• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Karakteristik Sifat Kimia Tanah Di Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Kebun Adolina Ptpn Iv Serdang Bedagai Pada Beberapa Generasi Tanam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Karakteristik Sifat Kimia Tanah Di Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Kebun Adolina Ptpn Iv Serdang Bedagai Pada Beberapa Generasi Tanam"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah podzolik, latosol,

hidromorfik kelabu, aluvial, atau regosol. Niali pH optimum adalah 5,0 – 5,5.

Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase baik dan

memiliki lapisan solum yang dalam tanpa lapisan padas. Kondisi topografi

pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari kelerengan 25%. Artinya,

perbedaan ketinggian antara dua titik yang beranjak 100 m tidak lebih dari 25 m

(Pahan, 2015).

Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podzolik, Latosol,

Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai

dan muara sungai. Tingkat keasaman (pH) yang optimum untuk sawit adalah 5,0-

5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase

(beririgasi) baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan

padas. Kemiringan lahan pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 15o

(Kiswanto dkk., 2008).

Daerah pengembangan kelapa sawit yang sesuai berada pada 15o LU – 15o

LS. Ketinggian lokasi (altitude) perkebunan kelapa sawit yang ideal berkisar

antara 0 – 500 m dari permukaan laut (dpl). Kelapa sawit menghendaki curah

hujan sebesar 2.000 – 2.500 mm/tahun dengan periode bulan kering < 75

mm/bulan tidak lebih dari 2 bulan. Suhu optimum untuk pertumbuhan kelapa

sawit adalah 29o C – 30o C. Intensitas penyinaran matahari sekitar 5 – 7 jam/hari.

(2)

Lama penyinaran matahari yang baik untuk kelapa sawit antara 5-7

jam/hari. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1.500-4.000 mm,

temperatur optimal 24-28o C. Ketinggian tempat yang ideal untuk sawit antara 1-500 m dpl (di atas permukaan laut). Kelembaban optimum yang ideal untuk

tanaman sawit sekitar 80-90% dan kecepatan angin 5-6 km/jam untuk membantu

proses penyerbukan (Kiswanto dkk., 2008).

Suhu rata-rata tahunan untuk pertumbuhan dan produksi sawit berkisar

antara 24-290C, dengan produksi terbaik antara 25–27o C. Di daerah tropis, suhu udara sangat erat kaitannya dengan tinggi tempat di atas permukaan laut (dpl).

Tinggi tempat optimal adalah 200 m dpl, dan disarankan tidak lebih dari 400 m

dpl, meskipun di beberapa daerah, seperti di Sumatera Utara, dijumpai

pertanaman sawit yang cukup baik hingga ketinggian 500 m dpl. Suhu minimum

dan maksimum belum banyak diteliti, tetapi dilaporkan bahwa sawit dapat

tumbuh baik pada kisaran suhu antara 8 hingga 38o C (Allorerung dkk., 2010).

Sifat Kimia Tanah

Derajat Kemasaman (pH)

Dalam buku Mukhlis dkk (2011) istilah pH pertama sekali diperkenalkan

oleh Sörensen pada tahun 1909 pada saat ia bermasalah dengan pekerjaan

pembuatan bir, dimana reaksi fermentasi bir sangat peka terhadap konsentrasi H+. Pada teori Archenius dan Brønsted-Lowry dikombinasikan dan dapat diterapkan

untuk mencirikan keadaan asam dan basa di dalam tanah. Pada tanah yang asam,

lebih banyak mengandung ion H+ daripada ion OH-. Sebaliknya tanah yang basa

(3)

Kemasaman tanah merupakan salah satu sifat yang penting sebab terdapat

beberapa hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara, juga terdapat beberapa

hubungan antara pH dan semua pembentukan serta sifat – sifat tanah. Mungkin

pengaruh terbesar yang umum dari pH terhadap pertumbuhan tanaman adalah

pengaruhnya terhadap ketersediaan unsur hara, pH tanah dihubungkan dengan

presentase kejenuhan basa. pH tanah dapat diturunkan dan kemasaman tanah

dapat ditingkatkan dengan penambahan sulfur atau campuran yang mengandung

sulfur. Sulfur diubah menjadi asam sulfur. Perubahan pH tanah terbesar ditujukan

langsung terhadap peningkatan pH dan penurunan kemasaman tanah. Kapur

(CaCO3) umumnya digunakan karena terhidrolisa untuk menghasilkan ion OH –

dan kalsium meningkatkan kejenuhan basa (Foth, 1998).

Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion H+ dalam larutan tanah, yang

dinyatakan sebagai –log[H+]. Peningkatan konsentrasi H+ menaikkan potensial larutan yang diukur oleh alat dan dikonversi dalam skala pH. Elektrode gelas

merupakan elektrode selektif khusus H+, hingga memungkinkan untuk hanya

mengukur potensial yang disebabkan kenaikan konsentrasi H+ (Balai Penelitian Tanah, 2005).

Tanah sering menjadi masam jika ditanami atau untuk aktivasi pertanian,

sebab basa-basa akan hilang (ikut terpanen). Macam tanaman dapat menentukan

jumlah relatif basa-basa yang terbuang. Sebagai contoh, leguminose juga

melepaskan H+ kedalam zone perakaran (rizosper) saat aktivitas penambatan N atmosfer. Sehingga penanaman tanaman leguminose akan lebih memasamkan

tanah dibandingkan dengan tanaman non-leguminose. Tanah – tanah yang berada

(4)

dengan yang berkembang di bawah padang rumput. Hutan tanaman dengan daun

kecil (konifer) dapat menyebabkan lebih masam dibandingkan dengan hutan

tanaman berdaun lebar (deciduous) (Winarso, 2005).

Pada penelitian Arianto (2008) terjadi peningkatan pH sebesar 0.835

setelah hutan alam di konversikan menjadi kebun kelapa sawit. Peningkatan

rataan pH sebesar 0.835 ini diduga disebabkan oleh abu sisa pembakaran yang

dilakukan ketika persiapan lahan pengkonversian hutan alam menjadi kebun

kelapa sawit.

Dalam penelitian Tambunan (2008) hubungan antara pH tanah dengan

jumlah tandan per pokok tanaman kelapa sawit adalah linier positif, artinya jika

pH tanah meningkat maka produksi tandan per pokok akan semakin besar.

Dengan meningkatnya pH tanah diduga akan menyebabkan meningkatnya

ketersediaan unsur – unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman yang pada

akhirnya akan meningkatkan produksi tandan per pokok kelapa sawit.

Pengaruh yang umum dari pH terhadap pertumbuhan tanaman adalah

pengaruhnya terhadap ketersediaan unsur hara di dalam tanah, baik makro

maupun mikro. pH tanah juga di hubungkan dengan presentase kejenuhan basa.

Banyak penelitian yang telah menunjukkan bahwa ada hubungan peningkatan

pertumbuhan tanaman dengan peningkatan persentase kalsium dalam tanah.

Kemudian ketersediaan kalium biasanya baik pada tanah netral maupun tanah

basa (alkali) yang menunjukkan pencucian kalium dapat di tukar terbatas

(5)

C- Organik

Kandungan organik pada tanah mineral masam biasanya hanya berkisar

antara 0.5 – 5%, tetapi peranannya sangat penting dalam perbaikan sifat fisik dan

kimia tanah. Sisa tanah dan binatang ini merupakan sumber makanan bagi

mikroorganisme tanah. Begitu sisa organik ini jatuh ke tanah, mikroorganisme

langsung mendekomposisi material ini sebagai sumber makanan dan energi. Sisa

organik ini ada sebagian yang belum mengalami dekomposisi, dan disebut bahan

organik (Barchia, 2009).

Pada penelitian Oksana dkk (2012) terjadi penurunan kandungan bahan organik/C-organik dari lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit usia tanam 2

tahun sebesar 1.03 % (bahan organik) dan 0.6 % (C-organik), sedangkan pada

kebun kelapa sawit usia tanam 2 tahun menjadi usia tanam 8 tahun terjadi

penurunan sebesar 0.38 % (bahan organik) dan 0.22 % (C-organik), tetapi pada

kebun kelapa sawit usia tanam 8 tahun menjadi 16 tahun terjadi peningkatan

sebesar 0.64 % (bahan organik) dan 0.37 % (C-organik). Kenaikan kandungan

bahan organik/C-organik yang terjadi pada kebun kelapa sawit 16 tahun masih

belum sebanding dengan kandungan bahan organik/C-organik yang terdapat pada

lahan hutan, yaitu lebih tinggi lahan hutan sebesar 0.77 % (bahan organik) dan

0.45 % (C-organik).

Mikroba tanah merupakan agen pertama penghancuran bahan organik dan

memerlukan makanan tertentu. Pada prakteknya adalah jumlah relatif karbon

terhadap nitrogen pada bahan organik yang dirombak. Satu masalah timbul

apabila kandungan nitrogen dari perombakan bahan organik kecil, sebab mikroba

(6)

tinggi untuk mendapatkan nitrogen yang tesedia di tanah. Sebab kandungan

karbon bahan organik relatif konstan, antara 40 sampai 50 persen. Sementara

kandungan nitrogen bervariasi, rasio (C/N) karbon – nitrogen merupakan cara

untuk menunjukkan gambaran kandungan nitrogen relatif. Jadi rasio C/N dari

bahan organik merupakan petunjuk kemungkinan kekurangan nitrogen dan

persaingan diantara mikroba – mikroba dan tanaman tingkat tinggi dalam

penggunaan nitrogen yang tersedia dalam tanah (Foth, 1998).

Pada penelitian Tambunan (2008) menunjukkan nilai C/N pada enam

profil tanah relatif semakin kecil menurut kedalaman tanah. Nilai C/N sangat

rendah menunjukkan bahwa bahan organik di lokasi penelitian mempunyai

tingkat pelapukan yang sudah lanjut. Kandungan bahan organik persen C dan N

juga sangat rendah yaitu masing – masing 0.42 – 0.80% dan 0.18 – 0.24% ini

menggambarkan tingkat pelapukan tanah sudah lanjut sehingga ketersediaan

unsur-unsur hara yang diperlukan tanaman juga tidak tersedia secara optimal yang

pada akhirnya mempengaruhi produksi tandan per pokok kelapa sawit juga tidak

optimal.

Nitrogen

Nitrogen adalah salah satu unsur hara makro yang sangat penting dan

dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang banyak dan diserap tanaman dalam

bentuk ion NH4+ (amonium) dan ion NO3- (nitrat). Ditinjau dari berbagai hara,

nitrogen merupakan yang paling banyak mendapat perhatian. Hal ini disebabkan

jumlah nitrogen yang terdapat didalam tanah sedikit sedangkan yang diangkut

(7)

senyawa nitrogen anorganik sangat larut dan mudah hilang dalam air drainase,

tercuci dan menguap ke atmosfir (Damanik dkk., 2011)

Dalam penelitian Oksana dkk (2012) alih fungsi lahan hutan menyebabkan perubahan kandungan nitrogen total, pada lahan hutan kandungan

nitrogen totalnya adalah 0.0285%, kebun kelapa sawit usia tanam 2 tahun sebesar

0.0427%, kebun kelapa sawit usia tanam 8 tahun sebesar 0.0425% dan pada usia

tanam 16 tahun adalah 0.0283%. Diduga aktivitas mikroorganisme menurun pada

tanaman usia 16 tahun dan proses penguraian nitrogen pada umur tanaman

tersebut menurun.

Reaksi tanah sangat mempengaruhi aktivitas mikroorganisme tanah dan ini

berimplikasi terhadap proses nitrifikasi. Pada tanah masam dengan pH < 5.39,

NH4+ teroksidasi sangat lambat membentuk NO3- dan pH tanah optimum untuk

nitrifikasi terjadi diatas pH 6,0. Nitrifikasi sangat ditentukan oleh nilai amonium,

dan apabila terjadi volatilisasi amonia dapat menyebabkan penurunan laju

nitrifikasi. Selanjutnya immobilisasi nitrogen oleh mikroorganisme terutama pada

saat suplai bahan organik dengan C:N rasio yang besar diberikan akan

menurunkan nitrifikasi (Barchia, 2009).

Pada penelitian Arianto (2008) diketahui bahwa rataan nilai N-total

meningkat sebesar 0.05% setelah hutan di konversikan menjadi kebun kelapa

sawit. Peningkatan ini disebabkan karena adanya abu sisa pembakaran dan proses

dekomposisi yang tinggi oleh adanya pembakaran bahan organik dari

mikroorganisme.

Nitrogen yang berlimpah akan menaikkan pertumbuhan dengan cepat

(8)

gelap pada daun-daun tanaman. Meskipun satu dari sebagian besar fungsi nitrogen

dihentikan, pertumbuhan ini tidak akan berubah kecuali unsur hara fosfor, kalium

dan lainnya tercukupi pada keadaan tersebut (Foth, 1998). Dalam buku Damanik,

dkk (2011) menyebutkan bahwa nitrogen berperan sebagai penyusun klorofil yang

menyebabkan daun berwarna hijau. Pengaruh nitrogen meningkatkan bagian

protoplasma menimbulkan beberapa akibat antara lain terjadi peningkatan ukuran

sel, menyebabkan daun dan batang menjadi lebih sekulen dan kurang keras, juga

meningkatkan bagian air sebagai akibat meningkatnya kandungan air protoplsama

dan mengurangi bagian kalsium.

Phosfor

Fosfor sering disebut sebagai kunci kehidupan karena terlibat langsung

hampir pada seluruh proses kehidupan. Fosfor merupakan komponen setiap sel

hidup dan cenderung lebih ditemui pada biji dan titik tumbuh. Permasalahan yang

penting yang harus diketahui dari fosfor ialah sebagian fosfor umumnya tidak

tersedia bagi tanaman, meskipun jumlah totalnya lebih besar daripada nitrogen.

Dalam hal ini ketersediaan fosfor di dalam tanah sangat tergantung pada sifat dan

ciri tanah tersebut serta bagaimana pengelolaan tanah itu oleh manusia

(Damanik dkk., 2011).

Fosfat merupakan salah satu unsur makro esensial, tidak hanya bagi

kehidupan tumbuhan tetapi juga bagi biota tanah. Aktivitas mikroba tanah

berpengaruh langsung terhadap ketersediaan fosfat di dalam larutan tanah.

Sebagian aktivitas mikroba tanah dapat melarutkan fosfat dari ikatan fosfattak

larut (melalui sekresi asam-asam organik) atau mineralisasi fosfat dari bentuk

(9)

terlarut juga digunakan oleh mikroba untuk aktivitas dan pembentukan sel-sel

baru, sehingga terjadi pengikatan (immobilisasi) fosfat (Santosa, 2007).

Pada hasil penelitian Tambunan (2008) kandungan P dalam tanah

termasuk sedang sampai tinggi dengan nilai 18.25 – 56.68 ppm. Kandungan P

dalam tanah pada keenam profil relatif semakin besar pada setiap kedalaman.

Tetapi tingginya P dalam tanah tidak dapat diserap oleh akar tanaman disebabkan

oleh ketersediaan P dipengaruhi oleh nilai pH tanah.

Pengaruh dari fosfor yang terlalu sedikit atau terlalu banyak pada

pertumbuhan tanaman kurang menarik perhatian dibandingkan dengan nitrogen

dan kalium. Kelihatannya untuk mempercepat kematangan lebih banyak daripada

sebagian besar hara, kelebihan merangsang kematangan yang terlalu dini.

Defisiensi fosfor dicirikan oleh tanaman yang tidak tumbuh dan bermasalah pada

pertumbuhan akar maupun pada bagian atas tanaman (Foth, 1998).

Di dalam tubuh tanaman fosfor memberikan peranan yang penting dalam

hal beberapa kegiatan (1) pembelahan sel dan pembentukan lemak albumin, (2)

pembentukan bunga, buah dan biji, (3) kematangan tanaman melawan efek

nitrogen, (4) merangsang perkembangan akar, (5) meningkatkan kualitas hasil

tanaman dan (6)ketahanan terhadap hama dan penyakit (Damanik dkk., 2011). Sumber utama P tanah adalah P organik yang dijumpai dalam jumlah

20-80 % dari P total tanah. Walaupun P total tanah cukup besar, namun pada

kebanyakan tanah hanya sejumlah kecil P yang tersedia untuk tanaman dan biota

tanah, hal ini terutama sekali disebabkan oleh proses fiksasi kimia P

(10)

Kalium

Kalium adalah unsur hara makro ketiga yang dibutuhkan tanaman dalam

jumlah yang banyak setelah nitrogen dan fosfor, bahkan kadang – kadang

melebihi jumlah nitrogen seperti halnya kebutuhan kalium pada tanaman yang

menghasilkan umbi – umbian. Kadar kalium total di dalam tanah umumnya cukup

tinggi, dan diperkirakan mencapai 2.6% dari total berat tanah, tetapi kalium yang

tersedia di dalam tanah cukup rendah. Sumber utama hara kalium di dalam tanah

adalah berasal dari kerak bumi. Kadar kalium dari kerak bumi diperkirakan

kurang dari 3.11% K2O sedangkan air larut mengandung kalium sekitar 0.04%

K2O. Rata – rata kadar kalium pada lapisan olah pada tanah pertanian adalah

0.83% yang mana kadar ini lima kali lebih besar dari nitrogen dan dua belas kali

lebih besar dari fosfor (Damanik dkk., 2011).

Berdasarkan hasil penelitian Arianto (2008) diperoleh bahwa kandungan

kalium meningkat sebesar 0.01 me/100g setelah hutan di konvversikan menjadi

kebun kelapa sawit, peningkatan ini disebabkan oleh adanya suplay kalium dari

abu sisa pembakaran yang meresap kedalam tanah.

Kalium memiliki fungsi yang penting terhadap pertumbuhan tanaman

seperti menambah sintesa dan translokasi karbohidrat untuk mempercepat

ketebalan dinding sel dan kekuatan tangkai. Selain itu, kalium juga berfungsi

meningkatkan kandungan gula pada bit dan tebu. Defisiensi unsur hara kalium

selalu memperlihatkan daun yang hangus pada sebagian tanaman (Foth, 1998).

Secara umum dapat disimpulkan bahwa kalium memegang peran penting

dalam peristiwa – peristiwa fisiologis berikut: (1) metabolisme karbohidrat,

(11)

protein, (3) mengawasi dan mengatur aktivitas berbagai unsur mineral, (4)

mengaktifkan berbagai enzim, (5) mempercepat pertumbuhan jaringan

meristematik (6) netralisasi asam – asam organik bagi fisiologis (7) mengatur,

membuka dan menutup stomata dan hal – hal yang berkaitan dengan air

(Damanik dkk., 2011).

Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Kapasitas Tukar Kation (KTK) adalah kemampuan tanah menjerap dan

melepaskan kation yang dinyatakan sebagai total kation yang dapat dipertukarkan

per 100 gram tanah yang dinyatakan dalam miliequivalen disingkat m.e [m.e./100

g atau m.e. (%) atau dalam satuan internasionalnya Cmolc/kg]. Tanah yang

mempunyai kadar liat/koloid lebih tinggi dan/atau kadar bahan organik tinggi

mempunyai KTK yang tinggi dibandingkan dengan tanah yang mempunyai kadar

liat rendah (tanah pasiran) dan kadar bahan organik rendah (Winarso, 2005).

Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi

mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan

organik rendah atau tanah-tanah berpasir (Hardjowigeno, 2007). Pada penelitian

Oksana dkk (2012) alih fungsi lahan hutan menunjukkan adanya perubahan pada

kapasitas tukar kation. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kapasitas tukar

kation yaitu; reaksi tanah, tekstur tanah, pemupukan dan bahan organik.

Perubahan kapasitas tukar kation dari lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit

usai tanam 2 tahun sebesar 0.04 %, begitu juga yang terjadi pada kebun kelapa

sawit usia tanam 2 tahun menjadi kebun kelapa sawit usia tanam 8 tahun terjadi

peningkatan sebesar 0.39 %, tetapi pada usia tanam 8 tahun menuju usia tanam 16

(12)

Proses pertukaran kation ini sangat penting untuk difahami oleh ahli

pertanian karena sangat terkait dengan pengelolaan tanah dan hubungannya

dengan pemupukan dan pengapuran serta proses serapan unsur hara oleh akar. Di

dalam tanah selain terjadi proses pertukaran kation juga ada proses pertukaran

anion, akan tetapi lebih banyak dibicarakan KTK karena sebagian besar unsur

hara esensial di dalam tanah dalam bentuk kation, sehingga reaksi – reaksi

pertukaran juga banyak melibatkan kation (Winarso, 2005).

Para ahli berkeyakinan bahwa jika KTK suatu tanah ditetapkan dengan

memakai larutan ekstraktan penyangga (buffer) pada pH 6.0, maka hampir seluruh

nilai merupakan hasil daripada muatan tetap pada liat, sedangkan jika nilai KTK

ditentukan dengan mempergunakan larutan pengekstrak pada pH 7.8 atau 9.0

maka secara berturut-turut harga KTK akan bertambah. Diduga perubahan KTK

tersebut disebabkan oleh bertambahnya jumlah muatan listrik

(Damanik dkk., 2011).

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis dan Sejarah Singkat Lokasi Penelitian

Sesuai Surat Keputusan Direksi PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero)

Nomor : 04.13/Kpts/Org/93/XII/1998 tanggal 17 Desember 1998 memutuskan

terhitung mulai tanggal 01 Januari 1999 melebur Kebun Bangun Purba dan

merubah statusnya menjadi Afdeling Unit Kebun Adolina. Unit Kebun Adolina

merupakan pintu gerbang PTP Nusantara IV, Berada di Kabupaten Serdang

Bedagei tepatnya dipinggiran jalan raya Medan – Pematang Siantar dengan jarak

38 Km dari Medan. Berada di Enam Kecamatan yaitu Kecamatan Perbaungan,

(13)

oleh 21 Desa. Kebun Adolina terletak di kabupaten Serdang Bedagai berada pada

ketinggian tempat 15-130 meter diatas permukaan laut. Topografi pada sebagian

besar areal datar-berombak hingga bergelombang dan sebagian kecil berbukit.

Kebun unit Adolina didirikan oleh Pemerintah Belanda sejak tahun 1926

dengan nama “NV Cultuur Maatschappy Onderneming (NV CMO)” yang

bergerak dalam budidaya tembakau. Pada tahun 1938 budidaya tembakau diganti

menjadi budidaya tanaman kelapa sawit dan karet denagn nama “NV Serdang Maatschappy (SCM)”. Sejak tahun 1973 budidaya tanaman karet diganti kembali

menjadi tanaman kakao, sedangkan budidaya tanaman kelapa sawit tetap

dipertahankan hingga sekarang. Pada tahun 1942 diambil alih oleh pemerintah

Jepang dari Pemerintah Belanda. Pada tahun 1946 diambil kembali oleh

Pemerintah Belanda dengan nama tetap NV SCM. Maka pada tahun 1958

perusahaan ini diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan nama

Perusahaan Perkebunan Negara (PPN), tahun 1960 PPN diganti nama menjadi

PPN Baru SUMUT V. Pada tahun 1936 PPN Baru SUMUT V dipisah menjadi

dua kesatuan yaitu:

1. PPN Karet III Kebun Adolina Hulu, Kantor Kesatuan di Tanjung Morawa

2. PPN Aneka Tanaman II Kebun Hilir, Kantor Kesatuan di Pabatu

Pada tahun 1968 PPN Antan II diganti menjadi PNP VI, dengan

penggabungan kembali PPN Karet III Kebun Adolina Hulu dengan PPN Aneka

Tanaman II Kebun Adolina Hilir, lalu pada tahun 1978 PNP VI dirubah menjadi

bentuk Persero dengan nama PT. Perkebunan VI (Persero). Pada tahun 1994 PTP

(14)

VIII. Sejak tanggal 11 Maret 1996 sampai dengan saat ini gabungan PTP VI, PTP

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu yang hendak ditemukan dalam penelitian ini adalah hakikat dari sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia setelah perubahan UUD 1945, yang menjadi

Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan pengawasan Oleh Kepala UPT Ciawi Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman Kabupaten Bogor telah dilaksanakan dengan baik,

Selamat pagi/ siang/ malam Bapak/ Ibu/ Saudara/ Teman sejawat, perkenalkan saya Lismawati Pertiwi Waruwu, mahasiswa dari Program Studi Magister/ S2 Keperawatan

Deskripsi kualitatif untuk menganalisis proses pelaksanaan model pembelajaran Auditory Intellectually Repentition (AIR), dan peningkatan pembelajaran Matematika siswa

Balikan adalah pesan yang berisi informasi mengenai ketepatan individu dalam melakukan pekerjaannya.Salah satu bentuk sederhana dari balikan ini adalah pembayaran gaji karyawan

Lee and Choi [12] divided the organisational mechanism in the context of knowledge enabler into six factors: collaboration level, trust level, learning level,

After a brief introduction to the factors associated with the incidence of cacao diseases, the irst part of this publication focuses on the two main diseases that affect cacao fruits:

Hasil dari penggabungan dua fungsi, teknik, dan bahan berdasarkan sumber data dan referensi karya yang telah ada menghasilkan gaya tersendiri melalui tampilan visual dan