BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. STROKE PERDARAHAN INTRAVENTRIKULAR
2.1.1. Definisi
Stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular (Sacco dkk, 2013).
Stroke hemoragik adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat disfungsi neurologis yang disebabkan oleh kumpulan darah setempat pada parenkim otak atau sistem ventrikular yang tidak disebabkan oleh trauma (Sacco dkk, 2013).
Perdarahan intraventrikular primer disebut juga sebagai perdarahan intraserebral non-traumatik yang terbatas pada sistem ventrikel, sedangkan perdarahan intraventrikular sekunder muncul akibat perdarahan yang berasal dari parenkim maupun rongga subarakhnoid yang meluas ke sistem ventrikel (Hameed dkk, 2005; Tucker dkk, 2011).
2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dilaporkan sebesar 7 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi terdapat di Sulawesi Utara (10,8%), diikuti D.I Yogyakarta (10,3%), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing sebesar 9,7 per mil. Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah (16,5%). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dibandingkan di desa (8,2%). Prevalensi stroke lebih tinggi dijumpai pada masyarakat yang tidak bekerja (11,4%). Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis atau gejala lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing sebesar 13,1 dan 12,6 per mil (Kementrian kesehatan, 2013).
sebanyak 70 (12,5%). Hasil CT Scan kepala yang menunjukkan infark dijumpai sebanyak 302 (53,7%), hemoragik sebanyak 152 (27%), infark hemoragik sebanyak 12 (2,1%) dan 96 (17,1%) tidak menjalani CT Scan kepala. Pada penelitian ini outcome pasien yang hidup dijumpai sebanyak 470 subjek (83,6%). Hasil outcome dari penelitian Misbach dkk adalah hidup membaik (59,9%), hidup tidak membaik (1,6%), hidup memburuk (4,3%), hidup dengan status tak tercatat (5,1%), meninggal dunia (23,3%) dan tidak ada data/tidak diketahui (9,7%) (Rambe dkk, 2013).
Perdarahan intraventrikular terjadi pada 30%-50% kasus perdarahan intraserebral spontan. Perdarahan intraventrikular primer merupakan kasus yang jarang dan dilaporkan sebesar 3% dari semua perdarahan intraserebral spontan (Staykov dkk, 2009; Hameed dkk, 2005). Sebuah penelitian yang dilakukan di Thailand didapatkan rata-rata usia penderita perdarahan intraventrikular adalah 52 ± 24 dengan perbandingan antara wanita : pria adalah 1 : 3 (Chiewvit dkk, 2009).
perdarahan intraventrikular memiliki tingkat mortalitas sebesar 50%-80%. Pasien dengan perdarahan intraventrikular dua kali lebih sering menyebabkan outcome yang buruk dan hampir tiga kali lebih sering menyebabkan kematian dibandingkan tanpa perdarahan intraventrikular. Perdarahan intraventrikular sekunder menyebabkan kematian pada 32% sampai 43% kasus (Hinson dkk, 2010; Morgan dkk, 2013).
Sebuah penelitian meta-analisis yang dilakukan di Cina menyatakan bahwa perdarahan intraventrikular merupakan faktor risiko yang telah terbukti terhadap buruknya prognosis, dan mortalitasnya diperkirakan mencapai 50%-80%. Perdarahan intraventrikular sekunder dan perdarahan supratentorial spontan memiliki mortalitas dan prognosis buruk rata-rata sebesar 72% dan 86%. Outcome sering diperberat dengan adanya hidrosefalus akut, efek massa dari darah di ventrikel dan hidrosefalus kronik (Li dkk, 2013).
2.1.3. Faktor Risiko
I. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Ras dan suku bangsa d. Faktor keturunan
e. Berat badan lahir rendah
II. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi a. Perilaku
1. Merokok
2. Diet tidak sehat : lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, kurang asupan buah
3. Penyalahgunaan alkohol
4. Obat-obatan : narkoba (kokain), antikoagulan, antiplatelet,
amfetamin, pil kontrasepsi 5. Kurang aktifitas gerak b. Fisiologis
1. Penyakit hipertensi 2. Penyakit jantung 3. Diabetes mellitus
4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus 5. Gangguan ginjal
6. Kegemukan
perdarahan
8. Kelainan anatomi pembuluh darah 9. Stenosis karotis asimtomatik
Tabel 1. Faktor Risiko Perdarahan Intraventrikular
Faktor Risiko Frekuensi (%)
Jenis kelamin (pria : wanita) Hipertensi Edition. Cambridge University Press. NewYork.
2.1.4. Etiologi
Etiologi dari perdarahan intraventrikular bervariasi dan pada beberapa pasien tidak diketahui penyebabnya. Caplan dkk (2009) menyatakan bahwa perdarahan intraventrikular primer tersering berasal dari perdarahan akibat hipertensi pada arteri parenkim yang sangat kecil dari jaringan yang sangat dekat dengan sistem ventrikular.
periventrikel. Perdarahan intraventrikular juga dapat terjadi pada trauma dan tumor yang biasanya melibatkan pleksus koroideus (Hinson dkk, 2010).
Tabel 2. Etiologi Perdarahan Intraventrikular Primer Primary Intraventricular Hemorrhage
Head trauma
Insertion/removal of a ventricular catheter
Intraventricular vascular malformation, aneurysm, tumor
Bleeding diasthesis (polycythemia vera, hemophilia C, thrombocytopenia) Moyamoya disease
Extension of intracerebral hematoma or subarachnoid hemorrhage caused by : Hypertension
Hemorrhagic transformation of an ischemic infarct Tumor
Extension of germinal matrix hematoma (premature infants)
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage Chapter 46. In : Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third Edition. Cambridge University Press. NewYork.
2.1.5. Patofisiologi
perluasan dari perdarahan intraparenkim atau perdarahan subarakhnoid ke dalam sistem ventrikel (Hanley dkk, 2009).
Sistem ventrikel otak merupakan low-pressure pathway yang berfungsi dalam pergerakan cairan serebrospinal. Sistem ini sering pecah akibat darah yang masuk melalui defek pada dinding arteri dan akibat tindakan pembedahan pada kasus perdarahan intraserebral spontan. Defek pada pembuluh darah yang dapat menyebabkan perdarahan pada otak diantaranya adalah aneurisma, arteriovenous malformation, small vessel microaneurysm, profil koagulopati atau peningkatan tekanan darah (Hanley dkk, 2009).
Setelah perdarahan inisial terjadi, tiga risiko utama yang akan mempengaruhi kejadian selanjutnya yaitu rebleeding, vasokonstriksi dan hidrosefalus. Sekali dinding luar pembuluh darah yang abnormal rusak, pembuluh darah ini akan rentan terhadap rebleeding. Perdarahan kemudian akan mengancam hidup karena terjadi peningkatan tekanan intrakranial dan sejumlah darah yang terdapat dalam sistem cairan serebrospinal. Darah dalam sistem ini dapat menyumbat membran absorbtif dan akan menyebabkan hidrosefalus serta dilatasi seluruh sistem ventrikular (Caplan, 2009).
2.1.6. Gambaran Klinis
peningkatan refleks dan respon plantar yang simetris. Bila perdarahan terutama terdapat pada satu ventrikel, akan dijumpai tanda fokal yang asimetris (Caplan, 2009). Beberapa gambaran klinis dari perdarahan intraventrikular yang sering dijumpai diantaranya adalah : (Tabel 3)
Tabel 3. Gambaran Klinis Pada Perdarahan Intraventrikular Gejala dan Tanda Klinis Frekuensi (%)
Penurunan kesadaran 77-92
Defisit nervus kranialis 8-47
Hemiparesis 8-33
Refleks ekstensor plantar 12-40
Refleks tendon dalam yang asimetrIs 27
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage Chapter 46. In : Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third Edition. Cambridge University Press. NewYork.
Gambaran klinis pada perdarahan intraventrikular dapat berbeda tergantung dari jumlah perdarahan dan daerah kerusakan otak disekitarnya. Pada perdarahan intraventrikular yang berat dijumpai tanda penurunan kesadaran, kejang baik fokal maupun general dan tanda-tanda kompresi batang otak (Paciaroni dkk, 2012).
2.1.7. Pemeriksaan Diagnostik Pencitraan
segera melakukan CT Scan kepala (ESO, Class I) atau pilihan alternatif dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) otak (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A). Jika ada fasilitas MRI≥ 1,5 T, gunakan sekuens Diffusion Weighted Imaging (DWI) dan T2-weighted gradient echo (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A).
Pemeriksaan CT Scan merupakan strategi utama yang efektif pada pencitraan pasien stroke akut tetapi tidak sensitif untuk perdarahan lama. Secara umum, CT Scan kurang sensitif dibandingkan MRI, tetapi keduanya sama-sama spesifik untuk mendeteksi adanya perdarahan atau tidak (Misbach dkk, 2011).
Rekomendasi persyaratan untuk CT Scan kepala pada stroke akut : (Misbach dkk, 2011)
1. CT Scan kepala tanpa kontras.
2. Peralatan generasi ketiga atau keempat.
3. Ketebalan potongan 5-10 mm, dengan irisan yang terputus-
putus.
4. Potongan harus dibuat pada bidang oblik untuk mencegah
radiasi ke mata.
substansia alba atau grisea, dengan atau tanpa terkenanya permukaan kortikal (40-90 Hounsfield Units) (Misbach dkk, 2011).
Perdarahan intraventrikular pada gambaran CT Scan kepala (Gambar 1) menunjukkan gambaran hiperdens dalam sistem ventrikel, bisa juga tampak pelebaran pada sistem ventrikel bila telah terjadi hidrosefalus (Arboix dkk, 2012)
Gambar 1. Perdarahan Intraventrikular Pada Gambaran CT Scan Kepala.
Diunduh dari : Arboix, A., Garcia-Eroles, L., Vicens, A., Olivers, M., Masson, J. 2012. Spontaneous Primary Intraventricular Hemorrhage : Clinical Features and Early Outcome. ISRN Neurology
Gambar 2. Perdarahan Intraventrikular Pada Gambaran T1 weighted & T2 weighted MRI Otak.
Kriteria diagnostik perdarahan pada MRI otak dibagi berdasarkan beberapa kategori : (Tabel 4)
Tabel 4. Kriteria Diagnostik Perdarahan MRI Otak Pada Stroke Akut KATEGORI WAKTU T1 weighted T2 weighted Hiperakut Jam, terutama
oksihemoglobin
Hipointens Hipointens, dikelilingi oleh batas hiperintens
Subakut Minggu, terutama methemoglobin
Hiperintens Hipointens, subakut dini dengan lebih dominan methemoglobin
intraselular, hiperintens, subakut lanjut dengan
lebih dominan
methemoglobin ekstraselular Kronik Tahun,
hemosiderin
Hipointens Hipointens atau batas hipointens disekelilingi kavitas cairan hiperintens Dikutip dari : Misbach, J., Lamsudin, R., Aliah, A., Basyiruddin A., Suroto., Alfa, A.Y., dkk. 2011. Guideline Stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta
2.1.8. Penatalaksanaan
atau MAP > 130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, dilakukan pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan
pemantauan tekanan perfusi serebral ≥ 60 mmHg (Misbach dkk,
2011).
Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial meliputi (Misbach dkk, 2011) :
1. Tinggikan posisi kepala 20o-30o.
2. Posisi pasien hendaklah menghindari penekanan vena jugular.
2. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik.
3. Hindari hipertermia.
4. Jaga normovolemia.
5. Osmoterapi atas indikasi :
b. Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.
6. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (PCO2 35-40 mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.
7. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat mengurangi naiknya tekanan intrakranial dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, buckling ventilator (AHA/ASA, Class III-IV, Level of
evidence C). Agen non-depolarized seperti vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada histamin dan blok pada ganglion lebih baik digunakan (AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Pasien dengan kenaikan kritis tekanan intrakranial sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suction atau lidokain sebagai alternatif.
ventrikulo peritoneal shunt (AHA/ASA, Class I, level of evidence B)
(Misbach dkk, 2011).
Drainase ekstraventrikel dengan fibrinolisis muncul sebagai solusi dalam menghilangkan bekuan darah sehingga mencegah terjadinya komplikasi hidrosefalus dan inflamasi. Penelitian Cloth Lysis : Evaluating Accelerated Resolution of IVH (CLEAR-IVH) yang dilakukan pada 100 pasien (placebo, n = 22, mendapatkan terapi, n = 78), diberikan dosis 0,3 sampai 3mg setiap 8 sampai 12 jam menunjukkan hasil bahwa pada kelompok yang mendapatkan terapi recombinant Tissue Plasmingen Activator (rTPA) membantu dalam terbukanya sistem ventrikular bagian bawah dan sekali bekuan darah hilang, proses lisis bekuan darah lebih cepat dibandingkan dengan kelompok placebo. Pada penelitian CLEAR III menunjukkan bahwa dosis rendah rTPA (1 mg) dapat diberikan secara aman pada pasien dengan perdarahan intraventrikular dengan bekuan darah yang stabil dan dapat meningkatkan rata-rata lisis (Hinson dkk, 2010).
mendapatkan terapi konservatif sebesar 12%, tetapi perbedaan ini secara statistik tidak signifikan (p=0,141) (Hinson dkk, 2010).
2.1.9. Komplikasi
Komplikasi stroke perdarahan intraventrikular antara lain adalah (Christopher dkk, 2005) :
1. Hidrosefalus. Hal ini merupakan komplikasi yang sering dan kemungkinan disebabkan karena obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal atau akibat berkurangnya absorbsi meningeal. Hidrosefalus dapat berkembang pada 50% pasien dan berhubungan dengan outcome yang buruk.
2. Perdarahan ulang (rebleeding). Hal ini dapat terjadi setelah serangan hipertensi.
3. Vasospasme. Beberapa laporan telah menyimpulkan hubungan antara perdarahan intraventrikular dengan kejadian vasospasme adalah akibat adanya disfungsi arteriovena hipotalamik yang berperan dalam vasospasme intrakranial dan akibat adanya penumpukan atau jeratan dari bahan spasmogenik yang timbul akibat gangguan sirkulasi cairan serebrospinal.
Tabel 5. Outcome/Komplikasi Pada Perdarahan Intraventrikular
Outcome/Komplikasi Frekuensi
(%)
Hidrosefalus dini 50-73
Memerlukan pemasangan External Ventricular Drainage (EVD)
19-33
Pemasangan Shunt 36
Lesi kausatif pada pemeriksaan angiogram Malformasi atrioventrikular
Outcome pada penderita yang bertahan hidup Asimptomatik Edition. Cambridge University Press. NewYork.
2.2. ANATOMI SISTEM VENTRIKULAR
Pleksus koroideus terletak dalam sistem ventrikular dan membentuk hubungan yang timbal balik antara darah dan sistem saraf pusat. Pleskus koroideus terdiri atas epitel padat yang berfungsi untuk sekresi cairan serebrospinal. Gangguan pada sistem ventrikular akan mempengaruhi sirkulasi dan reabsorpsi cairan serebrospinal sehingga menimbulkan hidrosefalus yang dapat memperburuk klinis penderita (Waxman, 2010).
Gambar 3. Sistem Ventrikular
Dikutip dari : Waxman, S.G. 2010. Ventricles and Covering of The Brain. In : Clinical Neuroanatomy. NewYork : The McGraw-Hill Companies. 2.3. MODIFIED GRAEB SCORE
2.3.1. Sejarah dan Definisi
Graeb Score merupakan penilaian semikuantitatif terhadap volume perdarahan intraventrikular yang mudah & cepat diaplikasikan, dapat dipercaya dan memberikan makna klinis (Morgan dkk, 2013).
Modified Graeb Score merupakan modifikasi dari Original Graeb Score (OGS) sebelumnya, dimana penilaian dilakukan pada setiap kompartemen ventrikel (total nilai maksimal adalah 32) sehingga merefleksikan total volume perdarahan intraventrikular yang lebih baik (Morgan dkk, 2013).
2.3.2. Penilaian dan Interpretasi Hasil
Gambar 4. Kompartemen Ventrikular Dalam Penilaian Modified Graeb Score (mGS)
Diunduh dari : Morgan, T., Dawson, J., Spengler, D., Lees, K., Aldrich, C., Mishra, N., et al. 2013. The Modified Graeb Score an Enhanced Tool for Intraventricular Hemorrhge Measurement and Predictor Outcome. Stroke. 44 : 635-641
Jumlah darah pada masing-masing ventrikel diberi nilai : ventrikel lateral kanan & kiri (0 = tidak ada darah, 1 = ≤ 25% terisi darah, 2 = > 25% - ≤ 50% terisi darah, 3 = > 50% - ≤ 75% terisi darah, 4 = > 75% - 100% terisi darah), ventrikel tiga dan
ke-empat (0 = tidak ada darah, 2 = ≤ 25% - ≤ 50% terisi darah, 4 = > 50
– 100% terisi darah), occipital horn kanan & kiri (0 = tidak ada darah,
1 = ≤ 25% - ≤ 50% terisi darah, 2 = > 50% - 100% terisi darah),
Tabel 6. Penilaian Modified Graeb Score (mGS)
Diunduh dari : Morgan, T., Dawson, J., Spengler, D., Lees, K., Aldrich, C., Mishra, N. 2013. The Modified Graeb Score an Enhanced Tool for Intraventricular Hemorrhge Measurement and Predictor Outcome. Stroke. 44 : 635-641
2.4. Modified Graeb Score dan Kematian Pada Stroke Perdarahan
Intraventrikular
Modified Graeb Score digunakan untuk menentukan tingkat keparahan pada perdarahan intraventrikular berdasarkan ukuran perdarahan dan terdapatnya dilatasi pada setiap ventrikel. mGS merupakan perangkat yang dapat dipercaya dan valid dalam menilai tingkat keparahan perdarahan intraventrikular. mGS mudah diaplikasikan dan dapat juga digunakan sebagai monitoring pada penderita perdarahan intraventrikular yang mendapat terapi trombolitik (Hwang dkk, 2011; Morgan dkk, 2013).
Menurut Hameed dkk (2005) terdapatnya akumulasi darah pada semua ventrikel merupakan suatu faktor prognostik yang buruk (RR = 4,3; 95% CI, 1,6 – 11,6, p = 0,025). Perluasan perdarahan ke ruang intraventrikular berhubungan dengan kematian sebesar 28 (71,8%), p = 0,003) (Chiewwit dkk, 2009).
Akumulasi perdarahan pada sistem ventrikel berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas dalam beberapa cara. Pada fase akut, perluasan perdarahan pada sistem ventrikel menyebabkan kerusakan pada Reticular Activating System (RAS) dan thalamus yang menyebabkan penurunan kesadaran, selain itu bekuan darah yang memblok cairan serebrospinal menyebabkan hidrosefalus obstruktif. Hal ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa yang menyebabkan semakin berkurangnya perfusi serebral dan secara potensial berhubungan dengan efek massa dan edema serebri (Hinson dkk, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Hansen dkk (2016), setiap kenaikan 1 poin dari mGS berhubungan secara signifikan terhadap resiko outcome yang buruk (mRS ≥ 4, termasuk kematian) (OR = 1,18, 95% CI, 1,10 –
1,25, p = < 0,001). Setiap kenaikan 1 poin mGS berhubungan secara signifikan terhadap resiko kelangsungan hidup dalam 30 hari (OR = 1,22, 95% CI, 1,15 – 1,28, p = < 0,001).
2. 5. KERANGKA TEORI meningkatkan 12% terjadinya outcome buruk (Morgan dkk, 2013)
mGS memiliki hubungan yang signifikan terhadap outcome (Husni dan Arifin, 2013)
Peningkatan/penurunan volume perdarahan selama 6 hari onset tidak berhubungan dengan outcome (Hwang dkk, 2011)
Perkembangan volume perdarahan dalam 24 jam pertama menunjukkan adanya hubungan dengan tingkat keparahan dan kematian (Hwang dkk, 2011)
Terdapat perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok EVD dan non-EVD terhadap insiden outcome buruk (Hwang dkk, 2011)
Tidak dijumpai korelasi yang signifikan antara tingkat keparahan yang dinilai dengan graeb score atau volume perdarahan absolut dengan outcome hari ke-90 & 180 (Staykov dkk, 2009)
PENATALAKSANAAN mGS dapat digunakan untuk menilai perkiraan volume perdarahan intraventrikular (Morgan, dkk 2013; Husni & Arifin, 2013)
Graeb score memiliki tingkat akurasi yang baik dalam memprediksi outcome (Hwang dkk, 2011)
P ↑ volume perdarahan yang dinilai dengan mGS me↑ prediksi outcome buruk & kematian secara signifikan (Husni & Arifin, 2013)
Volume perdarahan secara langsung berkorelasi dengan kemungkinan terjadinya kematian (Morgan dkk, 2013; Hwang dkk, 2011)
Akumulasi darah pada sistem ventrikel merupakan faktor prognostik yang buruk & berhubungan secara dengan kematian (Chiewvit dkk, 2009)
2. 6. KERANGKA KONSEP
STROKE PERDARAHAN INTRAVENTRIKULAR MODIFIED GRAEB
SCORE
PENATALAKSANAAN : - KONSERVATIF - OPERATF
OUTCOME/
KEMATIAN STROKE PERDARAHAN
INTRAVENTRIKULAR MODIFIED GRAEB
SCORE