• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Gereja dalam Pendidikan Keluarga Muda di Gereja Kristen Jawa Manahan Klasis Kartasura T2 752014025 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Gereja dalam Pendidikan Keluarga Muda di Gereja Kristen Jawa Manahan Klasis Kartasura T2 752014025 BAB IV"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

TANGGUNG JAWAB GEREJA

DALAM PENDIDIKAN ORANG DEWASA DAN

PENDIDIKAN BAGI PERKEMBANGAN KELUARGA MUDA DI GKJ MANAHAN KLASIS KARTASURA

Untuk menjawab pertanyaan bagaimana tanggung jawab gereja dalam

pendidikan keluarga muda yang dilaksanakan di gereja Kristen jawa Manahan

Klasis Kartasura maka diperlukan analisa. Analisa tersebut dilakukan dengan

menilai hasil penelitian pada bab III dengan menggunakan barometer teori yang

dipaparkan pada bab II tentang Pendidikan Agama Kristen Untuk Dewasa dan

mengenai teori perkembangan usia dewasa muda. Oleh karena itu, dalam bab ini

analisa akan diuraikan sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas.

IV.1.Tanggung Jawab Gereja Dalam Pendidikan

Sesuai dengan tugas panggilan gereja yang terdapat dalam Tata Gereja GKJ1 mulai pasal 38 tentang Tugas Pemeliharaan Keselamatan

“Salah satu tugas panggilan Gereja sebagai buah dan sekaligus alat keselamatan Allah yang berpusat di dalam diri Yesus Kristus atas manusia adalah pemeliharaan keselamatan”

Dalam pasal 39 tentang Hakikat Pemeliharaan Keselamatan

“Hakikat pemeliharaan keselamatan adalah segala upaya Gereja melaksanakan perintah Tuhan Yesus Kristus untuk menggembalakan orang-orang yang telah menerima keselamatan”

1 Sinode GKJ, Himpunan PPA GKJ, Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ , Peraturan Pembimbingan

(2)

Dalam pasal 40 tentang Tujuan Pemeliharaan Keselamatan

“Tujuan pemeliharaan keselamatan adalah upaya Gereja melaksanakan penggembalaan warga gereja, agar dalam perjalanan hidupnya yang penuh dengan pencobaan dapat mencapai keselamatan yang sempurna yaitu persekutuan dengan Allah dalam kemuliaan-Nya di sorga.”

Jadi tugas pemeliharaan keselamatan itu adalah upaya gereja dalam

melaksanakan perintah Tuhan Yesus untuk menggembalakan warga gereja,

agar dalam perjalanan hidupnya dapat mencapai keselamatan sempurna.

Tentunya, untuk melakukan tugas penggembalaan dengan baik perlu

dipikirkan hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan atau pendidikan yang

terstruktur, sistematis dan berkesinambungan. Selaras dengan itu dalam

Kolose 11:28, bahwa gereja harus menolong jemaat untuk bertumbuh

kearah kedewasaan dalam Kristus. Demikian pula dalam Efesus 4:12-13,

gereja harus melayani jemaat agar pembangunan Tubuh Kristus terlaksana

seperti apa yang dikehendaki Tuhan.

GKJ Manahan telah berusaha melaksanakan tugas tersebut dengan

jalan membuat Rencana Strategis Gereja tahun 2012-2016. Langkah

pertama yang dilakukan adalah dengan menetapkan visi dan

menjabarkannya kedalam beberapa misi yang bertujuan mendorong jemaat

bertumbuh dewasa dalam iman dan kasih. Sedangkan untuk menjalankan

misi tersebut telah dibuat pula tema-tema tahunan termasuk didalamnya

setiap program yang dibuat oleh komisi. Tidak hanya itu, melalui rentra

(3)

dengan melihat kebutuhan warga gereja dengan harapan semua komponen

gereja tumbuh dan dapat dirasakan kehadirannya ditengah masyarakat.

Secara umum, tanggung jawab gereja dalam mendidik warga gereja

telah terlaksana dengan baik melalui program-program yang dilakukan oleh

komisi-komisi yang ada, seperti dalam bentuk ibadah, liturgi, pembinaan

secara insidental dan kategorial. Program yang disusun tidak hanya bersifat

rutin, namun juga bersifat pembinaan dan mengembangkan jejaring dengan

mempertimbangkan minat, bakat dan kemampuan warga gereja untuk ambil

bagian dalam tanggung jawab gereja.

Namun demikian, untuk program pembinaan atau pendidikan kepada

warga dewasa belum maksimal dijalankan oleh Majelis Gereja. Belum

maksimalnya tanggung jawab gereja dalam mendidik warga dewasa

khususnya kepada warga dewasa muda disebabkan oleh beberapa faktor:

1. Gereja sebagai organisasi belum dapat menjalankan tata organisasinya

secara “luwes” (Fleksibel), tetapi masih sebagai organisasi yang beku

dan kaku. Berdasarkan pada sistem pemerintahan yang digunakan oleh

GKJ yang presbiterial sinodal yang memungkinkan setiap presbyteros

untuk mengatur dan melaksanakan tugas pelayanan berdasarkan

kebutuhan jemaat setempat tanpa meninggalkan asas kebersamaan

ditingkat Klasikal maupun Sinodal. Selain itu dengan sistem

pemerintahan ini dimungkinkan keterlibatan warga jemaat yang

sebesar-besarnya untuk memenuhi panggilan pelayanan. Maka, dalam

(4)

Artinya, program dan kegiatan serta pokok bahasan tidak dijadwalkan

kaku. Bahkan, bagi sebagian jemaat, hal itu lebih banyak bergantung

pada pimpinan Roh Kudus.2 Namun dalam kenyataannya tidak demikian, dalam hal pembuatan program, pengambilan keputusan,

penggunaan anggaran yang bersifat mendesak, masih harus berhadapan

dengan tatanan birokrasi yang kaku. Konsekuensi dari sistem

presbiterial sinodal adalah semua keputusan yang menyangkut hal

”prinsip” harus melalui persidangan Gerejawi terlebih dahulu baru

diberlakukan. Hal ini berlaku juga pada hal-hal yang tidak “prinsip”

seperti penggunaan anggaran yang tidak terlalu banyak, penanganan

terhadap kegiatan yang diprogramkan dan barangkali perlu ada

perubahan dan penambahan oleh komisi, harus selalu dikonsultasikan

kepada Majelis dalam sidang Majelis Gereja. Akibatnya, mekanisme

mengambil kebijakan terlalu lama dan lemah.

2. Sumber Daya Manusia (SDM) majelis gereja kurang memadai.

Seringkali terdengar ungkapan di kalangan warga gereja “Yang mau

menjadi majelis gereja bukan orang-orang yang mampu tetapi hanya

orang-orang yang penting mau”. Ungkapan ini hampir benar adanya,

kebanyakan mereka yang menjadi majelis gereja umumnya adalah

orang-orang yang sudah mulai memasuki usia senja (usia pensiun),

orang yang berpendidikan rendah, orang yang bekerja serabutan.

Sedangkan mereka yang berpendidikan tinggi, mempunyai pekerjaan

(5)

baik, orang-orang usia produktif masih belum mau terlibat untuk

melayani gereja dengan alasan kesibukan di dunia kerja. Selain itu,

jangka waktu jabatan Majelis gereja ditentukan oleh periodisasi,

sehingga jika waktu pelayanan selesai maka akan digantikan dengan

orang baru yang harus beradaptasi kembali terhadap kegiatan, pola

pelayanan dan program gereja yang sedang dikembangkan. Sistem yang

dibangun di gereja sampai saat ini belum sepenuhnya dilihat sebagai

aturan yang harus dipatuhi dan disepakati oleh siapapun sekalipun harus

berganti orang.

3. Pemahaman Majelis Gereja tentang pembinaan atau pendidikan warga

gereja yang berhubungan dengan PAK dan khususnya PAK dewasa

pada umumnya masih kurang. Beberapa pemahaman tersebut

diantaranya PAK adalah metode pengajaran yang hanya cocok

diterapkan di sekolah-sekolah tidak digereja, sehingga gereja tidak

perlu menerapkan PAK di gereja; jika dilakukan pembinaan kepada

orang dewasa dianggap sama metodenya dengan pembinaan usia

lainnya. Sehingga dari dua pemahaman tersebut, dapat dipahami jika

pendidikan yang dijalankan terkesan seadanya, tanpa ada upaya untuk

mengembangkan sesuai dengan prinsip pendidikan bagi orang dewasa.

Pendidikan kepada warga dewasa berbeda sama sekali, karena orang

dewasa berbeda dalam banyak hal dengan anak-anak. Seharusnya

(6)

berbagai dimensi, bentuk atau pendekatan namun tidak demikian yang

terjadi.

4. Terdapat paradigma yang masih kuat baik dikalangan Majelis Gereja,

pengurus komisi maupun sebagian besar warga gereja, bahwa

pelayanan yang dilakukan cukup untuk membangun iman, hal ini lebih

penting daripada yang lain. Sehingga majelis gereja lebih terfokus pada

melayani jemaat dengan tujuan tersebut sehingga kecenderungan

memisahkan yang teologi dan yang non teologi cukup besar. Padahal

dengan perubahan yang cukup pesat sekarang ini, pembinaan iman

perlu dilengkapi dengan pembinaan yang berkaitan dengan kebutuhan,

tanggung jawab dan masalah yang sedang dihadapi, sehingga iman pun

mampu menjawab tantangan yang terjadi setiap hari.

5. Dalam bidang PWG terdapat KWD yang dibentuk oleh Sinode GKJ

dalam keputusan sidang Sinode GKJ XXI tahun 1994. Pemahaman Para

Pendeta dan Majelis Gereja tentang latar belakang dan tujuan

pembentukan KWD yang dibentuk oleh Sinode masih kurang.

Keputusan Sinode untuk mengganti Komisi Wanita Jemaat (KWJ)

menjadi KWD didasari oleh beberapa pertimbangan yaitu pertama,

peningkatan pemahaman dan perwujudan Kemitraan Pria-Wanita dan

yang kedua, peningkatan kualitas pembinaan pria-wanita dan yang

ketiga, jika dihubungkan dengan pembinaan kategorial terjadi

kehilangan satu masa pertumbuhan manusia yang harus dibina.

(7)

setelah itu baru warga usia lanjut. Namun dalam kurun waktu yang

cukup lama, justru kaum perempuan yang lebih nyata keberadaannya,

sedangkan kaum laki-laki tidak terlibat dalam kegiatan gereja dalam

kegiatan orang dewasa. Lebih memprihatinkan lagi seperti yang

ditegaskan oleh Deputat Sinode GKJ XXI, Pdt. Retno Ratih3, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh KWJ hanya mengadaptasi kegiatan-kegiatan

Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Sayangnya, setelah ada

perubahan dari KWJ menjadi KWD, nuansa kegiatannya tetap sama

sebagai KWJ termasuk personalia pengurus KWD masih di dominasi

oleh kaum wanita dan bahkan para warga lanjut usia. Termasuk

didalamnya program-program yang direncanakan.

6. Dalam setiap program yang direncanakan oleh PWG khususnya di

Komisi Warga Dewasa belum sepenuhnya melibatkan orang dewasa.

Padahal orang dewasa harus mempunyai bagian yang kuat dalam

menentukan tema program atau keseluruhan PAK Dewasa.4 Seandainya program tersusun, namun materi yang berhubungan dengan PAK

Dewasa kurang dipersiapkan dengan baik dan bertanggung jawab.

Bahkan Akibatnya, persekutuan yang telah dibentuk dengan banyak

anggota diawal perjumpaan, lama-kelamaan semakin menyusut.

7. Paradigma tentang orang dewasa tidak lagi memerlukan pendidikan,

tidak hanya jamak ditemui dalam masyarakat Indonesia, tetapi juga

terjadi ditengah jemaat. Program-program yang disusun lebih banyak

3 Wawancara dengan Pdt. Retno Ratih Suryaning Handayani, di Pastori I GKJ Manahan, pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2015, pada pukul 16.00 WIB

(8)

bersifat monolog (seperti: kebaktian padang, persekutuan, kebaktian

kebangunan rohani, ibadah alternatif, dsb) daripada yang dialog.

(seperti:sarasehan, ceramah, pelatihan, dsb).

8. Setiap pembuatan program gereja tidak disertai hasil dari evaluasi

program-program sebelumnya. Evaluasi yang dimaksud bukan hanya

berkaitan dengan terlaksananya program tersebut atau tidak, tidak

hanya dilihat dari jumlah kehadiran warga gereja, tidak hanya dari

keterserapan dana yang diberikan oleh Majelis gereja, namun yang

lebih penting adalah mengetahui kebutuhan yang sesuai dan mengetahui

pertumbuhan warga gereja dalam kedewasaan iman dan tanggung

jawabnya.

9. Warga GKJ Manahan khususnya bagi keluarga muda cenderung tidak

lagi tinggal di wilayah pembagian kelompok pelayanan yang sudah ada.

Tempat tinggal mereka cenderung di pinggiran wilayah kota solo.

Tempat tinggal yang jauh tersebut hampir sebagian besar bukan karena

keinginan pribadi tetapi karena beberapa faktor seperti hunian di kota

solo sudah semakin padat, harga perumahan diluar kota solo yang jauh

lebih murah, pekerjaan, mengikuti suami. Sehingga dengan kondisi

yang demikian, Majelis Gereja mengalami kesulitan untuk memberikan

pelayanan yang maksimal dan kesulitan untuk mengadakan kegiatan

secara rutin karena jangkauan yang cukup luas.

Gereja adalah ladang yang subur bagi pengembangan kehidupan iman,

(9)

peran besar mengupayakan diri untuk menjadi tempat bertumbuhnya

kehidupan jemaat secara maksimal dan utuh. Dalam kaitannya dengan

pendidikan iman Kristen, tugas mendidik warga gereja adalah bagian yang

sentral dalam menjalankan panggilan Tuhan. Ruang lingkup PAK

mencakup semua bentuk pelayanan pendidikan dan/atau pembinaan Kristen

untuk semua lapisan usia yang menjadi tanggung jawab dan

diselenggarakan oleh gereja secara teratur, bertujuan, dan terus menerus.5

Demikian pula hal itu berlaku bagi PAK Dewasa di gereja.

Oleh karenanya, Pendidikan Warga Gereja sangat penting

dilakukan sebagai sarana menumbuhkan dan memperlengkapi jemaat agar

gereja secara kesatuan bertumbuh ke arah kedewasaan dalam Kristus dan

pembangunan tubuh Kristus tercapai sesuai dengan panggilan gereja.

Selain itu menolong warga gereja menjalankan panggilannya dalam

keseimbangan antara membangun jemaat dan melayani masyarakat.6

Andar Ismail, dalam bukunya “Awam dan Pendeta”, Mitra Membina

Gereja, mengatakan bahwa setiap orang percaya diberi mandat oleh Allah

untuk melayani orang-orang lain, untuk mengekspresikan imannya dalam

tindakan sosial yang bermanfaat dan dengan demikian

mengkomunikasikan kekuasaan Injil7 Artinya bahwa pengajaran ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi sosial dan eklesiologis yang

5 Borrong, Robert P., dkk (Ed), Berakar didalam Dia dan Dibangun diatas Dia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), 108

6 Institut Oikumene Indonesia, Pembinaan Warga Gereja Memasuki Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 94

(10)

mendalam. Secara sosial, tidak ada perbedaan mendasar antara

orang-orang Kristen yang saleh dan sekuler, antara orang-orang awam dan rohaniwan.

Semua mempunyai kewajiban yang sama untuk menerima panggilan

Tuhan. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama yang dibangun terus

menerus di dalam kehidupan orang-orang percaya untuk mewujudkan

panggilannya bagi dunia. Kerjasama yang dibangun terus menerus dalam

konteks pendidikan warga gereja dewasa hendaknya mempertimbangkan

keterlibatan orang dewasa dalam merencanakan, menjalankan dan

mengevaluasi kegiatan yang dilakukan secara bersama.

Oleh karena itu perlu dipikirkan, direncanakan, dikembangkan

bahkan jika perlu ada perubahan, supaya tanggung jawab gereja terhadap

pendidikan dapat dilakukan dengan baik. Beberapa hal dibawah ini bisa

menjadi pertimbangan majelis gereja dalam melakukan tanggung jawab

pendidikan kepada warga gereja yang berusia dewasa:

1. Sistem pemerintahan Gereja yang presbiterial Sinodal dengan

memungkinkan keterlibatan semua warga gereja hendaknya dapat

diterjemahkan dengan baik pada level pemangku jabatan bersama

dengan warga jemaat pada umumnya. Kalau sistem

presbiterial-sinodal tersebut dapat ditempatkan sebagai sarana untuk pembinaan

gereja dengan melibatkan warga gereja maka dalam penerapan struktur

gereja dan birokrasi yang kaku perlu diperbaharui. Barangkali gereja

perlu belajar tentang wacana Gereja Diaspora yang pernah

(11)

Mangun, kita perlu menyadari bahwa saat ini warga gereja dihadapkan

pada situasi diaspora. Istilah diaspora yang dipakai oleh Romo Mangunwijaya adalah benih-benih yang serba tersebar, terpencar.

Tidak kompak dalam satu tempat.8 Tidak terisolasi dan terkonsentrasi dalam satu wilayah tertutup yang padat. Kehidupan umat yang

tersebar, tidak saja secara geografis, tetapi terutama juga secara

psikologis dan kultural. Maka, struktur organisasi Gereja yang kaku,

birokratis, dan hirarkis, perlu disempurnakan, diperbaharui, dan

disegarkan dengan pola kehidupan baru. Dalam hal ini, Romo Mangun

membicarakan Gereja sebagai organisme, untuk mengganti struktur

organisasi yang beku, sistem jaringan yang melengkapi sistem hirarkis

dan sebagainya agar kebutuhan pelayanan rohani dapat dipenuhi sesuai

dengan tuntutan zaman.9 Selain itu pelayanan teritorial-tradisional perlu dilengkapi dengan pelayanan khusus bagi umat yang terdiaspora.

Karena itu, para pemangku jabatan gereja hendaknya juga memahami

dan memaklumi, seandainya ada umat yang tidak bisa aktif dalam

aneka kegiatan gereja maupun kelompok karena “kediasporaan”-nya.

Di lain pihak, para pemangku jabatan sebagai pribadi kiranya juga

perlu mempersiapkan diri menjadi “gembala diaspora” bagi sahabat

-kenalan dari lain lingkungan dan gereja. Namun, Romo Mangun

berkeyakinan bahwa pelayanan teritorial-tradisional (termasuk

lingkungan) ini tetaplah perlu karena hal ini justru menggambarkan

8 Mangunwijaya, Y.B., Gereja Diaspora, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 27

(12)

kesatuan umat yang beragam dan juga memang ada beberapa sektor

yang tetap membutuhkan pelayanan teritorial, seperti anak-anak dan

remaja, dunia sekolah, mereka yang sakit, cacat, dan jompo. Dalam hal

ini, Romo Mangunwijaya hendak mengajak gereja khususnya katolik

dan umumnya (barangkali) bisa digunakan di gereja protestan yang

menghadapi tantangan yang sama yaitu terseraknya (diaspora) warga

gereja di kota-kota besar. GKJ Manahan menghadapi tantangan

tersebut, seperti yang tertulis dalam bab sebelumnya, banyak diantara

jemaat yang usia produktif tersebar kemana-mana baik karena tempat

tinggal ataupun pekerjaan. Oleh karenanya, pendidikan kepada warga

gereja perlu mempertimbangkan pembinaan kategorial yang diaspora,

dengan jalan membuat program kegiatan yang dapat menjangkau

warga gereja yang telah terserak kemana-mana. Program kegiatan

tersebut dapat dijalankan secara fleksibel tanpa harus terpusat di gereja

dan dengan suasana yang kaku. Metodologinya harus berubah

menyesuaikan diri, tetapi tetap mempertahankan identitas diri dan

aturan yang sudah disepakati bersama. Mengambil elemen gereja

jaringan yang ditawarkan oleh Romo Mangun yaitu membangun

komunikasi akrab non formal, suasana kekeluargaan, keguyuban,

susunan kerja sama yang melewati jalan lorong yang teratur, tetapi

dengan multi-connection yang luwes, mampu mengatasi persoalan relevan dan aktual tanpa terhambat oleh birokrasi.10 Gereja jaringan itu

(13)

bhinneka, namun terkoordinasi tunggal, yang saling berdialog, baik top down, dari atas ke bawah maupun bottom up, dari bawah ke atas. Ia bahkan sebenarnya tanpa hubungan yang didominasi status atas bawah;

atau lebih tepat, dalam bahasa sekarang, suatu kinergi dan kinerja yang

saling melengkapi dan mendewasakan, mandiri, tetapi tidak liar

menjadi sekte-sekte yang serba sempal.11 Secara ringkas, gereja khususnya GKJ Manahan dan GKJ pada umumnya perlu senantiasa

mengembangkan model pelayanan yang tidak hanya terkungkung oleh

struktur kaku warisan zending, tetapi selalu dapat “beradaptasi” pada

perubahan dan kebutuhan perkembangan warga gerejanya. Sekaligus

mempersiapkan pendamping atau pelayanan kategorial yang sudah

tersebar atau diaspora, agar dapat menjangkau keberadaan dan

menumbuhkan keterlibatan warga gereja dewasa.

2. Bentuk-bentuk pendidikan orang dewasa pada level jemaat masih

sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah para pemimpin gereja

dalam hal ini Majelis gereja (Pendeta, Penatua dan Diaken) masih

sangat terbatas dalam pemahamannya terhadap PAK dewasa, sehingga

tidak dapat menyentuh aspek-aspek yang dibutuhkan oleh orang

dewasa. Sedangkan sebab lain, karena tradisi pelayanan yang

dikembangkan oleh gereja selama ini masih berasal dari warisan

zending yang hanya mengutamakan soal keimanan. Jika gereja ingin

mengembangkan pelayanan Pembinaan atau Pendidikan warga Dewasa

(14)

perlu pemahaman yang jelas tentang PAK Dewasa dan

signifikansinya.12 Signifikansi yang dimaksud adalah berkaitan

pentingnya pendidikan orang dewasa bagi gereja, memahami orang

dewasa sebagai agen dari pelaksanaan tugas panggilan gereja,

karakteristik pembelajaran orang dewasa, mengantisipasi

perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar dan dunia, dan pentingnya memahami

bahwa orang dewasa tetap membutuhkan pendampingan dalam

pertumbuhan hidup dan imannya sampai mereka mengerti bagaimana

seharusnya hidup dan memikul tanggung jawab sebagai orang dewasa.

Fakta terbatasnya pemahaman Majelis Gereja terhadap tanggung jawab

pendidikan warga dewasa dapat dilihat melalui Komisi Warga Dewasa

(KWD) yang dibentuk melalui persidangan Klasis tahun 1994. KWD

pada sisi lain adalah bukti kesadaran Sinode GKJ dalam

memperhatikan pembinaan orang dewasa secara utuh, akan tetapi di

sisi lain pada level jemaat lokal dan di tingkat Majelis Gereja masih

kurang jelas apa yang dikerjakannya. Apalagi dalam sejarah

pembentukan KWD dilatarbelakangi oleh bayang-bayang kegiatan

wanita jemaat yang lebih responsif terhadap kegiatan “kumpul

-kumpul” (berorganisasi) dibandingkan dengan keterlibatan para laki

-laki. Seperti yang dikatakan oleh Pdt. Ratih Suryaning Handayani

bahwa gereja-gereja belum benar-benar menangkap tujuan

dibentuknya KWD di gereja, akibatnya sampai sekarang gereja belum

(15)

dapat mengembangkan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan orang

dewasa.13 Akibat lainnya, ketiadaan kurikulum yang dirancang khusus

untuk membina orang-orang dewasa di gereja. Kurikulum yang

dimaksud berkaitan dengan apapun baik materi, waktu, metode dan

sebagainya. Sekalipun kurikulum tersebut dirancang sederhana, tetapi

tetap mempertimbangkan kebutuhan belajar dan pertumbuhan orang

dewasa.

3. Orang dewasa merupakan pribadi-pribadi yang terus menerus

mengalami perubahan. Sekalipun secara fisik orang dewasa tidak lagi

mengalami perkembangan, dalam arti pertumbuhan, justru terjadi

penurunan apalagi setelah berusia 40 tahun. Akan tetapi, dalam segi

pengalaman, mereka terus berubah dalam perjalanan waktu yang

mengikat. Setiap hari mereka berinteraksi dengan sesamanya dan

memasuki peristiwa-peristiwa penting. Mereka pun memberi makna

atas peristiwa yang dilihat maupun yang dialaminya.14 Melalui pemahaman yang demikian, Majelis gereja hendaknya mau membuka

kemungkinan-kemungkinan model pendidikan yang dapat merubah

paradigma gereja dalam mendidik warganya. Shared Christian praxis

mengandung keyakinan bahwa pengalaman konkret manusia sangat

berharga. Pengalaman orang-orang pada masa kini dapat berdialog

dengan pengalaman atau cerita Alkitab di masa lalu. Melalui dialog

tersebut dapat memberikan pemahaman makna pengalaman konkrit

13 Wawancara dengan Pdt. Retno Ratih Suryaning Handayani, di Pastori I GKJ Manahan, pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2015, pada pukul 16.00 WIB

(16)

hidup manusia melalui sudut pandang Alkitab. Pada saat yang sama,

semakin memahami makna pesan Alkitab dalam terang pengalaman

hidup masa kini.

Thomas H. Groome mendefinisikan Shared Christian Praxis sebagai : “A partipative and dialogical pedagogy in which people reflect critically on their own historical agency in time and place and on their sociocultural reality, have access together to Christian Story/vision, and personally appropriate it in community with the creative intent of renewed praxis in Christian faoth toward God’s reign for all creation.”15

Dari definisi Groome tersebut, kita dapat melihat bahwa Shared Christian Praxis merupakan sebuah ilmu pendidikan yang partisipatif dan dialogis. Partisipatif berarti melibatkan setiap orang yang ada di

dalamnya, baik pengalaman, pemikiran, maupun refleksi kritis orang

tersebut. Dialogis berarti terjadi dialog di dalam kegiatan tersebut baik

antarpeserta maupun antara pengalaman masa kini dan cerita Alkitab.

Hasil dialog tersebut, kemudian, menjadi praksis baru bagi iman

Kristen dalam mewujudkan kerajaan Allah. Shared Christian Praxis

adalah ilmu pendidikan untuk konasi (conation). Kata “konasi”

merupakan istilah kuno dalam bahasa latin dan disengaja. Kata kerja

“konasi” berarti dengan sengaja membuat sebuah usaha. Dalam

bahasa Yunani: kinesis, artinya gerakan, dan kinoun yang berarti

pelaku yang aktif. Konasi bukan sekedar mengetahui tetapi berbuat.

Misalnya, tidak sekedar mengetahui tentang keadilan tetapi berlaku

15 Groome, Thomas, Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and

(17)

adil, tidak sekedar mengetahui tentang kasih tetapi berbuat belas

kasih. Konasi Kristen adalah keberadaan diri kita sebagai orang

Kristen dan melakukan nilai-nilai kristiani.16 Groome memiliki maksud tertentu ketika ia memilih istilah Shared Christian Praxis

sebagai pendekatan yang ia kemukakan ini. Kata “berbagi” (Shared)

menekankan hubungan yang terjadi di antara peserta, yaitu hubungan

kemitraan yang saling melengkapi. Kata shared juga mengharapkan adanya partisipasi aktif setiap peserta didik sehingga terjadi dialog.

Dialog yang dimaksud adalah terjadi percakapan antara pengalaman

hidup dan tradisi Kristen; dari kehidupan ke iman, dan kembali ke

kehidupan (life-faith-life). Pemikiran Groome dalam shared Christian praxis dapat diwujudkan melalui pertemuan-pertemuan iman atau yang disebut persekutuan. Metode sharing pengalaman iman, hidup

sehari-hari dengan tanggung jawab dan permasalahan yang dihadapi

mampu menguatkan kelompok orang dewasa di gereja, apalagi jika

dalam setiap program persekutuan dibuat dalam tema-tema yang

sesuai dengan kebutuhan keluarga seperti menjadi suami yang baik,

istri yang tangguh, orang tua teladan, parenting, perkawinan langgeng, hubungan mertua-mantu, seks, dsb.

(18)

IV.2 Pendidikan Bagi Perkembangan Keluarga Muda

Pendidikan kepada usia dewasa muda (keluarga muda) yang

biasanya efektif dan jamak dilakukan oleh gereja adalah ketika mereka

hendak memasuki hidup berkeluarga. Program katekisasi pra-nikah atau

bimbingan pra-nikah adalah program andalan untuk membekali

pasangan-pasangan muda dalam menjalani hidup berkeluarga. Biasanya program

pembinaan ini dilaksanakan selama 6 bulan bahkan ada yang hanya 3

bulan sebelum pelaksanaan pernikahan. Sedangkan metode pembelajaran

yang digunakan dalam katekisasi pra-nikah menggunakan metode

pengajaran model “Bank Transfer”. Berupa mengkotbahi atau bercerita.

Umumnya masih dijumpai monolog dari pengajar, dan pendekatan yang

deduktif dengan “content-centered curriculum” sedangkan katekisan

tinggal mendengarkan dan menghafal. Metode pembelajaran untuk orang

dewasa belum menggunakan metode sesuai dengan pengajaran kepada

orang dewasa. Setelah program katekisasi atau bimbingan pra-nikah

selesai, praktis tidak ada program pendidikan yang dapat membimbing

keluarga muda dalam menghadapi pertumbuhan dan tanggung jawabnya.

Kebanyakan gereja menganggap bahwa materi katekisasi pra-nikah

yang diberikan dianggap sudah cukup untuk seluruh hidup kemudian.

Pengetahuan yang diberikan dirasa sudah mencukupi bagi bekal kehidupan

keluarga. Bahkan karena anggapan Majelis dan warga yang lebih tua

usianya, seringkali muncul dorongan yang kurang tepat terhadap

(19)

para keluarga muda bisa langsung mengikuti kegiatan-kegiatan yang sudah

ada, baik di blok atau kegiatan di gereja melalui pemahaman Alkitab atau

persekutuan doa atau mengambil tanggung jawab lain dalam pelayanan di

gereja. Akibatnya, banyak dari keluarga muda yang enggan untuk

mengikuti kegiatan yang tidak sesuai kebutuhan mereka, seperti yang

diungkapkan oleh Pdt. Fritz Yohanes Dae Pany.17

Padahal jika Majelis Gereja melihat data jumlah keluarga muda

dengan usia pernikahan 0-10 tahun di GKJ Manahan, dari tahun 2005

sampai dengan tahun 2015 tercatat ada 278 pasang. Itu artinya ada 556

orang yang termasuk umur dewasa muda yang telah berkeluarga. Jumlah

yang cukup banyak untuk dibina bahkan menjadi potensi yang besar bagi

perkembangan gereja. Namun demikian, sejak direncanakan adanya

kegiatan persekutuan keluarga muda, jumlah kehadiran mereka yang

hanya 10-20 pasang tidak sebanding dari total pasangan keluarga muda.

Dalam pertemuan FGD hampir sebagian besar dari anggota keluarga muda

masih mengalami kesulitan untuk tegak berdiri di atas kaki sendiri, mereka

membutuhkan pertolongan dalam hal mengelola keuangan keluarga,

mengasuh anak, menghadapi persoalan-persoalan hidup, belum

sepenuhnya lepas dari bantuan orang tua secara finansial maupun dalam

hal lain, rentan terhadap godaan, masih kesulitan untuk mengendalikan

emosi, dsb.18

17 Wawancara dengan Pdt. Fritz Yohanes Dae Pany, pada hari Kamis tanggal 29 Oktober 2015 di rumah pastori GKJ Manahan pada pukul 19.30 WIB.

(20)

Ketika gereja tidak dapat menyediakan wadah yang dapat menjawab

persoalan mereka, biasanya yang dilakukan adalah mencari tahu

persoalannya kepada teman sebaya, kepada rekan kerja, melalui media

elektronik, menyibukkan diri dengan pekerjaan dan hobi, dsb.19 Akibatnya, yang pertama, banyak di antara keluarga muda yang kemudian semakin

menjauh dan asing dengan kegiatan gereja; yang kedua, gereja mengalami

kesulitan ketika mengundang mereka untuk mengikuti kegiatan termasuk

ketika seharusnya keluarga muda ambil bagian dalam pelayanan seperti

menjadi Majelis gereja menggantikan generasi tua.

Persoalan-persoalan inilah yang seharusnya dapat diperhatikan oleh

gereja dalam mengembangkan pembinaan kepada orang-orang dewasa

khususnya kepada keluarga muda. Mereka membutuhkan wadah bukan

hanya untuk tumbuh di dalam iman tetapi tumbuh dalam pengetahuan dan

tanggung jawabnya. Jika gereja mendasarkan tugas pelayanannya dalam

kerangka mendidik warga gereja maka pembinaan kepada orang dewasa di

dalam dan melalui warga gereja tidak lepas dari pembelajaran. Istilah

pembelajaran mengandung arti ‘pengelolaan kegiatan sedemikian rupa,

secara sadar tujuan, sehingga setiap peserta yang mengikuti kegiatan

pembinaan dapat mengalami proses belajar’. Melalui proses belajar,

diharapkan pula tiap-tiap peserta binaan mengalami perubahan, apakah

(21)

dalam aspek pengetahuan, sikap, ketrampilan, relasi atau dalam

keseluruhan aspek itu secara integral.20

Pendidikan Orang Dewasa (POD) diperlukan oleh gereja karena

merupakan bidang pelayanan yang sangat strategis oleh karena

bagaimanapun orang dewasa adalah orang Kristen garis depan yang

menghadapi dunia ini dengan segala tantangannya.21 Sedangkan dunia di mana orang Kristen dan gereja ditempatkan adalah dunia yang penuh

dengan berbagai permasalahan. Oleh karena itu orang dewasa perlu

diperlengkapi dengan pemahaman terhadap permasalahan-permasalahan

tersebut dan mencoba meninjaunya dari perspektif atau sudut pandang

kristiani yang berdasarkan Alkitab serta didorong untuk turut serta dalam

penanggulangannya.22 Dalam hal ini POD tidak perlu dipandang sebagai

ancaman terhadap metode pembinaan lain yang sudah dikembangkan oleh

gereja tetapi POD ditempatkan sebagai pembimbing terhadap tugas dan

tanggung jawab gereja dalam mendidik warga dewasa dalam praktiknya.

Melalui penelitian yang telah dilakukan, ada hal-hal yang perlu

menjadi perhatian gereja dalam mendidik warga gereja dewasa khususnya

keluarga muda, yaitu :

1) Kesiapan seorang pendamping, dalam hal ini pendeta dan Majelis

Gereja termasuk di dalamnya pengurus KWD ketika membuat

program kegiatan persekutuan keluarga muda. Kesiapan tersebut

meliputi materi yang digunakan, dana yang harus dikeluarkan,

(22)

komitmen dan kesetiaan dalam mendampingi keluarga muda sampai

keluarga muda menemukan “dunia nyamannya” dalam kegiatan

persekutuan dan dengan kelompok seusia mereka. Mendampingi

orang dewasa membutuhkan kesabaran dan kesetiaan, khususnya

kepada keluarga muda yang sedang “disibukkan” dengan masa

penyesuaian dalam segala tugas dan tanggung jawabnya.

2) Berusaha untuk mengubah paradigma yang kurang mengukur dampak

positif dari suatu program maupun kegiatan yang dilaksanakan.

Karena pada umumnya gereja masih mengukur keberhasilan sebuah

kegiatan jika dana yang dikeluarkan sebanding dengan jumlah

kehadiran dalam penyelenggaraan. Hal ini berdampak pada kekurang

perhatian pada pertumbuhan rohani dan aspek lain yang justru lebih

penting bagi kehidupan. Contoh, ketika keluarga muda melakukan

kegiatan yang lebih bersifat refreshing, sudah muncul “kasak-kusuk”

yang mengatakan bahwa keluarga muda maunya hura-hura. Bahkan

menganggap bahwa kegiatan tersebut hanya menghambur-hamburkan

uang, sedangkan jika ada kegiatan yang lebih serius tidak mau datang.

3) Pemilihan Personalia Bidang Pembinaan Gereja belum sesuai dengan

keahlian, minat dan bakat. Berlaku juga terhadap kepengurusan

Komisi Warga Dewasa, unsur-unsur yang duduk dalam personalia

belum mewakili usia dewasa muda. Sehingga seringkali terjadi

(23)

muda. Pembicaraan ditingkat pengurus menjadi timpang, karena tidak

mengetahui kebutuhan keluarga muda.

4) Pengaruh orang tua para keluarga muda, baik dalam cara mendidik

anak, mengelola kehidupan rumah tangga, sampai pada keterlibatan

mereka dalam kegiatan di gereja masih nampak. Hal ini perlu

dipahami karena budaya timur dengan hubungan kekerabatan cukup

erat menjadi faktor kunci dalam mempengaruhi bagaimana orang

dewasa awal menjalani kehidupan barunya. Walaupun secara hukum

telah lepas dari tanggung jawab orang tua, namun dalam hidup

sehari-hari masih terdapat ketergantungan, terutama ketika belum stabil

secara ekonomi dan ketika mempunyai anak. Perasaan “pekewuh”

(tidak enak hati) kepada orang tua mereka, seringkali mempengaruhi

cara keluarga muda untuk menyatakan tanggung jawabnya baik secara

iman maupun hidup sehari-hari secara mandiri.

Jika pembinaan yang dikembangkan oleh gereja sesuai dengan

kebutuhan mereka maka hasilnya akan berbanding lurus pada sikap

partisipatif keluarga muda di gereja. Maksudnya adalah gereja perlu

mendesain setiap kegiatan yang dilaksanakan dengan melibatkan

sebanyak-banyaknya orang dewasa dalam merencanakan, dan

melaksanakannya. Oleh karena itu Gereja perlu mengembangkan Model

Pendidikan warga gereja seperti:23

(24)

1. Pengembangan sikap kritis gereja karena biasanya di kelompok usia

ini cenderung menanggapi informasi dengan cara kritis, tidak asal

menerima, tetapi mempertanyakan mengapa harus demikian. Hal-hal

yang didapatkan dalam pembinaan tersebut dirasakan dapat

memperluas wawasan dan meningkatkan pemahaman mereka. Jika

tidak demikian, kegiatan pembinaan dipandang tidak membawa

manfaat. Pengalaman penulis ketika mengadakan FGD dengan

kelompok keluarga muda di gereja yang diteliti, menjelaskan

keadaan yang demikian. Dalam diskusi kelompok terarah (FGD)

menunjukkan perhatian yang cukup besar. Ketika tema diskusi

merupakan hal baru, terbuka ruang diskusi yang dinamis dan diajak

untuk bersama-sama berpikir tentang hal-hal yang dapat dilakukan

untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya, mereka menemukan

kembali karakteristik sebagai orang dewasa muda.

2. Peran Kelompok Sebaya. Seperti kegiatan kategorial lainnya,

demikian pula persekutuan keluarga muda membutuhkan peran dan

dukungan dari mereka yang mempunyai kebutuhan yang sama.

Peran kelompok sebaya mampu membawa suasana keterbukaan,

saling menerima, saling mendukung, dan saling membutuhkan satu

dengan yang lain. Prinsip homogentitas berlaku ketika mereka

(25)

3. Pembinaan Pasangan Suami Istri

Pembinaan terhadap pasangan suami istri adalah upaya gereja untuk

memperkaya kehidupan pernikahan dan harmonisnya hubungan

suami-istri. Berbagai tema berkaitan dengan kasih, komunikasi

suami-istri atau komunikasi dalam keluarga, seks, relasi suami-istri,

kesehatan reproduksi, dsb, dapat menjadi tema-tema pembinaan

pasangan suami-istri.

4. Pengembangan Spiritualitas

Pembinaan bagi orang dewasa juga berkaitan dengan masalah iman

(faith) karena iman menjadi dasar atau fondasi dalam kehidupan.

Berkaitan dengan pembinaan iman, James Fowler mengingatkan

bahwa gereja tidak boleh terpaku pada isi atau content iman, tetapi juga pada cara beriman. Menurut teori Fowler, orang dewasa awal

lazimnya memiliki cara beriman sintetik konvensional dan cara

beriman pribadi dan reflektif.24 Walaupun demikian, teori James Fowler bukan satu-satunya dasar pemahaman gereja dalam melihat

perkembangan iman orang dewasa awal seperti yang sudah

ditelitinya. Hal ini mengingat perbedaan relasi, tradisi dan budaya

barat dan timur sehingga perlu ada penelitian khusus akan hal ini.

Namun yang pasti bahwa iman bukan sesuatu yang pasif, dan obyek

24 Cara beriman Sintetik-konvensional, ditandai dengan cara melihat, mengamati, meniru, dan mencari masukan dari orang lain termasuk teman sebaya, guru, mentor, orang-orang terkenal, juga dari literature (bahan bacaan). Mereka membuka diri pada pribadi dan kelompok yang dianggap dan dirasakan memeberikan perhatian dan dukungan. Sedangkan cara beriman individual-reflektif ditandai dengan kecenderungan untuk menyatakan iman dengan

(26)

yang statis. Tetapi sesuatu yang dinamis, dan dapat berkembang.

Sekalipun perkembangan iman itu juga tidak seragam pada semua

orang dan walaupun semua orang menempuhnya dari taraf yang

rendah ke taraf yang lebih tinggi. Bahkan ada orang-orang yang

imannya mengalami stagnasi, walaupun aspek-aspek lain

berlangsung normal.25 Namun melalui studi Fowler tentang iman kembali menegaskan bahwa tiap-tiap individu adalah unik dalam

segi perkembangan iman kepercayaan.26 5. Pertolongan dalam menghadapi Krisis.

Kelompok dewasa awal membutuhkan pengajaran dan bimbingan

krisis, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah keluarga,

pekerjaan, dan relasi-relasi sosial. Erickson memandang bahwa

perjalanan hidup manusia itu selalu diwarnai krisis psikologis

(emosional dan mental) sebagai hasil interaksi sosialnya dari

lingkungan terdekat (keluarga) hingga jauh (masyarakat luas). Untuk

orang dewasa awal, krisis kehidupan yang menonjol adalah

bagaimana membangun penerimaan dan harga diri yang sehat.

Adapun krisis lain yang mengemuka ialah bagaimana memelihara

keakraban (intimasi) dengan orang-orang yang dikasihi pada satu sisi

dan pada sisi lain bagaimana menghindari perasaan terasing (isolasi)

dalam persahabatan.27

25 Hadinoto, Atmadja, op.cit., 236 26Ibid, 237

(27)

6. Bantuan Menghadapi Stres.

Stres, depresi atau pikiran tertekan adalah bagian hidup manusia.

Kehidupan yang berat, krisis yang berkepanjangan, dan

harapan-harapan yang keliru atau tidak dapat tercapai kerap kali membuat

orang dewasa awal pun masuk ke dalam lembah stres yang

berkepanjangan atau depresi. Cara mengatasi stress dan mengadapi

depresi patut diperbincangkan bersama dengan kelompok orang

dewasa awal.

Bahkan Sidjabat mengutip pendapat Warren N. Wilbert

mengemukakan bahwa, dalam konteks gereja, pendidikan orang dewasa

itu pada prinsipnya memiliki tiga tujuan utama. Selain untuk pemberitaan

Injil (proclamation), pendidikan itu juga berguna untuk membangun

persekutuan (fellowship) sesama orang percaya serta untuk pembangunan

hidup atau pengasuhan (nurture) para peserta.28 Selain tujuan tersebut, gereja juga harus mampu mewujudkan pendidikan untuk proses

transformasi bagi warga gereja, karena sebenarnya itu pula yang menjadi

karakter gereja. Transformasi pada dasarnya adalah sebuah proses

perubahan yang mendasar pada diri manusia. Pembelajaran atau

pendidikan yang transformatif adalah pembelajaran atau pendidikan yang

menghasilkan perubahan mendasar pada diri peserta didik (warga

(28)

gereja).29 Dalam Injil Matius 4:18-22 (Lukas 5:1-11; Markus 1:16-20), tatkala Tuhan Yesus memanggil Simon dan teman-temannya untuk

mengikut Dia, Yesus mengatakan : “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan

Kujadikan penjala manusia.” Selama 3 tahun, Tuhan Yesus telah

mengubah mereka dari penjala ikan, orang biasa, menjadi orang yang

berani untuk membuat perubahan dalam dirinya dan mewartakan kabar

keselamatan kepada semua orang.

Kemudian jika merujuk kepada teks 2 Timotius 3:15-17 proses

pendidikan jemaat dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan jemaat terdiri

atas beberapa hal yakni: pertama, menjadikan jemaat percaya dan

mengenal Alkitab; kedua, proses penemuan kebenaran firman Tuhan yang

pada gilirannya jemaat mengalami pembaharuan tingkah laku dan

menghidupi kebenaran; ketiga, menjadikan umat Tuhan menjadi pribadi

yang bijaksana dengan menghidupi iman di dalam Kristus; keempat,

dengan pendidikan kepada jemaat diharapkan warga gereja diperlengkapi

dan mengalami perubahan perbuatan menuju kesempurnaan kehidupan.

Melalui kegiatan pembinaan atau pendidikan yang diselenggarakan

oleh gereja dengan mempertimbangkan pendidikan orang dewasa dan

perkembangan manusia diharapkan membantu kelompok usia dewasa

muda (keluarga muda) untuk mengerti dirinya, menolong dalam masa

penyesuaiannya, mengembangkan pemahaman iman dan tanggung jawab

dalam kehidupan sehari-hari, ditengah jemaat dan masyarakat. Pembinaan

29 Moedzakir, djauzi, M.,

(29)

warga gereja dituntut, direncanakan, dan perlu dikembangkan secara

kreatif mengingat banyak faktor yang mempengaruhi iman dan cara

beriman mereka. Pembinaan pemimpin dan pengerja di jemaat merupakan

keperluan yang berkesinambungan supaya mampu merespons tantangan

zaman mereka. Dalam hal ini, bukan hanya teologi dan Alkitab yang patut

dipelajari oleh para pembina. Mereka juga harus membuka diri dan belajar

ilmu pengetahuan sosial serta mendengarkan kontribusinya dalam

memahami tugas perkembangan manusia dan caranya belajar.30

Referensi

Dokumen terkait

Apabila kita mecintai alam, maka alam ini pun akan menjaga kita, ini adalah kesalahan kita yang tidak mau menjaga dan mencintai alam ini contohnya membuang sampah di saluran air atau

Perhitungan analisis varians atau Anova menghasilkan nilai F yang secara signifikan menunjukkan kepada peneliti bahwa sampel yang diteliti berasal dari populasi yang

Berdasarkan Berita Acara Fenetapan Pemenang dari Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah Kabupaten Lebong Nomor. Nama Ferusahaan

Hasil pada Tabel 6 menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan mengenai efektivitas intervensi antara siswa berjenis kelamin laki – laki dan perempuan berdasarkan skala bagian

Secara keseluruhan, komputer sebagai pusat pengolah citra dan pusat dari peralatan yang terhubung dengan dikendalikan oleh sebuah program yang akan dibangun, kamera

Populasi penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang memperoleh laba selama periode penelitian tahun 2006–2012 dengan jumlah sampel

3 Progres s test Test perbu atan Menjelaskan perbedaan berita dan feature terkait subjektif, human intrest dan awet Menjelaskan perbedaan berita dan feature terkait

Menimbang, bahwa tentang unsur terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat seperti terungkap dalam