• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendapat hakim Pengadilan Agama Semarang tentang putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 dan implikasinya terhadap penetapan asal-usul anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pendapat hakim Pengadilan Agama Semarang tentang putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 dan implikasinya terhadap penetapan asal-usul anak"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

dalam Ilmu Syari’ah

Disusun Oleh :

KHAYYU KHALIDAH HANUM (1402016051)

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG 2018

(2)
(3)
(4)

iv

dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.

(QS. Al-Furqan ayat 54)

َر َةَرٌَْرُى ًِبأ ْنَع

ِض

ًَ

ُالل

َع

ْن

ُو

َق

َلا

َق

َلا

ننا

ِب

ًُ

َص

ه

ُالل ً

َع

َه ٍْ

ِو

ًَ

َس

ه

َم

:

ُك

م

َم

ٌْ

ُن

ٌْ

د

ٌُ

ٌْ

َن

ُذ

َع

َه

ْنا ً

ِف

ْط

َر

ِة

َف َأ

َب

ٌَ

ُها

ٌَ

ُي

ٌ

َد

ِنا

ِو

َأ

ًٌُ

َن

ص

َر

ِنا

ِو

َأ

ًْ

ٌُ

َم

ج

َس

ِنا

ِو

)مهسم ً يراخبنا هاًر (

Dari Abi Hurairah RA, ia berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanya lah yang menjadikannya seorang yahudi,

nasrani, atau majusi” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

(5)

v

telah berjuang, selalu sabar membimbing, memberikan semangat serta mendoakan di setiap hembusan nafasnya.

Abang dan adikku tersayang, Mas Aghni Salmani Affan, M. Zidny Bariki Affan, M. Fabru Ghumaisho Milkhan yang selalu menjadi alasan untuk berjuang demi

masa depan.

Mas Wahyu Muszdalifi, yang selalu setia memberi semangat dan dukungan kepada penulis.

Guru-guruku, khususnya Alm. Almaghfurllah Abah Kyai H. Syarif Hud Yahya dan Mimi Nyai Hj. Himayah Masduqi Ali selaku pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Banat yang telah mengajarkan penulis betapa pentingnya ilmu agama,

sehingga penulis mampu memahami makna kehidupan. Sahabat-sahabat senasib seperjuangan.

(6)
(7)

vii

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 05936/U/1987.

I. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ا

ب

ت

ث

ج

ح

خ

د

ذ

ر

ز

س

ش

ص

ض

Alif Ba‟ Ta‟ Sa‟ Jim Ha‟ Kha‟ Dal Zal Ra‟ Za‟ Sin Syin Sad Dad Tidak dilambangkan b t ṡ j ḥ kh d ż r z s sy ṣ ḍ tidak dilambangkan be te

es (dengan titik diatas) je

ha (dengan titik di bawah) ka dan ha

de

zet (dengan titik di atas) er

zet es es dan ye

es (dengan titik di bawah) de (dengan titik di bawah)

(8)

viii

ع

غ

ف

ق

ك

ل

م

ن

و

ه

ء

ي

„ain gain fa‟ qaf kaf lam mim nun waw ha‟ hamzah ya „ g f q k „l „m „n w h ‟ Y

koma terbalik di atas ge ef qi ka „el „em „en w ha apostrof ye

II. Konsonan Rangkap Karena Syaddah ditulis rangkap

عتم

ـ

ةدّد

ةّدـع

ditulis ditulis Muta’addidah ‘iddah

III. Ta’marbutah di akhir kata

a. Bila dimatikan ditulis h

ةمكح

ditulis

ditulis

hikmah jizyah

(9)

ix

ءبيلولااةمارك

Ditulis Karāmah al-auliya’

c. Bila ta‟marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan dammah ditulis t

رطفلاةبكز

Ditulis zakāt al-fiṭri

IV. Vokal Pendek

__ َ __ __ َ _ _ ُ__ __ fathah kasrah dammah ditulis ditulis ditulis a i u V. Vokal Panjang 1. 2. 3. 4.

تٍهىاج

Fathah + alif

ىسنت

Fathah + ya‟ mati

مٌرك

Kasrah + ya‟ mati

Dammah + wawu mati

ضًرف

ditulis ditulis ditulis ditulis ā jāhiliyyah ā tansā ī karīm ū furūḍ

(10)

x 2.

مكنٍب

Fathah + wawu mati

لٌق

ditulis ditulis ditulis bainakum au qaul

VII. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof

متواا

عأ

ـ

ت ّد

متركش هئل

ditulis ditulis ditulis a’antum ‘u’iddat la’in syakartum

VIII.Kata sandang Alif + Lam

a. Bila diikuti huruf Qomariyah ditulis L (el)

ن ارقلا

بيقلا

ش

ditulis ditulis Al-Qur’ān Al-Qiyās

b. Bila diikuti huruf Syamsiyah ditulis dengan menggunakan huruf Syamsiyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el)nya.

ءبمسلا

صمشلا

ditulis ditulis as-Samā’ Asy-Syams

(11)

xi

ةىسلا لهأ

ditulis Ahl as-Sunnah

X. Pengecualian

 Sistem transliterasi ini tidak berlaku pada:

a. Kosa kata Arab yang lazim dalam Bahasa Indonesia dan terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, misalnya: Al-Qur‟an, hadits, mazhab, syariat, lafaz.

b. Judul buku yang menggunakan kata Arab, namun sudah dilatinkan oleh penerbit, seperti judul buku Al-Hijab.

c. Nama pengarang yang menggunakan nama Arab, tapi berasal dari negera yang menggunakan huruf latin, misalnya Quraish Shihab, Ahmad Syukri Soleh.

d. Nama penerbit di Indonesia yang mengguanakan kata Arab, misalnya Toko Hidayah, Mizan.

(12)

xii

dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang cukup mengejutkan banyak pihak, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin. Perkara tersebut menjadi salah satu putusan yang mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap Undang-Undang Perkawinan khususnya yang berkaitan dengan adanya hubungan keperdataan anak dari hubungan di luar nikah terhadap ayah biologis. Pro-kontra mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi yang ada, putusan tersebut tetap harus dilaksanakan sebagai pedoman hukum hakim-hakim, khusunya Hakim Pengadilan Agama. Tentunya hal demikian juga dilakukan oleh Pengadilan Agama Semarang.

Pokok permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana pendapat Hakim PA Semarang tentang Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 serta bagaimana implikasi putusan tersebut terhadap penetapan asal-usul anak, dengan tujuan untuk mengetahui pendapat Hakim serta implikasi dari Putusan MK tersebut terhadap penetapan asal-usul anak.

Metode penelitian yang digunakan adalahmetode penelitian normatif empiris. Penulis memaparkan masalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 dengan menggunakan pendapat Hakim PA Semarang, dan menjadikan Hakim PA Semarang sebagai sumber dara primer. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara serta dokumentasi. Data yang telah didapat tersebut kemudian dideskripsikan, dianalisis kemudian ditarik kesimpulan dengan metode deskriptif-analisis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hakim PA Semarang menilai bahwa Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 adalah putusan yang tidak hanya diberlakukan hakim sebagai pedoman tetapi semua elemen masyarakat karena sifatnya mengikat. Pro dan kontra yang terjadi di masyarakat terhadap putusan MK adalah hal yang wajar terjadi karena mereka mempunyai alasan yang dilandasi dengan argumen yang jelas. Anak luar kawin yang dimaksud oleh putusan MK adalah anak yang lahir dari perkawinan sirri, bukan anak zina (tanpa perkawinan), karena melihat kasus yang melatarbelakangi adanya putusan MK bahwa anak tersebut lahir dari perkawinan sah tetapi tidak dicatatkan. Kedua, hubungan perdata yang dimaksud adalah sebatas pemenuhan hak dan kewajiban seperti nafkah, biaya hidup, pendidikan, bukan untuk mendapatkan hak nasab, waris dan perwalian dari ayah biologisnya. Implikasi putusan MK tersebut adalah dapat berimplikasi pada penetapan asal-usul anak apabila hanya berkaitan dengan hak-hak keperdataan anak saja, tidak dalam pengesahan anak.

(13)

xiii

sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Lantunan sholawat dan salam bagi Baginda Rasulullah SAW yang telah menyampaikan risalah Allah SWT sebagai pedoman dan tuntunan bagi kita untuk mengharap ridlo-Nya. Semoga kita senantiasa menjadi hamba yang selalu mendapatkan petunjuk dan hidayah-Nya. Amin.

Skripsi yang berjudul “PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA SEMARANG TENTANG PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENETAPAN ASAL-USUL ANAK” alhamdulillah telah selesai disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu dalam Ilmu Hukum Islam pada Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis meyakini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan serta dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun ingin menghaturkan terima kasih sebagai penghargaan atau partisipasinya dalam penyusunan skripsi ini kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag. selaku Rektor UIN Walisongo Semarang.

2. Bapak Dr. H. Akhmad Arif Junaidi, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.

(14)

xiv

selaku dosen pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

5. Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A. selaku wali studi penulis, terima kasih untuk setiap nasehat dan motivasi yang senantiasa bapak sampaikan kepada penulis.

6. Bapak A. Arief Budiman, M.Ag. yang telah bersedia meluangkan waktunya bagi penulis, sehingga penulis dapat berkonsultasi tentang skripsi yang sedang penulis selesaikan.

7. Segenap Dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama menempuh studi.

8. Ketua Pengadilan Agama Semarang beserta staf yang telah mengizinkan dan membantu penulis melakukan penelitian.

9. Bapak Drs. H. Asy‟ari, M.H, Bapak Drs. H. Mashudi, M.H, dan Bapak Drs. Nurhafizal, S.H., MH, Bapak Syukri Selaku Hakim Pengadilan Agama Semarang yang telah bersedia diwawancarai penulis dan memberikan informasi, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

(15)

xv

11. Abang dan adikku tersayang, Mas Aghni Salmani Affan, M. Zidny Bariki Affan, M. Fabru Ghumaisho. M. serta sepupu terbaik Mas Agus Yahya dan Diah Nur Fitri, A.Md.Keb., yang menjadi semangat bagi penulis untuk terus maju, tidak mudah menyerah demi masa depan.

12. Mas Wahyu Muszdalifi, yang telah setia mendampingi penulis. Bersamanya bisa melepas penatnya menyusun skripsi, terimakasih atas semua kesabaran dan dukungan yang tidak mampu penulis balas. Tetap semangat dan jangan lupakan kewajiban. Semoga kelak kau menjadi jawaban Illahi. Amiin

13. Teman-teman seperjuangan, KEMAS (Keluarga Mahasiswa Ahwal al Syakhsiyah/Hukum Keluarga), khususnya AS B14 yang selalu mengingatkanku akan selesainya target. Thanks guys, karena kecerewetan kalian, sehingga penulis mampu bangkit dari sifat malas yang selalu menghantui, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, tetap semangat dan terima kasih.

14. Semua sedulur KPMDB, dan IMMAN Semarang. Bersama kalian penulis belajar banyak pengalaman serta arti persaudaraan dalam tanah rantau ini. Serta kepada semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atassemua bantuan dan doa yang diberikan, semoga Allah SWT melimpahkan berkah dan rahmat-Nya bagi

(16)

xvi

melimpahkan rahman, rahim serta RidhoNya kepada kita semua.

Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua serta penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya tulisan ini.

Semarang, 26 Mei 2018

Khayyu Khalidah Hanum NIM: 1402016051

(17)

xvii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

HALAMAN DEKLARASI ... vi

HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

HALAMAN ABSTRAK ... xi

HALAMAN KATA PENGANTAR ... xii

HALAMAN DAFTAR ISI ... .. ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

D. Telaah Pustaka ... 6

E. Kerangka Teori ... 9

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK DAN PENETAPAN ASAL-USUL ANAK A. Pengertian Umum Anak. 1. Pengertian Anak ... 16

(18)

xviii

BAB III PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA SEMARANG

TENTANG PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 46/PUU-VIII/2010 DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP PENETAPAN ASAL-USUL ANAK.

A. Profil Pengadilan Agama Semarang

1. Sejarah PA Semarang ... 47 2. Kewenangan PA Semarang... 49 3. Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi PA Semarang

... 51 4. Visi dan Misi PA Semarang ... 53 B. Pendapat Hakim Pengadilan Agama Semarang Terhadap

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ... 53 C. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Penetapan Asal-Usul Anak... 57

BAB IV ANALISIS PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA

SEMARANG TENTANG PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP PENETAPAN ASAL-USUL ANAK.

A. Analisis Pendapat Hakim Pengadilan Agama Semarang tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010... 63

(19)

xix BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 78 B. Saran-saran ... 79 C. Penutup... 79 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(20)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak merupakan insan pribadi (persoon) yang memiliki dimensi khusus dalam kehidupannya, selain tumbuh kembangnya memerlukan bantuan orang tua, faktor lingkungan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi kepribadian si anak dalam menuju masa dewasanya. Seorang anak memiliki peranan penting khususnya dalam kehidupan rumah tangga, karena tujuan dari perkawinan selain untuk membangun rumah tangga yang bahagia, dan sejahtera juga untuk melestarikan keturunan.

Undang-undang telah menjamin hak seorang anak sejak ia berada dalam kandungan, apabila si anak ternyata lahir dalam keadaan meninggal, maka hak-haknya dianggap tidak pernah ada. Hal tersebut menunjukkan bahwa anak juga termasuk ke dalam subjek hukum, karena ia memiliki hak-hak keperdataan. Seorang anak yang lahir sebagai akibat hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan akan menyandang status dan kedudukan di mata hukum berdasarkan perkawinan orang tuanya. Suatu perkawinan yang sah, di mata hukum akan melahirkan seorang anak yang memiliki status dan kedudukan yang sah, sedangkan seorang anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah, maka anak tersebut memiliki status dan kedudukan sebagai anak tidak sah (anak luar kawin).1

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 2 menyebutkan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan

1

Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012, hal. 4.

(21)

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi.2

Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur tentang asal-usul anak dalam Pasal 42, 43 dan 44.3 Pasal 42 menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Selanjutnya dalam Pasal 43 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Apabila tidak, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.4

Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah

2

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hal. 51.

3

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam ,..., hal. 178.

4

(22)

masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, seorang anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila telah diakui secara sah5. Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya.

Kedudukan anak menurut Hukum Islam sebagaimana yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam pada prinsipnya memiliki pandangan yang sama dengan UU Perkawinan, karena Pasal 100 KHI mengandung rumusan yang tidak berbeda dengan Pasal 43 ayat (1), dimana seorang anak luar kawin hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Timbul persoalan dalam ilmu Fiqh menyangkut status anak luar kawin (zina) terhadap orang tua bioligisnya. Para ulama sepakat bahwa apabila terjadi perbuatan zina antara orang tua si anak, maka tidak ada hak mewaris antara anak yang dilahirkan melalui perzinaan dan orang-orang yang lahir dari mani orang tuanya, sebab anak tersebut secara syari’at tidak memiliki kaitan nasab yang sah dengannya.6

Pada 17 Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang cukup mengejutkan banyak pihak, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin. Perkara tersebut menjadi salah satu putusan yang mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap Undang-Undang Perkawinan khususnya yang berkaitan dengan adanya hubungan keperdataan anak dari hubungan di luar nikah terhadap ayah biologis. Pemohon adalah Hj. Aisyah Mochtar alias Machicha dan Muhammad Iqbal Ramadhan.7

5Pasal 280 KUH Perdata. 6

Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan ..., hal. 84.

7

Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia : Pro Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Prenadamedia, 2013, hal. 192.

(23)

Pasal 43 ayat (1) bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Sementara setelah diuji materi menjadi anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.8 Putusan ini lantas mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI, bahkan masyarakat. Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah membawa paradigma baru dalam sistem hukum perdata dan hukum keluarga, banyak pro-kontra atas lahirnya putusan tersebut, sebagian pendapat menyatakan bahwa putusan tersebut dapat memberika arahan yang lebih baik sebagai upaya perlindungan hak-hak anak dimata hukum dan masyarakat, sebagian yang lain berpendapat akan memunculkan banyak kerumitan dalam persoalan baru menyangkut hukum waris yang berlaku di Indonesia, bahkan sebagian aliran garis keras menyatakan bahwa putusan tersebut telah melegislasi perzinaan.9

Pro-kontra mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi yang ada, putusan tersebut tetap harus dilaksanakan sebagai pedoman hukum hakim-hakim, khusunya hakim Pengadilan Agama. Tentunya hal demikian juga dilakukan oleh Pengadilan Agama Semarang, Putusan Mahkamah Konstitusi mengikat hakim PA dalam memutus perkara, di samping sudah menjalankan aturan undang-undang yang sudah ada.

Putusan Mahkamah Konstitusi perlu mendapat perhatian dari segi pandangan hakim. Sebagaimana Soerjono Soekanto memberikan patokan dasar agar hukum dapat berlaku dan berfungsi apabila memenuhi kaidah hukum secara yuridis, sosiologis, dan filosofis.10 Jadi adanya putusan Mahkamah Konstitusi kemarin memberikan hak keperdataan yang selama ini

8 LihatPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

9

Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan, ...,hal. 163.

10

Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali Pers, 1987, hal. 13.

(24)

tidak diakui negara akan berimplikasi pada akibat hukum yang timbul. Atas dasar hal tersebut di atas, penulis akan menganalisis bagaimana PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA SEMARANG TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENETAPAN ASAL ASUL ANAK.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas dan untuk membatasi pembahasan agar lebih spesifik, maka rumusan masalah ini adalah:

1. Bagaimana pendapat Hakim Pengadilan Agama Semarang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak luar nikah?

2. Bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap penetapan asal usul anak di Pengadilan Agama Semarang?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan utama dari pembahasan penelitian ini, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pendapat Hakim Pengadilan Agama Semarang terhadap putusan Mahkamah Konstisuti Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak luar nikah.

2. Untuk mengetahui implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap penetapan asal usul anak di Pengadilan Agama Semarang.

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Peneliti

Secara teoritik, penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengkajian hukum serta memberikan wawasan tentang pendapat Hakim terhadap putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan implikasinya terhadap penetapan asal-usul anak.

(25)

2. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman tentang “perlindungan hukum” bagi anak di luar perkawinan. Dan untuk lebih memahami tentang hukum perkawinan pasca lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

3. Bagi Kalangan Akademis

Bagi sesama mahasiswa atau kalangan akademis di kampus, hasil penelitian ini akan menjadi tambahan referensi di masa yang akan datang, yang memungkinkan akan dilakukannya banyak penelitian sejenis oleh kalangan akademis lainnya.

D. Telaah Pustaka

Kajian penelitian dalam rangka perbandingan yang penulis bahas dengan beberapa skripsi yang telah dibahas sebelumnya. Maka penulis mengambil skripsi-skripsi yang memiliki kesamaan jenis permasalahan yang diteliti. Dengan tujuan untuk mengetahui apakah permasalahan yang penulis bahas belum pernah diteliti ataukah sudah pernah diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Penulis menemukan hasil penelitian-penelitian yang terkait dengan pembahasan yang akan diteliti, yaitu:

1. Skripsi Ahmad Canggih Ghulam Halim mahasiswa UIN Yogyakarta, yang berjudul “Kedudukan Anak Hasil Pernikahan yang Tidak Sah Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dan Fatwa Majelis Ulama

Indonesia”. Dalam skripsinya, Ahmad membedakan kedudukan anak luar

nikah menurut Putusan MK dan Fatwa MUI. Putusan MK memberikan perlindungan bagi anak luar nikah atas hak keperdataannya dengan ayahnya melalui pembuktian teknologi dan ilmu pengetahuan, sedangkan Fatwa MUI memberikan perlindungan berupa ta’zir terhadap pezina yang bertujuan untuk melindungi anak dan bukan untuk mensahkan

(26)

nasab anak dengah ayah biologisnya hal ini berdasarkan Quran dan al-Sunnah.11

2. Skripsi Adi Guna Sakti mahasiswa UIN Jakarta, yang berjudul: “Hak Waris Anak Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010 (Analisis putusan 0156/Pdt.P/2013/PA.JS)”. Dalam skripsinya Adi menjelaskan bagaimana pertimbangan dan faktor yang mempengaruhi putusan dan hak waris anak luar nikah pasca putusan MK Nomor 46/Puu-Viii/2010, dalam putusan MK harus dipahami dengan hukum Islam, tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Oleh karena itu, maka putusan MK tidak diartikan lagi tentang mendapat waris. Karena seorang mendapatkan waris apabila adanya perkawinan dan hubungan nasab. Hubungan keperdataan disini bukan berarti hubungan nasab.12

3. Skripsi Nunky Ardin Ardila mahasiswi UNNES, yang berjudul: “Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010”. Dalam skripsinya Nunky

menjelaskan bagaimana pandangan hukum islam terhadap bagian waris anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010. Anak luar kawin yang ada dalam penelitian ini merupakan anak luar kawin yang ada di dalam suatu perkawinan yang belum atau tidak dicatatkan dalam lembaga pencatat nikah atau nikah sirri. Oleh karena itu, anak luar kawin yang berada dalam perkawinan sirri merupakan anak yang sah dan kedudukan anak tersebut sama dengan anak sah lainnya termasuk dalam hal saling mewarisi. Untuk bagian

11

Ahmad Canggih Ghulam Halim, Kedudukan Anak Hasil Pernikahan yang Tidak Sah

Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,(Skripsi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Syariah dan Hukum, 2012).

12

Adi Guna Sakti, Hak Waris Anak Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010 (Analisis putusan 0156/Pdt.P/2013/PA.JS), (Skripsi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum, 2014).

(27)

waris anak luar kawin dalam perkawinan sirri sama dengan bagian waris dalam perkawinan yang sah.13

4. Skripsi Alfian Qadri Azizi, yang berjudul: “Status Anak Di Luar Nikah Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Tentang Pengesahan Anak Di Luar Nikah”. Dalam skripsinya Alfian menjelaskan bagaimana pertimbangan hukum serta istinbat hukum hakim dalam memberi putusan pengesahan anak di luar nikah di Pengadilan Agama Sleman, permohonan pengesahan anak tersebut dikabulkan dengan tujuan untuk memberikan kedudukan hukum serta perlindungan anak dengan didasarkan pada pasal 53 KHI yang menyebutkan bahwa seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang mengahamilinya.14

5. Rokhmadi, “Status Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 46/PUU -VIII/2010” dalam SAWWA: Jurnal Studi

Gender-PSGA LP2M, UIN Walisongo Semarang. Hasil analisis penulis menunjukkan bahwa Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 hanya bersifat in abstracto bukan in konkrito. Maksudnya adalah hasil Putusan MK tersebut hanya bersifat maklumat (pengumuman), atau deklarator bukan bersifat eksekutor tidak mengikat hakim dibawahnya karena belum diamandemen, dan juga in converto mengikat kepada yang diputuskan saja. Alasan dan dasar hukum yang digunakan oleh MK untuk memutuskan permasalahan tersebut adalah sudah tepat, jika hanya mengesahkan hubungan perdata saja berdasarkan kemaslahatan anak semata untuk kehidupan dunianya, tetapi jika dikaji lebih dalam akibat adanya hubungan hukum keperdataan antara anak dengan ayah biologisnya yang dilahirkan di luar perkawinan, yang menurut putusan MK diberlakukan secara general (umum), baik terhadap anak sebagai

13

Nunky Ardin Ardila, Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010, (Skripsi mahasiswa Universitas Negeri semarang, 2013).

14

Alfian Qadri Azizi, Status Anak Di Luar Nikah Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/2006/PA.Smn Tentang Pengesahan Anak Di Luar Nikah, (Skripsi mahasiswa UIN Walisongo Semarang Fakultas Syariah, 2011).

(28)

akibat perzinaan, kumpul kebo, atau sex bebas, atau sebagai akibat perkawinan poligami di bawah tangan (tidak tercatat dalam KUA atau KCS), memiliki akibat hukum lahirnya hak dan kewajiban menurut hukum seperti hak anak atas nafkah, hak perwalian, dan hak waris antara kedua belah adalah tidak atau kurang tepat.15

6. Nasaiy Aziz dan Muskal Minal, “Nasab Anak yang Lahir di luar Nikah: Analisis Fatwa MPU Aceh Nomor 18 Tahun 2015 dan Keputusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010” dalam Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry. Hasil analisis penulis menunjukkan bahwa dalam hukum Islam, nasab anak terputus dengan laki-laki pezina, begitu juga yang dimuat dalam Undang-Undang Perkawinan. Adapun pertimbangan Hakim MK adalah dengan pertimbangan kemashlahatan dan perlindungan anak, sedangkan tinjauan fatwa MPU Aceh terhadap putusan MK yaitu ada dua. Pertama, menetapkan terputusnya nasab anak pada laki-laki pezina yang sebelumnya MK menetapkannya. Kedua, MK menganggap deskriminasi terkait dengan pemutusan hubungan perdata anak luar nikah dengan ayah biologis, sedangkan MPU Aceh meninjau bahwa pemutusan hubungan nasab dan keperdataan anak dengan laki-laki pezina dan menisbatkannya kepada ibu dan keluarga ibu anak, sebagai bentuk perlindungan nasab, bukan sebagai bentuk deskriminasi.16

Hasil penelitian di atas diketahui bahwa permasalahan yang diteliti menjelaskan berbagai sudut pandang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010dan putusan pengadilan terhadap status anak di luar nikah termasuk akibat hukum yang timbul. Sedangkan penelitian yang akan penulis angkat secara spesifik yaitu PENDAPAT HAKIM

15

Rokhmadi,“Status Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.

46/PUU -VIII/2010” dalam SAWWA: Jurnal Studi Gender-PSGA LP2M, UIN Walisongo

Semarang, (Volume 11, Nomor 1, Oktober 2015)

16Nasaiy Aziz dan Muskal Minal, “Nasab Anak yang Lahir di luar Nikah: Analisis Fatwa MPU Aceh Nomor 18 Tahun 2015 dan Keputusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010” dalam Jurnal

Hukum Keluarga dan Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry. (Volume I No. 1. Januari-Juni 2017).

(29)

PENGADILAN AGAMA SEMARANG TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENETAPAN ASAL-USUL ANAK, dengan menganalisis pendapat hakim yang ada di Pengadilan Agama Semarang tentang putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 sebagai pertimbangan dalam perkara penetapan asal usul anak. Dan penelitian ini belum pernah diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk mengkaji penelitian ini.

E. Kerangka Teori

Putusan Mahkamah Konstitusi bila ditinjau dari teori hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tentang konstitusi, ada ketimpangan yang terjadi antara norma dasar yaitu UUD 1945 dan UU Perkawinan khususnya Pasal 43 ayat (1). Yaitu bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sebagai norma di bawahnya UUD 1945, seharusnya tidak melanggar atau sesuai dengan norma-norma dalam UUD 1945 khususnya Pasal 28 huruf B ayat 2, yaitu bahwa, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Konsep KUH Perdata, anak luar kawin kecuali anak yang dilahirkan dari perzinaan atau pernodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul bapak dan ibu mereka, apabila kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengkauinya menurut ketentuan undang-undang, atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri,17 sedangkan di dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) anak di luar perkawinan yaitu anak dari perkawinan yang tidak dicatat, dan anak yang lahir dari orang tua yang tidak terikat perkawinan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 42 disebutkan bahwa, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian dalam Pasal 250 Kitab

17

(30)

Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dan dibuat selama perkawinan. Jadi anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah mempunyai status sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan melekat padanya, serta berhak untuk memakai nama di belakang namanya untuk menunjukkan keturunan dan asal usulnya.18

Penetapan asal usul anak memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan nasab antara anak dan ayahnya. Meskipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya.19 Status keperdataan seorang anak, sah atau tidak sah, akan memiliki hubungan keperdataan dengan wanita yang melahirkannya.

Hubungan Keperdataan anak dengan ayahnya, hanya bisa terjadi bila anak tersebut adalah anak yang sah, anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan. Dipertegas dalam KUH Perdata, tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya,20 dengan memperoleh si suami sebagai ayahnya, maka anak akan memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu metode untuk mempelajari satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisa dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta dan mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh fakta tersebut. Dalam penulisan skripsi, untuk memperoleh data dan informasi yang obyektif dibutuhkan data-data dan informasi yang faktual dan relevan.

Adapun metode yang digunakan penulis sebagai pedoman adalah sebagai berikut:

18

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Putra Grafika, 2008, hal. 1.

19

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2006, hal. 276.

20

R. Subekti dan R. Tjitroudibo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradya Paramita, hal. 62.

(31)

1. Jenis penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian normatif empiris. Metode ini pada dasarnya ialah penggabungan antara pendekatan normatif dengan adanya penambahan dari berbagai unsur-unsur empiris.21

Penelitian ini mencoba memaparkan masalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 dengan menggunakan pendapat Hakim Pengadilan Agama Semarang.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu mengelola dan mendeskripsikan data yang dikaji dalam tampilan data yang lebih bermakna agar lebih dipahami dan dianalisis.22

Penulis menyajikan data berdasarkan dari hasil wawancara terhadap Hakim di Pengadilan Agama Semarang mengenai Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak luar nikah, kemudian pendapat tersebut dianalisis dengan memadukan antara teori dengan praktek di lapangan untuk menjawab pokok-pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

3. Sumber Data

Terdapat sumber data penelitian ini yaitu primer dan sekunder yaitu sebagai berikut:

a. Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli atau pihak pertama. Dalam hal ini adalah Hakim Pengadilan Agama Semarang.

b. Sumber data sekunder, adalah sumber data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan

21 Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. 4 Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2001, hal. 9

22

Nana Sudhana, Tuntunan Penelitian Karya Ilmiah: Makalah, Skrispi, Tesis, Disertasi, Bandung: Sinar Baru Algensido, 1999, hal. 77.

(32)

peraturan perundang-undangan23. Data sekunder dapat dibagi menjadi:

1) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas.24 Berupa undang-undang atau peraturan perundang-undang-undang-undangan digunakan dalam penelitian ini terdiri atas, KUH Perdata, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 dan juga dari hasil wawancara.

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti, hasil-hasil penelitian dan hasil karya dari kalangan hukum. 4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data berupa teknik wawancara dan teknik dokumentasi atau studi dokumen.

a. Metode wawancara adalah metode yang digunakan seseorang untuk tujuan tertentu mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari informan dengan bercakap- cakap langsung25, artinya peneliti berhadapan langsung dengan informan untuk menanyakan secara lisan hal-hal yang diinginkan, kemudian data-data yang diperoleh dikumpulkan dan di arsipkan. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang telah disusun secara sistematis dan lengkap untuk mengumpulkan data.26

23

Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, Jakarta: Pranata Group, 2013, cet.3 hal. 136.

24 Peter Mahmud Muzaki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, Prenada Media Group,

2010, hal. 35.

25Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka

Cipta, 2002, hal. 135.

26

Eko Putro Widoyoko, Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hal. 40.

(33)

Wawancara ini dilakukan dengan cara penulis menyiapkan sederetan pertanyaan yang akan diajukan kepada Hakim Pengadilan Agama Semarang mengenai Putusan Mahkamah Konstistusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan implikasinya terhadap penetapan asal-usul anak. Penulis juga membawa alat bantu seperti HP untuk merekam, buku tulis untuk mencatat hasil wawancara. Dalam metode ini diharapkan mendapat jawaban langsung yang jujur dan benar dari informan.

b. Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data berupa sumber data tertulis, yang berbentuk tulisan yang diarsipkan atau dikumpulkan. Sumber data tertulis berupa dokumen resmi.27 5. Analisis data.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu menggambarkan secara utuh suatu permasalahan kemudian dianalisa sehingga dapat ditarik kesimpulan.28 Dalam penelitian ini setelah data terkumpul, penyusun berusaha menganalisis pendapat Hakim tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan implikasinya terhadap penetapan asal-usul anak, dengan menggunakan Hukum Islam dan Hukum Positif sebagai landasan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam mempelajari materi penelitian ini, sistematika pembahasan memegang peranan penting. Adapun sistematika pembahasan skripsi dapat ditulis sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan. Di dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan, daftar pustaka. Bab pendahuluan ini

27

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, ...., hal. 145.

28 Djam’an Satori dan Aan Komariah,

Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2014, hal. 222.

(34)

sebagai jembatan awal untuk mengantarkan penelitian pada bab selanjutnya.

Bab II : Kajian Teori. Dalam bab ini diuraikan tentang tinjauan umum tentang Anak dan Penetapan Asal-usul Anak. Kajian teori diletakkan pada bab II sebagai landasan teori agar dalam pelaksanaan penelitian bisa mendapatkan hasil.

Bab III: Pembahasan. Dalam bab ini diuraikan tentang Pendapat Hakim Pengadilan Agama Semarang tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Impikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap Penetapan Asal-usul Anak, serta data-data yang terkait.

Bab IV: Analisis terhadap Pendapat Hakim Pengadilan Agama Semarang tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Impikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap Penetapan Asal-usul Anak.

Bab V : Penutup, yang meliputi kesimpulan dan saran. Dalam bab ini diuraikan mengenai kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang dikemukakan dan diakhiri dengan saran-saran bagi pihak yang terkait.

(35)

16

A. Pengertian Umum Anak. 1. Pengertian Anak

Anak menurut kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan. Anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil.1 Dari segi lain kata “anak” dipakai secara umum baik secara manusia maupun untuk binatang bahkan untuk tumbuh-tumbuhan. Dalam perkembangan lebih lanjut kata “anak” bukan hanya untuk menunjukkan keturunan dari pasangan manusia, tetapi dipakai untuk menunjukkan asal tempat anak itu lahir, seperti anak Aceh, anak Jawa, berarti anak tersebut lahir dan berasal dari Aceh dan Jawa.2

Anak dalam bahasa Arab disebut dengan menggunakan lafadz ذنٔ. ذنٔ baik dibaca dengan fathah, kasrah, maupun dammah huruf wawunya berarti bayi dilahirkan. Jamaknya adalah دلأأ . Selain itu, anak juga disebut dengan lafadz مفط dengan ta‟ yang dibaca kasrah.3 Selain kedua Istilah tersebut, Al-Qur‟an juga memakai kata sabiyyun baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Kedua istilah ini cenderung berarti anak dengan usia yang masih kecil sebagaimana disebutkan dalam Q.S Maryam ayat 12:               

1 Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

2 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,

2008, hal. 78.

3

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, hal. 856.

(36)

sungguh dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak”.4

Anak secara biologis merupakan hasil dari pertemuan antara sel telur seorang perempuan yang disebut ovum dengan benih dari seorang laki-laki yang disebut spermatozoa, yang kemudian menyatu menjadi zygot, lalu tumbuh menjadi janin dan pada akkhirnya terlahir ke dunia sebagai seorang manusia (bayi) yang utuh.5 Secara umum anak adalah seseorang yang lahir dari rahim seorang ibu sebagai akibat dari hasil hubungan persetubuhan pria dan wanita.6

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.8

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang menyebutkan anak adalah seseorang yang berusia 18tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut Pasal 330 ayat (1) KUHPer “Seorang belum dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya belum genap 21 tahun, kecuali orang tersebut

4 Maryam ayat 12, Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, Jakarta: CV.

Pustaka Al-Kautsar, 2011, hal. 306.

5

Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012, hal. 6.

6 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996,

hal. 112.

7

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

(37)

manusia yang belum mencapai akil baligh (dewasa), laki-laki disebut dewasa ditandai dengan mimpi basah, sedangkan perempuan ditandai dengan menstruasi.10 Dalam pandangan sosial, anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.11

Beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak adalah seseorang masih kecil yang berusia belum mencapai 18 (delapan belas) tahun yang lahir sebagai akibat dari hasil hubungan persetubuhan pria dan wanita, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Merupakan aset penting bagi suatu kelangsungan hidup bangsa yang memiliki ciri khusus sehingga diperlukan adanya bimbingan dari orang tua dalam perkembangannya mulai dari ia kecil sampai dewasa.

2. Macam-Macam Anak Menurut Hukum

Seseorang anak yang dilahirkan ke dunia secara otomatis akan mendapatkan seorang laki-laki sebagai ayahnya dan seorang perempuan sebagai ibunya, baik secara biologis maupun hukum (yuridis).12 Seorang anak yang dilahirkan ke dunia melalui proses kehamilan, kurang lebihnya selama 9 bulan dalam kandungan. Kemudian anak (bayi) tersebut lahir ke dunia. Menurut sudut pandang hukum tahapan proses yang dilalui sampai terjadinya peristiwa kelahiran akan menentukan status dan kedudukan anak dihadapan hukum, dalam hal ini dibagi menjadi 2 (dua) kelompok:

9

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang

10 Ali Imron, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015,

hal. 87.

11

Witanto, Hukum Keluarga, ..., hal. 6.

(38)

maupun hukum negara, maka status anak tersebut adalah anak yang sah.

b. Jika proses yang dilalui tidak sah (ilegal), baik menurut hukum agama maupun hukum negara, maka status anak tersebut adalah anak tidak sah (anak luar kawin).13

Selanjutnya secara khusus, pengelompokan anak berdasarkan status dan kedudukannya di hadapan hukum adalah:

a. Anak Sah

Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan sah”. Perkawinan sah adalah perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Pasal 14 KHI rukun perkawinan terdiri atas calon mempelai lelaki, calon mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi lelaki, dan ijab kabul. Apabila kelima rukun tersebut terpenuhi, maka perkawinan adalah sah, apabila sebaliknya, atau beberapa rukun dari kelima rukun tidak terpenuhi, maka perkawinan adalah tidak sah.14 Selanjutnya, dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan”. KHI memuat masalah pencatatan perkawinan pada Pasal 5 sebagai berikut:

1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.

2) Pencatatan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.15

Selanjutnya pada Pasal 6 dijelaskan:

1) Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

13 Witanto, Hukum Keluarga, ..., hal. 7.

14 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut

Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 107.

(39)

Aturan-aturan di atas bertujuan untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.17 Meskipun pernikahan siri dianggap sah menurut agama Islam, yaitu adanya ijab dan kabul, wali nikah dan pengantin yang sudah cukup umur, namun perkawinan tersebut juga harus sah secara hukum negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum negara, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya.18 Oleh karena itu, istilah “harus dicatat” dalam Pasal 5 ayat (1) KHI bertujuan untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam semata.19

Pasal 42 Undang-undang Perkawinan didalamnya memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara perkawinan dan kelahiran anak kurang dari batas waktu minimal usia kandungan. Jadi, selama bayi yang dikandung itu lahir pada saat ibunya dalam perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasnnya.20 Dengan demikian seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan setelah perkawinan adalah anak sah. Begitu juga jika anak tersebut dibenihkan di luar

16 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 17

Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-harta Benda dalam Perkawinan, Jakarta: Rajawali Pers, 2016, hal. 126.

18 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga, ..., hal. 126. 19 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan, ..., hal. 219. 20

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hal. 178.

(40)

juga.21

Pasal 250 KUH Perdata menyebutkan bahwa, “anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai ayahnya”. Pasal 99 KHI menyebutkan bahwa anak sah adalah “anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Serta hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”. 22

Anak sah menempati kedudukan paling tinggi di mata hukum dibandingkan dengan macam-macam anak lainnya. Karena anak sah menyandang status terhormat ditengah-tengah masyarakat, mendapatkan seluruh hak, baik dalam sudut pandang hukum negara maupun hukum agama.23 Dan secara otomatis mempunyai hubungan nasab dengan ayah dan ibu kandungnya. Adapun yang memiliki kedudukan sebagai anak sah menurut hukum diantaranya:

1) Anak Angkat

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (yang selanjutnya disebut PP Pengangkatan Anak), bahwa yang dimaksud dengan anak angkat adalah “Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”.

Tindakan pengangkatan anak tidak menimbulkan terputusnya hubungan darah antara si anak dengan orang tua kandungnya.24 Proses pengangkatan anak mengandung akibat

21 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta: Bina Aksara, 1986, hal. 145.

22 Pasal 250 KUH Perdata. 23

Witanto, Hukum Keluarga, ..., hal. 39.

(41)

mengatur dan mengawasi proses pengangkatan anak agar tidak melenceng dari tujuan sebenarnya, terlebih apabila pengangkatan anak itu dilakukan oleh orang yang berbeda kewarganegaraan.25 Berdasarkan Pasal 12 PP Pengangkatan Anak disebutkan bahwa seorang anak yang akan diangkat harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:26

a. Belum berusia 18 tahun.

b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan.

c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak.

d. Memerlukan perlindungan khusus.

Selain memberikan syarat-syarat tertentu kepada anak yang akan diangkat, negara juga memberikan syarat kepada calon orang tua angkat yang melakukan pengangkatan anak sebagaimana diuraikan dalam Pasal 13 PP Pengangkatan Anak sebagai berikut:27

1. Sehat jasmani dan rohani.

2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh tahun) dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun.

3. Beragama sama dengan agama calon anak angkat.

4. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan.

5. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun. 6. Tidak merupakan pasangan sejenis.

7. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak.

8. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial.

9. Memperoleh persetujuan anak dan ijin tertulis orang tua atau wali anak.

10. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak.

11. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat.

12. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan sejak ijin pengasuhan diberikan.

13. Memperoleh ijin materi dan/atau kepala instansi sosial.

25 Witanto, Hukum Keluarga, ..., hal. 52. 26

Pasal 12 PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

(42)

2) Anak Tiri

Anak tiri adalah anak yang dibawa masuk kedalam sebuah perkawinan yang baru dari orang tuanya, dimana anak tersebut merupakan hasil dari perkawinan sebelumnya.28 Seorang anak tiri memiliki kedudukan sama seperti halnya dengan anak sah, dan memiliki hak waris tetapi hanya dari ayah atau ibu kandungnya. Dalam dengan konsep hukum Islam seorang anak tiri tidak dapat mewarisi harta peninggalan dari orang tua tirinya, karena hukum Islam mendasarkan pewarisan hanya kepada tiga hal antara lain: karena hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan, memerdekakan budak.29 Oleh karena anak tiri tidak dapat mewarisi dari orang tua tirinya, maka pada umumnya jika orang tua tiri hendak memberikan sebagian hartanya kepada si anak, dia bisa melakukannya dengan cara hibah atau membuat wasiat yang jumlahnya tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta yang dimilikinya atau jika melebihi jumlah tersebut, maka harus disetujui oleh para ahli waris dari orang tua yang meninggal.30

Kedudukan anak tiri dalam hukum keluarga tetap akan terikat hak dan kewajiban antara anak tiri dengan orang tua tirinya, artinya hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang tua kandung dengan anak kandungannya juga berlaku bagi orang tua tiri dengan anak tirinya, yakni memelihara dan membesarkan si anak seperti anak kandungnya sendiri dan si anak wajib patuh dan hormat terhadap orang tua tirinya. Bagi orang tua tiri tidak boleh membeda-bedakan antara anak kandung dengan anak tirinya.31

28 Witanto, Hukum Keluarga, ..., hal. 54.

29 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hal. 41. 30

Witanto, Hukum Keluarga, ..., hal. 55.

(43)

Anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan dengan proses tidak sah (ilegal), baik menurut hukum agama maupun hukum negara.32 Dan tidak mempunyai hubungan nasab terhadap ayahnya, tetapi mempunyai nasab terhadap ibu dan keluarga ibunya. Adapun yang memiliki kedudukan sebagai anak tidak sah menurut hukum diantaranya:

1) Anak Zina

Perzinaan dalam pandangan hukum barat adalah hubungan suami istri yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan dimana salah satu atau keduanya sedang terikat perkawinan dengan orang lain. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan KUH Perdata yang menganut asas monogami sebagaimana tertera pada pasal 27 yaitu pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.33

Berbeda dengan sudut pandang hukum Islam, semua bentuk hubungan suami isteri diluar perkawinan merupakan perbuatan zina. Jadi setiap anak yang dilahirkan dari hubungan yang tidak sah disebut anak zina.34 Anak zina merupakan jenis anak luar kawin dalam pengertian yang luas (anak tidak sah) dan merupakan kelompok terendah kedudukannya dibandingkan dengan kelompok anak yang lain. Anak zina yang akan dibahas disini adalah anak zina menurut KUH Perdata.

Berdasarkan ketentuan dalam KUH Perdata bahwa anak zina bersama-sama anak sumbang tidak dapat diakui oleh orang tua biologisnya, sehingga secara hukum (yuridis) seorang anak yang dilahirkan dari perzinaan tidak akan memiliki ayah maupun ibu kecuali sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 867 KUP

32 Witanto, Hukum Keluarga, ..., hal. 7. 33

Pasal 27 KUH Perdata.

(44)

menyebutkan bahwa, “Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.36

Hal ini senada dengan UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.37

2) Anak Sumbang

Anak sumbang (incest) atau sering disebut anak hasil dari penodaan darah, yaitu anak yang lahir dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dimana diantara keduanya dilarang untuk melangsungkan perkawinan baik terikat hubungan darah, hubungan semenda, maupun hubungan sepersususan.38

KUH Perdata menyebutkan perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas dan maupun garis kebawah baik dalam perkawinan yang sah atau yang tidak sah atau karena perkawinan dalam garis kesamping antara kakak beradik laki perempuan sah atau tidak sah.39 Selanjutnya dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) menambahkan perkawinan dilarang karena hubungan periparan, kecuali jika yang menyebabkan periparan itu telah meninggal dan diberi ijin oleh hakim untuk melangsungkan perkawinan.40 Dan perkawinan dilarang karena hubungan perpamanan/perbibian.41

35 Witanto, Hukum Keluarga, ..., hal. 40. 36

Pasal 100, Kompilasi Hukum Islam.

37 Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 38 Witanto, Hukum Keluarga,..., hal. 42.

39 Pasal 30 KUH Perdata. 40

Pasal 31 ayat (1) KUH Perdata.

(45)

huruf d Kompilasi Hukum Islam ada beberapa larangan seseorang untuk melakukan perkawinan antara lain:42

a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas.

b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

c) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ayah ibu tiri.

d) Berhubungan sesususan, yaitu orang yang sama-sama sesusuan atau orang tua sesususan dan bibi atau paman sesususan.

Perbedaan antara konsep larangan perkawinan menurut KUH Perdata dengan UU Perkawinan jo. Kompilasi Hukum Islam adalah terletak pada saudara sepersusuan, yang tidak ada dalam konsep hukum barat. Saudara sepersususan adalah hubungan persaudaraan yang terjadi antara seorang anak yang sama-sama telah disusui oleh seorang perempuan atau seorang anak dengan perempuan yang menyusuinya, maka diantara mereka terlarang untuk melangsungkan perkawinan.43

KUH Perdata menyebutkan anak sumbang memiliki kedudukan yang sama dengan anak zina, karena mereka tidak dapat diakui oleh orang tuanya kecuali apa yang diatur dalam Pasal 273 KUH Perdata, bahwa anak sumbang berbeda dengan anak zina dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, Undang-Undang dalam keadaan tertentu memberikan pengecualian, dalam arti kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUH Perdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah.44 Pengecualian ini tidak diberikan untuk anak zina.45

42 Pasal 8 jo. Pasal 70 huruf d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 43

Witanto, Hukum Keluarga, ..., hal. 44.

(46)

a) Anak Mula‟nah

Anak mula‟nah merupakan anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang dili‟an46 oleh suaminya, oleh karena li‟an itu terbukti, maka seorang anak akan berubah statusnya menjadi anak tidak sah (mula‟nah) dan kedudukannya dimata hukum sama dengan anak zina, dimana dia hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya sedangkan terhadap laki-laki yang mengingkarinya dengan li‟an tidak memeliki hubungan apa-apa. Anak mula‟nah merupakan bentuk penyebutan secara khusus dalam hukum Islam yang esensinya sama dengan anak zina dalam KUH Perdata.47

b) Anak Syubhat

Anak syubhat adalah anak yang lahir dari suatu hubungan badan antara seorang laki-laki dengan perempuan atas dasar kekeliruan bukan karena disengaja atau rekayasa, harus benar-benar terjadi karena kekeliruan. Seorang anak syubhat akan memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya jika si laki-laki yang telah membenihkannya mengakui si anak.48 Kedudukan tentang anak syubhat sebenarnya masih dalam perdebatan karena beberapa ulama tetap mengatakan sebagai anak sah, sebagaimana anak yang lahir dari perkawinan yang sah,49 sedangkan ulama yang lainnya menggolongkan anak syubhat sebagai anak luar

45 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga, ..., hal. 123.

46Li‟an diambil dari kata la‟ana yang berarti kutukan. Li‟an adalah sumpah suami yang

menuduh istrinya berzina dan atau suami tidak mengakui anak yang dikandung atau yang dilahirkan oleh istrinya, sementara sang istri mengingkari tuduhan tersebut. (Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, Kairo: al-Fath Lil I‟lam al-„Araby, hal. 204-205)

47 Witanto, Hukum Keluarga, ..., hal. 46. 48

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum, ..., hal. 83.

(47)

syubhat dibagi digolongkan menjadi 2 (dua) antara lain: I. Anak syubhat karena syubhat perbuatannya

Anak syubhat ini lahir karena seorang laki-laki telah keliru menyetubuhi wanita yang sebenarnya bukanlah isterinya, misalnya dalam suatu rumah seorang suami salah masuk ke dalam kamar yang dikira adalah kamar isterinya, ternyata adalah kamar adik iparnya dan adik iparnya menyangka bahwa laki-laki yang menyutubuhinya adalah suaminya sehingga terjadilah persetubuhan yang keliru. Apabila perbuatan itu terjadi semata-mata memang kekeliruan dan tidak ada unsur kesengajaan, maka dari persetubuhan itu akan melahirkan anak, anak syubhat dalam kategori syubhat perbuatannya.

II. Anak syubhat karena syubhat hukumnya.

Anak syubhat dalam kategori ini lahir karena kekeliruan tentang hukum yang seharusnya tidak boleh dilanggar misalnya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan, yang dikemudian hari ternyata baru diketahui bahwa wanita yang dinikahinya itu adalah adik kandungnya atau saudara sepersusuan dengannya, padahal berdasarkan hukum perkawinan semacam itu dilarang. Apabila dalam perkawinan telah melahirkan seorang anak, maka anak yang dilahirkan akan menyandang status sebagai anak syubhat.50

Beberapa macam anak di atas dalam kategori anak tidak sah, maka KHI menyebutkan dalam Pasal 100 bahwa anak yang lahir di

Referensi

Dokumen terkait

kesempatan dari dokter spesialis karena dokter spesialis tidak selalu berada di lingkungan rumah sakit/ UGD selama 24 jam, maka untuk tindakan medik yang dilakukan atas

Hasil Penelitian diperoleh hasil material logam induk adalah baja ST 42 dengan sifat sifat mekanis sebagai berikut Kekuatan tarik: 43,802 Kg/mm 2, Regangan patah: 4,833 % , Reduksi

KEDELAPAN : Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah (SKPD/UKPD) yang belum menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada diktum diktum KESATU, diktum KEDUA

Melihat beberapa realitas sebagaimana yang telah dipaparkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten

[r]

pada silabus, modul, lembar kerja siswa (LKS), rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), modul, dan soal evaluasi disisipkan aspek NEP ( New Ecological Paradigm

Daya tarik wisata pantai yang menempati prioritas utama dalam pengembangan adalah Pantai Marina didasarkan pada skor potensi gabungan tertinggi, disusul dengan

Kriteria unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan kegiatan yang harus dikerjakan untuk memperagakan hasil kerja/karya pada setiap elemen