udara, maka persamaan

yang diajukan oleh Jakob (1949) dapat digunakan ;

Nu = 0,195RaL0,25 untuk 104 < RaL < 105 ………..(2.30)

Nu = 0,068RaL1/3 untuk 4 x 105 < RaL < 107 ………..(2.31)

Meskipun persamaan ini dikhususkan untuk udara tetapi masih dapat

digunakan untuk gas yang lain selama bilangan Prandtl memenuhi 0,5 < Pr < 2.

Sementara untuk jangkauan fluida selain gas Globe dan Dropkin (1959)

mengajukan persamaan berikut.

Nu = 0,069RaL1/3Pr0,074 ………..(2.32)

Syarat bilangan Rayleigh agar persamaan ini berlaku adalah 3 x 105 < RaL <

7 x 109. Dan yang terbaru Holland dkk. (1976) mengajukan persamaan berikut

(22)

[ ⁄ ] ………..………(2.33)

Syarat penggunaan persamaan ini adalah RaL < 105. Arti dari operator [ ]+

adalah yang diambil hanya nilai positif. Jika nilai di dalam tanda kurung negatif

maka hasilnya sama dengan nol. Perhatikan operasi berikut [2]+ = 2 tetapi [-2]+ =

0. Persamaan (2.33) ini dapat digunakan untuk fluida cairan yang mempunyai

bilangan Pr yang moderat misalnya air.

2.4 Computational fluid dinamic (CFD)

Computational fluid dinamic (CFD) menggunakan komputer dan

matematika terapan untuk memodelkan situasi aliran fluida. Tolak ukur

keberhasilannya adalah bagaimana hasil simulasi numerik sesuai dengan

percobaan kasus alam dimana percobaan laboratorium dapat dibentuk, dan

bagaimana simulasi dapat memprediksikan fenomena yang sangat kompleks yang

tidak dapat diisolasi di laboratorium. CFD menjadi bagian terpadu dari desain

teknik dan lingkungan analisis dari beberapa perubahan karena kemampuannya

memprediksi kinerja rancangan baru atau proses sebelum diciptakan.

Dalam rancangan dan pengembangannya, program CFD dianggap sebagai

alat numerik standar yang memprediksikan bukan hanya cairan dari perilaku

aliran, tetapi juga pemindahan panas, massa (seperti pernafasan atau disolusi),

perubahan fase (seperti pembekuan, peleburan, dan pendidihan), reaksi kimia

(pembakaran atau pengkaratan), gerakan mekanik (seperti perputaran impeller,

piston, kipas), dan tekanan atau deformasi yang berkaitan dengan struktur padatan

(seperti tekukan massa pada angin).

Dalam memecahkan masalah atau kebutuhan untuk penelitian

masalah-masalah di atas, dibutuhkan suatu alat perangkat lunak yang mampu menganalisis

atau memprediksi dengan cepat dan akurat. Maka berkembanglah suatu ilmu yang

dinamakan Computational Fluid Dynamic (CFD) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Komputasi Aliran Fluida Dinamik.

2.4.1. Pengertian Umum CFD

(23)

a) Computational : segala sesuatu yang berhubungan dengan matematika dan metode numerik atau

komputasi.

b) Fluid Dynamic : dinamika dari segala sesuatu yang mengalir.

Ditinjau dari istilah di atas, CFD bisa berarti suatu teknologi komputasi yang

memungkinkan untuk mempelajari dinamika dari benda-benda atau zat yang

mengalir.

Maka secara definisi, CFD adalah ilmu yang mempelajari cara memprediksi

aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya dengan

menyelesaikan persamaan-persamaan matematika (model matematika). Pada

dasarnya, persamaan-persamaan pada fluida dibangun dan dianalisis berdasarkan

persamaan-persamaan diferensial parsial atau dikenal dengan istilah PDE (Partial

Differential Equation) yang mempresentasikan hukum-hukum kekekalan massa (kontinuitas), momentum dan energi yang diubah ke dalam bentuk numerik

(persamaan linear) dengan teknik diskritisasi.

Pengembangan sebuah perangkat lunak (software) CFD mampu

memberikan kekuatan untuk mensimulasikan aliran fluida, perpindahan panas,

perpindahan massa, benda-benda bergerak, aliran multifasa, reaksi kimia,

interaksi fluida dan struktur, dan sistem akustik hanya dengan permodelan di

komputer. Dengan menggunakan software ini, dapat dibuat virtual prototype dari

sebuah sistem atau alat yang ingin dianalisa dengan menerapkan kondisi nyata di

lapangan. Dengan menggunakan software CFD akan didapatkan data-data,

gambar-gambar, atau kurva-kurva yang menujukkan prediksi dari performansi

keandalan sistem yang akan didesain.

2.4.2. Aplikasi penggunaan CFD

Dalam aplikasinya, CFD dipergunakan untuk :

1. Insinyur, khususnya dalam hal teknik refrigerasi dan pengkondisian udara

untuk mendesain tempat atau ruangan sesuai kebutuhan seperti refrigerator,

air-conditioner, termal storage, dan lain sebagainya.

2. Arsitek untuk mendesain ruang atau lingkungan yang aman dan nyaman.

(24)

4. Analisis kimia untuk memaksimalkan hasil dari reaksi kimia dalam

peralatan.

5. Bidang petrokimia untuk strategi optimal dari oil recovery.

6. Bidang kedokteran untuk mengobati penyakit arterial (computational

hemodynamics).

7. Metereologis untuk meramalkan cuaca dan memperingkatkan akan

terjadinya bencana alam.

8. Analisis failure untuk mencari sumber-sumber kegagalan misalnya pada suatu sistem pembakaran atau aliran uap panas.

9. Organisasi militer untuk mengembangkan senjata dan mengestimasi

seberapa besar kerusakan yang diakibatkanya.

Penggunaan CFD umumnya berhubungan dengan keempat hal berikut :

a) Studi konsep dari desain baru

b) Pengembangan produk secara detail

c) Analisis kegagalan atau troubleshooting

d) Desain ulang (re-design)

2.4.3. Manfaat CFD

Ditinjau dari segi manfaat terdapat tiga hal yang merupakan alasan kuat

kenapa harus menggunakan CFD, yakni : insight, foresight, dan efficiency (Firman

Tuakia, 2008).

1. Insight – Pemahaman Mendalam

Apabila dalam mendesain sebuah sistem atau alat yang sulit untuk dibuat

prototype-nya atau sulit untuk dilakukan pengujian, analisis CFD

memungkinkan untuk digunakan secara virtual ke dalam alat/sistem yang dapat

disaksikan melalui CFD yang belum tentu dapat dilihat dengan cara lainnya.

2. Foresight – Prediksi Menyeluruh

Dikarenakan CFD adalah alat untuk memprediksi apa yang terjadi pada

alat/sistem yang didesain dengan satu atau lebih kondisi batas, maka dapat

(25)

3. Efficiency – Efisiensi Waktu dan Biaya

Foresight yang diperoleh dari CFD dapat membantu untuk mendesain lebih

cepat dan lebih hemat biaya. Analisis atau simulasi CFD akan mempersingat

waktu riset dan desain sehingga juga akan mempercepat produk untuk sampai

ke pasaran.

2.4.4. Proses Simulasi CFD

Pada umumnya terdapat tiga tahapan yang harus dilakukan ketika melakukan

simulasi pada solver CFD, yaitu sebagai berikut (Firman Tuakia, 2008) :

1. Preprocessing

Hal ini merupakan langkah pertama dalam membangun dan menganalisis

sebuah model CFD. Teknisnya adalah membuat model dalam paket CAD

(Computer Aided Design), membuat mesh yang sesuai, kemudian menrapkan kondisi batas dan sifat-sifat fluidanya.

2. Solving

Solvers (program inti pencari solusi) CFD menghitung kondisi-kondisi yang diterapkan saat preprocessing.

3. Postprocessing

Hal ini adalah langkah terakhir dalam analisis CFD. Hal yang dilakukan

pada langkah ini adalah mengorganisasi dan menginterpretasi data hasil

simulasi CFD yang biasa berupa kurva, gambar, dan animasi.

Beberapa prosedur yang digunakan pada semua pendekatan program CFD,

yaitu sebagai berikut :

a) Pembuatan geometri dari model atau problem.

b) Bidang atau volume yang diisi fluida dibagi menjadi sel-sel kecil (meshing).

c) Pendefinisian model fisiknya, misalnya : persamaan-persamaan gerak +

(26)

d) Pendefinisian kondisi-kondisi batas, termasuk di dalamnya sifat-sifat dan

perilaku dari batas-batas model atau problem. Untuk kasus transient, kasus

awal juga didefinisikan.

e) Persamaan-persamaan matematika yang memabangun CFD diselesaikan

secara iteratif, bisa dalam kondisi tunak (steady state) atau transient.

f) Analisis dan visualisasi dari solusi CFD.

2.4.5. Metode Diskritisasi CFD

Secara matematis CFD mengganti persamaan-persamaan diferensial

parsial dari kontinuitas, momentum dan energi dengan persamaan-persamaan

linear. CFD merupakan pendekatan dari persoalan yang asalnya kontinum

(memiliki jumlah sel tak terhingga) menjadi model yang diskrit (jumlah sel

terhingga).

Perhitungan atau komputasi aljabar untuk memecahkan

persamaan-persamaan diferensial parsial ini ada beberapa metode (metode diskritisasi),

diantaranya adalah :

- Metode beda hingga (finite difference method)

- Metode elemen hingga (finite element method)

- Metode volume hingga (finite volume method)

- Metode elemen batas (boundary element method)

- Metode skema resolusi tinggi (high resolution scheme method)

Metode diskritisasi yang dipilih umumnya menetukan kestabilan dari

program numerik/CFD yang dibuat program software yang ada. Oleh karena itu

diperlukan kehati-hatian dalam cara mendiskritkan model khususnya cara

mengatasi bagian yang kosong atau diskontinu.

2.5. Pengenalan Software CFD

Menurut Himsar Ambarita (2010), ada beberapa software yang digunakan

dalam pengembangan kode CFD seperti Fluent, CFX, dan lain-lain yaitu jenis

program CFD yang menggunakan metode volume hingga (finite volum method).

(27)

dengan cara yang relatif mudah. Jenis mesh yang didukung oleh CFD adalah tipe 2D triangular-quadritelar, 3D tetrahedral-hexahedral-pyramid-wedge, dan mesh campuran (hybrid) juga memungkinkan untuk memperhalus atau memperbesar

mesh yang sudah ada.

Bahasa program ditulis dalam bahasa C, sehingga memiliki struktur data yang efisien dan fleksibel, juga dapat digunakan bersama dengan arsitektur

klien/server, sehingga dapat dijalankan sebagai proses terpisah secara simultan

pada klien desktop workstation dan komputer server. Semua fungsi yang dibutuhkan untuk menghitung suatu solusi dan menampilkan hasilnya dapat

diakses pada melalui menu yang interaktif.

Beberapa alasan menggunakan solver CFD, yaitu sebagai berikut :

a) Mudah untuk digunakan

b) Model yang realistik (tesedia berbagai pilhan solver)

c) Diskritisasi meshing model yang efisien (misalnya dalam GAMBIT)

d) Cepat dalam penyajian hasil (bisa dengan parallel komputer)

e) Visualisasi yang mudah dimengerti

2.5.1. Struktur Program CFD

Dalam satu paket program CFD terdapat beberapa produk, yaitu :

a) CFX, Fluent, dll sebagai solver.

b) GAMBIT, dll merupakan preprocessor untuk membuat pemodelan dan meshing.

c) Tgrid, preprocessor tambahan yang dapat membuat volume mesh dari boundary mesh yang sudah ada.

d) Filter untuk mengimpor mesh permukaan dan atau volume dari program CAD/CAE seperti ANSYS, CGNS, I-DEAS, NASTRAN, PATRAN, dll.

Geometri dan mesh dapat dibuat menggunakan GAMBIT. Selain itu dapat

(28)

2.5.2. Langkah Penyelesaian Masalah dan Perencanaan Analisis CFD

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika akan meyelesaikan suatu

kasus dengan menggunakan software CFD yang dalam hal ini FLUENT, yaitu :

1) Menentukan tujuan pemodelan

2) Pemilihan model komputasional

3) Pemilihan model fisik

4) Penentuan prosedur

Setelah merencanakan analisis CFD pada model, maka langkah-langkah

umum penyelesaian analisis CFD pada FLUENT sebagai berikut :

1) Membuat geometri dan mesh pada model

2) Memilih solver yang tepat untuk model tersebut (2D atau 3D)

3) Mengimpor mesh model (grid)

4) Melakukan pemeriksaan pada mesh model

5) Memilih formulasi solver

6) Memilih persamaan dasar yang akan dipakai dalam analisis, misalnya :

laminar, turbulen, reaksi kimia, perpindahan kalor dan lain-lain.

7) Menentukan sifat material yang akan dipakai

8) Menentukan kondisi batas

9) Mengatur parameter kontrol solusi

10) Initialize the flow field

11) Melakukan perhitungan/iterasi

12) Memeriksa hasil iterasi

13) Menyimpan hasil iterasi

(29)

Mulai Pembuatan geometri dan meshing

Pendefinisian bidang batas pada geometri

Pengecekan mesh

Mesh baik

Tidak

Ya Data sifat

fisik

Penentuan kondisi batas

Proses numerik

Iterasi eror?

Plot distribusi temperatur dan vektor

kecepatan Ya

Tidak

Selesai

(30)

2.5.3. Persamaan Pembentuk Aliran (Governing Equation)

Metodologi dari Computational Fluid Dynamics (CFD) adalah mengubah (mendiskritisasi) persamaan-persamaan pembentuk aliran yang berbentuk

persamaan differensial menjadi sistem persamaan linier pada daerah perhitungan

yang telah dibagi menjadi beberapa volume atur. Dalam program CFD, persamaan

pembentuk aliran tersebut dikenal juga dengan istilah governing equation. Dalam

proses perhitungan aliran fluida, program berjalan sesuai dengan ketentuan

persamaan pembentuk aliran ini ada tiga jenis :

1. Persamaan Kontinuitas

Persamaan kontinuitas biasa juga disebut penjabaran hukum kekekalan massa.

Konsep dari hukum ini adalah rata-rata kenaikan massa pada kontrol volume

sama dengan massa yang mengalir masuk dan massa yang mengalir keluar.

Secara sederhana dapat ditulis :

………..………(2.4)

Secara umum persamaan kontinuitas (hukum kekekalan massa) dirumuskan

sebagai berikut:

.………..………(2.5)

(31)

2. Persamaan Momentum

Hukum kekekalan momentum ini merupakan interpretasi dari hukum kedua

Newton (arah sumbu-x), yaitu resultan gaya pada suatu objek sama dengan

perkalian massa objek terhadap akselerasi. Perumusannya dirumuskan sebagai

berikut:

………..………(2.6)

Secara umum hukum kekekalan momentum arah sumbu-x untuk 3 dimensi

dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :

………..………(2.7)

Dengan cara dan bentuk yang sama persamaan

kekekalan momentum untuk 3 dimensi dengan arah y dan arah

sumbu-z dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut :

………..………(2.8)

………..………(2.9)

Gambar 2.14 Hukum kekekalan Momentum Arah Sumbu-x pada Sebuah Elemen Fluida 3 Dimensi

3. Persamaan Energi

Persamaan ini merupakan aplikasi dari hukum ketiga fisika (termodinamika),

(32)

fluks panas yang masuk ke dalam elemen dan kerja yang digunakan dalam

elemen tersebut. Bentuk persamaannya yaitu :

………..………(2.10)

Gambar 2.15 Kerja yang Dikenakan pada Sebuah Elemen Arah Sumbu-x

………..………(2.11)

(33)

Secara umum kerja yang dikenakan arah sumbu-x, sumbu-, dan sumbu-z

dapat ditulis dengan persamaan berikut :

………..………(2.12)

………..………(2.13)

Sedangkan persamaan fluks panas yang melintasi permukaan sebuah elemen

adalah :

………..………(2.14)

2.5.4. Diskritisasi (metode interpolasi) pada CFD

Pada dasarnya FLUENT hanya menghitung pada titik-titik simpul mesh geometri sehingga pada bagian di antara titik simpul tersebut harus dilakukan

interpolasi untuk mendapatkan nilai kontinyu pada seluruh domain. Terdapat

beberapa skema interpolasi yang sering digunakan, yaitu :

- First-order upwind scheme

Skema interpolasi yang paing ringan dan cepat mencapai konvergen, tetapi

ketelitiannya hanya orde satu. Ketika skema ini dipilih, nilai bidang adalah

sama dengan nilai pusat sell dalam sell upstream.

Skema ini memungkinkan digunakan pada penyelesaian berbasis tekanan dan

rapatan (density)

- Second-order upwind scheme

Menggunakan persamaan yang lebih teliti sampai orde 2, sangat baik digunaan

pada mesh tri/tet dimana arah aliran tidak sejajar dengan mesh. Karena metode

interpolasi yang digunakan lebih rumit, maka lebih lambat mencapai

konvergen.

Ketika skema ini dipilih, nilai bidang dikomputasi mengikuti bentuk :

(34)

Dimana, dan adalah nilai pusat sell dan gradient dalam sell upstream, dan

⃗ adalah vektor perpindahan dari pusat luasan sell upstream ke bidang pusat luasan.

- Quadratic Upwind Interpolation (QUICK) scheme

Diaplikasikan untuk mesh quad/hex dan hybrid, tetapi jangan digunakan untuk

elemen mesh tri, dengan alian fluida yang berputar/swirl. Ketelitiannya mencapai orde 3 pada ukuran mesh yang seragam.

Untuk bidang e pada Gambar 3.4, jika aliran dari kiri ke kanan, seperti itu nilai

dapat ditulis sebagai berikut :

[ ] [ ]

………..(2.16)

Gambar 2.17 Volume control satu dimensi[10]

dalam persamaan di atas hasil dalam pusat interpolasi orde 2 dimana hasil nilai orde kedua. Biasanya skema QUICK diperoleh dengan

kedaaan . Implementasi pada FLUENT menggunakan variabel, solusi dependen nilai , dipilih supaya menghindari pengenalan solusi ekstrim yang

Gambar

Gambar 2.1a Jenis pengering rotary dryer
Gambar 2.1b Jenis pengering flash dryer
Gambar 2.1c Jenis pengering spray dryer
Gambar 2.1e Jenis pengering vacuum dryer
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan komputer yang semakin berkembang pada saat ini memungkinkan bisa dimanfaatkan dalam Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam dan sudah ada sejak dulu kala, yang

Bahwa Saya akan mematuhi Ketentuan dan Tata Tertib Ujian Kode Etik Notaris Periode Tahun 2017 yang ditetapkan oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP-INI)..

Divisi konsultasi &amp; Pengembangan Keuangan Syariah Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia - ICDIF Jl. Kemang

Analisis akuntansi differensial untuk menerima atau menolak pesanan khusus dengan menggunakan contoh kasus pada Joint Toys production menghasilkan laba dan harga yang

bahwa unhrk memenuhi ketentuan Pasal 9 Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran

[r]

Total APBN (Juta)

Dari hasil penelitian diperoleh hasil kalor tertinggi yang dikonduksikan oleh atap fiber terdapat pada atap yang di dalamnya terdapat material insulasi Glaswool yaitu sebesar