• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSELING ISLAM DENGAN ASSERTIVE TRAINING DALAM MENGATASI SULIT BERSOSIALISASI PADA SEORANG ANAK PENDERITA EPILEPSI DI GUBENG KLINGSINGAN SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONSELING ISLAM DENGAN ASSERTIVE TRAINING DALAM MENGATASI SULIT BERSOSIALISASI PADA SEORANG ANAK PENDERITA EPILEPSI DI GUBENG KLINGSINGAN SURABAYA."

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

KONSELING ISLAM DENGAN ASSERTIVE TRAINING DALAM MENGATASI SULIT BERSOSIALISASI PADA SEORANG ANAK PENDERITA EPILEPSI DI GUBENG KLINGSINGAN SURABAYA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S. Sos. I)

Oleh :

Taufik Nur Layliya NIM. B53212088

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

JURUSAN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Taufik Nur Layliya (B53212088), Konseling Islam dengan Assertive Training Dalam Mengatasi Sulit Bersosialisasi Pada Seorang Anak Penderita Epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya

Fokus penelitian ini adalah (1) Apa penyebab anak terkena epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya?; (2) Bagaimana proses konseling Islam dengan assertive training dalam mengatasi sulit bersosialisasi pada seorang anak penderita epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya?; dan (3) Bagaimana hasil Konseling Islam dengan assertive training dalam mengatasi sulit bersosialisasi pada seorang anak penderita epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya?.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan analisa studi kasus. Analisis dilakukan berdasarkan wawancara dan observasi beserta pendampingan yang dilakukan. Penelitian ini dilakukan melalui salah satu pengembangan dari teknik

classical conditioning yaitu assertive training. Teknik assertive training

yang dilakukan sambil observasi dengan menambahkan dan mengurangi tingkah laku yang teramati selama proses pendampingan.

Proses konseling Islam dengan assertive training untuk sulitnya bersosialisasi pada anak epilepsi dilakukan oleh konselor dengan membiasakan klien untuk dapat bersosialisasi dengan orang sekitarnya dengan cara membiasakan mengajak klien untuk bermain kerumah tetangga atau orang yang ada di sekitar rumah klien. Selain itu juga konselor membekali klien dengan life skill seperti klien di biasakan untuk bisa memakai pakaian sendiri, makan sendiri, dan keterampilan lainnya dan itu dilakukan kepada klien agar klien lebih mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Adapun peran dan fungsi konselor dalam proses konseling ini lebih banyak menjadi terapis dan pembimbing bagi klien serta sahabat untuk klien. Sedangkan hubungan antara konselor dan klien mengikuti prinsip yang telah disebutkan sebelumnya bahwa hubungan baik berpengaruh terhadap proses konseling. Sehingga hubungan yang terjadi tidak kaku.

Hasil akhir dari proses konseling terhadap klien dalam penelitian ini tergolong berhasil dengan prosentase 67,7%. Hasil ini dapat dilihat dari adanya perubahan klien yang dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER... i

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING. ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI. ... iii

MOTTO. ... iv

PERSEMBAHAN. ... v

PERNYATAAN KEASLIAN. ... vi

ABSTRAK. ... vii

KATA PENGANTAR. ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL. ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumasan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Definisi Konsep 1. Konseling Islam. ... 11

2. Assertive Training. ... 12

3. Sulit Bersosialisasi ... 14

F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian. ... 15

2. Sasaran dan Lokasi Penelitian... 16

3. Jenis dan Sumbe Data. ... 16

4. Tahap-Tahap Penelitian. ... 18

5. Teknik Pengumpulan Data. ... 22

6. Teknik Analisis Data. ... 24

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data. ... 26

G. Sistematika Pembahasan ... 34

BAB II Konseling Islam Dengan Assertive Training Dalam Mengatasi Sulit Bersosialisasi Pada Seorang Anak Penderita Epilepsi A. Kajian Teoritik 1. Konseling Islam. ... 36

a. Pengertian Konseling Islam. ... 36

b. Tujuan Konseling Islam. ... 40

c. Prinsip-Prinsip Konseling Islam. ... 41

d. Teknik Pelaksanaan Konseling Islam. ... 53

e. Langkah-Langkah Konseling Islam. ... 46

2. Assertive Training. ... 47

a. Pengerian Assertive Training. ... 47

b. Prosedur Yang Diberikan Kepada Klien... 53

(7)

3. Sulit Bersosialisasi. ... 64

a. Pengerian Sulit Bersosialisasi. ... 64

b. Manusia Sebagai Makhluk Sosial. ... 66

c. Ciri-Ciri Orang Sulit Bersosialisasi ... 67

d. Bentuk Sosialisasi. ... 68

e. Tahapan Sosialisasi. ... 69

f. Upaya Menumbuhkembangkan Sosial Anak. ... 70

4. Epilepsi... 71

a. Pengertian Epilepsi. ... 71

b. Jenis-Jenis Epilepsi. ... 73

c. Penyebab Terjadinya Epilepsi... 77

5. Konseling Islam Dengan Assertive Training Dalam Mengatasi Sulit Bersosialisasi Pada Seorang Anak Penderita Epilepsi. ... 78

B. Penelitian Terdahulu Yang Relevan. ... 80

BAB III PENYAJIAN DATA A. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian. ... 83

1. Konselor. ... 83

2. Klien. ... 84

3. Masalah. ... 84

B. Deskripsi Hasil Penelitian. ... 93

1. Deskripsi Faktor-Faktor Penyebab Anak Terkena Epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya. ... 94

2. Deskripsi Proses Pelaksanaan Konseling Islam Dengan Assertive Training Dalam Mengatasi Sulit Bersosialisasi Pada Seorang Anak Penderita Epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya. ... 98

a. Identifikasi . ... 99

b. Diagnosis... 103

c. Prognosis. ... 104

d. Treatment. ... 105

e. Evaluasi. ... 116

3. Deskripsi Hasil Akhir Pelaksanaan Konseling Islam Dengan Assertive Training Dalam Mengatasi Sulitnya Bersosialisasi (Dissosialisasi) Pada Anak Epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya. ... 117

BAB IV ANALISIS DATA A. Faktor-Faktor Penyebab Anak Terkena Epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya. ... 119

B. Proses Pelaksanaan Konseling Islam Dengan Assertive Training Dalam Mengatasi Sulitnya Bersosialisasi (Dissosialisasi) Pada Anak Epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya. ... 122

(8)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan. ... 127 B. Saran. ... 128

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap hari dalam kehidupan kita, kita mencoba untuk memahami

orang lain. Bahkan bila perilaku mereka itu abnormal menurut kita,

memahami mengapa seseorang bertingkah laku atau memiliki perasaan

tertentu adalah tugas yang sulit. Memang kita tidak selalu paham mengapa

kita memiliki perasaan atau bertingkah laku seperti sekarang. Mendapat

insight tentang perilaku yang diharapkan dan dianggap normal merupakan

suatu hal yang cukup sulit; memahami perilaku manusia di luar batas

normal itu lebih sulit lagi untuk dilakukan. Dan tantangan yang lebih sulit

lagi untuk dilakukan adalah untuk tetap bersikap objektif, tapi itu sesuatu

yang harus dilakukan.

Sebagai orang tua, pasti akan sangat merasa senang ketika

memiliki seorang anak. Karena anak adalah titipan dari Allah yang sangat

tak ternilai harganya. Tidak akan ada orang tua yang mau menggantikan

anaknya dengan sesuatu yang berharga lainnya. Anak adalah buah hidup

dan bunga yang harum dari rumah tangga, harapan dan tujuan utama dari

suatu pernikahan yang sah. Rasullullah SAW bersabda, “Rumah yang

tidak ada anak-anak di dalamnya, tidak ada keberkahan.” (HR. Abu

Syaikh dari Ibnu Abbas RA). “Bau anak itu adalah bau surga.” (HR.

(10)

(mengkhawatirkan), membuat orang tua menjadi kikiar (karena banyak

keperluan anak-anak), dan membuat susah orang tua.” (HR. Abu Ya’la

dari Abi Sa’id).1

Dalam sebuah keluarga, pasti seorang ayah dan ibu menginginkan

seorang anak di tengah-tengah mereka. Bagi anak keluarga merupakan

lingkungan pertama di mana ia berinteraksi. Dari interaksi dengan

lingkungan pertama inilah anak memperoleh unsur-unsur dan ciri-ciri

dasar kepribadiannya. Anak juga perlu pada keluarga bukan hanya pada

tingkat awal hidupnya dan pada masa kanak-kanak, tapi sepanjang

hidupnya. Sebab dalam keluarga itulah akan mendapatkan rasa kasih

sayang, rasa tentram dan ketenangan. Keberadaan keluarga juga bukan

hanya penting bagi seorang anak, tapi juga masyarakat, sehingga

masyarakat menganggap bahwa keluarga sebagai institusi sosial yang

terpenting. Dan keluarga sebagai tempat dimana anak-anak dibesarkan

memiliki peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak, karena

yang pertama yang akan dilihat dan dirasakan oleh anak sebelum orang

lain adalah keluarga.2

Keluarga juga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat

yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak, dan kerabat lainnya. Lingkungan

keluarga merupakan tempat dimana anak-anak dibesarkan dan merupakan

lingkungan yang pertama kali dijalani oleh seorang anak di dalam

1

M Fauzi Rachman, IslamicParenting, (Jakarta: PENERBIT ERLANGGA, 2011), hal 2.

2

(11)

mengarungi hidupnya, sehingga apa yang dilihat dan dirasakan oleh

anak-anak dalam keluarga akan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan jiwa seorang anak.3

Pada saat kelahiran, kelahiran anak merupakan kebahagiaan tiada

tara yang tidak bisa dibandingkan dengan harta ataupun nyawa. Jika

dengan melahirkan anak membuat para perempuan merasa sempurna, bagi

laki-laki mendapatkan keturunan merupakan sebuah keberhasilan yang

membanggakan. Tentu saja melebihi kepuasan mendapatkan tender bisnis.

Namun itu adalah gambaran perasaan jika sepasang orangtua baru

mendapatkan anak normal. Kemudian, bagaimana perasaan yang hadir

ketika mengetahui bahwa anaknya lain daripada yang lain. Apapun yang

dirasakan tapi anak tersebut tetaplah anak kita dan sudah menjadi tugas

kita untuk menjaga, merawat, dan memberikan pendidikan.4 Namun selain

itu sebagai orangtua juga harus bisa mengembangkan apa yang menjadi

keinginan anak, mendukung dan memfasilitasi anak tersebut dan memberi

pengasuhan yang tepat kepada anak.

Pada seorang anak, ada yang namanya perkembangan

psiko-motorik. Pada perkembangan ini, setiap anak berbeda. Ada visual, kinestetik, auditory, olfagtory, dan gustatory. Jadi dalam pembelajarannya pun setiap anak akan memiliki cara yang berbeda, sesuai dengan modalitas

yang dimiliki setiap anak.

3

Bambang Ismaya , Bimbingan & Konseling Studi, Karier, dan Keluarga, hal 134.

4

(12)

Setiap orang tua juga menginginkan kehadiran anak yang

sempurna. Namun jika Tuhan memberikannya tidak seperti yang

diharapkan oleh orang tua, orang tua harus tetap menerimanya dengan

pasrah, dan mendidiknya dengan ikhlas. Tidak sempurna yang

dimaksudkan disini adalah seperti sakit. Ketika memiliki anak yang

mempunyai penyakit sebagai orang tua harus tetap menerima dengan

ikhlas dan semampunya untuk mencari kesembuhan bagi anaknya.

Walaupun begitu, tidak juga seorang pun yang menginginkan

dirinya sakit. Tetapi kalau penyakit itu datang, manusia tidak kuasa untuk

menolaknya. Sakit merupakan salah satu ciptaan Allah SWT. Karena itu,

proses penciptaan ini pasti ada hikmah dibalik itu semua. Salah satu

hikmahnya, Allah sedang menguji keimanan seseorang. Apakah dengan

penyakit itu ia menjadi lebih sabar dan menjadi lebih baik, atau

sebaliknya.5 Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 214:











Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah

5

(13)

Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.6

Dalam pandangan Islam, penyakit juga merupakan cobaan yang

diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya.7

Jika dilihat dari perkembangan psikis seseorang, dilihat sebagai

integrasi proses-proses sosialisasi, bukanlah suatu perkembangan yang

hanya ditentukan oleh hukum-hukum dari dalam diri orang saja. Juga

dalam perkembangan tahun pertama sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor

dari luar diri anak tersebut. Yang terpenting adalah untuk memandang

anak dari awal-mula sebagai pasangan interaksi yang serius yang

mempunyai sifat ingin bersatu dengan lingkungan sosial maka lingkungan

sosial harus dapat memberikan kesempatan pada anak untuk dapat

mematuhi dorongan sosial itu.8

Dalam berkomunikasi, bertutur kata, atau dalam hal lainnya yang

berhubungan dengan anak pun, kita harus menggunakan bahasa yang

seusia anak tersebut dan berusaha menempatkan diri bersama anak.

Menurut Irawati Istadi, salah satu seni berbicara dengan anak adalah mau

memahami dan mengerti pendapatnya, membesarkan hatinya, kemudian

mengingatkan akibat-akibat buruk yang bisa saja terjadi.9 Terlebih lagi

6

Kementerian Agama Republik Indonesia, Alquran dan Tafsirnya (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hal 33.

7

Arif Sumantri, Kesehatan Lingkungan & Perspektif Islam, hal 302.

8

Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS), hal 97.

9

(14)

jika anak kita ini berbeda dengan yang lainnya, berbeda dalam artian sakit

misalnya. Sebagai orangtua kita harus lebih mengerti seorang anak, lebih

memperhatikan, lebih memahami dan bisa lebih banyak mendengarkan

sang anak.

Dalam kehidupan, kita dapat menunjukkan bahwa peristiwa

kehidupan berhubungan dengan timbulnya penyakit, masih ada berbagai

pertanyaan penting. Kita telah mencatat bahwa pengalaman hidup yang

sama dapat memberikan efek yang berbeda bagi setiap orang. Situasi ini

meningkatkan kemungkinan bahwa berbagai variabel lain melunakkan

atau mengubah hubungan stres-penyakit yang umum. Dan untuk

mengurangi gejala tersebut bisa menggunakan coping. Dan dari

penggunaan coping itu dipelajari dengan penghindaran meningkatkan

kemungkinan efek stres terhadap emosional dan fisik.10

Dan begitupun penyakit fisik, ada banyak sekali macam dari

penyakit itu. Tergantung dari apa yang dialami oleh penderitanya. Seperti

salah satunya ada epilepsi, seperti yang dialami salah satu anak yang akan

menjadi klien ini. Kebanyakan orang menanggap bahwa epilepsi ini adalah

penyakit ayan yang menyerang pada seseorang dan ketika kambuh maka

orang tersebut akan kejang-kejang. Bahkan ada yang berfikir menstream

yang mengatakan bahwa jangan mendekat dan berkomunikasi dengan

10

(15)

orang yang sakit epilepsi. Padahal itu tidak ada yang salah dengan orang

yang mengidap penyakit itu.

Secara umum, epilepsi diartikan sebagai gangguan susunan saraf

pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan yang bersifat spontan dan

berkala. Serangannya dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang

bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar

sel-sel otak yang bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa

gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Namun istilah epilepsi

tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja.

Seperti yang terjadi pada salah satu anak yang berada di daerah

Gubeng Klingsingan ini. Anak ini sekarang berumur 14 tahun, sekilas dia

terlihat seperti anak yang normal, namun ketika kita amati maka ada

sesuatu yang beda dari dirinya. Anak ini bisa fokus hanya dalam beberapa

menit, ketika diajak berkomunikasi dia akan cenderung mengalihkan pada

suatu hal dan tidak menghadap kepada orang yang mengajaknya berbicara.

Ketika belajar, dia hanya akan fokus beberapa menit, dan dia akan lebih

suka berjalan tanpa ada tujuan yang jelas dengan berbolak-balik.

Meskipun ketika beberapa saat dia akan merasa capek, tapi dia tetap akan

melakukan kebiasaan itu. Dia anak yang suka makan, bahkan dalam waktu

sehari dia bisa makan sampai 10 kali.

Selain itu, anak ini juga ketika berumur 9 bulan dia pernah

(16)

Dan setelah beberapa bulan berlalu dia pernah sempat sakit berhari-hari

dan waktu itu dia muntaber kemudian panas tinggi dan sampai harus

opname di RSUD. Dr. Soetomo berhari-hari. Dan ketika di rawat itu

dokter memvonis anak ini terkena epilepsi. Dalam kesehariannya dia

hanya bersama dengan mama, adik dan budenya saja. Dia tidak pernah

bermain dengan teman sebayanya. Karena memang selain anak ini lebih

beda dengan yang lainnya, anak ini sangat sensitif. Anak ini ketika

mendengar kata-kata yang kurang bisa di terima di hatinya, dia akan

langsung memasukkan ke dalam hatinya dan menangis. Meskipun ketika

itu bermaksud bercanda, namun dia tidak memikirkan hal tersebut sejauh

itu, jadi dia hanya selalu diam dirumah dan tidak bermain dengan

temannya. Selain itu untuk pembelajaran, dalam pembelajaran pun tidak

seperti anak pada umumnya. Harus menggunakan teknik dan metode

khusus untuk belajar bersamanya. Dan itu terbukti ketika dia pernah

sekolah di umum, tapi satu tahun setelah itu dia memilih keluar karena

pembelajaran yang kurang cocok dengannya dan dia sampai menangis,

marah kepada mamanya ketika di kelas setelah menulis dia berbaring

dilantai dan tidak menyelesaikan tugas dari gurunya. Dia di marah oleh

gurunya dan saat itulah ketika sampai di rumah dia menangis kepada

mamanya.

Dari fenomena yang peneliti temukan ini, menurut peneliti ini

sesuatu yang perlu dikaji secara lebih dalam agar lebih mengetahui

(17)

anak yang terkena sakit epilepsi ini. Mulai dari agar anak ini bisa

membiasakan diri untuk suatu hal yang lebih baik, kemudian bisa

mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya, melakukan

kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik, dan hal positif lainnya. Dan dengan terapi ini

diharapkan anak yang terkena sakit ini bisa menjadi lebih baik lagi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya

adalah sebagaimana berikut:

1. Apa penyebab anak terkena epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya?

2. Bagaimana proses konseling Islam dengan assertive training dalam mengatasi sulit bersosialisasi pada seorang anak penderita epilepsi di

Gubeng Klingsingan Surabaya?

3. Bagaimana hasil konseling dari proses konseling Islam dengan

assertive training dalam mengatasi sulit bersosialisasi pada seorang anak penderita epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini

adalah:

1. Mengetahui penyebab anak terkena epilepsi di Gubeng Klingsingan

Surabaya.

2. Mengetahui proses konseling Islam dengan assertive training dalam mengatasi sulit bersosialisasi pada seorang anak penderita epilepsi di

(18)

3. Mengetahui hasil proses konseling Islam dengan assertive training

dalam mengatasi sulit bersosialisasi pada seorang anak penderita

epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya.

D. Manfaat Penelitian

Adapula manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritik

a. Untuk merencanakan bagaimana konseling islam dengan assertive training dapat berkontribusi untuk seorang anak penderita epilepsi yang sulit bersosialisasi.

b. Sebagai salah satu harapan untuk dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi para konselor ataupun yang lainnya dalam

melakukan konseling Islam dengan assertive training pada seorang anak penderita epilepsi yang sulit bersosialisasi.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan kemanfaatan dalam hal bagaimana assertive training

dapat berkontribusi untuk anak penderita epilepsi yang sulit

bersosialisasi dan juga diharapkan bisa menambah khazanah

pengetahuan, terutama dalam bidang Bimbingan dan Konseling

Islam.

b. Memberikan pengalaman yang besar bagi penulis tentang

bagaimana melakukan konseling Islam dengan assertive training

dapat berkontribusi untuk anak penderita epilepsi yang sulit

(19)

E. Definisi Konsep 1. Konseling Islam

Secara historis asal mula pengertian konseling adalah untuk

memberi nasehat, seperti penasehat hukum, penasehat perkawinan.

Kemudian nasehat itu berkembang ke bidang-bidang bisnis,

managemen, otomotif, dan finansial. Kemudian muncul English &

English pada tahun 1958 mengemukakan konseling adalah suatu

hubungan antara seseorang dengan orang lain, dimana seorang

berusaha keras untuk membantu orang lain agar memahami masalah

dan dapat memecahkan masalahnya dalam rangka penyesuaian

dirinya.11 Disamping itu, istilah Islam dalam wacana studi Islam

berasal dari bahasa arab dalam bentuk masdar yang secara harfiah

berarti selamat, sentosa dan damai.12

Menurut M. Hamdani Bakran Adz-Dzaki konseling Islam adalah

suatu aktivitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada

individu yang meminta bimbingan (konseli) dalam hal bagaimana

seharusnya seorang konseli dapat mengembangkan potensi akal

fikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat

menanggulangi masalah hidup dan kehidupannya dengan baik dan

11

Sofyan S. Willis, Konseling Individual Teori danPraktek, (Bandung: ALFABETA, 2013), hal 17.

12 Aswadi, Iyadah dan Ta’ziyah perspektif bimbingan konseling islam, (Surabaya:

(20)

benar secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur’an dan Aas

-Sunnah Rasullah SAW.13

Konseling Islam yang konselor maksud disini adalah mengajak

klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, dengan belajar untuk

menerima semua kehendak Allah dan ikhlas dengan semua

ketentuannya. Namun juga tetap berusaha melakukan yang terbaik.

2. Assertive Training

Assertive training merupakan teknik dalam konseling behavior yang menitikberatkan pada kasus yang mengalami kesulitan dalam

perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya. Sebagai contoh

ingin marah, tapi tetap merespon manis.14

Latihan asertif (assertive training) atau latihan keterampilan sosial (social skill training) adalah salah satu dari banyak topik yang tergolong populer dalam terapi perilaku. Untuk menjelaskan arti kata

asertif dapat di uraian melalui pengertian perilaku asertif (assertive behaviour). Perilaku asertif adalah prilaku antar-perorangan (interpersonal) yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku asertif ditandai oleh kesesuaian sosial

dan seseorang yang berperilaku asertif mempertimbangkan perasaan

dan kesejahteraan orang lain. Adanya keterampilan sosial pada

13 Aswadi, Iyadah dan Ta’ziyah, hal 12. 14

(21)

seseorang, menunjukkan adanya kemampuan untuk menyesuaikan

diri.15

Menurut Christoff & Kelly (1985), ada tiga kategori perilaku

asertif yakni:

a. Asertif penolakan. Ditandai oleh ucapan untuk memperhalus

seperti: maaf !

b. Asertif pujian. Ditandai oleh kemampuan untuk mengekspresikan

perasaan positif seperti menghargai, mencintai, mengagumi,

memuji, dan bersyukur.

c. Asertif permintaan. Jenis asertif ini terjadi kalau seseorang

meminta orang lain meminta sesuatu yang memungkinkan

kebutuhan atau tujuan seseorang tercapai, tanpa tekanan atau

paksaan. Dari uraian ini terlihat bahwa perilaku asertif adalah

perilaku yang menunjukkan adanya keterampilan untuk bisa

menyesuaikan dalam hubungan interpersonal, dalam lingkungan

sosial. Sebaliknya dari perilaku yang tidak asertif, misal

agresivitas.16

Di dalam assertive training konselor berusaha memberikan keberanian kepada klien dalam mengatasi kesulitan terhadap orang

lain. Pelaksanaan teknik ini ialah dengan role playing (bermain peranan). Konselor misalnya berperan sebagai atasan yang galak, dan

15

Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: Libri, 2011), hal 215.

16

(22)

klien sebagai bawahannya. Kemudian dibalik, klien mejadi atasan

yang galak dan konselor menjadi bawahan yang mampu dan berani

mengatakan sesuatu kebenaran. Hal ini memang bertentangan dengan

perilaku klien selama ini, dimana jika ia dimarahi atasan diam saja,

walaupun dalam hatinya ingin mengatakan bahwa ia benar.17

Dalam konseling ini, konselor mengajarkan kepada klien untuk dia

bisa menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya dan meluapkan

semua emosi yang ada di hatinya. Dengan begitu dia bisa merasakan

kenyamanan karena dia telah mengungkapkan semua yang ada

didalam hatinya. Dia tidak lagi tiba-tiba marah tanpa sebab karena dia

telah bisa mengatur emosinya dengan lebih baik.

Selain itu, konselor juga mengajak dan meminta klien untuk

mempraktekkan apa yang diminta konselor kepada klien. Selain itu

konselor mengajak klien untuk lebih dekat dengan orang yang berada

di sekelilingnya. Dan juga konselor meminta klien untuk lebih terbuka

dengan tentang hal apapun.

3. Sulit Bersosialisasi

Sulit bersosialisasi dapat disebut juga dengan dissosialisasi. Dissosialisasi adalah suatu proses dimana seorang individu tidak dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan unsur-unsur kebudayaan

(tradisi, perilaku, bahasan dan kebiasaan-kebiasaan) yang ada dalam

17

(23)

suatu masyarakat, yang dimulai dari lingkungan keluarganya, dan

kemudian meluas pada masyarakat luas, lambat laun dengan

keberhasilan penerimaan atau penyesuaian tersebut, jadi individu

merasa bahwa dirinya bukan bagian dari keluarga atau masyarakat.18

Jika seorang individu tidak mampu melakukan itu maka akan

terjadi dissosialisasi. Jadi individu tersebut tidak mampu bersosialisasi

dengan baik. Seperti yang terjadi pada klien yang epilepsi ini, dia sulit

untuk mampu bersosialisasi. Jadi konselor disini mengajak klien dan

membiasakan klien untuk mampu bersosialisasi dengan lebih baik dari

sebelumnya.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pada penelitian ini peneliti menggunakan penelitian kualitatif.

Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang dilakukan untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian

secara holistic dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode ilmiah.19

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif

deskriptif dengan menggunakan jenis penelitian studi kasus, dimana

18

Richard Osborne & Borin Van Loon, Mengenal Sosiologi For Beginner, (Bandung: Mizan, 1996), hal 30.

19

(24)

peneliti mempelajari individu secara rinci dan mendalam selama kurun

waktu tertentu untuk membantunya memperoleh penyesuaian diri yang

lebih baik.

2. Sasaran dan Lokasi Penelitian

Sasaran penelitian adalah orang yang menjadi subjek dalam

penelitian ini. Sasaran dalam penelitian ini adalah seorang anak yang

terkena penyakit epilepsi yang sulit bersosialisasi dengan lingkungan

sekitanya, yang kemudian akan disebut sebagai klien. Sedangkan yang

menjadi konselor adalah Taufik Nur Layliya, seorang mahasiswa

bimbingan dan konseling Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Adapun

lokasi penelitian ini bertempat di Gubeng Klingsingan 1/7, Surabaya.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Data primer

Adalah data yang diambil dari sumber data primer atau sumber

utama dilapangan.20 Data ini berupa teks hasil wawancara yang

diperoleh melalui wawancara dengan informan yang sedang

dijadikan sampel dalam penelitiannya. Data dapat direkam atau

dicatat oleh peneliti.21 Dan data yang digunakan konselor adalah

proses konseling Islam dengan assertive training pada anak

20

H.M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi, (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2013),hal 128.

21

(25)

epilepsi yang sulit untuk bersosialisasi. Dari wawancara yang

didapatkan selama proses konseling, anekdot dan catatan yang

dimiliki saat proses konseling tersebut.

b. Data sekunder

Adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber

sekunder.22 Data ini berupa data-data yang sudah tersedia dan

dapat diperoleh oleh peneliti dengan cara membaca, melihat atau

mendengarkan. Data ini biasanya berasal dari data primer yang

sudah diolah oleh peneliti sebelumnya. Dan yang dalam kategori

data tersebut adalah: data bentuk teks (dokumen, pengumuman,

surat-surat, spanduk), data bentuk gambar (foto, animasi,

billboard), data bentuk suara (hasil rekaman kaset), dan kombinasi

dari teks, gambar, dan suara (film, video, iklan di televisi, dll).23

Data sekunder yang digunakan konselor adalah informan lain yaitu

bude dan pakde dari klien, selain itu juga berupa photo dan video,

saat proses konseling.

Sumber data adalah salah satu yang paling vital dalam penelitian.

Kesalahan dalam menggunakan dan memahami sumber data, maka

data yang diperoleh juga akan meleset dari yang diharapkan.24 Oleh

karena itu, konselor harus mampu memahami sumber data yang mana

yang akan digunakan dalam penelitian ini. Dan dalam penelitian ini,

konselor menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder.

22

H.M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi, hal 128.

23

Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantatif & Kualitatif, hal 209-210.

24

(26)

a. Sumber data primer

Sumber data ini adalah sumber pertama di mana sebuah data

dihasilkan.25 Dan dalam penelitian ini, sumber primernya adalah

anak yang terkena penyakit epilepsi yang sulit bersosialisasi dan

juga ibu dari klien.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data kedua sesudah sumber

data primer. Data yang dihasilkan dari sumber data ini adalah data

sekunder.26 Dan sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah

informan anak yang mengidap epilepsi, dan informannya adalah

bude dan pakde dari anak tersebut.

4. Tahap-Tahap Penelitian

Pengumpulan data pada penelitian deskriptif kualitatif ini tidak

berbeda dengan pelaksanaan penelitian kuantitatif, yaitu menyiapkan

schedule penelitian dan penganggaran, termasuk pengumpulan data dilapangan. Karena penelitian kualitatif ini tidak membutuhkan banyak

peneliti lapangan maka tidak membutuhkan tim penelitian (organisasi

peneliti) atau pembantu lapangan atau field worker, dan juga tidak membutuhkan uji coba instrument karena penelitian tidak

membutuhkan instrument penelitian yang ketat. Namun schedule

penelitian tetap dibutuhkan untuk mengendalikan penelitian.27

25

H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 129.

26

H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 129.

27

(27)

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan tiga tahap

penelitian.28 Diantaranya adalah:

a. Tahap Pra-Lapangan

Dalam tahap ini ada enam kegiatan dan satu pertimbangan yang

harus dilakukan oleh peneliti dalam tahapan ini, yaitu sebagai

berikut:

1). Menyusun rancangan penelitian.

Disini peneliti akan membuat rancangan-rancangan yang akan

digunakan dalam penelitian.

2). Memilih lapangan penelitian.

Pada tahap ini peneliti menentukan tempat dimana penelitian

ini akan di lakukan. Cara terbaik yang perlu ditempuh dalam

penentuan lapanganadalah dengan mempertimbangkan teori

substantif dan keterbatasan geografis an praktis juga menjadi

hal yang perlu dipertimbangkan.

3). Mengurus perizinan

Peneliti perlu mengetahui siapa saja yan berwenang

memberikan izin untuk melaksanakan penelitian. Dan selain

itu juga perlu memperhatikan persyaratan lain seperti; surat

tugas, surat instansi diatasnya, identitas diri seperti KTP, foto,

dan lain-lain.

4). Menjajaki dan menilai lapangan

28

(28)

Sebelum penjajakan, peneliti sudah mempunyai gambaran

umum tentang geografi, demografi, sejarah, tokoh-tokoh,

adat-istiadat, konteks kebudayaan, agama, pendiidkan, dan lain

sebagainya. Maksud dari penjajakan adalah berusaha mengenal

segala unsur lingkungan sosial, fisik, dan keadaan alam di

lingkungan tersebut.

5). Memilih dan memanfaatkan informan

Pemanfaatan informan bagi peneliti adalah agar waktu yang

relatif singkat banyak informasi yang terjaring.

6). Menyiapkan perlengkapan penelitian

Perlengkapan yang dimaksud disini adalah semua yang

diperlukan selama penelitian itu berlangsung.

7). Persoalan etika penelitian

Persoalan etika ini akan timbul apabila peneliti tidak

menghormati, tidak mematuhi, dan tidak mengindahkan

nilai-nilai masyarakat dan pribadi tersebut. Dalam menghadapinya,

peneliti hendaknya mempersiapkan diri dari fisik, psikologis,

maupun mental.

b. Tahap Pekerjaan Lapangan

1). Memahami latar penelitian dan persiapan diri

Dalam tahap ini peneliti hendaknya mengenal adanya latar

terbuka dan tertutup dan selain itu peneliti juga harus mampu

(29)

peneliti menyesuaikan dengan kebiasaa, tata cara dan kultur

latar penelitian.

2). Memasuki lapangan

Dalam tahap ini seorang peneliti harus menjalin hubungan

akrab dengan orang yang diteliti, selain itu mempelajari bahasa

dan peranan peneliti disini sangatlah besar. Karena selama

proses penelitian seorang peneliti harus terjun langsung

kedalam dan ikut serta di dalamnya.

3). Berperanserta sambil mengumpulkan data

c. Tahap Analisis Data

Analisis data disini adalah upaya yang dilakukan dengan jalan

bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya

menjadi satuan yang dapat di kelola, mensintesiskannya, mencari

dan menemukan pola, dan memutuskan apa yang dapat

diceriterakan kepada orang lain.29

Dalam penelitian ini, juga menggunakan analisis induktif.

Model tahapan analisis induktif adalah sebagai berikut:30

1) Melakukan pengamatan terhadap fenomena sosial, melakukan

identitas, revisi-revisi, dan pengecekan ulang terhadap data

yang ada

2) Melakukan kategorisasi terhadap informasi yang diperoleh

3) Menelusuri dan menjelaskan kategorisasi

29

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, hal 248.

30

(30)

4) Menjelaskan hubungan-hubungan kategorisasi

5) Menarik kesimpulan-kesimpulan umum

6) Membangun atau menjelaskan teori

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini, peneliti akan menggunakan beberapa

teknik. Diantaranya adalah:

a. Interview (Wawancara)

Dalam wawancara ini, peneliti menggunakan wawancara tidak

terstruktur. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang

bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara

yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk

pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya

berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.31

Dan wawancara yang digunakan oleh konselor adalah wawancara

mendalam, dimana peneliti juga menggunakan catatan harian

setelah melakukan wawancara. Wawancara mendalam secara

mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan

untuk tujuan penelitian dengan tanya jawab sambil bertatap muka

antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai,

dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial

31

(31)

yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara

mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan.32

Disini konselor melakukan wawancara kepada klien dan ibu klien

untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan secara kondisional,

karena konselor juga setiap minggu dua kali bertemu dengan klien

dan ibunya. Wawancara mendalam yang dilakukan konselor

kepada klien dan ibunya dilakukan pula saat proses konseling dan

selain itu juga terkadang melalui via mobile. b. Observasi

Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia

dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu

utamanya selain pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman,

mulut dan kulit.33 Karena itu, observasi adalah kemampuan

seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja

pancaindra lainnya. Dan observasi yang digunakan peneliti adalah

observasi tidak berstruktur. Observasi tidak berstruktur dimaksud,

observasi dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Dengan demikian, pada observasi ini pengamat harus mampu secara

pribadi mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati

suatu objek.34 Observasi dilakukan oleh konselor pada saat proses

konseling berlangsung dan saat pendampingan. Selain itu juga saat

bertemu dan bersama dengan klien dan ibunya. Karena memang

32

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, hal 111.

33

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 118.

34

(32)

konselor setiap minggu pasti bertemu dan bersama dengan klien

dan ibunya.

c. Dokumentasi

Studi dokumentasi merupakan tekhnik pengumpulan data yang

tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumen yang

diteliti dapat berupa berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi.

Dokumen ini dapat dibedakan menjadi dokumen primer, jika

dokumen ini ditulis oleh orang yang langsung mengalami suatu

peristiwa; dan dokumen sekunder, jika peristiwa dilaporkan kepada

orang lain yang selanjutnya ditulis oleh orang lain.35 Dokumentasi

yang digunakan konselor ada beberapa bentuk. Diantaranya adalah

dokumen yang berupa catatan langsung dari konselor saat proses

konseling, juga berupa anekdot, photo, dan video yang konselor

dapat saat proses konseling.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data akan digunakan oleh peneliti adalah

Kualitatif-Deskriptif. Kualitatif-Deskriptif digunakan untuk menganalisa data

tentang pola asuh orang tua yang mempunyai anak selalu merasa

dirinya tidak bisa dengan cara membandingkan teori dan praktek. Jenis

penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Penelitian studi kasus

(case study), adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang

35

(33)

berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan atau

khas dari keseluruhan personalitas.36

Dalam penelitian ini, konselor mengambil studi kasus dari anak

yang terkena epilepsi yang sulit bersosialisasi dengan menganalisis

dari bagaimana keseharian klien tersebut, bagaimana pola asuh dari ibu

klien, dan juga seperti apa perubahan klien setelah proses konseling

berlangsung.

Teknik analisis data yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut:

a. Reduksi Data (Data Reduction)

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk

itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Dalam mereduksi data,

setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai. Dan

dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan banyak data untuk

mendapatkan dan mencapai tujuan dari penelitian ini, yaitu hasil

konseling yang dilakukan kepada klien yang menderita epilepsi

untuk membuat klien agar klien dapat bersosialisasi.

b. Penyajian data (Data Display)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah

mendisplaykan data. Dalam mendisplaykan data, maka akan

memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan

kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.

36

(34)

Dan dalam penelitian ini, peneliti menyajikan semua data tentang

anak penderita epilepsi dan memahami apa yang terjadi kepada

anak yang menderita epilepsi. Kemudian peneliti melakukan

konseling kepada klien, melakukan terapi kepada klien dan

memahami apa yang terjadi kepada klien.

c. Conclusion Drawing/Verification

Kesimpulan dalam penelitian ini merupakan temuan baru yang

sebelumnya belum pernah ada. Dan temuan yang di dapatkan

peneliti adalah dalam konseling Islam dalam mengatasi anak

penderita epilepsi dengan terapi yang di pilih oleh peneliti.37

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Penelitian kualitatif menghadapi persoalan penting mengenai

pengujian keabsahan hasil penelitian. Banyak hasil penelitian kualitatif

diragukan kebenarannya karena beberapa hal; (1) subjektivitas peneliti

merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif; (2) alat

penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi (apapun

bentuknya) mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara

terbuka dan apalagi tanpa kontrol (dalam observasi partisipasi); (3)

sumber data kualitatif yang kurang credible akan memengaruhi hasil

37

(35)

akurasi penelitian. Untuk itu perlu dibangun sebuah mekanisme untuk

mengatasi keraguan terhadap setiap hasil penelitian kualitatif.38

Sehubungan dengan itu, Meleong mencoba membangun teknik

[image:35.595.140.513.229.551.2]

pengujian keabsahan yang ia beri nama teknik pemeriksaan.39

Tabel 1.1

Teknik Pemeriksaan Data

KRITERIA TEKNIK PEMERIKSAAN

Kredibilitas

(derajat kepercayaa)

1. Perpanjangan keikutsertaan

2. Ketekunan pengamatan

3. Triangulasi

4. Pengecekan sejawat

5. Kecukupan referensial

6. Kajian kasus negatif

7. Pengecekan anggota

Kepastian 8. Uraian rinci

Kebergantungan 9. Audit kebergantungan

Kepastian 10.Audit kepastian

a. Perpanjangan Keikutsertaan

Dalam setiap penelitian kualitatif, kehadiran peneliti dalam setiap

tahap penelitian penelitian kualitatif membantu peneliti untuk

memahami semua data yang dihimpun dalam penelitian. Karena itu

hampir dipastikan bahwa peneliti kualitatif adalah orang yang

langsung melakukan wawancara dan observasi dengan

informan-informannya. Karena itu peneliti kualitatif adalah peneliti yang

38

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 262.

39

(36)

memiliki waktu yang lama bersama dengan informan dilapangan,

bahkan sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai.40 Disini

konselor juga bersama dengan klien dalam waktu yang lama, dan

itu dilakukan untuk mendapatkan informasi yang mendalam.

Moleong juga mengatakan apabila peneliti lebih lama dilapangan,

maka ia akan membatasi; (1) gangguan dari dampak peneliti pada

konteks; (2) kekeliruan (biases) peneliti; (3) mengompensasikan pengaruh dari kejadian-kejadian yang tidak biasa atau pengaruh

[image:36.595.122.515.262.727.2]

sesaat.41

Tabel 1.2

Pengembangan Teknik Pemeriksaan

KRITERIA TEKNIK PEMERIKSAAN

Kredibilitas peneliti

(derajat kepercayaan)

1. Perpanjangan keikutsertaan

2. Menemukan siklus

kesamaan data

3. Ketekunan pengamatan

4. Triangulasi kejujuran

peneliti

5. Pengecekan melalui diskusi

6. Kajian kasus negatif

7. Pengecekan anggota

Kredibilitas metode

pengumpulan data

8. Triangulasi metode

9. Triangulasi sumber data

Kredibilitas teoritis dan

referensial

10. Triangulasi teori

11. Kecukupan referensial

Kepastian 12. Uraian rinci

40

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 262.

41

(37)

Kebergantungan 13. Audit kebergantungan

b. Menemukan Siklus Kesamaan Data

Tidak ada kata sepakat mengenai kapan suatu penelitian kualitatif

dihentikan dalam arti kapan selesainya suatu penelitian dilakukan

secara kualitatif. Ketika peneliti mengatakan bahwa setiap hari ia

menemukan data baru, maka artinya ia masih terus bekerja untuk

menemukan data lainnya karena informasi yang diperolehnya

masih banyak. Akan tetapi suatu hari ia menemukan informasi

yang sama yang pernah ia dapatkan, begitu pula hari-hari

berikutnya ia hanya memperoleh data yang pernah diberikan oleh

informan sebelumnya. Dengan demikian ia harus melakukan

langkah akhir yaitu menguji keabsahan data penelitiannya dengan

informasi yang baru saja ia peroleh dan apabila tetap sama maka ia

sudah menemukan siklus kesamaan data atau dengan kata lain ia

sudah berada di pengujung aktivitas penelitiannya.42 Konselor

melakukan perpanjangan keikutsertaan dalam penelitian selain

untuk mencari informasi mendalam juga untuk menemukan

kesamaan data. Karena jika itu dilakukan hanya sekali belum tentu

yang diucapkan itu benar adanya. Jadi diperlukan keikutsertaan

dalam penelitian.

c. Ketekunan Pengamatan

42

(38)

Untuk memperoleh derajat keabsahan yang tinggi, maka jalan lain

pentingnya adalah dengan meningkatkan ketekunan dalam

pengamatan dilapangan. Pengamatan bukanlah suatu teknik

pengumpulan data yang hanya mengandalkan kemampuan

pancaindra, namun juga menggunakan semua pancaindra termasuk

adalah pendegaran, perasaan, dan insting peneliti. Dengan

meningkatkan ketekunan pengamatan di lapangan maka derajat

keabsahan data telah ditingkatkan pula.43 Konselor juga disini

melakukan teknik untuk untuk mendapatkan keabsahan data yang

tinggi.

d. Triangulasi Peneliti dan Sumber Data

Salah satu cara paling penting dan mudah dalam uji keabsahan

dalam penelitian adalah dengan melakukan triangulasi peneliti,

metode, teori, dan sumber data. Dengan mengacu pada Denzin

(1878, dalam) maka pelaksanaan teknis dari langkah pengujian

keabsahan ini akan memanfaatkan; peneliti, sumber, metode, dan

teori.44

1). Triangulasi kejujuran peneliti

Cara ini dilakukan untuk menguji kejujuran, subjektivitas,

dan kemampuan merekam data oleh peneliti di lapangan. Perlu

diketahui bahwa sebagai manusia, peneliti sering kali sadar

43

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 264.

44

(39)

atau tanpa sadar melakukan tindakan-tindakan yang merusak

kejujurannya ketika pengumpulan data, atau terlalu

melepaskan subjektivitasnya bahkan kadang tanpa kontrol, ia

melakukan rekaman-rekaman yang salah terhadap data di

lapangan. Melihat kemungkinan-kemungkinan ini, maka perl

dilakukan triangulasi pada peneliti, yaitu meminta bantuan

peneliti lain melakukan pengecekan langsung, wawancara

ulang, serta merekam data yang sama di lapangan. Hal ini

adalah sama dengan proses verifikasi terhadap hasil penelitian

yang telah dilakukan oleh seorang peneliti.45 Konselor juga

merekam pembicaraan dalam proses konseling dan

wawancara. Dan terkadang pertanyaan yang sudah ditanyakan

di munculkan kembali untuk melihat kejujuran dan fakta dan

informasi yang konselor dapat.

2). Triangulasi dengan sumber data

Dilakukan dengan membandingkan dan mengecek baik

derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui

waktu dan cara yang berbeda dengan metode kualitatif yang

dilakukan dengan (Paton, 1987): (1) membandingkan data

hasil pengamatan dengan hasil wawancara, (2)

membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum

dengan apa yang dikatakan secara pribadi, (3) membandingkan

45

(40)

apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu, (4)

membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan

berbagai pendapat dan pandangan orang lain seperti rakyat

biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang

berbeda dan orang pemerintahan, (5) membandingkan hasil

wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Hasil

perbandingan yang diharapkan adalah berupa kesamaan atau

alasan-alasan terjadinya perbedaan (Moleong, 2006: 330,

Bardiansyah, 2006: 145).46

Triangulasi sumber data juga memberi kesempatan untuk

dilakukannya hal-hal sebagai berikut: (penilaian hasil

penelitian dilakukan oleh responden, (2) mengoreksi

kekeliruan oleh sumber data, (3) menyediakann tambahan

informasi secara sukarela, (4) memasukkan informan dalam

kancah penelitian, menciptakan kesempatan untuk

mengikhtisarkan sebagai langkah awal analisis data, (5)

menilai kecukupan menyeluruh data yang dikumpulkan

(Moleong, 2006: 335).47

e. Kecukupan Referensi

Keabsahan data hasil penelitian juga dapat dilakukan dengan

memperbanyak referensi yang dapat menguji dan mengoreksi hasil

46

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 265.

47

(41)

penelitian yang telah dilakukan, baik referensi yang berasal dari

orang lain maupun referensi yang diperoleh selama penelitian

seperti gambar video lapangan, rekaman wawancara, maupun

catatan-catatan harian dilapangan.48 Konselor menggunakan

kecukupan referensi untuk dijadikan pedoman dan panutan dari

analisis yang dilakukan, jadi ada rujukan dalam analisis. Selain itu

juga untuk keabsahan data yang tinggi.

f. Uraian Rinci

Teknik yang dimaksud adalah suatu upaya untuk memberi

penjelasan yang serinci-rincinya. Suatu temuan yang baik dapat

diterima orang apabila dijelaskan dengan penjelasan yag terperinci

dan gamblang, logis, dan rasional. Sebaiknya penjelasan yang

panjang lebar dan berulang-ulang akan menyulitkan orang

memahami hasil penelitian itu sendiri.49 Teknik ini dilakukan

konselor untuk memperjelas deskripsi, kemudian analisis dan juga

hasil yang di dapat dari proses konseling kepada anak epilepsi yang

sulit bersosialisasi.

g. Auditing

Auditing adalah konsep manajerial yang dilakukan secara ketat dan

dimanfaatkan untuk memeriksa ketergantungan dan kepastian data.

Hal itu dilakukan baik terhadap proses maupun terhadap hasil atau

48

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 267.

49

(42)

keluaran.50 Dan teknik ini dilakukan dalam proses konseling dan

juga melihat bagaimana hasil dari proses konseling.

G. Sistematika Pembahasan

Agar penelitian dan skripsi ini menjadi benar-benar sistematis dan

pembahasannya sesuai dengan alur kajian yang akan dibahas, maka skripsi

ini dibagi dalam lima bab yang masing-masing mengandung sub-sub

antara yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Berikut merupakan

susunan sistematika pembahasan skripsi, yaitu:

Pada bab pertama merupakan pendahuluan yang memuat uraian

tentang pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep, metode

penelitian, kemudian bab ini diakhiri dengan sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan kerangka teoritik atau landasan teori yang

digunakan sebagai pisau analisis terhadap penelitian ini, yang membahas

mengenai konseling Islam dengan assertive training pada anak epilepsi di Gubeng Klingsingan yang meliputi: a). Konseling Islam, b). Assertive training, c). Dissosialisasi, kemudian bab ini diakhiri dengan hasil penelitian terdahulu yang relevan.

Bab ketiga merupakan penyajian data hasil penelitian yang telah

dikumpulkan kemudian dideskripsikan secara objektif mengenai gambaran

umum tentang lokasi penelitian, penyebab anak terkena epilepsi, proses

50

(43)

konseling Islam dengan assertive training pada anak epilepsi yang sulit bersosialisasi, dan hasil Konseling Islam dengan assertive training pada anak epilepsi yang sulit bersosialisasi.

Bab keempat berisi tentang analisis, yaitu analisis penyebab anak

terkena epilepsi, analisis proses konseling Islam dengan assertive training

pada anak epilepsi yang sulit bersosialisasi, dan hasil Konseling Islam

dengan assertive training pada anak epilepsi yang sulit bersosialisasi. Bab kelima merupakan penutup, yang didalamnya memuat tentang

(44)

BAB II

KONSELING ISLAM DENGAN ASSERTIVE TRAINING DALAM MENGATASI SULIT BERSOSIALISASI PADA SEORANG ANAK

PENDERITA EPILEPSI

A. Kajian Teoritik 1. Konseling Islam

a. Pengertian Konseling Islam

Konseling Islami adalah proses pemberian bantuan terarah,

continue dan sistematis kepada setiap individu agar ia dapat mengembangkan potensi atau fitrah beragama yang dimilikinya

secara optimal dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai yang

terkandung di dalam Al-qur’an dan hadist Rasulullah ke dalam

dirinya, sehingga ia dapat hidup selaras sesuai dengan tuntunan

Al-qur’an dan hadist. Apabila internalisasi nilai-nilai terkandung

dalam Al-qur’an dan hadist telah tercapai dan fitrah beragama itu

telah berkembang secara optimal maka individu tersebut dapat

menciptakan hubungan yang baik dengan Allah, dengan manusia

dan alam semesta sebagai manifestasi dari peranannya sebagai

khalifah di muka bumi yang sekaligus juga berfungsi untuk

(45)

Dalam kondisi yang terputus hubungan baik dengan Allah,

mampu dengan sesama manusia dan lingkungan, individu tersebut

merasa tidak memiliki pegangan yang kuat sebagai pedoman.

Individu tersebut merasa terombang-ambing dalam kesendiriannya,

ia bisa mengalami stress dan kehilangan kepercayaan dirinya. Pada

saat demikian itulah diperlukan bimbingan dan konseling islami

yang berfungsi untuk mengatasi berbagai penyimpangan dalam

perkembangan firtah beragama tersebut, sehingga individu tersebut

kembali menemukan kesadaran akan eksistensinya sebagai

makhluk Allah yang berfungsi untuk mengabdi kepada-Nya, dan

agar kembali menjalani kehidupan keagamaannya dengan baik.

Setelah terbentuk hubungan baik antara klien dengan Allah,

sesama manusia dan lingkungannya, konselor bisa secara perlahan

melepaskan hubungannya dengan klien tersebut sehingga klien

mampu membina hubungan yang baik dengan Allah, dengan

sesama manusia maupun dengan lingkungannya dengan dirinya

sendiri.Pada saat ini pada diri klien telah tercipta hablun minallah hablun dan minannas yang baik, baik manifestasi dari kesadarannya atau peranan dan fungsinya sebagai makhluk Allah.

Dalam hal ini klien telah menemukan religious insight-nya kembali atas bimbingan dan konseling dari pembimbing agama, dan

masalah-masalah yang menghiasi kehidupan keagamaannya akan

(46)

kepercayaan diri yang penuh untuk mengatasi masalah

kehidupannya.

Dalam hal ini yang menjadi klien dari bimbingan dan konseling

islami adalah setiap individu mulai dari Al-qur’an dan hadist dalam

setiap perilaku dan sikap hidupnya serta individu yang mengalami

penyimpangan dalam perkembangan fitrah beragama yang

dimilikinya. Adapun berkenaan dengan kualifikasi konselor islami,

tentu saja tidak terlepas dari tugasnya untuk menumbuhsuburkan

sikap individu yang diridhoi Allah. Konselor yang ingin membawa

kliennya kepada kehidupan yang diridhoi Allah, tentu hendaknya

dapat pula merealisasikan pola hidup tersebut ke dalam segala tutur

kata, perilaku, sikap dan suasana kalbunya, di mana apa yang

disampaikan oleh konselor agama tersebut, juga dilaksanakan oleh

diri konselor. Konselor disamping memberikan bimbingan dan

konseling terhadap klien, sekaligus juga adalah pengamal yang

baik dalam amaliah ajaran agama, sehingga ia bisa terhindar dari

peringatan Allah. Firman Allah:

يَأ اَي

َنوُلَعْفَ ت ََ اَم َنوُلوُقَ ت َِِ اوُنَمَآ َنيِذَلا اَه

٢

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (QS. Ash-Shaff (61): 2)1

1

(47)

Oleh karena itu, seorang konselor islami yang professional

seharusnya memiliki dua hal; pertama, pengetahuan tentang bimbingan dan konseling secara umum, kedua, pengetahuan agama Islam secara mendalam. Sehingga dengan demikian, dalam proses

pembimbingan yang dilakukan konselor kepada klien akan dengan

mudah diterima klien karena konselor tersebut memiliki

pengetahuan bimbingan dan konseling serta pengetahuan

bimbingan dan konseling serta pengetahuan agama Islam secara

komprehensif dan ia melakukannya secara komprehensif.2

Konseling sebenarnya merupakan salah satu teknik atau

layanan di dalam bimbingan, tetapi teknik atau layanan ini sangat

istimewa karena sifatnya yang lentur atau fleksibel dan

komprehensif.

Konseling merupakan salah satu teknik dalam bimbingan,

tetapi merupakan teknik inti atau teknik kunci.Hal ini dikarenakan

konseling dapat memberikan perubahan yang mendasar, yaitu

mengubah sikap.Sikap mendasari perbuatan, pemikiran, pendangan

dan perasaan, dan lain-lain.

Keefektifan konseling sebagian besar ditentukan oleh kualitas

hubungan antara konselor dan klien. Dari seluruh pengertian

konseling yang ada, Shertzerdan Stone (1980: 82-88)

2

(48)

menyimpulkan bahwa yang menjadi tujuan konseling adalah

“mengadakan perubahan perilaku pada diri klien sehingga

memungkinkan hidupnya lebih produktif dan memuaskan.”3

b. Tujuan Konseling Islam

Pada dasarnya tujuan konseling Islam sejalan dengan maksud

dan tujuan syari’at Islam, yang oleh al-Syatibi dijabarkan menjadi

empat tujuan pokok, yaitu: pertama, syari’at Islam ditegakkan

untuk dipahami manusia - اهفإل–lil afham; kedua, untuk memperkuat manusia dalam ketentuan agama تحت سانلا اخدإ

في تلا– li idkhalal-nas tahta al-taklif; ketiga, untuk mengentas

manusia dari cengkraman dan tipu daya hawa nafsunya سانلا جارخإ

هاوه ىضتق نع–li ikhraj al-nas ‘an muqtada hawahum; keempat,

kemaslahatan manusia dunia dan akhiratnya ىف دبعلا حلاص ل –li masalih al-‘ibad fi al-darain.

Aunur Rohim Faqih membedakan tujuan bimbingan konseling

Islam dalam dua kategori, yaitu tujuan umum dan tujuan

khusus.Menurutnya tujuan bimbingan konseling Islam adalah

membantu individu dalam mewujudkan potensi dirinya sebagai

manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan

akhirat. Sedangkan tujuan khususnya diuraikan menjadi tiga

kategori:

3

(49)

1) Membantu individu dalam memahami situasi dan potensi

dirinya.

2) Membantu individu mengatasi masalah yang sedang

dihadapinya.

3) Membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi

dan kondisi yang baik, sehingga tidak menjadi sumber masalah

bagi dirinya dan orang lain.4

c. Prinsip-Prinsip Konseling Islam

Dalam prinsip-prinsip bimbingan konseling Islam secara

teknis, praktek konseling Islam dapat menggunakan instrument

yang dibuat oleh bimbingan dan konseling modern seperti diatas,

dan konseling Islam harus berdiri diatas prinsip ajaran agama

Islam, antara lain:

1) Bahwa nasehat itu merupakan salah satu pilar agama yang

merupakan pekerjaan mulia.

2) Konseling Islam harus dilakukan sebagai pekerjaan ibadah

yang dikerjakan semata-semata mengharap ridho Allah.

3) Tujuan praktis konseling Islam adalah mendorong konseli agar

selalu ridho terhadap hal-hal yang bermanfaat dan alergi

terhadap hal-hal yang mudhorot.

4) Konseling Islam juga menganut prinsip bagaimana konseli

dapat keuntungan dan menolak kerusakan.

4Aswadi, Iyadah dan Ta’ziyah

(50)

5) Meminta dan memberi bantuan hukumnya wajib bagi setiap

orang yang membutuhkan.

6) Proses pemberian konseling harus sejalan dengan tuntutan

syari’at Islam.

7) Pada dasarnya manusia memiliki kebebasan untuk

memutuskan sendiri perbuatan baik dan yang akan dipilih.5

Prinsip-prinsip dasar bimbingan dan konseling Islami (a)

berkaitan dengan tujuan, BK Islami ditujukan kepada individu

dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat sejalan

dengan ajaran Islam, (b) berkenaan dengan pembimbing dan

individu yang dibimbing, BK Islam dilakukan oleh dan untuk

manusia sesuai dengan pandangan Islam mengenai hakikat

manusia, (c) berkenaan denganisi (materi), BK Islami berlandaskan

pada ajaran Islam, (d) berkenaan dengan proses, BK Islami

berlandaskan pada ukhuwwah Islamiah (hubungan insani yang

berlandaskan pada ajaran Islam).

Pandangan Islam tentang hakikat manusia harus menjadi

landasan utama Bimbingan dan Konseling Islami. Manusia

dipandang sebagai makhluk ciptaan Allah yang memiliki

karakteristik (a) terdiri atas unsur jasmani dan rohani, (b) manusia

memiliki kemampuan rohani berupa cipta (akal), rasa (afektif),

karsa (nafsu/kehendak), (c) ada unsur-unsur dinamis pada manusia:

(51)

manusia sebagai makhluk individu, manusia sebagai makhluk

sosial, manusia sebagai makhluk budaya, dan manusia sebagai

makhluk religius, (d) ada keutuhan dan keseimbangan

pengembangan unsur-unsur (jasmani-rohani, cipta-rasa-karsa,

dunia-ukhrawi) pada manusia, (e) hakikat keberadaan (eksistensi)

manusia; manusia dibekali dengan potensi dan kecenderungan

tertentu, manusia adalah makhluk yang unggul, manusia bisa

berkembang ke arah kebaikan dan ke arah ketidakbaikan, manusia

memiliki potensi yang berbeda antara manusia satu dengan

lainnya, meskipun ia telah dilengkapi dengan berbagai potensi

tetapi kemampuannya terbatas, ada kebebasan pada manusia untuk

memilih tetapi ada tanggung jawanya dihadapan Allah, (f) manusia

adalah makhluk yang aktif dan kreatif, dan (g) manusia adalah

makhluk yang bertanggung jawab.6

Berdasarkan heuristik terhadap 6666 ayat-ayat Al-qur’an

ditemukan 290 ayat yang memiliki kandungan nilai konseling.

Semua ayat yang ditemukan secara implisit menunjukkan adanya

perubahan tingkah laku. Jumlah ayat-ayat Al-qur’an hasil temuan

dijabarkan peneliti berdasarkan model A-R sesuai jumlah

perubahan tingkah laku yang merupakan kunci keberhasilan

bimbingan konseling.

6

Anwar Sutoyo, Bimbingan & Konseling Islami (Teori dan Praktek),

(52)
<

Gambar

Tabel 1.1 Teknik Pemeriksaan Data
 Tabel 1.2
Tabel 3.1
Tabel 3.2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan aplikasi Microsoft Visual Basic 6.0 dan Microsoft Access diharapkan dapat membantu mempercepat, mempermudah proses penginputan data dan penyimpanan data

Situs web PT ASKOTAMA INTI NUSANTARA memberikan informasi baik informasi perusahaan maupun informasi produk yang ditawarkannya, sehingga masyarakat dapat mengenal dan mengakui

Keberhasilan orang Banjar di Indragiri Hilir, tidak hanya ditopang oleh etos kerja baik, tetapi juga karena keberhasilan mereka dalam membangun jaringan sosial

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembayaran dan

Beberapa pasien Ustaz Dhanu memberi kesaksian, seperti; keluhan terhadap penyakit yang terdapat di dalan tubuhnya dan tidak kunjung sembuh setelah melakukan usaha

matching yang lebih baik antara turbocharge dengan diesel engine. Mengetahui pedoman bagaimana sistem pengendalian blade stator turbin dan.. aplikasin)a pada turbocharge

Tampaknya pemikiran yang segera mudah diambil terhadap topik bahasan berjudul Demokrasi: antara Harapan dan Kenyataan, dengan memperhatikan praktek pesta demokrasi yang pada

Dari tabel 4.33 dan grafik 4.9 dapat diketahui hasil perhitungam annual energy yang dihasilkan oleh gelombang laut di Pantai Payangan tahun 2016, dengan