KONSELING ISLAM DENGAN ASSERTIVE TRAINING DALAM MENGATASI SULIT BERSOSIALISASI PADA SEORANG ANAK PENDERITA EPILEPSI DI GUBENG KLINGSINGAN SURABAYA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S. Sos. I)
Oleh :
Taufik Nur Layliya NIM. B53212088
PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
ABSTRAK
Taufik Nur Layliya (B53212088), Konseling Islam dengan Assertive Training Dalam Mengatasi Sulit Bersosialisasi Pada Seorang Anak Penderita Epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya
Fokus penelitian ini adalah (1) Apa penyebab anak terkena epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya?; (2) Bagaimana proses konseling Islam dengan assertive training dalam mengatasi sulit bersosialisasi pada seorang anak penderita epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya?; dan (3) Bagaimana hasil Konseling Islam dengan assertive training dalam mengatasi sulit bersosialisasi pada seorang anak penderita epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya?.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan analisa studi kasus. Analisis dilakukan berdasarkan wawancara dan observasi beserta pendampingan yang dilakukan. Penelitian ini dilakukan melalui salah satu pengembangan dari teknik
classical conditioning yaitu assertive training. Teknik assertive training
yang dilakukan sambil observasi dengan menambahkan dan mengurangi tingkah laku yang teramati selama proses pendampingan.
Proses konseling Islam dengan assertive training untuk sulitnya bersosialisasi pada anak epilepsi dilakukan oleh konselor dengan membiasakan klien untuk dapat bersosialisasi dengan orang sekitarnya dengan cara membiasakan mengajak klien untuk bermain kerumah tetangga atau orang yang ada di sekitar rumah klien. Selain itu juga konselor membekali klien dengan life skill seperti klien di biasakan untuk bisa memakai pakaian sendiri, makan sendiri, dan keterampilan lainnya dan itu dilakukan kepada klien agar klien lebih mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Adapun peran dan fungsi konselor dalam proses konseling ini lebih banyak menjadi terapis dan pembimbing bagi klien serta sahabat untuk klien. Sedangkan hubungan antara konselor dan klien mengikuti prinsip yang telah disebutkan sebelumnya bahwa hubungan baik berpengaruh terhadap proses konseling. Sehingga hubungan yang terjadi tidak kaku.
Hasil akhir dari proses konseling terhadap klien dalam penelitian ini tergolong berhasil dengan prosentase 67,7%. Hasil ini dapat dilihat dari adanya perubahan klien yang dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER... i
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING. ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI. ... iii
MOTTO. ... iv
PERSEMBAHAN. ... v
PERNYATAAN KEASLIAN. ... vi
ABSTRAK. ... vii
KATA PENGANTAR. ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL. ... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumasan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Definisi Konsep 1. Konseling Islam. ... 11
2. Assertive Training. ... 12
3. Sulit Bersosialisasi ... 14
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian. ... 15
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian... 16
3. Jenis dan Sumbe Data. ... 16
4. Tahap-Tahap Penelitian. ... 18
5. Teknik Pengumpulan Data. ... 22
6. Teknik Analisis Data. ... 24
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data. ... 26
G. Sistematika Pembahasan ... 34
BAB II Konseling Islam Dengan Assertive Training Dalam Mengatasi Sulit Bersosialisasi Pada Seorang Anak Penderita Epilepsi A. Kajian Teoritik 1. Konseling Islam. ... 36
a. Pengertian Konseling Islam. ... 36
b. Tujuan Konseling Islam. ... 40
c. Prinsip-Prinsip Konseling Islam. ... 41
d. Teknik Pelaksanaan Konseling Islam. ... 53
e. Langkah-Langkah Konseling Islam. ... 46
2. Assertive Training. ... 47
a. Pengerian Assertive Training. ... 47
b. Prosedur Yang Diberikan Kepada Klien... 53
3. Sulit Bersosialisasi. ... 64
a. Pengerian Sulit Bersosialisasi. ... 64
b. Manusia Sebagai Makhluk Sosial. ... 66
c. Ciri-Ciri Orang Sulit Bersosialisasi ... 67
d. Bentuk Sosialisasi. ... 68
e. Tahapan Sosialisasi. ... 69
f. Upaya Menumbuhkembangkan Sosial Anak. ... 70
4. Epilepsi... 71
a. Pengertian Epilepsi. ... 71
b. Jenis-Jenis Epilepsi. ... 73
c. Penyebab Terjadinya Epilepsi... 77
5. Konseling Islam Dengan Assertive Training Dalam Mengatasi Sulit Bersosialisasi Pada Seorang Anak Penderita Epilepsi. ... 78
B. Penelitian Terdahulu Yang Relevan. ... 80
BAB III PENYAJIAN DATA A. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian. ... 83
1. Konselor. ... 83
2. Klien. ... 84
3. Masalah. ... 84
B. Deskripsi Hasil Penelitian. ... 93
1. Deskripsi Faktor-Faktor Penyebab Anak Terkena Epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya. ... 94
2. Deskripsi Proses Pelaksanaan Konseling Islam Dengan Assertive Training Dalam Mengatasi Sulit Bersosialisasi Pada Seorang Anak Penderita Epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya. ... 98
a. Identifikasi . ... 99
b. Diagnosis... 103
c. Prognosis. ... 104
d. Treatment. ... 105
e. Evaluasi. ... 116
3. Deskripsi Hasil Akhir Pelaksanaan Konseling Islam Dengan Assertive Training Dalam Mengatasi Sulitnya Bersosialisasi (Dissosialisasi) Pada Anak Epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya. ... 117
BAB IV ANALISIS DATA A. Faktor-Faktor Penyebab Anak Terkena Epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya. ... 119
B. Proses Pelaksanaan Konseling Islam Dengan Assertive Training Dalam Mengatasi Sulitnya Bersosialisasi (Dissosialisasi) Pada Anak Epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya. ... 122
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan. ... 127 B. Saran. ... 128
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap hari dalam kehidupan kita, kita mencoba untuk memahami
orang lain. Bahkan bila perilaku mereka itu abnormal menurut kita,
memahami mengapa seseorang bertingkah laku atau memiliki perasaan
tertentu adalah tugas yang sulit. Memang kita tidak selalu paham mengapa
kita memiliki perasaan atau bertingkah laku seperti sekarang. Mendapat
insight tentang perilaku yang diharapkan dan dianggap normal merupakan
suatu hal yang cukup sulit; memahami perilaku manusia di luar batas
normal itu lebih sulit lagi untuk dilakukan. Dan tantangan yang lebih sulit
lagi untuk dilakukan adalah untuk tetap bersikap objektif, tapi itu sesuatu
yang harus dilakukan.
Sebagai orang tua, pasti akan sangat merasa senang ketika
memiliki seorang anak. Karena anak adalah titipan dari Allah yang sangat
tak ternilai harganya. Tidak akan ada orang tua yang mau menggantikan
anaknya dengan sesuatu yang berharga lainnya. Anak adalah buah hidup
dan bunga yang harum dari rumah tangga, harapan dan tujuan utama dari
suatu pernikahan yang sah. Rasullullah SAW bersabda, “Rumah yang
tidak ada anak-anak di dalamnya, tidak ada keberkahan.” (HR. Abu
Syaikh dari Ibnu Abbas RA). “Bau anak itu adalah bau surga.” (HR.
(mengkhawatirkan), membuat orang tua menjadi kikiar (karena banyak
keperluan anak-anak), dan membuat susah orang tua.” (HR. Abu Ya’la
dari Abi Sa’id).1
Dalam sebuah keluarga, pasti seorang ayah dan ibu menginginkan
seorang anak di tengah-tengah mereka. Bagi anak keluarga merupakan
lingkungan pertama di mana ia berinteraksi. Dari interaksi dengan
lingkungan pertama inilah anak memperoleh unsur-unsur dan ciri-ciri
dasar kepribadiannya. Anak juga perlu pada keluarga bukan hanya pada
tingkat awal hidupnya dan pada masa kanak-kanak, tapi sepanjang
hidupnya. Sebab dalam keluarga itulah akan mendapatkan rasa kasih
sayang, rasa tentram dan ketenangan. Keberadaan keluarga juga bukan
hanya penting bagi seorang anak, tapi juga masyarakat, sehingga
masyarakat menganggap bahwa keluarga sebagai institusi sosial yang
terpenting. Dan keluarga sebagai tempat dimana anak-anak dibesarkan
memiliki peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak, karena
yang pertama yang akan dilihat dan dirasakan oleh anak sebelum orang
lain adalah keluarga.2
Keluarga juga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat
yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak, dan kerabat lainnya. Lingkungan
keluarga merupakan tempat dimana anak-anak dibesarkan dan merupakan
lingkungan yang pertama kali dijalani oleh seorang anak di dalam
1
M Fauzi Rachman, IslamicParenting, (Jakarta: PENERBIT ERLANGGA, 2011), hal 2.
2
mengarungi hidupnya, sehingga apa yang dilihat dan dirasakan oleh
anak-anak dalam keluarga akan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan jiwa seorang anak.3
Pada saat kelahiran, kelahiran anak merupakan kebahagiaan tiada
tara yang tidak bisa dibandingkan dengan harta ataupun nyawa. Jika
dengan melahirkan anak membuat para perempuan merasa sempurna, bagi
laki-laki mendapatkan keturunan merupakan sebuah keberhasilan yang
membanggakan. Tentu saja melebihi kepuasan mendapatkan tender bisnis.
Namun itu adalah gambaran perasaan jika sepasang orangtua baru
mendapatkan anak normal. Kemudian, bagaimana perasaan yang hadir
ketika mengetahui bahwa anaknya lain daripada yang lain. Apapun yang
dirasakan tapi anak tersebut tetaplah anak kita dan sudah menjadi tugas
kita untuk menjaga, merawat, dan memberikan pendidikan.4 Namun selain
itu sebagai orangtua juga harus bisa mengembangkan apa yang menjadi
keinginan anak, mendukung dan memfasilitasi anak tersebut dan memberi
pengasuhan yang tepat kepada anak.
Pada seorang anak, ada yang namanya perkembangan
psiko-motorik. Pada perkembangan ini, setiap anak berbeda. Ada visual, kinestetik, auditory, olfagtory, dan gustatory. Jadi dalam pembelajarannya pun setiap anak akan memiliki cara yang berbeda, sesuai dengan modalitas
yang dimiliki setiap anak.
3
Bambang Ismaya , Bimbingan & Konseling Studi, Karier, dan Keluarga, hal 134.
4
Setiap orang tua juga menginginkan kehadiran anak yang
sempurna. Namun jika Tuhan memberikannya tidak seperti yang
diharapkan oleh orang tua, orang tua harus tetap menerimanya dengan
pasrah, dan mendidiknya dengan ikhlas. Tidak sempurna yang
dimaksudkan disini adalah seperti sakit. Ketika memiliki anak yang
mempunyai penyakit sebagai orang tua harus tetap menerima dengan
ikhlas dan semampunya untuk mencari kesembuhan bagi anaknya.
Walaupun begitu, tidak juga seorang pun yang menginginkan
dirinya sakit. Tetapi kalau penyakit itu datang, manusia tidak kuasa untuk
menolaknya. Sakit merupakan salah satu ciptaan Allah SWT. Karena itu,
proses penciptaan ini pasti ada hikmah dibalik itu semua. Salah satu
hikmahnya, Allah sedang menguji keimanan seseorang. Apakah dengan
penyakit itu ia menjadi lebih sabar dan menjadi lebih baik, atau
sebaliknya.5 Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 214:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah
5
Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.6
Dalam pandangan Islam, penyakit juga merupakan cobaan yang
diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya.7
Jika dilihat dari perkembangan psikis seseorang, dilihat sebagai
integrasi proses-proses sosialisasi, bukanlah suatu perkembangan yang
hanya ditentukan oleh hukum-hukum dari dalam diri orang saja. Juga
dalam perkembangan tahun pertama sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
dari luar diri anak tersebut. Yang terpenting adalah untuk memandang
anak dari awal-mula sebagai pasangan interaksi yang serius yang
mempunyai sifat ingin bersatu dengan lingkungan sosial maka lingkungan
sosial harus dapat memberikan kesempatan pada anak untuk dapat
mematuhi dorongan sosial itu.8
Dalam berkomunikasi, bertutur kata, atau dalam hal lainnya yang
berhubungan dengan anak pun, kita harus menggunakan bahasa yang
seusia anak tersebut dan berusaha menempatkan diri bersama anak.
Menurut Irawati Istadi, salah satu seni berbicara dengan anak adalah mau
memahami dan mengerti pendapatnya, membesarkan hatinya, kemudian
mengingatkan akibat-akibat buruk yang bisa saja terjadi.9 Terlebih lagi
6
Kementerian Agama Republik Indonesia, Alquran dan Tafsirnya (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hal 33.
7
Arif Sumantri, Kesehatan Lingkungan & Perspektif Islam, hal 302.
8
Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS), hal 97.
9
jika anak kita ini berbeda dengan yang lainnya, berbeda dalam artian sakit
misalnya. Sebagai orangtua kita harus lebih mengerti seorang anak, lebih
memperhatikan, lebih memahami dan bisa lebih banyak mendengarkan
sang anak.
Dalam kehidupan, kita dapat menunjukkan bahwa peristiwa
kehidupan berhubungan dengan timbulnya penyakit, masih ada berbagai
pertanyaan penting. Kita telah mencatat bahwa pengalaman hidup yang
sama dapat memberikan efek yang berbeda bagi setiap orang. Situasi ini
meningkatkan kemungkinan bahwa berbagai variabel lain melunakkan
atau mengubah hubungan stres-penyakit yang umum. Dan untuk
mengurangi gejala tersebut bisa menggunakan coping. Dan dari
penggunaan coping itu dipelajari dengan penghindaran meningkatkan
kemungkinan efek stres terhadap emosional dan fisik.10
Dan begitupun penyakit fisik, ada banyak sekali macam dari
penyakit itu. Tergantung dari apa yang dialami oleh penderitanya. Seperti
salah satunya ada epilepsi, seperti yang dialami salah satu anak yang akan
menjadi klien ini. Kebanyakan orang menanggap bahwa epilepsi ini adalah
penyakit ayan yang menyerang pada seseorang dan ketika kambuh maka
orang tersebut akan kejang-kejang. Bahkan ada yang berfikir menstream
yang mengatakan bahwa jangan mendekat dan berkomunikasi dengan
10
orang yang sakit epilepsi. Padahal itu tidak ada yang salah dengan orang
yang mengidap penyakit itu.
Secara umum, epilepsi diartikan sebagai gangguan susunan saraf
pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan yang bersifat spontan dan
berkala. Serangannya dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang
bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar
sel-sel otak yang bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa
gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Namun istilah epilepsi
tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja.
Seperti yang terjadi pada salah satu anak yang berada di daerah
Gubeng Klingsingan ini. Anak ini sekarang berumur 14 tahun, sekilas dia
terlihat seperti anak yang normal, namun ketika kita amati maka ada
sesuatu yang beda dari dirinya. Anak ini bisa fokus hanya dalam beberapa
menit, ketika diajak berkomunikasi dia akan cenderung mengalihkan pada
suatu hal dan tidak menghadap kepada orang yang mengajaknya berbicara.
Ketika belajar, dia hanya akan fokus beberapa menit, dan dia akan lebih
suka berjalan tanpa ada tujuan yang jelas dengan berbolak-balik.
Meskipun ketika beberapa saat dia akan merasa capek, tapi dia tetap akan
melakukan kebiasaan itu. Dia anak yang suka makan, bahkan dalam waktu
sehari dia bisa makan sampai 10 kali.
Selain itu, anak ini juga ketika berumur 9 bulan dia pernah
Dan setelah beberapa bulan berlalu dia pernah sempat sakit berhari-hari
dan waktu itu dia muntaber kemudian panas tinggi dan sampai harus
opname di RSUD. Dr. Soetomo berhari-hari. Dan ketika di rawat itu
dokter memvonis anak ini terkena epilepsi. Dalam kesehariannya dia
hanya bersama dengan mama, adik dan budenya saja. Dia tidak pernah
bermain dengan teman sebayanya. Karena memang selain anak ini lebih
beda dengan yang lainnya, anak ini sangat sensitif. Anak ini ketika
mendengar kata-kata yang kurang bisa di terima di hatinya, dia akan
langsung memasukkan ke dalam hatinya dan menangis. Meskipun ketika
itu bermaksud bercanda, namun dia tidak memikirkan hal tersebut sejauh
itu, jadi dia hanya selalu diam dirumah dan tidak bermain dengan
temannya. Selain itu untuk pembelajaran, dalam pembelajaran pun tidak
seperti anak pada umumnya. Harus menggunakan teknik dan metode
khusus untuk belajar bersamanya. Dan itu terbukti ketika dia pernah
sekolah di umum, tapi satu tahun setelah itu dia memilih keluar karena
pembelajaran yang kurang cocok dengannya dan dia sampai menangis,
marah kepada mamanya ketika di kelas setelah menulis dia berbaring
dilantai dan tidak menyelesaikan tugas dari gurunya. Dia di marah oleh
gurunya dan saat itulah ketika sampai di rumah dia menangis kepada
mamanya.
Dari fenomena yang peneliti temukan ini, menurut peneliti ini
sesuatu yang perlu dikaji secara lebih dalam agar lebih mengetahui
anak yang terkena sakit epilepsi ini. Mulai dari agar anak ini bisa
membiasakan diri untuk suatu hal yang lebih baik, kemudian bisa
mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya, melakukan
kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik, dan hal positif lainnya. Dan dengan terapi ini
diharapkan anak yang terkena sakit ini bisa menjadi lebih baik lagi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya
adalah sebagaimana berikut:
1. Apa penyebab anak terkena epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya?
2. Bagaimana proses konseling Islam dengan assertive training dalam mengatasi sulit bersosialisasi pada seorang anak penderita epilepsi di
Gubeng Klingsingan Surabaya?
3. Bagaimana hasil konseling dari proses konseling Islam dengan
assertive training dalam mengatasi sulit bersosialisasi pada seorang anak penderita epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Mengetahui penyebab anak terkena epilepsi di Gubeng Klingsingan
Surabaya.
2. Mengetahui proses konseling Islam dengan assertive training dalam mengatasi sulit bersosialisasi pada seorang anak penderita epilepsi di
3. Mengetahui hasil proses konseling Islam dengan assertive training
dalam mengatasi sulit bersosialisasi pada seorang anak penderita
epilepsi di Gubeng Klingsingan Surabaya.
D. Manfaat Penelitian
Adapula manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritik
a. Untuk merencanakan bagaimana konseling islam dengan assertive training dapat berkontribusi untuk seorang anak penderita epilepsi yang sulit bersosialisasi.
b. Sebagai salah satu harapan untuk dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi para konselor ataupun yang lainnya dalam
melakukan konseling Islam dengan assertive training pada seorang anak penderita epilepsi yang sulit bersosialisasi.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan kemanfaatan dalam hal bagaimana assertive training
dapat berkontribusi untuk anak penderita epilepsi yang sulit
bersosialisasi dan juga diharapkan bisa menambah khazanah
pengetahuan, terutama dalam bidang Bimbingan dan Konseling
Islam.
b. Memberikan pengalaman yang besar bagi penulis tentang
bagaimana melakukan konseling Islam dengan assertive training
dapat berkontribusi untuk anak penderita epilepsi yang sulit
E. Definisi Konsep 1. Konseling Islam
Secara historis asal mula pengertian konseling adalah untuk
memberi nasehat, seperti penasehat hukum, penasehat perkawinan.
Kemudian nasehat itu berkembang ke bidang-bidang bisnis,
managemen, otomotif, dan finansial. Kemudian muncul English &
English pada tahun 1958 mengemukakan konseling adalah suatu
hubungan antara seseorang dengan orang lain, dimana seorang
berusaha keras untuk membantu orang lain agar memahami masalah
dan dapat memecahkan masalahnya dalam rangka penyesuaian
dirinya.11 Disamping itu, istilah Islam dalam wacana studi Islam
berasal dari bahasa arab dalam bentuk masdar yang secara harfiah
berarti selamat, sentosa dan damai.12
Menurut M. Hamdani Bakran Adz-Dzaki konseling Islam adalah
suatu aktivitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada
individu yang meminta bimbingan (konseli) dalam hal bagaimana
seharusnya seorang konseli dapat mengembangkan potensi akal
fikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat
menanggulangi masalah hidup dan kehidupannya dengan baik dan
11
Sofyan S. Willis, Konseling Individual Teori danPraktek, (Bandung: ALFABETA, 2013), hal 17.
12 Aswadi, Iyadah dan Ta’ziyah perspektif bimbingan konseling islam, (Surabaya:
benar secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur’an dan Aas
-Sunnah Rasullah SAW.13
Konseling Islam yang konselor maksud disini adalah mengajak
klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, dengan belajar untuk
menerima semua kehendak Allah dan ikhlas dengan semua
ketentuannya. Namun juga tetap berusaha melakukan yang terbaik.
2. Assertive Training
Assertive training merupakan teknik dalam konseling behavior yang menitikberatkan pada kasus yang mengalami kesulitan dalam
perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya. Sebagai contoh
ingin marah, tapi tetap merespon manis.14
Latihan asertif (assertive training) atau latihan keterampilan sosial (social skill training) adalah salah satu dari banyak topik yang tergolong populer dalam terapi perilaku. Untuk menjelaskan arti kata
asertif dapat di uraian melalui pengertian perilaku asertif (assertive behaviour). Perilaku asertif adalah prilaku antar-perorangan (interpersonal) yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku asertif ditandai oleh kesesuaian sosial
dan seseorang yang berperilaku asertif mempertimbangkan perasaan
dan kesejahteraan orang lain. Adanya keterampilan sosial pada
13 Aswadi, Iyadah dan Ta’ziyah, hal 12. 14
seseorang, menunjukkan adanya kemampuan untuk menyesuaikan
diri.15
Menurut Christoff & Kelly (1985), ada tiga kategori perilaku
asertif yakni:
a. Asertif penolakan. Ditandai oleh ucapan untuk memperhalus
seperti: maaf !
b. Asertif pujian. Ditandai oleh kemampuan untuk mengekspresikan
perasaan positif seperti menghargai, mencintai, mengagumi,
memuji, dan bersyukur.
c. Asertif permintaan. Jenis asertif ini terjadi kalau seseorang
meminta orang lain meminta sesuatu yang memungkinkan
kebutuhan atau tujuan seseorang tercapai, tanpa tekanan atau
paksaan. Dari uraian ini terlihat bahwa perilaku asertif adalah
perilaku yang menunjukkan adanya keterampilan untuk bisa
menyesuaikan dalam hubungan interpersonal, dalam lingkungan
sosial. Sebaliknya dari perilaku yang tidak asertif, misal
agresivitas.16
Di dalam assertive training konselor berusaha memberikan keberanian kepada klien dalam mengatasi kesulitan terhadap orang
lain. Pelaksanaan teknik ini ialah dengan role playing (bermain peranan). Konselor misalnya berperan sebagai atasan yang galak, dan
15
Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: Libri, 2011), hal 215.
16
klien sebagai bawahannya. Kemudian dibalik, klien mejadi atasan
yang galak dan konselor menjadi bawahan yang mampu dan berani
mengatakan sesuatu kebenaran. Hal ini memang bertentangan dengan
perilaku klien selama ini, dimana jika ia dimarahi atasan diam saja,
walaupun dalam hatinya ingin mengatakan bahwa ia benar.17
Dalam konseling ini, konselor mengajarkan kepada klien untuk dia
bisa menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya dan meluapkan
semua emosi yang ada di hatinya. Dengan begitu dia bisa merasakan
kenyamanan karena dia telah mengungkapkan semua yang ada
didalam hatinya. Dia tidak lagi tiba-tiba marah tanpa sebab karena dia
telah bisa mengatur emosinya dengan lebih baik.
Selain itu, konselor juga mengajak dan meminta klien untuk
mempraktekkan apa yang diminta konselor kepada klien. Selain itu
konselor mengajak klien untuk lebih dekat dengan orang yang berada
di sekelilingnya. Dan juga konselor meminta klien untuk lebih terbuka
dengan tentang hal apapun.
3. Sulit Bersosialisasi
Sulit bersosialisasi dapat disebut juga dengan dissosialisasi. Dissosialisasi adalah suatu proses dimana seorang individu tidak dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan unsur-unsur kebudayaan
(tradisi, perilaku, bahasan dan kebiasaan-kebiasaan) yang ada dalam
17
suatu masyarakat, yang dimulai dari lingkungan keluarganya, dan
kemudian meluas pada masyarakat luas, lambat laun dengan
keberhasilan penerimaan atau penyesuaian tersebut, jadi individu
merasa bahwa dirinya bukan bagian dari keluarga atau masyarakat.18
Jika seorang individu tidak mampu melakukan itu maka akan
terjadi dissosialisasi. Jadi individu tersebut tidak mampu bersosialisasi
dengan baik. Seperti yang terjadi pada klien yang epilepsi ini, dia sulit
untuk mampu bersosialisasi. Jadi konselor disini mengajak klien dan
membiasakan klien untuk mampu bersosialisasi dengan lebih baik dari
sebelumnya.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menggunakan penelitian kualitatif.
Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang dilakukan untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
secara holistic dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah.19
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif
deskriptif dengan menggunakan jenis penelitian studi kasus, dimana
18
Richard Osborne & Borin Van Loon, Mengenal Sosiologi For Beginner, (Bandung: Mizan, 1996), hal 30.
19
peneliti mempelajari individu secara rinci dan mendalam selama kurun
waktu tertentu untuk membantunya memperoleh penyesuaian diri yang
lebih baik.
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian
Sasaran penelitian adalah orang yang menjadi subjek dalam
penelitian ini. Sasaran dalam penelitian ini adalah seorang anak yang
terkena penyakit epilepsi yang sulit bersosialisasi dengan lingkungan
sekitanya, yang kemudian akan disebut sebagai klien. Sedangkan yang
menjadi konselor adalah Taufik Nur Layliya, seorang mahasiswa
bimbingan dan konseling Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Adapun
lokasi penelitian ini bertempat di Gubeng Klingsingan 1/7, Surabaya.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Data primer
Adalah data yang diambil dari sumber data primer atau sumber
utama dilapangan.20 Data ini berupa teks hasil wawancara yang
diperoleh melalui wawancara dengan informan yang sedang
dijadikan sampel dalam penelitiannya. Data dapat direkam atau
dicatat oleh peneliti.21 Dan data yang digunakan konselor adalah
proses konseling Islam dengan assertive training pada anak
20
H.M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi, (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2013),hal 128.
21
epilepsi yang sulit untuk bersosialisasi. Dari wawancara yang
didapatkan selama proses konseling, anekdot dan catatan yang
dimiliki saat proses konseling tersebut.
b. Data sekunder
Adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber
sekunder.22 Data ini berupa data-data yang sudah tersedia dan
dapat diperoleh oleh peneliti dengan cara membaca, melihat atau
mendengarkan. Data ini biasanya berasal dari data primer yang
sudah diolah oleh peneliti sebelumnya. Dan yang dalam kategori
data tersebut adalah: data bentuk teks (dokumen, pengumuman,
surat-surat, spanduk), data bentuk gambar (foto, animasi,
billboard), data bentuk suara (hasil rekaman kaset), dan kombinasi
dari teks, gambar, dan suara (film, video, iklan di televisi, dll).23
Data sekunder yang digunakan konselor adalah informan lain yaitu
bude dan pakde dari klien, selain itu juga berupa photo dan video,
saat proses konseling.
Sumber data adalah salah satu yang paling vital dalam penelitian.
Kesalahan dalam menggunakan dan memahami sumber data, maka
data yang diperoleh juga akan meleset dari yang diharapkan.24 Oleh
karena itu, konselor harus mampu memahami sumber data yang mana
yang akan digunakan dalam penelitian ini. Dan dalam penelitian ini,
konselor menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder.
22
H.M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi, hal 128.
23
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantatif & Kualitatif, hal 209-210.
24
a. Sumber data primer
Sumber data ini adalah sumber pertama di mana sebuah data
dihasilkan.25 Dan dalam penelitian ini, sumber primernya adalah
anak yang terkena penyakit epilepsi yang sulit bersosialisasi dan
juga ibu dari klien.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data kedua sesudah sumber
data primer. Data yang dihasilkan dari sumber data ini adalah data
sekunder.26 Dan sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah
informan anak yang mengidap epilepsi, dan informannya adalah
bude dan pakde dari anak tersebut.
4. Tahap-Tahap Penelitian
Pengumpulan data pada penelitian deskriptif kualitatif ini tidak
berbeda dengan pelaksanaan penelitian kuantitatif, yaitu menyiapkan
schedule penelitian dan penganggaran, termasuk pengumpulan data dilapangan. Karena penelitian kualitatif ini tidak membutuhkan banyak
peneliti lapangan maka tidak membutuhkan tim penelitian (organisasi
peneliti) atau pembantu lapangan atau field worker, dan juga tidak membutuhkan uji coba instrument karena penelitian tidak
membutuhkan instrument penelitian yang ketat. Namun schedule
penelitian tetap dibutuhkan untuk mengendalikan penelitian.27
25
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 129.
26
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 129.
27
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan tiga tahap
penelitian.28 Diantaranya adalah:
a. Tahap Pra-Lapangan
Dalam tahap ini ada enam kegiatan dan satu pertimbangan yang
harus dilakukan oleh peneliti dalam tahapan ini, yaitu sebagai
berikut:
1). Menyusun rancangan penelitian.
Disini peneliti akan membuat rancangan-rancangan yang akan
digunakan dalam penelitian.
2). Memilih lapangan penelitian.
Pada tahap ini peneliti menentukan tempat dimana penelitian
ini akan di lakukan. Cara terbaik yang perlu ditempuh dalam
penentuan lapanganadalah dengan mempertimbangkan teori
substantif dan keterbatasan geografis an praktis juga menjadi
hal yang perlu dipertimbangkan.
3). Mengurus perizinan
Peneliti perlu mengetahui siapa saja yan berwenang
memberikan izin untuk melaksanakan penelitian. Dan selain
itu juga perlu memperhatikan persyaratan lain seperti; surat
tugas, surat instansi diatasnya, identitas diri seperti KTP, foto,
dan lain-lain.
4). Menjajaki dan menilai lapangan
28
Sebelum penjajakan, peneliti sudah mempunyai gambaran
umum tentang geografi, demografi, sejarah, tokoh-tokoh,
adat-istiadat, konteks kebudayaan, agama, pendiidkan, dan lain
sebagainya. Maksud dari penjajakan adalah berusaha mengenal
segala unsur lingkungan sosial, fisik, dan keadaan alam di
lingkungan tersebut.
5). Memilih dan memanfaatkan informan
Pemanfaatan informan bagi peneliti adalah agar waktu yang
relatif singkat banyak informasi yang terjaring.
6). Menyiapkan perlengkapan penelitian
Perlengkapan yang dimaksud disini adalah semua yang
diperlukan selama penelitian itu berlangsung.
7). Persoalan etika penelitian
Persoalan etika ini akan timbul apabila peneliti tidak
menghormati, tidak mematuhi, dan tidak mengindahkan
nilai-nilai masyarakat dan pribadi tersebut. Dalam menghadapinya,
peneliti hendaknya mempersiapkan diri dari fisik, psikologis,
maupun mental.
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
1). Memahami latar penelitian dan persiapan diri
Dalam tahap ini peneliti hendaknya mengenal adanya latar
terbuka dan tertutup dan selain itu peneliti juga harus mampu
peneliti menyesuaikan dengan kebiasaa, tata cara dan kultur
latar penelitian.
2). Memasuki lapangan
Dalam tahap ini seorang peneliti harus menjalin hubungan
akrab dengan orang yang diteliti, selain itu mempelajari bahasa
dan peranan peneliti disini sangatlah besar. Karena selama
proses penelitian seorang peneliti harus terjun langsung
kedalam dan ikut serta di dalamnya.
3). Berperanserta sambil mengumpulkan data
c. Tahap Analisis Data
Analisis data disini adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
menjadi satuan yang dapat di kelola, mensintesiskannya, mencari
dan menemukan pola, dan memutuskan apa yang dapat
diceriterakan kepada orang lain.29
Dalam penelitian ini, juga menggunakan analisis induktif.
Model tahapan analisis induktif adalah sebagai berikut:30
1) Melakukan pengamatan terhadap fenomena sosial, melakukan
identitas, revisi-revisi, dan pengecekan ulang terhadap data
yang ada
2) Melakukan kategorisasi terhadap informasi yang diperoleh
3) Menelusuri dan menjelaskan kategorisasi
29
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, hal 248.
30
4) Menjelaskan hubungan-hubungan kategorisasi
5) Menarik kesimpulan-kesimpulan umum
6) Membangun atau menjelaskan teori
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini, peneliti akan menggunakan beberapa
teknik. Diantaranya adalah:
a. Interview (Wawancara)
Dalam wawancara ini, peneliti menggunakan wawancara tidak
terstruktur. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang
bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara
yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya
berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.31
Dan wawancara yang digunakan oleh konselor adalah wawancara
mendalam, dimana peneliti juga menggunakan catatan harian
setelah melakukan wawancara. Wawancara mendalam secara
mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan tanya jawab sambil bertatap muka
antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai,
dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial
31
yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara
mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan.32
Disini konselor melakukan wawancara kepada klien dan ibu klien
untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan secara kondisional,
karena konselor juga setiap minggu dua kali bertemu dengan klien
dan ibunya. Wawancara mendalam yang dilakukan konselor
kepada klien dan ibunya dilakukan pula saat proses konseling dan
selain itu juga terkadang melalui via mobile. b. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia
dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu
utamanya selain pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman,
mulut dan kulit.33 Karena itu, observasi adalah kemampuan
seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja
pancaindra lainnya. Dan observasi yang digunakan peneliti adalah
observasi tidak berstruktur. Observasi tidak berstruktur dimaksud,
observasi dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Dengan demikian, pada observasi ini pengamat harus mampu secara
pribadi mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati
suatu objek.34 Observasi dilakukan oleh konselor pada saat proses
konseling berlangsung dan saat pendampingan. Selain itu juga saat
bertemu dan bersama dengan klien dan ibunya. Karena memang
32
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, hal 111.
33
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 118.
34
konselor setiap minggu pasti bertemu dan bersama dengan klien
dan ibunya.
c. Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan tekhnik pengumpulan data yang
tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumen yang
diteliti dapat berupa berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi.
Dokumen ini dapat dibedakan menjadi dokumen primer, jika
dokumen ini ditulis oleh orang yang langsung mengalami suatu
peristiwa; dan dokumen sekunder, jika peristiwa dilaporkan kepada
orang lain yang selanjutnya ditulis oleh orang lain.35 Dokumentasi
yang digunakan konselor ada beberapa bentuk. Diantaranya adalah
dokumen yang berupa catatan langsung dari konselor saat proses
konseling, juga berupa anekdot, photo, dan video yang konselor
dapat saat proses konseling.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data akan digunakan oleh peneliti adalah
Kualitatif-Deskriptif. Kualitatif-Deskriptif digunakan untuk menganalisa data
tentang pola asuh orang tua yang mempunyai anak selalu merasa
dirinya tidak bisa dengan cara membandingkan teori dan praktek. Jenis
penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Penelitian studi kasus
(case study), adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang
35
berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan atau
khas dari keseluruhan personalitas.36
Dalam penelitian ini, konselor mengambil studi kasus dari anak
yang terkena epilepsi yang sulit bersosialisasi dengan menganalisis
dari bagaimana keseharian klien tersebut, bagaimana pola asuh dari ibu
klien, dan juga seperti apa perubahan klien setelah proses konseling
berlangsung.
Teknik analisis data yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut:
a. Reduksi Data (Data Reduction)
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk
itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Dalam mereduksi data,
setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai. Dan
dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan banyak data untuk
mendapatkan dan mencapai tujuan dari penelitian ini, yaitu hasil
konseling yang dilakukan kepada klien yang menderita epilepsi
untuk membuat klien agar klien dapat bersosialisasi.
b. Penyajian data (Data Display)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah
mendisplaykan data. Dalam mendisplaykan data, maka akan
memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan
kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.
36
Dan dalam penelitian ini, peneliti menyajikan semua data tentang
anak penderita epilepsi dan memahami apa yang terjadi kepada
anak yang menderita epilepsi. Kemudian peneliti melakukan
konseling kepada klien, melakukan terapi kepada klien dan
memahami apa yang terjadi kepada klien.
c. Conclusion Drawing/Verification
Kesimpulan dalam penelitian ini merupakan temuan baru yang
sebelumnya belum pernah ada. Dan temuan yang di dapatkan
peneliti adalah dalam konseling Islam dalam mengatasi anak
penderita epilepsi dengan terapi yang di pilih oleh peneliti.37
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Penelitian kualitatif menghadapi persoalan penting mengenai
pengujian keabsahan hasil penelitian. Banyak hasil penelitian kualitatif
diragukan kebenarannya karena beberapa hal; (1) subjektivitas peneliti
merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif; (2) alat
penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi (apapun
bentuknya) mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara
terbuka dan apalagi tanpa kontrol (dalam observasi partisipasi); (3)
sumber data kualitatif yang kurang credible akan memengaruhi hasil
37
akurasi penelitian. Untuk itu perlu dibangun sebuah mekanisme untuk
mengatasi keraguan terhadap setiap hasil penelitian kualitatif.38
Sehubungan dengan itu, Meleong mencoba membangun teknik
[image:35.595.140.513.229.551.2]pengujian keabsahan yang ia beri nama teknik pemeriksaan.39
Tabel 1.1
Teknik Pemeriksaan Data
KRITERIA TEKNIK PEMERIKSAAN
Kredibilitas
(derajat kepercayaa)
1. Perpanjangan keikutsertaan
2. Ketekunan pengamatan
3. Triangulasi
4. Pengecekan sejawat
5. Kecukupan referensial
6. Kajian kasus negatif
7. Pengecekan anggota
Kepastian 8. Uraian rinci
Kebergantungan 9. Audit kebergantungan
Kepastian 10.Audit kepastian
a. Perpanjangan Keikutsertaan
Dalam setiap penelitian kualitatif, kehadiran peneliti dalam setiap
tahap penelitian penelitian kualitatif membantu peneliti untuk
memahami semua data yang dihimpun dalam penelitian. Karena itu
hampir dipastikan bahwa peneliti kualitatif adalah orang yang
langsung melakukan wawancara dan observasi dengan
informan-informannya. Karena itu peneliti kualitatif adalah peneliti yang
38
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 262.
39
memiliki waktu yang lama bersama dengan informan dilapangan,
bahkan sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai.40 Disini
konselor juga bersama dengan klien dalam waktu yang lama, dan
itu dilakukan untuk mendapatkan informasi yang mendalam.
Moleong juga mengatakan apabila peneliti lebih lama dilapangan,
maka ia akan membatasi; (1) gangguan dari dampak peneliti pada
konteks; (2) kekeliruan (biases) peneliti; (3) mengompensasikan pengaruh dari kejadian-kejadian yang tidak biasa atau pengaruh
[image:36.595.122.515.262.727.2]sesaat.41
Tabel 1.2
Pengembangan Teknik Pemeriksaan
KRITERIA TEKNIK PEMERIKSAAN
Kredibilitas peneliti
(derajat kepercayaan)
1. Perpanjangan keikutsertaan
2. Menemukan siklus
kesamaan data
3. Ketekunan pengamatan
4. Triangulasi kejujuran
peneliti
5. Pengecekan melalui diskusi
6. Kajian kasus negatif
7. Pengecekan anggota
Kredibilitas metode
pengumpulan data
8. Triangulasi metode
9. Triangulasi sumber data
Kredibilitas teoritis dan
referensial
10. Triangulasi teori
11. Kecukupan referensial
Kepastian 12. Uraian rinci
40
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 262.
41
Kebergantungan 13. Audit kebergantungan
b. Menemukan Siklus Kesamaan Data
Tidak ada kata sepakat mengenai kapan suatu penelitian kualitatif
dihentikan dalam arti kapan selesainya suatu penelitian dilakukan
secara kualitatif. Ketika peneliti mengatakan bahwa setiap hari ia
menemukan data baru, maka artinya ia masih terus bekerja untuk
menemukan data lainnya karena informasi yang diperolehnya
masih banyak. Akan tetapi suatu hari ia menemukan informasi
yang sama yang pernah ia dapatkan, begitu pula hari-hari
berikutnya ia hanya memperoleh data yang pernah diberikan oleh
informan sebelumnya. Dengan demikian ia harus melakukan
langkah akhir yaitu menguji keabsahan data penelitiannya dengan
informasi yang baru saja ia peroleh dan apabila tetap sama maka ia
sudah menemukan siklus kesamaan data atau dengan kata lain ia
sudah berada di pengujung aktivitas penelitiannya.42 Konselor
melakukan perpanjangan keikutsertaan dalam penelitian selain
untuk mencari informasi mendalam juga untuk menemukan
kesamaan data. Karena jika itu dilakukan hanya sekali belum tentu
yang diucapkan itu benar adanya. Jadi diperlukan keikutsertaan
dalam penelitian.
c. Ketekunan Pengamatan
42
Untuk memperoleh derajat keabsahan yang tinggi, maka jalan lain
pentingnya adalah dengan meningkatkan ketekunan dalam
pengamatan dilapangan. Pengamatan bukanlah suatu teknik
pengumpulan data yang hanya mengandalkan kemampuan
pancaindra, namun juga menggunakan semua pancaindra termasuk
adalah pendegaran, perasaan, dan insting peneliti. Dengan
meningkatkan ketekunan pengamatan di lapangan maka derajat
keabsahan data telah ditingkatkan pula.43 Konselor juga disini
melakukan teknik untuk untuk mendapatkan keabsahan data yang
tinggi.
d. Triangulasi Peneliti dan Sumber Data
Salah satu cara paling penting dan mudah dalam uji keabsahan
dalam penelitian adalah dengan melakukan triangulasi peneliti,
metode, teori, dan sumber data. Dengan mengacu pada Denzin
(1878, dalam) maka pelaksanaan teknis dari langkah pengujian
keabsahan ini akan memanfaatkan; peneliti, sumber, metode, dan
teori.44
1). Triangulasi kejujuran peneliti
Cara ini dilakukan untuk menguji kejujuran, subjektivitas,
dan kemampuan merekam data oleh peneliti di lapangan. Perlu
diketahui bahwa sebagai manusia, peneliti sering kali sadar
43
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 264.
44
atau tanpa sadar melakukan tindakan-tindakan yang merusak
kejujurannya ketika pengumpulan data, atau terlalu
melepaskan subjektivitasnya bahkan kadang tanpa kontrol, ia
melakukan rekaman-rekaman yang salah terhadap data di
lapangan. Melihat kemungkinan-kemungkinan ini, maka perl
dilakukan triangulasi pada peneliti, yaitu meminta bantuan
peneliti lain melakukan pengecekan langsung, wawancara
ulang, serta merekam data yang sama di lapangan. Hal ini
adalah sama dengan proses verifikasi terhadap hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh seorang peneliti.45 Konselor juga
merekam pembicaraan dalam proses konseling dan
wawancara. Dan terkadang pertanyaan yang sudah ditanyakan
di munculkan kembali untuk melihat kejujuran dan fakta dan
informasi yang konselor dapat.
2). Triangulasi dengan sumber data
Dilakukan dengan membandingkan dan mengecek baik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan cara yang berbeda dengan metode kualitatif yang
dilakukan dengan (Paton, 1987): (1) membandingkan data
hasil pengamatan dengan hasil wawancara, (2)
membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum
dengan apa yang dikatakan secara pribadi, (3) membandingkan
45
apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu, (4)
membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan orang lain seperti rakyat
biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang
berbeda dan orang pemerintahan, (5) membandingkan hasil
wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Hasil
perbandingan yang diharapkan adalah berupa kesamaan atau
alasan-alasan terjadinya perbedaan (Moleong, 2006: 330,
Bardiansyah, 2006: 145).46
Triangulasi sumber data juga memberi kesempatan untuk
dilakukannya hal-hal sebagai berikut: (penilaian hasil
penelitian dilakukan oleh responden, (2) mengoreksi
kekeliruan oleh sumber data, (3) menyediakann tambahan
informasi secara sukarela, (4) memasukkan informan dalam
kancah penelitian, menciptakan kesempatan untuk
mengikhtisarkan sebagai langkah awal analisis data, (5)
menilai kecukupan menyeluruh data yang dikumpulkan
(Moleong, 2006: 335).47
e. Kecukupan Referensi
Keabsahan data hasil penelitian juga dapat dilakukan dengan
memperbanyak referensi yang dapat menguji dan mengoreksi hasil
46
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 265.
47
penelitian yang telah dilakukan, baik referensi yang berasal dari
orang lain maupun referensi yang diperoleh selama penelitian
seperti gambar video lapangan, rekaman wawancara, maupun
catatan-catatan harian dilapangan.48 Konselor menggunakan
kecukupan referensi untuk dijadikan pedoman dan panutan dari
analisis yang dilakukan, jadi ada rujukan dalam analisis. Selain itu
juga untuk keabsahan data yang tinggi.
f. Uraian Rinci
Teknik yang dimaksud adalah suatu upaya untuk memberi
penjelasan yang serinci-rincinya. Suatu temuan yang baik dapat
diterima orang apabila dijelaskan dengan penjelasan yag terperinci
dan gamblang, logis, dan rasional. Sebaiknya penjelasan yang
panjang lebar dan berulang-ulang akan menyulitkan orang
memahami hasil penelitian itu sendiri.49 Teknik ini dilakukan
konselor untuk memperjelas deskripsi, kemudian analisis dan juga
hasil yang di dapat dari proses konseling kepada anak epilepsi yang
sulit bersosialisasi.
g. Auditing
Auditing adalah konsep manajerial yang dilakukan secara ketat dan
dimanfaatkan untuk memeriksa ketergantungan dan kepastian data.
Hal itu dilakukan baik terhadap proses maupun terhadap hasil atau
48
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , hal 267.
49
keluaran.50 Dan teknik ini dilakukan dalam proses konseling dan
juga melihat bagaimana hasil dari proses konseling.
G. Sistematika Pembahasan
Agar penelitian dan skripsi ini menjadi benar-benar sistematis dan
pembahasannya sesuai dengan alur kajian yang akan dibahas, maka skripsi
ini dibagi dalam lima bab yang masing-masing mengandung sub-sub
antara yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Berikut merupakan
susunan sistematika pembahasan skripsi, yaitu:
Pada bab pertama merupakan pendahuluan yang memuat uraian
tentang pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep, metode
penelitian, kemudian bab ini diakhiri dengan sistematika pembahasan.
Bab kedua merupakan kerangka teoritik atau landasan teori yang
digunakan sebagai pisau analisis terhadap penelitian ini, yang membahas
mengenai konseling Islam dengan assertive training pada anak epilepsi di Gubeng Klingsingan yang meliputi: a). Konseling Islam, b). Assertive training, c). Dissosialisasi, kemudian bab ini diakhiri dengan hasil penelitian terdahulu yang relevan.
Bab ketiga merupakan penyajian data hasil penelitian yang telah
dikumpulkan kemudian dideskripsikan secara objektif mengenai gambaran
umum tentang lokasi penelitian, penyebab anak terkena epilepsi, proses
50
konseling Islam dengan assertive training pada anak epilepsi yang sulit bersosialisasi, dan hasil Konseling Islam dengan assertive training pada anak epilepsi yang sulit bersosialisasi.
Bab keempat berisi tentang analisis, yaitu analisis penyebab anak
terkena epilepsi, analisis proses konseling Islam dengan assertive training
pada anak epilepsi yang sulit bersosialisasi, dan hasil Konseling Islam
dengan assertive training pada anak epilepsi yang sulit bersosialisasi. Bab kelima merupakan penutup, yang didalamnya memuat tentang
BAB II
KONSELING ISLAM DENGAN ASSERTIVE TRAINING DALAM MENGATASI SULIT BERSOSIALISASI PADA SEORANG ANAK
PENDERITA EPILEPSI
A. Kajian Teoritik 1. Konseling Islam
a. Pengertian Konseling Islam
Konseling Islami adalah proses pemberian bantuan terarah,
continue dan sistematis kepada setiap individu agar ia dapat mengembangkan potensi atau fitrah beragama yang dimilikinya
secara optimal dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai yang
terkandung di dalam Al-qur’an dan hadist Rasulullah ke dalam
dirinya, sehingga ia dapat hidup selaras sesuai dengan tuntunan
Al-qur’an dan hadist. Apabila internalisasi nilai-nilai terkandung
dalam Al-qur’an dan hadist telah tercapai dan fitrah beragama itu
telah berkembang secara optimal maka individu tersebut dapat
menciptakan hubungan yang baik dengan Allah, dengan manusia
dan alam semesta sebagai manifestasi dari peranannya sebagai
khalifah di muka bumi yang sekaligus juga berfungsi untuk
Dalam kondisi yang terputus hubungan baik dengan Allah,
mampu dengan sesama manusia dan lingkungan, individu tersebut
merasa tidak memiliki pegangan yang kuat sebagai pedoman.
Individu tersebut merasa terombang-ambing dalam kesendiriannya,
ia bisa mengalami stress dan kehilangan kepercayaan dirinya. Pada
saat demikian itulah diperlukan bimbingan dan konseling islami
yang berfungsi untuk mengatasi berbagai penyimpangan dalam
perkembangan firtah beragama tersebut, sehingga individu tersebut
kembali menemukan kesadaran akan eksistensinya sebagai
makhluk Allah yang berfungsi untuk mengabdi kepada-Nya, dan
agar kembali menjalani kehidupan keagamaannya dengan baik.
Setelah terbentuk hubungan baik antara klien dengan Allah,
sesama manusia dan lingkungannya, konselor bisa secara perlahan
melepaskan hubungannya dengan klien tersebut sehingga klien
mampu membina hubungan yang baik dengan Allah, dengan
sesama manusia maupun dengan lingkungannya dengan dirinya
sendiri.Pada saat ini pada diri klien telah tercipta hablun minallah hablun dan minannas yang baik, baik manifestasi dari kesadarannya atau peranan dan fungsinya sebagai makhluk Allah.
Dalam hal ini klien telah menemukan religious insight-nya kembali atas bimbingan dan konseling dari pembimbing agama, dan
masalah-masalah yang menghiasi kehidupan keagamaannya akan
kepercayaan diri yang penuh untuk mengatasi masalah
kehidupannya.
Dalam hal ini yang menjadi klien dari bimbingan dan konseling
islami adalah setiap individu mulai dari Al-qur’an dan hadist dalam
setiap perilaku dan sikap hidupnya serta individu yang mengalami
penyimpangan dalam perkembangan fitrah beragama yang
dimilikinya. Adapun berkenaan dengan kualifikasi konselor islami,
tentu saja tidak terlepas dari tugasnya untuk menumbuhsuburkan
sikap individu yang diridhoi Allah. Konselor yang ingin membawa
kliennya kepada kehidupan yang diridhoi Allah, tentu hendaknya
dapat pula merealisasikan pola hidup tersebut ke dalam segala tutur
kata, perilaku, sikap dan suasana kalbunya, di mana apa yang
disampaikan oleh konselor agama tersebut, juga dilaksanakan oleh
diri konselor. Konselor disamping memberikan bimbingan dan
konseling terhadap klien, sekaligus juga adalah pengamal yang
baik dalam amaliah ajaran agama, sehingga ia bisa terhindar dari
peringatan Allah. Firman Allah:
يَأ اَي
َنوُلَعْفَ ت ََ اَم َنوُلوُقَ ت َِِ اوُنَمَآ َنيِذَلا اَه
٢
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (QS. Ash-Shaff (61): 2)1
1
Oleh karena itu, seorang konselor islami yang professional
seharusnya memiliki dua hal; pertama, pengetahuan tentang bimbingan dan konseling secara umum, kedua, pengetahuan agama Islam secara mendalam. Sehingga dengan demikian, dalam proses
pembimbingan yang dilakukan konselor kepada klien akan dengan
mudah diterima klien karena konselor tersebut memiliki
pengetahuan bimbingan dan konseling serta pengetahuan
bimbingan dan konseling serta pengetahuan agama Islam secara
komprehensif dan ia melakukannya secara komprehensif.2
Konseling sebenarnya merupakan salah satu teknik atau
layanan di dalam bimbingan, tetapi teknik atau layanan ini sangat
istimewa karena sifatnya yang lentur atau fleksibel dan
komprehensif.
Konseling merupakan salah satu teknik dalam bimbingan,
tetapi merupakan teknik inti atau teknik kunci.Hal ini dikarenakan
konseling dapat memberikan perubahan yang mendasar, yaitu
mengubah sikap.Sikap mendasari perbuatan, pemikiran, pendangan
dan perasaan, dan lain-lain.
Keefektifan konseling sebagian besar ditentukan oleh kualitas
hubungan antara konselor dan klien. Dari seluruh pengertian
konseling yang ada, Shertzerdan Stone (1980: 82-88)
2
menyimpulkan bahwa yang menjadi tujuan konseling adalah
“mengadakan perubahan perilaku pada diri klien sehingga
memungkinkan hidupnya lebih produktif dan memuaskan.”3
b. Tujuan Konseling Islam
Pada dasarnya tujuan konseling Islam sejalan dengan maksud
dan tujuan syari’at Islam, yang oleh al-Syatibi dijabarkan menjadi
empat tujuan pokok, yaitu: pertama, syari’at Islam ditegakkan
untuk dipahami manusia - اهفإل–lil afham; kedua, untuk memperkuat manusia dalam ketentuan agama تحت سانلا اخدإ
في تلا– li idkhalal-nas tahta al-taklif; ketiga, untuk mengentas
manusia dari cengkraman dan tipu daya hawa nafsunya سانلا جارخإ
هاوه ىضتق نع–li ikhraj al-nas ‘an muqtada hawahum; keempat,
kemaslahatan manusia dunia dan akhiratnya ىف دبعلا حلاص ل –li masalih al-‘ibad fi al-darain.
Aunur Rohim Faqih membedakan tujuan bimbingan konseling
Islam dalam dua kategori, yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus.Menurutnya tujuan bimbingan konseling Islam adalah
membantu individu dalam mewujudkan potensi dirinya sebagai
manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Sedangkan tujuan khususnya diuraikan menjadi tiga
kategori:
3
1) Membantu individu dalam memahami situasi dan potensi
dirinya.
2) Membantu individu mengatasi masalah yang sedang
dihadapinya.
3) Membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi
dan kondisi yang baik, sehingga tidak menjadi sumber masalah
bagi dirinya dan orang lain.4
c. Prinsip-Prinsip Konseling Islam
Dalam prinsip-prinsip bimbingan konseling Islam secara
teknis, praktek konseling Islam dapat menggunakan instrument
yang dibuat oleh bimbingan dan konseling modern seperti diatas,
dan konseling Islam harus berdiri diatas prinsip ajaran agama
Islam, antara lain:
1) Bahwa nasehat itu merupakan salah satu pilar agama yang
merupakan pekerjaan mulia.
2) Konseling Islam harus dilakukan sebagai pekerjaan ibadah
yang dikerjakan semata-semata mengharap ridho Allah.
3) Tujuan praktis konseling Islam adalah mendorong konseli agar
selalu ridho terhadap hal-hal yang bermanfaat dan alergi
terhadap hal-hal yang mudhorot.
4) Konseling Islam juga menganut prinsip bagaimana konseli
dapat keuntungan dan menolak kerusakan.
4Aswadi, Iyadah dan Ta’ziyah
5) Meminta dan memberi bantuan hukumnya wajib bagi setiap
orang yang membutuhkan.
6) Proses pemberian konseling harus sejalan dengan tuntutan
syari’at Islam.
7) Pada dasarnya manusia memiliki kebebasan untuk
memutuskan sendiri perbuatan baik dan yang akan dipilih.5
Prinsip-prinsip dasar bimbingan dan konseling Islami (a)
berkaitan dengan tujuan, BK Islami ditujukan kepada individu
dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat sejalan
dengan ajaran Islam, (b) berkenaan dengan pembimbing dan
individu yang dibimbing, BK Islam dilakukan oleh dan untuk
manusia sesuai dengan pandangan Islam mengenai hakikat
manusia, (c) berkenaan denganisi (materi), BK Islami berlandaskan
pada ajaran Islam, (d) berkenaan dengan proses, BK Islami
berlandaskan pada ukhuwwah Islamiah (hubungan insani yang
berlandaskan pada ajaran Islam).
Pandangan Islam tentang hakikat manusia harus menjadi
landasan utama Bimbingan dan Konseling Islami. Manusia
dipandang sebagai makhluk ciptaan Allah yang memiliki
karakteristik (a) terdiri atas unsur jasmani dan rohani, (b) manusia
memiliki kemampuan rohani berupa cipta (akal), rasa (afektif),
karsa (nafsu/kehendak), (c) ada unsur-unsur dinamis pada manusia:
manusia sebagai makhluk individu, manusia sebagai makhluk
sosial, manusia sebagai makhluk budaya, dan manusia sebagai
makhluk religius, (d) ada keutuhan dan keseimbangan
pengembangan unsur-unsur (jasmani-rohani, cipta-rasa-karsa,
dunia-ukhrawi) pada manusia, (e) hakikat keberadaan (eksistensi)
manusia; manusia dibekali dengan potensi dan kecenderungan
tertentu, manusia adalah makhluk yang unggul, manusia bisa
berkembang ke arah kebaikan dan ke arah ketidakbaikan, manusia
memiliki potensi yang berbeda antara manusia satu dengan
lainnya, meskipun ia telah dilengkapi dengan berbagai potensi
tetapi kemampuannya terbatas, ada kebebasan pada manusia untuk
memilih tetapi ada tanggung jawanya dihadapan Allah, (f) manusia
adalah makhluk yang aktif dan kreatif, dan (g) manusia adalah
makhluk yang bertanggung jawab.6
Berdasarkan heuristik terhadap 6666 ayat-ayat Al-qur’an
ditemukan 290 ayat yang memiliki kandungan nilai konseling.
Semua ayat yang ditemukan secara implisit menunjukkan adanya
perubahan tingkah laku. Jumlah ayat-ayat Al-qur’an hasil temuan
dijabarkan peneliti berdasarkan model A-R sesuai jumlah
perubahan tingkah laku yang merupakan kunci keberhasilan
bimbingan konseling.
6
Anwar Sutoyo, Bimbingan & Konseling Islami (Teori dan Praktek),