BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah suatu anugerah yang dititipkan oleh Tuhan kepada orang tua
untuk dijaga dan dididik. Anak juga dikatakan sebagai generasi penerus cita-cita
keluarga, agama, bangsa dan negara. Anak dianggap sebagai sumber daya
manusia, asset, atau masa depan bagi pembangunan bagi suatu negara. Anak harus
dididik agar memiliki pengetahuan dan kepribadian yang baik, sehingga semakin
baik kepribadian dan ilmu yang dimilikinya maka akan semakin baik pula masa
depan bangsa yang diciptakannya.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan
atasUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dikatakan
bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Setiap makhluk hidup memiliki hak asasi manusia, termasuk anak. Hak
Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada manusia yang
mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum, sebab
hak-hak tersebut hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dilindungi oleh hukum, misalnya
hak untuk hidup dan hak untuk menyampaikan pendapat
Anak memiliki hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak, seperti :
2. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan;
3. Hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran;
4. Hak untuk menyatakan pendapat;
5. Hak untuk mendapat perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan
seksual dan kekerasan;
6. Hak untuk rehabilitasi dan menerima bantuan sosial bagi anak penyandang
Disabilitas;
7. Hak untuk diasuh oleh Orang Tua;
8. Hak untuk memperoleh perlindungan.
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai
macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai
bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam
melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam
pelaksanaan Peradilan Pidana Anak yang asing bagi dirinya. Anak perlu mendapat
perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan kerugian mental, fisik, dan
sosial. Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/yuridis (legal
protection).1
Dalam masyarakat, setiap orang mempunyai kepentingan sendiri yang
tidak hanya sama tetapi juga kadang-kadang bertentangan, untuk itu diperlukan
aturan hukum dalam menata kepentingan tersebut yang menyangkut kepentingan
1
anak diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perlindungan
anak, yang disebut dengan Hukum Perlindungan Anak.2
Mengenai hukum perlindungan anak telah diatur dalam Pasal 1 angka (2)
Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyatakan :
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
Perlindungan Anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang
ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi dan memberdayakan anak yang
mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran agar dapat
menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar. Perlindungan
anak adalah suatu usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya.
Dalam melaksanakan perlindungan anak terdapat beberapa prinsip yang
perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut :3
a. Anak tidak dapat berjuang sendiri
Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya, banyak pihak yang
mempengaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan
untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.
b. Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child)
2
Ibid, hlm. 51
3
Kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of paramount importence (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Prinsip ini digunakan karena dalam banyak hal anak
sebagai korban disebabkan karena ketidaktahuan (ignorance) karena usia
perkembangannya.
c. Ancangan daur kehidupan (Life-Circle Approach)
Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan harus
dimulai sejak dini dan terus-menerus. Anak memperoleh kesempatan
belajar yang baik, waktu istirahat dan bermain yang cukup, dan ikut
menentukan nasibnya sendiri.
d. Lintas sektoral
Nasib anak tergantung dari berbagai faktor makro maupun mikro yang
langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan, perencanaan kota, sistem
pendidikan yang menekankan hapalan dan bahan-bahan yang tidak
relevan, komunitas yang penuh dengan ketidakadilan tidak dapat ditangani
oleh sektor, terlebih keluarga atau anak itu sendiri. Perlindungan anak
adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua
tingkatan.
Kenakalan anak sering disebut dengan juvenile deliquency, yang diartikan
dengan anak cacat sosial. Secara etimologi, Juvenile Deliquency berasal dari
bahasa latin “Juvenilis” yang artinya anak-anak, anak muda, ini karakteristik pada
masa muda, sifat-sifat khas pada masa remaja. Delinquent berasal dari bahasa
artinya menjadi jahat, asosial, criminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut,
pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, dan lain-lain.4
Romli Atmasasmita mengatakan bahwa deliquency adalah suatu tindakan
atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh
masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.5
Anak melakukan kenakalan dapat dipengaruhi oleh latar belakang
kehidupannya. Kenakalan anak bukan hanya merupakan gangguan terhadap
keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi juga mengancam masa depan bangsa
dan negara. Atas dasar ini, anak perlu dilindungi dari perbuatan-perbuatan yang
merugikan, agar anak sebagai generasi penerus bangsa tetap terpelihara demi
masa depan bangsa dan negara.6
Bila ditinjau dari aspek sosiologis, psikologis dan karakteristik antara anak
dan orang dewasa, jelas timbul perbedaan yang gradual. Tetapi hal ini tidak
menjamin perilaku kenakalan yang dilakukan oleh anak dan orang dewasa
berbeda juga.
Kadangkala anak dapat melakukan kejahatan yang dilakukan orang
dewasa. Hal ini tidak berarti sanksi yang diberikan juga sama. Anak tetaplah anak
yang masih mengalami proses perkembangan fisik, mental, psikis, dan sosial
menuju kesempurnaan seperti yang dimiliki oleh orang dewasa. Konsekuensinya,
reaksi yang terhadap anak tidak sama dengan reaksi yang diberikan orang dewasa,
yang lebih mengarah kepada punitif.7
4
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta, Rajawali Pers, 1992, hlm. 7
5
MaidinGultom, Op.Cit, hlm. 67
6
Ibid, hlm. 2
7
Kejahatan di Indonesia beragam jenis, di antaranya pencurian,
pembunuhan, tawuran atau perkelahian antarpelajar, penyalahgunaan narkotika
dan minuman keras, hubungan seksual, dan tindak kriminalitas lainnya. Terkait
jenis-jenis kejahatan tersebut, fokusnya adalah penyalahgunaan narkotika.
Penyalahgunaan narkotika dewasa ini telah mencapai situasi yang
mengkhawatirkan sehingga menjadi masalah Nasional maupun Internasional yang
mendesak. Hal ini sangat memprihatinkan sekali karena korban penyalahgunaan
narkotika di Indonesia akhir-akhir ini cenderung meningkat dan mencakup tidak
hanya terbatas pada kelompok masyarakat yang mampu tetapi juga telah
merambah ke kalangan masyarakat yang kurang mampu baik di kota maupun di
pedesaan.8
Kasus ini sangat mengejutkan karena baik pelaku maupun korban sebagian
besar adalah anak-anak yang merupakan generasi muda dimana dapat mengancam
rusaknya generasi penerus bangsa.
Anak-anak pada usianya sedang dalam proses belajar menuju kedewasaan,
termasuk belajar tentang tanggung jawab sosial, etika, dan adab suatu masyarakat.
Oleh karena itu, dia harus diberitahu tentang nilai-nilai yang melanggar hukum
dan yang tidak melanggar hukum. Bila melanggar hukum, anak harus tahu
hukuman apa yang akan diterima sehingga setiap perbuatan telah diketahui
resikonya.9
Dari penjelasan di atas, telah menunjukkan bahwa pentingnya perangkat
hukum dan kelembagaan khusus yang disediakan bagi anak yang berhadapan
dengan hukum. Tetapi penanganan yang diberikan tidak sama dengan penanganan
8
Yuddin Chandra, Tindak Pidana Narkotika dalam Hukum Positif Indonesia, www.republic-ycna.weebly.com/gerbang-articel/tindak-pidana-narkotika-dalam-hukum-positif-indonesia (akses 4 Juni 2015, 23:37)
9
bagi orang dewasa yang melakukan kejahatan. Anak sebagai pelaku tindak pidana
wajib mendapatkan perlindungan hukum baik selama proses persidangan di
pengadilan sampai putusan dan pada saat anak berada di dalam Lembaga
Pemasyarakatan.
Lembaga pemasyarakatan (disingkat Lapas) adalah tempat untuk
melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di
Indonesia. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman
Sahardjo pada tahun 1962. Ia menyatakan bahwa tugas jawatan kepenjaraan
bukan hanya melaksanakan hukuman, melainkan juga tugas yang jauh lebih berat
adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.10
Di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) tidak ada istilah narapidana
untuk anak, melainkan disebut Anak Didik Pemasyarakatan. Pada Pasal 1 angka 8
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, anak didik
pemasyarakatan terdiri dari :
a. Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun;
b. Anak negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan
pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c. Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
10
Sebenarnya, hukuman terbaik bagi anak dalam peradilan pidana bukan
hukuman penjara, melainkan tindakan ganti rugi menurut tingkat keseriusan
tindak pidananya. Tujuan dari hukum pidana anak adalah untuk menyembuhkan
kembali keadaan kejiwaan anak yang telah terguncang akibat perbuatan pidana
yang telah dilakukannya. Jadi tujuan pidana tidak semata-mata menghukum anak
yang bersalah, akan tetapi membina dan menyadarkan kembali anak yang telah
melakukan kekeliruan atau telah melakukan perbuatan menyimpang.11
Anak yang telah dijatuhkan hukum pidana dan ditempatkan di LAPAS
Anak, berhak memperoleh hak-haknya sesuai dengan hak asasi anak dalam
peraturan-peraturan hukum di Indonesia. Baik anak sebagai korban maupun
pelaku tindak pidana, khususnya dalam tulisan ini anak dalam tindak pidana
penyalahgunaan narkotika.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana “Aspek hukum
perlindungan terhadap anak didik pemasyarakatan dalam tindak pidana
penyalahgunaan narkotika (studi kasus di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Medan)”.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan merupakan acuan untuk melakukan penelitian dan juga
menentukan bahasan selanjutnya sehingga sasaran dapat tercapai. Setelah
mengetahui latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan beberapa pokok permasalahan yaitu :
1. Bagaimana pengaturan perlindungan terhadap anak menurut hukum positif
di Indonesia?
11
2. Bagaimana bentuk perlindungan terhadap anak didik pemasyarakatan di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Anak Tanjung Gusta Medan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini,
adalah :
1. Untuk mengetahui lebih jelas pengaturan mengenai perlindungan terhadap
anak dalam hukum positif di Indonesia
2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap anak
didik pemasyarakatan yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan klas II
A Anak Medan.
Karya tulis ini pun diharapkan dapat menambah dan memperkaya
literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khusunya mengenai perlindungan hukum
terhadap anak didik pemasyarakatan.
D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang dikemukakan di atas,
maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk :
a. Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan
hukum pidana, khususnya mengenai perlindungan terhadap anak didik
pemasyarakatan, serta bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan
oleh aparat penegak hukum.
- Bagi Penulis : penelitian ini dapat memperluas pengetahuan
tentang penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan di
lapangan, serta menambah wacana ilmu hukum pidana tentang
perlindungan terhadap anak didik pemasyarakatan.
- Bagi Aparat Penegak Hukum khususnya yang berada di Lembaga
Pemasyarakatan : penelitian ini diharapkan dapat menjadi
tambahan wacana dalam penerapan aturan hukum terhadap
perlindungan anak didik pemasyarakatan.
- Bagi Pemerintah : penelitian ini diharapkan dapat membantu
pemerintah dalam mengetahui penerapan perlindungan hukum
terhadap anak didik pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan
guna dapat membentuk peraturan baru ataupun memperbaiki
peraturan yang telah ada.
- Bagi Masyarakat : penelitian ini diharapkan dapat memberikan
wawasan kepada masyarakat mengenai perlindungan hukum
terhadap anak didik yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan.
E. Keaslian Penulisan
Karya tulis ini merupakan hasil buah pikiran penulis berdasarkan
literatur-literatur yang telah ada, baik dari buku-buku yang dimiliki penulis sendiri maupun
dari perpustakaan, penelitian di lapangan, serta sumber-sumber lainnya yang dapat
dipercaya dan yang mendukung penyelesaian skripsi ini.
Penulisan skripsi ini adalah murni dikerjakan sendiri dengan topik yang
belum pernah dibahas oleh orang lain menurut survey data yang dilakukan oleh
permasalahan yang sama dengan karya tulis ini, penulis dapat
mempertanggungjawabkannya.
F. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Anak
Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “Anak” di mata hukum positif
Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person
under age), orang yang di bawah umur/ keadaan di bawah umur (minderjarigheid/ inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali
(minderjarige ondervoordij). Maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut di
atas ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum/ ius operatum) tidak
mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk
menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak.12
Secara internasional definisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Natoin Convention on The Right
of The Child Tahun 1989, Aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nations Standard Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) Tahun 1985
dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau United Declaration of Human Rights
Tahun 1948.13
Secara nasional definisi anak didasarkan pada batasan usia anak menurut
hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Untuk meletakkan
batas usia seseorang yang layak dalam spesifikasi hukum seperti ini :
1. 1 Hukum Pidana
12
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori, Praktik dan Permasalahannya), Bandung, Mandar Maju, 2005, hlm. 3
13
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa
batasan usia pada anak adalah di bawah 16 (enam belas) tahun, yang terdapat
dalam pasal 45 KUHP yang berbunyi :
“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun hakim dapat menentukan : Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana ataupun memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas dan putusannya telah menjadi tetap atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.”
Peraturan batas usia anak dalam KUHP di atas sebebnarnya sudah tidak
berlaku lagi karena pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan
pada pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara
kodrat memiliki substansi yang lemah dan di dalam system hukum yang
dicangkokan dari bentuk pertanggungjawaban sebagaimana layaknya seseorang
subjek hukum yang normal.
Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana
meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut :
- Ketidakmampuan untuk pertanggung jawaban tindak pidana
- Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubtitusikan hak-hak
anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara
dengan maksud untuk mensejahterakan anak
- Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan
mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan
- Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan
- Hak anak dalam proses hukum acara pidana.14
1. 2 Hukum Perdata
Dalam hukum perdata, mengenai batas usia anak terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata pasal 330 yang berbunyi :
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua
puluh satu) tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini.”
1. 3 Hukum Adat
Menurut hukum adat tidak ada menentukan siapa yang dikatakan
anak-anak dan siapa yang dikatakan orang dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat
ukuran anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri
tertentu yang nyata. Mr. Soepomo berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa
kedewasaan seseorang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut :
1. dapat bekerja sendiri
2. cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bertanggung jawab
3. dapat mengurus harta kekayaan sendiri15
1. 4 Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
anak di antaranya adalah :16
14
Definisi Anak, https;//andibooks.wordpress.com/definisi-anak, (akses 22 Agustus 2015, 23:45)
15
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, misalnya, mensyaratkan usia
perkawinan 16 (enam belas) tahun dan 19 (sembilan belas) tahun bagi
laki-laki.
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
mendefinisikan anak berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah
kawin.
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
berusia 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah kawin.
Undang-Undang di atas telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memuat definisi
anak dalam Pasal 1 angka (3) bahwa, anak yang berkonflik dengan hukum
yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
membolehkan usia bekerja 15 (lima belas) tahun.
f. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional memberlakukan Wajib Belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan
menjadi anak berusia 7 (tujuh) sampai 15 (lima belas) tahun.
16
g. dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Karena definisi anak yang bermacam-macam, kebijakan perlindungan
anak menjadi karut-marut. Bila misinya satu, melindungi anak, harusnyalah
mengenal satu definisi, definisi universal yang telah mengikat karena ratifikasi
negara, yaitu undang-undang yang secara khusus menyangkut perlindungan anak :
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
4. Pengertian Perlindungan Anak
Anak sebagai generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, sedini
mungkin harus dipersiapkan juga sebagai subjek pelaksana pembangunan yang
berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara. Perlindungan anak
berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia
seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Selain itu, perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk
menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya
demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan
sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu
masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai
bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.17
Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan
perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif
17
yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.18 Untuk itu,
kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama
berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek kedua, menyangkut pelaksanaan
kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.19
Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah
menentukan bahwa :
“Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak”
Dasar pelaksana perlindungan anak adalah :20
a. Dasar filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan
keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, dan dasar filosofis
pelaksanaan perlindungan anak.
b. Dasar Etis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan profesi
yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan
kewenangan, kekuasaan dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan
anak.
c. Dasar yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD
1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu
menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum
yang berkaitan.
18
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta : Akademika Pressindo 1993), hlm. 22, seperti dikutip oleh Nashriana, Ibid, hlm. 3
19
Nashriana, Op.Cit, hlm. 3
20
Arif Gosita mengatakan bahwa Hukum Perlindungan Anak adalah hukum
(tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya.21 Perlindungan hukum yang didapat anak
adalah perlindungan yang diberi sejak anak masih dalam kandungan hingga ia
melepas status sebagai seorang anak. Baik dalam kehidupannya sehari-hari dalam
asuhan orang tua / wali, ataupun saat anak harus berhadapan dengan hukum.
Prinsip-prinsip perlindungan hukum pidana terhadap anak tercermin dalam
Pasal 37 dan Pasal 40 Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the
Child) yang disahkan dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, tanggal 25
Agustus 1990. Pasal 37 memuat prinsip-prinsip sebagai berikut :22
1) Seorang anak tidak dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan lainnya
yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat;
2) Pidana mati maupun pidana seumur hidup tanpa memperoleh
kemungkinan memperoleh pelepasan/ pembebasan (without possibility of
release) tidak akan dikenakan kepada anak yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun;
3) Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara melawan
hukum atau sewenang-wenang;
4) Penangkapan, penahanan dan pidana penjara hanya akan digunakan
sebagai tindakan dalam upaya akhir dan untuk jangka waktu yang sangat
singkat/ pendek;
5) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara
manusiawi dan dengan menghormati martabatnya sebagai manusia;
21
Maidin Gutom, Op.Cit, hlm. 52
22
6) Anak yang dirampas kemerdekaannya akan dipisah dari orang dewasa dan
berhak melakukan hubungan/kontak dengan keluarganya;
7) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan
hukum, berhak melawan/menentang dasar hukum perampasan
kemerdekaan atas dirinya di muka pengadilan atau pejabat lain yang
berwenang dan tidak memihak serta berhak untuk mendapat keputusan
yang cepat/tepat atas tindakan terhadap dirinya.
Berkaitan dengan anak yang berhadapan atau berkonflik dengan hukum,
UU Nomor 35 Tahun 2014 memuat beberapa pasal, yakni :
1. Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan;
e. Pelibatan dalam peperangan; dan
f. Kejahatan seksual.
2. Pasal 16 yang menyatakan :
1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara bagi anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
3. Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa;
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela dari dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau
4. Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Perlindungan anak berhubungan dengan beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian, yaitu :
I. Luas lingkup perlindungan :
a. Perlindungan yang pokok meliputi antara lain: sandang, pangan,
pemukiman, pendidikan, kesehatan, hukum.
b. Meliputi hal-hal yang jasmaniah dan rohaniah.
c. Mengenai pula penggolongan keperluan yang primer dan sekunder
yang berakibat pada prioritas pemenuhannya.
II. Jaminan pelaksanaan perlindungan:
a. Sewajarnya untuk mencapai hasil yang maksimal perlu ada jaminan
terhadap pelaksanaan kegiatan perlindungan ini, yang dapat diketahui,
dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perlindungan.
b. Sebaiknya jaminan ini dituangkan dalam suatu peraturan tertulis baik
dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah yang
perumusannya sederhana tetapi dapat dipertanggung jawabkan serta
disebarluaskan secara merata dalam masyarakat.
c. Pengaturan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia
tanpa mengabaikan cara-cara perlindungan yang dilakukan di negara
lain, yang patut dipertimbangkan dan ditiru (peniruan yang kritis).23
5. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
23
Tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu “strafbaar feit”. Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana
(strafbaar feit) dengan tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna
yang berbeda.24 Dalam bahasa Indonesia istilah “peristiwa pidana” digunakan
untuk menterjemahkan “strafbaar feict” atau “delict” (sebagaimana yang dipakai
oleh Mr. R. Tresna dan E. Utrecht).
Beberapa ahli hukum telah berusaha untuk memberikan perumusan
tentang pengertian peristiwa pidana itu. Misalnya seperti yang dikemukakan
beberapa ahli berikut :25
a. D. Simons
Menurutnya istilah “peristiwa pidana” itu adalah Een Strafbaargestelde,
onrechtmatige, met schuld in verbands staande handeling van een toerekeningvatbaar persoon. Terjemahan bebasnya yaitu Perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang
yang mampu bertanggung jawab.
b. Van Hamel
Perumusan ahli hukum ini sebenarnya sama dengan perumusan Simons,
hanya saja Van Hamel menambah satu syarat lagi yaitu perbuatan itu harus
pula atau patut dipidana (welk handeling een strafwaardig karakter heeft).
c. Vos
Menurut Vos, peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan
dapat dipidana oleh undang-undang (een strafbaar feit is een door de wet
strafbaar gesteld feit).
24
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan, USU Press, 2013, hlm. 74
25
Tindak pidana atau delik ialah tindakan peristiwa pidana yang
mengandung 5 unsur, yaitu :26
a) Harus ada sesuatu kelakuan (gedraging);
b) Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang (wettelijke
omsschrijving);
c) Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak;
d) Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku;
e) Kelakuan itu diancam dengan hukuman.
Bambang Poernomo menyebutkan beberapa ahli yang membagi
unsur-unsur tindak pidana secara mendasar, sebagai berikut :27
1) Van Apeldoorn
Menurut Apeldoorn, bahwa elemen delik itu sendiri terdiri dari
elemenobjektif yang berupa adanya suatu kelakuan (perbuatan) yang
bertentangan dengan hukum (onrechtmatig/wederrechtelijk) dan elemen
subjektif yang berupa adanya seorang pembuat (dader) mampu
bertanggung jawab atau dapat dipersalahkan (toereke-ningsvatbaarheid)
terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu.
2) Van Bemmelen
Van Bemmelen menyatakan bahwa elemen-elemen dari strafbaar feit
dapat dibedakan menjadi :
a) elementen voor destrafbaarheid van het feit, yang terletak dalam bidang objektif karena pada dasarnya menyangkut tata kelakuan
yang melanggar hukum;
26
Ibid, hlm. 3
27
b) mengenai elementen voor strafbaarheid van dedader, yang terletak dalam bidang subjektif karena pada dasarnya menyangkut keadaan/
sikap bathin orang yang melanggar hukum, yang kesemuanya itu
merupakan elemen yang diperlukan untuk menentukan
dijatuhkannya pidana sebagaimana diancamkan.
3) Pompe
Pompe mengadakan pembagian elemen strafbaar feit atas :
a) Wederrechtelijkheid (unsur melawan hukum); b) Schuld (unsur kesalahan);
c) Subsociale (unsur bahaya/gangguan/merugikan).
6. Narkotika dan Tindak Pidana Narkotika
Kata narkotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “narcois” yang berarti
“narkose” atau menidurkan, yaitu suatu zat atau obat-obatan yang membiuskan
sehingga tidak merasakan apa-apa.
Selain itu mencakup obat-obatan yang dapat menyebabkan seseorang
tertidur, narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu
bagi mereka yang menggunakannya, berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit,
rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Dalam
dunia medis, narkotika dimanfaatkan untuk pengobatan seperti di bidang
pembedahan, menghilangkan rasa sakit.28
Bila penggunaan narkotika tidak teratur, dapat menimbulkan efek yang
negatif, yaitu kecanduan atau ketagihan kepada si pemakai. Akibat kecanduan
28
atau ketagihan narkotika, pemakai tidak segan-segan melakukan tindak kriminal
demi tercapainya hasrat untuk memakai narkotika, seperti tindak pidana
pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan lai-lain.29
Pasal 1 angka 12 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa Pecandu
adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam
keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
Sementara Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Narkotika, dijelaskan bahwa
ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika
secara terus-menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan
dihentikan. Sedangkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Narkotika, dijelaskan
bahwa Penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa
sepengetahuan dan pengawasan dokter.30
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang
dimaksud narkotika adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak,
seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka,
kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya
dari morfin dan kokaina.31
Menurut cara pembuatannya narkotika dibagi dalam 3 (tiga) golongan
yaitu :
a. Narkotika alam, adalah narkotika yang berasal dari olahan tanaman, yang
dikelompokkan dari 3 (tiga) jenis tanaman yaitu :
29
Soedjono Dirdjo Siswono, 1990, Hukum Narkotika Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 3, seperti dikutip oleh Maidin Gultom, Op.Cit, hlm. 122
30
Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, Malang, UMM Press, 2009, hlm. 18
31
1) Opium yaitu berasal dari olahan getah dari buah tanaman Paparef Somni
Ferum. Termasuk dalam kelompok ini adalah opium mentah, opium
masak, morfin, jenis tanaman yang menghasilkan opium tidak terdapat di
Indonesia.
2) Kokaina, yaitu berasal dari olahan daun tanaman koka. Tanaman ini
banyak terdapat dan diolah secara gelapdi Amerika Selatan seperti Peru,
Bolivia, dan Columbia.
3) Conabis Sutira atau Mariyuana atau ganja termasuk hashish ataupun
hashish oil (minyak ganja). Tanaman ganja ini banyak ditanam secara
ilegal khususnya di daerah Aceh sekitarnya.
b. Narkotika Semi Sintetis yaitu narkotika yang dibuat dari Alkohol Opium
dengan ini penanthem dan berkhasiat sebagai narkotika, contoh yang
terkenal sering disalahgunakan adalah heroin.
c. Narkotika Sintetis, narkotika ini diperoleh melalui proses kimia dengan
menggunakan bahan kimia, sehingga diperoleh suatu hasil baru yang
mempunyai efek narkotika seperti Pethidine, Metadon, dan lain-lain.32
Mengenai tindak pidana narkotika, berarti merujuk pada suatu perbuatan
atau peristiwa pidana dalam lingkup penyalahgunaan narkotika. Dalam UU
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dapat dijelaskan hal-hal tentang bentuk
penyalahgunaan narkotika sebagai berikut :33
1) Narkotika apabila dipergunakan secara proporsional, artinya sesuai menurut
asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan
32
Jeane Mandagi, 1996, Penanggulangan Bahaya Narkotika, Pramuka Saka Bayangkara, Jakarta, hlm. 9 seperti dikutip oleh Maidin Gultom, Op.Cit, hlm. 122
33
penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dikwalisir
sebagai tindak pidana narkotika.
2) Penyalahgunaan narkotika meliputi pengertian yang lebih luas, antara lain :
a. Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan
berbahaya dan mempunyai resiko. Misalnya ngebut di jalanan,
berkelahi, bergaul dengan wanita, dan lain-lain;
b. Menentang suatu otoritas baik terhadap guru, orang tua, hukum,
maupun instansi tertentu;
c. Mempermudah penyaluran perbuatan seks;
d. Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh
pengalaman-pengalaman emosional;
e. Berusaha agar menemukan arti dari pada hidup;
f. Mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak ada
kegiatan;
g. Menghilangkan rasa frustasi dan gelisah;
h. Mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan;
i. Hanya sekedar ingin tahu atau iseng.
3) Menurut ketentuan hukum pidana para pelaku tindak pidana itu pada
dasarnya dapat dibedakan.
a. Pelaku utama
b. Pelaku peserta
c. Pelaku pembantu
4) Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini :
a. Penyalahgunaan/melebihi dosis;
b. Pengedaran narkotika;
Karena ketertarikan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik
nasional maupun internasional
c. Jual beli narkotika;
Ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari
keuntungan materil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan.
7. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan memuat pengertian pemasyarakatan sebagai berikut :
“Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana”.
Dari pengertian di atas, inti pemasyarakatan adalah pembinaan kepada
warga binaan pemasyarakatan supaya nantinya dapat kembali ke masyarakat
dengan keadaan yang baik. Sebelumnya telah diuraikan bahwa anak didik
pemasyarakatan termasuk dalam lingkup warga binaan. Dalam pembinaan ini
diperlukan suatu sistem yang dinamakan Sistem Pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya sering disingkat dengan
akronim LAPAS, yaitu merupakan tempat terpidana atau narapidana yang
menjalankan hukumannya baik hukuman penjara maupun kurungan. Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) dalam menjalanakan atau menerapkan sistem
pembinaannya, haruslah memperhatikan hak-hak yang melekat dalam diri warga
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
menegaskan, bahwa anak didik pemasyarakatan ditempatkan di LAPAS Anak
yang harus terpisah dengan orang dewasa. Hal ini untuk kepentingan anak, supaya
tidak terpengaruh jika dicampur, sehingga perlembangan anak tidak menjadi gelap
bagi masa depannya.
Anak yang ditempatkan di LAPAS Anak, berhak untuk memperoleh
pendidikan dan latihan baik formil maupun informil sesuai dengan bakat dan
kemampuannya, serta memperoleh hak-hak lainnya34 yang terdapat dalam UU
Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014. Hak-hak anak harus tetap dijunjung
tinggi sehingga tidak adanya kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
G. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan hasil yang jelas dan memuaskan mengenai pengaturan
perlindungan anak dalam hukum positif di Indonesia serta bagaimana
perlindungan anak didik pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Tanjung Gusta Medan, maka metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian
juridis empiris atau lapangan (field research) dan juridis normatif atau
penelitian kepustakaan (library research). Jenis penelitian juridis empiris
atau lapangan ini menunjukkan peneliti untuk mendapatkan data primer
dan mengidentifikasi hukum sebagai perilaku yang mempola. Dimana
34
pendekatan ini ditujukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan, dan
data mengenai pengaturan perlindungan anak dan melihat secara
langsung bentuk penerapannya di lembaga pemasyarakatan.
Penulis juga menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research). Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menunjukkan
perpustakaan sebagai tempat dilaksanakannya suatu penelitian.
Sebenarnya suatu penelitian mutlak menggunakan kepustakaan sebagai
sumber data sekunder.35 Pada pendekatan bersifat juridis normative ini,
hukum diidentifikasikan sebagai norma peraturan atau Undang-Undang
yang mengikat dan memiliki konsekuensi hukum yang jelas. Melalui
pendekatan normative ini diharapkan kita dapat memahami peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Khususnya dalam penelitian ini
merujuk pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak.
2. Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penyelesaian skripsi ini meliputi :
a) Data primer
Data yang diperoleh langsung melalui penelitian di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan. Data primer ini
diperoleh melalui wawancara dengan Pegawai dan Anak Didik
Pemasyarakatan Klas II A Medan.
b) Data Sekunder
35
Data sekunder ini adalah data yang diperoleh dari literatur-literatur yang
relevan dengan judul ini, dokumen-dokumen, pendapat para ahli hukum
dan hasil penelitian.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data-data, penulis melakukan beberapa metode
yaitu :
a) Wawancara adalah teknik pengumpulan informasi dan data dengan cara
mengajukan sejumlah pertanyaan langsung kepada anak didik
pemasyarakatan dan pegawai LAPAS yang bertugas pada saat itu.
b) Dokumentasi
Metode dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh
data berkaitan dengan penerapan hak-hak anak didik pemasyarakatan dan
keadaan anak sehari-hari di lembaga pemasyarakatan.
c) Studi Kepustakaan
Yaitu dengan mengumpulkan data dari referensi-referensi yang
mendukung terhadap penelitian ini berupa dokumen, literatur, peraturan
perundang-undangan, serta artikel-artikel yang memiliki kaitan dengan
permasalahan. Kemudian meenjadi bahan masukkan dalam melengkapi
analisis dalam permasalahan ini.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses untuk menafsirkan, merumuskan,
atau memaknai suatu data. Analisis data merupakan tindak lanjut proses
pengolahan data yang dilakukan peneliti yang memerlukan kecermatan,
ketelitian, dan pencurahan daya pikir yang optimal. Hasil analisis data ini
dikemukakan dalam skripsi ini. Adapun metode analisis data yang
penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
analisis deskriptif Kualitatif yaitu menggambarkan secara lengkap
kualitas dan karakteristik dari data-data yang sudah terkumpul, dilakukan
pengolahan data, kemudian disimpulkan.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah ruang lingkup pembahasan dalam skripsi ini,
penulis telah membuat rangkuman dalam bentuk gambaran isi dari materi yang
dibahas. Gambaran ini bertujuan agar penulisan ini lebih terarah dan
terkonsentrasi serta tersusun secara sistematis mengenai isi dan pembahasannya.
Penulisan skripsi ini dalam garis besar terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian
penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan penulisan, serta
sistematika penelitian.
BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK
MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Dalam bab ini dijelakan mengenai pengaturan perlindungan
terhadap anak menurut hukum positif di Indonesia, yaitu dalam UU
Perlindungan Anak, UU Narkotika, UU Sistem Peradilan Anak,
dan UU Sistem Pemasyarakatan.
BAB III BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK DIDIK
PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai hak anak dalam lembaga
pemasyarakatan, bentuk perlindungan yang diterapkan, konsep
pembinaan, dan hambatan-hambatan yang terjadi selama penerapan
perlindungan anak didik pemasyarakatan di Lembaga
Pemasyarakatan klas II A Tanjung Gusta Medan.
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan hasil akhir dari keseluruhan pembahasan dalam
skripsi ini yaitu berupa kesimpulan dan saran dari penulis
mengenai perlindungan hukum terhadap anak didik