• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG NOMOR 780/PID/B/2010/PNTK TENTANG TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG NOMOR 780/PID/B/2010/PNTK TENTANG TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG NOMOR 780/PID/B/2010/PNTK TENTANG TINDAK PIDANA

PSIKOTROPIKA

Oleh

RINALDI SURYA CAESARIO

Ancaman bahaya penyalahgunaan psikotropika merupakan ancaman nasional yang perlu ditanggulangi sedini mungkin karena akan merusak kehidupan masyarakat yang pada akhirnya akan membahayakan stabilitas nasional bahkan mengancam pertahanan dan keamanan negara. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika? (2) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika? Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika. (2) Untuk mengetahui dasar-dasar yang menjadi pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan dan selanjutnya data dianalisis secara kualitatif

(2)

Rinaldi Surya Caesario

Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan bahwa jika denda tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 2 (dua) bulan kurungan. (2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pengedar psikotropika terdiri dari hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa dapat merusak generasi bangsa dan hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum dan terdakwa mempunyai keluarga.

(3)

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui

proses hukum. Hukum merupakan sarana bagi pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai

dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai

pertanggungjawabannya. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas legalitas,

yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam

undang-undang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan

larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku dapat

dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada

orang yang melakukan perbuatan tersebut.

Setiap warga negara wajib menjunjung tinggi dan menaati hukum, namun dalam

kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan

kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara

tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan

(4)

2

jawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum. Tindak pidana merupakan

perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dan patut dipidana sesuai

dengan kesalahannya sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Orang yang

melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut

dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan (Andi Hamzah, 2001: 12).

Hukum dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam

masyarakat, dengan maksud agar hukum dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan

oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam

pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak pidana akan

mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai

kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan

perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan normatif mengenai

dilakukannya suatu tindak pidana.

Salah satu tindak pidana yang terjadi di wilayah hukum Indonesia adalah

penyalahgunaan psikotropika. Secara umum permasalahan psikotropika dapat dibagi

menjadi tiga bagian yang saling terkait, yakni adanya produksi gelap, perdagangan

gelap psikotropika dan penyalahgunaan psikotropika. Ancaman bahaya

penyalahgunaan psikotropika merupakan ancaman nasional yang perlu

ditanggulangi sedini mungkin karena merupakan ancaman terhadap peradaban

manusia yang pada akhirnya akan membahayakan stabilitas nasional bahkan

mengancam pertahanan dan keamanan negara. Ancaman penyalahgunaan

(5)

khususnya pembangunan sumber daya manusia, sehingga perlu ditanggulangi oleh

pemerintah maupun masyarakat.

Kecenderungan kejahatan atau penyalahgunaan psikotropika mengalami

peningkatan karena pengaruh kemajuan teknologi, globalisasi dan derasnya arus

informasi. Selain itu adanya keinginan para pelaku untuk memperoleh keuntungan

yang besar dalam jangka waktu cepat dalam situasi ekonomi yang memburuk seperti

sekarang ini, diprediksikan akan mendorong munculnya pabrik-pabrik gelap baru

dan penyalahgunaan psikotropika lain akan semakin marak di masa mendatang.

Kondisi ini menjadi keprihatinan dan perhatian semua pihak baik pemerintah, LSM

dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mencari jalan

penyelesaian yang paling baik guna mengatasi permasalahan psikotropika ini

sehingga tidak sampai merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Psikotropika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan

apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang

ketat dan saksama. Bahaya penyalahgunaan obat-obatan terlarang berpangkal dari

mengkonsumsi bahan atau jenis obat-obatan terlarang harus ditanggulangi. Hal ini

disebabkan karena dampak yang ditimbulkan karena penyalahgunaan obat-obatan

terlarang akan merusak mental dan fisik individu yang bersangkutan dan dapat

meningkat pada hancurnya kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Kejahatan dan penyalahgunaan psikotropika dan psikotropika di Indonesia

menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dan telah berada pada ambang

mengkhawatirkan apabila tidak segera ditanggulangi melalui penegakan hukum

(6)

4

Penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan psikotropika memiliki peranan

yang besar dalam penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk

menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau warga negara, terjaminnya

kepastian hukum sehingga berbagai perilaku kriminal dan tindakan

sewenang-wenang yang dilakukan anggota masyarakat atas anggota masyarakat lainnya akan

dapat dihindarkan. Dengan kata lain penegakan hukum secara ideal akan dapat

mengantisipasi berbagai penyelewengan pada anggota masyarakat dan adanya

pegangan yang pasti bagi masyarakat dalam menaati dan melaksanakan hukum.

Pentingnya masalah penegakan hukum dalam hal ini berkaitan dengan semakin

meningkatnya tindak pidana penyalahgunaan psikotropika.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan psikotropika merupakan

upaya untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada

era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi

kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara

moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.

Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat

dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat

penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan pidana.

Salah satu contoh kasus tindak pidana penyalahgunaan psikotropika pada

Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang adalah penjatuhan pidana sebagaimana

tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor

780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika. Pengadilan yang

(7)

pertama, telah menjatuhkan putusan dalam perkara Terdakwa Hendarsyah Als Agus

Baron. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana: “tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman”, maka perbuatan terdakwa

diatur dan diancam pidana dalam Pasal 112 Ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika. Pengadilan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun

dan denda Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan bahwa jika

denda tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 2 (dua) bulan kurungan;

Masalah yang melatar belakangi penelitian ini adalah kurang optimalnya penerapan

Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

seharusnya setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,

menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua

belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Sesuai dengan ketentuan pasal di atas terlihat bahwa pelaku dihukum pidana

kurungan sangat minimal yaitu 4 (empat) tahun dan denda Rp.200.000.000,- (dua

ratus juta rupiah) dengan ketentuan bahwa jika denda tidak dibayar harus diganti

dengan kurungan selama 2 (dua) bulan kurungan, padahal ancaman maksimalnya

adalah 12 tahun penjara dan denda maksimalnya adalah Rp8.000.000.000,00

(delapan miliar rupiah). Maknanya adalah terdapat masalah dalam Putusan

(8)

6

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis melakukan penelitian yang

berjudul: Analisis Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

terhadap pelaku tindak pidana psikotropika pada Putusan Pengadilan Negeri

Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian ilmu Hukum Pidana,

khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana tindak pidana

psikotropika dan dasar-dasar yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

pidana terhadap pelaku tindak pidana psikotropika pada Putusan Pengadilan Negeri

Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana

(9)

b. Untuk mengetahui dasar-dasar yang menjadi pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana psikotropika pada Putusan

Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang

Tindak Pidana Psikotropika.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam

pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan

pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika dan dasar-dasar

yang menjadi pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat penegak

hukum dalam penegakan hukum. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat

berguna bagi berbagai pihak-pihak lain yang akan melakukan penelitian

mengenai penegakan hukum pidana di masa-masa yang akan datang.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar

yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum (Soerjono Soekanto, 1983: 73).

Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam

(10)

8

a. Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Barda Nawawi Arif (2003: 35), pertanggungjawaban pidana

mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), artinya seseorang yang melakukan kesalahan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan

hukum. Meskipun konsep pertanggungjawaban pidana umumnya berprinsip

pada asas kemampuan bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan, namun

terdapat pula beberapa asas lain, yaitu pertanggungjawaban pengganti, asas

pertanggungjawaban yang ketat dan asas pemberian maaf atau pengampunan

oleh hakim.

Pertanggungjawaban pidana ini menuntut adanya kemampuan bertanggung

jawab pelaku. Kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normal dan

kematangan psikis seseorang yang membawa tiga macam kemampuan yaitu

untuk memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri, menyadari bahwa

perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat; dan menentukan

kemampuan/kecakapan terhadap perbuatan tersebut. Kesalahan mempunyai ciri

sebagai hal yang dapat dicela, dan pada hakikatnya tidak mencegah kelakukan

yang melawan hukum, dengan subtansi sebagai berikut:

(1) Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan;

(2) Hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatan yang dilakukan yang

berbentuk kesengajaan;

(3) Tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana

(11)

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Menurut Barda Nawawi Arif (1996: 112-114), hal menjatuhkan pidana kepada

terdakwa: Seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah

yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat;

(d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah

diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184). Menurut Pasal 185 Ayat

(2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan

bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan. Ayat (3)

menyebutkan ketentuan tersebut tidak berlaku jika disertai suatu alat bukti yang

sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud

dalam Ayat 3, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.

Selain itu Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang

pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.

Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya

pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana

harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan

adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang

(12)

10

(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut

mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum

(3) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih

dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terdapat unsur niat

di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

(4) Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa

penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku

juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan

melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat

mempengaruhi putusan hakim yaitu memperingan hukuman bagi pelaku,

misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal

dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan

sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan

tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang

di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan

(13)

bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus

terang dan berkata jujur serta mempermudah jalannya persidangan.

(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku

tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi

perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku,

memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga

menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku

Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku

adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi

hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran

untuk tidak melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam

penelitian (Soerjono Soekanto, 1983: 112). Berdasarkan definisi tersebut, maka

batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan

diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari

pemeriksaan perkara gugatan (Lilik Mulyadi, 2007: 15).

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi

(14)

12

norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak

sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku (Moeljatno, 1983: 54)

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar

atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku

tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan

terjaminnya kepentingan umum (Satjipto Rahardjo, 1996: 26).

d. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,

yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat

yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Pasal 1

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika).

F. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara

keseluruhan diuraikan sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang,

Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,

Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan

dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian Putusan, Dasar Pertimbangan

(15)

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan

Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur

Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat

penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban

pidana pelaku tindak pidana psikotropika dan dasar-dasar yang menjadi

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Pengadilan

Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK.

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan

pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Putusan Hakim

Menurut Lilik Mulyadi (2007: 15), dalam membuat Putusan pengadilan, seorang

hakim harus memperhatikan apa yang diatur dalam pasal 197 KUHAP, yang

berisikan berbagai hal yang harus dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun

berbagai hal yang harus dimasukkan dalam sebuah putusan pemidanaan

sebagaimana disebutkan dalam pasal 197 KUHAP.

Sistematikan putusan hakim adalah sebagai berikut:

1. Nomor Putusan

2. Kepala Putusan/Irah-irah (Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa)

3. Identitas Terdakwa

4. Tahapan penahanan (kalau ditahan)

5. Surat Dakwaan

6. Tuntutan Pidana

7. Pledooi

8. Fakta Hukum

9. Pertimbangan Hukum

10. Peraturan perundangan yang menjadi dasar pertimbangan

(17)

12. Pernyataan kesalahan terdakwa

13. Alasan yang memberatkan atau meringankan hukuman

14. Kualifikasi dan pemidanaan

15. Penentuan status barang bukti

16. Biaya perkara

17. Hari dan tanggal musyawarah serta putusan

18. Nama Hakim, Penuntut Umum, Panitera Pengganti, terdakwa dan Penasehat

Hukumnya

B. Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia

menjadi ciri Negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di

sidang pengadilan yang dipimpin oleh Hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan

member kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh penasihat

hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum.

Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang

bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya (Andi Hamzah, 2001: 97).

Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan

diperlukan untuk menyelesaiakn perkara pidana. Dengan demikian dapat

dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di satu pihak berguna bagi

terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus

dapat mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti

(18)

16

visi hakim yag mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak

pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum

atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas,

dan moralitas dari hakim yang bersangkutan (Lilik Mulyadi, 2007: 119).

Putusan bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan

di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan terdakwa yang didakwakan

kepadanya jika terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas

(Pasal 191 Ayat (1) KUHAP). Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan

hakim yang baik, mumpuni, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji

dengan empat kriteria dasar pertanyaan (the 4 way test) berupa: 1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan?

3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan?

4. Bermanfaatkah putusanku ini? (Lilik Mulyadi, 2007: 136).

Praktiknya walaupun telah bertitiktolak dari sifat/sikap seseorang Hakim yang

baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik

pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang

tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekuranghati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja

aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam

(19)

Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus

mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga

putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan

yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut

diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi

hukum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiverd).

Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum

pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik

fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari

keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan

diperiksa di persidangan.

Menurut Lilik Mulyadi (2007: 139-140), teori lain yang berkaitan dengan dasar

pertimbangan hakim, yaitu dalam mengadili pelaku tindak pidana pemalsuan

dokumen, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan

pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan

teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi

teori-teori sebagai berikut:

a. Teori koherensi atau kosistensi

Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara bukti yang satu

dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan

keterangan saksi yang lain. Atau, saling berhubungan antara keterangan saksi

(20)

18

KUHAP). Dalam hal seperti ini dikenal adanya hubungan kausalitas yang

bersifatrasional a priori.

b. Teori korespodensi

Jika ada fakta-fakta di persidangan yang saling bersesuaian, misalnya, antara

keterangan saksi bersesuaian dengan norma atau ide. Jika keterangan saksi

Mr. X menyatakan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Mr. Y

tidak melalui proses lelang tetapi dilaksanakan melalui penunjukan langsung

Perusahaan Z. Persesuaian antara fakta dengan norma ini terlihat dalam

hubungan kuasalitas yang bersifat empirisa pesteriori.

c. Teori utilitas

Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang bergantung pada

manfaat (utility), yang memungkinkan dapat dikerjakan (workbility), memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory result), misalnya, seseorang yang dituduh melakukan korupsi karena melakukan proyek pembangunan jalan yang dalam

kontrak akan memakai pasir sungai, tetapi karena di daerah tersebut tidak

didapatkan pasir sungai, lalu pelaksana proyek itu mempergunakan pasir

gunung yang harganya lebih mahal. Apakah pelaksanaan proyek itu dapat

dipersalahkan melakukan korupsi? Padahal dia tidak memperkaya diri sendiri

atau orang lain, bahkan dia merugi kalau memakai pasir gunung. Kasus seperti

ini dapat diteropong melalui kacamata teori yang ketiga ini, karena

(21)

C. Penanggulangan Tindak Pidana

Kebijakan Kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan

berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum

pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka

menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat

diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum

pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana

pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan

politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu dan untuk masa-masa yang akan datang (Sudarto, 1983: 109).

Menurut E Utrecht dan M. Saleh Djinjang (1982), pelaksanaan dari politik hukum

pidana harus melalui beberapa tahap kebijakan yaitu:

1. Tahap Formulasi

Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan

kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini

dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan

perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang

paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini

(22)

20

2. Tahap Aplikasi

Yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh

aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan.

Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta

menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh

pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak

hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap

ini dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

3. Tahap Eksekusi

Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkrit oleh aparat-aparat

pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas

menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh

pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan

dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah

ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu

dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan

Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan

nilai-nilai keadilan suatu daya guna.

Ketiga tahap Penegakan Hukum Pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses

rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus

merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang

(23)

Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi

yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal)

maupun non hukum pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan

yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan,

berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan

untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan

dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang (Sudarto,

1983: 109).

Selain itu kebijakan kriminal juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial

(social policy).Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat (social defence policy). Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal

ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan”. Usaha-usaha

yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik

kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu:

1. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal.

Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum

pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu :

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

(24)

22

2. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi

penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu,

namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya

kejahatan (Barda Nawawi Arief, 2003: 158).

Berkaitan dengan pentahapan kebijakan, Barda Nawawi Arief (2003: 173)

menyebutkan bahwa perwujudan kebijakan melalui tiga tahap:

1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang.

2. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana oleh pengadilan, dan

3. Tahap pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana.

Dilihat sebagai satu kesatuan proses, maka tahap kebijakan pertama dapat pula

disebut sebagai tahap kebijakan legislatif yang merupakan tahap paling strategis.

Dari tahap kebijakan legislatif inilah diharapkan adanya suatu garis pedoman

untuk tahap-tahap berikutnya. Kebijakan formulasi hukum pidana ini memang

sepatutnya dikaji karena merupakan tahap paling strategis dari upaya

penanggulangan kejahatan melalui penal policy. Oleh karena itu, kesalahan/ kelemahan kebijakan formulasi dapat dipandang sebagai kesalahan strategis dan

oleh karenanya dapat menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi

efektivitas penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (Barda Nawawi

Arief, 2003).

Upaya penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum)

pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan

(25)

pidana merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial(social policy). Kebijakan kriminal dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan merupakan

salah satu kebijakan, selain kebijakan-kebijakan pembangunan lainnya (politik

sosial).

D. Tindak Pidana Psikotropika

Menurut Andi Hamzah (2001: 42), tindak pidana memiliki pengertian perbuatan

yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat

melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan. Tindak

pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang

yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan

dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan

apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan

pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan

Beberapa pasal dalam KUHP yang menyebutkan beberapa jenis tindak pidana

adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia(pasal 2

KUHP)

2) Setiap orang Indonesia yang melakukan kejahatan berdasarkan pasal-pasal

104, 106, 107, 108, dan 131 KUHP (Pasal 4 KUHP)

3) Setiap orang Indonesia yang melakukan kejahatan mengenai mata uang atau

(26)

24

meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah

Indonesia (Pasal 4 KUHP)

4) Setiap orang yang melakukan pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang

atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah

Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga,

yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai

pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang

palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu (Pasal 4 KUHP).

5) Setiap orang yang melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dalam

pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal-pasal 447

tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479

huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479

huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan

penerbangan sipil (Pasal 4 KUHP).

6) Warga negara Indonesia yang berada di luar Indonesia yang melakukan salah

satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160,

161, 240, 279, 450, dan 451 KUHP (Pasal 5 KUHP).

7) Warga negara Indonesia yang berada di luar Indonesia yang melakukan salah

satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan

Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut

perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana (Pasal 5

KUHP).

8) Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut

(27)

9) Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan

atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi

kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya

perbuatan itu dilakukan (Pasal 55 KUHP).

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,

yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat

yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Pasal 1

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika).

Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah:

a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan

dan ilmu pengetahuan;

b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;

c. Memberantas peredaran gelap psikotropika

(Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika).

Menurut Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika,

pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan

(28)

26

a. Terpenuhinya kebutuhan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan

dan ilmu pengetahuan;

b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;

c. Melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat

menimbulkan gangguan dan/atau bahaya atas penyalahgunaan psikotropika;

d. Memberantas peredaran gelap psikotropika;

e. Mencegah pelibatan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dalam

kegiatan penyalahgunaan dan/atau peredaran gelap psikotropika; dan

f. Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan

teknologi di bidang psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan.

Menurut Dadang Hawari (2002: 7), penyalahgunaan psikotropika adalah

penggunaan salah satu atau beberapa jenis Psikotropika secara berkala atau teratur

diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan

gangguan fungsi sosial. Ketergantungan psikotropika adalah keadaan di mana

telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah

psikotropika yang makin bertambah (toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi

atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom).

Menurut Dadang Hawari (2002: 8), tingkat pemakaian psikotropika adalah:

a. Pemakaian coba-coba (experimental use)

Adalah pemakaian psikotropika yang tujuannya ingin mencoba,untuk

memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti pada tahap ini, dan

(29)

b. Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use)

Adalah yaitu pemakaian psikotropika dengan tujuan bersenang-senang, pada

saat rekreasi atau santai. Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap ini,

namun sebagian lagi meningkat pada tahap yang lebih berat

c. Pemakaian Situasional (situasional use)

Adalah pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu seperti ketegangan,

kesedihan, kekecewaan, dan sebagainnya, dengan maksud menghilangkan

perasaan-perasaan tersebut.

d. Penyalahgunaan (abuse)

Adalah pemakaian sebagai suatu pola penggunaan yang bersifat patologik/

klinis (menyimpang) yang ditandai oleh intoksikasi sepanjang hari, tak

mampu mengurangi atau menghentikan, berusaha berulang kali

mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit fisiknya kambuh.

Keadaan ini akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional yang

ditandai oleh: tugas dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan

baik,perilaku agresif dan tak wajar, hubungan dengan kawan terganggu, sering

bolos sekolah atau kerja, melanggar hukum atau kriminal dan tak mampu

berfungsi secara efektif.

e. Ketergantungan (dependence use)

Adalah telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila pemakaian psikotropika

dihentikan atau dikurangi dosisnya. Agar tidak berlanjut pada tingkat yang

lebih berat (ketergantungan), maka sebaiknya tingkat-tingkat pemakaian ini

memerlukan perhatian dan kewaspadaan keluarga dan masyarakat, sehingga

(30)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis

normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan

untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan

atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk

memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan

realitas yang ada atau studi kasus (Soerjono Soekanto, 1983: 41).

Berdasarkan pengertian tersebut maka pendekatan yuridis normatif dan yuridis

empiris digunakan dalam penelitian ini untuk memahami persoalan mengenai

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK

Tentang Tindak Pidana Psikotropika

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan

penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk

(31)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber

hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder

dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP)

(3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

(4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang

melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang

sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu bahan hukum

sekunder berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor

780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/

pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi,

(32)

30

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Soerjono Soekanto (1983: 119), populasi adalah keseluruhan subyek

hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti.

Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian

ini adalah seluruh Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

2. Sampel

Menurut Soerjono Soekanto (1983: 121), sampel adalah bagian dari populasi

yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk

menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan

teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi

responden/sampel dalam penelitian ini adalah dua orang hakim pada

Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian

kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku

literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan

(33)

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan

wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai

dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah

diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data

dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan

data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti

dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut

kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang

benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling

berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada

subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Menurut Soerjono Soekanto (1983: 121), analisis data adalah menguraikan

data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci

(34)

32

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif

dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu

menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang

(35)

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis terhadap Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor

780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pengedar psikotropika

didasarkan pada unsur kesengajaan (dolus), yaitu pelaku mengetahui bahwa perbuatannya melanggar hukum dan dengan sengaja mengedarkan

psikotropika maka ia harus mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut di

depan hukum. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan terdakwa terdiri

atas tiga syarat, yaitu kemampuan bertanggung jawab atau dapat

dipertanggung jawabkannya terdakwa, adanya perbuatan melawan hukum,

yaitu suatu sikap psikis terdakwa yang berhubungan dengan kelakuannya

yaitu perbuatannya disengaja dan tidak ada alasan pembenar atau alasan

pemaaf yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak

pidana pengedar psikotropika terdiri dari hal-hal yang memberatkan, yaitu

(36)

60

meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala

perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum

dan terdakwa mempunyai keluarga.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pada masa mendatang hendaknya pertanggungjawaban pidana terhadap

pelaku tindak pidana pengedar psikotropika berorientasi pada pembinaan

kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimana mengembalikan pelaku

pengedar psikotropika untuk tidak mengulangi tindak pidana di masa-masa

yang akan datang.

2. Pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna (bukan pengedar) hendaknya

lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar pencandu tersebut setelah

direhabilitas akan dapat kembali dan diterima dalam kehidupan masyarakat

secara baik serta tidak mengulangi tindak pidana yang merugikan dirinya

(37)

(Skripsi)

Oleh

RINALDI SURYA CAESARIO

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(38)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7

E. Sistematika Penulisan ... 12

DAFTAR PUSTAKA II TINJAUAN PUSTAKA... 14

A. Putusan Hakim ... 14

B. Dasar Pertimbangan Hakim ... 15

C. Penanggulangan Tindak pidana ... 19

D. Tindak Pidana Psikotropika ... 23

DAFTAR PUSTAKA III METODE PENELITIAN... 28

A. Pendekatan Masalah ... 28

B. Sumber dan Jenis Data ... 28

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 30

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ... 30

E. Analisis Data ... 31

(39)

B. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pengedar Psikotropika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor

780/Pid/B/2010/PNTK... 34

C. Dasar-Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK... 48

V PENUTUP... 59

A. Kesimpulan ... 59

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Badra Nawawi. 2003.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

Hamzah, Andi. 2001.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Mulyadi, Lilik. 2007.Kekuasaan Kehakiman,Bina Ilmu, Surabaya.

Moeljatno, 1983.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonsesia,Rineka Cipta, Jakarta. Rahardjo, Satjipto. 1996.Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial

dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983.Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

(41)

Arief, Barda Nawawi. 2003.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

Hamzah, Andi. 2001.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Hawari, Dadang, 2002.Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, Fakultas

Kedokteran UI, Jakarta.

Moeljatno, 1993.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonsesia,Rineka Cipta, Jakarta. Mulyadi, Lilik. 2007.Kekuasaan Kehakiman,Bina Ilmu, Surabaya.

Setiadi, Edi. 1997.Permasalahan dan Asas-Asas Pertanggung Jawaban Pidana. Alumni.Bandung.

Sudarto. 1983.Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1983.Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Utrecht, E. dan M. Saleh Djinjang. 1982.Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Pradya Paramitha. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. 1983.Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(43)

i

Oleh

RINALDI SURYA CAESARIO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(44)

ii

Judul Skripsi :ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG NOMOR 780/PID/B/2010/ PNTK TENTANG TINDAK PIDANA

PSIKOTROPIKA

Nama Mahasiswa :RINALDI SURYA CAESARIO No. Pokok Mahasiswa :0642011327

Bagian :Hukum Pidana

Fakultas :Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, SH, MH. NIP. 19611231 198903 1 023

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP.19620817 198703 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

(45)

iii

1. Tim Penguji

Ketua :Tri Andrisman, S.H., M.H. …………...

Sekretaris/Anggota :Diah Gustiniati, S.H., M.H. …………...

Penguji Utama :Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. …………...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003

(46)

iv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 14 April

1988, merupakan putra kelima dari lima bersaudara, buah hati

pasangan Bapak Hi. Azwar Djajasinga dan Ibu Hj. Pundari

Umar.

Pendidikan formal yang penulis tempuh adalah SD Negeri 2 TELADAN Tanjung

Karang Timur Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2000, SLTP Negeri 25

Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2003, SMA Negeri 12 Bandar

Lampung selesaikan pada tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai

(47)

v

Dalam alur kehidupan

manusia mengalami berbagai permasalahan dan setiap permasalahan pasti ada jalan keluar karena Allah SWT tidak akan memberikan cobaan

di luar kemampuan hamba-hambaNya

Orang menjadi dewasa dan bijak dengan terbiasa bersikap, berkata,

atau berpikiran terbaik

Ingat!!! Tua itu pasti tetapi dewasa adalah pilihan

Belajarlah dari pengalaman untuk menempuh masa depan dan jangan pernah kau merasa besar sebab diatas langit masih ada langit Pernah berpikirkah bahwa manusia itu

sangat kecil di mata Allah SWT

(48)

vi

PERSEMBAHAN

Bapak dan Ibuku Tercinta

Hi. Azwar Djajasinga dan Hj. Pundari Umar,

yang telah membesarkanku, membimbingku dan senantiasa mendoakan keberhasilanku

Kakak-Kakakku

Batin Yeni, Bung Darma, Abang Ipong, dan Kak Fandi

beserta Kakak Iparku Yetti Anggraini, Putri Amalia dan Diliana Suwandi yang telah memberikan dukungannya

Keponakan-Keponakanku

Nazwa, Rayhan dan Nizam yang kusayangi

(49)

vii

Puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya dengan

kehendak dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul: ”Analisis Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan

terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan

terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, SH, MH., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembimbing II Skripsi ini.

Terimakasih atas bimbingan, masukan dan sarannya kepada penulis selama

(50)

viii

3. Bapak Tri Andrisman, SH., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembimbing I Skripsi ini

Terimakasih atas bimbingan, masukan dan sarannya kepada penulis selama

proses bimbingan skripsi.

4. Bapak Gunawan Jatmiko S.H, M.H, selaku Penguji Skripsi, atas masukan dan

saran yang diberikan kepada penulis demi perbaikan skripsi.

5. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan

ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

7. Kepala Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, yang telah memberikan

izin dan memberikan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian.

8. Bapak “Azwar Djajasinga”, Ibu “Pundari Umar”, Batin, Bung, Abang, dan

Kakak atas dukungan material maupun moril, semangat, doa, dan selalu

memberikan yang terbaik dalam hidupku.

9. Kepada teman-teman, khususnya angkatan 2006 dan 2007, Jevi, Ari Wijaya,

Nanda, Ade, Boy, Deni, Langgir, Boni, Nando, Popoy, Otto, Goceng,

Gembel, Mbie. Tetap semangat melanjutkan perjuangan, terima kasih atas

dukungan serta semangatnya.

10. Kepada sahabat-sahabatku di ELEGANTE Lampung Community, Ayi, Adi,

Buncit, Akew, Rindo, Doni, Monda, Bendot, Apoy, dan Nai. serta yang

lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan

(51)

ix

mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap

semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Februari 2012

Penulis

Referensi

Dokumen terkait

Siswa mengerjakan latihan membuat contoh operasi pengurangan dengan hasil yang sudah ditentukan.. Kegiatan Fisik

[r]

Aturan yang mengharuskan seseorang atau masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal tertentu karena akan mendatangkan akibat yang dipandang buruk disebut .... Fungsi

f ot osint esi s per unit ar ea (A) dan pada bent uk daun t anaman, yang.. bergant ung pada pot ensi bent uk t unas/ pucuk dan pada ket ersedi aan

Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan proses pembelajaran gerak dasar tolak peluru pada siswa kelas V SD Negeri Binjai Wangi, Kecamatan Pugung,

Untuk menghitung integral tentu dengan menggunakan jumlah Riemann dibutuhkan langkah yang panjang dan agak rumit?. Amati dengan cermat beberapa bentuk integral tentu berikut diambil

structure of the email or the letter above, depending on which text you have read.. parts of the

Uji F dengan hasilnya terjadi pengaruh secara bersama-sama yang signifikan dari seluruh variabel independent kepemimpinan, disiplin kerja dan kompensasi terhadap