• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENAMBAHAN TITANIUM PADA BAJA TAHAN KARAT AISI 316L TERHADAP KETAHANAN KOROSI DALAM APLIKASINYA SEBAGAI IMPLAN LAPORAN TUGAS AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENAMBAHAN TITANIUM PADA BAJA TAHAN KARAT AISI 316L TERHADAP KETAHANAN KOROSI DALAM APLIKASINYA SEBAGAI IMPLAN LAPORAN TUGAS AKHIR"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENAMBAHAN TITANIUM

PADA BAJA TAHAN KARAT AISI 316L

TERHADAP KETAHANAN KOROSI

DALAM APLIKASINYA SEBAGAI IMPLAN

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh:

Reyhan Surianza

102216025

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

UNIVERSITAS PERTAMINA

SEPTEMBER 2020

(2)

P

enga

ruh

P

ena

mbah

an T

it

anium

P

ada

B

aja T

ah

an Ka

ra

t

AI

S

I

316L

T

erha

d

ap Ke

tah

ana

n Ko

rosi

Da

lam Aplikasinya

S

eba

ga

i Impl

an

R

eyha

n S

uria

nz

a

102216025

(3)

PENGARUH PENAMBAHAN TITANIUM

PADA BAJA TAHAN KARAT AISI 316L

TERHADAP KETAHANAN KOROSI

DALAM APLIKASINYA SEBAGAI IMPLAN

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh:

Reyhan Surianza

102216025

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

UNIVERSITAS PERTAMINA

SEPTEMBER 2020

(4)
(5)

Universitas Pertamina - i

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tugas Akhir

: Pengaruh Penambahan Titanium Pada Baja

Tahan Karat AISI 316L Terhadap Ketahanan

Korosi Dalam Aplikasinya Sebagai Implan

Nama Mahasiswa

: Reyhan Surianza

Nomor Induk Mahasiswa

: 102216025

Program Studi

: Teknik Mesin

Fakultas

: Fakultas Teknologi Industri

Tanggal Lulus Sidang Tugas Akhir : 5 September 2020

Jakarta, 11 September 2020

MENGESAHKAN

Pembimbing I

Dr. Eng. Sri Hastuty

NIP. 116104

MENGETAHUI,

Ketua Program Studi

Dr. Eng. Purwo Kadarno.,M.Eng

NIP. 116113

(6)

Universitas Pertamina - ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir berjudul Pengaruh Penambahan Boron dan

Titanium pada Baja Tahan Karat AISI 316L Terhadap Ketahanan Korosi Dalam Aplikasinya

Sebagai Implan ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan tidak

mengandung materi yang ditulis oleh orang lain kecuali telah dikutip sebagai referensi yang

sumbernya telah dituliskan secara jelas sesuai dengan kaidah penulisan karya ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam karya ini, saya bersedia

menerima sanksi dari Universitas Pertamina sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Pertamina hak bebas royalti noneksklusif (non-exclusive royalty-free right) atas

Tugas Akhir ini beserta perangkat yang ada. Dengan hak bebas royalti noneksklusif ini

Universitas Pertamina berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam

bentuk pangkatan data (database), merawat, dan mempublikasikan Tugas Akhir saya selama

tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Jakarta, 10 September 2020

Yang membuat pernyataan,

Reyhan Surianza

NIM : 102216025

(7)

Universitas Pertamina - iii

ABSTRAK

Reyhan Surianza. 102216025.

Pengaruh

Penambahan Titanium pada Baja Tahan Karat

AISI 316L Terhadap Ketahanan Korosi Dalam Aplikasinya Sebagai Implan.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan ketahanan

korosi sumuran (pitting corrosion) di dalam kondisi tubuh manusia antara baja tahan karat

AISI 316L murni dan dengan adanya tambahan dari unsur boron dan titanium. Kemudian

mengetahui varibel benda kerja dengan komposisi penambahan titanium yang optimum pada

baja tahan karat AISI 316L untuk dapat menahan korosi sumuran.

Metode yang dipergunakan adalah metode eksperimen, dengan menggunakan baja

tahan karat AISI 316L hasil manufaktur dari

powder metallurgy. Beberapa perangkat

pengujian digunakan seperti mikroskop cahaya dan mikroskop elektron (SEM) untuk

melakukan observasi permukaan benda kerja, dan alat potensiostat digunakan untuk

melakukan pengujian elektrokimia dan mendapatkan data ketahanan korosi benda kerja.

Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan cara mengamati hasil eksperimen, kemudian

hasil eksperimen disimpulkan dengan menggunakan perangkat lunak origin dalam bentuk

grafik dan tabel.

Hasil kurva tafel dari pengujian polarisasi potensiodinamik siklik menunjukkan

adanya perubahan ketahanan korosi pada benda kerja yang mengalami penambahan boron

dan titanium. Perubahan tersebut terlihat dari nilai potensial korosi (E

corr

), potensial pitting

(E

pit

), dan potensial protektif (E

prot

). Selain itu, hasil dari kurva tafel dan mikrostruktur juga

memperlihatkan terjadinya korosi lokal jenis korosi sumuran yang terjadi pada permukaan

benda kerja.

(8)

Universitas Pertamina - iv

ABSTRACT

Reyhan Surianza. 102216025. Role of Titanium on Corrosion Resistance of 316L Stainless

Steel for Bioimplant Application.

The purpose of this research were to know the differences between pure stainless

steel AISI type 316L and stainless steel AISI 316L with addition of boron and titanium

resistance due to pitting corrosion. Then to know the optimum weight percent titanium

addition on stainless steel AISI 316L to resist pitting corrosion.

The research used experimental methods, with stainless steel AISI type 316L

manufactured by powder metallurgy as the workpiece. The experiment used optical

microscope and scanning electron microscopy for interface observation of the workpiece,

and potentiostat were used to do electrochemical testing and give data result about

corrosion resistance of the workpiece. The collected data is analyzed by looking at

experiment results, then it is summarized using software origin in shape of graph or diagram

and table.

Tafel curve result shown a change in materials corrosion resistance after cyclic

potentiodynamic polarization. Change in parameters such as corrosion potential (E

corr

),

pitting potential (E

pit

), and potential protection (E

prot

) were investigated. Pitting corrosion

is detected by optical microscope on the materials surface after electrochemical experiment

and by analyzing sudden increase of current density in tafel plot.

(9)
(10)

Universitas Pertamina - vi

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.2

Rumusan Masalah ... 3

1.3

Batasan Masalah ... 3

1.4

Tujuan Penelitian ... 4

1.5

Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1

Logam sebagai Bioimplan dalam Tubuh Manusia ... 5

2.2

Stainless Steel ... 7

2.2.1

Stainless Steel dan Kelasnya ... 7

2.2.2

Stainless Steel AISI 316L ... 9

2.2.3

Powder Stainless Steel ... 11

2.3

Definisi dan Bentuk Korosi ... 12

2.4

Pasivitas ... 15

2.5

Sel Galvanik ... 16

2.6

Pitting Corrosion (Korosi Sumuran) ... 18

2.6.1

Definisi dan Bentuk Korosi Pitting ... 18

2.6.2

Mekanisme Terjadinya Korosi Pitting ... 19

2.6.3

Karakteristik Potensial Pitting ... 21

2.7

Biokompatibilitas Stainless Steel 316L di Dalam Tubuh Manusia ... 23

2.8

Penambahan Boron dan Titanium ... 24

2.8.1

Titanium ... 24

2.8.2

Boron ... 24

2.9

Metode Pengujian Ketahanan Korosi ... 26

2.9.1

Open Circuit Potential (OCP) ... 26

2.9.2

Potentiodynamic Polarization ... 28

2.10

Metode Observasi Permukaan ... 32

2.10.1

Scanning Electron Microscope (SEM) ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

3.1

Bentuk Penelitian ... 35

3.2

Metode Pengumpulan Data ... 36

3.2.1

Pembuatan Benda Kerja ... 36

(11)

Universitas Pertamina - vii

3.2.3

Metode Observasi & Karakterisasi Permukaan ... 37

3.2.4

Metode Pengujian Elektrokimia ... 38

3.3

Alat dan Bahan ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

4.1

Pengujian Open Circuit Potential ... 43

4.2

Pengujian Polarisasi Potensiodinamik Siklik ... 44

4.2.1

Hasil Pengujian Polarisasi Potensiodinamik Siklik ... 44

4.2.2

Peningkatan Ketahanan Korosi Hasil Penambahan Unsur ... 46

4.2.3

Hasil Perhitungan Laju Korosi ... 47

4.2.4

Mekanisme Korosi Sumuran dan Peluruhan Lapisan Pasif ... 49

4.3

Observasi Permukaan dengan Mikroskop Optik ... 52

4.4

Karakterisasi Scanning Electron Microscopy - Energy Dispersive X-Ray

Spectroscopy (SEM-EDS) ... 54

5.1

Kesimpulan ... 58

5.2

Saran ... 58

(12)

Universitas Pertamina - viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perbedaan Persen Komposisi Unsur Penyusun dari Stainless Steel Tipe 316, 316L dan

316F... 10

Tabel 2. 2. Perbandingan Karakteristik dan Kekuatan dari Stainless Steel Tipe 316, 316L, dan 316F... 10

Tabel 4. 1. Parameter Nilai Potensial dari Setiap Benda Kerja ... 45

Tabel 4. 2. Persentase Peningkatan Ketahanan Korosi ... 47

Tabel 4. 3. Tabel Hasil Perhitungan Laju Korosi ... 48

(13)

Universitas Pertamina - ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Penggunaan Logam Biomaterial sebagai Implan di dalam Tubuh Manusia.

(Manivasagam, 2010) ... 6 Gambar 2. 3. Contoh Pengaplikasian Logam Biomaterial untuk Implan Tulang Femur dan Sendi Pinggul Dalam Tubuh Manusia ... 7 Gambar 2. 3. Contoh Pengaplikasian Logam Biomaterial untuk Implan Tulang Femur dan Sendi Pinggul Dalam Tubuh Manusia. (Karachalios, 2014) ... 7 Gambar 2. 4 Diagram Pohon Jenis-jenis Stainless Steel dan Contohnya ... 9 Gambar 2. 6. Bentuk-bentuk Korosi yang Dapat Terjadi pada Logam Berdasarkan

Kemunculannya ... 15 Gambar 2. 6. Bentuk-bentuk Korosi yang Dapat Terjadi pada Logam Berdasarkan

Kemunculannya. (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982) ... 15 Gambar 2. 10. Bentuk-bentuk Korosi yang Dapat Terjadi pada Logam Berdasarkan

Kemunculannya ... 16 Gambar 2. 8. Bentuk-bentuk Korosi yang Dapat Terjadi pada Logam Berdasarkan

Kemunculannya. (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982) ... 16 Gambar 2. 9. Potensial Korosi Material pada Kondisi Air LautGambar 2. 10. Bentuk-bentuk Korosi yang Dapat Terjadi pada Logam Berdasarkan Kemunculannya. (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982)... 16 Gambar 2. 11. Potensial Korosi Material pada Kondisi Air Laut ... 17 Gambar 2. 13. Contoh Sel Galvanik antara Elektroda Seng (Anoda) dan Elektroda Tembaga (Katoda)CuSO4 ... 18

Gambar 2. 13. Contoh Sel Galvanik antara Elektroda Seng (Anoda) dan Elektroda Tembaga (Katoda)... 18 Gambar 2. 16. Variasi Bentuk Lubang Pitting Dilihat dari Arah Memotong (Standard Practice G46-76, Annual Book of ASTM Standards Vol. 3. 02, 1988) ... 19 Gambar 2. 15. Variasi Bentuk Lubang Pitting Dilihat dari Arah Memotong ... 19 Gambar 2. 16. Variasi Bentuk Lubang Pitting Dilihat dari Arah Memotong ... 19 Gambar 2. 19. Ilustrasi Mekanisme Terjadinya Korosi Sumuran pada Lingkungan dengan

Konsentrasi Larutan NaCl ... 20 Gambar 2. 18. Ilustrasi Mekanisme Terjadinya Korosi Sumuran pada Lingkungan dengan

Konsentrasi Larutan NaCl. (Winston, 2008) ... 20 Gambar 2. 19. Ilustrasi Mekanisme Terjadinya Korosi Sumuran pada Lingkungan dengan

Konsentrasi Larutan NaCl. (Winston, 2008) ... 20 Gambar 2. 21. Perubahan Sifat Pasivasi Sebuah Logam di Lingkungan dengan Konsentrasi Ion Klorida Terlihat pada Diagram Polarisasi Anodik ... 21 Gambar 2. 21. Perubahan Sifat Pasivasi Sebuah Logam di Lingkungan dengan Konsentrasi Ion Klorida Terlihat pada Diagram Polarisasi Anodik. (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982) ... 21 Gambar 2. 23. Kurva Polarisasi Anodik Memperlihatkan Potensial Pitting (Ep) dan Potensial

Repasivasi (Er) (Galvele, 2005) ... 22 Gambar 2. 23. Kurva Polarisasi Anodik Memperlihatkan Potensial Pitting (Ep) dan Potensial Repasivasi (Er) ... 22 Gambar 2. 27. Kurva Polarisasi Anodik Memperlihatkan Potensial Inhibisi (Galvele, 2005) ... 22 Gambar 2. 25. Kurva Polarisasi Anodik Memperlihatkan Potensial Inhibisi ... 22

(14)

Universitas Pertamina - x Gambar 2. 26. Pengaruh Penambahan Boron Terhadap Ketahanan Korosi pada Proses Solidifikasi Stainless Steel Tipe Austenitik S31254Gambar 2. 27. Kurva Polarisasi Anodik Memperlihatkan Potensial Inhibisi ... 22 Gambar 2. 28. Polarisasi Potensiodinamik pada Titanium di Dalam Konsentrasi Ion Cl dengan Scan Rate 1mV/s ... 25 Gambar 2. 29. Polarisasi Potensiodinamik pada Titanium di Dalam Konsentrasi Ion Cl dengan Scan Rate 1mV/s ... 25 Gambar 2. 31. Pengaruh Penambahan Boron Terhadap Ketahanan Korosi pada Proses Solidifikasi Stainless Steel Tipe Austenitik S31254 ... 25 Gambar 2. 31. Polarisasi Potensiodinamik pada Titanium di Dalam Konsentrasi Ion Cl dengan Scan Rate 1mV/s (Jian Wang, 2019) ... 25 Gambar 2. 34. Ilustrasi Bentuk Sel Korosi Sistem 3 Elektroda Untuk Pengujian Elektrokimia .... 27 Gambar 2. 33. Ilustrasi Bentuk Sel Korosi Sistem 3 Elektroda Untuk Pengujian Elektrokimia. (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982) ... 27 Gambar 2. 34. Ilustrasi Bentuk Sel Korosi Sistem 3 Elektroda Untuk Pengujian Elektrokimia. (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982) ... 27

Gambar 2. 36. Grafik Open Circuit Potential vs. Waktu untuk Lapisan Niobium dan SS304 dalam

Larutan 0.7 M H2SO4 (Pan, 2016) ... 28 Gambar 2. 36. Grafik Open Circuit Potential vs. Waktu untuk Lapisan Niobium dan SS304 dalam Larutan 0.7 M H2SO4 ... 28 Gambar 2. 39. Campuran Reaksi Setengah Sel Dari 2 Elektroda Mekhasilkan Satu Titik

Perpotongan yang Disebut Potensial Reaksi/Korosi (Ecor) (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982) . 30 Gambar 2. 38. Campuran Reaksi Setengah Sel Dari 2 Elektroda Mekhasilkan Satu Titik

Perpotongan yang Disebut Potensial Reaksi/Korosi (Ecor) ... 30 Gambar 2. 39. Campuran Reaksi Setengah Sel Dari 2 Elektroda Mekhasilkan Satu Titik

Perpotongan yang Disebut Potensial Reaksi/Korosi (Ecor) ... 30 Gambar 2. 43. Contoh Diagram Tafel Hasil Pengujian Polarisasi Elektrokimia (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982) ... 31 Gambar 2. 41. Contoh Diagram Tafel Hasil Pengujian Polarisasi Elektrokimia ... 31 Gambar 2. 42. Polarisasi Potensiodinamik (a) Forward Scan (b) Backward Scan untuk

Memperlihatkan Potensial Repasivasi (Eprot)Gambar 2. 43. Contoh Diagram Tafel Hasil Pengujian Polarisasi Elektrokimia ... 31 Gambar 2. 44. Polarisasi Potensiodinamik (a) Forward Scan (b) Backward Scan untuk

Memperlihatkan Potensial Repasivasi (Eprot) ... 32 Gambar 2. 47. Pantulan Tembakan Elektron pada Permukaan Benda Kerja (Agus Sujatno, 2015) ... 33 Gambar 2. 46. Pantulan Tembakan Elektron pada Permukaan Benda Kerja ... 33 Gambar 2. 47. Pantulan Tembakan Elektron pada Permukaan Benda Kerja ... 33 Gambar 2. 49. Perbandingan Hasil Gambar SEM Backscattered dengan Secondary Electron (Ali Saghiri, 2012) ... 34 Gambar 2. 49. Perbandingan Hasil Gambar SEM Backscattered dengan Secondary Electron ... 34

Gambar 3. 1. Diagram Alur Penelitian Tugas Akhir ... 36 Gambar 3. 2. Alur Pembuatan Benda Kerja Baja Tahan Karat 316L Powder Metallurgy (Sadaqat. A, 2019)... 37 Gambar 3. 3. Ilustrasi Sel Korosi pada Saat Pengujian Ketahanan Korosi Terhadap Benda Kerja 38 Gambar 3. 4. Mesin Amplas Forcipol 2V Grinding-Polishing ... 39

(15)

Universitas Pertamina - xi

Gambar 3. 5. Potensiostat Metrohm Autolab PGSTAT302N ... 39

Gambar 3. 6. Carl Zeiss Microscopy Gmbh, ZEISS Primotech MAT ... 40

Gambar 3. 7. Hitachi SU3500 Scanning Electron Microscopy ... 40

Gambar 3. 8. Sel Korosi Akrilik Diameter Lubang 1 cm ... 41

Gambar 3. 9. Elektroda Referensi Silver-Silver Chloride ... 41

Gambar 3. 10. Kawat Platinum ... 41

Gambar 3. 11. Larutan Ringer’s Lactate ... 42

Gambar 4. 1. Kurva Hasil Pengujian Open Circuit Potential ... 43

Gambar 4. 2. Kurva Tafel Hasil Pengujian Polarisasi Potensiodinamik Siklik ... 44

Gambar 4. 3. Perbandingan Nilai Potensial untuk Setiap Penambahan Persen Unsur Titanium .... 45

Gambar 4. 4. Persentase Perubahan Laju Korosi Terhadap Penambahan Persen Unsur Titanium 48 Gambar 4. 5. Ilustrasi Penetrasi Ion Cl- pada (a) antarmuka larutan-lapisan film (b) antarmuka lapisan film-logam ... 50

Gambar 4. 6. Metastable Pitting pada Kurva Tafel (Sara Al Saadi, 2016) ... 51

Gambar 4. 7. Permukaan Benda Kerja Sebelum Pengujian Elektrokimia ... 52

Gambar 4. 8. Permukaan Benda Kerja Setelah dilakukan Pengujian Korosi ... 52

Gambar 4. 9. Hubungan Porositas dengan Laju Korosi Terhadap Penambahan Unsur Titanium .. 54

Gambar 4. 10. Hasil Observasi Permukaan dengan SEM (a1, a2) SS 316L perbesaran 200x dan 1000x (b1, b2) 316L + 0.25B +1.0Ti perbesaran 200x dan 1000x ... 55 Gambar 4. 11. Persebaran Unsur SS 316L + 0.25B+ 2.0Ti dengan SEM-EDS Perbesaran 1000x 56

(16)
(17)

Universitas Pertamina - 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Total Joint Replacement (TJR) merupakan salah satu operasi ortopedi yang saat ini paling banyak dilakukan di dunia (Gang Shen, Fengzhou, F., Chengwei, K, 2018). Berdasarkan rediksi yang dilakukan pada tahun 2008, jumlah pasien berumur 50 tahun ke atas yang mengalami permasalahan tuland dan sendi akan bertambah dua kali lipat pada tahun 2020 (M. Navaro,2008). Dan juga diproyeksikan terjadi peningkatan Total Hip Arthoplasty (THA) dan Total Knee Arthoplasty (TKA) di Amerika Serikat sebanyak 174% dan 673% antara tahun 2005 hingga 2030 (Kurtz S, 2007). Dari prediksi dan proyeksi tersebut, memberikan informasi bahwa akan ada kenaikan permasalahan tulang dan sendi pada beberapa tahun mendatang. Karena perkembangan tersebut, pastinya kebutuhan akan penggunaan bioimplan akan meningkat. Menyebabkan fabrikasi dan produksi menggunakan material bioimplan menjadi lebih tinggi.

Untuk menjadi material bioimplan, dibutuhkan beberapa kriteria karakteristik utama yaitu, biokompatibilitas, ketahanan keausan, ketahanan korosi, dan sifat mekanik yang baik (Gang Shen, Fengzhou, F., Chengwei, K, 2018). Umumnya material yang sering digunakan sebagai bahan bioimplant adalah polimer, logam dan keramik. Keramik memiliki biokompatibilitas yang sangat baik, ketahanan aus, dan korosi yang juga sangat baik(Cooper, J.R., Dowson, D., Fisher, J., et al, 1991). Kekurangan dari keramik adalah tidak bisa menahan pembebanan fatigue, dan ketahanan frakturnya rendah(Pezzotti G, 2014). Sehingga dibandingkan polimer dan logam, keramik sangatlah rapuh untuk menjadi material bioimplan. Polimer memiliki biokompatibilitas yang cukup baik, dan densitas yang rendah sehingga ringan(Lewis, 1997). Akan tetapi, polimer memiliki sifat mekanik yang kurang baik dan partikel/serpihan akibat gesekan yang cenderung menyebabkan keracunan di dalam tubuh manusia (Gispert, M. P., Serro, A. P., Colaço, R., et al., 2006). Di sisi lain, logam memiliki sifat mekanik yang sangat baik, dan juga ketahanan keausan yang cukup baik(Ruggiero A, 2016). Kekurangan dari logam adalah ketahanan korosinya yang rendah dan produk korosinya cenderung menyebabkan keracunan dalam tubuh (Gang Shen, Fengzhou, F., Chengwei, K, 2018). Dan sebanyak 70-80% penggunaan bioimplant terbuat dari bahan metallic biomaterial. Metallic biomaterial digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien pengguna bioimplant dengan merekonstruksi jaringan dalam tubuh yang rusak (Niinomi M, 2012). Oleh karena itu, sampai saat ini material logam masih sangat populer digunakan untuk aplikasi bioimplan.

Material yang termasuk sebagai metallic biomaterial dan umum digunakan sebagai bioimplant dalam dunia ortopedi adalah stainless steel, cobalt – chromium alloys (Co-Cr Alloys), dan titanium alloy (M. Sumita Y. I., 2000). Dari beberapa material tersebut, titanium alloy merupakan metal yang memiliki sifat yang paling cocok untuk diterapkan pada organ dalam tubuh. Biokompatibilitas dalam titanium alloy merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan logam stainless steel dan cobalt – chromium (Co-Cr) alloy (Gang Shen, Fengzhou, F., Chengwei, K, 2018). Titanium alloy memiliki rasio tensile strength terhadap densitas dan ketahanan korosi yang tinggi (Kurtz S, 2007). Akan tetapi harga titanium alloy yang masih mahal masih menjadi permasalahan dalam penggunaan titanium alloy sebagai material bioimplant. Sebagai alternatif dari titanium alloy, stainless steel tipe 316L merupakan logam biomaterial dengan harga yang paling murah

(18)

Universitas Pertamina - 2 dibandingkan dengan cobalt – chromium (Co-Cr) alloy dan titanium alloy (Sumita, 1997). Namun, ketahanan korosi dari stainless steel tipe 316L merupakan yang paling rendah dibandingkan dengan logam biomaterial lainnya.

Sebagai logam biomaterial, stainless steel tipe 316L memiliki beberapa kekurangan, diantaranya adalah produk korosi yang beracun bagi tubuh makhluk hidup, dan fraktur akibat corrosion fatigue dan fretting corrosion fatigue (Sumita M, 2004). Produk korosi stainless steel tipe 316L yang beracun dapat berdampak pada alergi, pembentukan tumor, gangguan kehamilan pada kandungan, dan inflamasi. Korosi pada stainless steel tipe 316L melepaskan ion besi ,ion kromium, dan ion nikel. Ion nikel dikategorikan sebagai unsur berisiko tinggi apabila kita melihat dari sisi permasalahan biokompatibel, karena ion nikel merupakan produk korosi penyebab terjadinya alergi dan kanker (Monographs, 1999). Karena alasan tersebut, penggunaan nikel sebagai aditif pada logam biomaterial sebisa mungkin dihindarkan.

Ada berbagai cara untuk meningkatkan ketahanan korosi dan sifat biokompatibel dari stainless steel tipe 316L, salah satunya adalah dengan melakukan penambahan unsur. Penambahan unsur boron dan titanium pada SS 316L dilakukan oleh peneliti Ali S, Sri H, dan rekan-rekannya untuk mengetahui pengaruh ketahanan korosi secara umum, toksisitas, kepadatan dan kekerasan, dan juga pembentukan pasif filmnya (Sadaqat. A, 2019). Unsur boron ditambahkan untuk meningkatkan proses sintering yang dilakukan dan bertindak sebagai aditif untuk densifikasi(Bayraktaroglu, 2012) &(Sulima, 2015). Dan boron memiliki kecenderungan membentuk borida dengan besi dan nikel sehingga menurunkan peluruhan ion nikel(Szewczyk-Nykiel, 2014). Sedangkan titanium telah diketahui sebagai unsur yang memiliki biokompatibilitas dan ketahanan korosi yang sangat baik (Kurtz S, 2007), sehingga sangat berpotensi untuk meningkatkan karakteristik yang dibutuhkan baja tahan karat 316L sebagai bioimplan. Pencampuran unsur boron dan titanium yang dilakukan peneliti tersebut menggunakan metode powder metallurgy (Sadaqat. A, 2019).

Powder metallurgy merupakan metode yang tepat untuk membuat material dengan campuran yang unik (Erhard. K., 2007). Hasil campuran yang dibuat membentuk mikrostruktur yang homogen, mengurangi unsur pengotor, dan komposisi kimia yang terkontrol secara presisi (Erhard. K., 2007). Selain itu, metode powder metallurgy juga dapat digunakan untuk mengontrol porositas dari baja tahan karat 316L dan meningkatkan ketahanan korosi (Kovacik, 1999). Mengendalikan porositas dari logam sangat penting untuk memodifikasi modulus elastisitas dari logam (Kovacik, 1999) dan mendekati nilai modulus elastisitas tulang manusia. Dari hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa penambahan titanium dapat meningkatkan performansi SS 316L sebagai biomaterial (Sadaqat. A, 2019). Namun penelitian tersebut belum memperlihatkan hasil dari ketahanan terhadap korosi lokal pada SS 316L yang ditambahkan boron dan titanium.

Korosi lokal yang menjadi perhatian besar dalam penelitian ini adalah korosi sumuran. Korosi sumuran merupakan salah satu bentuk korosi lokal yang bersifat merusak dan dapat menyebabkan lubang pada metal. Korosi sumuran dipilih karena proses sintering yang menggunakan powder metallurgy tidak dapat terhindar dari adanya porositas, sehingga dapat menyebabkan lubang-lubang pada permukaan yang dapat menginisiasi korosi sumuran. Ditambah dengan kondisi dalam tubuh yang memiliki konsentrasi ion klorida yang bersifat autokatalitik, sehingga mempercepat terjadinya korosi sumuran. Karena ukurannya yang kecil dan sering tertutupi oleh produk korosinya, korosi sumuran sangat sulit untuk dideteksi dan diprediksi melalui tes laboratorium (Sadaqat. A, 2019). Apabila korosi sumuran terjadi pada SS 316L yang digunakan sebagai implan, material SS

(19)

Universitas Pertamina - 3 316L akan mengalami degradasi. Dan apabila terjadi, dapat menyebabkan timbulnya korosi lainnya pada permukaan yang berbeda.

Dengan menggunakan sampel SS 316L yang sama pada penelitian sebelumnya (Sadaqat A, 2019), penulis ingin mengetahui hasil peningkatan ketahanan korosi seragam dan korosi sumuran yang didapatkan apabila dilakukan penambahan unsur titanium dan boron pada stainless steel tipe 316L di larutan yang mengandung ion klorida. Sekaligus sebagai solusi alternatif dari penggunaan implan titanium alloy yang sangat mahal, sehingga didapatkan bioimplan yang lebih ekonomis dan sesuai dengan jangka waktu penggunaannya.

1.2

Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah pada tugas akhir ini adalah : 1. Bagaimana hasil ketahanan korosi sampel SS 316L dengan tambahan 0.25 wt.% Boron dan

1.0 wt.% Titanium.

2. Bagaimana hasil ketahanan korosi sampel SS 316L dengan tambahan 0.25 wt.% Boron dan 1.5 wt.% Titanium.

3. Bagaimana hasil ketahanan korosi sampel SS 316L dengan tambahan 0.25 wt.% Boron dan 2.0 wt.% Titanium.

4. Berapa penambahan persen berat (wt. %) titanium yang paling optimum untuk menahan korosi berdasarkan hasil yang didapatkan dari setiap sampel.

1.3

Batasan Masalah

Pada dasarnya, cakupan penelitian mengenai peningkatan ketahanan korosi pada SS 316L sangatlah luas. Oleh karena itu, penulis membatasi hal-hal yang dibahas pada tugas akhir ini meliputi: 1. Sampel yang digunakan adalah SS 316L + 0.25 B + 1.0 Ti, SS 316L + 0.25 B + 1.5 Ti, SS

316L + 0.25 B + 2.0 Ti.

2. Fenomena korosi yang diamati adalah korosi seragam dan korosi sumuran (pitting corrosion) pada masing-masing benda kerja.

3. Kondisi lingkungan dibuat serupa dengan kondisi di dalam tubuh manusia dengan menggunakan larutan ringer laktat (konsentrasi 1% NaCl).

4. Scanning Electron Microscopy – Electron Disperse X-Ray Spectroscopy (SEM – EDS) digunakan sebagai metode untuk mengetahui komposisi dan topografi permukaan sampel. 5. Open Circuit Potential, Potentiodynamic Polarization, dan Electrochemical Impedance

(20)

Universitas Pertamina - 4

1.4

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilaksanakannya penelitian “Pengaruh Penambahan Titanium pada Baja

Tahan Karat AISI 316L Terhadap Ketahanan Korosi Dalam Aplikasinya Sebagai Implan”

adalah untuk :

1. Meneliti peningkatan ketahanan korosi sumuran pada sampel SS 316L untuk aplikasi biomaterial apabila ditambahkan unsur titanium.

2. Meneliti penambahan persen berat (wt. %) titanium yang optimum untuk menahan korosi sumuran pada SS 316L.

1.5

Manfaat Penelitian

Bagi bidang akademik, hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan referensi tambahan terutama mengenai mengenai pengaruh unsur titanium untuk ketahanan korosi sumuran pada SS 316L. Memberikan acuan persen berat titanium yang optimal untuk meningkatkan performa SS 316L terhadap ketahanan korosi sumuran.

Bagi bidang medis, memberikan solusi alternatif material SS 316L yang dapat dijadikan bahan pembuatan implan dengan biaya yang lebih murah dari titanium alloy. Menghilangkan produk korosi ion nikel dari SS 316L yang berbahaya, sehingga aman untuk diaplikasikan di dalam tubuh manusia.

(21)
(22)

Universitas Pertamina - 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Logam sebagai Bioimplan dalam Tubuh Manusia

Komponen logam sudah sangat umum untuk digunakan sebagai material bioimplan di dalam tubuh manusia karena sifat logam memiliki kekuatan yang tinggi. Penggunaan bioimplan untuk operasi ortopedi dan perbaikan tulang membutuhkan kekuatan yang tinggi karena akan dikenakan pembebanan siklik yang besar nantinya. Material logam juga sangat kuat terhadap deformasi plastis, sehingga tidak ditemukan adanya kasus deformasi plastis pada penggunaannya sebagai bioimplan untuk tulang manusia.

Tubuh manusia mengandung setidaknya 1% larutan sodium klorida (NaCl), bersamaan dengan larutan garam dan senyawa organik lainnya pada temperatur 37°C (Fontana, 1987). Dengan demikian, cairan dalam tubuh manusia memiliki tingkat korosifitas yang sama dengan air laut yang hangat. Karena alasan tersebut, kondisi di dalam tubuh manusia berpotensi untuk menyebabkan korosi lokal pada logam seperti crevice corrosion, pitting corrosion dan korosi galvanik. Selain itu, tulang manusia memiliki modulus elastisitas sebesar 10 – 40 GPa (Gang Shen, Fengzhou, F., Chengwei, K, 2018). Sehingga dibutuhkan impan yang memiliki kekuatan serupa atau lebih tinggi, dapat menahan korosi dan bersifat biokompatibel. Biokompatibilitas merupakan sifat biomaterial yang tidak memberikan efek racun, iritasi dan alergi terhadap penggunanya saat bioimplan ditanamkan di dalam tubuh (Gang Shen, Fengzhou, F., Chengwei, K, 2018).

Material yang termasuk sebagai metallic biomaterial dan umum digunakan sebagai bioimplan dalam dunia ortopedi adalah stainless steel, cobalt – chromium alloys (Co-Cr Alloys), dan titanium alloy (M. Sumita Y. I., 2000). Diantara material yang telah disebutkan, titanium alloy merupakan material dengan biokompatibilitas, kekuatan dan ketahanan korosi paling tinggi dibandingkan cobalt-chromium alloys (Co-Cr alloys) dan stainless steel (Niinomi M, 2012). Akan tetapi, harga dari titanium alloy yang relatif mahal masih menjadi permasalahan ekonomi tersendiri bagi para penggunanya. Sebagai alternatif dari harga titanium alloy yang mahal, material dengan harga yang lebih murah dapat digunakan seperti stainless steel. Akan tetapi, material stainless steel memiliki kendala pada rendahnya ketahanan korosi terutama pada kondisi di dalam tubuh (Niinomi M, 2012).

(23)

Universitas Pertamina - 6 Gambar 2. 1 Penggunaan Logam Biomaterial sebagai Implan

(24)

Universitas Pertamina - 7

2.2

Stainless Steel

2.2.1

Stainless Steel dan Kelasnya

Stainless steel atau baja tahan karat merupakan salah satu ferro alloy dengan karakteristik ketahanan terhadap korosi yang tinggi, kuat dan cukup ulet. Kata stainless merupakan sebutan untuk sifat stainless steel yang dapat membentuk lapisan pasif saat terpapar udara, membentuk lapisan oksida tipis yang keras dan protektif terhadap proses korosi (S. Kalpakjian, 2009). Lapisan tersebut akan kembali terbentuk apabila terjadi goresan pada permukaan baja tahan karat. Ada beberapa unsur yang terdapat pada baja tahan karat, diantaranya adalah kromium, nikel, molybdenum, titanium, silikon, mangan, nitrogen, sulfur dan aluminum. Dimana persentase komposisi terbesar ada pada kromium dan nikel karena kedua unsur tersebut dapat membentuk pasif film oksida yang kuat untuk menahan korosi (S. Kalpakjian, 2009).

Pembuatan baja tahan karat pada umumnya hampir sama dengan pembuatan baja karbon, yaitu dengan pelelehan bijih besi menggunakan electric furnace. Akan tetapi, terdapat proses tambahan seperti eliminasi unsur pengotor (refining) untuk mengendalikan kandungan dan komposisi di dalamnya. Terdapat 5 (lima) tipe baja tahan karat, dimana empat dari kelima tipe didasarkan pada struktur kristalnya. Sedangkan tipe kelima didasarkan pada cara memperkuatnya. Kelima tipe baja tahan karat tersebut adalah,

Gambar 2. 3.Contoh Pengaplikasian Logam Biomaterial untuk Implan Tulang Femur dan Sendi Pinggul Dalam Tubuh Manusia. (Karachalios, 2014)

(25)

Universitas Pertamina - 8 1. Ferritic Stainless Steel

Baja tahan karat tipe feritik sebagian besar berada pada grade atau seri 400, mengandung sekitar 11 sampai 27% kromium dan memiliki kandungan nikel sedikit atau bahkan tidak sama sekali. Memiliki sifat keuletan yang menengah dan tahan terhadap korosi dan oksidasi. Baja tahan karat tipe ini sangat rentan pada temperatur tinggi, dalam beberapa contoh kurang tangguh. Dan tidak bisa dilakukan hardening melalui perlakuan panas, hanya bisa dilakukan hardening dengan perlakuan dingin (S. Kalpakjian, 2009). Salah satu contoh tipe feritik adalah tipe 409 dengan komposisi kromium 11% dan tanpa nikel yang digunakan untuk sistem gas buang otomotif (Davison, 1999).

2. Austenitic Stainless Steel

Baja tahan karat tipe austenitik umumnya berada pada seri 300 dan 200. Dimana seri 300 mengandung lebih banyak kromium dan nikel. Sedangkan seri 200 mengandung banyak kromium, nikel dan mangan. Namun, tipe austenitik tidak hanya terbatas pada seri 300 dan 200 saja. Baja tahan karat austenitik memiliki ketahanan korosi yang baik untuk kondisi lingkungan yang berbeda-beda, tahan terhadap serangan korosi atmosferik, gas industri dan zat kimia. Tetapi, memiliki kelemahan terhadap korosi retak tegang (SCC) klorida (Davison, 1999). Contoh tipe austenitik yang paling sering digunakan adalah tipe 304 dengan komposisi kromium 18% dan nikel 8% (Davison, 1999). Selain itu terdapat tipe 316 dengan komposisi kromium 18% dan nikel 10%, memiliki ketahanan terhadap kondisi lingkungan kimia yang reaktif seperti atmosfer sekitar laut.

3. Martensitic Stainless Steel

Sama seperti tipe feritik, tipe martensitik berada pada seri 400 dengan komposisi kromium sebesar 11 hingga 18% dan sebagian besar tidak mengandung nikel (S. Kalpakjian, 2009). Perbedaan tipe martensitik dengan austenitik dan feritik adalah tipe martensitik dapat dilakukan hardening dengan perlakuan panas, dan juga aplikasinya untuk kondisi temperatur yang lebih tinggi dan membutuhkan kekerasan yang tinggi (Davison, 1999). Tipe 410 adalah salah satu contoh tipe martensitik dengan komposisi kromium 12,5% dan karbon semaksimal mungkin 0,15%.

4. Duplex Stainless Steel

Tipe dupleks dapat dikatakan sebagai campuran dari tipe austenitik dan feritik, dengan persen komposisi kromium 18 hingga 29%, dan nikel 3 hingga 8 %, ditambahkan dengan elemen lainnya seperti nitrogen dan molybdenum (Davison, 1999). Tipe ini lebih tahan terhadap korosi retak tegang (SCC) klorida dibandingkan dengan tipe austenitik yang rentan terhadap fenomena tersebut. Selain itu tipe ini juga memiliki ketahanan terhadap korosi celah (crevice corrosion) dan korosi sumuran (pitting corrosion), dan juga memiliki kekuatan luluh (yield strength) dua kali ipat lebih besar dari tipe austenitik (Davison, 1999). Tipe dupleks umumnya digunakan untuk aplikasi heat exchanger dan sistem pembangkitan.

5. Precipitation Hardening Stainless Steel

Berbeda dengan tipe lainnya, tipe ini dibuat dengan mekanisme penguatan yang spesifik dari salah satu tipe baja tahan karat. Tipe ini mengandung 11 hingga 18% kromium, 3 hingga 27% nikel dan sedikit kandungan unsur lain seperti tembaga, aluminum, titanium dan molybdenum. Dengan

(26)

Universitas Pertamina - 9 menggabungkan tingkat kekerasan dan kekuatan yang tinggi ditambah dengan ketahanan korosi, sehingga melebihi karakteristik yang terdapat pada tipe martensitik (Davison, 1999).

2.2.2

Stainless Steel AISI 316L

Salah satu baja tahan karat tipe austenitik yang superior dikelasnya adalah seri 316. Baja tahan karat 316 memiliki keunggulan ketahanan terhadap korosi di berbagai lingkungan kimia seperti kondisi atmosfer di daerah sekitar laut. Seri 316 memiliki kandungan persen kromium sebesar 16 sampai 18%, dengan kandungan nikel 10 hingga 14%. Terdapat juga kandungan molybdenum sebesar 2 – 3%, ditambah dengan unsur lain seperti mangan, fosfor, sulfur, silikon, dan nitrogen (Davison, 1999).

Dalam seri 316, banyak sekali modifikasi yang dilakukan untuk menyesuaikan aplikasi kerja sehingga membuat seri 316 baru seperti seri 316H, 316L, 316F dan lainnya. Seri 316L dimodifikasi agar memiliki komposisi persen karbon yang rendah rendah (L untuk Low Carbon). Dengan sifat ketahanan korosi yang sama dengan seri 316, akan tetapi lebih kuat terhadap korosi batas butir

Gambar 2. 4 Diagram Pohon Jenis-jenis Stainless Steel dan Contohnya

(27)

Universitas Pertamina - 10 (intergranular corrosion). Komponen yang dibuat dengan menggunakan bahan baja tahan karat 316L memiliki operasi maksimum pada temperatur 425 °C (Davison, 1999).

Tabel 2.1. Perbedaan Persen Komposisi Unsur Penyusun dari Stainless Steel Tipe 316, 316L dan 316F

Seri

C

Mn

P

S

Si

Cr

Ni

Mo

N

316

0.08

2.00

0.045

0.03

0.75

16.0

10.0

2.00

0.10

Max

Max

Max

Max

Max

18.0

14.0

3.00

Max

316L

0.03

2.00

0.045

0.03

0.75

16.0

10.0

2.00

0.10

Max

Max

Max

Max

Max

18.0

14.0

3.00

Max

316F

0.08

2.00

0.02

0.1

1

16.0

10.0

1.75

-

Max

Max

Max

Max

Max

18.0

14.0

2.50

-

Tabel 2. 2. Perbandingan Karakteristik dan Kekuatan dari Stainless Steel Tipe 316, 316L, dan 316F

Seri

E (Mpa)

Densitas

(kg/m

3

)

TS (MPa)

YS

(MPa)

Hardness

(HB)

316

193.000

8,027

500 – 1000

200 – 750

192 – 217

316L

193.000

8,027

480 – 600

170 – 310

192 – 217

316F

200.000

8,027

580 – 860

240

187

Seri 316L merupakan satu-satunya baja tahan karat tipe austenitik yang digunakan dalam aplikasi biomedik dan pemakaiannya sudah diketahui paling lama dibandingkan logam lainnya (Niinomi M, 2012). Baja tahan karat tipe lain seperti feritik tidak cocok dijadikan bioimplan dalam segi kekuatan, ketangguhan, dan ketahanan terhadap korosi. Dan juga sebagai baja tahan karat, mikrostrukturnya haruslah austenitik agar dapat dijadikan bioimplan material (Sumita M, 2004). Sebagai logam, baja tahan karat memiliki kekuatan tarik, kekuatan lelah, dan ketangguhan terhadap retakan yang lebih baik dibandingkan dengan material polimer dan keramik. Selain itu, seri ini juga memiliki ketahanan korosi terhadap lingkungan kimia yang baik terutama kondisi dalam tubuh.

(Davison, 1999)

(Davison, 1999)

(Davison, 1999)

(28)

Universitas Pertamina - 11 Ketahanan korosi baja tahan karat seri 316L masih lebih lemah dibandingkan dengan logam biomaterial lain seperti paduan kobalt-kromium dan paduan titanium. Paduan titanium memiliki rasio kekuatan terhadap densitas yang tinggi, dan dengan modulus elastisitas (55 – 110 GPa) hampir sama dengan tulang manusia (Gang Shen, Fengzhou, F., Chengwei, K, 2018). Meski begitu, ketahanan terhadap keausan paduan titanium sangat rendah, sehingga rentan terhadap gesekan, sedangkan ketahanan terhadap keausan baja tahan karat seri 316L lebih tinggi dibandingkan dengan paduan titanium. Penggunaan baja tahan karat 316L masih banyak digunakan sebagai bioimplan dikarenakan harganya yang lebih murah lima hingga sepuluh kali lipat harga dari logam biomaterial lain (Sumita, 1997) dan juga lebih mudah dalam proses manufakturnya (Gang Shen, Fengzhou, F., Chengwei, K, 2018). Permasalahan baja tahan karat seri 316L terdapat pada toksisitas dari produk korosi dan produk fretting terhadap tubuh manusia yang dapat menyebabkan alergi, iritasi dan pembentukan tumor (M. Sumita Y. I., 2000).

2.2.3

Powder Stainless Steel

Powder metallurgy atau pembuatan logam dengan bahan dasar serbuk atau powder merupakan alternatif lain dari pembuatan logam stainless steel. Terdapat beberapa kekurangan dari pembuatan stainless steel dengan metode pencetakan dan metode penempaan, salah satunya adalah karena kurang meratanya struktur dari batas butir ikatan paduannya, sehingga karakteristik dan kekuatan dari stainless steel juga tidak merata (Erhard. K., 2007).

Beberapa keunggulan yang dimiliki dari stainless steel hasil powder metallurgy adalah kita dapat mengatur densitas dan porositas dari produk. Densitas dari logam dapat diatur dengan pemilihan bentuk serbuk, penambahan zat aditif, kompaksi, dan perlakuan panas pada saat proses sintering. Secara fabrikasi, powder metallurgy tergolong murah, terutama untuk produksi massal, karena tidak perlu lagi dilakukan machining setelah logam berhasil menjadi produk, dan dimensi dari produk jadi sangat mudah untuk dikendalikan. Selain itu, kemampuan metode powder metallurgy memungkinkan menggunakan paduan unsur yang lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan metode cetak dan tempa, sehingga produk yang dihasilkan dapat lebih variatif (S. Kalpakjian, 2009). Akan tetapi, kekurangan dari stainless steel dengan metode powder metallurgy adalah ketahanan korosinya sedikit lebih rendah dibandingkan stainless steel hasil metode cetak dan tempa (Erhard. K., 2007). Berikut ini adalah tahapan dari pembuatan logam menggunakan metode powder metallurgy secara umum :

1. Produksi serbuk atau powder logam

Pembuatan serbuk logam dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa cara, pemilihan cara pembuatan serbuk logam mempengaruhi mikrostruktur, permukaan, komposisi kimia dan bentuk dari produk akhir. Salah satu contoh metode yang banyak digunakan adalah gas atomisasi, dimana lelehan logam dialirkan melalui lubang kecil dan dari lubang kecil tersebut ditembakkan dengan udara atau gas bertekanan tinggi (Kalpakjian, 2009). Metode pembuatan serbuk lainnya juga dapat dilakukan dengan menggunakan air (water atomization), dan pastinya menghasilkan karakteristik yang berbeda seperti ukuran dan bentuk dari serbuk logam. Metode gaz atomization cenderung memiliki produk serbuk logam yang berbentuk bulat atau spherical, dan water atomization membuat serbuk logam lebih padat karena produknya yang menyerupai bubur dan harus dikeringkan terlebih dahulu (Kalpakjian, 2009). Masih banyak lagi metode produksi serbuk logam yang dapat digunakan seperti electrolytic deposition, comminution, dll. Untuk ukuran dari hasil serbuk logam sendiri berkisar antara 0,1 hingga 1000 μm.

(29)

Universitas Pertamina - 12 2. Pencampuran (Blending)

Blending merupakan proses mencampurkan serbuk logam yang ingin diproduksi dengan ditambahkan pelumas dan aditif di dalam pot pengaduk besar. Pelumas berfungsi untuk mengurangi gesekan antar serbuk logam, meningkatkan pembentukan serbuk logam di cetakan, dan biasanya proporsi yang dimasukkan sebesar 0,25 hingga 5% dari total berat (Kalpakjian, 2009). Tambahan aditif juga dibutuhkan untuk meningkatkan beberapa sifat seperti untuk meningkatkan kekuatan green density pada saat kompaksi dan juga dapat meningkatkan kemampuan sintering (Kalpakjian, 2009).

3. Kompaksi

Serbuk yang telah melewati proses pencampuran dilakukan pembentukan sesuai produk akhir dengan menggunakan cetakan dan diberikan tekanan yang sesuai, pemberian tekanan dapat digunakan tekanan mekanik maupun hidrolik (Kalpakjian, 2009). Sehingga didapatkan bentuk, densitas dan kontak antar serbuk logam yang diinginkan. Serbuk logam yang telah dilakukan kompaksi disebut dengan green compact (Kalpakjian, 2009). Hasil dari green compact sangatlah rapuh karena kontak antar serbuk hanya dilakukan dengan pemberian tekanan, besarnya tekanan mempengaruhi densitas dari green product dan juga distribusi kekuatannya (Kalpakjian, 2009).

4. Sintering

Proses selanjutnya adalah memanaskan green compact di dalam furnace dengan temperatur di bawah titik leleh material, tetapi temperatur yang digunakan juga harus cocok untuk melakukan ikatan antar partikel serbuk. Temperatur yang digunakan berkisar antara 70-90% dari titik leleh material dan untuk paduan logam besi dilakukan pemanasan mulai dari 10 menit hingga 8 jam untuk tungsten dan tantalum (Kalpakjian, 2009). Proses sintering berkelanjutan umumnya menggunakan tiga ruang pemanasan atau tiga tempat, yaitu burn-off chamber, high-temperature chamber, dan cooling chamber. Burn-off chamber digunakan untuk menguapkan pelumas pada green compact dan meningkatkan kekuatan ikatan antar partikelnya (Kalpakjian, 2009). High-temperature chamber merupakan tempat utama terjadinya proses sintering, yaitu penyatuan serbuk logam hingga membentuk ikatan (Kalpakjian, 2009). Dan cooling chamber berfungsi sebagai tempat pendinginan setelah melakukan sintering (Kalpakjian, 2009).

2.3

Definisi dan Bentuk Korosi

Korosi merupakan degradasi material disebabkan karena reaksinya dengan lingkungan (Fontana, 1987). Atau dapat disebut juga sebagai hasil reaksi kimia antara logam dengan lingkungannya yang bersifat destruktif (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982). Secara definisi, korosi memang hanya berfokus pada material logam saja, akan tetapi peristiwa degradasi pada material lain seperti polimer juga perlu mendapat perhatian. Sedangkan karat (logam oksida hidrat) merupakan produk yang dihasilkan dari proses korosi pada logam karena bereaksi dengan air/uap air dan oksigen.

Terjadinya korosi pada perangkat maupun alat yang kita gunakan sehari-hari dapat memberikan dampak negatif dalam aspek ekonomi, maupun aspek keselamatan dan keamanan. Pada tahun 1998, NACE International mencatat biaya yang diakibatkan karena peristiwa korosi di industri Amerika Serikat berjumlah $276 juta per tahun (NACE International, 1998). Nilai tersebut sebanding

(30)

Universitas Pertamina - 13 dengan 3.1% Produk Domestik Bruto (PDB) dari Amerika Serikat pada tahun 1998. Selain itu, dampak ekonomi dari korosi juga dapat berupa penurunan tingkat produksi karena kerusakan maupun pemeliharaan rutin, kerugian produk karena ada kebocoran akibat korosi, dan penurunan efisiensi mesin yang tentu saja semua aspek tersebut mengeluarkan biaya yang sangat besar. Peristiwa korosi juga pernah menghasilkan korban jiwa seperti yang terjadi pada runtuhnya jembatan Silver Bridge di Pt. Pleasant, West Virginia, Amerika Serikat, yang menyebabkan 46 orang tewas akibat adanya stress corrosion cracking (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982). Dengan begitu, perlu adanya perhatian terhadap peristiwa korosi untuk menghindari dampak negatif dari segi ekonomi maupun segi keselamatan.

Korosi memiliki beberapa bentuk atau jenis, diklasifikasikan berdasarkan kemunculannya pada logam yang terkorosi. Berdasarkan buku yang ditulis oleh (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982) dan (Fontana, 1987) terdapat 8 (delapan) bentuk korosi yang umum terjadi pada logam :

1. Korosi Merata (Uniform Corrosion)

Korosi merata merupakan bentuk korosi yang paling umum dan sering terjadi pada logam. Bentuk korosi ini terjadi karena kontak antara permukaan logam dengan lingkungan secara merata. Bentuk korosi ini bukan jenis yang ekstrim, karena bukan termasuk bentuk korosi lokal. Dampak dari korosi ini hanya terjadi pada permukaan logam dan hanya mendegradasi sebagian kecil ketebalan logam.

2. Korosi Galvanik

Korosi galvanik adalah korosi yang terjadi pada dua logam yang bertemu atau disatukan dengan potensial berbeda (E0), atau memiliki kandungan unsur yang berbeda sehingga menyebabkan adanya beda potensial. Logam atau unsur yang lebih reaktif akan menjadi anoda dan mengalami degradasi, sedangkan logam yang lebih mulia (noble) akan menjadi katoda dan terlindungi dari proses korosi. Potensial dari logam mengikuti deret galvani atau deret EMF, semakin kecil atau negatif nilainya pada deret galvani maka akan semakin mudah mengalami degradasi.

3. Korosi Celah (Crevice Corrosion)

Seperti namanya, korosi celah terjadi pada lubang, celah pada baut, permukaan gasket, dan lap joint. Korosi ini dapat terjadi karena paparan atmosfir pada celah, sehingga menyebabkan adanya perbedaan konsentrasi oksigen di dalam celah dan di luar celah.

4. Korosi Sumuran (Pitting Corrosion)

Korosi sumuran merupakan bentuk korosi yang menghasilkan lubang, diameter dan kedalaman dari lubang dapat bervariasi. Korosi sumuran dapat terjadi karena peluruhan lapisan oksida pada permukaan logam. Peluruhan lapisan oksida secara lokal dapat menyebabkan area paparan permukaan logam dengan lingkungan menjadi kecil, sehingga proses korosi hanya terjadi pada area tersebut.

5. Korosi Erosi

Fluida yang korosif dan berkecepatan tinggi atau bertekanan tinggi dapat menyebabkan terjadinya korosi erosi. Kasus korosi ini sering terjadi pada sistem perpipaan dengan fluida bertekanan tinggi. Fluida yang berkecepatan rendah memiliki laju korosi erosi yang lambat,

(31)

Universitas Pertamina - 14 sedangkan kecepatan fluida yang tinggi lebih mudah untuk mendegradasi dinding pipa karena adanya gesekan.

6. Korosi Batas Butir (Intergranular Corrosion)

Pada beberapa kondisi, batas butir dapat menjadi lebih reaktif dan menghasilkan korosi pada area batas butir. Seperti pada saat baja tahan karat yang dilakukan pemanasan 500 - 1000°C, mengakibatkan peluruhan unsur kromium pada area batas butir dan menghasilkan korosi batas butir pada baja tahan karat.

7. Selective Leaching/Dealloying

Korosi ini terjadi pada alloy dengan adanya unsur yang lebih aktif (negatif secara potensial EMF) terhadap unsur lain didalamnya, seperti pada proses dezincifikasi. Unsur seng (Zn) reaktif terhadap unsur tembaga (Cu) mengalami peluruhan pada logam kuningan. Sehingga hanya menyisakan unsur tembaga (Cu) pada logam alloy tersebut.

8. Stress Corrosion Cracking (SCC)

Stress Corrosion Cracking mengacu kepada crack atau retakan akibat dari adanya tegangan tarik statis dan didukung dengan lingkungan yang korosif. Semakin besar tegangannya yang terjadi pada perangkat atau logam, maka semakin cepat juga terjadinya retakan dan mempercepat terjadinya kegagalan. Sehingga untuk aplikasi daerah korosif dengan pembebanan yang besar, dibutuhkan juga material yang lebih kuat untuk menghindari terjadinya stress corrosion cracking.

(32)

Universitas Pertamina - 15

2.4

Pasivitas

Pasivitas merupakan suatu kondisi ketahanan terhadap korosi dimana logam maupun paduan logam untuk membentuk lapisan film oksida pada permukaannya (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982). Setiap logam dan paduannya memiliki kondisi pasivitasnya masing-masing untuk menahan korosi secara alami. Beberapa logam dan paduannya dapat dibuat dalam kondisi pasif dengan cara dipaparkan pada lingkungan yang memicu kondisi pasif (seperti besi dalam larutan nitrit), atau dengan polarisasi anodik pada rapat arus yang tinggi (high current density), contohnya seperti besi pada larutan H2SO4 (Winston, 2008). Pada Gambar 2. 4. diperlihatkan perubahan perilaku pasivitas dari suatu logam yang berbeda setiap ada kenaikan potensial dan polarisasi anodik. Pada potensial yang rendah, laju korosi yang direpresentasikan dengan rapat arus berjalan cepat dan meningkat seiring dengan meingkatnya potensial, kondisi tersebut disebut dengan kondisi aktif. Setelah melewati potensial pasif primer (Epp), pembentukan lapisan pasif berjalan stabil dan laju korosi menjadi lebih rendah karena telah memasuki kondisi pasif. Pada potensial yang lebih tinggi lagi, lapisan pasif film meluruh dan laju rapat arus anodik meningkat pada kondisi transpasif.

Gambar 2. 6. Bentuk-bentuk Korosi yang Dapat Terjadi pada Logam Berdasarkan Kemunculannya. (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982)

(33)

Universitas Pertamina - 16

2.5

Sel Galvanik

Prinsip sel galvanik dapat digunakan untuk mengetahui laju korosi dari sebuah logam terhadap lingkungannya. Umumnya sel galvanik terdiri dari elektroda positif (katoda), elektroda negatif (anoda), larutan elektrolit dan kawat konduktor yang menghubungkan kedua elektroda. Dari satu sel tersebut terjadi reaksi oksidasi-reduksi, dimana oksidasi terjadi pada anoda atau elektroda yang memiliki nilai potensial yang rendah. Dan reduksi terjadi pada katoda atau elektroda yang memiliki nilai potensial lebih tinggi. Nilai potensial dari suatu elektroda dapat dilihat pada deret galvanik atau deret gaya elektromotif (EMF) seperti pada gambar 2. 5.

Cara kerja dari sel galvanik seperti pada gambar 2. 6. dimulai dari terjadinya proses oksidasi anoda seng (Zn) menjadi ion seng (Zn2+) dan masuk ke larutan ZnSO

4. Zn(s) → Zn2+(aq) + 2e

-Elektron dari reaksi anoda tersebut mengalir melalui kawat penghantar menuju katoda. Elektron yang telah sampai di katoda akan mereduksi ion tembaga (Cu2+) dari larutan CuSO

4 menjadi unsur tembaga (Cu) yang kemudian mengendap pada permukaan katoda (elektroda tembaga). Total arus negatif dan positif di dalam larutan elektrolit memiliki nilai sebanding dengan total arus yang dilalui elektron pada kawat konduktor.

Cu2+

(aq) + 2e- → Cu(s)

Gambar 2. 8. Bentuk-bentuk Korosi yang Dapat Terjadi pada Logam Berdasarkan Kemunculannya.

(34)

Universitas Pertamina - 17 Karena proses oksidasi-reduksi tersebut menyebabkan ion SO42- lebih banyak di sel katoda (Cu) sehingga untuk menyeimbangkannya ion SO42- berpindah ke sel anoda melalui jembatan garam. Pada akhirnya massa dari elektroda seng akan mengalami degradasi dan elektroda tembaga akan mengalami pertambahan massa. Sedangkan larutan CuSO4 akan menjadi encer, dan larutan ZnSO4 akan menjadi lebih pekat.

(35)

Universitas Pertamina - 18

2.6

Pitting Corrosion (Korosi Sumuran)

2.6.1

Definisi dan Bentuk Korosi Pitting

Korosi pitting merupakan salah satu jenis korosi lokal dimana hasil korosinya berupa lubang pada permukaan material logam (Fontana, 1987). Diameter lubang yang dihasilkan dari hasil korosi tersebut bervariasi, namun lebih sering muncul dalam ukuran diameter yang relatif kecil. Ukurannya yang kecil ini membuat korosi pitting sangat sulit dideteksi dan sering tertutupi oleh produk korosi (karat). Korosi pitting juga sulit untuk diprediksi terutama jika terjadi lubang pitting yang dalam. Apabila dilihat dari luar permukaan metal, pitting hanya terlihat sebagai lubang dengan diameter yang kecil (Jones, 1996). Akan tetapi jika kita melihat bagian dalamnya, bentuk dari lubang pitting memiliki banyak variasi seperti yang digambarkan pada Gambar 2. 7. Bentuk dari korosi pitting tersebut sangat bergantung pada komposisi metal dan kondisi lingkungannya.

Zn Zn Cu Cu

V

- - + + e -e -Jembatan Garam Na2SO4

Zn

(s)

→ Zn

2+(aq)

+ 2e

-

Cu

2+(aq)

+ 2e

-

→ Cu

(s) ZnSO4 CuSO4

Gambar 2. 13. Contoh Sel Galvanik antara Elektroda Seng (Anoda) dan Elektroda Tembaga (Katoda)

(36)

Universitas Pertamina - 19

2.6.2

Mekanisme Terjadinya Korosi Pitting

Korosi pitting lebih cepat terjadi pada lingkungan yang memiliki tingkat keasaman yang tinggi (pH rendah). Selain itu, kondisi lingkungan yang memiliki kandungan ion halida seperti ion F-, Cl-, Br-, I- juga dapat mempermudah inisiasi korosi pitting pada permukaan logam karena sifatnya yang agresif dan mampu berikatan dengan kation pada permukaan logam secara cepat (Fontana, 1987). Diantara ion halida tersebut, anion Cl- adalah yang paling agresif untuk membentuk korosi pitting.

Korosi pitting pertama kali terjadi pada potensial pitting (Epit) yang juga dapat direpresentasikan sebagai ukuran ketahanan metal pada korosi pitting. Semakin positif nilai Epit suatu logam, maka semakin tahan juga logam tersebut terhadap korosi pitting. Pada saat menyentuh titik potensial pitting (Epit), konsentrasi dari ion Cl- meningkat pada permukaan logam. Peningkatan konsentrasi Cl- menghasilkan ikatan dengan ion positif yang ada pada permukaan logam. Ion positif yang merupakan kation pada permukaan logam menjadi terurai dan terlepas ke elektrolit. Akibatnya, lapisan film protektif (lapisan oksida) pada logam menjadi menipis dan selanjutnya menyebabkan lapisan film protektif hilang sepenuhnya pada daerah tersebut (Guangfang, C., Danqing, Y., Huiqun, L., 2019). Terbukanya lapisan film protektif dapat juga disebabkan karena adanya cacat pada logam dan gesekan dari lingkungan. Setelah lapisan film protektif pada permukaan logam menghilang, ion Cl- mengikat unsur logam yang terurai dan terjadilah lubang pitting pada logam. Untuk memperjelas fenomena korosi sumuran, diberikan contoh mekanisme dan reaksi korosi sumuran pada logam stainless steel di lingkungan dengan konsentrasi sodium klorida.

(Standard Practice G46-76, Annual Book of ASTM Standards Vol. 3. 02, 1988) Gambar 2. 15. Variasi Bentuk Lubang Pitting Dilihat dari Arah

(37)

Universitas Pertamina - 20 1. Inisiai pitting dimulai dengan meluruhnya lapisan pasif protektif (Cr2O3, Fe2O3, dan NiO)

karena ion Cl- yang ada pada larutan elektrolit NaCl. Sehingga membuat permukaan baja tahan karat terekspos larutan elektrolit pada satu titik (korosi lokal).

2. Setelah korosi lokal terjadi dan meluruhkan lapisan film pada permukaan baja tahan karat, terjadi reaksi anodik peluruhan permukaan logam

Fe → Fe2+ + 2e-

3. Elektron yang dihasilkan dari reaksi anodik berpindah menuju katoda (permukaan pasif) dan menghasilkan reaksi katodik,

1

2O2 + H2O + 2e

- → 2(OH)-

4. Sehingga reaksi yang terjadi untuk membentuk lubang pitting karena ion Cl- menjadi, Fe2+ + Cl- + 2(OH)- → Fe(OH)

2 + 2HCl

Dimana Fe(OH)2 merupakan basa lemah dan HCl merupakan asam kuat, menyebabkan penurunan pH atau meningkatkan keasaman pada lubang pitting. Sehingga reaksi korosi pitting berjalan semakin cepat.

5. Karena ion Cl- berikatan cepat dan bersifat agresif, menjadikan degradasi material baja tahan karat terutama di lubang pitting yang telah terbentuk menjadi lebih cepat. Karena sifatnya tersebut senyawa HCl akan mudah terurai kembali dan kembali membentuk reaksi kimia dengan cepat seperti yang telah ditunjukkan di atas.

Gambar 2. 18. Ilustrasi Mekanisme Terjadinya Korosi Sumuran pada Lingkungan dengan Konsentrasi Larutan NaCl. (Winston, 2008)

(38)

Universitas Pertamina - 21

2.6.3

Karakteristik Potensial Pitting

Terdapat 3 (tiga) titik potensial yang dapat mendeskripsikan kondisi pitting apabila kita melihat hasil polarisasi pada diagram tafel, ketiga titik potensial tersebut diantaranya adalah :

1. Pitting Potential (Epit)

Merupakan titik potensial dimana lubang pitting secara stabil bertumbuh apabila melewati titik potensial (Epit) tersebut. Dan pada daerah di bawah titik potensial pitting tidak terjadi pembentukan lubang pitting namun lubang yang telah ada masih bisa untuk tetap bertumbuh (Galvele J. R., 1978). Pada titik ini terjadi peningkatan mendadak pada arus karena adanya pembentukan lubang pitting, sehingga apabila melihat tafel diagram akan terlihat kenaikan arus yang signifikan setelah mencapai titik potensial pitting (Epit).

2. Repassivation Potential (Er)

Potensial repasifasi merupakan titik potensial yang lebih rendah dibandingkan dengan potensial pitting (Epit). Pada daerah di atas titik repasifasi (Er) sampai titik potensial pitting, lubang pitting yang telah ada akan tetap bertumbuh. Dan pada daerah di bawah titik repasifasi, tidak terjadi lagi pertumbuhan lubang pitting atau mengalami kondisi pasif. Semakin negative Er maka semakin dalam lubang pitting yang terjadi pada logam (Galvele J. R., 1978).

Gambar 2. 21. Perubahan Sifat Pasivasi Sebuah Logam di Lingkungan dengan Konsentrasi Ion Klorida Terlihat pada Diagram Polarisasi Anodik. (Jones, D. A. & Parkins, R. N., 1982)

(39)

Universitas Pertamina - 22 3. Inhibition Potential (Ei)

Potensial inhibisi merupakan titik potensial yang lebih tinggi dari potensial pitting, dimana metal kembali ke keadaan pasif setelah mengalami pitting atau melewati potensial pitting. Akan tetapi keadaan ini hanya muncul pada kondisi lingkungan tertentu saja. Seperti pada baja tahan karat 18-10 kromium-nikel di dalam larutan klorida yang mengandung ion nitrat, di atas potensial pitting dimana kembali ke keadaan pasif (Schwenk, 1964).

(Galvele, 2005)

Gambar 2. 23. Kurva Polarisasi Anodik Memperlihatkan Potensial Pitting (Ep) dan Potensial Repasivasi (Er)

(Galvele, 2005)

(40)

Universitas Pertamina - 23 Gambar 2. 10. dan Gambar 2. 11. memperlihatkan ketiga titik potensial setiap karakter pitting dengan menggunakan tafel diagram. Ketiga potensial tersebut dapat kita amati apabila kita melakukan percobaan menggunakan potensiostat dengan metode potensiostatik maupun potensiodinamik dari pengukuran polarisasi anodik (Szklarska-Smialowska, 2005).

2.7

Biokompatibilitas Stainless Steel 316L di Dalam Tubuh Manusia

Sebagai material bioimplan, baja tahan karat 316L diharuskan memiliki kemampuan biokompatibilitas yang baik apabila diaplikasikan dalam tubuh manusia. Dalam beberapa kasus klinis dan penelitian, stainless steel 316L dapat menyebabkan kegagalan pada organ tubuh, dan mengalami degradasi material dengan produknya yang berbahaya bagi jaringan dalam tubuh. Degradasi dari stainless steel 316L umumnya diakibatkan karena adanya proses korosi dan gesekan atau keausan. Sehingga menghasilkan produk seperti ion logam, koloid kompleks, metal oksida, senyawa organik, dan partikel hasil keausan (Valerio S, 2013). Dimana metal oksida dan metal hidroksida sebagai produk utamanya yang dapat ditemukan pada bagian synovial (Valerio S, 2013). Partikel dari hasil degradasi logam tersebut dapat berinteraksi dengan jaringan tubuh terdekat, seperti ion logam yang dapat masuk ke dalam aliran darah dan terkonsentrasi pada sel darah merah. Ion logam juga dapat masuk ke dalam sel manusia dan menyebabkan sitotoksik, genotoksik, dan mengganggu imunitas jaringan di sekitar implan tersebut (Doorn PF, 1998). Masuknya ion logam ke dalam sel tubuh dapat terjadi dengan adanya proses difusi dan endositosis (Billi F, 2010). Setelah masuk ke dalam, sel tubuh juga terpapar oksida yang dapat berbahaya bagi tubuh dan menghasilkan oksida reaktif. Oksida reaktif merupakan turunan dari kromium, nikel, kobalt dan titanium yang dapat menyebabkan dampak oksidatif terhadap nukleus, protein, dan lemak (Valerio S, 2013). Sebenarnya untuk ion kobalt, kromium, nikel, dan vanadium merupakan unsur normal dan penyusun enzim yang ada pada tubuh manusia. Hanya saja, apabila dosisnya yang tinggi di dalam jaringan tubuh, dapat menyebabkan racun atau menjadi zat yang berbahaya (Valerio S, 2013).

Kasus lain dari kegagalan yang disebabkan oleh penggunaan implan baja tahan karat 316L adalah efek stress shielding. Stress shielding merupakan fenomena penyebab pendeknya umur penggunaan implan buatan yang disebabkan karena modulus elastisitas pada saat fabrikasi bioimplan (Niinomi M, 2012). Stress shielding adalah fenomena distribusi pembebanan yang tidak berimbang antara implan dengan tulang (Niinomi M, 2012). Modulus elastisitas implan yang lebih besar dari modulus elastisitas tulang akan menyebabkan pembebanan yang lebih dominal pada bioimplan, sehingga berakibat pada menyusutnya densitas tulang karena kurangnya pembebanan tarik dan kompresi (Niinomi M, 2012). Semakin bioimplan mendekati nilai modulus elastisitas dari tulang, semakin menurun juga dampak dari stress shielding. Stainless steel 316L yang memiliki nilai modulus elastisitas (200 GPa) di atas tulang manusia (40 GPa) memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk menyebabkan fenomena stress shielding (Ahmad Jabir R, 2016).

(41)

Universitas Pertamina - 24

2.8

Penambahan Boron dan Titanium

2.8.1

Titanium

Stainless steel merupakan paduan logam yang mudah terkena dampak korosi sumuran dibandingkan dengan logam lainnya. Oleh karena itu, meningkatkan ketahanan korosi sumuran untuk paduan stainless steel masih terus dikembangkan. Salah satu unsur yang dapat ditambahkan untuk meningkatkan ketahanan korosi sumuran stainless steel adalah titanium.

Unsur titanium telah dikenal karena ketahanannya terhadap korosi sumuran dan korosi celah di dalam air laut atau daerah sekitar laut. Paparan air laut selama 4,5 tahun akan menyebabkan penipisan 0,0008 mm/tahun (Winston, 2008). Ketahanan titanium terhadap larutan klorida optimum terjadi pada temperatur ruang, ketahanannya terhadap larutan klorida berkurang seiring dengan kenaikan temperatur lingkungan. Akan tetapi, titanium sangat rentan terhadap korosi sumuran dalam lingkungan konsentrasi FeCl3, tetapi sangat kuat pada lingkungan klorida lainnya.

Pitting potential (Ep) dari logam stainless steel tipe 316L berada pada potensial 0.3 V di dalam larutan 0.6 M NaCl (Sara Al Saadi, 2016), sedangkan untuk pitting potential dari logam titanium (grade 2, purity 99.6%) pada larutan 0.6 M NaCl berada pada potensial 1,1 V terlihat dari kurva tafel pada 2. 13. (Zhonglin Jiang, 2010). Sehingaa dengan menambahkan unsur titanium ke dalam paduan stainless steel, setidaknya dapat meningkatkan nilai pitting potential (Ep) hingga ke titik tertentu.

2.8.2

Boron

Penambahan boron pada komposisi stainless steel tipe austenitik S31254 dengan metode solid solution dikatakan dapat meningkatkan ketahanan terhadap korosi sumuran dan korosi batas butir (Jian Wang, 2019). Akan tetapi, pengaruh penambahan boron untuk ketahanan korosi sumuran pada stainless steel tipe tersebut tidak mengalami kenaikan yang signifikan, bahkan terbilang sangat kecil, namun masih mempengaruhi peningkatan ketahanan terhadap korosi sumuran. Selain itu, penambahan unsur boron juga memicu peningkatan produksi lapisan pasif film (Mo-oksida dan Cr2O3) pada permukaan stainless steel S31254, sehingga dapat meningkatkan ketahanan terhadap korosi (Jian Wang, 2019). Kurva tafel pada gambar 2. 12. memperlihatkan penelitian yang dilakukan oleh Jian Wang dan rekan-rekannya tentang pengaruh penambahan unsur boron pada baja tahan karat austenitik S31254 di dalam 10% larutan NaCl.

Boron sebagai unsur paduan juga terbukti dapat meningkatkan proses pemadatan, terutama pada metode powder metallurgy dengan meningkatkan densitas secara keseluruhan dari logam (Sadaqat Ali, 2019). Secara unsur tunggal, boron dikenal sebagai unsur yang memiliki karakteristik kekuatan, kerapatan dan kekakuan yang tinggi, sehingga tepat untuk meningkatkan densitas dari paduan logam terutama yang terbuat dari proses sintering (S. Kalpakjian, 2009).

(42)

Universitas Pertamina - 25 Gambar 2. 28. Polarisasi Potensiodinamik pada Titanium di Dalam Konsentrasi Ion Cl

dengan Scan Rate 1mV/s

(Zhonglin Jiang, 2010)

Gambar 2. 31. Pengaruh Penambahan Boron Terhadap Ketahanan Korosi pada Proses Solidifikasi Stainless Steel Tipe Austenitik S31254

Gambar

Gambar 2. 3.  Contoh Pengaplikasian Logam Biomaterial untuk Implan Tulang Femur dan
Gambar 2. 4 Diagram Pohon Jenis-jenis Stainless Steel dan Contohnya  (Arita Prima Indonesia Tbk, 2018)
Tabel 2.1. Perbedaan Persen Komposisi Unsur Penyusun dari Stainless Steel Tipe 316, 316L dan  316F
Gambar 2. 6. Bentuk-bentuk Korosi yang Dapat Terjadi pada Logam Berdasarkan Kemunculannya
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada setiap pertemuan, maka kesemua kategori aktivitas yang diharapkan dilakukan oleh guru. Khususnya untuk aktivitas membimbing

Penerapan teknologi yang dimaksud salah satunya adalah sistem absensi menggunakan RFID.Pada tugas akhir ini dirancang suatu perangkat absensi siswa yang menggunakan Arduino, RFID

Semakin tebal dinding tangki, maka transfer panas dari dinding ke fluida akan semakin kecil, sehingga dapat diabaikan.. Berikut adalah perhitungan tekanan fluida pada temperatur 35

Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur Penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan akhir ini yang

Hal ini bisa dihitung dengan adanya jumlah bahan baku biogas yang melimpah dan rasio antara energi biogas dan energi minyak bumi yang menjanjikan (8900 kkalhn3 gas

Adapun hasil penelitian ini adalah menghasilkan perangkat pembelajaran IPA terpadu, menghasilkan perangkat pembelajaran IPA terpadu (Buku siswa, LKS, dan lembar penilaian)

Perlakuan sistem olah tanah terhadap hasil biji kering kacang tanah berdasarkan sidik ragam menunjukkan berpengaruh tidak nyata (Tabel 1). Hal ini diduga bahwa pengolahan