• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor 1849) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor 1849) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis)

Klasifikasi ikan Tongkol Komo menurut Collette, dkk., (2011) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Scombridae Genus : Euthynnus Spesies : Euthynnus affinis

Sinonim : Euthynnus yaito, Thynnus affinis, Wanderer wallisi

Nama umum : Tongkol Komo, Kawakawa, Eastern Little Tuna, Black Skipjack, Mackerel Tuna, Oceanic Bonito, Bonito (Gambar 2.)

(2)

Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis), juga dikenal sebagai tuna kecil, dari family Scombridae yang meliputi tongkol, tuna dan cakalang (bonito). Ikan Tongkol Komo memiliki bentuk tubuh fusiform, memanjang dan penampang lintangnya membundar. Bentuk tubuh yang demikian memungkinkan ikan berenang dengan sangat cepat. Bentuk kepala meruncing, mulut lebar dan miring ke bawah dengan gigi yang kuat pada kedua rahangnya, serta tipe mulut terminal. Bentuk sisiknya sangat kecil dan termasuk tipe stenoid. Pada batang ekor ikan terdapat 3 buah “keel” (rigi-rigi yang bagian tengahnya mempunyai puncak yang

tajam). Keel tengah berbentuk memanjang dan tinggi dibandingkan dengan dua keel lain yang mengapitnya (Fishbase, 2014).

Ikan Tongkol Komo adalah tuna kecil khas bergaris-garis gelap dengan pola pada punggung dan bintik-bintik gelap 2-5 di atas sirip ventral. Ini dapat dibedakan dari spesies yang sama dengan pola bergaris dengan bintik-bintik dan jika dibedakan dengan Tongkol krai/tongkol abu (Auxis thazard), kurangnya ruang antara sirip dorsal. Ikan Tongkol Komo dapat tumbuh dengan panjang cagak (FL) 100 cm dan sekitar 20 kg bobot badan tetapi lebih sering sekitar 60 cm dan 3 kg. Makanan mereka adalah ikan kecil, khususnya clupeids (ikan haring, pilchards) dan silversides, serta cumi-cumi, krustasea dan zooplankton. Predator mereka termasuk billfish dan hiu (NSW Government, 2008).

(3)

bagian ventral terang, dinamakan counter shading sebagai salah satu upaya penyamaran (Fishbase, 2014).

Habitat dan Distribusi Ikan Tongkol Komo

Ikan Tongkol Komo merupakan ikan pelagis, spesies yang mendiami perairan neritik suhu berkisar 18–29°C Seperti scombridae lainnya, E. affinis

cenderung membentuk gerombolan multispesies berdasarkan ukuran, yaitu dengan Thunnus albacares, Katsuwonus pelamis, Auxis sp., dan Megalaspis cordyla (carangidae), yang terdiri dari 100 sampai lebih dari 5000 spesies.

Meskipun ikan matang secara seksual mungkin ditemui sepanjang tahun, ada puncak pemijahan musiman bervariasi sesuai dengan daerah: contohnya Maret-Mei di perairan Filipina; selama periode Monsun Timur Laut (Northeast Monsoon) (Oktober-November-April-Mei) sekitar Seychelles; dari tengah periode Monsun Timur Laut (Northeast Monsoon) ke awal Monsun Tenggara (Southeast Monsoon) (Januari-Juli) dari Afrika Timur; dan dari bulan Agustus sampai Oktober di Indonesia (FAO, 2014).

(4)

Ikan Tongkol Komo adalah spesies pelagis besar yang ditemukan di perairan tropis Indo-Pasifik (Gambar 3). Meskipun juga menghuni perairan laut, ikan Tongkol Komo lebih memilih untuk tetap dekat dengan pantai dan ukuran juvenil bahkan ditemukan di teluk dan pelabuhan. Ini adalah spesies yang beruaya dan sering membentuk gerombolan besar yang sering bercampur dengan spesies scombridae lainnya (NSW Government, 2008).

Gambar 3. Peta Sebaran Ikan Tongkol Komo (FAO, 2014)

(5)

Alat Tangkap

Terdapat 6 alat tangkap yang menangkap ikan pelagis besar yaitu payang, pukat cincin, Gill net, bagan tancap, rawai tetap dan pancing tonda. Namun berdasarkan pendekatan General Linier model berdasarkan urutan alat tangkap yang memangkap ikan Tongkol Komo adalah rawai tetap, gill net, pancing tonda, pukat cincin, payang dan bagan tancap (Lelono, 2011).

Purse Seine (Pukat Cincin)

(6)

Gambar 4. Cara Kerja Alat Tangkap Pukat cincin (Dirjen KKP, 2015) Pukat cincin adalah alat (gear) yang digunakan untuk menangkap ikan-ikan “pelagic shoaling species” yang berarti ikan-ikan-ikan-ikan tersebut haruslah

(7)

Gillnet (Jaring Insang)

Jaring insang adalah suatu alat tangkap yang berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat ris atas dan pemberat ris bawah. Besar mata jaring disesuaikan dengan sasaran yang akan ditangkap. Jaring ini terdiri dari satuan-satuan jaring yang biasa disebut tinting (piece). Dalam operasi penangkapan jaring insang terdiri dari beberapa tinting yang digabung menjadi satu sehingga merupakan satu perangkat (unit) yang panjang. Jaring insang termasuk alat tangkap selektif, besar mata jaring dapat disesuaikan dengan ukuran ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus, 1989 dalam Aprillia, 2011). Alat tangkap jaring insang dapat dilihat pada Gambar 5.

(8)

Long Line (Pancing Rawai)

Hasil tangkapan pancing rawai bisa berupa ikan kerapu, kembung, tongkol dan lainnya. Pancing rawai adalah alat tangkap pancing yang berjumlah 400 mata pancing. Pengoperasian dilaksanakan pada siang dan malam, pada saat siang hari disebut perlakuan pertama, kemudian pada malam hari adalah perlakuan berikutnya, dilakukan secara bergantian siang dan malam. Sementara untuk mengetahui perbedaan jenis umpan, pada waktu siang hari pengoperasian pancing menggunakan umpan ikan juwi kemudian juga menggunakan umpan udang putih, begitu juga pada malam hari dilakukan perlakuan yang sama, sehingga dapat diketahui hasil tangkapan terbanyak dapat tertangkap dengan perbedaan waktu pengoperasian dan umpan yang sudah ditentukan. Umpan ikan juwi dan umpan udang putih kemudian diikatkan pada mata pancing (Rikza, dkk., 2013). Pengoperasian alat tangkap rawai dapat dilihat pada Gambar 6.

(9)

Hubungan Panjang dan Bobot

Dalam biologi perikanan, hubungan panjang bobot ikan merupakan salah satu informasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumberdaya perikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar ikan–ikan yang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap (Vanichkul dan Hongskul (1966) diacu oleh Merta (1993). Lebih lanjut Richter (2007) dan Blackweel (2000) yang diacu oleh Mulfizar, dkk., (2012), menyebutkan bahwa pengukuran panjang bobot ikan bertujuan untuk mengetahui variasi bobot dan panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompok–kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, produktifitas dan kondisi fisiologis termasuk perkembangan gonad. Analisa hubungan panjang bobot juga dapat mengestimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness, yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan

untuk membandingkan kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu.

(10)

Hubungan panjang dan bobot hampir mengikuti hukum kubik, yaitu bobot ikan merupakan hasil pangkat tiga dari panjangnya, nilai pangkat (b) dari analisis tersebut dapat menjelaskan pola pertumbuhan. Nilai b yang lebih besar dari 3 menunjukkan bahwa tipe petumbuhan ikan tersebut bersifat allometrik positif, artinya pertumbuhan bobot lebih besar dibandingkan petumbuhan panjang. Nilai b lebih kecil dari 3 menunjukkan bahwa tipe pertumbuhan ikan bersifat allometrik negatif, yakni pertumbuhan panjang lebih besar daripada pertumbuhan bobot. Jika nila b sama dengan 3, tipe pertumbuhan ikan bersifat isometrik yang artinya pertumbuhan panjang sama dengan petumbuhan bobot. Tipe pertumbuhan memberikan informasi mengenai baik atau buruknya pertumbuhan ikan yang hidup di lokasi pengamatan, sehingga akan ada gambaran mengenai ekosistem yang sesuai atau tidak untuk tempat ikan tersebut (Effendie, 1979).

Pertumbuhan

(11)

Pola pertumbuhan dapat memberikan informasi tentang hubungan panjang bobot dan faktor kondisi ikan, merupakan langkah utama yang penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan. Pola pertumbuhan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sangat bermanfaat dalam penentuan selektivitas alat tangkap agar ikan-ikan yang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap (Mulfizar, dkk., 2012).

Pertumbuhan merupakan proses utama dalam hidup ikan, selain reproduksi. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran ikan dalam jangka waktu tertentu, ukuran ini bisa dinyatakan dalam satuan panjang, bobot maupun volume. Ikan bertumbuh terus sepanjang hidupnya, sehingga dikatakan bahwa ikan mempunyai sifat pertumbuhan tidak terbatas (Rahardjo, dkk., 2011).

Secara umum pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu keturunan (genetik), jenis kelamin, parasit dan penyakit. Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut (Weatherley, 1972 yang diacu oleh Tutupoho, 2008).

(12)

seperti ketahanan hidup, laju pertumbuhan, dan umur ikan saat matang gonad (Rounsefell dan Everhart 1962 yang diacu oleh Syahrir 2013).

Seperti telah dikemukakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor ini dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada juga yang tidak. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol, diantaranya ialah keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Dalam suatu kultur, faktor keturunan mungkin dapat dikontrol dengan mengadakan seleksi untuk mencari ikan yang baik pertumbuhannya. Faktor luar utama yang mempengaruhi pertumbuhan ialah makanan dan suhu perairan. Namun dari kedua faktor itu belum diketahui faktor mana yang memegang peranan lebih besar (Effendie, 2002). Royce (1973) dalam Febriani (2010) menyatakan kombinasi dari kedua faktor ini biasanya sangat berpengaruh di daerah perairan temperate atau wilayah artik yang membeku pada musim dingin. Hal ini dikarenakan ketika suhu mendekati 0°C maka aktivitas metabolisme dan pertumbuhan bersifat minimal.

(13)

Faktor Kondisi

Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokkan ikan dengan angka. Faktor kondisi ini disebut juga Ponderal’s index (Legler 1961 yang diacu oleh Effendie 1979). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi. Satuan faktor kondisi sendiri tidak berarti apapun, namun kegunaanya akan terlihat jika dibandingkan dengan individu lain atau antara satu kelompok dengan kelompok lain. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot ikan. Variasi nilai faktor kondisi bergantung pada makanan, umur, jenis kelamin, dan kematangan gonad. Faktor kondisi yang tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam tahap perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi yang rendah mengindikasikan ikan kurang mendapat asupan makanan (Effendie 1979).

(14)

Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Mortalitas dapat terjadi karena adanya aktifitas penangkapan yang dilakukan manusia dan alami yang terjadi karena kematian akibat predasi, penyakit, dan umur. Laju mortalitas total (Z) ikan jantan lebih besar dibanding ikan betina sehingga stok ikan jantan lebih rentan dibandingkan ikan betina. Sementara laju mortalitas alami (M) ikan betina lebih besar dibanding dengan ikan jantan, hal tersebut karena laju pertumbuhan (K) ikan betina lebih besar daripada ikan jantan. Perbedaan laju mortalitas diakibatkan karena perbedaan nilai L∞ dan K. Selain itu mortalitas alami juga disebabkan akibat pemangsaan,

penyakit, stress, pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre dan Venema 1999). Laju mortalitas alami yang tidak sama antara ikan jantan dan betina mengakibatkan komposisi antar ikan jantan dan betina yang berbeda. Perbedaan laju mortalitas, pertumbuhan, dan tingkah laku bergerombol antar jantan dan betina mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah jantan dan betina (Putri, 2013).

Gambar

Gambar 2. Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis)
Gambar 3. Peta Sebaran Ikan Tongkol Komo (FAO, 2014)
Gambar 4. Cara Kerja Alat Tangkap Pukat cincin (Dirjen KKP, 2015)
Gambar 5. Alat Tangkap Jaring Insang (PERMEN 8, 2008)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain: kondisi geografis Kabupaten Sukabumi, jumlah produksi dan nilai produksi hasil hasil tangkapan ikan selama

Rekomendasi pengelolaan yang disarankan untuk biologi reproduksi ikan tongkol di perairan Selat Sunda sebagai bahan masukan dalam penetapan kebijakan bagi dinas

Hal ini diperkuat oleh Anjani (2010), yang menyatakan bahwa Analisis hubungan panjang berat ikan tongkol (A. thazard) yang pernah dilakukan di Cilauteureun Jawa Barat

Pertumbuhan ikan dapat dimodelkan dengan kurva regresi non linier VBGF sehingga ukuran panjang ikan pada saat umur tertentu ( length at age atau L t , satuan cm) dapat

Kisaran panjang cagak ikan tongkol komo hasil tangkapan pukat langgai (purse seine) di Selat Malaka 16-60 cmFL dan rerata 38 cmFL lebih sempit dibandingkan hasil tangkapan di

Berdasarkan analisis sensitifitas dimensi ekologi dengan metode analisis Laverage yang terlihat pada (Gambar 16), diperoleh dua atribut yang sensitif terhadap nilai

Pada ikan pelagis kecil diberi nilai ektrem (E) kemungkinan pasti terjadi masalah, jika kondisi ikan pelagis kecil yang merupakan makanan dari ikan tongkol

Perkiraan laju kematian alami (M) tongkol komo di Perairan Barat Sumatera sebesar 1,07 cenderung lebih tinggi dari pada lokasi lainnya di Samudera Hindia, kecuali di