• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Makalah Agama Tentang Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Contoh Makalah Agama Tentang Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

MODERNISASI SISTEM PENDIDIKAN

PESANTREN

Makalah

Di buat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah

"

Teknik Penulisan Karya Ilmiah”

Oleh :

M. Adlan Fahmi

D03209064

Dosen pembimbing:

Dr. Phil. Khoirun Ni’am

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik-Nya, Tuhan semesta alam yang senantiasa melimpahkan

rahmat, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami

yang berjudul “Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren”. Sholawat serta salam tetap

terlimpah curah tiada henti kepada makhluk terbaik-Nya, Nabi Muhammad Saw, yang

senantiasa kita harapkan syafaatnya.

Makalah ini kami susun atas dasar tugas yang telah diamanatkan kepada kami

oleh Bapak Dr. Phil. Khoirun Ni’am sebagai dosen pembimbing mata kuliah Teknik

Penulisan Karya Ilmiah. Kami sebagai penyusun, menyadari sepenuhnya bahwa dalam

makalah ini banyak sekali kekurangan. Untuk itu, kami senantiasa mengharap saran serta

kritik yang membangun. Akan tetapi, kami juga tetap berharap semoga makalah yang

telah kami susun ini senantiasa bermanfaat bagi pembacanya. Amin.

Surabaya, 31 Desember 2009

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...

B. Rumusan Masalah...

C. Tujuan...

BAB II : PESANTREN

A. Pengertian Pesantren...

B. Macam-Macam Pesantren...

C. Dinamika Pesantren...

BAB III : MODERNISASI PENDIDIKAN PESANTREN

A. Sistem Pendidikan Pesantren...

B. Beberapa Model Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren...

C. Pengaruh Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren...

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah menjangkau hamper seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.1

Namun, kini reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas social. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan differensiasi (pembedaan) antara keilmuan pesantren dengan dunia modern. Sehingga terkadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan mengandung beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren.2

Semakin disadari, tantangan dunia pesantren semakin besar dan berat dimasa kini dan mendatang. Paradigma “mempertahankan warisan lama yang 1 Sambutan Setiawan Djody dalam Jamaludin Malik, Pemberdayaan Pesantren, Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). H. xii

(5)

masih relevan dan mengambil hal terbaru yang lebih baik” perlu direnungkan kembali. Pesantren harus mampu mengungkai secara cerdas problem kekiniankita dengan pendekatan-pendekatan kontemporer. Disisi lain, modernitas, yang menurut beberapa kalangan harus segera dilakukan oleh kalangan pesantren, ternyata berisi paradigm dan pandangan dunia yang telah merubah cara pandang lama terhadap dunia itu sendiri dan manusia.3

Dalam konteks yang dilematis ini, pilihan terbaik bagi insane pesantren adalah mendialogkannya dengan paradigm dan pandangan dunia yang telah diwariskan oleh generasi pencerahan Islam. Maksudnya, insane pesantren perlu memosisikan warisan masa lalu sebagai “teman dialog” bagi modernitas dengan segala produk yang ditawarkannya. Mereka harus membaca khazanah lama dan baru dalam frame yang terpisah. Masa lalu hadir atau dihadirkan dengan terang dan jujur, lalu dihadapkan dengan kekinian. Boleh jadi masa lalu tersebut akan tampak “basi” dan tak lagi relevan, namun tak menutup kemungkinan masih ada potensi yang dapat dikembangkan untuk zaman sekarang.4

Salah satu hal yang perlu dimodifikasi adalah system pendidikan pesantren. System pembelajaran tradisional, yaitu sorogan, bandongan, balaghan, atau halaqah seharusnya mulai diseimbangkan dengan system pembelajaran modern. Dalam aspek kurikulum juga seharusnya kalangan pesantren berani mengakomodasi dari kurikulum pemerintah.5

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian pesantren?

2. Apa saja macam-macam pesantren?

3. Bagaimana dinamika pesantren mulai ada hingga sekarang? 4. Bagaimana system pendidikan pesantren?

3 Abd. A’la, Pembaruan Pesantren,Cet I(Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2006) h. v-ix. 4 Ibid. v-ix

(6)

5. Apa saja dan bagaimana model pendidikan dalam proses modernisasi system pendidikan pesantren?

(7)

BAB II

PESANTREN

A. Pengertian Pesantren

Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap. 6

Sedangkan secara istilah, Husein Nasr mendefinisikan pesantren dengan sebutan dunia tradisional Islam. Maksudnya, pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama’ (kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam.7

Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab

funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.8

Dari terminology diatas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Mungkin dari sinilah Nur Cholis Majid 6 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002) h. 61-62. Bandingkan dengan Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia,Cet. II(Malang: UMM Press, 2006) h.96-99. Bandingkan dengan kata pengantar Abdurrahman Wahid dalam Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam dan Kebangkitan Indonesia, Cet. I (Jakarta: KLIK R, 2007) h. vii-ix.

7 Sambutan Azyumardi Azra dalam Jamaludin Malik, Pemberdayaan Pesantren, Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Cet I (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). H. xix-xxii

(8)

berpendapat bahwa secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.9

B. Bentuk-Bentuk Pesantren

Tentang bentuk-bentuk pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, beberapa pengamat mengklasifikasikan pesantren menjadi empat macam10,

yaitu:

1. Pesantren salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik, dan tanpa tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu sorogan dan weton.11

Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih-lebih kitabnya. Sedangkan sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seseorang atau beberapa orang santri kepada kyainya untuk diajarkan kitab-kitab tertentu.12 Sedangkan

istilah salaf ini bagi kalangan pesantren mengacu kepada pengertian “pesantren tradisional” yang

9 Ibid. hal. 62

10 Ibid. hal. 101. bandingkan dengan Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal 70.

11 Sambutan Azyumardi Azra dalam Jamallludin Malik, Pemberdayaan Pesantren, Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). H. xix-xxii

(9)

justru sarat dengan pandangan dunia dan praktek islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syari’ah dan tasawwuf.13 Misalnya:

pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in Jombang, dan lain sebagainya.

2. Pesantren khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi0, memberikan ilmu pengetahuan umum dan agama dan juga memberikan keterampilan umum. Pesantren jenis ini juga membuka sekolah-sekolah umum.14 Misalnya: Pesantren

Tebuireng Jombang, Pesantren Tambak Beras Jombang, dan lain sebagainya.

3. Pesantren kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu yang relatif singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu liburan sekolah.15 Misalnya Pesantren La Raiba

Jombang yang programnya adalah pelatihan menghafal asam’ul husna, Al Qur’an dan yang lain sebagainya dengan metode Hanifida, metode khas pesantren tersebut.

4. Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). H. xix-xxii

14 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal 71.

(10)

sekolah atau para pencari kerja.16

C. Dinamika Pesantren

Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18.17 bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13.

Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren.18 Pesantren pertama didirikan oleh

Syekh Maulana Malik Ibrahim.19 Meskipun bentuknya masih sangat

sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.20

Lembaga ini semakin berkembang pesat dengan adanya sikap non kooperatif para ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerintah kolonial Belanda dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya barat. Namun pendidikan yang diberikan sangat terbatas, hanya sekitar 3% penduduk Indonesia. Berarti sekitar 97% penduduk Indonesia buta huruf. Sikap para ulama tersebut dimanifestasikan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi Belanda serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum mendapat pendidikan.21

Pada tahun 1860-an, jumlah pesantren mengalami peledakan jumlah yang sangat signifikan, terutama di Jawa yang diperkirakan 300 buah.

16 Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. I(Malang: UMM Press, 2006) hal.62. 17 Ibid. hal 107.

18 Sigit Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. Manajemen Pondok Pesantren, Cet. II (Jakarta: Diva Pustaka, 2005) hal. 1.

19 Abd. A’la, Pembaruan Pesantren, Cet. I (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2006) hal 16. 20 Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. Manajemen Pondok Pesantren, Cet. II( Jakarta: Diva Pustaka, 2005) hal. 1.

(11)

Perkembangan tersebut ditengarai berkat dibukanya terusan Suez pada 1869 sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di Mekkah. Sepulangnya ke kampung halaman, mereka membentuk le,baga pesantren di daerahnya masing-masing.22

Pada era 1970-an, pesantren mengalami perubahan yang sangat signifikan yang tampak dalam beberapa hal. Pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384 orang. Jumlah tersebut meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 orang santri pada tahun 1981. kemudian jumlah tersebut menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985.23Kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan

bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:

1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum.24

Seperti Pesantren Denanyar Jombang, Pesantren Darul Ulum Jombang, dan lain-lain.

2. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk Madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional. Dengan kata lain, ia mengunakan kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor 22 Ibid. hal. 2.

23 Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. I (Malang: UMM Press, 2006) hal. 107. bandingkan dengan Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. Manajemen Pondok Pesantren, Cet. II ( Jakarta: Diva Pustaka, 2005) hal. 4.

(12)

Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta. kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta.25

3. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah,26 seperti Pesantren Lirboyo Kediri,

Pesantren Ploso Kediri, Pesantren Sumber Sari Kediri, dan lain sebagainya.

4. Pesantren yang hanya sekedar manjadi tempat pengajian,27 seperti Pesantren milik Gus

Khusain Mojokerto.

Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa ada perubahan dan improvisasi yang berarti, kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.28

Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak sosial (Social engineering). Perbedaan-perbedaan tipe pesantren diatas hanya

25 Ibid hal. 5. 26 Ibid. hal. 5. 27 Ibid hal. 5.

(13)

berpengaruh pada bentuk aktualisasi peran-peran ini.29

BAB III

MODERNISASI PENDIDIKAN PESNTREN

A. Model Modernisasi Pendidikan Pesantren

(14)

pesantren.30

Miles mencontohkan inovasi (modernisasi) pendidikan adalah sebagai berikut:

a. Bidang personalia. Pendidikan yang merupakan bagian dari sistem sosial, tentu menentukan personel sebagai komponen sistem. Inovasi yang sesuai dengan komponen personel misalnya adalah peningkatan mutu guru, sistem kenaikan pangkat, dan sebagainya.31 Dalam hal ini, pesantren telah di

bantu dengan adanya program Beasiswa S1 untuk guru diniyah oleh Departemen Agama.

b. Fasilitas fisik. Inovasi pendidikan yang sesuai dengan komponen ini misalnya perubahan tempat duduk, perubahan pengaturan dinding ruangan perlengkapan Laboratorium bahasa, laboratorium Komputer, dan sebagainya.32

c. Pengaturan waktu. Suatu sistem pendidikan tentu memiliki perencanan penggunaan waktu. Inovasi yang relevan dengan komponen ini misalnya pengaturan waktu belajar, perubahan jadwal pelajaran yang dapat memberi kesempatan siswa/mahasiswa untuk memilih waktu sesuai dengan keperluannya, dan lain sebagainya.33

(15)

hanya dipelajari sambil lalu saja, tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern. Disisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan santri biasanya samgat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat umum. Maka dari itu, Cak Nur menawarkan kurikulum Pesantren Modern Gontor sebagai model modernisasi pendidikan pesantren. 34

B. Plus Minus Modernisasi Pendidikan Pesantren

Dalam menanggapi gagasan ini, tampak kalangan pesantren terbelah menjadi dua, yaitu pro dan kontra. Adanya kontroversi ini mungkin lebih disebabkan pada perbedaan pendapat mereka tentang bagaimana sikap pesantren dalam menghadapi era globalisasi. Mereka yang pro mengatakan bahwa modernisasi pesantren akan memberi angin segar bagi pesantren. Mereka menganggap bahwa banyak sisi positif yang akan diperoleh dengan modernisasi pendidikan di pesantren. Di antara sisi positif tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bentuk adaptasi pesantren terhadapperkembangan era globalisasi. Hal ini mutlak harus dilakukan agar pesantren tetap eksis.35

2. Sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem pendidikan pesantren.36

Sedangkan bagi kalangan pesantren yang tidak setuju dengan gagasan modernisasi berpendapat bahwa gagasan tersebut banyak sisi negatifnya, 34 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal 77-111.

35 Sambutan Azyumardi Azra dalam Jamaludin Malik, “Pemberdayaan Pesantren, Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan”,cetakan I. (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). H. xix-xxii

(16)

diantaranya adalah:

Terlepas dari polemik tersebut, perbedaan pendapat yang terjadi telah mendatangkan sisi positif tersendiri bagi pesantren. Hal itu telah membuktikan hadits Nnabi Muhammad Saw ”ikhtilafu ummati rahmatun” yang artinya

2. Lahirnya santri yang beraneka ragam. Hal ini mengubur paradigma bahwa santri hanya mampu di bidang agama saja. Saat ini, banyak sekali santri yang ahli di bidang pengetahuan umum.

(17)
(18)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah menjangkau hamper seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.38

Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap. 39

(19)

pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.40

Bentuk-bentuk pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, beberapa pengamat mengklasifikasikan pesantren menjadi empat macam41, yaitu:

1. Pesantren salafi.

2. Pesantren khalafi

3. Pesantren kilat.

4. Pesantren terintegrasi.

Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18.42 Bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13. saat ini,

pekembang pesantren sangat pesat. Pada awal perkembangannya hanya berjumlah 300 buah, dan berkembang menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985.43 bisa dibayangkan

berapa banyak jumlah pesantren dan santrinya saat ini.

Gagasan modernisasi dianggap perlu dilakukan oleh beberapa kalangan, salah satunya adalah Nur Cholis Majid. Ia berpendapat bahwa modernisasi ini sebaiknya dilakukan dengan model sistem pendidikan Pesantren Modern Gontor Ponorogo.

Namun gagasan ini telah memecah kalangan pesantren menjadi dua kubu, pro dan kontra. Namun kontroversi ini telah menimbulkan variasi tersendiri dikalangan pesantren. Ini merupakan salah satu sisi positif dari perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan pesantren.

40 Ibid. hal. 62

41 Ibid. hal. 101. bandingkan dengan Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal 70.

42 Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Ccet. II (Malang: UMM Press, 2006) hal. 107. bandingkan dengan Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. Manajemen Pondok Pesantren, Cet. II ( Jakarta: Diva Pustaka, 2005) hal. 4.

(20)

B. Saran

Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa dalam menyikapi suatu gagasan. Maka dari itu, tidak perlu dibesar-besarkan. Kalangan pesantren harus bisa bersikap dewasa dan berpikir positif dalam hal ini. Hal ini salah satu judul buku Harun Yahya,”Seeing good in the something”.

DAFTAR PUSTAKA

(21)

Pelangi Aksara.

Iskandar, Muhaimin. 2007. Gus Dur, Islam dan Kebangkitan Indonesia,

Cet.I. Jakarta: KLIK R.

Khozin. 2006. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. II. Malang: UMM Press.

Malik, Jamaludin. 2005. Pemberdayaan Pesantren, Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Cet.

I,Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. 2005. Manajemen Pondok Pesantren, Cet. II. Jakarta: Diva Pustaka

Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap PendidikanIslam Tradisional, Jakarta: Ciputat Press.

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan tujuan penelitian yang berjudul “Layanan Bimbingan Kelompok Teknik Homeroom Untuk Meningkatkan Sikap Anti Seks Bebas Pada Siswa Kelas XI TAV 2 SMK Negeri 2 Kudus”

Dari model analisis kebutuhan untuk fase Early Requirement yang digambarkan pada Gambar 5, dapat disimpulkan bahwa aktor pada proses bisnis yang berjalan adalah Kepala

Dalam studi ini sistem penilaian hasil belajar siswa terdiri atas tiga komponen penilaian, yaitu 1) penilaian hasil belajar oleh guru, 2) penilaian hasil belajar

18 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri Klas IB Metro, pada hari Senin tanggal 6 Oktober 2014, pada pukul 11.15. Pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas

Realisasi belanja negara sampai dengan triwulan II-2019 baru mencapai Rp23,94 triliun atau 37,7 persen dari total pagu, lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama

Menurut Dyah kegiatan ini diselenggarakan selain untuk meramaian peringatan Hari Jadi Kota Surabaya ke 718 juga mengasah potensi perempuan Surabaya dalam membuat desain batik

Konsep pembelajaran (belajar-mengajar) dan pengajaran dapat diperdebatkan, atau diabaikan saja yang penting makna dari keduanya. Konsep-konsep tersebut dapat dipandang

Berisi lebih dari 10 presentasi PowerPoint terperinci yang dapat digunakan oleh pelatih setempat dalam menyampaikan presentasi, melakukan sesi pembelajaran, dan membagi