1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan atau inflamasi pada lapisan lambung. Gastritis berbeda dengan dispepsia,yang merupakan suatu sindroma klinis. Sementara gastritis adalah diagnosis yang bisa ditegakkan secara histologis, bukan diagnosis klinis. Gastritis merupakan proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung sebagai respon terhadap jejas (injury) yang dapat bersifat akut maupun kronik dimana faktor-faktor proinflamasi,atau disebut dengan sitokin, teraktivasi dan menyebabkan terjadinya inflamasi mukosa . Infeksi dengan kuman Helicobacter pylori merupakan penyebab tersering gastritis kronik aktif di seluruh dunia. Sementara gastritis kimiawi seperti akibat NSAID merupakan faktor resiko terpenting nomor 2 terjadinya ulkus peptikum setelah gastritis H.pylori.1
Berdasarkan penelitian WHO (Word Health Organization) dilaporkan prevalensi gastritis dibeberapa negara sebagai berikut : Inggris 22%,China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35% dan Perancis 29,5%. Sekitar 1,8-2,1 juta penduduk mengalami gastritis setiap tahunnya
Helicobacter pylori memegang peranan penting terjadinya gastritis dan ulkus peptikum. Infeksi Helicobacter pylori (H.pylori) diperkirakan terjadi pada 50% populasi di dunia di mana sebagian besar infeksi tersebut terjadi di negara-negara berkembang yaitu sebesar 70-90% dan hanya 40-50% di negara-negara industri. Gastritis terkait NSAID ini juga merupakan masalah medis yang sering dijumpai di praktek klinis. Sekitar 11% populasi US mengalami masalah ini. Prevalensi
H.pylori di negara barat terus menurun dan ini disebabkan perbaikan standar hidup, higiene yang baik, tingkat kepadatan yang rendah, dan penggunaan antibiotik. Sementara di Asia, tingkat infeksi H.pylori sangat tinggi, termasuk di Indonesia.2,3,4
2 Gastritis kronis yang berkepanjangan beresiko menjadi atrofi dan metaplasia pada mukosa lambung yang mengarah terjadinya karsinoma gaster. Gastroskopi dan biopsi jaringan lambung merupakan metode skrining yang paling akurat dalam melihat derajat keparahan gastritis dan menilai resiko terjadinya metaplasia. Tetapi tindakan ini bersifat invasif dan tidak sedikit pasien yang menolaknya.5,6
Keragaman genetic memainkan peranan di dalam variasi genotype dari
H.pylori,yang mana hal ini akan menghasilkan virulensi khusus dengan berbagai patogenisitas. Patogenisitas H.pylori ditentukan oleh 2 hal yaitu faktor virulensi dan daya tahan tubuh penderitanya. H.pylori membawa faktor virulensi yang berbeda seperti urease, flagellar, vacuolating cytotoxin A,dan cytotoxin associated gene A (CagA), yang memegang peranan penting dalam invasi, kolonisasi dan proliferasi. Berkaitan dengan virulensi, bakteri ini mampu menghasilkan sejenis protein yang telah lama dianggap sebagai suatu marker karena ditemukan tingginya antibody terhadap protein tersebut pada kasus ulkus peptikum dan adenocarcinoma gaster. Protein ini kita kenal dengan CagA yang juga dikaitkan pada peningkatan inflamasi, proliferasi sel, dan metaplasia mukosa gaster. CagA dapat mengaktifkan sejumlah jalur transduksi yang menyerupai sinyal yang dilepaskan oleh reseptor faktor pertumbuhan,terjadi secara terus-menerus, terlibat pada ikatan dan menggangu epithelial junction sehingga menghasilkan kelainan pada tight junction, polaritas sel dan difrensiasi sel.14,15,16
Studi sebelumnya melaporkan prevalensi tinggi (93,9%) dari CagA (+)
H.pylori di Cina. Menurut Hou et al., H.pylori CagA memiliki prevalensi tinggi 93,2% di Shanghai (Bagian selatan Cina). Negara-negara tetangga China juga dilaporkan memiliki prevalensi tinggi CagA; misalnya, India memiliki prevalensi CagA tinggi 96,2%. Rasheed et.al. melaporkan bahwa 52% dari strain H. pylori dilakukan gen CagA (+) dari 80% di GC, 74% di GU, 63% di ulkus duodenum (DU), dan 11% dalam kasus normal dari Pakistan. Sebaliknya, di Eropa Barat, CagA (+) strain kurang lazim dan lebih sering ditemukan di GU atau pasien GC.
3 Berdasarkan informasi di atas disusunlah penelitian ini untuk mengetahui hubungan status virulensi CagA pada H. pylori dengan derajat keparahan gastritis berdasarkan histopatologi.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan H.pylori CagA (+) dan CagA (-) dengan derajat keparahan gastritis berdasarkan histopatologi?
1.3 Hipotesis Penelitian
Derajat keparahan gastritis secara histopatologi lebih berat pada pasien gastritis H.pylori CagA (+) dibandingkan CagA(-).
1.4Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan H.pylori CagA (+) dan CagA (-) dengan derajat keparahan gastritis berdasarkan histopatologi.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui prevalensi gastritis H. pylori CagA (+) dan CagA (-).
2. Mengetahui prevalensi derajat keparahan gastritis berdasarkan histopatologi 3. Mengetahui hubungan status CagA H.pylori dengan derajat inflamasi kronik,
infiltrasi neutrofil, atrofi, dan metaplasia intestinal.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi ilmu pengetahuan : untuk menambah wawasan mengenai hubungan status virulensi CagA H.pylori dengan derajat keparahan gastritis berdasarkan histopatologi.
2. Bagi masyarakat :untuk pemeriksaan dini mendeteksi gastritis yang dihubungkan dengan proses pre malignansi pada lambung
3. Bagi penelitian : menjadi landasan penelitian selanjutnya.
4 1.6 Kerangka Konsepsional
Variabel independen pada penelitian ini adalah CagA (+) dan (-) H.pylori dan variabel dependen adalah Histopatologi (derajat inflamasi kronik, derajat infiltrasi neutrofil, derajat atrofi, dan derajat metaplasia intesinal).
Gastritis
H.pylori
Variabel Independe
n