BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi telah dianggap sebagai suatu perkara “seriousness
crime”, kejahatan serius yang sangat mengganggu hak ekonomi dan hak sosial
masyarakat dan negara dalam skala yang besar, sehingga penanganannya harus
dilakukan dengan cara “extra ordinary treatment” serta pembuktiannya
membutuhkan langkah-langkah yang serius, professional dan independen.1
Korupsi dalam praktik pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan
keuangan negara. Keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD,
keuangan negara pada Perjam, Perum, Perkebunan Nusantara, dan sebagainya.2
Korupsi adalah bagian dari aktivitas-aktivitas buruk yang menjauhkan negara ini
dari pemerintah yang bersih, jujur dan jauh dari rasa keadilan. Dengan kata lain,
korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Korupsi juga selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan
dengan tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat
dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya dapat menyentuh
berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini
dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan
pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai
demokratis dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah
1
Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2014, Halaman 1
2
budaya tersendiri. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju
masyarakat adil dan makmur.3
Tindak pidana korupsi yang terus merasuk kedalam sendi-sendi
kehidupan masyarakat ini juga mengakibatkan terjadinya kerugian keruangan
negara. Tentang permasalahan kewenangan perhitungan kerugian keuangan
negara dalam tindak pidana korupsi terjadi ketidakpastian hukum
(rechszekerheid), Junifer Girsang dalam bukunya “Abuse of Power”, menyatakan
terjadi ketidakpastian hukum dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi
akibat ketidakjelasnya definisi kerugian keuangan negara, ini berimplikasi pula
pada lembaga mana yang berhak dan berwenang menyatakan telah terjadi
kerugian keuangan negara.4
Guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan keuangan
negara yang dibelanjakan melaluiproses pengadaan Barang Pemerintah,
diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan, transparansi, akuntabilitas serta
prinsip persiangan/kompetisi yang sehat dalam proses pengadaan barang/Jasa
pemerintah yang dibiayai APBN/APBD, sehingga diperoleh Barang/Jasa yang
terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi
fisik,keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan
pelayanan masyarakat.5
Ketentuan Pengadaan Barang Pemerintahan dalam Peraturan Presiden itu
diarahkan untuk meningkatkan ownership Pemerintah Daerah terhadap
3
Evi Hartini, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Halaman 1 4
Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2014, Halaman 3
5
proyek/kegiatan yang pelaksaaannya dilakukan melalui skema pembiayaan
bersama (co-financing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.6
Skripsi ini akan membahas dan menganalisa secara yuridis terkait dengan
pengadaan barang yang merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi
dengan studi kasus Putusan Pengadilan Tinggi Medan No: 19/Pid.Sus.K/2014/PT-
MDN dengan terdakwa mantan manager bidang produksi PT. PLN (Persero)
KITSBU yaitu Ir. Fahmi Rizal Lubis. Terdakwa divonis 9 Tahun penjara dan
pidana denda sebesar Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus rupiah), dengan ketentuan
jika denda tersebut tidak dibayar harus diganti dengan hukuman kurungan selama
6 (Enam) bulan oleh hakim Pengadilan Tinggi Medan dengan Putusan Nomor:
19/Pid.Sus.K/2014/PT-MDN, tanggal 7 Maret 2014. Kesemuanya akan
dirangkum dalam penulisan skripsi ini.
Kasus tindak pidana korupsi pada PT. PLN (Persero) KITSBU yang
didakwakan kepada terdakwa lahir sebagai konsekuensi atas tindakan terdakwa
yang dianggap telah mengakibatkan kerugian keuangan negara. Terdakwa sebagai
manager bidang produksi PT.PLN (persero) KITSBU yang didisposisikan oleh
General Manager Ir Albert Pangaribuan sesuai dengan tugas, fungsi dan
wewenangnya untuk membuat syarat teknis atas pengadaan Flame Tube PLTGU
DG 10530 yang semula merupakan usulan dari saksi Ir. Ermawan Arif Budiman
selaku kepala sektor Pembangkitan Belawan perihal pengadaan material
kebutuhan GT 12 umtuk LTE 12. Selanjutnya terdakwa langsung membuat syarat
teknis tersebut berdasarkan buku petunjuk yang dikeluarkan oleh PT Siemens
6
Indonesia tanpa melakukan survey terlebih dahulu ke PT Siemens Indonesia
mengenai apakah barang tersebut masih diproduksi oleh PT Siemens Indonesia.
Setelah syarat tersebut dibuat oleh terdakwa pada tanggal 11 Desember
2006 yang diteruskan kepada saksi Edward Silitonga sebagai Manager
Perencanaan untuk menganalisa dan mengevaluasi tentang syarat teknis yang
dibuat terdakwa tersebut, tanpa melakukan survey dan mengkaji lebih detail
usulan tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat sesuai dengan Rencana Kerja
Anggaran Perusahaan dan atas syarat teknis tersebut maka Edward Silitonga
membuat Rencana Anggaran Biaya dengan besaran Rp. 24.323.251.000 (dua
puluh empat miliyar tiga ratus dua puluh tiga juta dua ratus lima puluh satu ribu
rupiah) termasuk PPN 10% (sepuluh persen). Selanjutnya dibuat surat kuasa kerja
Nomor INV/07/BIKEU/PROD/PLTGU/001 tanggal 13 maret 2007 Pengadaan
Flame Tube PLTGU GT-12 dengan nilai Rp. 24.323.251.000 (dua puluh miliyar
tiga ratus dua puluh tiga juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah) tersebut
ditandatangani oleh masing-masing manager terkait yaitu terdakwa selaku
menager bidang produksi, manager bidang perencanaan Edward Silitonga, dan
diketahui oleh manager Bidang Keuangan Irwandi dan disetujui oleh Ir.Albert
Pangaribuan selaku General Manager.
Pada saat Flame Tube diterima di gudang PT.PLN (persero) KITSBU
sektor pembangkitan belawan ditemukan adanya perbedaan spesifikasi Flame
Tube yang disupply oleh yuni selaku direktur CV Sri Makmur yang merupakan
CV pemenang pelelangan Pengadaan Flame Tube tersebut yang diakibatkan oleh
menetapkan dan mengesahkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang disusun oleh
Panitia Pengadaan Barang dimana dalam membuat HPS tidak melakukan analisis
yang mendalam terhadap lingkup pengadaan barang dengan cara tidak melakukan
survey terlebih dahulu kepada pabrikan PT Siemens Indonesia bahwa Flame tube
tersebut tidak lagi diproduksi sejak 5 (lima) tahun yang lalu. Akibat perbuatan
para terdakwa tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp.
23.942.490.000,- ( dua puluh tiga miliyar sembilan ratus empat puluh dua juta
empat ratus sembilan puluh ribu rupiah).
Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya menuntut terdakwa Ir. Fahmi
Rizal Lubis berupa pidan penjara selama 9 (sembilan) tahun dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap
ditahan, dan ditambah dengan denda sebesar Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus juta
rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan.
Kasus-kasus yang seperti ini perlu untuk disoroti karena menyebabkan
keresahan dalam masyarakat dan merugikan keuangan negara. Korupsi membuat
negara tidak maksimal dalam menyediakan barang-barang publik untuk
kepentingan umum. Korupsi juga memperburuk citra pemerintah dimata
masyarakat karena ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan terhadap hukum.
Apabila tidak ada perubahan yang signifikan maka kondisi tersebut akan
membahayakan kehidupan bangsa.7
Melihat bahwa tindak pidana korupsi ini dilakukan oleh PT. PLN
(persero) KITSBU yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
7
dibidang pengadaan barang yang mengakibatkan kerugian negara dan berdampak
pada pereknomian nasional. Disamping itu juga menarik untuk ditelaah regulasi
peraturan mengenai pengadaan barang/jasa yang terkait dengan tindak pidana ini
ataupun yang berakitan dengan tindak pidan korupsi itu sendiri.
B. Perumusan Masalah
Perumusan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah ketentuan pengaturan barang dan jasa menurut Peraturan
Presiden Nomor 70 tahun 2012 ?
2. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi menurut undang-undang
nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ?
3. Bagaimanakah analisis yuridis hukum pidana terhadap pengadaan
barang/jasa yang merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi
dalam kasus dengan putusan Pengadilan Tinggi Medan dengan Register
Nomor : 19/Pid.Sus.K/PT.MDN ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Menganalisa dan mengkaji pengaturan-pengaturan mengenai pengadaan
barang/jasa menurut Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang
2. Menganalisa dan mengkaji pengaturan-pengaturan mengenai tindak pidana
korupsi terkait dengan Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
3. Menganalisa dan mengkaji penegakan hukum pidana dalam
mengaplikasikan peraturan peundang-undangan yang mengatur tentang
pengadaan barang yang menyebabkan kerugian keuangan negara dengan
melihat dan menganalisa pertimbangan-pertimbangan hakim dalam perkara
dengan Putusan Pengadilan Tinggi Medan dengan Register Nomor :
19/Pid.Sus.K/PT.MDN)
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara
teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan
ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan
tindak pidana korupsi di bidang perbankan sehingga kemungkinan terjadinya
kerancuan-kerancuan dan tumpang-tindih hukum dapat diminimalisasi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk kepentingan
penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana
penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi mengenai Tinjauan Yuridis Pengadaan Barang yang
Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara terkait dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan
Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN) berdasarkan
pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan, sedangkan penulisan yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi ada ditemukan penulis tetapi hanya secara
khusus membahas masalah pengembalian kerugian keuangan negara akibat dari
tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia yang ditulis oleh
Saudari Br Barus. Penulisan tersebut mempunyai bahasan permasalahan yang
berbeda dengan penulisan skripsi yang dilakukan oleh penulis.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha
penulis sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat
merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis dalam mencari
keterangan-keterangan baik berupa buku-buku maupun internet, peraturan
perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan
kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Dengan demikian
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan
istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari Strafbaar feit.
Tidak ditemukannya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit
di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha
untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada
keseragaman pendapat8.
R. tresna menyatakan walaupun sangat sulit merumuskan atau
memberikan definisi atas tindak pidana itu sendiri namun beliau dapat menarik
definisi yang menyatakan tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian
perbuatan manusia yang bertentangan degan undang-undang atau
perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.9
Para ahli memiliki perbedaan pendapat mengenai tindak pidana. Terdapat
2 (dua) pandangan dari para ahli mengenai hal ini yaitu pandangan dualistis dan
pandangan monistis. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan
antara dilarangnya suatu erbuatan pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat
dipertanggungjawabkan si pembuat (criminal responsibility atau mens rea ).
Pandangan dualistis ini memandang tindak pidana semata-mata pada
perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang bersifat dilarang
8
C.S.T. Kansil, Engelien R. Palandeng, dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-undang Nasional, (Jakarta, Jala Permata Aksara. 2009) hal. 1
9
itu telah dilakukan maka barulah melihat pada orangnya jika ia memiliki
kemampuan untuk bertanggung jawab sehingga perbuatan tersebut dapat
dipersalahkan kepadanya dan dapat dijatuhi pidana.
Menurut Moeljatno yang merupakan salah satu ahli yang menganut
pandangan dualistis mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yaitu perbuatan
(manusia), memenuhi rumusan dalam undang-undang (formil), bersifat melawan
hukum (syarat materiil).10
Simons yang merupakan salah satu ahli penganut pandangan monistis
merumuskan tindak pidana merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang
dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.ia juga mengemukakan
beberapa unsur-unsur dari tindak pidana tersebut yaituperbuatan manusia,
diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan oleh
orang yang bertanggung jawab.11
Aliran monistis ini memandang bahwa unsur-unsur mengenai diri
orangnya tidak dapat dipisahkan dengan unsur mengenai perbuatan. Semua
menjadi satu unsur tindak pidana.
2. Tindak Pidana Korupsi
Defenisi korupsi menurut Hery Campbell Black (1991) adalah perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak
resmi dengan hal-hak dari pihak secara salah menggunakan jabatannya dan
10
Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawa ban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Yogyakarta, 1983, halaman 55
11
karekternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau
orang lain, berlawanan dengan kewajiban dan hak-hak dari pihak-pihak lain.12
Menurut Syamsul Anwar, definisi korupsi adalah penyalahgunaan dalam
kepentingan pribadi. Ia berpendapat bahwa masyarakat pada umumnya melihat
korupsi sebagai serangkaian tindakan-tindakan terlarang atau melawan hukum
untuk mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain serta
penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi.13
Korupsi merupakan penyimpangan atau perusakan intergritas dalam
pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa sesuai dengan
definisi korupsi yang termuat dalam kamus lengkap Oxford (The Oxford
Unabridged Dictionary). Serta penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan
pribadi (The abuse of public office for private gain) yang merupakan pengertian
ringkas korupsi dalam World Bank.14
Secara umum tindak pidana korupsi diatur dalam undang-undang No 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK). Selain itu, hukum acara dalam
menangani tindak pidana korupsi tunduk pada kitab Undang-Undang Hukum
acara pidana (KUHAP) dan penyimpangannya yang diatur secara khusus dalam
UU PTPK.15
12
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, halaman 137 13
http://www.kajianpustaka.com/2013/08/pengertian-model-bentuk-jenis-korupsi.html diakses 15 Desember 2014 pukul 15.59 Wib
14
Ibid, halaman 2 15
UU PTPK tidak memuat secara langsung pengertian mengenai tindak
pidana korupsi. Akan tetapi, dengan melihat kategori tindak pidana korupsi
sebagai delik formil, maka pasal 2 dan pasal 3 UU PTPK mengatur secara tegas
mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi tersebut. Pasal 2 UU
PTPK, menyatakan sebagai berikut :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”
Selanjutnya dalam pasal 3 UU PTPK, menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”
Definisi yuridis yang termuat diatas merupakan batasan formal yang
ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu
disuatu negara. Oleh karena itu, batas-batas tindak pidana korupsi sangat sulit
dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan dan undang-undang domestik suatu
negara.16
3. Pengadaan Barang dan Jasa
Definisi mengenai pengadaan barang dan jasa sudah tercantum jelas pada
pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 yang merupakan perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2011 yang juga merupakan perubahan atas
16
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah,menyatakan sebagai berikut:17
”Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan
Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa
oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi
yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai
diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.”
Selain dari pada Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ada juga pengertian mengenai pengadaan
barang/jasa yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 1 Keputusan Presiden Nomor 80
tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksnaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
menyatakan sebagai berikut:18
“Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan
barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang
dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa”
Pengadaan barang/jasa dilakukan oleh kelompok kerja ULP untuk
menyusun dan menetapkan metode pemilihan penyedia barang/jasa, pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya. Pemilihan penyedia barang dilakukan dengan beberapa
cara yang diatur dalam Pasal 19 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 yang
17
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
18
menyatakan dengan cara pelelangan umum, pelelangan terbatas, pelelangan
sederhana, penunjukkan langsung, pengadaan langsung, atau kontes.19
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum
normatif dengan pendekatan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan
pengadaan barang yang menyebabkan kerugian keuangan negara dengan
menelaah putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN
atas nama terpidana Manager bidang Produksi PT PLN (Persero) KITSBU.
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal.
Penelitian hukum jenis ini mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan (la w in books) atau hukum dikonsepsikan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang
dianggap pantas.
Pendekatan kasus (case aproach) dalam penelitian normatif yang
bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaedah hukum yang
dilakukan dalam praktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah
diputus sebagaimana yang dapat dilihat dari yurisprudensi terhadap perkara yang
menjadi fokus penelitian.
19
2. Sumber Data
Sumber data penilitian pada umumnya dibedakan antara data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan
pustaka (data sekunder). Metode penelitan hukum normatif hanya mengenal data
sekunder saja. Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer; bahan
hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.
a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari :
1. Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945;
2. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Juncto
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme;
5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara;
6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara;
7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang
8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang
Badan Usaha Milik Negara;
9. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian;
10.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana;
11.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
12.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 Tentang
Pedoman Barang / Jasa Pemerintah
13.Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN
Tanggal 26 Mei 2014 dengan Terdakwa Ir. Fahmi Rizal Lubis
14.Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian
ini.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, diantaranya;
1. Buku-buku yang terkait dengan hukum;
2. Artikel di jurnal hukum;
3. Skripsi, Tesis dan Disertasi Hukum;
4. Karya dari kalangan praktisi hukum ataupun akademisi yang ada
hubungannya dengan penelitian ini.
c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau
1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia;
2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini;
3. Surat kabar yang memuat tentang kasus-kasus tindak pidana korupsi
khususnya tentang pengadaan barang yang menyebabkan kerugian
keuangan negara.
3. Pengumpulan Data
Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian
kepustakaan (library research) atau disebut dengan studi dokumen yang meliputi
bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Studi kepustakaan dalam skripsi
ini diterapkan dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis
bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan tindak pidana korupsi di bidang
pengadaan barang pada PT.PLN (persero) KITSBU yang merupakan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk juga bahan-bahan lain yang berkaitan
dan dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Menurut Patton, analisis data didefinisikan sebagai suatu proses untuk
mengatur urutan data yang kemudian mengorganisasikannya ke dalam kategori,
pola maupun ke dalam susunan uraian dasar. Sedangkan, Taylor memberikan
pengertian terhadap analisa data sebagai proses yang melakukan perincian usaha
seperti apa yang telah disarankan serta sebagai bentuk usaha untuk memberikan
kontribusi dan tema pada hipotesis.20
Definisi-definisi diatas dapat disintetiskan bahwa analisis data
merupakan proses mengorganisasikan dan juga mengurutkan data ke dalam suatu
kategori, pola dan satuan uraian dasar sehingga bisa ditemukan tema serta
dirumuskan hipotesis kerjanya seperti yang telah didasarkan oleh data.
Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah
dari data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan metode
pendekatan kualitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik, sedangkan
penggunaan angka-anga hanya sebatas pada angka persentase sehingga diperoleh
gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan dibagi dalam 5
(Lima) bab dan terdiri atas beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan dan
pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama lain.
Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci adalah sebagai berikut:
BAB I : Berisikan pendahuluan yang terdapat didalamnya paparan mengenai
latar belakang dari penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, yang mengemukakan berbagai definisi, rumusan dan
pengertian dari istilah yang terkait dengan judul untuk memberi
batasan dan pembahasan mengenai istilah-istilah tersebut sebagai
20
gambaran umum dari skripsi ini, metode penulisan dan terakhir dari
bab ini diuraikan sistematika penulisan skripsi.
BAB II : Menguraikan tentang pengaturan mengenai barang/jasa yang terdapat
dalam Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 yang merupakan
perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010
tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Bab ini secara khusus
menjelaskan pengertian mengenai pengadaan barang/jasa. Bab ini juga
menjabarkan prinsip-prinsip dasar dan proses pengadaan barang/jasa.
BAB III : Menguraikan tentang peraturan tindak pidana korupsi di indonesia
dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 Jo undang-undang nomor
20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Bab ini
menjelaskan secara detail istilah tindak pidana korupsi dan sejarah
juga perkembangan pengaturannya di indonesia. Bab ini juga memuat
uraian mengenai pengertian dari kerugian keuangan negara,
unsur-unsur kerugian keuangan negara dan pengadaan barang yang
menyebabkan kerugian negara.
BAB IV : Merupakan pembahasan mengenai penegakkan hukum pidana
terhadap tindak pidana korupsi dalam hal pengadaan barang yang
termuat dalam kasus dengan putusan Pengadilan Tinggi Medan
No:19/Pid.Sus.K/2014/PT-MDN. Pada bab ini akan diuraikan
bagaimana posisi kasus dari perkara ini, dakwaan, tuntutan pidana,
dikaji secara mendalam terhadap putusan yang diberikan majelis
hakim terhadap terdakwa dalam perkara ini.