• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran perempuan Militer dalam Politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran perempuan Militer dalam Politik"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Militer dalam Politik

Makalah ini Ditujukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah: Dasar Ilmu Politik

Dosen Pengampu: Andar Nubowo, DEA

Oleh :

Zahra - 11141130000055

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA

(2)

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Tuhan yang telah memberikan segala macam nikmat serta bimbingan sehingga pemakalah dapat menyelesaikan tugas kelompok “Pengantar Ilmu Politik” yang berjudul “Politik dalam Militer”. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing ummat kepada jalan yang diridhai Allah SWT.

Makalah ini dibuat dengan sebaik-baiknya sehingga menghasilkan karya yang dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Pemakalah mengucapkan terimakasih kepada pihak terkait yang telah membantu dalam menyelesaikan berbagai tantangan penyusunan makalah ini.

Pemakalah menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karna itu, pemakalah mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini. Atas perhatian pembaca, pemakalah mengucapkan terima kasih.

(3)

Daftar Isi

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI ...iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...2

C. Tujuan dan Manfaat ...2

D. Tinjauan Pustaka ...2

E. Kerangka Teori ...2

F. Metode Penelitian Makalah ...3

BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Militer di Indonesia ...4

B. Kapabilitas Negara dan Kebijakan Luar Negeri ...0

C. Proses Perumusan Kebijakan Luar Negeri ...0

D. Model Kebijakan Luar Negeri ...0

a. Faktor Psikologi dalam Kebijakan Luar Negeri...0

b. Rational Decision Actor Making Model...0

1. Rational Actor Model...0

2. Organizational Process Models...0

3. Bureaucratic Political Models...0

c. Faktor Domestik...0

a) James N. Rosenau...0

b) Alex Mintz...15

d. Faktor Sistem Internasional dalam Kebijakan Luar Negeri...16

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan...19

B. Saran ...19

(4)

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Satu cara yang sudah merupakan mode untuk menjelaskan ambruknya demokrasi barat di negeri yang dinamakan Dunia Ketiga adalah meletakkan sebagian besar dari kesalahannya kepada campur tangan militer dalam politik. Memasuki dasawarsa 1960-an, negara-negara Dunia Ketiga mengalami krisis politik berkepanjangan yang membuka jalan bagi masuknya tentara mengambil alih kepemimpinan politik nasional.

Dalam sejarah politik di Indonesia, hubungan antara partai politik dan militer tidak selamanya berjalan mulus. Sebelum pemerintahan membentuk secara resmi angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 5 Oktober 1945, tidak sedikit partai politik yang membentuk laskar-laskar yang akhirnya menjadi bagian dari BKR (Badan Keamanan Rakyat), TKR (Tentara Keamanan Rakyat), TNI (Tentara Nasional Indonesia), atau APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) yang kemudian lebih dikenal dengan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

Dalam perjalanannya, militer regular dan professional yang berasal dari KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger) dan Peta (Pembela Tanah Air) lebih mendominasi kehidupan militer di Indonesia daripada para pejuang pelajar dan laskar partai politik yang sebagian besar terkena kebijakan pemerintah mengenai reorganisasi TNI pada akhir 1940-an dan awal 1950-an.

Namun demikian, dalam kaitan hubungan partai politik dan militer, partai politik pernah mendominasi dan mengontrol militer secara subjektif, terutama pada masa Demokrasi Parlementer. Dengan kata lain, control subjektif sipil terhadap militer telah mencampuri secara mendalam urusan urusan internal militer, termasuk dalam penentuan masalah penentuan posisi jabatan di dalam struktur TNI-AD. Hal ini menimbulkan rasa tidak suka dan dendam terhadap militer, khususnya TNI-AD, terhadap para politisi sipil.

(5)

Merdeka untuk memaksa Presiden Sukarno membubarkan konstituante karena dianggap terlalu banyak mengintervensi urusan militer.

Ketika militer, khususnya TNI-AD, mendapatkan kesempatan turut serta dalam politik, sebagai pembalasan rasa dendam, mereka kemudian mengintervensi kehidupan kepartaian di Indonesia, khususnya sejak masa transisi dari Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin (Periode 1957-1959), masa Demokrasi Terpimpin, dan mendapatkan kesempatan yang lebih besar pada masa Demokrasi Pancasila.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan yang dijelaskan di atas, agar pembahasan tidak melebar, rumusan masalah akan dikerucutkan kedalam beberapa pertanyaan, sebagai berikut: 1. Mengapa tentara terdorong untuk terlibat dalam politik di Indonesia?

2. Apa kebijakan strategis yang bisa diambil oleh pemerintahan demokratis untuk profesionalisasi tentara?

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penyusunan makalah ini, untuk membahas dan menganalisa perkembangan peran militer dari sebab-sebab kemunculannya sebagai alternatif sistem politik paska kemerdekaan hingga kejatuahn sistem politik otoriter yang dipicu oleh gerakan-gerakan demokratisasi. Sedangkan manfaat makalah ini, untuk menambah wawasan bagi akademisi, baik itu mahasiswa dan dosen, tentang dinamika perkembagan militer dalam perpolitikan di Indonesia berkiatan sehingga dapat dipelajari kebaikan dan keburukan pada masa itu.

D. Tinjauan Pustaka

(6)

E. Kerangka Teori

Kerangka teori yang digunakan untuk menganalisa kasus-kasus yang berfokus pada peran militer dalam politik di Indonesia, sehingga perlu dijelaskan secara terperinci tentang sejarah militer dan keterlibatannya dalam politik di Indonesia, apa yang mendorong militer terlibat dalam kegiatan politik, dan kebijakan-kebijakan strategis yang dapat diambil untuk profesionalisme tentara. Kerangka teori dan sejarah diambil dari tokoh-tokoh termuka dalam buku-buku yang terlampir pada daftar pustaka serta sejarawan lain yang dapat dipertanggungjawabkan keaslian sumbernya. Sehingga memudahkan pemakalah menganlisis setiap pembahasan yang ada.

F. Metode Penelitian Makalah 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, sebab pemaparan dalam penelitian ini berbentuk penggambaran secara rinci dan mendalam, serta menganalisisnya dalam bentuk kalimat. Interpretasi penelitian berdasarkan fakta dan literatur yang telah dikumpulkan.

2. Metode Pengumpulan Data

(7)

BAB II

Pembahasan

A. Dorongan Tentara untuk Terlibat dalam Politik di Indonesia

a. Dorongan Internal dan Eksternal

Militer merupakan kelompok kunci dalam dinamika politik di negara sedang berkembang pada umumnya, khususnya di negara dunia ketiga, seperti Indonesia. Secara umum, ada dua kelompok utama yang memandang faktor penyebab campur tangan militer dalam politik. Kelompok pertama melihat bahwa campur tangan itu lebih disebabkan oleh faktor internal. Dengan demikian, militer dianggap sebagai kelompok kelas kepentingan. Sementara kelompok kedua melihat hal itu diakibatkan oleh struktur politik dan institusional masyarakatnya. Penjelasan kelompok kedua ini, seperti yang pernah ditulis oleh Huntington, menandakan bahwa keterlibatan itu sebagai akibat rapuhnya struktur politik dan institusi masyarakat. Kenyataannya tidaklah demikian sebab tarik ulur politik antara sipil dengan militer di Indonesia sudah muncul sejak masa awal kemerdekaan dan disebabkan oleh baik faktor internal maupun eksternal ABRI. Dari sisi internal, sejak awal sudah ada keinginan ABRI untuk memainkan peran dalam politik Indonesia dan tidak hanya menjadi alat kekuasaan sipil seperti yang berlaku di negara barat. Ini juga didukung oleh rapuhnya kekuatan elit sipil yang menjadi penguasa pada era sukarno.

(8)

argumentasi bahwa campur tangan militer dalam politik lebih terdorong oleh perpolitikan Indonesia, tetapi kemudian juga menjadi model pada era berikutnya. Pada era tersebut, ABRI sebagai garda revolusi diberi peran yang sangat luas dalam penyelenggaraan negara dan pengambilan perusahaan-perusahaan asing.2

Pada masa transisi dari Demokrasi Terpimpin ke Demokrasi Pancasila, terutama pada saat terjadinya pengambilalihan kekuasaan di Indonesia, 1965-1968, militer semakin mendominasi politik Indonesia. Memang, ada argumentasi bahwa peralihan kekuasaan dari sukarno ke Suharto bukanlah suatu “kudeta militer”. Akan tetapi, sebagian pengamat politik mensinyalir adanya kecenderungan itu. Alasan ABRI mengambil alih kekuasaan karena situasi politik dan ekonomi Indonesia saat itu sangat parah. Untuk mencegah kesan bahwa penguasa Orde Baru adalah suatu rezim militer, militer berupaya untuk menggandeng mitra politik sipil, yaitu dengan membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya yang kemudian menjadi Golongan Karya (GolKar). Koalisi untuk membangun jaringan politik agar tetap berkuasa, tampaknya merupakan kepentingan utama pada masa itu. Ini berlanjut dengan dilucutinya kekuatan politik partai lama.

Trauma politik kalangan militer atas peran partai politik era Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Terpimpin membawa dampak diterapkannya struktur politik yang didominasi oleh militer. Sejak saat itu, mulailah fase marginalisasi partai politik melalui restrukturalisasi politik orde baru, terutama untuk menyongsong pemilihan umum 1971. Sementara itu, kelompok militer, masih belum menemukan jaringan dan patronase untuk membuat partai politik yang kuat, melawan partai lama. Mengantisipasi hal ini, sejak 1967-1969, ABRI mulai

1 Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s, Australia: Allen & Unwin Pty. Ltd, 1994, h. 299.

(9)

terlibat aktif menyusun kekuatan melalui partai politik dengan mengaktifkan sekber golkar yang dulu pernah ada. Di banyak tempat, strukturnya cukup unik karena di daerah tingkat II diketuai oleh dandim (komandan distrik militer), sementara di tingkat kecamatan diketuai oleh danramil (komandan rayon militer). Pada fase itulah ABRI sebagai pemegang kunci kekuatan politik melawan komunisme, menentukan konsep-konsep politik melalui seminar Angkatan Darat I, dan lebih-lebih pada seminar Angkatan Darat II yang sebagian besar rumusannya dijadikan acuan dalam membuat struktur politik baru. Munculah struktur politik bayangan antara struktur ABRI dengan struktur Departemen Dalam Negeri.

Fase berikutnya yang menarik adalah munculnya upaya untuk mempertahankan kekuasaan itu. Dengan demikian, ABRI, dalam kenyataan itu, telah berubah tidak hanya melindungi kepentingan kelas elit, tetapi juga sangat menentukan jalur politik, birokrasi, ekonomi, dan sosial. Peran ABRI akhirnya berubah menjadi bagaimana mempertahankan keamanan dan stabilitas politik agar status quo semakin terjaga. Hubungan semacam ini lalu disebut oleh banyak kalangan sebagai sistem otoriter birokratis, yaitu ketika seluruh struktur politik, terutama tempat-tempat strategis dalam proses politik, dimasukinya, sebagai bagian dari strategi stabilitas politik dan pembangunan ekonomi.

Partai politik pada akhirnya hanya sebagai bagian dari marginalisasi struktur politik, bahkan boleh dikatakan tidak mendapatkan tempat terhormat. Campur tangan pun kerap dilakukan terhadapnya. Pola inilah yang terus dikembangkan. Bahkan untuk mendapatkan legitimasi politik dari negara, partai kerap kali harus meminta campur tangan pihak militer, setiap kali mereka dilanda konflik. Tidak hanya sekadar itu, pola rekayasa dan manajemen konflik pun diterapkan sebagai upaya agar partai politik, kecuali Golkar, semakin lemah. Bermula dari kebijakan penyederhanaan parpol dari 10 sampai 3 partai, secara sistematis militer mengebiri kekuatan partai politik. Ini termasuk kebijakan deparpolisasi dan depolitisasi masyarakat, yang tampak dari kebijakan massa mengambang dan monoloyalitas birokrasi.

(10)

berbagai rangkaian kejadian untuk mengusir Megawati dari panggung politik berargumen bahwa ABRI duduk di DPR dalam rangka mengamankan UUD ’45 dan Pancasila. Mekanisme ini digunakan sebagai upaya untuk menggusur partai agar tidak terlalu merepotkan dalam pelaksanaan SU-MPR. Dari sinilah muncul

anggapan bahwa ABRI menjadi kekuatan penentu dan penyeimbang agar status

quo tetap bertahan. Cara-cara yang dilakukan adalah melalui tindakan represif, campur tangan dalam politik, dan pengendalian proses politik. Salah satu ciri rezim Suharto adalah tidak diperbolehkannya oposisi dan dibatasinya partisipasi politik rakyat. Di mata rezim Suharto, kekuatan partai politik oposisi, kebebabasan pers, kebebasan bersuara, dan kebebasan berorganisasi dianggap menghambat pembangunan ekonomi, mengganggu stabilitas politik, dan dapat menimbulkan disintegrasi nasional.

Ketika krisis ekonomi mulai muncul pada 1997 dan terus berlanjut hingga 1999, berbagai tuntutan reformasi politik dan penghapusan peran militer dalam politik pun muncul ke permukaan. Ada dua kecenderungan umum, yaitu, pertama, keinginan agar perombakan struktur politik dilakukan sebagai bagian dari transisi politik. Kedua, tuntutan agar dwifungsi ABRI dihapuskan, ditiadakannya wakil ABRI di DPR, dan ABRI hanya memiiki wakilnya di MPR. Pada masa ini pula muncul kecenderungan bangkitnya kembali era partai politik, seperti yang terjadi pada masa awal kemerdekaan hingga masa transisi ke Demokrasi Terpimpin.

b. Perspektif Teoritis

Sebagai salah satu kekuatan utama dalam politik Indonesia, ABRI sangat menentukan state formation.3 Wujud dominasi ABRI tersebut tercermin pada, pertama, struktur politik Indonesia pada masa pemerintahan Suharto, khususnya

(11)

pada lembaga birokrasi, terutama departemen dalam negeri. Kedua, pada lembaga parlemen, partai politik, dan kelompok kepentingan yang posisinya sangat lemah. Dan ketiga, pada tingkatan masa melalui kebijakan masa mengambang.4 Dalam kategori MacFarling, yang mengutip dari Pamudji, disebutkan bahwa ada dua model struktur politik, yaitu, pertama, suprastruktur yang terdiri atas lembaga tinggi negara, lembaga tertinggi negara, para menteri serta para agen pemerintah. Kedua, infrastruktur, yang terdiri atas partai politik, kelompok fungsional, figur-figur politik (kepemimpinan informal), kelompok kepentingan, media massa, dan massa mengambang.

Campur tangan atau keterlibatan ABRI dalam struktur politik Indonesia, terutama pada masa pemerintahan Suharto, sebagaimana terjadi di banyak negara dunia ketiga lainnya, Nampak keterlibatan militer yaitu:

- administrasi pemerintahan

- membuat atau memiliki partai politik

- pemerintahan sipil seperti mengisi birokrasi, dll. - Wasit politik ketika ada konflik

- Kolusi atau kompetisi dengan otoritas sipil - Intimidasi terhadap otoritas sipil

- Ancaman nonkooperasi dengan atau kekerasan terhadap otoritas sipil - Penggunaan kekerasan pada otoritas sipil

Dari model diatas, hampir semuanya dilakukan oleh militer dala sejarah perpolitikan di Indonesia, mulai dari masa darurat perang (SOB) hingga pada berlangsungnya pemerintah Suharto yang akhirnya jatuh. Angka penjatahan di dalam parlemen (DPR/MPR) melalui mekanisme pengangkatan dilakukan debagai suatu upaya agar militer dapat mengontrol lembaga perwakilan sehingga kepentingan untuk tetap “berkuasa” tidak mengalami gangguan. Model struktur politik demikian ini lalu dianggap relevan dengan model birokratik-otoriter.

(12)

Akan tetapi, berbeda dengan yang dikatakan oleh Huntington bahwa dominasi militer di dalam plitik diakibatkan oleh faktor struktur politik dan masyarakat5. Tampaknya untuk kasus di Indonesia kurang relevan. Untuk kasus di Indonesia, pernyataan Huntington itu tidak tepat. Doktrin maupun ideologinya dibangun sebagai bagian integral dari sistem politik Indonesia pada masa-masa awal 1966-1970. Peluang berkuasa didapat kelompok militer ketika sipil telah kehilangan kepercayaan dan atau legitimasi untuk memerintah, sebagai akibat krisis politik dan ekonomi yang terjadi pada era pemerintahan Sukarno. Sebaliknya, pada masa setelah jatuhnya Suharto –kini militer pun mengalami nasib yang sama, peran militer digugat oleh beberapa kalangan polisi sipil dalam menentukan struktur politik baru era reformasi.

Dari konteks ini, argumen bahwa masuknya militer dalam politik sebagai akibat dari struktur politik dan masyarakat adala kurang relevan untuk kasus Indonesia. Tampaknya, yang agak relevan adalah militer sebagai kepentingan kelas (yang) mencoba untuk menguasai politik dalam jenis dan kategori yang tersebut di atas. Kemudian, ketika mereka memiliki kesempatan untuk melakukan intervensi secara luas dalam bidang politik, mereka menyusun struktur politik baru, seperti yang tampak pada era paska runtuhnya pemerintahan Sukarno.

1.1 Faktor Intervensi Militer dalam Politik

Faktor Penjelasan

Internal ABRI o Perwira-perwira intervensionis terutama

didorong oleh motivasi untuk membela atau

menyebabkan perwira-perwira percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan nasional dibandingkan dengan kelompok sipil. o Intervensi militer dalam politik sebagai sebab

(13)

wibawa dan kuasa.

Eksternal ABRI o Intervensi militer dalam politik sebagai akibat

dari struktur politik masyarakat yang masih rendah dan rentan.

o Kegagalan sistem politik dari kalangan sipil yang memerintah (untuk kasus Indonesia yang terjadi

Sumber : Modifikasi dari Ulf Sundhaussen, politik militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwifungsi ABRI, Jakarta: LP3S, 1986, hh. 440-437

Karena alasan ini, dipengaruhi oleh faktor eksternal pada perdebatan awal perombakan struktur politik militer, dua perwira militer (Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani) membentuk kelompok pemikir, yang berkoalisi dengan para intelektual muda katolik, yaitu Center of Strategic and International Studies (CSIS). Militer juga menjadi penentu dan atau wasit dalam setiap konflik yang terjadi pada internal partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan menguasai jaringan struktur politik bayangan (struktur militer/angkatan darat) –yang sejajar atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan struktur politik Departemen Dalam Negeri. Struktur politik demikianlah yang menurut Finer, mempunyai pengaruh sangat tinggi bagi munculnya intervensi militer dalam politik. Seperti pada tabel dibawah ini:

1.2 hubungan sistem politik dan intervensi militer Tingkat

(14)

masih rendah dan minimnya sistem politik/budaya politik yang berlaku. Yang agak lain ialah bahwa sistem politik yang memberikan ruang intervensi terlalu besar bagi militer di bidang politik disebabkan oleh fakta bahwa yang dominan menata dan membuat struktur politik di masa orde baru adalah kaum militer sendiri. Ciri sistem politik yang otoriter, paternalistik, serta neopolistik, yang juga berdasarkan pada pola patron-client menyebabkan militer menjadi pengayom hampir semua kegiatan politik (organsasi maupun ormas), sementara struktur keamanan mereka ikut mengawasi birokrasi dengan model struktur pemerintahan ganda atau bayangan. Pemikiran Huntington dan Finer tentang ciri-ciri spesifik struktur politik dan institusi masyarakat yang melahirkan intervensi militer,

Matang Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak

Sudah Maju Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak

Rendah Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya

Minim Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya

(15)

kecenderungan yang tampak ialah kuatnya tentara/militer dalam intervensi politik, birokrasi politik, perusahaan pemerintah yang didonminasi oleh kaum militer, dan korps keagamaan politik yang semuanya dikontrol oleh penguasa melalui cara-cara korporatis/penyeragaman.

B. Kebijakan strategis yang diambil oleh pemerintahan demokratis untuk profesionalisasi tentara

ABRI memang sudah menentukan empat paradigma baru untuk menyikapi peran sosial-politiknya, yaitu, pertama, mengubah posisi dan metode untuk tidak selalu harus di depan;6 kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi; ketiga, mengubah cara-cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung; keempat, kesediaan untuk melakukan political and role sharing (kebersamaan dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan) dengan komponen bangsa lainnya.7 Maka dari itu, setelah reformasi, segera dibentuk peraturan atau Undang-undang yang mengatur tentang TNI.

TNI harus dan senantiasa tunduk pada setiap kebijaksanaan dan keputusan politik yang ditetapkan presiden melalui proses pengambilan keputusan dalam sistem ketatanegaraan yang berlaku. Panglima Jenderal Sudirman menekankan bahwa prajurit TNI harus pantang menyerah, menyatu dengan rakyat, cinta tanah air, dan mempunyai semangat juang yang tinggi. Prajurit yang dedikatif akan taat kepada pimpinannya, merasakan apa yang ditugaskan merupakan kewajiban yang harus dikerjakan dengan semangat berbakti, loyal, serta setia kepada negara dan bangsanya.

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 UU Nomor 34/2004 tentang TNI, tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesai 1945, serta melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Untuk melaksanakan tugas pokok TNI tersebut, TNI melaksanakan Operasi Militer untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang.

6 ABRI Abad XXI-Redefinisi dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa, hh. 16-17

(16)

Selain itu, pemerintah menerbitkan dua Undang-undang, UU nomor 24 tahun 2004 tentang TNI telah mengatur fungsi, peran, dan tugas TNI, serta UU nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara, mengatur posisi TNI dalam sistem pertahanan negara. Dengan terbitnya dua undang-undang ini, maka ditindaklanjuti dengan reformasi TNI yang terus berlangsung guna menemukan maknanya yang substansial.

Reformasi internal ABRI yang dilakukan selain dari adanya peraturan perundang-undangan, tidak lepas dari perkembangan lingkungan strategis pada lingkungan global, regional, dan nasional. Namun secara konsisten, TNI tetap menunju kea rah pembangunan TNI sebagai alat pertahanan negara dalam tatanan yang lebih demokratis. Reformasi internal TNI yang sudah dan sedang dalam proses perwijidan, antara lain adalah:

1. TNI telah meninggalkan politik praktis dan berkonsentrasi kepada tugas pokok.

2. Penugasan prajurit TNI di luar institusi TNI didahului dengan pension atau alih status.

3. Likuidasi sospol ABRI dan Babinkar ABRI, penghapusan sospoldam, Babinkardam, Sospolrem, dan Sospoldim.

4. Penghapusan materi sospol ABRI dari kurikulum pendidikan TNI.

5. Likuidasi fraksi-Polri di DPR dan DPRD tahun 2004, dan keberadaannya di MPR yang seharusnya sampai dengan tahun 2009 telah ditinggalkan tahun 2004.

6. Pemisahan TNI dan Polri.

7. Penyelesaian peraturan perundang-undangan tentang TNI.

8. Validasi organisasi TNI.

9. Revisi Doktrin TNI.

(17)
(18)

BAB III

Penutup

Kesimpulan

Sejarah menunjukkan bahwa hubungan militer dan partai politik di Indonesia pada masa lalu dipenuhi oleh keinginan salah satu pihak untuk mengontrol pihak lain, ketika mereka berkuasa. Hal itu didasari keinginan untuk balasa dendam daripada oleh pertimbangan rasional dan objektif demi perbaikan sistem politik di Indonesia menuju demokrasi yang sejati.

(19)

memberikan ruang intervensi terlalu besar bagi militer di bidang politik disebabkan oleh fakta bahwa yang dominan menata dan membuat struktur politik di masa orde baru adalah kaum militer sendiri.

Maka dari itu, di masa depan, peranan sosial politik ABRI/militer di Indonesia akan ditetapkan dengan undang-undang politik (dan struktur politik/kekuasaan) yang dibuat di parlemen. Langkah-langkah yang kemudian diperlukan keberanian untuk memenuhi hakikat kedaulatan rakyat oleh semua pihak, khususnya ABRI, dalam memandang mekanisme berdemokrasi sesuai yang dicita-citakan bersama. Cita-cita kedaulatan rakyat itu adalah cermin kebutuhan negara bangsa bahwa anggota DPR sebagai perwujudan pengemban amanat konstitusi hanya diisi oleh mereka yang diangkat oleh presiden.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji Mann Whitney pada kelompok yang mendapat paparan asap rokok kretek biasa sesudah induksi formaldehyde (K2) dan kelompok yang mendapat paparan asap divine

Meningkatkan Self Esteem Pada Siswa SMP Korban Bullying Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk

dilakukan review artikel dengan tujuan penelitian untuk memberikan tinjauan umum terkait pembelajaran online pada masa pandemic COVID-19 di Indonesia.. Ini penting

Selain itu terdapat adanya kesamaan pertimbangan hakim dalam putusan yang menyatakan bahwa tujuan Majelis Hakim tidaklah semata-mata hanya menghukum orang yang bersalah

Hasil dari perhitungan menggunakan kalkulator PCE dapat dilihat pada tabel III, yang menunjukkan bahwa responden yang memiliki pola hidup tidak sehat juga memiliki

Fasilitas memperbaiki data ini disediakan untuk mengantisipasi adanya kemungkinan kesalahan (human errors) dalam mengisi data. Pada program ini juga disediakan fasilitas

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh Net Profit Margin (NPM), Return On Investment (ROI), dan Debt Equity Ratio (DER) terhadap

kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti mampu menggali pengetahuan teoretik secara mendalam