• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pertimbangan hakim dalam penetapan wali adhal di Pengadilan Agama Semarang (studi penetapan hakim Pengadilan Agama Semarang tahun 2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis pertimbangan hakim dalam penetapan wali adhal di Pengadilan Agama Semarang (studi penetapan hakim Pengadilan Agama Semarang tahun 2013)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENETAPAN WALI ADHAL DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG (Studi Penetapan Hakim Pengadilan Agama Semarang Tahun 2013)

M. Solihul Fitri 102111031 ABSTRAK

Wali nikah menurut mayoritas ulama‟ maupun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia merupakan sesuatu yang harus ada dalam perkawinan. Pada kenyataannya, wali nikah seringkali menjadi permasalahan atau halangan dalam melangsungkan suatu perkawinan karena wali nikah yang berhak ternyata tidak bersedia atau menolak untuk menjadi wali bagi calon mempelai perempuan dengan berbagai alasan, baik alasan yang dibenarkan oleh syara‟ maupun yang bertentangan dengan syara‟. Wali yang menolak atau tidak bersedia menikahkan disebut dengan istilah adhal (enggan). Penetapan bahwa seorang wali dinyatakan adhal harus didasarkan pada pertimbangan yang sesuai dengan syari‟at. Ketika terjadi penolakan wali, maka pihak KUA setempat akan memberikan surat penolakan perkawinan. Setelah itu, calon mempelai perempuan berhak mengajukan permohonan penetapan wali adhal ke Pengadilan Agama.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah prosedur penetapan wali adhal di Pengadilan Agama Semarang? 2) Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam penetapan wali adhal di Pengadilan Agama Semarang?

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research), di mana data-data yang dipakai adalah data kepustakaan. Data primer dalam penelitian ini adalah penetapan wali adhal di Pengadilan Agama Semarang tahun 2013. Metode analisis yang digunakan penulis adalah metode deskriptif kualitatif.

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa prosedur penetapan wali adhal di Pengadilan Agama Semarang sesuai dengan Hukum Acara Perdata yang tertera dalam HIR secara garis besarnya, yaitu: a. Permohonan penetapan wali adhal. Dimana Pemohon datang sendiri atau melalui kuasa hukumnya ke Pengadilan Agama dengan membawa surat permohonan. b. Pemeriksaan sidang pengadilan, yaitu suatu proses permohonan penetapan wali adhal mulai diperiksa oleh hakim. Pada tahap ini permohonan yang diajukan oleh Pemohon diuji kebenaran oleh hakim. c. Putusan hakim, yaitu suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara. Pertimbangan hakim dalam penetapan wali adhal di Pengadilan Agama Semarang, Majelis Hakim mendasarkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, Peraturan Menteri Agama No. 30 tahun 2005 tentang, Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berlaku berdasarkan instruksi presiden tahun 1991. Dasar pengajuan perkara wali adhal adalah wali tidak suka dengan calon mempelai laki-laki, karena memiliki perangai

(2)

2

yang buruk. Menurut Majelis Hakim, dasar pengajuan perkara tersebut tidak prinsipil dan tidak sesuai dengan hukum Islam.

Kata Kunci: Penetapan, Wali Adhal.

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Rukun dan syarat adalah hal yang harus diperhatikan dalam perkawinan, karena rukun dan syarat akan menentukan sah dan tidaknya suatu perkawinan. Rukun nikah adalah sesuatu yang wajib ada dalam sebuah pernikahan. Karena bila rukun tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut akan batal. Begitu juga dengan syarat yang mengikuti rukun, apabila tidak terpenuhi maka pernikahan itu akan fasid.

Rukun nikah ada lima yaitu: calon mempelai pria, calon mempelai wanita, wali, dua orang saksi dan ijab qabul.2 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan rukun nikah ada lima, dalam pasal 14, yaitu calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab dan qabul.3

Perkawinan dalam tata hukum Indonesia, khususnya bagi yang pemeluk agama Islam mewajibkan adanya wali dalam perkawinan. Kewajiban tersebut dapat dilihat dalam aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, antara lain dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 19 sampai Pasal 23 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Pasal 18.

Keharusan adanya wali dalam perkawinan pada dasarnya merupakan kesepakatan mayoritas ulama, kecuali madzhab Hanafiyah yang tidak mensyaratkan wali bagi perempuan, apalagi jika perempuan tersebut telah

1 Tim Redaksi Citra Umbara, Undang-Undang No. 1 tahun 1974, Bandung: Citra

Umbara, 2013, hlm. 2.

2 Abi Bakr bin Muhammad al Hussaini, Kifayat al Ahyar fi Halli Ghayat al Ikhtishar,

Beirut-Libanon: Dar al Fikr, 1994,hlm. 40.

3 Tim Redaksi Citra Umbara, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2013,

(3)

3

dewasa dan mampu mempertanggungjawabkan setiap perkataan dan perbuatannya.

Wali nikah menurut mayoritas ulama‟ maupun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia merupakan sesuatu yang harus ada. Karena wali nikah merupakan keharusan, maka konsekuensi dari tidak adanya wali adalah nikah tersebut dihukumi tidak sah. Meskipun para ulama‟ berbeda pendapat tentang kedudukan wali tersebut, apakah wali harus hadir dalam prosesi akad nikah ataukah wali hanya diperlukan ijinnya.

Dasar disyari‟atkan wali dalam pernikahan adalah sebagaimana dalam firman QS. al Nuur 32:











































Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”. (QS. Al Nuur: 32)4

Begitu juga Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. bersabda:

ويبأ نع ىسوم بىأ نب ةدرب بىأ نع

:ملسو ويلع للها ىلص للها لوسر لاق :لاق امهنع للها يضر

ةعبرلأاو دحمأ هاور . يلِوب لاإ حاكنلا

5

Artinya: Dari Abi Burdah bin Abi Musa dari bapaknya, beliau berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak sah nikah, kecuali (dinikahkan) oleh wali”. (HR. Riwayat Ahmad dan Imam Empat).

Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar‟i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi

4 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al Qur‟an Depag RI, al Qur’an dan Terjemahnya,

Semarang: al Waah, 1991, hlm. 549.

5 Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulugh al Maram min adillat al Ahkam, Semarang: Toha

(4)

4

kemaslahatannya sendiri. Masalah perwalian terjadi perbedaan pendapat dari para imam mahzab. Imam Syafi‟i, Maliki, Hanbali berpendapat; jika wanita tersebut baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya.6

Pada kenyataannya, wali nikah seringkali menjadi permasalahan atau halangan dalam melangsungkan suatu perkawinan karena wali nikah yang paling berhak ternyata tidak bersedia atau menolak untuk menjadi wali bagi calon mempelai perempuan dengan berbagai alasan, baik alasan yang dibenarkan oleh syara‟ maupun yang bertentangan dengan syara‟.

Wali yang menolak atau tidak bersedia menikahkan disebut dengan istilah adhal (enggan). Menurut para ulama‟ definisi wali adhal adalah penolakan wali untuk menikahkan anak perempuannya yang berakal dan sudah baligh dengan laki-laki yang sepadan dengan perempuan itu. Jika perempuan tersebut telah meminta (kepada walinya) untuk dinikahkan dan masing-masing calon mempelai itu saling mencintai, maka penolakan demikian menurut syara‟ dilarang”.7

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa wali dinyatakan adhal

apabila:

1. Adanya penolakan (keengganan) wali untuk menikahkan calon mempelai perempuan.

2. Telah ada permintaan atau permohonan dari calon mempelai perempuan agar dirinya dinikahkan dengan calon mempelai laki-laki.

3. Kafa’ah antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan. 4. Adanya perasaan saling menyayangi atau mencintai di antara

masing-masing calon mempelai.

5. Alasan penolakan atau keengganan wali tersebut bertentangan dengan syara‟.

6 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh ala Madzahib al Khamsah, terj. Afifi Muhammad,

Idrus Al-Kaff, Masykur A.B., Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, cet. 6, 2001, hlm. 345.

7 Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Juz 9, terj. Abdul Hayyie al Kattani,

(5)

5

Ketentuan mengenai wali adhal dalam hukum perkawinan Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Ketentuan mengenai wali adhal dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 23. Pada dasarnya sama dengan kedua Peraturan Menteri Agama di atas.

2. Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim. Dalam peraturan tersebut, dinyatakan bahwa adhalnya wali merupakan salah satu syarat atau keadaan dibolehkannya wali hakim sebagai wali dalam perkawinan calon mempelai perempuan dengan calon mempelai laki-laki. Untuk menyatakan adholnya wali, maka diperlukan penetapan dari Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai perempuan.

3. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah

Ketentuan mengenai wali adhal dalam peraturan ini sama dengan ketentuan dalam peraturan tersebut di atas.

Penetapan bahwa seorang wali dinyatakan adhal harus didasarkan pada pertimbangan yang sesuai dengan syari‟at. Oleh karena itu, jika wali menghalangi karena alasan yang sah, seperti laki-lakinya tidak sepadan, atau maharnya kurang dari mahar mitsil, atau ada peminang lain yang lebih sesuai dengan derajatnya, maka dalam keadaan seperti ini perwalian tidak pindah ke tangan orang lain. Karena wali tidak dianggap enggan atau adhal.8

Jika hal tersebut terjadi, maka Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama akan mengeluarkan surat penolakan perkawinan dengan alasan wali nikah tidak bersedia menikahkan calon mempelai perempuan dengan calon mempelai laki-laki atau walinya adhal. Calon mempelai perempuan yang keberatan dengan itu dapat mengajukan permohonan penetapan wali

8 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 3, terj. Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta: Cakrawala,

(6)

6

adhal kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi KUA yang mengeluarkan surat penolakan tersebut.

Pengadilan Agama pada hakikatnya membahas terkait masalah penegakan hukum Islam di Indonesia. Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.9 Termasuk perkara tertentu dalam hal ini adalah permohonan penetapan wali adhal.

Perkara wali adhal di Pengadilan Agama Semarang dari tahun ke tahun tergolong sedikit dibandingkan dengan perkara perceraian, akan tetapi yang menarik minat penulis dalam penetapan wali adhal antara penetapan yang satu dengan penetapan yang lain terdapat perbedaan dalam dasar hukum yang dipakai oleh hakim dalam menetapkan perkara wali adhal. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam putusan No: 0018/Pdt.P/2013/PA.Smg. Majelis Hakim mendasarkan pada pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Agama No. 30 tahun 2005. Dalam penetapan yang lain, yaitu penetepan No. 0143/Pdt.P/2013/PA.Smg. Majelis Hakim mendasarkan pada pasal 2 ayat 1, 2, dan 3 Peraturan Menteri Agama No. 2 tahun 1987 jo. Pasal 23 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.

Berangkat dari realita tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang permasalahan penetapan wali adhal di Pengadilan Agama Semarang dalam skripsi dengan judul: “Analisis Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Wali Adhal di Pengadilan Agama Semarang (Studi

Penetapan Hakim Pengadilan Agama Semarang Tahun 2013)”.

B. RumusanMasalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

9 Tim Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 43.

(7)

7

1. Bagaimanakah prosedur penetapan wali adhal di Pengadilan Agama Semarang?

2. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam penetapan wali adhal di Pengadilan Agama Semarang?

C. Pembahaan

1. Analisis Prosedur Penetapan Wali Adhal di Pengadilan Agama Semarang

Pengadilan Agama merupakan kerangka sistem dan tata hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang baragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini.10

Berlakunya undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, secara konstitusional Pengadilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang disebut dalam pasal 24 UUD 1945. Kedudukan dan kewenangannya adalah sebagai peradilan negara dan sama derajatnya dengan peradilan lainnya. Mengenai fungsi Peradilan Agama dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

Tugas Pengadilan Agama bukan sekedar memutus perkara melainkan menyelesaikan sengketa sehingga terwujud pulihnya kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa, tercipta adanya rasa keadilan pada masing-masing pihak yang berperkara dan terwujud pula tegaknya hukum dan kebenaran pada perkara yang diperiksa dan diputus.

Salah satu prinsip dari negara hukum adalah adanya legalitas formal, yaitu undang-undang sebagai dasar bernegara. Begitu juga dengan lembaga pengadilan, undang-undang menjadi hal paling esensial dalam sistem

10

(8)

8

peradilan. Karena ia menjadi hukum materiil yang akan dipakai landasan dalam memutuskan perkara.11

Sesuai undang-undang Peradilan Agama, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.12

Bidang perkawinan tercakup di dalamnya masalah penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah.13 Perkawinan merupakan akad yang sangat kuat (mitsaqan galidzhan) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rohmah. Definisi tersebut paling tidak yang dimaksudkan oleh Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan melalui Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991.14

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa dalam suatu perkawinan, terdapat beberapa unsur mendasar, yaitu adanya ikatan lahir bathin yang kuat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, pelaksanaannya merupakan wujud dari ibadah kepada Allah SWT, dan bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Pada kenyataannya, wali nikah seringkali menjadi permasalahan atau halangan dalam melangsungkan suatu perkawinan karena wali nikah yang paling berhak ternyata tidak bersedia atau menolak untuk menjadi wali bagi calon mempelai perempuan dengan berbagai alasan, baik alasan yang dibenarkan oleh syariat maupun yang tidak dibenarkan oleh syariat. Jika hal tersebut terjadi, maka Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama setempat akan mengeluarkan surat penolak perkawinan dengan alasan wali

11 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana, cet 1, 2008, hlm. 125-126.

12

Tim Redaksi Sinar Grafika, op. cit., hlm. 104-105. 13

Ibid, hlm. 146.

14 H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hlm. 8.

(9)

9

nikah yang tidak bersedia menikahkan calon mempelai perempuan dengan calon mempelai laki-laki.

Wali adhal adalah penolakan wali untuk menikahkan anak perempuannya yang berakal dan sudah baligh dengan laki-laki yang sepadan dengan perempuan itu. Jika perempuan tersebut telah meminta (kepada walinya) untuk dinikahkan dan masing-masing calon mempelai itu saling mencintai, maka penolakan demikian menurut syara‟ dilarang.15

Dari definisi tersebut, wali adhol mengandung minimal lima unsur, yaitu:

1. Penolakan (keengganan) wali untuk menikahkan calon mempelai perempuan.

2. Telah ada permintaan atau permohonan dari calon mempelai perempuan agar dirinya dinikahkan dengan calon mempelai laki-laki.

3. Kafa’ah antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan. 4. Adanya perasaan saling menyayangi atau mencintai di antara

masing-masing calon mempelai.

5. Alasan penolakan (keengganan) wali tersebut bertentangan dengan syara‟.

Calon mempelai perempuan yang keberatan dengan hal tersebut dapat mengajukan permohonan penetapan wali adhal kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi KUA yang mengeluarkan surat penolak dimaksud.

Penolakan perkawinan tersebut terjadi karena tidak adanya ijin dari wali yang berhak menikahkan perempuan tersebut. Penolakan wali itu diistilahkan dengan wali adhal, yaitu wali yang enggan menikahkan wanita yang telah baligh dan berakal dengan seorang lelaki pilihannya, sedangkan masing-masing pihak menginginkan pernikahan itu dilangsungkan.16

Perkawinan dalam tata hukum Indonesia, khususnya bagi yang memeluk Islam mewajibkan adanya wali nikah yang diatur dalam Pasal 19

15

Wahbah al Zuhail, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, jilid. 9, terj. Abdul Hayyi al-Kattani, dkk., Jakarta: Gema Insani, 2007, hlm. 343.

16

(10)

10

sampai dengan Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 18 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.17

Untuk menyelesaikan perkara wali adhal harus dilakukan di Pengadilan Agama. Sebagaimana prosedur pengajuan perkara yang lain, perkara wali adhal juga diawali dengan pengajuan perkara, setelah itu pihak pengadilan memeriksa perkara tersebut untuk kemudian diproses dalam persidangan.

Persidangan adalah sebuah media atau tempat untuk merumuskan suatu permasalahan yang muncul dalam suatu komunitas yang didalamnya mutlak terdapat beberapa perbedaan faham dan kepentingan yang dimilikinya. Persidangan itu sendiri dibuat melalui mekanisme-mekanisme yang telah dibuat sebelumnya.

Pemeriksaan permohonan wali adhal di Pengadilan Agama pada dasarnya sama dengan pemeriksaan permohonan atau perkara voluntair

lainnya. Perbedaannya adalah perlunya didengar keterangan dari wali calon perempuan (Pemohon) untuk mengetahui keengganan dan alasannya.

Dalam pemeriksaan permohonan wali adhal, ada tiga hal yang perlu dibuktikan oleh Pemohon, yaitu:

1. Apakah benar wali nasab yang berhak menikahkannya adhal (enggan). 2. Apakah di antara Pemohon (calon mempelai perempuan) dan calon

mempelai laki-laki telah ada persetujuan atau kesepakatan untuk menikah.

3. Apakah calon mempelai laki-laki kafa’ah (sederajat, seimbang) dengan Pemohon dalam hal agama, ekonomi, status sosial, dan sebagainya.

Ketiga hal tersebut patut dibuktikan oleh Pemohon. Ketiga elemen di atas merupakan unsur yang bersifat kumulatif, dalam arti bahwa jika salah satu unsur tidak dapat dibuktikan atau tidak terpenuhi, maka seorang wali tidak dapat ditetapkan sebagai adhal.

17 Dalam kedua peraturan tersebut, wali nikah terbagi atas dua, yaitu 1) wali nasab, yang terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan (dari kerabat laki-laki) dan 2) wali hakim

(11)

11

Mekanisme yang ada di dalam persidangan ini berfungsi untuk menjaga keteraturan setiap elemen yang ada didalam sidang tersebut agar persidangan dapat berjalan dengan baik. Peraturan dalam persidangan diistilahkan dengan hukum acara. Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum, kecuali tidak diatur khusus oleh undang-undang.

Undang-undang Peradilan Agama menyebutkan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Berarti orang yang mengajukan perkara adalah orang-orang Islam. Sedangkan hukum acara perdata yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkunagn peradilan umum. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Pengadilan Agama No. 7 tahun 1989 Pasal 54:

“Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkunagan peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah di atur secara khusus dalam undang-undang ini”.18

Sesuai dengan prosedur perkara wali adhal di Pengadilan Agama Semarang, penulis mendapatkan penjelasan bahwa prosedur penetapan wali adhal adalah pengajuan permohonan pemohon sampai proses persidangan.

Dalam pengajuan permohan, pemohon mencantumkan uraian perkara dalam permohonan yang diajukan pemohon termasuk pula surat keterangan penolakan perkawinan yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama, hal ini sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan:

1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencaatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan

18

(12)

12

yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.19

Dalam prses persidangan, wali dijadikan sebagai saksi utama terkait perkara yang dajukan pemohon. Untuk menguatkan perihal adhalnya wali, pemohon harus menguatkannya dengan menghadirkan para saksi. Menurut penulis hal ini sesuai dengan pasal 164 HIR/RBG yang menyatakan bahwa yang disebut sebagai alat bukti adalah bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.20 Salah satu alat bukti yang menguatkan perkara dalam persidangan salah satunya adalah saksi.

Apabila Majelis Hakim telah menetapkan bahwa wali pemohon benar-benar adhal dan pemohon tetap pada permohonnanya, maka Majelis Hakim akan mengabulkan permohonan pemohon dengan menetapkan adhalnya wali dalam bentuk penetapan. Karena perkara wali adhal termasuk dalam perkara permohonan dan putusannya bersifat voluntair. Kemudian Majelis Hakim setelah menetapkan bahwa wali pemohon adalah adhal, menunjuk kepa KUA kecamatan selaku pegawai pencatat nikah, di mana pemohon tinggal untuk bertindak sebagai wali hakim.

Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan. Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 23 menjelaskan bahwa:21

1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebutjadi wali hakim dapat bertindak menggantikan wali nasab atau aqrab, setelah ada penetpan dari pengadilan agama tentang keadhalan wali.

19

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Bandung: Nuansa Aulia, 2012, hlm. 81-82.

20

Tim Redaksi Pustaka Buana, RIB/ HIR dengan Penjelasan, Bandung: Pustaka Buana, 2014, hlm. 123.

21

(13)

13

Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, bidang perkawinan ada beberapa perkara yang di Pengadilan Agama akan diajukan dan diperiksa serta diputus secara voluntair, yaitu:

a. Dispensasi kawin atau dispensasi umur untuk kawin (Pasal 7 ayat 3 Undang-Undang No 1 Tahun 1974)

b. Izin kawin, yaitu permohonan izin untuk kawin bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun, Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 jo Pasal 15 ayat (2) KHI.

c. Penetapan Wali Hakim karena Wali Nasab adhal

Berdasarkan peraturan tersebut, perkara wali adhal bersifat voluntair

atau permohonan yang mana sejatinya tidak ada lawan seperti gugatan, maka pemenuhan hukum formil dan pembuktian dijadikan sebagai kebijakan hakim dalam memutuskan perkara.

2. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Wali Adhal di

Pengadilan Agama Semarang

Perkawinan dalam tata hukum Indonesia, khususnya bagi yang pemeluk agama Islam mewajibkan adanya wali dalam perkawinan. Kewajiban tersebut dapat dilihat dalam aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, antara lain dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.

Keharusan adanya wali dalam perkawinan pada dasarnya merupakan kesepakatan mayoritas ulama, kecuali madzhab Hanafi yang tidak mensyaratkan wali bagi perempuan, apalagi jika perempuan tersebut telah dewasa dan mampu mempertanggungjawabkan setiap perkataan dan perbuatannya.

Perwalian merupakan ketentuan syariat yang diberlakukan bagi orang lain, baik secara umum maupun khusus, yaitu perwalian atas diri maupun harta. Sedangkan perwalian yang terkait dengan fokus kajian penulis adalah perwalian terhadap diri dalam pernikahan.

Wali nikah menurut mayoritas ulama‟ maupun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia merupakan sesuatu yang harus ada. Karena wali nikah merupakan keharusan, maka konsekuensi dari tidak adanya wali

(14)

14

adalah nikah tersebut dihukumi tidak sah. Meskipun para ulama‟ berbeda pendapat tentang kedudukan wali tersebut, apakah wali harus hadir dalam prosesi akad nikah ataukah wali hanya diperlukan ijinnya.

Sesuai dengan pemaparan perkara wali adhal yang telah penulis dalam bab sebelumnya, bahwa pertimbangan hukum dalam penetapan perkara No. 0038/Pdt.P/2013/PA.Smg adalah wali yang berhak menikahkan perempuan tersebut tidak suka dengan calon suaminya, menurut keterangan saksi status perempuan tersebut adalah janda. Dasar hukum yang digunakan hakim dalam penetapan tersebut adalah Peraturan Menteri Agama No. 30 tahun 2005 tentang wali hakim pasal 2 ayat (2) dan Peraturan Menteri Agama No. 30 tahun 2005 tentang wali hakim pasal 3, perkawinan pemohon dengan calon suaminya dapat dilakukan dengan menggunakan wali hakim.

Dalam kasus ini seorang wanita atau bakal calon mempelai wanita berhadapan dengan kehendak walinya yang berbeda, termasuk pilihan seorang laki-laki yang hendak dijadikan mantu (suami) wali menolak kehadiran calon wali tidak suka terhadap calon mempelai laki-laki. Sedangkan status dari calon mempelai permepuan adalah janda.

Menurut penulis, pertimbangan hakim dalam penetapan perkara No. 0038/Pdt.P/2013/PA.Smg dapat dibenarkan. Adapaun yang menjadi dasar yang dapat mendukung kebenaran tersbut, pertama adalah QS. al Baqarah 232:





































































































Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari

(15)

15

kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. al Baqarah: 232)22

Ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak ada halangan bagi seseorang laki-laki untuk melamar perempuan atau janda tersebut langsung kepada dirinya untuk melakukan pernikahan. Pada saat itu diharamkan pada walinya menahan dan menghalang-halangi melakukan pernikahan dengan orang yang melamarnya.9

Berdasarkan ayat di atas berlaku juga bagi perkawinan seorang janda, dimana wali tidak boleh menghalangi seorang janda yang sudah habis masa iddahnya untuk menikah kembali baik dengan suaminya yang dulu maupun dengan lelaki lain yang disukainya. Perempuan yang tidak mempunyai wali lalu menyerahkan kewaliannya kepada lelaki yang shaleh untuk mengakadkannya maka ia harus melaksanakannya.23

Alasan ketidaksukaan wali terhadap calon suaminya tanpa ada alasan lain yang sesuai dengan syari‟at. Sebagaimana yang telah penuis paparkan dalam bab sebelumnya terkait alasan-alasan yang dibenarkan seorang wali dapat menolak (adhal).

Alasan ketidaksenangan wali terhadap calon mempelai laki-laki seringkali tidak, karena dalam permohonan tersebut, alasan ketidaksukaannya seringkali tidak jelas, dan bahkan hanya didasari oleh konflik emosional semata.

Kedua, Kompilasi Hukum Islam Pasal Pasal 107 ayat (1) menyebutkan bahwa:

“Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.24

Maksud dari KHI pasal 107 tersebut bahwa penggunaan wali hanya terhadap anak yang belum berusia 21 tahun dan belum pernah menikah.

22

Yayasan Penyelenggara Penterjemah al Qur‟an Depag RI, al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: al Waah, 1993, hlm. 176.

9

Mustafa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, Semarang: PT. Karya Toha, 1993, hlm. 312. 23 Ibid., hlm. 313.

24

(16)

16

Berarti wali itu digunakan bagi anak belum mencapai umur 21 tahun atau yang belum pernah menikah.

Kemudian penetapan No. 0098/Pdt.P/2013/PA.Smg Majelis Hakim dalam menetapkan perkara tersebut dengan pertimbangan bahwa wali pemohon tidak dapat didengar keterangannya karena tidak pernah hadir di persidangan meskipun telah dipanggil dengan sepatutnya. Berdasarkan keterangan para saksi yang menyatakan bahwa pada intinya pemohon berstatus janda cerai dan calon suaminya yang berstatus duda cerai mantan suami pemohon. Calon suami pemohon telah mempunyai pekerjaan tetap dan punya penghasilan yang cukup. Calon suami pemohon telah melamar pemohon, akan tetapi wali pemohon tidak bersedia menjadi wali tanpa alasan, karena calon suami dulunya sering mabuk dan main judi.

Dalam kasus tersebut, wali pemohon tidak bersedia menjadi wali karena melihat masa lalu dari calon mempelai laki-laki yang berkelakuan buruk. Alasan ini pada dasarnya dibenarkan oleh syari‟at, sebagaimana yang telah penulis paparkan dalam bab sebelumnya, bahwa akhlak mulia merupakan pokok penting dalam upaya memperoleh ketentraman hati serta dalam pelaksanaan perintah-perintah agama. Seorang wali harus berhati-hati dalam mencarikan jodoh untuk anaknya, demi kehormatan dan kemuliannya, serta seorang wali berhak menikahkan wanita yang dibawah perwaliannya jika calon suami pilihannya jelek akhlaknya, sebab orang yang baik beragama dan berakhlak akan memperlakukan istrinya dengan baik atau akan melepaskannya dengan baik.

Penetapan bahwa seorang wali telah adhal harus didasarkan pada pertimbangan yang sesuai dengan syari‟at. Adapun jika wali menghalangi karena alasan yang sesuai dengan syariat, seperti laki-lakinya tidak sepadan, atau maharnya kurang dari mahar mitsil, ada peminang lain yang lebih sesuai dengan derajatnya, maka dalam keadaan seperti ini perwalian tidak pindah ke tangan orang lain, karena ia tidaklah dianggap menghalangi (adhal)25

25

(17)

17

Meskipun hal itu dibenarkan oleh syari‟at, akan tetapi dampak yang timbul jika perkawinan tersebut tidak berlangsung lebih besar, yaitu terjerumus dalam perzinaan. Karena cinta kasih yang kuat antara pemohon dengan calon suami pemohon dan berkeinginan kuat untuk melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu, majelis hakim berdasarkan pasal 2 Peraturan Menteri Agama RI No. 2 tahun 1987 pemohon dapat dinikahkan dengan wali hakim.

Menurut penulis, seharusnya dalam kasus ini, Majelis Hakim mengambil peraturan terbaru tentang wali adhal, yaitu peraturan Menteri Agama tahun 2005 tentang Wali Hakim. Karena ketika ada aturan yang baru, secara otomatis peraturan yang lama akan terhapus. Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim. Dalam peraturan ini, disebutkan bahwa adhalnya wali merupakan salah satu syarat atau keadaan dibolehkannya wali hakim sebagai wali dalam perkawinan calon mempelai perempuan dengan calon mempelai laki-laki. Untuk menyatakan adhol-nya seorang wali, maka diperlukan penetapan dari Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. Ketentuan mengenai wali adhal dalam peraturan ini sama dengan ketentuan dalam peraturan tahun 2005.

Penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap beberapa penetapan mengenai wali adhal tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan normatif-yuridis sebagaimana dikemukakan di atas. Seharusnya Majelis Hakim mengambil pertimbangan lain, seperti pertimbangan berdasarkan aspek sosiologis dan psikologis yang termuat dalam serangkaian pertimbangan hakim.

Dasar sosiologis pada umumnya berkaitan dengan pertimbangan hakim melihat kenyataan bahwa hubungan antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan tidak hanya menjadi dinamika dalam internal keluarga masing-masing calon, tetapi bahkan telah jauh masuk ke dalam struktur dinamika sosial di lingkungan masyarakatnya. Hubungan asmara

(18)

18

yang dijalin mereka sudah diketahui khalayak dan pada beberapa kasus telah mendapat “restu” atau “persetujuan” secara sosiologis dari masyarakat. Dalam kondisi demikian, menjadi sesuatu yang sangat rumit jika perkawinan yang telah diagendakan keduanya tidak direstui dan diamini oleh keluarga. Bukan tidak mungkin pula akan menimbulkan friksi tajam, tidak hanya antara calon dengan orang tua dan keluarganya, tetapi bahkan dapat melibatkan elemen masyarakat yang sudah terlanjur meyakini bahwa keduanya merupakan pasangan ideal.

Dasar psikologis berkenaan dengan kondisi dan stabilitas mental antara calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki. Dalam banyak permohonan wali adhal, hubungan asmara telah terjalin sekian lama, sehingga ikatan batin di antara keduanya telah terjalin dan terbentuk sedemikian eratnya hingga sulit untuk terpisahkan. Dalam kondisi demikian, hakim akan mempertimbangkan implikasi psikologis jika ternyata rencana perkawinan di antara mereka tidak dilaksanakan. Selain itu, jika pun tidak dikabulkan, maka dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang secara syar‟i dilarang, dan kecenderungan demikian lazim kita jumpai dalam pergaulan masyarakat saat ini. Bukankah menghilangkan kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat?

Berdasar hal-hal tersebut, maka menetapkan seorang wali itu adhal atau tidak harus didasarkan pada pertimbangan yang matang dan komprehensif. Pertimbangan normatif-yuridis, sosiologis, dan psikologis harus termuat dalam konstruksi pertimbangan hukum hakim. Dengan demikian, penetapan tersebut tidak hanya menciptakan kepastian hukum, tetapi juga kemanfaatan dan keadilan sebagai cita-cita hukum tertinggi.

Selanjutnya penetapan No. 0099/Pdt.P/2013?PA.Smg Untuk menetapkan adhalnya wali Majelis Hakim Pengadilan Agama Semarang mendasarkan bahwa wali pemohon tidak hadir dalam persidangan setelah dipanggil dengan patut, antara pemohon dengan calon suaminya tidak terdapat halangan perkawinan.

(19)

19

Oleh karena rukun dan syarat perkawinan selain wali telah terpenuhi dan antara pemohon dengan calon suaminya tidak terdapat halangan perkawinan, maka alasan wali nasab tidak bersedia menikahkan pemohon tidak dapat dibenarkan, sehingga dengan demikian telah cukup alasan bagi majelis hakim untuk menyatakan adhalnya wali pemohon. Penetapan tersebut didasarkan pada Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam:

1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebutjadi wali hakim dapat bertindak menggantikan wali nasab atau aqrab, setelah ada penetpan dari pengadilan agama tentang keadhalan wali.26

Selain itu idasarkan pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Agama tahun 2005 tentang wali hakim, maka perkawinan pemohon dengan calon suaminya dapat dilangsungkan dengan wali hakim.

Perkawinan dalam Islam adalah suatu ikatan yang suci antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia. Pada dasarnya perkawinan dalam Islam memerlukan beberapa syarat, salah satunya adalah wali. Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).

Mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hanbali, menjelaskan bahwa wali merupakan syarat dalam pernikahan, sehingga dianggap tidak sah apabila pernikahan tidak memakai wali.27

Sedangkan untuk janda tidak masuk dalam kategori orang yang harus menggunakan wali ketika hendak menikah. Meskipun demikian, tidak lantas meniadakan wali dalam perkawinan, karena mayoritas ulama‟ mewajibkan adanya wali dalam perkawinan, kewajiban tersebut didasarkan pada hadits berikut ini:

26 Tim Redaksi Citra Buana, op. cit., hlm. 333. 27

(20)

20

ب ةدرب بيأ نع

ويلع للها ىلص للها لوسر لاق :لاق امهنع للها يضر ويبأ نع ىسوم بىأ ن

ةعبرلأاو دحمأ هاور .لِوب لاإ حاكنلا :ملسو

28

Artinya: Dari ABi Burdah bin Abi Musa dari bapaknya ra. Berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi”. (HR. Ahmad dan empat Imam) Hadits tersebut menunjukkan bahwa pernikahan tidak sah kecuali dengan wali. Karena pada dasarnya nafi dalam hadits tersebut adalah menafikan (meniadakan) keabsahan pernikahan bukan menunjukkan pada kesempurnaan pernikahan.29

Selain hadits di atas, ada hadits lain Nabi yang menegaskan ksdudukan wali dalam perkawinan, yaitu:

نذإ يرىغب تحكن ةارما ايمأ :ويلع للها ىلص للها لوسر لاق :لاق اهنع للها يضر ةشئاع نع

نم لحتسا ابم ره

َ

لما اهلف ابه لخد نإف ،لطاب اهحكنف ،لطاب اهحكنف ،لطاب اهحكنف اهيلو

ف

ول لِو لا نم لِو ناطلسلاف اورجتسا نإف اهجر

)ئاسنلالاإ ةسملخا هاور(

10

Artinya: dari „Aisyah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya maka perkawinannta batal. Perkawinanya batal, perkawinanaya batal. Apabila suami telah melakukan hubungan seksual maka si perempuan telah sudah berhak mendapatkan mas kawin lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan perempuan itu. Apabila wali-wali itu enggan maka Sultanlah (pemerintah) yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada walinya”. (HR. Imam Lima kecuali al-Nasa‟i)

Para ulama sepakat mengenai kedudukan wali untuk menikahkan anaknya yang kecil, gila ataupun yang kurang kemampuan akalnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan ulama‟ lainnya dalam hal anak yang sudah baligh dan berakal. Menurut Abu Hanifah, bagi yang sudah baligh dan berakal apalagi statusnya janda ia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri.30

28

Ibin Hajar al Asqalani, Bulugh al Maram min Adillat al Ahkam, Semarang: Toha Putera, t. th., hlm. 204.

29

Muhammad bin Ismail al Kahlaniy, Subul al Salam, Jld. 3, Semarang: Toha Putera, t. th., hlm. 117.

10

Ibnu Hajar al Asyqalani, op. cit., hlm. 430.

30 Imam al Sarakhasi, al Mabsuth li Syamsiddini, Juz 5, Beirut-Libanon: Dar al Ma‟rifat, 1995, hlm. 10.

(21)

21

Mayoritas ulama tetap dengan pendapatnya semula, yaitu pernikahan akan sah jika adanya wali baik anak tersebut kecil, dewasa, baligh ataupun janda. Menurut mazhab Hanabilah, tetap harus ada izin (persetujuan) baik janda ataupun gadis, sedangkan menurut Maliki dan Syafi‟i persetujuan hanya untuk janda, apabila masih gadis tidak perlu mendapat persetujuan dari anak tersebut meskipun adanya persetujuan akan lebih baik bagi pernikahan yang akan dilangsungkan.31

Pandangan Abu Hanifah, meskipun izin wali tidak diperlukan dalam sebuah pernikahan, wali mempunyai kewenangan apabila pernikahan yang dilangsungkan oleh anaknya ternyata dilakukan dengan lelaki yang tidak sekufu. Akad nikah dalam pandangan Abu Hanifah dipersamakan dengan akad jual beli. Oleh karena itu syaratnya cukup ijab dan qabul, kedudukan wali hanya diperuntukkan bagi pasangan suami istri yang masih kecil. Di sisi lain Abu Hanifah memandang tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai status wali baik dalam al Qur‟an maupun hadits. Beberapa hadits Rasulullah yang menjelaskan mar‟ah tidak boleh menikahkan sendiri, memberi makna sesuai lafadnya di mana mar‟ah merupakan anak kecil yang belum dewasa sehingga tidak sah apabila ia menikahkan dirinya.32

31

Wahbah al Zuhaili, op. cit., hlm. 345.

32 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Bandung: Pustaka Al Fikris, 2009, hlm. 336.

(22)

22

DAFTAR PUSTAKA

Al Asqalani, Ibin Hajar, Bulugh al Maram min Adillat al Ahkam, Semarang: Toha Putera, t. th..

Al Hussaini, Abi Bakr bin Muhammad, Kifayat al Ahyar fi Halli Ghayat al Ikhtishar, Beirut-Libanon: Dar al Fikr, 1994.

Al Kahlaniy, Muhammad bin Ismail, Subul al Salam, Jld. 3, Semarang: Toha Putera, t. th., hlm. 117.

Al Maraghi, Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT. Karya Toha, 1993. Al Sarakhasi, Imam, al Mabsuth li Syamsiddini, Juz 5, Beirut-Libanon: Dar

al Ma‟rifat, 1995.

Al Zuhaili, Wahbah, al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Juz 9, terj. Abdul Hayyie al Kattani, dkk., Jakarta: Gema Insani, 2011.

Aripin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana, cet 1, 2008.

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh ala Madzahib al Khamsah, terj. Afifi Muhammad, Idrus Al-Kaff, Masykur A.B., Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, cet. 6, 2001.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Juz 3, terj. Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta: Cakrawala, 2008.

Supriyadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Bandung: Pustaka Al Fikris, 2009.

Tihami, H.M.A dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Tim Redaksi Citra Umbara, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2013.

Tim Redaksi Citra Umbara, Undang-Undang No. 1 tahun 1974, Bandung: Citra Umbara, 2013.

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 tahun 1974, Bandung: Nuansa Aulia, 2012.

(23)

23

Tim Redaksi Pustaka Buana, RIB/ HIR dengan Penjelasan, Bandung: Pustaka Buana, 2014.

Tim Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah al Qur‟an Depag RI, al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: al Waah, 1991.

Referensi

Dokumen terkait

Kaedah pertama dalam menganalisis data bagi persepsi pelajar dalam penerapan kemahiran kepimpinan menerusi PSSGMUTHM ialah dengan menganalisis dokumen berkaitan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan Produk yang dihasilkan adalah materi meningkatkan kualitas interaksi dalam keluarga yang meliputi kejelasan

Batik yang dihasilkan tidak hanya menjadi produk budaya saja, melainkan telah berubah menjadi produk ekonomi dengan melakukan diversifikasi produk yang mengandalkan

Penelitian pajak bisa jadi sulit tidak hanya karena kita harus mengikuti studi pajak di bidang akuntansi, keuangan, eko- nomi, dan hukum, namun juga karena berbagai

Konseling kolaboratif memiliki gagasan bahwa tujuan membantu konseli itu adalah memberikan jalan dan memberikan kemudahan kepada konseli untuk memecahkan masalah yang

%DJLDQ SHQJDGDDQ PHQ\HUDKNDQ EDUDQJ EHVHUWD GRNXPHQ DVDO EDUDQJ GDQ VXUDW MDPLQDQ NHSDGD EDJLDQ SHQJLULPDQ XQWXN PHQJLULPNDQ EDUDQJ NHSDGD SHODQJJDQ %DJLDQ SHQJLULPDQ

2.. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua standar keselamatan pasien bertujuan untuk tercapainya sasaran. Pertanyaan yang paling mendasar yang ingin disampaikan

Kepatuhan penggunaan obat sangat berperan dalam pengobatan hipertensi jangka panjang. Kepatuhan pasien dalam penggunaan obat tidak lepas pula dari peran keluarga di