ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG NOMOR 780/PID/B/2010/PNTK TENTANG TINDAK PIDANA
PSIKOTROPIKA
Oleh
RINALDI SURYA CAESARIO
Ancaman bahaya penyalahgunaan psikotropika merupakan ancaman nasional yang perlu ditanggulangi sedini mungkin karena akan merusak kehidupan masyarakat yang pada akhirnya akan membahayakan stabilitas nasional bahkan mengancam pertahanan dan keamanan negara. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika? (2) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika? Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika. (2) Untuk mengetahui dasar-dasar yang menjadi pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan dan selanjutnya data dianalisis secara kualitatif
Rinaldi Surya Caesario
Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan bahwa jika denda tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 2 (dua) bulan kurungan. (2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pengedar psikotropika terdiri dari hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa dapat merusak generasi bangsa dan hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum dan terdakwa mempunyai keluarga.
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui
proses hukum. Hukum merupakan sarana bagi pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai
dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai
pertanggungjawabannya. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas legalitas,
yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam
undang-undang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan
larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku dapat
dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada
orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Setiap warga negara wajib menjunjung tinggi dan menaati hukum, namun dalam
kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan
kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara
tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan
2
jawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum. Tindak pidana merupakan
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dan patut dipidana sesuai
dengan kesalahannya sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Orang yang
melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut
dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan (Andi Hamzah, 2001: 12).
Hukum dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam
masyarakat, dengan maksud agar hukum dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan
oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam
pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak pidana akan
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai
kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan
perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan normatif mengenai
dilakukannya suatu tindak pidana.
Salah satu tindak pidana yang terjadi di wilayah hukum Indonesia adalah
penyalahgunaan psikotropika. Secara umum permasalahan psikotropika dapat dibagi
menjadi tiga bagian yang saling terkait, yakni adanya produksi gelap, perdagangan
gelap psikotropika dan penyalahgunaan psikotropika. Ancaman bahaya
penyalahgunaan psikotropika merupakan ancaman nasional yang perlu
ditanggulangi sedini mungkin karena merupakan ancaman terhadap peradaban
manusia yang pada akhirnya akan membahayakan stabilitas nasional bahkan
mengancam pertahanan dan keamanan negara. Ancaman penyalahgunaan
khususnya pembangunan sumber daya manusia, sehingga perlu ditanggulangi oleh
pemerintah maupun masyarakat.
Kecenderungan kejahatan atau penyalahgunaan psikotropika mengalami
peningkatan karena pengaruh kemajuan teknologi, globalisasi dan derasnya arus
informasi. Selain itu adanya keinginan para pelaku untuk memperoleh keuntungan
yang besar dalam jangka waktu cepat dalam situasi ekonomi yang memburuk seperti
sekarang ini, diprediksikan akan mendorong munculnya pabrik-pabrik gelap baru
dan penyalahgunaan psikotropika lain akan semakin marak di masa mendatang.
Kondisi ini menjadi keprihatinan dan perhatian semua pihak baik pemerintah, LSM
dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mencari jalan
penyelesaian yang paling baik guna mengatasi permasalahan psikotropika ini
sehingga tidak sampai merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Psikotropika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan
apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang
ketat dan saksama. Bahaya penyalahgunaan obat-obatan terlarang berpangkal dari
mengkonsumsi bahan atau jenis obat-obatan terlarang harus ditanggulangi. Hal ini
disebabkan karena dampak yang ditimbulkan karena penyalahgunaan obat-obatan
terlarang akan merusak mental dan fisik individu yang bersangkutan dan dapat
meningkat pada hancurnya kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Kejahatan dan penyalahgunaan psikotropika dan psikotropika di Indonesia
menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dan telah berada pada ambang
mengkhawatirkan apabila tidak segera ditanggulangi melalui penegakan hukum
4
Penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan psikotropika memiliki peranan
yang besar dalam penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk
menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau warga negara, terjaminnya
kepastian hukum sehingga berbagai perilaku kriminal dan tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan anggota masyarakat atas anggota masyarakat lainnya akan
dapat dihindarkan. Dengan kata lain penegakan hukum secara ideal akan dapat
mengantisipasi berbagai penyelewengan pada anggota masyarakat dan adanya
pegangan yang pasti bagi masyarakat dalam menaati dan melaksanakan hukum.
Pentingnya masalah penegakan hukum dalam hal ini berkaitan dengan semakin
meningkatnya tindak pidana penyalahgunaan psikotropika.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan psikotropika merupakan
upaya untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada
era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi
kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara
moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.
Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat
dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat
penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan pidana.
Salah satu contoh kasus tindak pidana penyalahgunaan psikotropika pada
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang adalah penjatuhan pidana sebagaimana
tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika. Pengadilan yang
pertama, telah menjatuhkan putusan dalam perkara Terdakwa Hendarsyah Als Agus
Baron. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana: “tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman”, maka perbuatan terdakwa
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 112 Ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Pengadilan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun
dan denda Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan bahwa jika
denda tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 2 (dua) bulan kurungan;
Masalah yang melatar belakangi penelitian ini adalah kurang optimalnya penerapan
Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
seharusnya setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Sesuai dengan ketentuan pasal di atas terlihat bahwa pelaku dihukum pidana
kurungan sangat minimal yaitu 4 (empat) tahun dan denda Rp.200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah) dengan ketentuan bahwa jika denda tidak dibayar harus diganti
dengan kurungan selama 2 (dua) bulan kurungan, padahal ancaman maksimalnya
adalah 12 tahun penjara dan denda maksimalnya adalah Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah). Maknanya adalah terdapat masalah dalam Putusan
6
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis melakukan penelitian yang
berjudul: Analisis Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika?
b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap pelaku tindak pidana psikotropika pada Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian ilmu Hukum Pidana,
khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana tindak pidana
psikotropika dan dasar-dasar yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku tindak pidana psikotropika pada Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana
b. Untuk mengetahui dasar-dasar yang menjadi pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana psikotropika pada Putusan
Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang
Tindak Pidana Psikotropika.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan
pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika dan dasar-dasar
yang menjadi pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat penegak
hukum dalam penegakan hukum. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat
berguna bagi berbagai pihak-pihak lain yang akan melakukan penelitian
mengenai penegakan hukum pidana di masa-masa yang akan datang.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar
yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum (Soerjono Soekanto, 1983: 73).
Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam
8
a. Pertanggungjawaban Pidana
Menurut Barda Nawawi Arif (2003: 35), pertanggungjawaban pidana
mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), artinya seseorang yang melakukan kesalahan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan
hukum. Meskipun konsep pertanggungjawaban pidana umumnya berprinsip
pada asas kemampuan bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan, namun
terdapat pula beberapa asas lain, yaitu pertanggungjawaban pengganti, asas
pertanggungjawaban yang ketat dan asas pemberian maaf atau pengampunan
oleh hakim.
Pertanggungjawaban pidana ini menuntut adanya kemampuan bertanggung
jawab pelaku. Kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normal dan
kematangan psikis seseorang yang membawa tiga macam kemampuan yaitu
untuk memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri, menyadari bahwa
perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat; dan menentukan
kemampuan/kecakapan terhadap perbuatan tersebut. Kesalahan mempunyai ciri
sebagai hal yang dapat dicela, dan pada hakikatnya tidak mencegah kelakukan
yang melawan hukum, dengan subtansi sebagai berikut:
(1) Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan;
(2) Hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatan yang dilakukan yang
berbentuk kesengajaan;
(3) Tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana
b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Menurut Barda Nawawi Arif (1996: 112-114), hal menjatuhkan pidana kepada
terdakwa: Seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah
yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat;
(d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah
diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184). Menurut Pasal 185 Ayat
(2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan. Ayat (3)
menyebutkan ketentuan tersebut tidak berlaku jika disertai suatu alat bukti yang
sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud
dalam Ayat 3, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.
Selain itu Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang
pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:
(1) Kesalahan pelaku tindak pidana
Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.
Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya
pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana
harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan
adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang
10
(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana
Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut
mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum
(3) Cara melakukan tindak pidana
Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih
dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terdapat unsur niat
di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
(4) Sikap batin pelaku tindak pidana
Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa
penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku
juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan
melakukan perdamaian secara kekeluargaan.
(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat
mempengaruhi putusan hakim yaitu memperingan hukuman bagi pelaku,
misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal
dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan
sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).
(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan
tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang
di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan
bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus
terang dan berkata jujur serta mempermudah jalannya persidangan.
(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku
tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi
perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku,
memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga
menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.
(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku
adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi
hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran
untuk tidak melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam
penelitian (Soerjono Soekanto, 1983: 112). Berdasarkan definisi tersebut, maka
batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara gugatan (Lilik Mulyadi, 2007: 15).
b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
12
norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak
sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku (Moeljatno, 1983: 54)
c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar
atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku
tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum (Satjipto Rahardjo, 1996: 26).
d. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Pasal 1
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika).
F. Sistematika Penulisan
Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara
keseluruhan diuraikan sebagai berikut:
I PENDAHULUAN
Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang,
Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,
Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.
II TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan
dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian Putusan, Dasar Pertimbangan
III METODE PENELITIAN
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan
Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur
Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat
penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban
pidana pelaku tindak pidana psikotropika dan dasar-dasar yang menjadi
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Pengadilan
Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK.
V PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan
pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Putusan Hakim
Menurut Lilik Mulyadi (2007: 15), dalam membuat Putusan pengadilan, seorang
hakim harus memperhatikan apa yang diatur dalam pasal 197 KUHAP, yang
berisikan berbagai hal yang harus dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun
berbagai hal yang harus dimasukkan dalam sebuah putusan pemidanaan
sebagaimana disebutkan dalam pasal 197 KUHAP.
Sistematikan putusan hakim adalah sebagai berikut:
1. Nomor Putusan
2. Kepala Putusan/Irah-irah (Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa)
3. Identitas Terdakwa
4. Tahapan penahanan (kalau ditahan)
5. Surat Dakwaan
6. Tuntutan Pidana
7. Pledooi
8. Fakta Hukum
9. Pertimbangan Hukum
10. Peraturan perundangan yang menjadi dasar pertimbangan
12. Pernyataan kesalahan terdakwa
13. Alasan yang memberatkan atau meringankan hukuman
14. Kualifikasi dan pemidanaan
15. Penentuan status barang bukti
16. Biaya perkara
17. Hari dan tanggal musyawarah serta putusan
18. Nama Hakim, Penuntut Umum, Panitera Pengganti, terdakwa dan Penasehat
Hukumnya
B. Dasar Pertimbangan Hakim
Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia
menjadi ciri Negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di
sidang pengadilan yang dipimpin oleh Hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan
member kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh penasihat
hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum.
Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang
bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya (Andi Hamzah, 2001: 97).
Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan
diperlukan untuk menyelesaiakn perkara pidana. Dengan demikian dapat
dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di satu pihak berguna bagi
terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus
dapat mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti
16
visi hakim yag mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak
pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum
atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas,
dan moralitas dari hakim yang bersangkutan (Lilik Mulyadi, 2007: 119).
Putusan bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan terdakwa yang didakwakan
kepadanya jika terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas
(Pasal 191 Ayat (1) KUHAP). Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan
hakim yang baik, mumpuni, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji
dengan empat kriteria dasar pertanyaan (the 4 way test) berupa: 1. Benarkah putusanku ini?
2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan?
3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan?
4. Bermanfaatkah putusanku ini? (Lilik Mulyadi, 2007: 136).
Praktiknya walaupun telah bertitiktolak dari sifat/sikap seseorang Hakim yang
baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik
pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang
tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekuranghati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja
aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam
Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus
mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga
putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan
yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut
diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi
hukum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiverd).
Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum
pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik
fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari
keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan
diperiksa di persidangan.
Menurut Lilik Mulyadi (2007: 139-140), teori lain yang berkaitan dengan dasar
pertimbangan hakim, yaitu dalam mengadili pelaku tindak pidana pemalsuan
dokumen, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan
pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan
teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi
teori-teori sebagai berikut:
a. Teori koherensi atau kosistensi
Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara bukti yang satu
dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan
keterangan saksi yang lain. Atau, saling berhubungan antara keterangan saksi
18
KUHAP). Dalam hal seperti ini dikenal adanya hubungan kausalitas yang
bersifatrasional a priori.
b. Teori korespodensi
Jika ada fakta-fakta di persidangan yang saling bersesuaian, misalnya, antara
keterangan saksi bersesuaian dengan norma atau ide. Jika keterangan saksi
Mr. X menyatakan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Mr. Y
tidak melalui proses lelang tetapi dilaksanakan melalui penunjukan langsung
Perusahaan Z. Persesuaian antara fakta dengan norma ini terlihat dalam
hubungan kuasalitas yang bersifat empirisa pesteriori.
c. Teori utilitas
Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang bergantung pada
manfaat (utility), yang memungkinkan dapat dikerjakan (workbility), memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory result), misalnya, seseorang yang dituduh melakukan korupsi karena melakukan proyek pembangunan jalan yang dalam
kontrak akan memakai pasir sungai, tetapi karena di daerah tersebut tidak
didapatkan pasir sungai, lalu pelaksana proyek itu mempergunakan pasir
gunung yang harganya lebih mahal. Apakah pelaksanaan proyek itu dapat
dipersalahkan melakukan korupsi? Padahal dia tidak memperkaya diri sendiri
atau orang lain, bahkan dia merugi kalau memakai pasir gunung. Kasus seperti
ini dapat diteropong melalui kacamata teori yang ketiga ini, karena
C. Penanggulangan Tindak Pidana
Kebijakan Kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan
berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum
pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka
menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum
pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana
pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan
politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang (Sudarto, 1983: 109).
Menurut E Utrecht dan M. Saleh Djinjang (1982), pelaksanaan dari politik hukum
pidana harus melalui beberapa tahap kebijakan yaitu:
1. Tahap Formulasi
Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan
kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini
dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan
perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang
paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini
20
2. Tahap Aplikasi
Yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh
aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan.
Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta
menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh
pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak
hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap
ini dapat disebut sebagai tahap yudikatif.
3. Tahap Eksekusi
Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkrit oleh aparat-aparat
pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas
menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh
pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan
dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah
ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu
dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan
Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan
nilai-nilai keadilan suatu daya guna.
Ketiga tahap Penegakan Hukum Pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses
rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus
merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang
Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi
yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal)
maupun non hukum pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan
yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan,
berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang (Sudarto,
1983: 109).
Selain itu kebijakan kriminal juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial
(social policy).Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat (social defence policy). Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal
ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan”. Usaha-usaha
yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik
kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu:
1. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal.
Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum
pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu :
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.
22
2. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi
penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu,
namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya
kejahatan (Barda Nawawi Arief, 2003: 158).
Berkaitan dengan pentahapan kebijakan, Barda Nawawi Arief (2003: 173)
menyebutkan bahwa perwujudan kebijakan melalui tiga tahap:
1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang.
2. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana oleh pengadilan, dan
3. Tahap pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana.
Dilihat sebagai satu kesatuan proses, maka tahap kebijakan pertama dapat pula
disebut sebagai tahap kebijakan legislatif yang merupakan tahap paling strategis.
Dari tahap kebijakan legislatif inilah diharapkan adanya suatu garis pedoman
untuk tahap-tahap berikutnya. Kebijakan formulasi hukum pidana ini memang
sepatutnya dikaji karena merupakan tahap paling strategis dari upaya
penanggulangan kejahatan melalui penal policy. Oleh karena itu, kesalahan/ kelemahan kebijakan formulasi dapat dipandang sebagai kesalahan strategis dan
oleh karenanya dapat menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi
efektivitas penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (Barda Nawawi
Arief, 2003).
Upaya penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum)
pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan
pidana merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial(social policy). Kebijakan kriminal dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan merupakan
salah satu kebijakan, selain kebijakan-kebijakan pembangunan lainnya (politik
sosial).
D. Tindak Pidana Psikotropika
Menurut Andi Hamzah (2001: 42), tindak pidana memiliki pengertian perbuatan
yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat
melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan. Tindak
pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang
yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan
dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan
apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan
pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan
Beberapa pasal dalam KUHP yang menyebutkan beberapa jenis tindak pidana
adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia(pasal 2
KUHP)
2) Setiap orang Indonesia yang melakukan kejahatan berdasarkan pasal-pasal
104, 106, 107, 108, dan 131 KUHP (Pasal 4 KUHP)
3) Setiap orang Indonesia yang melakukan kejahatan mengenai mata uang atau
24
meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah
Indonesia (Pasal 4 KUHP)
4) Setiap orang yang melakukan pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang
atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah
Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga,
yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai
pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang
palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu (Pasal 4 KUHP).
5) Setiap orang yang melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dalam
pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal-pasal 447
tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479
huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479
huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan
penerbangan sipil (Pasal 4 KUHP).
6) Warga negara Indonesia yang berada di luar Indonesia yang melakukan salah
satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160,
161, 240, 279, 450, dan 451 KUHP (Pasal 5 KUHP).
7) Warga negara Indonesia yang berada di luar Indonesia yang melakukan salah
satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana (Pasal 5
KUHP).
8) Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut
9) Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan
atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi
kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya
perbuatan itu dilakukan (Pasal 55 KUHP).
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Pasal 1
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika).
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah:
a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan
dan ilmu pengetahuan;
b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. Memberantas peredaran gelap psikotropika
(Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika).
Menurut Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika,
pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan
26
a. Terpenuhinya kebutuhan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan
dan ilmu pengetahuan;
b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. Melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat
menimbulkan gangguan dan/atau bahaya atas penyalahgunaan psikotropika;
d. Memberantas peredaran gelap psikotropika;
e. Mencegah pelibatan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dalam
kegiatan penyalahgunaan dan/atau peredaran gelap psikotropika; dan
f. Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan
teknologi di bidang psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan.
Menurut Dadang Hawari (2002: 7), penyalahgunaan psikotropika adalah
penggunaan salah satu atau beberapa jenis Psikotropika secara berkala atau teratur
diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan
gangguan fungsi sosial. Ketergantungan psikotropika adalah keadaan di mana
telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah
psikotropika yang makin bertambah (toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi
atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom).
Menurut Dadang Hawari (2002: 8), tingkat pemakaian psikotropika adalah:
a. Pemakaian coba-coba (experimental use)
Adalah pemakaian psikotropika yang tujuannya ingin mencoba,untuk
memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti pada tahap ini, dan
b. Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use)
Adalah yaitu pemakaian psikotropika dengan tujuan bersenang-senang, pada
saat rekreasi atau santai. Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap ini,
namun sebagian lagi meningkat pada tahap yang lebih berat
c. Pemakaian Situasional (situasional use)
Adalah pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu seperti ketegangan,
kesedihan, kekecewaan, dan sebagainnya, dengan maksud menghilangkan
perasaan-perasaan tersebut.
d. Penyalahgunaan (abuse)
Adalah pemakaian sebagai suatu pola penggunaan yang bersifat patologik/
klinis (menyimpang) yang ditandai oleh intoksikasi sepanjang hari, tak
mampu mengurangi atau menghentikan, berusaha berulang kali
mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit fisiknya kambuh.
Keadaan ini akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional yang
ditandai oleh: tugas dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan
baik,perilaku agresif dan tak wajar, hubungan dengan kawan terganggu, sering
bolos sekolah atau kerja, melanggar hukum atau kriminal dan tak mampu
berfungsi secara efektif.
e. Ketergantungan (dependence use)
Adalah telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila pemakaian psikotropika
dihentikan atau dikurangi dosisnya. Agar tidak berlanjut pada tingkat yang
lebih berat (ketergantungan), maka sebaiknya tingkat-tingkat pemakaian ini
memerlukan perhatian dan kewaspadaan keluarga dan masyarakat, sehingga
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan
untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan
atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk
memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan
realitas yang ada atau studi kasus (Soerjono Soekanto, 1983: 41).
Berdasarkan pengertian tersebut maka pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris digunakan dalam penelitian ini untuk memahami persoalan mengenai
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK
Tentang Tindak Pidana Psikotropika
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan
penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber
hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder
dalam penelitian ini, terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer bersumber dari:
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
(3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
(4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang
melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang
sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu bahan hukum
sekunder berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/
pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi,
30
C. Penentuan Populasi dan Sampel
1. Populasi
Menurut Soerjono Soekanto (1983: 119), populasi adalah keseluruhan subyek
hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti.
Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang.
2. Sampel
Menurut Soerjono Soekanto (1983: 121), sampel adalah bagian dari populasi
yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk
menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan
teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi
responden/sampel dalam penelitian ini adalah dua orang hakim pada
Pengadilan Negeri Tanjung Karang.
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian
kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku
literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan
b. Studi Lapangan
Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan
wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai
dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah
diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan
data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti
dalam penelitian ini.
b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut
kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang
benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling
berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada
subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.
E. Analisis Data
Menurut Soerjono Soekanto (1983: 121), analisis data adalah menguraikan
data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci
32
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif
dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu
menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis terhadap Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pengedar psikotropika
didasarkan pada unsur kesengajaan (dolus), yaitu pelaku mengetahui bahwa perbuatannya melanggar hukum dan dengan sengaja mengedarkan
psikotropika maka ia harus mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut di
depan hukum. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan terdakwa terdiri
atas tiga syarat, yaitu kemampuan bertanggung jawab atau dapat
dipertanggung jawabkannya terdakwa, adanya perbuatan melawan hukum,
yaitu suatu sikap psikis terdakwa yang berhubungan dengan kelakuannya
yaitu perbuatannya disengaja dan tidak ada alasan pembenar atau alasan
pemaaf yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa.
2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak
pidana pengedar psikotropika terdiri dari hal-hal yang memberatkan, yaitu
60
meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala
perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum
dan terdakwa mempunyai keluarga.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pada masa mendatang hendaknya pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku tindak pidana pengedar psikotropika berorientasi pada pembinaan
kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimana mengembalikan pelaku
pengedar psikotropika untuk tidak mengulangi tindak pidana di masa-masa
yang akan datang.
2. Pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna (bukan pengedar) hendaknya
lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar pencandu tersebut setelah
direhabilitas akan dapat kembali dan diterima dalam kehidupan masyarakat
secara baik serta tidak mengulangi tindak pidana yang merugikan dirinya
(Skripsi)
Oleh
RINALDI SURYA CAESARIO
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7
E. Sistematika Penulisan ... 12
DAFTAR PUSTAKA II TINJAUAN PUSTAKA... 14
A. Putusan Hakim ... 14
B. Dasar Pertimbangan Hakim ... 15
C. Penanggulangan Tindak pidana ... 19
D. Tindak Pidana Psikotropika ... 23
DAFTAR PUSTAKA III METODE PENELITIAN... 28
A. Pendekatan Masalah ... 28
B. Sumber dan Jenis Data ... 28
C. Penentuan Populasi dan Sampel... 30
D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ... 30
E. Analisis Data ... 31
B. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pengedar Psikotropika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
780/Pid/B/2010/PNTK... 34
C. Dasar-Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK... 48
V PENUTUP... 59
A. Kesimpulan ... 59
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Badra Nawawi. 2003.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.
Hamzah, Andi. 2001.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Mulyadi, Lilik. 2007.Kekuasaan Kehakiman,Bina Ilmu, Surabaya.
Moeljatno, 1983.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonsesia,Rineka Cipta, Jakarta. Rahardjo, Satjipto. 1996.Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial
dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983.Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Arief, Barda Nawawi. 2003.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.
Hamzah, Andi. 2001.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Hawari, Dadang, 2002.Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta.
Moeljatno, 1993.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonsesia,Rineka Cipta, Jakarta. Mulyadi, Lilik. 2007.Kekuasaan Kehakiman,Bina Ilmu, Surabaya.
Setiadi, Edi. 1997.Permasalahan dan Asas-Asas Pertanggung Jawaban Pidana. Alumni.Bandung.
Sudarto. 1983.Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung.
Soekanto, Soerjono. 1983.Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Utrecht, E. dan M. Saleh Djinjang. 1982.Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Pradya Paramitha. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono. 1983.Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
i
Oleh
RINALDI SURYA CAESARIO
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
ii
Judul Skripsi :ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG NOMOR 780/PID/B/2010/ PNTK TENTANG TINDAK PIDANA
PSIKOTROPIKA
Nama Mahasiswa :RINALDI SURYA CAESARIO No. Pokok Mahasiswa :0642011327
Bagian :Hukum Pidana
Fakultas :Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Tri Andrisman, SH, MH. NIP. 19611231 198903 1 023
Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP.19620817 198703 2 003
2. Ketua Bagian Hukum Pidana,
iii
1. Tim Penguji
Ketua :Tri Andrisman, S.H., M.H. …………...
Sekretaris/Anggota :Diah Gustiniati, S.H., M.H. …………...
Penguji Utama :Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. …………...
2. Dekan Fakultas Hukum
Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 14 April
1988, merupakan putra kelima dari lima bersaudara, buah hati
pasangan Bapak Hi. Azwar Djajasinga dan Ibu Hj. Pundari
Umar.
Pendidikan formal yang penulis tempuh adalah SD Negeri 2 TELADAN Tanjung
Karang Timur Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2000, SLTP Negeri 25
Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2003, SMA Negeri 12 Bandar
Lampung selesaikan pada tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai
v
Dalam alur kehidupan
manusia mengalami berbagai permasalahan dan setiap permasalahan pasti ada jalan keluar karena Allah SWT tidak akan memberikan cobaan
di luar kemampuan hamba-hambaNya
Orang menjadi dewasa dan bijak dengan terbiasa bersikap, berkata,
atau berpikiran terbaik
Ingat!!! Tua itu pasti tetapi dewasa adalah pilihan
Belajarlah dari pengalaman untuk menempuh masa depan dan jangan pernah kau merasa besar sebab diatas langit masih ada langit Pernah berpikirkah bahwa manusia itu
sangat kecil di mata Allah SWT
vi
PERSEMBAHAN
Bapak dan Ibuku Tercinta
Hi. Azwar Djajasinga dan Hj. Pundari Umar,
yang telah membesarkanku, membimbingku dan senantiasa mendoakan keberhasilanku
Kakak-Kakakku
Batin Yeni, Bung Darma, Abang Ipong, dan Kak Fandi
beserta Kakak Iparku Yetti Anggraini, Putri Amalia dan Diliana Suwandi yang telah memberikan dukungannya
Keponakan-Keponakanku
Nazwa, Rayhan dan Nizam yang kusayangi
vii
Puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya dengan
kehendak dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul: ”Analisis Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan
terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati, SH, MH., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembimbing II Skripsi ini.
Terimakasih atas bimbingan, masukan dan sarannya kepada penulis selama
viii
3. Bapak Tri Andrisman, SH., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembimbing I Skripsi ini
Terimakasih atas bimbingan, masukan dan sarannya kepada penulis selama
proses bimbingan skripsi.
4. Bapak Gunawan Jatmiko S.H, M.H, selaku Penguji Skripsi, atas masukan dan
saran yang diberikan kepada penulis demi perbaikan skripsi.
5. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan
ilmu kepada penulis selama menempuh studi.
6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.
7. Kepala Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, yang telah memberikan
izin dan memberikan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian.
8. Bapak “Azwar Djajasinga”, Ibu “Pundari Umar”, Batin, Bung, Abang, dan
Kakak atas dukungan material maupun moril, semangat, doa, dan selalu
memberikan yang terbaik dalam hidupku.
9. Kepada teman-teman, khususnya angkatan 2006 dan 2007, Jevi, Ari Wijaya,
Nanda, Ade, Boy, Deni, Langgir, Boni, Nando, Popoy, Otto, Goceng,
Gembel, Mbie. Tetap semangat melanjutkan perjuangan, terima kasih atas
dukungan serta semangatnya.
10. Kepada sahabat-sahabatku di ELEGANTE Lampung Community, Ayi, Adi,
Buncit, Akew, Rindo, Doni, Monda, Bendot, Apoy, dan Nai. serta yang
lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan
ix
mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bandar Lampung, Februari 2012
Penulis