• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KATEGORI PENGOBATAN TERHADAP KEBERHASILAN PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KATEGORI PENGOBATAN TERHADAP KEBERHASILAN PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KATEGORI PENGOBATAN TERHADAP KEBERHASILAN

PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS

Nur Annisa1, Sutanto Priyo Hastono1

1Departemen Biostatistik/KKB Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok

ARTICLE INFO ABSTRACT

Article history Submitted : 2019-04-09 Revised : 2019-11-20 Accepted : 2019-11-27 Keywords: Treatment Tuberculosis Successful

Untreated tuberculosis disease will cause death 50% after diagnosis in five years. The indicator of the success tuberculosis program can be measured by the success rate of treatment, the national standard of the success rate of treatment in Indonesia is 85%. The purpose of this study was determining the influence of treatment category on the successful treatment at Poli Paru Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon at 2017 with the confounding variables were age, gender, smear-positif, comorbid diabetes mellitus and complications tuberculosis. A retrospective cohort study design was used in this study. We use data on tuberculosis patients who were registered in Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) which began treatment in January to December 2017 until the treatment process was completed. Sampling was conducted by simple random sampling of 113 people. We used multiple logistic regression test with causal models for data analysis. The results showed successfully treatment were 53 (46.9%) patients and a statistically significant relationship between the treatment categories and the successful treatment of tuberculosis (p value = 0.039) after being controlled by age, smear-positif before treatment, and other disease complications. Tuberculosis patients with category I treatment had Risk 4.2 times higher to succeed than patients with category II treatment (RR = 4.2; 95% CI 1.08-16.41). The conclution of this study is treatment category among tuberculosis patients was influencer of the success treatment. Increasing the success treatment can be sought by providing education in the community to immediately report and seek treatment if there are symptoms of tuberculosis.

Kata Kunci: Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis

Penyakit tuberculosis yang tidak diobati mengakibatkan kematian sebenyak 50% setelah didiagnosis selama lima tahun. Indikator keberhasilan pengobatan tuberkulosis dapat diukur dengan melihat angka keberhasilan pengobatan, standar keberhasilan pengobatan tuberkulosis di Indonesia adalah 85%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kategori pengobatan terhadap keberhasilan pengobatan di Poli Paru Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon Tahun 2017 dengan variabel confounding umur, jenis kelamin, dahak pertama, komorbiditas diabetes melitus, dan komplikasi tuberkulosis. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kohort retrospektif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pasien tuberkulosis yang telah terdaftar di Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) yang memulai pengobatan pada bulan Januari sampai Desember 2017 hingga pengobatan selesai. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling sebanyak 113 orang. Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji regresi logistik multivariabel dengan model faktor risiko. Hasil penelitian menunjukkan keberhasilan pengobatan yang terjadi sebanyak 53 (46,9%) pasien, dan secara statistik memiliki pengaruh yang signifikan antara kategori pengobatan terhadap keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis (nilai p = 0.039) setelah dikontrol oleh variabel umur, dahak pertama sebelum pengobatan dan komplikasi penyakit lainnya. Pasien tuberkulosis dengan kategori pengobatan I memiliki risiko keberhasilan 4,2 kali lebih tinggi dibanding pasien dengan kategori pengobatan II (RR = 4.2; CI 1.08–6.41). Kesimpulan dari penelitian ini adalah kategori pengobatan diantara pasien tuberkulosis berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan. Peningkatan keberhasilan pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan informasi di masyarakat untuk segera melapor dan berobat terdapat tanda-tanda tuberkulosis.

 Corresponding Author: Nur Annisa

Departemen Biostatistik/KKB Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok Telp. 085255417019

Email: ichsannisanur@gmail.com

ISSN 2528-5602 (Online), ISSN 2443-3861 (Print)

(2)

PENDAHULUAN

Sampai saat ini TB masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia utamanya di negara berkembang. Pada tahun 2016 TB masih berada di posisi ke 10 penyebab kematian tertinggi di Dunia yaitu sekitar 1,3 juta kematian. Pada tahun 2017 Indonesia menempati peringkat ke 3 dengan jumlah kasus TB tertinggi yaitu sekitar 8% dari kasus TB yang ada di seluruh Dunia (WHO, 2018). Kasus TB yang tercatat di Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 420.994 (data per 17 mei 2018) (Indah, 2018). Pasien TB yang tidak diobati setelah 5 tahun didiagnosa 50% akan meninggal dunia, 25% akan sembuh sendiri bagi yang memiliki daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% menjadi kasus kronis yang menular (Kemenkes RI, 2011).

TB membutuhkan waktu penyembuhan yang sangat lama dengan disiplin yang tinggi dalam pengobatan. Lama pengobatan dan jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diberikan berbeda berdasarkan jenis TB dan komplikasinya. Pasien TB diharuskan mengkonsumsi OAT sesuai dengan dosis yang dianjurkan oleh petugas kesehatan. Penelitian (Sianturi, 2014) menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat minum obat dengan kekambuhan TB Paru (P= 0,001; OR = 9,450;

95% CI; 2,621-34,073). Bagi pasien yang tidak

teratur minum OAT ditengah proses pengobatan akan berisiko terkena TB resisten obat (TB RO) yang membutuhkan waktu pengobatan lebih lama untuk disembuhkan. Hal tersebut sesuai dengan beberapa penelitian yang menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya resisten terhadap OAT adalah ketidakteraturan minum obat (Nugrahaeni & Malik, 2015; SR, Nurlaela, & A, 2012).

Salah satu indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan program TB adalah angka keberhasilan pengobatan TB. Standar angka keberhasilan pengobatan berdasarkan WHO adalah 85% yang selanjutnya dijadikan standar keberhasilan program pengendalian TB nasional. Berdasarkan standar tersebut, Indonesia telah mencapai angka keberhasilan pengobatan TB sejak tahun 2006. Pada tahun 2017 angka keberhasilan pengobatan pasien TB kembali mencapai 85,1%, yaitu terdiri dari 43,1% pasien dengan pengobatan yang lengkap dan 42% pasien TB dengan pengobatan yang sembuh (Indah, 2018).

Pengobatan TB dibedakan berdasarkan riwayat pengobatan pada pasien TB baru atau pasien TB yang belum pernah diobati menggunakan pengobatan kategori I. Pada pasien TB yang sudah mengkonsumsi OAT sebelumnya atau biasa juga disebut dengan pasien yang melakukan pengobatan kembali menggunakan paduan kategori II (Kemenkes RI, 2009). Hal tersebut dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan. Berhe, Enquselassie, dan Aseffa (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pasien TB yang melakukan pengobatan kembali berpengaruh terhadap ketidakberhasilan pengobatan (AOR = 2,00;

95% CI 1,37-2,92).

Nizar (2017) di dalam bukunya menyatakan bahwa menurut WHO ada tiga variabel yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pasien TB yaitu variabel pelayanan kesehatan, riwayat perjalanan penyakit, dan lingkungan. Pengobatan TB juga dipengaruhi oleh adanya penyakit penyerta yang membutuhkan tambahan obat dan waktu pengobatan lebih lama (PDPI, 2011). Yusnitasari et al. (2016) juga dalam penelitiannya menyebutkan komorbiditas DM pada penyakit TB meningkatkan risiko terhadap keparahan penyakit (RR = 1,89; 95%CI 1,01-3,55).

Penelitian lain menyebutkan bahwa adapun peluang pasien TB yang gagal pengobatan lebih tinggi terjadi pada umur yang lebih dari 40 tahun (OR = 2,50; 95%CI

1,12-5,59), jumlah anggota keluarga lebih dari 5 (OR

= 3,10; 95%CI 1,33-7,24), dan kasus

pengobatan kembali (OR = 2,00; 95%CI

1,37-2,92) (Berhe et al., 2012).

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Cilegon merupakan salah satu rumah sakit rujukan untuk menjalani pengobatan bagi pasien TB di kota Cilegon dan sebagian wilayah di Kabupaten Serang. Jumlah suspek TB di Poli Paru RSUD Kota Cilegon yang tercatatat di Sistem Informatik Tuberkulosis Terpadu (SITT) meningkat dari tahun 2015 sampai 2017. Tahun 2015 pasien suspek TB sebanyak 617 orang, sedangkan yang diobati di RSUD Kota Cilegon sebanyak 29 orang (kasus baru 26 orang dan pengobatan ulang 3 orang). Pada tahun 2016 pasien suspek meningkat sebanyak 779 orang dan yang melakukan pengobatan sebanyak 190 orang dengan sebaran pasien baru sebanyak 176 orang dan pengobatan kembali sebanyak 14 orang.

(3)

Angka keberhasilan pengobatan di RSUD Kota Cilegon masih dibawah standar program nasional. Pada tahun 2016 angka keberhasilan pengobatan hanya mencapai 24%. Berdasarkan fakta tersebut, dilakukan penelitian tentang hubungan kategori pengobatan dengan keberhasilan pengobatan pasien TB di Poli Paru RSUD Kota Cilegon.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitan kohort retrospektif. Penelitian ini adalah studi klinis dengan pengambilan data dimulai pada pasien TB yang tercatat melakukan pengobatan pada bulan Januari 2017 sampai Desember 2017 hingga masa pengobatan terakhir. Penelitian ini telah mendapatkan ijin penelitian dan penggunaan data dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Cilegon No. 070/403/Diklat.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Kota Cilegon, Provinsi Banten. Wilayah kerja Rumah Sakit ini mencakup Kota Cilegon dan Sebagian daerah Kabupaten Serang. Data yang digunakan dalam penelitian berasal dari hasil pencatatan pada Sistem Informatik Tuberkulosis Terpadu (SITT) di Poli Paru RSUD Kota Cilegon.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien tuberkulosis yang menjalani pengobatan di Poli Paru RSUD Kota Cilegon. Sampel penelitian adalah pasien tuberkulosis paru yang menjalani pengobatan di Poli Paru RSUD Kota Cilegon yang mulai menjalani pengobatan bulan Januari – Desember Tahun 2017.

Besar sampel ditentukan dengan menggunakan uji hipotesis dua proporsi, dengan α = 0,05 dan kekuatan uji = 80%. Total sampel minimal sebanyak 104 sampel. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara

simple random sampling dengan kriteria

eksklusi data tidak lengkap dan pasien TB anak. Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu berupa data yang tercatat di SITT dan mulai melakukan pengobatan di Poli Paru RSUD Kota Cilegon Tahun 2017. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah

keberhasilan pengobatan, variabel independen adalah kategori pengobatan, sedangkan variabel kovariat antara lain umur pasien, jenis kelamin, hasil uji lab dahak pertama, komorbid TB-DM, dan komplikasi TB.

Analisis Data

Analisis data menggunakan software komputer melalui dua tahap yaitu analisis deskriptif, bivariat dan multivariat. Analisis deskriptif dilakukan untuk menganalisa gambaran karakteristik responden. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji

chi-square untuk melihat adanya hubungan

antara viabel independen dan variabel dependen, sedangkan analisis multivariat dilakukan dengan uji multiple logistic

regression model faktor risiko yang bertujuan

untuk mengetahui risiko pengaruh kategori pengobatan terhadap keberhasilan pengobatan pasien TB dengan mengontrol variabel-variabel yang menjadi confounding di Poli Paru RSUD Kota Cilegon Tahun 2017 secara valid.

HASIL PENELITIAN Hasil Analisis Deskriptif

Status terakhir pengobatan pasien TB di Poli Paru RSUD Kota Cilegon di kelompokkan menjadi 5 yaitu sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, putus berobat/mangkir dan pindah berobat. Prevalensi pasien yang TB berdasarkan keberhasilan pengobatannya yaitu 8,8% (10 orang) yang sembuh, 38,1% (43 orang) dengan pengobatan lengkap, 14,2% (16 orang) meninggal saat pengobatan, 23% (26 orang) putus berobat/mangkir, dan 15,9% (18 orang) yang pindah tempat berobat.

Gambar 1. Distribusi Hasil Pengobatan TB di Poli Paru RSUD Kota Cilegon Tahun 2017

(4)

Pasien TB di Poli Paru RSUD Kota Cilegon tahun 2017 yang berhasil menjalani pengobatan sebanyak 46,9 % (53 orang). Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan pasien TB di RSUD Kota Cilegon masih jauh dari standar keberhasilan pengobatan nasional.

Hasil Analisis Bivariat

Pada tabel 1 terlihat bahwa pasien TB dengan kategori pengobatan II yang berhasil menyelesaikan pengobatan TB sebanyak 3 (15,8) orang, sedangkan pasien dengan kategori pengobatan I yang berhasil melakukan pengobatan TB sebanyak 50 (53,2%) orang. Pada kategori umur dapat diketahui bahwa kebanyakan pasien TB yang berhasil dalam

pengobatan adalah pasien TB umur 15-54 tahun yaitu sebanyak 44 orang (53,7%), sedangkan pada responden umur > 54 tahun yang berhasil dalam pengobatan sebanyak 9 (29,0%) orang.

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin yang berhasil dalam pengobatan pada kelompok perempuan sebanyak 23 (51,1%) orang, sedangkan pada kelompok laki-laki yang berhasil dalam pengobatan sebanyak 30 (44,1%) orang. Pada pemeriksaan dahak pertama, sebelum melakukan pengobatan, responden yang berhasil dalam pengobatan yang memilikihasil pemeriksaan dahak BTA negatif (-) sebanyak 41 (56,9%) orang, sedangkan pada hasil pemeriksaan dahak BTA positif (+) sebanyak 12 (29,3%) orang.

Tabel 1. Analisis Hubungan Kategori Pengobatan dan Karakteristik Responden menurut Keberhasilan Pengobatan Pasien TB di RSUD Kota Cilegon Tahun 2017

Karakteristik Responden

Keberhasilan Pengobatan Total

RR

(95% CI) Nilai p Berhasil Tidak Berhasil

n % n % n % Kategori Pengobatan I 50 53,2 44 46,8 94 100 6,06 0,006 II 3 15,8 16 84,2 19 100 1,66-22,19 Jumlah 53 46,9 60 53,1 113 100 Umur (Tahun) 15- 54 44 53,7 38 46,3 82 100 2,83 0,03 > 54 9 29,0 22 71,0 31 100 1,16-6,88 Jumlah 53 46,9 60 53,1 113 100 Jenis Kelamin Perempuan 23 51,1 22 48,9 45 100 1,32 0,59 Laki-laki 30 44,1 38 55,9 68 100 0,62-2,82 Jumlah 53 46,9 60 53,1 113 100 Dahak Pertama Negatif 41 56,9 31 43,1 72 100 3,20 0,008 Positif 12 29,3 29 70,7 41 100 1,41-7,24 Jumlah 53 46,9 60 53,1 113 100 Komorbid DM Tidak 44 46,3 51 53,7 95 100 0,86 0,98 Ya 9 50,0 9 50,0 18 100 0,32-2,36 Jumlah 53 46,9 60 53,1 113 100 Komplikasi TB Ada 25 40,3 37 59,7 62 100 0,56 0,18 Tidak ada 28 54,9 23 45,1 51 100 0,26-1,17 Jumlah 53 46,9 60 53,1 113 100

Keberhasilan pengobatan pasien TB menurut pasien yang memiliki komorbiditas dengan DM sebanyak 9 (50,0%) orang, sedangkan yang tidak memiliki komorbiditas

dengan DM sebanyak 44 (46,3%) orang. Pada kelompok pasien TB disertai komplikasi penyakit khusus yang berhasil dalam pengobatan sebanyak 28 (54,9%), sedangkan

(5)

kelompok pasien TB tanpa komplikasi penyakit yang berhasil dalam pengobatan sebanyak 25 (40,3%) orang.

Berdasarkan hasil uji chi-square dapat dilihat bahwa secara statistik terdapat beberapa variabel memiliki hubungan terhadap keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis (nilai p < 0,05) yaitu kategori pengobatan, umur dan dahak pertama pasien sebelum diberi pengobatan (tabel 1).

Hasil Analisis Multivariat

Analisis multivariat diawali dengan melihat adanya interaksi antara kategori pengobatan dengan umur dan kategori pengobatan dengan jenis kelamin. Variabel memiliki interaksi jika nilai p < 0.05. Seleksi dilakukan dengan cara mengeluarkan variabel interkasi yang tidak signifiikan secara bertahap dimulai dari variabel yang memiliki nilai p paling tinggi (Hastono, 2017). Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat variabel interaksi dalam penelitian ini.

Selanjutnya, uji confounding dilakukan dengan mengeluarkan variabel kandidat

confounding secara bertahap dimulai dari yang

memiliki nilai signifikansi paling besar kemudian dilihat perubahan nilai Risk Rasio (RR) pada variabel independen utamanya yaitu kategori pengobatan. Bila perubahan RR < 10% maka variabel yang dikeluarkan bukan

confounding dan bila perubahan RR > 10%

maka variabel yang dikeluarkan dimasukkan kembali ke dalam model karena dianggap sebagai confounding (Hastono, 2017).

Pada penelitian ini variabel jenis kelamin dikeluarkan dari model lebih dulu karena memiliki nilai signifikasi paling tinggi kemudian dilakukan evaluasi terhadap perubahan RR dan didapatkan perubahan RR < 10% artinya jenis kelamin bukan merupakan

confounding dan begitu juga dengan variabel

komorbid DM sehingga kedua variabel tersebut dikeluarkan dari pemodelan. Artinya jenis kelamin dan komorbid DM bukan merupakan variabel confounding terhadap keberhasilan pengobatan TB.

Tabel 2. Pemodelan Akhir Regresi Logistik Multivariat Keberhasilan Pengobatan Pasien TB di Poli Paru RSUD Kota Cilegon Tahun 2017

Variabel B Nilai p RR 95% CI

Kategori Pengobatan 1,437 0,039 4,209 1,077 - 16,441

Umur (Tahun) 1,004 0,044 2,729 1,028 - 7,248

Dahak Pertama 0,909 0,041 2,483 1,039 - 5,934

Komplikasi TB -0,548 0,207 0,578 0,246 - 1,355

Hasil analisis multivariat pada pemodelan akhir Regresi Logistik Multivariat memperlihatkan bahwa umur, hasil uji lab dahak pertama sebelum pengobatan, dan komplikasi penyakit lainnya dengan TB merupakan confounding pada pengaruh kategori pengobatan terhadap keberhasilan pengobatan TB. Dari model tersebut dapat dijelaskan bahwa pasien dengan pengobatan kategori I mempunyai risiko 4,2 kali lebih tinggi untuk berhasil dalam pengobatan dibandingkan dengan pasien pengobatan kategori II setelah dikontrol oleh variabel umur, hasil uji lab sebelum diberi obat, dan komplikasi penyakit lannya dengan TB.

PEMBAHASAN

Hasil analisis data pada penelitian ini menunjukkan bahwa kategori pengobatan

pasien TB berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan. Selain itu variabel lain yang juga berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan TB adalah umur dan hasil tes dahak sebelum pengobatan.

Berdasarkan kategori pengobatan TB, sebagian besar responden pada penelitian ini yang berhasil dalam adalah pasien dengan kategori pengobatan I dibandingkan pasien dengan pengobatan kategori II. Pengobatan kategori I mempunyai peluang untuk mendapat keberhasilan dalam pengobatan TB 4,2 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan pengobatan kategori II (RR = 4,2; 95% CI 1,08–16,44). Hal itu disebabkan pesien pengobatan dengan pengobatan kategori I belum pernah mengkonsumsi OAT sehingga proses pengobatan lebih baik dan tidak memiliki potensi untuk resisten terhadap jenis

(6)

OAT yang membutuhkan pengobatan lebih lama, kecuali pasien tersebut adalah pasien TB RO akibat tertular oleh pasien TB RO lainnya.

Lama pengobatan dengan kategori I adalah minimal 6 bulan sedangkan untuk kategori II minimal 8 bulan. Pasien dengan pengobatan kategori II adalah pasien TB yang sudah pernah mengkonsumsi OAT diantaranya yaitu pasien kambuh, pasien gagal pengobatan dan pasien yang mengikuti pengobatan setelah putus obat atau mangkir (Kemenkes RI, 2011).

Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa pasien TB yang berobat kembali (pernah mengkonsumsi OAT) meningkatkan risiko kegagalan pengobatan. Hasil penelitian Vijay et al (2011) di India memperlihatkan bahwa kasus TB pengobatan kembali merupakan salah satu faktor yang menyebabkan risiko potensial terjadinya kematian pada pasien TB yang menjalani pengobatan. Getahun et al (2011) dalam studinya juga menyebutkan bahwa karakteristik pasien TB yang berhubungan dengan kematian selama proses pengobatan adalah kasus pengobatan ulang.

Hal yang sama juga diutarakan dalam penelitian Berhe et al (2012) yang menyatakan bahwa pasien dengan pengobatan kembali memiliki peningkatan risiko hasil pengobatan yang gagal dibandingkan dengan pasien TB baru. Ini dikarenakan pengobatan kembali merupakan kontributor utama pada kasus TB resisten obat. Salah satu faktor risiko kegagalan dalam pengobatan juga ditentukan pada perilaku dan kebiasaan pasien. pasien yang dulunya mangkir dalam proses berobat ada kencederungan untuk gagal lagi dalam pengobatan (Munoz-Sellart M., Cuevas L.E., Tumato M., Merid Y., & Yassin M.A., 2010).

Prevalensi umur pasien TB pada penelitian ini lebih tinggi pada usia 15 – 54 tahun yaitu 82 (72,6%) orang yang mana lebih banyak terdapat pada kelompok kategori pengobatan I yaitu 70 (85,4%) orang sedangkan 12 (14,6%) orang lainnya dengan kategori pengobatan II. Hasil analisis statistik pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden umur 15 – 54 tahun berhasil dalam pengobatan karena umur tersebut merupakan umur produktif yang mana masih memiliki daya tahan tubuh lebih baik dibandingkan umur diatas 54 tahun. Daya tahan tubuh yang baik berfungsi untuk memproteksi

penyakit untuk berkembang di dalam tubuh sehingga dapat membantu proses penyembuhan, yang mana dikatakan dalam Pedoman Nasional Penanggulangan TB bahwa 25% pasien TB yang tidak diobati akan sembuh karena adanya daya tahan tubuh yang tinggi (Kemenkes RI, 2011).

Tingkat umur pasien TB dapat mempengaruhi kerja efek OAT karena metabolisme obat dan fungsi organ tubuh kurang efisien pada pasien yang berumur tua. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap ketidakberhasilan pengobatan pada usia tua yang berisiko untuk melakukan pengobatan lagi dengan pengobatan kategori II. Hasil penelitian Jakperik dan Ozoje (2012) menunjukkan bahwa risiko kambuh pada pasien TB disebabkan oleh umur.

Penelitian Millet et al (2011) menyatakan bahwa salah satu faktor risiko kematian pada pasien TB adalah pasien dengan umur antara 41 – 60 tahun dan risiko tersebut lebih meningkat lagi pada umur diatas 60 tahun. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Berhe et al (2012) yang menyatakan bahwa umur > 40 tahun akan mempengaruhi kegagalan pengobatan pada pasien TB. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pasien TB dengan rentan umur antara 16-35 tahun memiliki hubungan yang signifikan dalam keberhasilan pengobatan TB (Nafae, Elshahat, Said, & Ibrahim, 2017).

Pada hasil pemeriksaan dahak sebelum pengobatan ditemukan pasien TB BTA negatif (-) lebih banyak dibandingkan pasien TB BTA positif (+). Pada pasien TB BTA positif (+) biasanya dilanjutkan pengawasan terhadap keluarga pasien karena pasien tersebut berpotensi untuk menularkan penyakit TB. Hasil uji multiple logistic regression menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan dahak pertama merupakan variabel confounding dalam hubungan kategori pengobatan dengan keberhasilan pengobatan pasien TB. Ini disebabkan karena pasien TB BTA negatif (-) mayoritas pasien TB baru yang merupakan pasien dengan kategori pengobatan I, sedangka pasien TB BTA positif (+) lebih banyak pasien dengan pengobatan kembali (pengobatan kategori II). Pasien TB BTA negatif (-) memiliki risiko yang lebih rendah untuk menularkan TB ke orang lain dibanding pasien TB BTA positif (+) sehingga perlu pengawasan lebih lanjut kepada keluarga pasien TB BTA

(7)

positif (+) untuk mencegah terjadinya penularan TB secara bolak balik. Ini bertolak belakang dengan penelitian Munoz-Sellart M. et al. (2010) pada pasien TB di Ethiopia, pasien TB BTA negatif (-) memiliki tingkat kematian lebih tinggi (10%) dibandingkan pasien TB BTA positif (+) (4,9%). Itu karena kebanyakan pasien TB BTA negatif (-) juga terinfeksi HIV sehingga sistem imun mereka kurang mampu untuk membantu proses penyembuhan sehingga mengakibatkan keterlambatan pengobatan dan berakhir dengan hasil pengobatan yang buruk (Yassin et al., 2004 dalam Munoz-Sellart M. et al., 2010).

KESIMPULAN DAN SARAN

Terdapat hubungan yang signifikan antara kategori pengobatan TB dengan keberhasilan pengobatan di Poli Paru RSUD Kota Cilegon Tahun 2017. Variabel

confounding yang berhubungan terhadap

keberhasilan pengobatan TB di Poli Paru RSUD Kota Cilegon Tahun 2017 adalah umur dan hasil pemeriksaan dahak pertama.

Kategori pengobatan memiliki hubungan yang signifikan terhadap keberhasilan pengobatan, yang mana kategori pengobatan ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan pasien TB. Pasien dengan Kategori pengobatan I memiliki peluang yang lebih besar untuk berhasil dalam pengobatan dibanding pasien dengan pengobatan kategori II. Artinya pasien baru memiliki potensi untuk berhasil dalam pengobatan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang melakukan pengobatan kembali sebagai akibat dari penatalaksanaan pengobatan yang tidak adekuat.

Dari hasil tersebut disarankan kepada pemegang program TB untuk memberikan edukasi kepada masyarakat dan pasien TB khususnya terkait informasi berupa efek samping OAT dan penanggulangannya serta urgensi disiplin dalam masa pengobatan dengan OAT dengan harapan pasien dapat lebih patuh dalam pengobatan. Selain itu juga diharapkan adanya kerjasama lintas sektor dengan pemerintah setempat untuk menginformasikan kepada masyarakat agar segera melaporkan jika mengetahui adanya gejala TB di sekitar tempat tinggalnya agar penanggulan dan pengobatan dapat segera dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan TB ke orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Berhe, G., Enquselassie, F., & Aseffa, A. (2012). Treatment Outcome of Smear-Positive Pulmonary Tuberculosis Patients in Tigray Region, Northern Ethiopia.

BioMed Central Public Health, 12(537).

Diambil dari http://www.biomedcentral. com/1471-2458/12/537.

Getahun, B., Ameni, G., Biadgilign, S., & Medhin, G. (2011). Mortality and Associated Risk Factors in A Cohort of Tuberculosis Patients Treated Under DOTS Programme in Addis Ababa, Ethiopia. BMC Infectious Diseases, 11(127). https://doi.org/10.1186/1471-2334-11-127.

Hastono, S. P (2017). Analisis Data Pada

Bidang Kesehatan (2 ed.). Depok:

Katalog Dalam Terbitan (KDT).

Indah, M. (2018). Tuberkulosis. InfoDATIN. https://doi.org/2442-7659.

Jakperik, D., & Ozoje, M. O. (2012). Survival Analysis of Average Recovery Time of Tuberculosis PAtients in Northern Region, Ghana. International Journal of

Current Research, 4, 1–3. Diambil dari

www.udsspace.uds.edu.gh.

Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkolosis (TB), Pub. L. No. 364/MENKES/SK/V/2009, Menteri Kesehatan RI (2009). Indonesia. Diambil dari https://www. scribd.com/ doc/166657886/ KMK-No- 364-ttg- Pedoman-Penanggulangan-Tuberkolosis-TB-2-pdf.

Kemenkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis: Edisi 2, Pub. L. No. 364/MENKES/SK/V/2009 (2011). Indonesia.

Millet, J.-P., Orcau, A., Rius, C., Casals, M., Garcia De Olalla, P., Moreno, A., … Group, W. (2011). Predictors of Death Among Patients Who Completed Tuberculosis Treatment: A Population-Based Cohort Study. PLoS One, 6(9). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0025 315.

Munoz-Sellart M., Cuevas L.E., Tumato M., Merid Y., & Yassin M.A. (2010). Factors Associated with Poor Tuberculosis Treatment Outcome in The Southern Region of Ethiopia. International Journal of Tuberculosis and Lung

(8)

Disease, 14(8), 973–979. Diambil dari https://www.ingentaconnect.com/content/ iuatld/ijtld/2010/00000014/00000008/art 00010#.

Nafae, R. M., Elshahat, H. M., Said, A. M., & Ibrahim, M. A. (2017). Reviewing Treatment Outcomes of Tuberculosis Patients at Zagazig Chest Hospital (2008–2012). Egyptian Journal of Chest

Diseases and Tuberculosis, 66(4), 623–

630. https://doi. org/ 10. 1016/ j.ejcdt.2017.10.006.

Nizar, M. (2017). Pemberantasan dan

Penanggulangan Tuberkulosis (Revisi).

Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Nugrahaeni, D. K., & Malik, U. S. (2015). Analisis Penyebab Resisten Obat Anti Tuberkulosis. KEMAS: Jurnal Kesehatan

Masyarakat, 11(1), 8–15. Diambil dari

https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ kemas/article/view/3341/3562.

PDPI. (2011). Tuberkulosis: Pedoman

Diagnosis dan Penatalaksanaan di

Indonesia (Revisi per). Jakarta:

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Sianturi, R. (2014). Analisis Faktor yang

Berhubungan dengan Kekambuhan TB Paru (Studi Kasus di BKPM Semarang Tahun 2013). Unnes Journal of Public

Health, 3(1). https://doi.org/

10.15294/UJPH.V3I1.3157.

SR, D. S., Nurlaela, S., & A, I. Z. (2012). Faktor Risiko Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB). KEMAS:

Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(1), 60–

66. Diambil dari https://journal. unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/ article/ view/ 2260/2697.

Vijay, S., Kumar, P., Singh Chauhan, L., Vadigepalli, S., Rao, N., & Vaidyanathan, P. (2011). Treatment Outcome and Mortality at One and Half Year Follow-Up of HIV Infected TB Patients Under TB Control Programme in a District of South India. Plos One, 6(7). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0021 008.

WHO. (2018). Global Tuberculosis Report 2018. Geneva: World Health Organization. Diambil dari http://apps. who.int/ bookorders.

Yusnitasari, A. S., Thaha, I. L. M., & Syafar, M. (2016). Komorbiditas Diabetes Mellitus terhadap Manifestasi Klinik dan Kualitas Hidup pada Penderita Tuberkulosis Paru. Media Kesehatan

Masyarakat Indonesia, 11(2), 86–91.

https://doi.org/10.30597/MKMI.V11I2.5 29.

Gambar

Gambar  1.  Distribusi    Hasil  Pengobatan TB  di Poli Paru RSUD Kota Cilegon  Tahun 2017
Tabel  1.  Analisis  Hubungan  Kategori  Pengobatan  dan  Karakteristik  Responden  menurut  Keberhasilan Pengobatan Pasien TB di RSUD Kota Cilegon Tahun 2017
Tabel 2. Pemodelan Akhir Regresi Logistik Multivariat Keberhasilan Pengobatan Pasien  TB di Poli Paru RSUD Kota Cilegon Tahun 2017

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa relasi dukun dan calon kepala Desa Studi Kasus Pemilihan Kepala Desa Seguring Kecil Pada tahun 2017 di sebabkan karena masyarakat masih

Motivasi menurut Djamarah, dkk (2002), adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi motivasi untuk belajar adalah kondisi

(1989) yang mengamati peranan vitamin C terhadap induk ikan trout mencatat bahwa pada saat vitelogenesis, kandungan kolesterol serum induk yang menerima pakan dengan

pendekatan CTL berbantuan penilaian kinerja memiliki pemahaman konsep yang lebih baik daripada siswa yang dibelajarkan menggunakan model pengajaran langsung. Oleh

Sihombing dan Safarudding (2007) mengemukakan bahwa banyaknya syarat yang diajukan perbankan dalam mengirim remitansi akan mempengaruhi biaya pengiriman remitansi yang

Departemen Agama RI''AL-Qur'an dan terjemahan' ',(Jakarta;CahayaQur'an.. Keluarga harmonis merupakan keluarga yang apabila anggotnya menjalankan tugas dan kewajibanya dengan

Hasil penelitian pada lahan masam di Nunukan, Kalimantan Utara menunjukan adanya dua calon varietas yang dapat direkomendasikan sebagai benih alternatif untuk

akan tetapi pada triwulan ke-IV piutang kontribusi, investasi, dan jumlah aset.