• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP BERPIKIR DALAM PERSPEKTIF ALQURAN : STUDI TERM-TERM BERPIKIR DAN PENAFSIRANNYA MENURUT MUHAMMAD QURAISH SHIHAB.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONSEP BERPIKIR DALAM PERSPEKTIF ALQURAN : STUDI TERM-TERM BERPIKIR DAN PENAFSIRANNYA MENURUT MUHAMMAD QURAISH SHIHAB."

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP BERPIKIR DALAM PERSPEKTIF ALQURAN

(Studi term-term berpikir dan penafsirannya menurut

Muhammad Quraish Shihab)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

FUZI INDIARTO

NIM: E03211055

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)

ii

KONSEP BERPIKIR DALAM PERSPEKTIF ALQURAN

(Studi term-term berpikir dan penafsirannya menurut

Muhammad Quraish Shihab)

Skripsi

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Alquran dan Tafsir

Oleh:

FUZI INDIARTO

NIM: E03211055

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(3)
(4)
(5)
(6)

xvii

ABSTRAK

Fuzi Indiarto: Konsep Berpikir dalam Perspektif Alquran: Studi term-term berpikir dan penafsirannya menurut Muhammad Quraish Shihab. Dalam Alquran banyak ayat yang mengandung anjuran dan mendorong umat islam supaya banyak berpikir menggunakan akalnya. Kendati demikian, Alquran masih saja dituding menegasikan kebebasan berfikir. Padahal faktualnya tidak sedikit ayat-ayat Alquran yang menganjurkan dan mendorong pemeluknya banyak berpikir dan melakukan pengamatan dan penelitian dalam berbagai bidang serta mencela orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. Disisi lain Allah senantiasa mengingatkan manusia untuk menggunakan akal pikiran dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Kata-kata tersebut memiliki makna yang hampir sama, tetapi berbeda pada segi yang lain. Semuanya membawa satu makna, namun penekanan masing-masing kata itu berbeda.

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimana term-term berpikir dalam Alquran menurut M. Quraish Shihab ? Kedua, Bagaimana penggunaan dan fungsi term-term berpikir menurut M. Quraish Shihab ?

Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk menemukan term-term berpikir dalam Alquran menurut M. Quraish Shihab, dan untuk mengetahui, memahami penggunaan term-term tersebut dalam ayat-ayat Alquran melalui penafsiran M. Quraish Shihab.

Dalam menjawab masalah tersebut, penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan metode penyajian data content

analysis. Content analysis merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan atau

komunikasi yang ada untuk menerapkan metode ini terkait dengan data-data, kemudian dianalisis sesuai dengan isi materi yang dibahas. Kemudian data-data yang sudah ada baik diambil dari sumber data primer maupun sekunder, kemudian dianalisis sesuai dengan isi materi yang dibahas dan dapat meyakinkan serta menemukan data-data tersebut yang mendukung kajian ini dengan mengkaitkan dan memaparkan bagaimana hasil penafsiran M. Quraish Shihab terkait penggunaan term-term berpikir dalam Alquran.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah M. Quraish Shihab menuturkan bahwa Allah senantiasa mengingatkan manusia untuk menggunakan akal pikiran dengan beberapa term (redaksi) yang berbeda-beda, diantaranya, ‘aqala, naz}ara,

dabbara, fakkara, faqiha, dhakara, fahima dan ‘ilm. Selanjutnya M. Quraish

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LUAR ... i

HALAMAN JUDUL DALAM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xv

ABSTRAK ... . xvii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 10

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Tujuan Penelitian ... 11

E. Manfaat Penelitian ... 11

F. Telaah Pustaka ... 12

G. Metodologi Penelitian ... 14

(8)

xiii

BAB II : TINJAUAN AKAL SEBAGAI ALAT BERPIKIR

A. Pengertian Akal ... 20

B. Pembagian Akal ... 27

C. Medan Semantik Akal ... 31

D. Teori muna>sabah Alquran sebagai Kerangka Teoritik ... 34

1. Pengertian muna>sabah ... 34

2. Muna>sabah Alquran ditinjau dari segi sifat ... 35

3. Muna>sabah Alquran ditinjau dari segi materi ... 36

4. Urgensi muna>sabah dalam penafsiran Alquran ... 37

BAB III : TERM-TERM BERPIKIR DAN PENAFSIRANNYA MENURUT M. QURAISH SHIHAB A. Biografi M. Quraish Shihab dan Deskripsi Tafsir al-Misbah ... 39

1. Biografi Muhammad Quraish Shihab ... 39

2. Deskripsi Tafsir al-Misbah ... 41

B. Term-term berpikir dan Penafsirannya ... 43

1. ‘Aqala ... 44

a) Ta’qilu>n ... 47

b) Na’qilu ... 51

c) Ya’qiluha> ... 52

d) Ya’qilu>n ... 53

2. Naz}ara ... 57

3. Fakkara ... 63

(9)

xiv

5. Dabbara ... 72

6. Fahima ... 75

7. Faqiha ... 78

8. ‘Alima ... 82

BAB IV : FUNGSI DAN PENGGUNAAN TERM-TERM BERPIKIR A. Analisa Term-term Berpikir Menurut M. Quraish Shihab ... 86

B. Analisa fungsi dan penggunaan term-term berpikir menurut M. Quraish Shihab ... 95

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 111

B. Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alquran merupakan kitab suci yang dijaga dan dipelihara orisisinalitasnya sepanjang zaman oleh Allah SWT.1 Selain itu Alquran al-Kari>m adalah kitab yang oleh Rasul SAW dinyatakan sebagai ma‟du>batulla>h (hidangan Ilahi). Hidangan ini membantu manusia untuk memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan merupakan pelita bagi umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.2

Kitab suci ini memperkenalkan dirinya sebagai hudan li al-na>s (petunjuk bagi seluruh umat manusia) sekaligus menantang manusia dan jin untuk menyusun semacam Alquran. Dari sini Alquran berfungsi sebagai mukjizat yakni bukti kebenaran dan sekaligus kebenaran itu sendiri.3

Alquran juga diyakini oleh umat Islam sebagai kala>mulla>h (firman Allah) yang mutlak benar, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat nanti.4 Ajaran dan petunjuk Alquran tersebut berkaitan dengan

1

Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Quran: Strukturalisme,

Semantik, Semiotik, dan Hermeneutik (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), v.

2

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Vol.1

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), ix.

3

Ibid.

4

Di dalam Alquran banyak dijumpai ayat-ayat yang menunjukkan tentang peran dan

fungsi diturunkannya Alquran. Diantara ayat yang berbunyi: Kitab (Alquran) ini tidak

(11)

2

berbagai konsep yang amat dibutuhkan oleh manusia dalam mengarungi kehidupannya di dunia dan di akhirat kelak.5

Alquran bukanlah kitab suci yang siap pakai, dalam arti berbagai konsep yang dikemukakan Alquran tersebut tidak langsung dapat dihubungkan dengan berbagai masalah tersebut. Ajaran Alquran tampil dalam sifatnya yang global, ringkas, dan general. Untuk dapat memahami ajaran Alquran tentang berbagai masalah tersebut mau tidak mau seseorang harus melewati jalur tafsir sebagaimana telah dilakukan para ulama.6

Mayoritas masyarakat Islam mengagumi Alquran. Tetapi sebagian mereka hanya berhenti dalam pesona bacaan ketika dilantunkan, seakan-akan kitab suci ini hanya diturunkan untuk dibaca.7

Memang wahyu yang pertama memerintahkan membaca iqra‟ bismi

rabbika. Bahkan kata iqra‟ diulangi dua kali. Tetapi ia juga mengandung makna

telitilah, dalamilah. Karena dengan penelitian dan pendalaman itu manusia dapat meraih kebahagiaan sebanyak mungkin.8 Hal ini sesuai dengan ayat-Nya :

































mereka ada pahala yang besar (Alquran, 17:9); Dan kami turunkan dari Alquran sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim kecuali kerugian (Alquran, 17:82); Dan sesungguhnya kami telah mengulang-ulang bagi manusia dalam Alquran ini bermacam-macam perumpamaan (Alquran, 18:54). Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 1.

5

Ibid.

6

Ibid., 2.

7

Shihab, Tafsir al-Misbah, x.

8

(12)

3

Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang

mempunyai fikiran.9

Bacaan hendaknya disertai dengan kesadaran akal akan keagungan Alquran. Pemahaman dan penghayatan yang disertai dengan tadhakkur dan

tadabbur. Alquran mengecam mereka yang tidak menggunakan akal dan kalbunya

untuk berpikir dan menghayati pesan-pesan Alquran. Mereka itu dinilainya telah terkunci hatinya.10

Manusia adalah makhluk Allah SWT. Ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Pertama, Allah SWT telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain dari berbagai macam binatang.













Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang

sebaik-baiknya.11

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna dan paling baik, berbadan tegak, berbentuk indah, berbicara dengan jelas, mengambil makanan dengan tangannya, tidak seperti hewan yang mengambil makanan dengan mulutnya, diberi akal pikiran, dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang hak dan yang

9

Alquran, 38:29.

10

Shihab, Tafsir al-Misbah, x.

11

(13)

4

batil, mampu menerima ilmu pengetahuan, diberi kemampuan menguasai dan mengelola sebagian kekayaan yang ada di bumi dan sebagainya.12

Akan tetapi bentuk yang indah itu tidak akan ada gunanya kalau manusia tidak memiliki hal yang kedua, yaitu akal. Oleh karena itu Allah SWT melanjutkan firman-Nya:



























Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Maka bagi mereka

pahala yang tiada putus-putusnya.13

Kebanyakan manusia lupa terhadap keistimewaan yang diberikan Allah SWT kepada mereka. Mereka menyangka bahwa diri mereka adalah sama dengan makhluk-makhluk lainnya. Maka mereka melakukan apa yang tidak sesuai dengan akal dan fitrah mereka. Mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka tanpa memperhatikan apakah yang dilakukannya baik bagi mereka dan tanpa memperhatikan apakah perbuatan mereka bermanfaat bagi kehidupan mereka di akhirat, bahkan tidak memperhatikan apakah perbuatan mereka dapat menghantarkan mereka ke surga. Karena kesalahan mereka yaitu mengikuti hawa nafsu dan tidak mentaati perintah Allah SWT, maka diturunkanlah derajat mereka hingga titik yang paling rendah.14

Dalam ayat lain Allah menjelaskan :

12Sa„ad Abdul Wahid,

Tafsir al-Hidayah, Jilid III (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004), 24.

13

Alquran, 95:5-6.

14

(14)

5





















Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah;

orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun.15

Berdasarkan ayat tersebut, kerja atau fungsi akal saja yang membedakan manusia dengan binatang dan manusia dengan manusia. Kelebihan manusia terletak pada fungsi akal. Pemfungsian akal itu yang menjadi alasan sehingga manusia disebut hayawa>n na>thiq.16

Akal merupakan salah satu anugerah Allah yang paling istimewa bagi manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan dibawa sejak lahir karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa. Hal ini sesuai dengan firman Allah :































Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut Ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,

agar kamu bersyukur.17

Banyak diantara ayat Alquran yang mendorong umat Islam supaya berpikir menggunakan akal yang telah diberikan oleh Allah SWT. Hal ini dimaksudkan agar melalui pemikiran akalnya sampai pada kesimpulan adanya

15

Alquran, 8:22.

16

Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ; Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan

Al-Qur'an dan Neurosains Mutakhir (Bandung: Mizan, 2008), 273.

17

(15)

6

Allah pencipta alam semesta dan sebab dari segala kejadian di alam ini.18 Hal ini sesuai dengan firman Allah :





































Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum

yang memahami (Nya).19

Kendati banyak ayat-ayat Alquran yang mendorong manusia supaya berpikir menggunakan akalnya, Alquran masih saja dituding menegasikan kebebasan berfikir. Padahal faktualnya tidak sedikit ayat-ayat Alquran yang menganjurkan dan mendorong pemeluknya banyak berpikir dan melakukan pengamatan dan penelitian dalam berbagai bidang serta mencela orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.20

Disi lain hadis yang merupakan sumber kedua dari ajaran-ajaran Islam sejalan dengan Alquran juga memberi kedudukan tinggi pada akal.21 Salah satu dari hadis yang selalu disebut-sebut adalah:

ُهَل َلْقَع َا ْنَمِل َنْيِدَا ٌلْقَع ُنْيِدلَا

Agama adalah penggunaan akal, tiada agama bagi orang yang tak berakal.

18

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2010),

20.

19

Alquran, 16:12.

20

Zar, Filsafat Islam, 20.

21

(16)

7

Betapa tingginya kedudukan akal dalam ajaran Islam dapat dilihat dari hadis Qudsi berikut,22 yang didalamnya digambarkan Allah SWT bersabda kepada akal :

َف ِب ِع

ز

ِت

ََ

َج

َِل

ََ ي

َم

َخ ا

َل ْق

ُت

َخ ْل

ق

َا ا

َع ز

َع

َل ي

ِم

ْن

َك

َف ِب

َك

َا

ُخ

ُذ

ََ ِب

َك

ُا ْع

ِىط

ََ ِب

َك

ُا ِث

ُبْي

ََ ِب

َك

ُا َع

ِقا

ُب

Demi kekuasaan dan keagungan-Ku tidaklah Ku ciptakan makhluk lebih mulia

dari engkau (akal). Karena engkaulah Aku mengambil dan memberi dan karena engkaulah Aku menurunkan pahala dan menjatuhkan siksa.

Jelaslah bahwa kata-kata yang terdapat dalam ayat-ayat Alquran dan hadis mengandung anjuran dan mendorong umat Islam supaya banyak berpikir dan menggunakan akalnya. Dikarenakan Akal dalam Islam menduduki posisi tinggi dan terhormat. Oleh karena itu, berpikir dan menggunakan akal adalah ajaran yang jelas dan tegas dalam Islam sebagai sumber utama dari ajaran-ajaran Islam.23 Dengan adanya anjuran berpikir, manusia mampu memahami isi kandungan Alquran sehingga mampu mendorong pemeluknya untuk berpikir secara mendalam tentang segala sesuatu sehingga sampai ke dasar segala dasar, yakni Allah, pencipta alam semesta.24

Perhatian Alquran terhadap akal begitu tegas dan luas. Hal ini terbukti dengan banyaknya kata jadian dari akal untuk menyebut kegiatan mengerti, memahami, mengingat, dan merenungkan.25

22

Nasution, Akal dan Wahyu, 49.

23

Ibid.,48.

24

Ibid., 49.

25

(17)

8

Yu}suf Qard}a>wi menyebutkan terdapat 7 sinonim untuk kata akal, yaitu رّبد

dabbara (merenungkan), هقفfaqiha (mengerti), مهفfahima (memahami), رظنnaz}ara

(melihat dengan mata kepala), ركذ dhakara (mengingat), رّكف fakkara (berpikir

secara dalam), ملع„alima (memahami dengan jelas).26

Kata-kata tersebut memiliki makna yang hampir sama, tetapi berbeda pada segi yang lain.27 Semuanya membawa satu makna, namun penekanan masing-masing kata itu berbeda.28

Dalam penelitian ini, penggunaan kata-kata tersebut akan ditelusuri melewati jalur tafsir Alquran sehingga akan ditemukan pendapat-pendapat para ahli terkait pemaknaan kata-kata tersebut. Disisi lain hal ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang jelas serta mengetahui maksud dan tujuan dari penggunaan kata-kata tersebut yang sama-sama bermakna berpikir akan tetapi dalam penyampaiannya menggunakan redaksi yang berbeda.

Proses penafsiran Alquran dipastikan terus mengalami perkembangan dengan mengandaikan adanya prinsip-prinsip metodologis yang digunakan setiap penafsir dalam memahami teks Alquran, sebab karya tafsir yang notabene hasil olah pikir penafsir ketika berinteraksi dengan Alquran tidak pernah bisa dilepaskan dari tujuan, kepentingan, tingkat kecerdasan, disiplin ilmu yang ditekuni, pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah dan situasi sosial-politik di

26

Pasiak, Revolusi IQ, 276.

27

Yu>suf Qard}a>wi>, Alquran Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, terj. Abdul

Hayyie al-Kattani dkk (Jakarta: Gema Insani, 1998),61.

28

(18)

9

mana sang penafsir hidup.29 Ini artinya, produk penafsiran merupakan representasi semangat zaman di mana seorang penafsir menyejarah. Selain itu, kondisi objektif teks Alquran yang multiple reading, adanya kata-kata dalam Alquran yang bersifat multi interpretable, dan adanya ambiguitas makna kata dalam Alquran juga berpotensi melahirkan beragam penafsiran dengan karakteristik yang berbeda-beda.30 Tak terkecuali literatur tafsir karya M. Quraish Shihab yaitu tafsir al-Misbah.

Karya monumental dari M. Quraish Shihab ini merupakan sebuah bentuk karya tafsir yang berusaha untuk mengungkap kandungan Alquran dari berbagai aspeknya. Ayat-ayat didalam Alquran selanjutnya memberikan penjelasan-penjelasan tentang kosakata makna global ayat, korelasi asbab al-Nuzu>l dan hal-hal yang dianggap dapat membantu untuk memahami ayat-ayat Alquran.31 Dalam tafsir al-Misbah ini M. Quraish Shihab menggunakan metode tahlili (urai).32

Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab ini lebih cenderung bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan (adab al-ijtima>‟i), sebuah corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash Alquran dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan Alquran secara teliti. Selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud Alquran tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik. Kemudian seorang mufassir berusaha menghubungkan

29

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 77. 30

Abdul Mustaqim, Madza>hibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an Periode

Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003).

31

Abdul Hay al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i dan cara Penerapannya, terj. Rasihan

Anwar, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 11.

32

Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur‟an, Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat

(19)

10

nash Alquran yang dikaji dengan kenyataan sosial dengan sistem budaya yang ada.33 Corak tafsir ini merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada Alquran serta memotifasi untuk menggali makna Alquran.34

Uraian di atas menegaskan alasan mengapa memilih kitab tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab secara lebih spesifik sebagai objek kajian dalam penelitian ini.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dalam penelitian ini dapat diidentifikasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan konsep berpikir perspektif Alquran, diantaranya :

1. Berpikir dalam perspektif Alquran.

2. Macam-macam term berpikir dalam Alquran.

3. Penggunaan term berpikir pada konteks yang berbeda.

Pembatasan masalah berfungsi sebagai arah pembahasan yang diharapkan dapat memenuhi target dengan hasil yang maksimal. Pembatasan masalah difokuskan pada penafsiran Muhammad Quraish Shihab tentang term-term berpikir terkait dalam fungsi dan penggunaan dalam perspektif Alquran.

C. Rumusan Masalah

Agar lebih jelas dan memudahkan operasional penelitian, maka perlu diformulasikan beberapa rumusan permasalahan pokok, sebagai berikut:

1.

Bagaimana term-term berpikir dalam Alquran menurut M. Quraish Shihab ?

33

al-Farmawy, Metode Tafsir, 28.

34

Said Agil Husein al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki

(20)

11

2.

Bagaimana penggunaan dan fungsi term-term berpikir menurut M. Quraish Shihab ?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menemukan term-term berpikir dalam Alquran menurut M. Quraish Shihab.

2. Untuk mengetahui dan memahami penggunaan dan fungsi term-term berpikir menurut M. Quraish Shihab.

E. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini ada dua signifikansi yang akan dicapai, yaitu aspek keilmuan yang bersifat teoritis dan aspek praktis yang bersifat fungsional.

1. Secara Teoritis

a. Menambah khazanah keilmuan khususnya dalam bidang penelitian tafsir Alquran bagi umat manusia khususnya masyarakat muslim dengan harapan bisa mengambil manfaat dari penelitian ini.

2. Secara Praktis

(21)

12

F. Telaah Pustaka

Telaah pustaka atau tinjauan pustaka adalah uraian teoritis berkaitan dengan variabel penelitian yang tercermin dalam permasalahan penelitian. Dalam hal ini penelitian yang dilakukan harus menggunakan teori-teori yang sudah mapan yang bersumber pada literatur dan atau hasil penelitian yang telah dilakukan oleh orang lain.35

Pembahasan tentang tema berpikir yang menunjuk pada akal sebagai alat utama untuk berpikir sebenarnya bukanlah masalah baru di dalam kajian ilmiah keislaman. sudah banyak ulama dan sarjana yang telah membahasnya, baik dalam bentuk kitab, buku atau artikel.

Yūsuf Qarḍāwī dalam bukunya al-„Aqlu wa al-„Ilmu fi al-Qur‟ān al

-Karīm” yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Hayyi

al-Kattani, dkk, menjelaskan keterkaitan antara Alquran dengan akal dan ilmu pengetahuan, serta rasionalitas dan keilmiahan Alquran. Alquran meletakkan akal sesuai dengan fungsi dan kedudukannya, tidak serta merta menjadikannya sebagai

“Tuhan”, karena Allah SWT menciptakan akal dalam keadaaan terbatas.36

Taufik Pasiak menguraikan permasalahan tentang akal dari sudut yang

berbeda, yaitu dari sudut sains, kedokteran dan sudut agama. Dia berusaha

mempertemukan hasil kajian deduktif berdasarkan Alquran dan kajian induktif

yang berkembang dalam ilmu kedokteran. Dia juga memperkaya dengan literatur

35

Nana Sudjana dan Awal Kusumah, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung:

Sinar Baru Algesindo), 37.

36Yūs

uf Qarḍāwī, Al-Qur‟an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, terj. Abdul

(22)

13

filsafat dan psikologi.37

Di samping itu, terdapat beberapa tulisan yang terkait dengan tema dalam penelitian ini yang berbentuk skripsi, di antaranya “Kedudukan Akal dalam

Beragama menurut al-Qur‟an”,38 yang memaparkan tentang keterkaitan antara

akal dengan agama, fungsi dan urgensi akal untuk mencari kebenaran dalam beragama. Kemudian skripsi yang berjudul “Akal dan Wahyu dalam Pandangan ar-rāzī”,39 yang menjelaskan tentang kedudukan akal dan wahyu. Selanjutnya

“Akal menurut pandangan al-Gazālī”,40 skripsi yang pembahasannya lebih

memfokuskan kajian al-Gazālī terhadap akal dalam perspektif teologi.

Ada juga skripsi yang berjudul, “„Aql dalam Tafsir Jamī‟ al-Bayān „An

Ta‟wīl ay al-Qur‟ān”, yang memaparkan makna „aql beserta term yang semakna

dengan „aql yang lebih menitikberatkan pada segi linguistik, perdebatan tentang

fungsi dan kedudukan „aql di kalangan para teolog ataupun filosof.41

Sementara Khoirul Anam M.Y. dalam skripsinya “Islam dan Kebebasan

Berpikir” yang diselesaikannya pada tahun 2000 di jurusan Aqidah Filsafat IAIN

Sunan Ampel Surabaya pada skripsinya halaman 2 menyatakan bahwa Islam memberikan pedoman bagi langkah-langkah kongkrit yaitu memberikan pedoman bagi perbuatan manusia. Pedoman yang diberikan Islam adalah bersifat global

37

Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan

Al-Quran dan Neurosains Mutakhir (Bandung: Mizan, 2008).

38

Hervrizal, “Kedudukan Akal dalam Beragama Menurut al-Qur‟an” (Skripsi tidak

diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2002).

39

Abdul Aziz, “Akal dan Wahyu dalam Pandangan al-rāzī” (Skripsi tidak diterbitkan,

Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 1998).

40

Bambang Setiono, “Akal Menurut Pandangan al-Gazālī” (Jurusan Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2001).

41

Maftuh Mubarak, “„Aql dalam Tafsir Jamī‟ al-Bayān „an Ta‟wīl ay al-Qur‟ān” (Skripsi

(23)

14

agar dapat memberikan kebebasan berpikir bagi manusia untuk menyesuaikan dengan realita dan keadaan dan zaman yang terus berubah. Kebebasan akal (berpikir) dijamin penuh oleh Alquran dan tidak ada satupun dalam Alquran yang melarang manusia untuk menggunakan akalnya.

Dalam penelitian ini akan dipaparkan tentang konsep berpikir yang ada dalam Alquran dari pandangan umum dan secara eksplisit dalam Tafsir al-Misbah karangan M. Quraish Shihab yang lebih menonjolkan corak Tafsir bi al-ra‟yi nya.

G. Metodologi Penelitian

Metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.42 Metode penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini meliputi :

1. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif, sebuah metode penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, perspektif ke dalam dan interpretatif.43 Dengan kata lain, penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang konsep berpikir dalam Alquran perspektif tafsir al-Misbah, melalui riset kepustakaan dan disajikan secara deskriptif-analitis.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang terfokus pada pengumpulan data berupa buku-buku kepustakaan, karya-karya tulis atau data lain dalam bentuk dokumentasi. sehingga data yang

42

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif

(Bandung: Alfabeta, 2010), 44.

43

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya,

(24)

15

diperoleh adalah berasal dari kajian teks atau buku-buku yang relevan dengan pokok masalah di atas.44

3. Metode Penelitian

Dalam rangka untuk memperoleh wacana tentang pemaknaan term-term berpikir dalam perspektif Alquran, dalam penelitian ini ayat-ayat Alquran dikaji dengan menggunakan metode mawd}u>i (tematik), yaitu membahas ayat-ayat Alquran sesuai dengan te,a atau judul yang telah ditetapkan. Hal-hal yang menjadi ciri utama dari metode ini dapat disebut dengan metode topikal.45

Dalam penerapan metode ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh mufassir, antara lain sebagaimana diungkapkan oleh al-Farmawi :

a. Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunnya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya ayat mansu>khah dan sebagainya.

b. Menelusuri latar belakang turun (asbab al-nuzul) ayat-ayat yang telah dihimpun.

c. Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama kosakata yang menjadi pokok permasalahan di dalam ayat itu. Kemudian mengkajinya dari semua aspek yang berkaitan dengannya, seperti bahasa, budaya, sejarah, munasabah, pemakaian kata ganti(d}amir), dan sebagainya.

d. Semua itu dikaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu‟tabar serta

44

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), 9.

45

(25)

16

didukung oleh fakta dan argumen-argumen dari Alquran, hadis, atau fakta-fakta sejarah yang dapat ditemukan. Artinya mufassir selalu menghindarkan diri dari pemikiran-pemikiran yang subjektif. Hal ini dilakukan agar Alquran membicarakan suatu kasus tanpa intervensi dari pihak lain di luar Alquran, termasuk penafsir sendiri.46

Seperti yang dikemukakan M. Quraish Shihab, bahwa keistimewaan metode ini dapat membawa kepada pendapat Alquran tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya serta sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Alquran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.47

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode dokumentasi. Mencari data mengenai hal-hal atau variable berupa catatan, buku, kitab, dan lain sebagainya. Melalui metode dokumentasi, diperoleh data-data yang berkaitan dengan penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah dipersiapkan sebelumnya.48

5. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah mengadakan pembahasan dan menganalisanya. Dalam menganalisa pembahasan ini metode yang dipakai adalah sebagai berikut :

46

Baidan, Metode Penafsiran, 152-153.

47

Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, 180.

48

Idris, “Makna Tabdzir dalam Alquran” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadis

(26)

17

a. Metode Interpretasi Data

Metode interpretasi data adalah merupakan isi buku, untuk dengan setepat mungkin mampu mengungkapkan arti dan makna uraian yang disajikannya.49 Metode ini penulis gunakan untuk mempelajari dan memahami makna-makna yang ada, sehingga mudah untuk mengambil suatu kesimpulan.

b. Metode content analysis (Analisis isi)

Metode content analysis, yaitu merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan atau komunikasi yang ada untuk menerapkan metode ini terkait dengan data-data, kemudian dianalisis sesuai dengan isi materi yang dibahas.50 Untuk merealisasikan metode content analysis ini terkait dengan data, maka data-data yang sudah ada baik diambil dari sumber data-data primer maupun sekunder, kemudian dianalisis sesuai dengan isi materi yang dibahas dan dapat meyakinkan serta menemukan data-data tersebut yang mendukung kajian ini.

6. Sumber Data Penelitian

Dalam penelitian ini ada dua sumber data yang diperlukan yaitu sumber data primer dan data sekunder. Sumber data primer yaitu sumber asli, merupakan suatu data pokok yang sesuai dengan pembahasan yang akan dikaji, dalam hal ini adalah :

a. Tafsir al-Misbah: Pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an karya M. Quraish Shihab.

49

Anton Bekker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:

Kanisius, 1990), 69.

50

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan Positivistik,

(27)

18

b. Al-„Aqlu wa al-„Ilmu fi al-Qur‟ān al-Karīm karya Yūsuf Qarḍāwī yang telah diterjemahkan oleh Abdul Hayyi al-Kattani, dkk.

c. Akal dan Wahyu dalam Islam karya Harun Nasution.

d. Revolusi IQ/EQ/SQ; Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-Qur'an dan Neurosains Mutakhir karya Taufik Pasiak.

Sedangkan sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan selain sumber primer,51 misalnya buku-buku penunjang yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.

Sebagai sumber sekunder dalam penelitian ini, terdapat karya-karya tulis berupa buku atau artikel yang berkaitan tentang konsep berpikir, diantaranya :

a. Tafsir ayat-ayat pendidikan karya Abuddin Nata.

b. Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam berpikir karya Musa Asy‟arie.

c. Kebebasan berpendapat dalam Islam karya Mohammad Hashim Kamali. d. Konsep teologi rasional dalam tafsir al-Manar karya A. Athaillah. e. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya karya Sirajuddin Zar.

f. Metodologi tafsir Alquran: Strukturalisme, semantik, semiotika, hermeneutik karya Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana.

g. Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm karya Ibnu Kathīr.

H. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan.

51

(28)

19

Bab Pertama sebagai pendahuluan meliputi latar belakang masalah untuk

memberikan penjelasan secara akademik mengapa penelitian ini dilakukan dan

apa yang melatarbelakanginya. Kemudian identifikasi dan batasan masalah,

selanjutnya rumusan masalah yang dimaksudkan untuk mempertegas

pokok-pokok masalah yang akan diteliti agar lebih terfokus. Setelah itu, dilanjutkan

dengan tujuan dan manfaat penelitian untuk menjelaskan pentingnya penelitian

ini dan tujuannya. Adapun metode penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan

bagaimana cara yang akan dilakukan penulis dalam penelitian ini. Sedangkan

telaah pustaka untuk memberikan penjelasan dimana letak kebaruan penelitian

ini dan serta sistematika pembahasan sehingga posisi penelitian ini dalam wacana

keilmuan tafsir Alquran akan diketahui secara jelas.

Bab dua merupakan landasan teori yang mendeskripsikan tentang tinjauan akal sebagai alat berpikir yang meliputi pengertian akal, pembagian akal, dan medan semantik dari kata akal. Hal ini merupakan wujud dari landasan teori yang menjadi asas dalam penelitian ini.

Bab tiga berisi pemaparan tentang penafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat dan term-term berpikir dalam Alquran.

Bab empat merupakan hasil analisis terhadap penggunaan dan fungsi term-term berpikir dalam Alquran ditinjau dari penafsiran M. Quraish Shihab.

(29)

BAB II

TINJAUAN AKAL SEBAGAI ALAT BERPIKIR

A. Pengertian Akal

Secara bahasa, kata al-‘aql, mempunyai bermacam makna.1 Antara lain, tetapnya sesuatu (al-tathabbut fi al-umūr),2 menahan diri dan berusaha menahan

(al-imsāk wa al-imtisāk).3 Pengertian tersebut juga senada dengan yang

dijelaskan oleh al-Jandi, murid al-Qunawi yang mengatakan, secara harfiah kata ‘aql menunjukkan pengikatan, pelekatan, dan pengurangan. Sehingga ia menuntut

pembatasan (taqyid).4

Kamus-kamus bahasa Arab mengartikan akal (secara harfiah) sebagai pengertian al-imsa>k (menahan),5 al-riba>th (ikatan), al-h{ijr (menahan), al-nahy (melarang) dan al-man’u (mencegah).6

Harun Nasution mengatakan bahwa kata ‘aqala berarti mengikat dan menahan. Maka tali pengikat serban terkadang berwarna hitam dan berwarna

1Banyaknya makna „

aql sampai-sampai ‘aql diartikan dengan diyah (denda), dan

terkadang juga dipakai sebagai kināyah persetubuhan. Lihat: Ibn Manshūr, Lisān al

-‘Arab, Juz XI (Beirut: Dār al-Shādir, 1992), 458-466.

2

Ibid.

3

Al-Rāghib al-Ashfahāniy, Mu‘jam Mufradāt Alfādz al-Qur’ān, Juz II (Damaskus: Dār

al-Qalam, t.t), 110-112.

4

Pasiak, Revolusi IQ, 258.

5Luwis Ma‟luf,

Al-Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam, (Beirut: Da>r al-Masyriqi, 2007), 520.

Lihat juga, Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta:

Al-Munawir, 1984), 1027.

6

Atabik Ali dan A. Zuhdi Mudlor, Kamus al-‘Ashri Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi

(30)

21

emas yang dipakai di Arab Saudi yang disebut ‘iqa>l (لاقع) dan menahan orang di

dalam penjara disebut i’tiqala (لقتعا) dan tempat tahananmu’taqal (لقتعم).7

Ibn Manshur, misalnya mengartikan al-‘aql dengan 6 macam : (1) akal pikiran, inteligensi, (2) menahan, (3) mencegah, (4) membedakan, (5) tambang

pengikat, dan (6) ganti rugi.8 Akal juga sering disamakan dengan (رجحلا) al-hijr

(menahan/mengikat). Sehingga seseorang yang berakal adalah orang yang dapat menahan diri dan mengekang hawa nafsunya.9 Seterusnya diterangkan pula

bahwa al-‘aql mengandung arti kebijaksanaan (al-nuha - ىهنلا), lawan dari lemah

pikiran (al-humq - قمحلا) . Selanjutnya disebut pula bahwa al-‘aql juga

mengandung arti kalbu (al-qalb - بلقلا).10

Arti asli dari kata ‘aqala kelihatannya adalah mengikat dan menahan dan

orang yang ‘aqil di zaman jahiliyyah, yang dikenal dengan hamiyyah (ةيمح) atau

darah panasnya, adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.11

Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan akal dengan 4 pengertian : (1) daya pikir (untuk mengerti), pikiran, ingatan, (2) jalan atau cara

7

Nasution, Akal dan Wahyu, 6.

8

Manshūr, Lisān al-‘Arab, 458-459.

9

Pasiak, Revolusi IQ, 257.

10

Perlu diperhatikan bahwa kata Arab al-qalb berarti jantung dan bukan hati. Kata Arab

untuk hati adalah al-kabid (دبكلا). Nasution, Akal dan Wahyu, 6.

11

(31)

22

melakukan sesuatu, daya upaya, ikhtiar, (3) tipu daya muslihat, kecerdikan, kelicikan dan (4) kemampuan melihat atau cara-cara memahami lingkungan.12

Mengenai akal, sesungguhnya tidak jelas sejak kapan menjadi kosakata

bahasa Indonesia. Kata akal yang jelas diambil dari bahasa Arab لقعلا (al-‘aql)atau

لقع (’aqala).13 Kata „aql sendiri sudah digunakan oleh orang Arab sebelum

datangnya agama.14

Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia berasal dari kata Arab al-‘aql (لقعلا) yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy (يحولا)

yang tidak terdapat dalam Alquran.15

Hamka memberi pengertian bahwa akal (al-‘aql) adalah sesuatu yang membedakan antara manusia dengan makhluk Allah lainnya. Dengan akal tersebut manusia memperoleh kemuliaan dari Allah sehingga dipercaya untuk menjadi khalifah dimuka bumi.16 Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia

12

Departeman dan Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Balai Pustaka, 2005), 15.

13

Sebagai informasi, kata itu dapat dianalisis dengan menggunakan metode metode

al-Tafsi>r al-Maudhu>’iy (tafsir tematis), al-Tafsi>r al-Ijma>li (tafsir umum), al-Tafsi>r al-Tahli>li>

(tafsir analisis), dan al-Tafsi>r al-Muqa>rin (tafsir perbandingan). Yang dilakukan disini

hanyalah menelusuri bagaimana kita itu dipakai oleh Alquran maupun umat Islam. Ini karena begitu besar implikasi kehadiran kata tersebut.

14

Pasiak, Revolusi IQ, 257.

15

Nasution, Akal dan Wahyu, 5.

16

Tugas menjadi khalifah adalah meramaikan bumi, memeras akal dan budi, mencipta, berusaha mencari, menambah ilmu dan membangun kemajuan dan berkebudayaan, serta

mengatur siasat negara dan bangsa-bangsa benua. Lihat Hamka, Tafsir al Azha>r, Juz VIII

(32)

23

yang menjadi dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.17 Karena semua perbuatan dan tindakan yang konkret semuanya bersumber pada pertimbangan akal.

Para Sufi memahami kedudukan akal dalam konteks “mengikat” dan

“membatasi”. Pilihan makna ini berkaitan dengan penciptaan alam semesta oleh

Tuhan. Tuhan dianggap tak berbatas, tak terjangkau. Namun ketika ia ber-tajalli (transformasi diri), setiap ciptaan-Nya senantiasa terbatas. Ciptaan itu “mengikat” dimensi Tuhan yang tak terbatas itu. Jadi akal cenderung berkaitan dengan segala ciptaan Tuhan bukan Tuhan sendiri yang Maha Luas itu.18

Akal sebagai organ yang mengikat dan menahan itu dijelaskan secara filosofis oleh seorang pemikir Islam dari Malaysia, Syed Muhammad Naquib al-Attas,19 ia berpendapat bahwa akal adalah suatu “organ” aktif dan sadar yang

“mengikat” dan “menahan” objek ilmu dengan kata-kata atau bentuk perlambang

lain. Ini menunjukkan pada fakta yang sama dari apa yang ditunjuk oleh qalb, ruh, dan nafs.20

Menurut al- Rāghib al-Ashfahāniy, kata akal itu juga menunjuk pada potensi dalam diri manusia yang disiapkan untuk memperoleh pengetahuan. Kata itu semakna dengan kekuatan berpikir (al-quwwah al-a>qila>t), pemahaman ( al-fahm), tempat berlindung (al-malja’), menahan (mana>’ah), hati (al-qalb), dan

17

Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI

Press, 1987), 44.

18

Pasiak, Revolusi IQ, 259.

19

Syed Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 1989). 36.

20

(33)

24

ingatan (dhakirah).21 Makna dasar dan makna sinonim itu menunjukkan bahwa akal adalah sesuatu yang memang sengaja disiapkan dalam diri manusia. Potensi ini merupakan alat bagi manusia untuk mengejawentahkan dirinya dalam kehidupan di dunia.22

Al-Harits Ibn Asad al-Muha>siby, seorang sufi besar sekaligus pakar hukum hadis serta sastrawan yang wafat di Baghdad pada tahun 857 M berkata bahwa:

ََاَ لََع

َ قَُل

َ

ََوٌَةَز يِرَغ

ََض

ََعََه

َُلاَا

َ

َُسَ ب

ََح

ََناَُه

َََوََ ت

ََعََا

ََل

ََِِ

ََاَ

َ كََث

َِرَ

ََخَ ل

َِق

َ َلَِه

ََُي

َ ط

ََعَ عِل

ََلَ يََه

َ اَا

َِعلََب

ََ بَُدا

َ ع

َُض

َ مُه

ََِم

َ نَ

ََ بَ ع

ََوٍَض

ََلَ

َُا

ََل ط

َُعَ و

ََعَا

ََلَ يََه

َِمَا

َ نََ

َاَ نَُف

َِس

َِه

َ مََِب

ََي ؤُر

ََوٍَة

ََل

َََِِ

ٍَس

َََو

ََل

َ وَََ

ََوَ ٍق

ََل

ََطَ

َِاٍَم ع

َََّ

ََعَا

ََر

َُلاَُمَهَ ف

َََِا

ََيَا

ََ

َِبََا

َ اا

ََعلَ ق

َِلَ

َِمَ نَُه

َ

Akal adalah insting yang diciptakan Allah SWT pada kebanyakan makhluk-Nya yang (hakikatnya) oleh hamba-hamba-Nya baik melalui (pengajaran) sebagian yang lain, tidak juga mereka secara berdiri sendiri. (Mereka semua) tidak dapat menjangkaunya dengan pandangan, indera, rasa, atau ciptaan. Allah yang

memperkenalkan (insting itu) melalui akal itu (dirinya sendiri).23

Lebih lanjut al-Muha>sibiy berkata :

Dengan akal itulah hamba-hamba Allah mengenal-Nya. Mereka menyaksikan wujud-Nya

dengan akal itu yang mereka kenal dengan akal mereka juga. Dengan akal mereka

mengetahui apa yang membahayakan bagi mereka. Karena itu siapa yang

mengetahui dan dapat membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang

berbahaya baginya dalam urusan kehidupan dunianya, maka dia telah mengetahui

bahwa Allah telah menganugerahinya dengan akal yang dicabutnya dari orang

21

al-Ashfahāniy, Mu‘jam Mufradāt, 382. Lihat juga, Ahmad Warson Munawwar, Kamus

al-Munawwar. Juga dengan Muhammad Rawwas Qolahji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha; Arabi-Inggilisi-Alfaransi, Cet. 1(Beirut: Darun Na>f Dar al-Nafa>is, 1996)..

22

Pasiak, Revolusi IQ, 264.

23

M. Quraish Shihab, Logika Agama: Kedudukan Wahyu & Batas-batas Akal dalam

(34)

25

gila atau yang tersesat dan juga dari sekian banyak orang yang picik yang hanya

sedikit memiliki akal”.24

Ibnu Khaldun (1332-1406) ahli Filsafat Sejarah, Bapak Sosiologi dalam

karya utamanya “Muqaddimah” mengemukakan tentang akal, sebagai berikut:

Kemudian ketahuilah, bahwa Allah membedakan manusia dari lain hewan dengan

kesanggupan berpikir, sumber dari segala kesempurnaan, dan puncak dari segala

kemuliaan dan ketinggian di atas lain-lain makhluk. Sebabnya ialah karena

pengertian, yaitu kesadaran dalam diri tentang terjadi diluar dirinya, hanyalah ada

pada hewan saja, tidak terdapat pada lain-lain barang (yang makhluk) sebab

hewan menyadari akan apa yang ada di luar dirinya dengan perantaraan panca

inderanya (pendengaran, penglihatan, bau, perasa lidah, sentuh) yang diberikan

Allah kepadanya. Sekarang manusia memahami ini dengan kekuatan memahami

apa yang ada di balik panca inderanya. Pikiran bekerja dengan perantaraan

kekuatan yang ada di tengah-tengah otak yang memberi kesanggupan kepadanya

menangkap bayangan-bayangan benda yang biasa diterima oleh panca indera dan

kemudian mengembalikan benda itu dalam ingatannya sambil meringkas lagi

bayangan benda-benda itu. Refleksi itu terdiri dari penjamahan

bayangan-bayangan ini (di balik perasaan) oleh akal, yang memecah atau menghimpun

bayangan bayangan itu (untuk membentuk bayangan-bayangan lain).25

Al-Ghazali, sufi sekaligus filosof juga mengatakan bahwa kata akal mempunyai banyak pengertian. Akal dapat berarti potensi yang membedakan manusia dari binatang dan menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan teoritis. Makna ini tidak jauh berbeda dengan pendapat al-Muhasiby di atas. Akal juga berarti pengetahuan yang dicerna oleh seorang anak yang telah mendekati usia dewasa, misalnya dia dapat mengetahui bahwa sesuatu tidak

24

M. Quraish Shihab, Logika Agama, 86-87.

25

(35)

26

mungkin ada pada sesuatu yang pada saat yang sama dia tidak ada juga di tempat itu, atau dua itu lebih banyak dari satu.26

Makna ketiga dari akal menurut al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasar pengalaman yang dilaluinya dan yang pada gilirannya memperhalus budinya. Menurut kebiasaan, orang yang demikian ini

dinamai “orang berakal”, sedang orang yang kasar budinya dinamai “tidak

berakal”. Makna keempat dari akal adalah kekuatan insting yang menjadikan

seseorang mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya, lalu mampu menekan hawa nafsunya serta mengatasi agar tidak terbawa larut olehnya.27

Dalam Alquran, kata ‘aql mendapat kualifikasi religious sebagai keyakinan dan intelektualitas. Seyyed Hossein Nasr28 menyebut akal (dalam kepala) sebagai proyeksi atau cermin dari hati (qalb), tempat keyakinan dan kepercayaan manusia. Dengan itu akal bukan hanya instrumen untuk mengetahui,

melainkan juga wadah bagi “penyatuan” Tuhan dan manusia. Teori akal aktif dari

Ibn Sina dan al-Kindi maupun hierarki ilmu dari al-Farabi dapat menjelaskan hal itu. Dalam diri manusia, akal bersifat potent yang kemudian mewujud dalam bentuk jiwa (spirit). Menurut Rheins Meister Echart, “di dalam jiwa seseorang terdapat sesuatu yang diciptakan dan tidak mungkin dibentuk, sesuatu itu adalah intelect”.29

26

Shihab, Logika Agama, 86.

27

Ibid., 87-88.

28

Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar CIIS,

1997).

29

(36)

27

B. Pembagian Akal

Menurut M. Quraish Shihab, ada pendapat yang mengatakan bahwa akal terdiri dari 2 macam. Pertama adalah akal yang merupakan anugerah Allah dan kedua adalah akal yang dapat diperoleh dan dikembangkan oleh manusia melalui penalaran, pendidikan, dan pengalaman hidup.30

Menurut Ibn Rusyd, akal dibagi menjadi tiga, pertama akal demonstratif

(burha>ni>y) yang memiliki kemampuan untuk memahami dalil-dalil yang

meyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan penting serta melahirkan filsafat. Kedua adalah akal logik (manthiqiy) yang sekedar mampu memahami fakta-fakta argumentatif. Ketiga adalah akal retorik (khithābi>y) yang mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasehat dan retorik, karena tidak dipersiapkan untuk memahami aturan berpikir sistematis.31

Harun Nasution mengatakan bahwa manusia mempunyai daya berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:

1. Akal praktis (‘a>milah –َةلماع) yang menerima arti-arti yang berasal dari materi

melalui indera pengingat yang ada pada jiwa binatang.

2. Akal teoritis (‘a>limah - ةملاع) yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang

tidak pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, roh dan malaikat.32

Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, menangkap

kekhususan (juziyya>t -َ تايئزج - particulars). Akal teoritis sebaliknya bersifat

30

Shihab, Logika Agama, 87.

31

Poerwantana, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: PT Rosdakarya, 1994), 207- 210.

32

(37)

28

metafisis, mencurahkan perhatian kepada dunia imateri dan menangkap

keumuman (kulliyya>t - تايلك– universal ).33

Akal praktis jika dihubungkan dengan nafsu binatang, akan menimbulkan rasa malu, sedih dan lain sebagainya. Jika dihubungkan dengan daya penganggap dari indera batin binatang dia akan membedakan apa yang baik dari apa yang rusak dan akan menghasilkan kecakapan mencipta dalam diri manusia. Jika dihubungkan dengan akal teoritis, ia akan menimbulkan pendapat-pendapat

masyhur, seperti “berdusta adalah tidak baik”, “bersikap tidak adil adalah buruk”,

dan lain sebagainya.34

Akal praktis harus mengontrol dan memimpin jiwa binatang, dan kalau ia berhasil dalam tugasnya, manusia bersanhkutan akan mempunyai budi pekerti luhur. Pada akal praktislah bergantung timbulnya kebajikan atau kejahatan pada diri sesorang.35

Akal teoritis mempunyai empat derajat :

1. Akal materil (al-‘Aql al-hayu>la>ni - ىناويحَلقعلا) yang merupakan potensi belaka,

yaitu akal yang kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah berada dalam materi, belum keluar.

2. Akal bakat (al-‘Aql bi al-Malakah ةكلملابَ لقعلا) , yaitu akal yang

kesanggupannya berfikir secara murni abstrak telah mulai kelihatan. Ia dapat

33

Nasution, Akal dan Wahyu, 10.

34

Ibid.

35

(38)

29

menangkap pengertian dan kaedah umum, seperti seluruh lebih besar dari bahagian.

3. Akal aktuil (al-‘Aql bi al-Fi’il –َلعفلَابَلقعلا), yaitu akal yang telah lebih mudah

dan telah lebih banyak dapat menangkap pengertian dan kaedah umum dimaksud. Akal aktuil ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki.

4. Akal perolehan (al-‘aql al-mustafa>d - دافتسملاَلقعلا), yaitu akal yang di dalamnya

arti-arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan mudah sekali.36

Akal dalam derajat ke-empat inilah akal yang tertinggi dan terkuat dayanya. Akal serupa inilah yang dimiliki filosof dan akal inilah yang dapat memahami alam murni abstrak yang tak pernah berada dalam materi. Akal perolehan yang telah bergelimang dalam keabstrakan inilah yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Tuhan ke alam materi melalui akal yang sepuluh.37

Pengertian Akal yang sepuluh yang dimaksud adalah akal-akal yang diciptakan Tuhan melalui pancaran dalam falsafat emanasi al-Farabi. Tuhan berfikir tentang diri-Nya. Pemikiran merupakan daya, dan daya pemikiran Tuhan Maha Kuasa yang besar dan hebat itu menciptakan akal pertama. Akal pertama berfikir pula tentang Tuhan dan tentang dirinya sendiri. Daya ini menghasilkan

36

Nasution, Akal dan Wahyu, 11.

37

(39)

30

akal kedua dan langit pertama. Akal kedua ini berfikir pula tentang Tuhan dan tentang dirinya sendiri dan menghasilkan Akal ketiga dan bintang-bintang.38

Demikianlah seterusnya tiap akal berfikir tentang Tuhan dan dirinya sendiri dan menghasilkan Akal dan planet. Akal empat menghasilkan akal ke-lima dan Yupiter. Akal keke-lima menghasilkan akal ke-enam dan Mars. Akal keenam menghasilkan akal ketujuh dan Matahari. Akal ke-tujuh menghasilkan akal ke-delapan dan Venus. Akal ke-delapan menghasilkan akal kesembilan dan Merkuri. Akal ke-sembilan menghasilkan akal ke-sepuluh dan bumi.39

Tiap-tiap akal yang berjumlah sepuluh itu mengatur planetnya masing-masing. Akal-akal ini adalah malaikat dengan akal kesepuluh merupakan Jibril yang mengatur bumi. Perlu diingat disini bahwa falsafat emanasi disesuaikan dengan ilmu astronomi yang ada di zaman al-Farabi.40

Kalau yang diuraikan diatas adalah akal dalam pendapat filosof Islam, maka kaum teolog Islam mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Menurut al-Huzail akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan dan juga daya yang membuat sesorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain dan antara benda-beda satu dari yang lain.41 Akal mempunyai daya untuk mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap panca indera.42

Disamping memperoleh pengetahuan, akal juga mempunyai daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan. Akal, dengan kata lain, terutama

38

Nasution, Akal dan Wahyu, 11-12.

39Sa‟id Zayed, ىبارفلا (Cairo: Dar al-Ma‟ar>

if), 41 dan 85-86. Lihat Juga al-Fakhu>ri dan

al-Jar, ةيبرعلا ةفسلفلا خيرات, Jilid II (Beirut: Dar al-Ma‟a>rif, 1967), 113.

40

Nasution, Akal dan Wahyu, 12.

41

A.N. Nader, Le Systime Philosophique des Mu’tazila (Beirut: Les Letres Orientalis,

1956), 239.

42

(40)

31

bagai kaum Mu‟tazilah mempunyai fungsi dan tugas moral. Sejalan dengan ini, L.

Gardet dan M.M. Anawati menerangkan bahwa akal dalam pendapat Mu‟tazilah

adalah petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menhadi pencipta perbuatannya.43

C. Medan Semantik Akal44

Kata ‘aql (akal) yang mula-mula hanya berhubungan dengan kecerdasan

praktis dan berguna untuk “mengikat” atau “menahan” memperoleh pemadatan

makna dalam Alquran. Kata ini disebut 49 kali dalam 28 surat, 31 kali dalam 19 surat yang diturunkan di Makkah tempat kehidupan kaum Muslim berada dalam suasana kaotis, dan 18 kali dalam 9 surah yang diturunkan di Madinah ketika struktur kehidupan kebudayaan kaum Muslim boleh dikatakan sudah mapan.45 Kata ‘aql tidak pernah digunakan dalam bentuk kata benda (isim), melainkan dalam bentuk kata kerja (fi'il). Hal ini menunjukkan bahwa „aql merupakan suatu aktifitas dan proses yang terus menerus yang berfungsi untuk memahami dan memikirkan.

Di dalam Alquran kata akal sangat padat maknanya dan digunakan secara luas oleh para pemikir Muslim. Dalam perbendaharaan kata orang Islam, kata itu sangat tinggi kedudukannya. Berfungsinya akal memiliki signifikansi ibadah. Sehingga orang gila (yang dianggap kehilangan akal) akan dianggap tidak layak

43

Nasution, Akal dan Wahyu, 12.

44

Istilah “medan semantik” merupakan istilah linguistik yang –dalam hubungannya

dengan telaah semantik Alquran- digunakan oleh Toshihiko Izutsu (Relasi

Tuhan-Manusia) untuk menunjuk beberapa kata yang kira-kira semakna atau berdekatan maknanya.

45

(41)

32

beribadah. Ibadahnya itu tidak berguna sama sekali karena tidak dilakukan dengan kesadaran.46

Disamping menggunakan kata jadian dari akal, Alquran juga menggunakan beberapa kata yang berada dalam medan semantik kata ‘aql untuk menyebut kegiatan mengerti, memahami, mengingat dan merenungkan.47

Terdapat tujuh sinonim untuk kata akal : (1) رّبد dabbara (merenungkan),

(2) هقفَfaqiha (mengerti), (3) مهف fahima (memahami), (4) رظن naz}ara (melihat

dengan mata kepala), (5) ركذdhakara (mengingat), (6) رّكفَfakkara (berpikir secara

dalam), (7) ملع‘alima (memahami dengan jelas).48

Selain tujuh kata itu, masih ada kata-kata lain yang dari segi fungsi yang ditunjukkannya memiliki kemiripan dengan kata akal. Kata yang paling

mendekati adalah kata بلقلا, al-qalb. Secara keliru kata ini sering diidentikan

dengan hati yang dalam bahasa Indonesia berhubungan dengan “perasaan”.49 Sirajuddin Zar mengatakan kata akal juga diidentifikasi dengan kata lub jamaknya al-alba>b. Sehingga kata ulul alba>b dapat diartikan dengan orang-orang yang berakal.50

Paling tidak ada dua tujuan munculnya kata-kata semakna ini: (1) mendalamnya perhatian Alquran terhadap penggunaan pikiran manusia, dan (2) luasnya objektivitas atas fakta. Tujuan pertama lebih mengarah pada manusia

46

Pasiak, Revolusi IQ, 268.

47

Ibid., 276.

48

Ibid.

49

Ibid.

50

(42)

33

sendiri, terutama bagimana proses berpikir menanggapi fakta-fakta yang ada di depan.51

Manusia bisa menemukan pengetahuan baru melalui analisis fakta-fakta (empiris, naz}ara), merenungkan dalam kepalanya (dabbara, dhakara), atau menggali terus-menerus hingga mencapai batas fakta itu sendiri (fakkara, ‘alima). Pada tujuan kedua kedua, Alquran hendak menegaskan bahwa objek pengetahuan itu tidak terbatas pada fakta-fakta yang dapat diserap oleh indra manusia. Ada objek pengetahuan yang terletak dibalik fakta atau bahkan belum terjangkau oleh manusia karena instrumennya yang terbatas. Hal ini sejalan dengan pendapat filosof-filosof Muslim tentang alam yang bertingkat-tingkat (mara>tib al-wuju>d).52

Sinonim kata ‘aql digunakan untuk melukiskan pekerjaan-pekerjaan akal manusia. Luas dan banyaknya pilihan kata (diksi) ini menunjukkan perhatian yang sangat dalam terhadap kegiatan berpikir manusia.53

Sinonim itu juga menunjukkan tingkatan-tingkatan berpikir. Dari yang sederhana seperti melihat dan berpikir praktis sebagaimana diwakili oleh kata

nadzara sampai pemikiran-pemikiran yang mendalam, seperti diwakili oleh kata

fakkara. Bahkan lebih dari sekedar berpikir, manusia disuruh untuk mengambil

pelajaran dan merenungkan apa yang dipikirkannya sebagaimana ini diwakili oleh kata dabbara, tadabbur.54

Secara metodologis (filsafat ilmu menyebutnya epistemologi) keragaman penyebutan itu menunjukkan tingkatan-tingkatan berpikir manusia yang terjadi

51

Pasiak, Revolusi IQ, 277.

52

Ibid.

53

Ibid., 278.

54

(43)

34

secara sistematis. Bahkan menunjukkan bagaimana pengetahuan harus disistematisasikan. Meminjam istilah Pitirim Sorokin, terdapat tingkatan berpikir yaitu, indrawi, rasional dan intuisi. Keragaman pikiran itu menunjukkan bagaimana manusia harus bersikap realitas. Mungkin istilah awam yang mendekati, misalnya sebutan sekedar tahu, tahu, tahu yang dalam dan sangat mengetahui.55

Pada tingkat Subjek yang mengetahui, keragaman penyebutan kata itu menunjukkan adanya tingkat kepakaran dalam menguasai ilmu pengetahuan. Bahkan ketika seseorang tiba pada tingkat mengetahui yang paling dalam ia akan tiba pada pengetahuan tentang kebijaksanaan. Kata qalb cukup mewakili pengetahuan dengan kebijaksanaan itu. Selain itu, hendaknya setiap upaya mengetahui dapat berakhir pada hadirnya kebijaksanaan dalam diri si subjek. Kenyataan ini telah ditunjukkan oleh para ilmuwan Muslim yang dengan sungguh-sungguh mendalami pengetahuan tentang realitas, ini artinya ilmuwan yang baik setidak tidaknya menurut versi Alquran adalah ilmuwan yang menguasai betul bidang keilmuannya dan sekaligus memiliki kesadaran moral bagaimana ilmu itu harus dipakai.56

D. Teori muna>sabah Alquran sebagai Kerangka Teoritik

1. Pengertian muna>sabah

Menurut bahasa muna>sabah berarti persesuaian atau hubungan atau relevansi, yaitu hubungan/persesuaian antara ayat/surat satu dengan ayat/surat

(44)

35

yang sebelumnya atau sesudahnya. As-Suyu>ti berpendapat, al-muna>sabah berarti

al-musha>kalah (keserupaan) dan al-mura>qabah (kedekatan).57 Sebagaian

pengarang menamakan ilmu ini dengan ilmu tana>sub al-aya>t wa as-suwa>r yang artinya ilmu yang menjelaskan persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat/surat yang lainnya. Menurut istilah muna>sabah atau ‘ilmu tana>sub

al-aya>t wa as-suwa>r ialah ilmu untuk mengetahui alas an-alasan penertiban

bagian-bagian Alquran yang mulia.58

Ilmu ini menjelaskan tentang segi-segi hubungan antara beberapa ayat atau beberapa surat Alquran. Pengertian muna>sabah ini tidak hanya sesuai dalam arti sejajar dan paralel saja, melainkan yang kontradiksipun termasuk munasa>bah. Sebab ayat-ayat Alquran itu kada

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan pengetahuan tentang konsep sekolah alam khususnya dalam pendidikan serta menambah pengetahuan dan

Dalam hal ini konsep keesaan Tuhan dalam al-Qur'an didasarkan pada penafsiran Quraish Shihab, sedangkan konsep keesaan Tuhan yang terdapat dalam Alkitab didasarkan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konsep makanan Halalan Thayyiban perspertif Quraish Shihab adalah tidak semua makanan dan minuman yang halal otomatis thayyib,

Quraish Shihab dalam konteks perlindungan dari segi agama, anak juga harus dilindungi dari segala hal yang dapat merusak moralnya karena agama tidak dapat dilepaskan

Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam Sidang Munaqasyah..

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta pemahaman kepada masyarakat Islam, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber ilmu pengetahuan

Segala puji bagi Allah subhanahu wata'ala yang telah memberikan rahmat dan nikmat-Nya kepada manusia di bumi dan kepada penulis sehingga penulis dapat

Diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada masyarakat tentang amśal, serta mengetahui penafsiran Muhammad Abduh dan K.H Bisri Mustofa tentang